Anda di halaman 1dari 60

TEKNOLOGI PEMBELAJARAN

PERENCANAAN PEMBELAJARAN
BERBASIS PENDIDIKAN KARAKTER

Disusun Oleh :
Dedi Kurniawan

(K2513014)

Faqih Bahrudin

(K2513022)

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Teknologi pembelajaran
yang diampu oleh Bapak Dr. H. Roemintoyo S.T., M.Pd.

PENDIDIKAN TEKNIK MESIN


JURUSAN PENDIDIKAN TEKNIK KEJURUAN
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2014

BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pasca reformasi 1998 bangsa Indonesia menunjukkan indikasi terjadinya
krisis karakter yang cukup memprihatikan. Demoralisasi mulai merambah ke
dunia pendidikan yang belum memberi ruang untuk berperilaku jujur karena
proses pembelajaran cenderung mengajarkan pendidikan moral dan budi pekerti
sebatas pengetahuan yang tertulis dalam teks dan kurang mempersiapkan siswa
untuk menyikapi dan menghadapi kehidupan yang kontradiktif. Fenomena
maraknya praktik korupsi bisa juga berawal dari kelemahan dunia pendidikan
dalam menjalankan fungsinya sebagai

institusi yang turut bertanggung jawab

membenahi moralitas anak bangsa, ditemukannya beberapa bukti seperti


tingginya angka kebocoran di institusi pendidikan, pengkatrolan nilai oleh guru,
plagiatisme naskah-naskah skripsi dan tesis, menjamurnya budaya nyontek para
siswa, korupsi waktu mengajar, dan sebagainya telah menunjukkan betapa telah
terjadi reduksi moralitas dan nurani sebagian dari kalangan pendidik dan peserta
didik, di sisi lain, praktik pendidikan Indonesia yang cenderung terfokus pada
pengembangan aspek kognitif dan sedikit mengabaikan aspek soft skils sebagai
unsur utama pendidikan karakter, membuat nilai-nilai positif pendidikan belum
optimal dicapai.
Budaya korupsi yang menghancurkan moralitas bangsa Indonesia memang
masih terus terjadi. Berbagai usaha telah dilakukan untuk mengurangi bahkan
menghancurkan praktik yang merugikan kehidupan bangsa ini. Pembentukan
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Tim Koordinasi Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi Presiden (Inpres No.5/2004 tentang Percepatan Pemberantasan
Korupsi) merupakan sebagian jawaban dalam upaya memberantas budaya
koruptif. Upaya penanggulangan dan pemberantasannya senyatanya telah
dilakukan dengan cara yang lebih canggih, bahkan para penegak hukum, terutama
KPK telah menggunakan semua kekuatan yang dimilikinya. Namun, praktik ini
masih terus berlangsung dengan modus yang lebih canggih.

Korupsi merupakan salah satu bentuk krisis karakter yang sangat dampaknya
buruk bagi bangsa Indonesia. Korupsi menjadi penghambat utama kemajuan
ekonomi, dan pada akhirnya korupsi menjadi sumber dari berkembangnya
kemiskinan di Indonesia. Posisi Indonesia dalam kancah pergaulan internasional,
sebagai salah satu negara yang terkorup di dunia telah menyebabkan bangsa ini
kehilangan martabat di tengah-tengah pergaulan bangsa lain. Korupsi terjadi
karena orang-orang kehilangan beberapa karakter baik, terutama sekali kejujuran,
pengendalian diri (self regulation), dan tanggung jawab sosial.
Fenomena sosial yang terjadi pada akhir-akhir ini, budaya korupsi sudah
merambah di lingkungan eksekutif, legislatif, yudikatif, dan BUMN. Kasus kasus
Bank Century, kasus suap pada anggota DPR, Markus (makelar kasus) ala
Gayus Tambunan, korupsi perpajakan lainnya, mafia pengadilan, dan lain-lain
adalah fenomena korupsi yang sering kita dengar dan tonton di mass madia.
Kasus tersebut mengambarkan bahwa aktivitas kelembagaan, semakin lama
semakin terjebak kepada budaya koruptif bahkan mengacu budaya yang pragmatis
materialistik, padahal budaya kelembagaan haruslah jauh dari kepentingan
pragmatis materialistik dan harus mengacu pada nilai-nilai pendidikan
spiritualitas, sebagaimana yang mereka cita-citakan. Budaya kelembagaan
mestinya mampu membangun sikap dan sifat-sifat seperti jujur, tegas, hati-hati,
percaya diri, penuh pertimbangan, berani, sopan, bersemangat, lembut, dan halus,
sikap ramah, moderat dan bijaksana, rendah hati, adil, mengamalkan kebaikan,
menabur kasih sayang, hidup sederhana, taat dan patuh, sabar menjaga
kedamaian, dapat mempercayai dan dipercaya.
Memudarnya karakter anak bangsa juga ditunjukkan oleh meningkatnya
aksi-aksi yang berdampak pada rusaknya diri bangsa kita sendiri, seperti tawuran,
vandalism,

saling

caci-maki,

perkelahiran

antarsporter,

pembunuhan,

pemerkosaan, penipuan, dan sejenisnya, ketika bangsa-bangsa lain bekerja keras


mengerahkan potensi masyarakatnya untuk meningkatkan daya saing negaranya,
sebagian dari anak bangsa justru terjebak pada perilaku yang tidak produktif dan
merugikan masyarakat sendiri. Penyelesaian perbedaan pendapat dengan menggunakan kekerasan dan mengarah pada konflik horizontal bahkan SARA,

sebagaimana yang sering dipertontonkan media massa, menunjukkan semakin


memudarnya nilai-nilai kemanusiaan dan kesatuan dalam negara yang berbhineka
tunggal ika.
Kalangan anak muda, yang notabene generasi penerus bangsa juga muncul
perilaku-perilaku menyimpang dan menyedihkan. Maraknya geng motor, seks
bebas, keterlibatan dalam narkoba, tawuran, perilaku santai, ugal-ugalan di jalan
dan sebagainya merupakan beberapa kasus yang mewarnai kehidupan mereka dan
tak layak untuk diteladani.
Krisis karakter memang menjadi masalah kita bersama. krisis karakter
merupakan sikap mental yang memandang bahwa kemajuan bisa diperoleh secara
mudah, tanpa kerja keras, dan bisa dicapai dengan menadahkan tangan ataupun
dengan menuntut ke kiri dan ke kanan. Kebiasaan menimpakan kesalahan kepada
orang lain juga merupakan salah satu karakter yang menghambat kemajuan
bangsa ini. Banyaknya orang menyatakan bahwa sulitnya Indonesia mencapai
kemajuan sesudah kemerdekaan adalah akibat ulah penjajah Belanda merupakan
salah satu contoh betapa kita cara pandang menyalahkan orang lain masih saja
terpelihara dalam kehidupan bangsa ini. Penyebab rusaknya ekonomi Indonesia
sering mengambinghitamkan konspirasi Amerika Serikat, IMF, World Bank,
aaupun akibat dominasi golongan minoritas, dalam konteks ini, kita memang
terlalu mudah menyalahkan orang/bangsa lain, tanpa kita menginstropeksi diri.
Krisis karakter sudah waktunya diatasi secara struktural oleh bangsa
Indonesia, karena itu penanganan krisis karakter haruslah dimulai dari
pemahaman akan penyebab krisis di Indonesia sehingga solusi terhadap masalah
krisis karakter didasarkan pada sumber masalah. Peran lembaga pendidikan juga
diharapkan lebih proaktif, kreatif dan inovatif dalam merancang proses
pembelajaran

yang

benar-benar

mampu

memberikan

kontribusi

bagi

pembangunan pendidikan karakter. Dalam hal inilah proses pendidikan karakter


perlu dirancang dalam perspektif holistik dan kontekstual sehingga mampu
membangun pemikiran yang dialogis-kritis dalam membentuk manusia yang
berkarakter, dalam semua level masyarakat yakni keluarga, sekolah, masyarakat
dan negara.

Mengurai persoalan krisis karakter bukanlah pekerjaan yang mudah karena


penyebab krisis Indonesia sudah bersifat struktural dalam dinamika kehidupan
masyarakat. Bahkan, dalam dimensi sosiologis, krisis karakter sudah terjadi pada
unsur-unsur masyarakat yang telah berkembang secara sistemik sehingga efek
sosialnya mulai dirasakan oleh masyarakat itu sendiri.
Penyebab sebenarnya yang menjadi pemicu krisis karakter yang terus
bekelanjutan hingga kini tersebut di atas adalah sikap terlena oleh sumber daya
alam yang melimpah. Setiap pikiran orang Indonesia sejak puluhan tahun
ditanamkan pandangan bahwa Indonesia adalah negara yang kaya raya. Sumber
daya alamnya melimpah, hal ini dijadikan salah satu unsur kebanggaan bangsa
kita. Memang memiliki sumber daya alam melimpah perlu disyukuri, namun
dipihak lain, hal itu juga bisa membawa permasalahan tersendiri.
Dijelaskan dalam analisis ESQ adanya tujuh krisis moral yang terjadi di
tengah-tengah masyarakat Indonesia antara lain adalah krisis kejujuran, krisis
tanggung jawab, tidak berpikir jauh ke depan, krisis disiplin, krisis kebersamaan,
krisis keadilan. Berdasarkan paparan di atas dapat disimpulkan bahwa penyebab
krisis karakter bersifat multidimensional, sehingga solusi terhadap masalah krisis
karakter harus diatasi secara struktural.(Ginanjar : 2002)
Pendekatan struktural memberikan efek perubahan pada dimensi struktur dan
proses sosial dalam masyarakat, sehingga pembentukan karakter lebih dinamis.
Hal ini bisa terjadi karena dimensi struktur terkait dengan pranata dan peran yang
ada dalam masyarakat, sedangkan dimensi proses menekankan pada interaksi
sosial yang terjadi antarperan dalam kehidupan masyarakat. Lebih khusus lagi,
peran pendidikan sangat diharapkan menjadi kekuatan yang mampu memberikan
kontribusi bagi pembangunan karakter di Indonesia.
Pendidikan dalam era globalisasi harus menjadi the power in building
character karena pendidikan memberi bekal kepada peserta didik untuk memilah
mana

yang

baik

dan

mana

yang

kurang/tidak

baik

berdasarkan

pertimbangan-pertimbangan yang logis dan kritis. Pendidikan juga bisa menjadi


penopang bagi perubahan masyarakat. Pendidikan yang dimaksud adalah
pendidikan karakter dengan mengembangkan energi pembelajaran secara optimal.

B. Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan makalah ini adalah sbb :
1.

Memaparkan teori-teori Perencanaan pembelajaran berbasis pendidikan

karakter menurut para ahli.


2.

Memaparkan konsep pendidikan karakter

3.

Memaparkan pentingnya Pendidikan Karakter dalam Pembelajaran

4.

Memaparkan encana pembelajaran berbasis pendidikan karakter.

C. Manfaat Penulisan
1.

Mengetahui teori-teori Perencanaan pembelajaran berbasis pendidikan


karakter menurut para ahli.

2.

Mengetahui konsep pendidikan karakter

3.

Mengetahui pentingnya Pendidikan Karakter dalam Pembelajaran

4.

Mengetahui rencana pembelajaran berbasis pendidikan karakter.

BAB 2
KAJIAN TEORI
A. Pengertian Perencanaan
Perencanaan adalah menyusun langkah-langkah yang akan dilaksanakan
untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan. Perencanaan tersebut dapat disusun
berdasarkan kebutuhan dalam jangka waktu tertentu sesuai dengan keinginan
pembuat perencanaan. Namun yang lebih utama adalah perencanaan yang dibuat
harus dapat dilaksanakan dengan mudah dan tepat sasaran.
Perencanaan adalah menentukan apa yang akan dilakukan. Perencanaan
mengandung rangkaian-rangkaian putusan yang luas dan penjelasan-penjelasan
dari tujuan, penentuan kebijakan, penentuan program, penentuan metode-metode
dan prosedur tertentu dan penentuan kegiatan berdasarkan jadwal sehari-hari.
Perencanaan mencakup rangkaian kegiatan untuk menentukan tujuan umum
(goal) dan tujuan khusus (objektivitas) suatu organisasi atau lembaga
penyelenggaraan pendidikan, berdasarkan dukungan informasi yang lengkap.
Setelah tujuan ditetapkan perencanaan berkaitan dengan penyusunan pola,
rangakaian, dan proses kegiatan yang akan dilakukan untuk mencapai tujuan
tersebut. Kesimpulannya, efektifitas perencanaan berkaitan dengan penyusunan
rangkaian kegiatan untuk mencapai tujuan, dapat diukur dengan terpenuhinya
faktor kerjasama perumusan perencanaan, program kerja madrasah, dan upaya
implementasi program kerja dalam mencapai tujuan.

B. Pengertian pembelajaran
Pembelajaran adalah suatu proses yang dilakukan oleh para guru dalam
membimbing, membantu, dan mengarahkan peserta didik untuk memiliki
pengalaman belajar. Pengajaran adalah suatu cara bagaimana mempersiapkan

pengalaman belajar bagi peserta didik. (Jones at. Al dalam Mulyani Sumantri,
1988:95).

C. Pengertian Pendidikan
Secara etimologi kata pendidikan berasal dari kata "didik" yang
mendapat awalan "pe" dan akhiran "an" , maka menjadi kata pendidikan. Dari
Bahasa Yunani, pendidikan berasal dari kata pedagogi yaitu kata paid yang
artinya anak dan agogos yang artinya membimbing, sehingga pedagogi dapat
diartikan sebagai ilmu dan seni membimbing anak.
UU No. 20 Tahun 2003, tentang sistem pendidikan nasional, pendidikan
adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya
untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,
kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat,
bangsa dan Negara.
Menurut epistimologi para ahli mengemukakan berbagai arti tentang
pendidikan Prof. Zahara Idris, M.A. misalnya, mengatakan bahwa Pendidikan
ialah serangkaian kegiatan komunikasi yang bertujuan, antara manusia dewasa
dengan si anak didik secara tatap muka atau dengan menggunakan media dalam
rangka memberikan bantuan terhadap perkembangan anak seutuhnya.
Ahmad D. Marimba berpendapat bahwa Pendidikan adalah bimbingan atau
pimpinan secara sadar oleh pendidik terdapat perkembangan jasmani dan rohani
terdidik menuju terbentuknya kepribadian yang utama.
Pendidikan merupakan suatu proses yang kontinyu, yang merupakan
pengulangan yang perlahan tetapi pasti dan terus-menerus sehingga sampai pada
bentuk yang diinginkan.
Kesimpulannya bahwa pendidikan adalah usaha sadar terencana untuk

mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran atau pelatihan agar peserta
didik secara aktif dapat mengembangkan potensi dirinya supaya memiliki
kekuatan spiritual keagamaan, emosional, pengendalian diri, kepribadian,
kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya dan
masyarakat.
Konsep yang lebih jelas dituangkan adalah pendidikan yang dirumuskan
dalam UU RI No 2 th 1989. Bab 1, pasal 1. butir 1 : Pendidikan ialah usaha sadar
untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran
dan atau latihan bagi peranan masa yang akan datang.
Istilah

pendidikan

dalam

perkembangannya

berarti

bimbingan

atau

pertolongan yang diberikan secara sengaja terhadap anak didik oleh orang dewasa
agar anak didik menjadi dewasa, dalam perkembangan selanjutnya, pendidikan
berarti usaha yang dijalankan oleh seseorang atau sekelompok orang untuk
mempengaruhi seseorang atau sekelompok orang agar menjadi dewasa atau
mencapai tingkat hidup dan penghidupan yang lebih tinggi dalam arti mental,
dengan demikian pendidikan berarti, segala usaha orang dewasa dalam pergaulan
dengan anak-anak untuk memimpin perkembanagan jasmani dan rohaninya
kearah kedewasaan.

D. Pengertian Perencanaan Pendidikan


Perencanaan Pendidikan adalah suatu proses mempersiapkan seperangkat
keputusan untuk kegiatan-kegiatan di masa depan yang di arahkan untuk mencapai
tujuan-tujuan dengan cara-cara optimal untuk pembangunan ekonomi dan social
secara menyeluruh dari suatu Negara.
Perencanaan adalah suatu cara yang memuaskan untuk membuat kegiatan
dapat berjalan dengan baik, disertai dengan berbagai langkah yang antisipatif guna
memperkecil kesenjangan yang terjadi sehingga kegiatan tersebut mencapai

10

tujuan yang telah ditetapkan, sedangkan yang dimaksud pembelajaran memiliki


hakikat

perencanaan

atau

perancangan

(desain)

sebagai

upaya

untuk

membelajarkan siswa. Itulah sebabnya dalam belajar, siswa tidak hanya


berinteraksi dengan guru sebagai salah satu sumber belajar, tetapi mungkin
berinteraksi dengan keseluruhan sumber belajar yang dipakai untuk mencapai
tujuan pembelajaran yang diinginkan. Pembelajaran memusatkan perhatian pada
bagaimana membelajarkan siswa, dan bukan pada apa yangdipelajari siswa.
Adapun perhatian terhadap apa yang dipelajari siswa merupakan bidang
kajian dari kurikulum, yakni mengenai apa isi pembelajaran yang harus dipelajari
siswa agar dapat tercapainya tujuan. Pembelajaran lebih menekankan pada
bagaimana cara agar tercapai tujuan tersebut. Kaitan ini hal-hal yang tidak bisa
dilupakan untuk mencapai tujuan adalah bagaimana cara menata interaksi antara
sumber-sumber belajar yang ada agar dapat berfungsi secara optimal.
Mengacu konteks pengajaran, perencanaan dapat diartikan sebagai proses
penyusunan materi pelajaran, penggunaan media, pendekatan dan metode
pembelajaran, dan penilaian dalam suatu alokasi waktu yang akan dilaksanakan
pada masa tertentu untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan.
Secara terminologi, perencanaan pembelajaran terdiri atas dua kata, yakni
kata perencanaan dan kata pembelajaran. Pertama, perencanaan berasal dari kata
rencana yaitu pengambilan keputusan tentang apa yang harus dilakukan untuk
mencapai tujuan. Setiap perencanaan minimal harus memiliki empat unsur
sebagai berikut :
1.

Adanya tujuan yang harus dicapai.

2.

Adanya strategi untuk mencapai tujuan.

3.

Sumber daya yang dapat mendukung.

4.

Implementasi setiap keputusan.


Tujuan merupakan arah yang harus dicapai. Tujuan perlu dirumuskan dalam

11

bentuk sasaran yang jelas dan terukur agar perencanaan dapat disusun dan
ditentukan dengan baik. Dengan adanya sasaran yang jelas maka ada target yang
harus dicapai. Target itulah yang selanjutnya menjadi fokus dalam menentukan
langkah-langkah selanjutnya.
Strategi berkaitan dengan penetapan keputusan yang harus dilakukan oleh
seorang perencana, misalnya keputusan tentang waktu pelaksanaan dan jumlah
waktu yang diperlukan untuk mencapai tujuan. Penetapan sumber daya diperlukan
untuk mencapai tujuan yang meliputi penetapan sarana dan prasarana yang
diperlukan, anggaran biaya dan sumber lainnya. Implementasi adalah pelaksanaan
dari strategi dan penetapan sumber daya. Implementasi merupakan unsur penting
dalam proses perencanaan karena dapat digunakan untuk menilai efektivitas suatu
perencanaan.
Kedua, pembelajaran dapat diartikan sebagai proses kerjasama antara guru
dan siswa dalam memanfaatkan segala potensi dan sumber daya yang ada baik
yang bersumber dari dalam diri siswa itu sendiri seperti minat, bakat dan
kemampuan dasar yang dimiliki termasuk gaya belajar maupun potensi yang ada
di luar diri siswa seperti lingkungan sebagai upaya untuk mencapai tujuan belajar
tertentu.
Berdasarkan

dua

makna

tentang

konsep

perencanaan

dan

konsep

pembelajaran, maka dapat disimpulkan bahwa perencanaan pembelajaran adalah


proses pengambilan keputusan hasil berpikir secara rasional tentang sasaran dan
tujuan pembelajaran tertentu, yakni perubahan perilaku serta rangkaian kegiatan
yang harus dilaksanakan sebagai upaya pencapaian tujuan tersebut dengan
memanfaatkan segala potensi dan sumber belajar yang ada. Hasil akhir dari proses
pengambilan keputusan tersebut adalah tersusunnya dokumen yang berisi tentang
hal-hal di atas, sehingga selanjutnya dokumen tersebut dapat dijadikan sebagai
acuan dan pedoman dalam melaksanakan proses pembelajaran

12

Definisi perencanaan pendidikan apabila disimpulkan dari beberapa pendapat


tersebut, adalah suatu proses intelektual yang berkesinambungan dalam
menganalisis, merumuskan, dan menimbang serta memutuskan dengan keputusan
yang diambil harus mempunyai konsistensi (taat azas) internal yang berhubungan
secara sistematis dengan keputusan-keputusan lain, baik dalam bidang-bidang itu
sendiri maupun dalam bidang-bidang lain dalam pembangunan, dan tidak ada batas
waktu untuk satu jenis kegiatan, serta tidak harus selalu satu kegiatan mendahului
dan didahului oleh kegiatan lain.
Secara konsepsional, bahwa perencanaan pendidikan itu sangat ditentukan
oleh cara, sifat, dan proses pengambilan keputusan, sehingga nampaknya dalam hal
ini terdapat banyak komponen yang ikut memproses di dalamnya. Adapun
komponen-komponen yang ikut serta dalam proses ini adalah :
1. Tujuan pembangunan nasional bangsa yang akan mengambil keputusan
dalam rangka kebijaksanaan nasional dalam rangka kebijaksanaan nasional
dalam bidang pendidikan.
2. Masalah strategi adalah termasuk penanganan kebijakan (policy) secara
operasional yang akan mewarnai proses pelaksanaan dari perencanaan
pendidikan. Maka ketepatan pelaksanaan dari perencanaan pendidikan.
Dalam penentuan kebijakan sampai kepada palaksanaan perencanaan
pendidikan ada beberapa hal yang harus diperhatikan, yaitu : siapa yang memegang
kekuasaan, siapa yang menentukan keputusan, dan faktor-faktor apa saja yang
perlu diperhatikan dalam pengambilan keputusan. Terutama dalam hal pemegang
kekuasaan sebagai sumber lahirnya keputusan, perlu memperoleh perhatian,
misalnya mengenai system kenegaraan yang merupakan bentuk dan system
manajemennya, bagaimana dan siapa atau kepada siapa dibebankan tugas-tugas
yang terkandung dalam kebijakan itu. Juga masalah bobot untuk jaminan dapat
terlaksananya perencanaan pendidikan. Hal ini dapat diketahui melalui output atau

13

hasil system dari pelaksanaan perencanaan pendidikan itu sendiri, yaitu dokumen
rencana pendidikan.
Dari beberapa rumusan tentang perencanaan pendidikan tadi dapat dimaklumi
bahwa masalah yang menonjol adalah suatu proses untuk menyiapkan suatu konsep
keputusan yang akan dilaksanakan di masa depan. Dengan demikian, perencanaan
pendidikan dalam pelaksanaan tidak dapat diukur dan dinilai secara cepat, tapi
memerlukan waktu yang cukup lama, khususnya dalam kegiatan atau bidang
pendidikan yang bersifat kualitatif, apalagi dari sudut kepentingan nasional.

E. Pengertian Karakter
Istilah karakter diambil dari bahasa Yunani, yaitu to mark yang artinya
menandai. Istilah ini lebih fokus pada tindakan atau tingkah laku. Ada dua
pengertian tentang karakter. Pertama, karakter menunjukkan bagaimana seseorang
bertingkah laku. Apabila seseorang berperilaku tidak jujur, kejam, ataupun rakus,
tentulah orang tersebut dianggap memiliki perilaku buruk. Sebaliknya, apabila
seseorang berperilaku jujur, suka menolong, tentulah orang tersebut dianggap
memiliki karakter mulia. Kedua, istilah karakter erat kaitannya dengan
personality. Seseorang baru bisa disebut orang yang berkarakter, apabila
tingkah lakunya sesuai kaidah moral. Imam Ghozali menganggap bahwa karakter
lebih dekat dengan akhlaq, yaitu spontanitas manusia dalam bersikap atau
melakukan perbuatan yang telah menyatu dalam dirinya.
Menurut Pusat Bahasa Kementerian Pendidikan Nasional, Karakter adalah
bawaan, hati, jiwa, kepribadian, budi pekerti, perilaku, personalitas, sifat, tabiat,
temperamen, watak. Sementara berkarakter adalah berkepribadian, berperilaku,
bersifat, bertabiat dan berwatak.
Dengan demikian, karakter mulia, berarti individu itu memiliki pengetahuan
tentang potensi dirinya, yang ditandai dengan nilai-nilai seperti reflektif, percaya

14

diri, rasional, logis, kritis, analitis, kreatif dan inovatif, mandiri, hidup sehat,
bertanggung jawab, cinta ilmu, sabar, berhati-hati, rela berkorban, pemberani,
dapat dipercaya, jujur, menepati janji, adil, rendah hati, malu berbuat salah, pemaaf,
berhati lembut, setia, bekerja keras, tekun, ulet/gigih, teliti, berinisiatif, berpikir
positif, disiplin, antisipatif, inisiatif, visioner, bersahaja, bersemangat, dinamis,
hemat/efisien, menghargai waktu, pengabdian/dedikatif, pengendalian diri,
produktif, ramah, cinta keindahan (estetis), sportif, tabah, terbuka, tertib. Individu
juga memiliki kesadaran untuk berbuat yang terbaik ataupun unggul. Selain itu,
individu itu juga mampu bertindak sesuai potensi dan kesadarannya tersebut.
Karakteristik adalah realisasi perkembangan positif sebagai individu (intelektual,
emosional, sosial, etika, dan perilaku).
Individu yang berkarakter baik ataupun unggul adalah seseorang yang
berusaha melakukan hal-hal yang terbaik terhadap Tuhan Yang Maha Esa, dirinya,
sesamanya, lingkungannya, bangsa dan negaranya, serta dunia internasional pada
umumnya dengan mengoptimalkan potensi (pengetahuan) dirinya dan disertai
dengan kesadaran, emosi dan motivasinya (perasaannya).
Dalam

merumuskan

hakikat

karakter,

Simon

Philips

(2008:235)

berpendapat bahwa karakter adalah kumpulan tata nilai yang menuju pada suatu
sistem, yang melandasi pemikiran, sikap, dan perilaku yang ditampilkan.
Sedangkan Doni Koesoema A (2007:80) memahami bahwa karakter sama dengan
kepribadian. Kepribadian dianggap sebagai ciri, atau karakteristik, atau gaya,
atau sifat khas dari diri seseorang yang bersumber dari bentukan-bentukan yang
diterima dari lingkungan, misalnya lingkungan keluarga pada masa kecil dan juga
bawaan seseorang sejak lahir.
Dari pendapat di atas dapat dipahami bahwa karakter itu berkaitan dengan
kekuatan moral, berkonotasi positif, bukan netral. Jadi, orang berkarakter
adalah orang yang mempunyai kualitas moral (tertentu) positif. Dengan demikian,

15

pendidikan membangun karakter, secara implisit mengandung arti membangun


sifat atau pola perilaku yang didasari atau berkaitan dengan dimensi moral yang
positif, bukan yang negatif. Gagasan dikaitkan secara langsung character
strength dengan kebajikan. Character strength dipandang sebagai unsur-unsur
psikologis yang membangun kebajikan. Salah satu kriteria utama dari character
strength adalah bahwa karakter tersebut berkontribusi besar dalam mewujudkan
sepenuhnya potensi dan cita-cita seseorang dalam membangun kehidupan yang
baik dan bermanfaat bagi dirinya, orang lain dan bangsanya.
Karakter adalah watak, tabiat, akhlak, atau kepribadian seseorang yang
terbentuk dari hasil internalisasi berbagai kebajikan yang diyakini dan digunakan
sebagai landasan untuk cara pandang, berpikir, bersikap, dan bertindak. Kebajikan
terdiri atas sejumlah nilai, moral dan norma. Wujudnya berupa sikap jujur, berani
bertindak, dapat dipercaya, dan hormat kepada orang lain. Interaksi seseorang
dengan orang lain menumbuhkan karakter masyarakat dan

karakter bangsa.

Oleh karena itu, pengembangan karakter bangsa hanya dapat dilakukan melalui
pengembangan karakter individu seseorang. Akan tetapi, karena manusia hidup
dalam lingkungan sosial dan budaya tertentu, maka pengembangan karakter
individu seseorang hanya dapat dilakukan dalam lingkungan sosial dan budaya
yang berangkutan. Artinya, pengembangan budaya dan karakter bangsa hanya
dapat dilakukan dalam suatu proses pendidikan yang tidak melepaskan peserta
didik dari lingkungan.

BAB 3
RUMUSAN MASALAH

Dalam penyusunan perencanaan pembelajaran tentu memerhatikan aspek


aspek yang menentukan kesuksesan pendidikan itu sendiri, salah satunya dalah
peran karakter. Pendidikan bukan hanya membangun kecerdasan dan transfer of
knowledge, tetapi juga harus mampu membangun karakter atau character building
dan perilaku.

Isu pendidikan karakter menjadi mengedepan disebabkan oleh

keprihatinan kita terhadap praksis pendidikan yang semakin hari semakin tidak
jelas arah dan hasilnya.
Pendidikan yang dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang SISDIKNAS
bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang
beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,
berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta
bertanggung jawab (pasal 3). Hanya dalam kenyatan, justru banyak warga negara
yang tidak berakhlak mulia (sejenis korupsi, penyalahgunaan narkoba, dan
kekerasan), kurang mandiri (konsumtif), tidak bertanggung jawab, dan kasus lain
yang justru bertentangan dengan tujuan pendidikan nasional.
Untuk itu perlunya pendidikan berkarakter , baik dengan terintregrasi dengan
mata pelajaran atau lewat pendidikan secara khusus. Agar terlaksana kita harus
tahu bagaimana merencanakan pembelajaran dengan terintegrasi dengan
character buiding. Dengan kasus demikian maka rumusan masalah dapat
disimpulkan Bagaimana menentukan perencanaan pembelajaran berbasis
karakter?.

16

BAB 4
PEMBAHASAN

A. Konsep Pendidikan Karakter


Pendidikan adalah proses internalisasi budaya ke dalam diri seseorang dan
masyarakat sehingga membuat orang dan masyarakat jadi beradab. Pendidikan
bukan merupakan sarana transfer ilmu pengetahuan saja, tetapi lebih luas lagi,
pendidikan merupakan sarana pembudayaan dan penyaluran nilai (enkulturisasi
dan sosialisasi). Anak harus mendapatkan pendidikan yang menyentuh dimensi
dasar kemanusiaan. Dimensi kemanusiaan itu mencakup sekurang-kurangnya tiga
hal paling mendasar, yaitu:
1.

Afektif yang tercermin pada kualitas keimanan, ketakwaan, akhlak mulia

termasuk budi pekerti luhur serta kepribadian unggul dan kompetensi estetis;
2.

Kognitif yang tercermin pada kapasitas pikir dan daya intelektualitas untuk

menggali dan mengembangkan serta menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi;


3.

Psikomotorik

yang

tercermin

pada

kemampuan

mengembangkan

keterampilan teknis, kecakapan praktis, dan kompetensi kinestetis.


Menurut Prof. Wuryadi, manusia pada dasarnya baik secara individu dan
kelompok, memiliki apa yang jadi penentu watak dan karakternya yaitu dasar dan
ajar. Dasar dapat dilihat sebagai apa yang disebut modal biologis (genetik) atau
hasil pengalaman yang sudah dimiliki (teori konstruktivisme), sedangkan ajar
adalah kondisi yang sifatnya diperoleh dari rangkaian pendidikan atau perubahan
yang direncanakan atau diprogram.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) merumuskan fungsi dan tujuan pendidikan
nasional yang harus digunakan dalam mengembangkan upaya pendidikan di
Indonesia. Pasal 3 UU Sisdiknas menyebutkan,

17

Pendidikan nasional berfungsi

18

mengembangkan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat


dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa; bertujuan untuk berkembangnya
potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada
Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri
dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Tujuan

pendidikan nasional itu merupakan rumusan mengenai kualitas manusia Indonesia


yang harus dikembangkan oleh setiap satuan pendidikan. Oleh karena itu,
rumusan tujuan pendidikan nasional menjadi dasar dalam pengembangan karakter
bangsa.
Atas dasar pemikiran itu, pengembangan pendidikan karakter sangat strategis
bagi keberlangsungan dan keunggulan bangsa di masa mendatang. Pengembangan
itu harus dilakukan melalui perencanaan yang baik, pendekatan yang sesuai, dan
metode belajar serta pembelajaran yang efektif. Sesuai dengan sifat suatu nilai,
pendidikan budaya dan karakter bangsa adalah usaha bersama sekolah; oleh
karenanya harus dilakukan secara bersama oleh semua guru dan pemimpin
sekolah, melalui semua mata pelajaran, dan menjadi bagian yang tak terpisahkan
dari budaya sekolah.
Di sinilah, pendidikan karakter menjadi suatu sistem penanaman nilai-nilai
karakter warga sekolah yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau
kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut. Pendidikan
karakter juga dapat dimaknai sebagai the deliberate use of all dimensions of school
life to foster optimal character development. Dalam pendidikan karakter di
sekolah, semua komponen (pemangku pendidikan) harus dilibatkan, termasuk
komponen-komponen pendidikan itu sendiri, yaitu isi kurikulum, proses
pembelajaran dan penilaian, penanganan atau pengelolaan mata pelajaran,
pengelolaan

sekolah,

pelaksanaan

aktivitas

atau

kegiatan

ko-kurikuler,

pemberdayaan sarana prasarana, pembiayaan, dan etos kerja seluruh warga

19

sekolah. Di samping itu, pendidikan karakter juga dapat dimaknai sebagai suatu
perilaku yang harus dilakukan warga sekolah untuk menyelenggarakan pendidikan
yang berkarakter.
Pendidikan karakter dimaknai sebagai berikut: character education is the
deliberate effort to help people understand, care about, and act upon core ethical
values. When we think about the kind of character we want for our children, it is
clear that we want them to be able to judge what is right, care deeply about what is
right, and then do what they believe to be right, even in the face of pressure from
without and temptation from within. Lebih lanjut dijelaskan bahwa pendidikan
karakter adalah segala sesuatu yang dilakukan guru, yang mampu mempengaruhi
karakter peserta didik. Guru membantu membentuk watak peserta didik. Hal ini
mencakup keteladanan bagaimana perilaku guru, cara guru berbicara atau
menyampaikan materi, bagaimana guru bertoleransi, dan berbagai hal terkait
lainnya.
Pendidikan karakter memiliki esensi dan makna yang sama dengan pendidikan
moral dan pendidikan akhlak. Tujuannya adalah membentuk pribadi anak, supaya
menjadi manusia yang baik, warga masyarakat, dan warga negara yang baik.
Adapun kriteria manusia yang baik, warga masyarakat yang baik dan warga negara
yang baik bagi suatu masyarakat dan bangsa, secara umum adalah nilai-nilai sosial
tertentu, yang banyak dipengaruhi oleh budaya masyarakat dan bangsanya. Oleh
karena itu, hakikat dari pendidikan karakter dalam konteks pendidikan di Indonesia
adalah pedidikan nilai, yakni pendidikan nilai-nilai luhur yang bersumber dari
budaya bangsa Indonesia sendiri, dalam rangka membina kepribadian generasi
muda.
Pendidikan karakter berpijak dari karakter dasar manusia, yang bersumber dari
nilai moral universal (bersifat absolut) sebagai pengejawantahan nilai-nilai agama
yang biasa disebut the golden rule. Pendidikan karakter dapat memiliki tujuan yang

20

pasti, apabila berpijak dari nilai-nilai karakter dasar tersebut. Menurut para ahli
psikolog, beberapa nilai karakter dasar tersebut adalah: cinta kepada Allah dan
ciptaan-Nya (alam dengan isinya), tanggung jawab, jujur, hormat dan santun, kasih
sayang, peduli, kerjasama, percaya diri, kreatif, kerja keras, pantang menyerah,
keadilan kepemimpinan, baik, rendah hati, toleransi, cinta damai dan cinta
persatuan.
Pendapat lain mengatakan bahwa karakter dasar manusia terdiri dari: dapat
dipercaya, rasa hormat, perhatian, peduli, jujur, tanggung jawab, tulus, berani,
tekun, disiplin, visioner, adil, dan integritas. Atas dasar itulah, penyelenggaraan
pendidikan karakter di sekolah harus berpijak kepada nilai-nilai karakter dasar yang
selanjutnya dikembangkan menjadi nilai-nilai yang lebih banyak atau lebih tinggi
(yang bersifat tidak absolut atau bersifat relatif) sesuai dengan kebutuhan, kondisi
dan lingkungan sekolah itu sendiri.
Dewasa ini banyak pihak menuntut peningkatan intensitas dan kualitas
pelaksanaan pendidikan karakter pada lembaga pendidikan formal. Tuntutan
tersebut didasarkan pada fenomena sosial yang berkembang, yakni meningkatnya
kenakalan remaja dalam masyarakat, seperti perkelahian massal dan berbagai kasus
dekadensi moral lainnya. Bahkan, di kota-kota besar tertentu, gejala tersebut telah
sampai pada taraf yang sangat meresahkan. Oleh karena itu, lembaga pendidikan
formal sebagai wadah resmi pembinaan generasi muda diharapkan dapat
meningkatkan peranannya dalam pembentukan kepribadian peserta didik melalui
peningkatan intensitas dan kualitas pendidikan karakter.
Para pakar pendidikan pada umumnya sependapat tentang pentingnya upaya
peningkatan pendidikan karakter pada jalur pendidikan formal. Namun demikian,
ada perbedaan-perbedaan pendapat di antara mereka tentang pendekatan dan
modus pendidikannya. Berhubungan dengan pendekatan, sebagian pakar
menyarankan penggunaan pendekatan-pendekatan pendidikan moral yang

21

dikembangkan di negara-negara barat, seperti: pendekatan perkembangan moral


kognitif, pendekatan analisis nilai dan pendekatan klarifikasi nilai. Sebagian yang
lain menyarankan penggunaan pendekatan tradisional, yakni melalui penanaman
nilai-nilai sosial tertentu dalam diri peserta didik.
Berdasarkan grand design yang dikembangkan Kemendiknas, secara
psikologis dan sosial kultural pembentukan karakter dalam diri individu merupakan
fungsi dari seluruh potensi individu manusia (kognitif, afektif, konatif, dan
psikomotorik) dalam konteks interaksi sosial kultural (dalam keluarga, sekolah,
dan masyarakat) dan berlangsung sepanjang hayat. Konfigurasi karakter dalam
konteks

totalitas

proses

psikologis

dan

sosial-kultural

tersebut

dapat

dikelompokkan dalam: Olah Hati (Spiritual and emotional development) , Olah


Pikir (intellectual development), Olah Raga dan Kinestetik (Physical and kinestetic
development) dan Olah Rasa dan Karsa (Affective and Creativity development)
yang secara diagramatik dapat digambarkan sebagai berikut.
RUANG LINGKUP PENDIDIKAN KARAKTER
cerdas, kritis,
kreatif, inovatif,
ingin tahu, berpikir
terbuka, produktif,
berorientasi Ipteks,
dan reflektif

bersih dan sehat,


disiplin, sportif,
tangguh, andal,
berdaya tahan,
bersahabat,
kooperatif,
determinatif,
kompetitif, ceria,
dan gigih

OLAH
PIKIR

OLAH
HATI

OLAH
RAGA

OLAH
RASA/
KARSA

beriman dan bertakwa,


jujur, amanah, adil,
bertanggung jawab,
berempati, berani
mengambil resiko,
pantang menyerah, rela
berkorban, dan berjiwa
patriotik

ramah, saling
menghargai, toleran,
peduli, suka menolong,
gotong royong,
nasionalis, kosmopolit ,
mengutamakan
kepentingan umum,
bangga menggunakan
bahasa dan produk
Indonesia, dinamis,
kerja keras, dan beretos
kerja

Gambar 1.1 Ruang lingkup Pendidikan Karakter

22

Para pakar telah mengemukakan berbagai teori tentang pendidikan moral,


diantara berbagai teori yang berkembang, ada lima teori yang banyak digunakan;
yaitu: 1) pendekatan pengembangan rasional, 2) pendekatan pertimbangan, 3)
pendekatan klarifikasi nilai, 4) pendekatan pengembangan moral kognitif, dan 5)
pendekatan perilaku sosial. Berbeda dengan klasifikasi tersebut, Elias (1989)
mengklasifikasikan berbagai teori yang berkembang menjadi tiga, yakni: 1)
pendekatan kognitif, 2) pendekatan afektif, dan 3) pendekatan perilaku. Klasifikasi
didasarkan pada tiga unsur moralitas, yang biasa menjadi tumpuan kajian psikologi,
yakni: perilaku, kognisi, dan afeksi.
Berdasarkan pembahasan di atas dapat ditegaskan bahwa pendidikan karakter
merupakan upaya-upaya yang dirancang dan dilaksanakan secara sistematis untuk
membantu peserta didik memahami nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan,
kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata krama, budaya dan adat istiadat.

B. Pentingnya Pendidikan Karakter dalam Pembelajaran


Undang-undang No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional
pada Pasal 3,menyebutkan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan
kemampuan dan membentuk karakter serta peradaban bangsa yang bermartabat
dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Pendidikan nasional bertujuan
untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman
dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu,
cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta
bertanggung jawab.
Berdasarkan fungsi dan tujuan pendidikan nasional, jelas bahwa pendidikan
di setiap jenjang, harus diselenggarakan secara sistematis guna mencapai tujuan

23

tersebut. Hal tersebut berkaitan dengan pembentukan karakter peserta didik


sehingga mampu bersaing, beretika, bermoral, sopan santun dan berinteraksi
dengan masyarakat.
Pendidikan karakter merupakan perpaduan yang seimbang diantara empat
hal yaitu, olah hati, olah pikir, olah rasa, dan olah raga. Olah hati bermakna
berkata, bersikap, dan berperilaku jujur. Olah pikir, cerdas yang selalu merasa
membutuhkan pengetahuan. Olah rasa artinya memiliki cita-cita luhur, dan olah
raga maknanya menjaga kesehatan seraya menggapai cita-cita tersebut. Dengan
memadukan secara seimbang keempat anasir kepribadian itu, peserta didik akan
mampu menghayati dan membatinkan nilai-nilai luhur pendidikan karakter.
Banyak yang beranggapan kesuksesan seseorang banyak ditentukan oleh
pengetahuan dan kemampuan teknis (hard skill) saja. Sesungguhnya tidaklah
benar bila ditentukan oleh pengetahuan dan kemampuan teknis semata, tetapi
lebih dominan ditentukan oleh kemampuan mengelola diri dan orang lain (soft
skill). Kesuksesan hanya ditentukan sekitar 20 persen oleh hard skill dan sisanya
80 persen oleh soft skill. Bahkan orang-orang tersukses di dunia bisa berhasil
dikarenakan lebih banyak didukung kemampuan soft skill daripada hard skill. Hal
ini

mengisyaratkan

bahwa

pendidikan

karakter

sangat

penting

untuk

dikembangkan.
Berbicara masalah pendidikan karakter, tentu tidak terlepas dari pengertian
karakter itu sendiri. Karakter merupakan nilai-nilai perilaku manusia yang
berhubungan dengan Sang Pencipta, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan,
dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan
perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata krama, budaya, dan adat
istiadat. Dengan demikian, pendidikan karakter dapat pula dimaknai sebagai suatu
sistem penanaman nilai-nilai karakter kepada warga sekolah yang meliputi
komponen pengetahuan, kesadaran dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai

24

tersebut, baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama, lingkungan,
maupun kebangsaan sehingga menjadi manusia insan kamil.
Penerapan pendidikan karakter dalam konteks keindonesiaan, merupakan
kebutuhan yang tidak dapat ditawar-tawar lagi. Para putra putri bangsa telah
banyak pemborong medali dalam setiap kompetisi olimpiade sains internasional.
Mereka mereka membutuhkan penghargaan sebagai bagian implementasi
pendidikan karakter. Namun di sisi lain, kasus siswa-siswi cacat moral seperti
siswi married by accident, aksi pornografi, kasus narkoba, plagiatisme dalam
ujian, dan sejenisnya, senantiasa

marak menghiasi sejumlah media. Bukan

hanya terbatas pada peserta didik, lembaga-lembaga pendidikan maupun instansi


pemerintahan yang notabene diduduki oleh orang-orang penyandang gelar
akademis, pun tak luput terjangkiti virus dekadensi moral.
Realitas mencengangkan tersebut dapat dianalogikan sebagai sebuah
tamparan keras bagi bangsa. Para stakeholders dan pendidik yang tadinya
diharapkan menjadi ing ngarsa sung tulada, ing madya mangun karsa, dan tut
wuri handayani, malah lebih menyuburkan slogan sarkastik: guru kencing berdiri,
murid kencing berlari.
"Ketidaksehatan" lingkungan pendidikan inilah yang akhirnya mendorong
munculnya tren homeschooling dan pendidikan virtual. Model pendidikan baru ini
kian membuat sistem pendidikan formal tersisih. Tak sedikit keluarga peserta
didik yang lantas mengalihkan anaknya untuk mengikuti program homeschooling
karena khawatir akan pengaruh lingkungan sekolah yang tak lagi steril.
Penyebab lain, tak jarang peserta didik mengalami tekanan psikologis di sekolah
non-virtual disebabkan interaksi dengan guru yang terlalu kaku dan otoriter, plus
tekanan pergaulan antarsiswa. Naasnya, pendidikan virtual bukannya memberikan
solusi, malah membuat peserta didik semakin tercabut dari persinggungan realitas
sosialnya.

25

Berbagai fenomena di atas menuntut agar sistem pendidikan dikaji ulang.


Dalam hal ini, kurikulum sebagai standar pedoman pembelajaran belum
sepenuhnya mengejawantahkan tujuan utama pendidikan itu sendiri, yaitu
membentuk generasi cerdas komprehensif. Oleh karena itu, diperlukan reformasi
pendidikan, demi memulihkan kesenjangan antara kualitas intelektual dengan
nilai-nilai moral etika, budaya dan karakter.
Proses pendidikan di samping sebagai transfer pengetahuan, seharusnya
menjadi alat transformasi nilai-nilai moral dan character building.Semakin
terdidik seseorang, secara logis, seharusnya semakin tahu mana jalan yang benar
dan mana jalan yang menyimpang, sehingga ilmu dan kualitas akademis yang
didapatkan tidak disalahgunakan.
Pendidikan karakter berupaya menjawab berbagai problema pendidikan
dewasa ini. Pendidikan

tersebut adalah sebuah konsep pendidikan integratif

yang tidak hanya bertumpu pada pengembangan kompetisi kognitif peserta didik
semata, tetapi juga pada penanaman nilai etika, moral, dan spritual.
Untuk mewujudkan pendidikan karakter, tidaklah perlu dibuat mata pelajaran
baru, tetapi cukup diintegrasikan dalam pembelajaran pada setiap mata pelajaran.
Salah satu cara yang efektif dengan mengubah atau menyusun silabus dan RPP
dengan menyelipkan norma atau nilai-nilai dalam konteks kehidupan sehari-hari.
Dengan demikian, pembelajaran nilai-nilai karakter tidak hanya pada tataran
kognitif, tetapi menyentuh pada internalisasi, dan pengamalan nyata dalam
kehidupan peserta didik sehari-hari di masyarakat. Salah satunya dengan
mengambangkan pembelajaran kontekstual.
Pendidikan karakter mengantarkan siswa untuk belajar memaknai kearifan.
Meski secara fisiologis dan psikologis, siswa belum mengerti tentang hal itu,
namun bila melihat bahwa esensi pendidikan pada hakikatnya adalah peniruan dan
pembiasaan, maka kearifan patut dikenalkan sejak dini.

26

C. Landasan Utama Pendidikan Berbasis Karakter


Landasan utama pengembangan model pendidikan karakter ini adalah: (1)
pendekatan

komprehensif

dalam

pendidikan

karakter,

(2)

pembelajaran

terintegrasi, dan (3) pengembangan kultur.


1.

Pendekatan Komprehensif dalam Pendidikan Karakter


Kondisi masa kini sangat berbeda dengan kondisi masa lalu. Pendekatan

pendidikan karakter yang dahulu cukup efektif, tidak sesuai lagi untuk
membangun generasi sekarang dan yang akan datang. Bagi generasi masa lalu,
pendidikan karakter yang bersifat indoktrinatif sudah cukup memadai untuk
membendung

terjadinya

kemasyarakatan,

perilaku

meskipun

hal

yang
itu

menyimpang

tidak

mungkin

dari

norma-norma

dapat

membentuk

pribadi-pribadi yang memiliki kemandirian. Sebagai gantinya, diperlukan


pendekatan pendidikan karakter yang memungkinkan subjek didik mampu
mengambil keputusan secara mandiri dalam memilih nilai-nilai yang saling
bertentangan, seperti yang terjadi dalam kehidupan pada saat ini. Strategi tunggal
tampaknya sudah tidak cocok lagi, apalagi yang bernuansa indoktrinasi.
Pemberian teladan saja juga kurang efektif, karena sulitnya menentukan yang
paling

tepat

untuk

dijadikan

teladan.

Dengan

kata

lain,

diperlukan

multipendekatan atau yang oleh Kirschenbaum (1995) disebut pendekatan


komprehensif.
Istilah komprehensif yang digunakan dalam pendidikan karakter mencakup
berbagai

aspek.

Pertama,

isinya

harus

komprehensif,

meliputi

semua

permasalahan yang berkaitan dengan pilihan nilai-nilai yang bersifat pribadi


sampai pertanyaan-pertanyaan mengenai etika secara umum.
Kedua, metodenya harus komprehensif. Termasuk di dalamnya inkulkasi
(penanaman) nilai, pemberian teladan, penyiapan generasi muda agar dapat
mandiri dengan mengajarkan dan memfasilitasi pembuatan keputusan moral

27

secara bertanggung jawab, dan berbagai

keterampilan hidup (soft skills).

Generasi muda perlu memeroleh penanaman nilai-nilai tradisional dari orang


dewasa yang menaruh perhatian kepada mereka, yaitu para anggota keluarga,
pendidik, dan pemuka masyarakat. Mereka juga memerlukan teladan dari orang
dewasa mengenai integritas kepribadian dan kebahagiaan hidup. Demikian juga
mereka perlu difasilitasi untuk berlatih memecahkan masalah, serta mempelajari
keterampilan-keterampilan (soft skills) yang diperlukan supaya sukses dalam
kehidupan.
Ketiga, pendidikan karakter hendaknya terjadi dalam keseluruhan proses
pendidikan di kelas, dalam kegiatan ekstrakurikuler, dalam proses bimbingan dan
penyuluhan, dalam upacara-upacara pemberian penghargaan, dan semua aspek
kehidupan. Beberapa contoh mengenai hal ini misalnya kegiatan belajar kelompok,
penggunaan bahan-bahan bacaan dan topik- topik tulisan mengenai 1)kebaikan, 2)
pemberian teladan ,3) tidak merokok, 4)tidak korup, 5)tidak munafik,
6)dermawan, 7)menyayangi sesama makhluk Tuhan, dan sebagainya.
Keempat, pendidikan karakter hendaknya terjadi melalui kehidupan dalam
masyarakat. Orang tua, ulama, penegak hukum, polisi, dan organisasi
kemasyarakatan,

semua perlu berpartisipasi

dalam pendidikan

karakter.

Konsistensi semua pihak dalam melaksanakan pendidikan karakter mempengaruhi


karakter generasi muda.
Selanjutnya akan diuraikan beberapa hal terkait dengan pendekatan
komprehensif dalam pendidikan karakter.
a.

Metode Komprehensif
Metode komprehensif meliputi dua metode tradisional, yaitu inkulkasi

(penanaman) nilai dan pemberian teladan serta dua metode kontemporer, yaitu
fasilitasi nilai dan pengembangan keterampilan hidup (soft skills).
Inkulkasi (penanaman) nilai memiliki ciri-ciri berikut ini:

28

1) mengomunikasikan kepercayaan disertai alasan yang mendasarinya;


2) memperlakukan orang lain secara adil;
3) menghargai pandangan orang lain;
4) mengemukakan keragu-raguan atau perasaan tidak percaya disertai dengan
alasan dan dengan rasa hormat;
5) tidak sepenuhnya mengontrol lingkungan untuk meningkatkan kemungkinan
penyampaian nilai-nilai yang dikehendaki, dan mencegah kemungkinan
penyampaian nilai-nilai yang tidak dikehendaki;
6) menciptakan pengalaman sosial dan emosional mengenai nilai-nilai yang
dikehendaki, tidak secara ekstrem;
7) membuat aturan, memberikan penghargaan, dan memberikan konsekuensi
disertai alasan;
8) tetap membuka komunikasi dengan pihak yang tidak setuju; dan
9) memberikan kebebasan bagi adanya perilaku yang berbeda-beda, apabila
sampai pada tingkat yang tidak dapat diterima, diarahkan untuk memberikan
kemungkinan berubah.
Pendidikan karakter seharusnya tidak menggunakan metode indoktrinasi yang
memiliki ciri-ciri yang bertolak belakang dengan inkulkasi seperti tersebut di atas.
Dalam pendidikan karakter, pemberian teladan merupakan metode yang biasa
digunakan. Untuk dapat menggunakan metode ini, ada dua syarat yang harus
dipenuhi. Pertama, pendidik atau orang tua harus berperan sebagai model atau
pemberi teladan yang baik bagi peserta didik atau anak-anak. Kedua, anak-anak
harus meneladani orang-orang terkenal yang berakhlak mulia, terutama Nabi
Muhammad saw. bagi yang beragama Islam dan para nabi yang lain bagi yang
beragama selain Islam (non-Muslim). Cara guru dan orang tua menyelesaikan
masalah secara adil, menghargai pendapat anak, dan mengritik orang lain secara
santun, merupakan perilaku yang secara alami dijadikan teladan oleh anak-anak.

29

Demikian juga apabila guru dan orang tua berperilaku yang sebaliknya,
anak-anak juga secara tidak sadar akan menirunya. Oleh karena itu, para guru dan
orang tua harus berhati-hati dalam bertutur kata dan bertindak, supaya tidak
tertanamkan nilai-nilai negatif dalam sanubari anak.
Guru dan orang tua perlu memiliki keterampilan asertif dan keterampilan
menyimak. Kedua keterampilan ini sangat diperlukan untuk menjalin hubungan
antarpribadi dan antarkelompok. Oleh karena itu, perlu dijadikan contoh bagi
anak-anak. Keterampilan asertif adalah keterampilan mengemukakan pendapat
secara terbuka, dengan cara-cara yang tidak melukai perasaan orang lain.
Keterampilan menyimak ialah keterampilan mendengarkan dengan penuh
pemahaman dan secara kritis. Kedua keterampilan ini oleh Bolton (Darmiyati
Zuchdi, 2010: 177) digambarkan sebagai yin dan yang. Keduanya harus
dikembangkan secara seimbang karena merupakan komponen vital dalam
berkomunikasi.
Inkulkasi dan keteladanan mendemonstrasikan kepada subjek didik cara yang
terbaik untuk mengatasi berbagai masalah, sedangkan fasilitasi nilai melatih
subjek didik mengatasi masalah-masalah tersebut. Bagian yang terpenting dalam
metode fasilitasi ini adalah pemberian kesempatan kepada subjek didik.
Kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh subjek didik dalam pelaksanaan metode
fasilitasi nilai membawa dampak positif pada perkembangan kepribadian.
Metode yang terakhir, pengembangan keterampilan hidup (soft skills). Ada
berbagai keterampilan yang diperlukan agar seseorang dapat mengamalkan
nilai-nilai yang dianut, sehingga berperilaku konstruktif dan bermoral dalam
masyarakat. Keterampilan tersebut antara lain: berpikir kritis, berpikir kreatif,
berkomunikasi secara jelas, menyimak, bertindak asertif, dan menemukan resolusi
konflik, yang secara ringkas disebut keterampilan akademik dan keterampilan
sosial.

30

b. Evaluasi Komprehensif
Evaluasi dilakukan untuk mengetahui ketercapaian tujuan. Oleh karena itu,
perlu dibahas lebih dulu secara ringkas tujuan pendidikan karakter. Secara
lengkap, tujuan pendidikan karakter harus meliputi tiga kawasan yakni
pemikiran/penalaran, perasaan, dan perilaku.
Supaya tujuan pendidikan karakter yang berujud perilaku yang baik dapat
tercapai, subjek didik harus sudah memiliki kemampuan berpikir/bernalar dalam
permasalahan nilai/moral sampai dapat membuat keputusan secara mandiri dalam
menentukan tindakan apa yang harus dilakukan. Dalam hal ini
Kohlberg, berdasarkan penelitian longitudinal, telah berhasil meredefinisi
pemikiran Dewey mengenai reflective thinking dan memvalidasi karya Piaget
mengenai

perkembangan

berpikir,

kemudian

menyusun

tingkat-tingkat

perkembangan moral Kohlberg menemukan tiga tingkat penalaran mengenai


permasalahan (issue) moral dan dalam setiap tingkat ada dua tahap sehingga
seluruhnya ada enam tahap penalaran moral. Tiga tingkat tersebut adalah
prakonvensional, konvensional, dan pascakonvensional (Darmiyati Zuchdi, 2009).
Tingkat prakonvensional ditandai oleh keyakinan bahwa berarti mengikuti
aturan konkret untuk menghindari hukuman penguasa. Perilaku yang benar adalah
yang dapat memenuhi keinginan sendiri atau keinginan penguasa. Pada tingkat
konvensional, berarti memenuhi harapan masyarakat. Keinginan bertindak sesuai
dengan harapan masyarakat mengarahkan seseorang untuk berperilaku yang baik.
Pandangan sosial, loyalitas, dan persetujuan oleh pihak lain merupakan perhatian
utama orang yang penalarannya pada tingkat konvensional. Yang terakhir, tingkat
pascakonvensional atau berprinsip ditandai oleh kebenaran, nilai, atau
prinsip-prinsip yang bersifat umum atau universal yang menjadi tanggung jawab,
baik individu maupun masyarakat untuk mendukungnya (Arbuthnot, lewat
Darmiyati Zuchdi, 1988: 29).

31

Untuk mengetahui kedudukan seseorang dalam tahap perkembangan


penalaran moral di atas, Kohlberg menggunakan dilema moral. Dari keputusan
moral seseorang dalam menghadapi dilema tersebut, disertai alasan yang
mendasari keputusan tersebut, dapat ditentukan pada tahap yang mana seseorang
berada.
Namun diskusi dilema moral hanya dapat meningkatkan pemikiran moral
seseorang, belum dapat mencapai kesatuan antara pemikiran moral dan tindakan
moral. Oleh karena itu, evaluasi yang dapat menggambarkan tingkat dan tahap
penalaran moral tersebut harus dilengkapi dengan evaluasi terhadap tingkat
perkembangan afektif yang terkait dengan permasalahan nilai/moral.
Sebagai halnya Kohlberg yang telah menghasilkan temuan tentang
perkembangan moral dalam ranah kognitif, Dupont (Darmiyati Zuchdi, 2009:27)
telah menemukan tahap-tahap perkembangan afektif sebagai berikut:
1) Impersonal, egocentric: tidak jelas strukturnya.
2) Heteronomous: berstruktur unilateral, vertikal.
3) Antarpribadi: berstruktur horizontal, bilateral.
4) Psychological-Personal: menjadi dasar keterlibatan orang lain atau komitmen
pada sesuatu yang ideal.
5) Autonomous: didominasi oleh sifat otonomi.
6) Integritous: memiliki integritas, mampu mengontrol diri secara sadar.
Untuk menentukan seseorang berada pada tahap perkembangan afektif yang
mana, Dupont menggunakan instrumen yang menuntut adanya respons yang
melibatkan perasaan. Di samping cara tersebut, dapat juga dilakukan pengukuran
dengan menggunakan skala sikap, seperti yang dikembangkan oleh Likert atau
Guttman, semantic differential yang dikembangkan oleh Nuci, atau cara yang lain.
Meskipun namanya skala sikap, karakteristik afektif yang dievaluasi dapat pula
minat, motivasi, apresiasi, kesadaran akan harga diri, dan nilai.

32

Perilaku moral atau tindakan moral (moral action) hanya mungkin dievaluasi
secara akurat dengan melakukan pengamatan dalam jangka waktu yang relatif
lama, secara terus-menerus. Dengan demikian, dapat ditarik kesimpulan apakah
perilaku orang yang diamati sudah menunjukkan karakter atau kualitas akhlak
yang akan dievaluasi, misalnya, apakah orang tersebut benar-benar jujur, adil,
disiplin, beretos kerja, bertanggung jawab, dsb. Pengamat

harus orang yang

sudah mengenal orang-orang yang diamatii agar penafsirannya terhadap perilaku


yang muncul tidak salah.
2.

Pembelajaran Terintegrasi
Pembelajaran terintegrasi dapat memberikan pengalaman yang bermakna

kepada

peserta

didik,

keterampilan-keterampilan

karena
dan

mereka

nilai-nilai

memahami
yang

mereka

konsep-konsep,
pelajari

dengan

menghubungkannya dengan konsep dan keterampilan lain yang sudah mereka


pahami. Konsep dan keterampilan tersebut dapat berasal dari satu bidang studi
(intrabidang studi), dapat pula dari beberapa bidang studi (antarbidang studi).
Pengalaman ini sangat diperlukan dalam kehidupan, mengingat masalah yang
dihadapi hanya mungkin dapat diatasi secara tuntas dengan memanfaatkan
berbagai bidang ilmu secara interdisipliner atau multidisipliner.
Pembelajaran terpadu beranjak dari suatu tema sebagai pusat perhatian, yang
digunakan untuk menguasai berbagai konsep dan keterampilan. Hal ini dapat
mengembangkan pengetahuan dan keterampilan secara simultan. Dengan
menggabungkan sejumlah konsep dan keterampilan, diharapkan peserta didik
akan belajar dengan lebih baik dan bermakna.
Ada berbagai model pembelajaran terpadu, tiga di antaranya adalah model
terhubung (connected), model jaring laba-laba (webbed), dan model terintegrasi
(integrated). Model terhubung adalah model pembelajaran yang menghubungkan
secara eksplisit suatu topik dengan topik berikutnya, suatu konsep dengan konsep

33

lain, suatu keterampilan dengan keterampilan lain, atau suatu tugas dengan tugas
berikutnya, dalam satu bidang studi. Berikutnya model jaring laba-laba
merupakan model pembelajaran yang menggunakan pendekatan tematik untuk
mengintegrasikan beberapa beberapa bidang studi. Yang terakhir, model
terintegrasi ialah model pembelajaran yang menggabungkan berbagai bidang studi
dengan mene-mukan konsep, keterampilan, dan sikap yang saling tumpah tindih.
Di antara ketiga model tersebut, yang paling sering digunakan adalah model
yang kedua, yakni model yang menggunakan pendekatan tematik. Tema-tema
yang digunakan untuk pendidikan karakter dengan pendekatan komprehensif,
yang diintegrasikan dalam perkuliahan dan pengembangan kultur universitas pada
program implementasi tahun pertama (2010), antara lain: ketaatan beribadah,
kejujuran, tanggung jawab, kedisplinan, kerja sama, kepedulian, dan hormat pada
orang lain.
3.

Pengembangan Kultur
Guna menciptakan kultur yang bermoral perlu diciptakan lingkungan sosial

yang dapat mendorong subjek didik memiliki moralitas yang baik/karakter yang
terpuji. Sebagai contoh, apabila suatu perguruan tinggi memiliki iklim demokratis,
para mahasiswa terdorong untuk bertindak demokratis. Sebaliknya apabila suatu
perguruan tinggi terbiasa memraktikkan tindakan-tindakan otoriter, sulit bagi
mahasiswa untuk dididik menjadi pribadi-pribadi yang demokratis.
Demikian juga apabila perguruan tinggi dapat menciptakan lingkungan sosial
yang menjunjung tinggi kejujuran dan rasa tanggung jawab maka lebih mudah
bagi para mahasiswa untuk berkembang menjadi pribadi-pribadi yang jujur dan
bertanggung jawab. Namun, masyarakat secara umum juga perlu memiliki kultur
yang senada dengan yang dikembangkan di lembaga pendidikan.
Berikut ini enam elemen kultur lembaga pendidikan yang baik :
a.

Pimpinan lembaga pendidikan memiliki kepemimpinan moral dan akademik.

34

b.

Disiplin ditegakkan di lembaga pendidikan secara menyeluruh.

c.

Masyarakat kampus memiliki rasa persaudaraan.

d.

Organisasi siswa / mahasiswa menerapkan kepemimpinan demokratis dan

menumbuhkan rasa bertanggung jawab bagi para mahasiswa untuk menjadikan


perguruan tinggi mereka menjadi perguruan tinggi yang terbaik.
e.

Hubungan semua warga kampus bersifat saling menghargai, adil, dan

bergotong royong.
f.

Perguruan tinggi / sekolah meningkatkan perhatian terhadap moralitas

dengan menggunakan waktu tertentu untuk mengatasi masalah-masalah moral.

D. Tujuan, Fungsi, dan Media Pendidikan karakter


Pendidikan karakter pada intinya bertujuan membentuk bangsa yang tangguh,
kompetitif, berakhlak mulia, bermoral, bertoleran, bergotong royong, berjiwa
patriotik, berkembang dinamis, berorientasi ilmu pengetahuan dan teknologi yang
semuanya dijiwai oleh iman dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa berdasarkan
Pancasila.
Pendidikan karakter berfungsi (1) mengembangkan potensi dasar agar berhati
baik, berpikiran baik, dan berperilaku baik; (2) memperkuat
perilaku bangsa yang multikultur;

dan membangun

(3) meningkatkan peradaban bangsa yang

kompetitif dalam pergaulan dunia. Pendidikan karakter dilakukan melalui


berbagai media yang mencakup keluarga, satuan pendidikan, masyarakat sipil,
masyarakat politik, pemerintah, dunia usaha, dan media massa.

E. Nilai-nilai Pembentuk Karakter


Dalam rangka lebih memperkuat pelaksanaan pendidikan karakter telah
teridentifikasi 18 nilai yang bersumber dari agama, Pancasila, budaya dan tujuan
pendidikan nasional, yaitu: (1) Religius, (2) Jujur, (3) Toleransi, (4) Disiplin, (5)

35

Kerja keras, (6) Kreatif, (7) Mandiri, (8) Demokratis, (9) Rasa Ingin Tahu, (10)
Semangat Kebangsaan, (11) Cinta Tanah Air, (12) Menghargai Prestasi, (13)
Bersahabat/Komunikatif, (14) Cinta Damai, (15) Gemar Membaca, (16) Peduli
Lingkungan, (17) Peduli Sosial, & (18) Tanggung.

F. Menentukan Perencanaan Pembelajaran berbasis Pendidikan Karakter


Beredar anggapan bahwa sesungguhnya pendidikan karakter sudah
ditanamkan semenjak dulu. Namun kenapa sekarang dihadirkan kembali dalam
ranah pembelajaran? Ini tak lepas dari tuntutan dunia pendidikan modern yang
mensyaratkan adanya perencanaan, proses hingga penilaian pembelajaran yang
dapat diukur dengan jelas oleh siapapun dan kapanpun. Salah satu caranya adalah
dengan penyedian perangkat pembelajaran berbasis pendidikan karakter. Menurut
Kemdikbud, beberapa langkah yang harus dilakukan guru dalam persiapan
pembelajaran, yaitu:
1) Merumuskan tujuan pembelajaran, dalam pelaksanaan KTSP diwujudkan
dalam bentuk indikator. Indikator pencapaian kompetensi dikembangkan oleh
sekolah, disesuaikan dengan lingkungan setempat, dan media serta lingkungan
belajar yang ada di sekolah.
2) Merumuskan alat evaluasi/asesmen, baik bentuk, cara, waktu, dan model
evaluasi yang akan dilakukan. Evaluasi ini bisa berupa formatif (evaluasi untuk
memperbaiki pembelajaran) maupun sumatif (evaluasi untuk melihat keberhasilan
belajar siswa).
3) Memilih materi pelajaran yang esensial untuk dikuasai dan dikembangkan
dalam strategi pembelajaran. Materi pelajaran yang dipilih terutama berkaitan
dengan prinsip, yang berisi sejumlah konsep dan konten yang menjadi alat untuk
mendidik dan mengembangkan kemampuan siswa.

36

4) Berdasarkan karakterisktik materi (bahan ajar) maka guru memilih strategi


pembelajaran sebagai proses pengalaman belajar siswa. Pada tahap ini guru harus
menentukan metode, pendekatan, model, dan media pembelajaran, serta teknik
pengelolaan kelas (laboratorium).
Perencanaan persiapan pembelajaran tidak hanya mempertimbangkan hal-hal
yang berpengaruh terhadap komponen pembelajaran seperti strategi, media dan
metode yang digunakan. Namun dalam mempersiapkan pembelajaran juga harus
ditimbang keadaan internal di sekitar ruang yang akan digunakan dalam kegiatan
belajar mengajar. Misalnya saja tentang bagaimana kondisi sosial siswa dan orang
tuanya, kesadaran untuk terus belajar. Hal ini dilakukan agar perencanaan
pembelajaran yang disusun, tidak hanya dapat dicerna siswa saat berada di dalam
kelas, melainkan pula siswa sudah memiliki persiapan dan modal awal untuk
mempraktikkanya ketika mereka sudah kembali ke rumahnya masing-masing.
Penulis buku kependidikan, Kusrini menegaskan ada beberapa faktor yang
berkaitan dengan persiapan pembelajaran yakni:
1) Guru perlu menelaah analisis hari efektif dan analisis Program Pembelajaran.
Hal ini perlu dilakukan untuk mengetahui jumlah hari efektif dan hari libur tiap
pekan atau tiap bulan sehingga memudahkan penyusunan program pembelajaran
selama satu semester.
2) Guru perlu membuat program tahunan, program semester dan program
tagihan. Hal ini dilakukan agar keutuhan dan kesinambungan program
pembelajaran atau topik pembelajaran yang akan dilaksanakan dalam dua
semester tetap terjaga.
3) Guru perlu menyusun silabus. Ini dilakukan agar garis besar, ringkasan,
ikhtisar, atau pokok-pokok isi atau materi pelajaran mampu mengantarkan siswa
mencapai standar pembelajaran yang dituju.

37

4) Guru perlu menyusun rencana pelaksanaan pembelajaran. Hal ini dilakukan


agar proses pelaksanaan pembelajaran terarah dan dapat berlangsung sesuai
harapan.
5) Guru perlu melakukan penilaian pembelajaran. Hal ini dilakukan agar proses
pembelajaran yang berlangsung dapat ditentukan keberhasilan atau kegagalannya
dalam skala nilai. (Kusrini, 2005: 135-139)
Perencanaan pembelajaran merupakan hal baru yang dilakukan oleh guru.
Dikatakan demikian, karena sebagian guru merasa aneh dan kesulitan dalam
membuat perencanaan pembelajaran. Hal ini terjadi karena guru yang
bersangkutan belum memahami sepenuhnya tentang hubungan pembelajaran
dengan efektifitas kegiatan belajar mengajar. Di samping itu, sebagian guru juga
memiliki

persepsi

dan

pandangan

yang

berbeda

tentang

perencanaan

pembelajaran. Di satu sisi, perencanaan pembelajaran membantu guru untuk


mempermudah dalam proses pelaksanaan kegiatan belajar mengajar, namun di sisi
lain, penyusunan perencanaan pembelajaran yang rumit dan melelahkan
menjadikan guru agak malas untuk membuatnya. Ini yang menjadikan ada
sebagian guru ada yang mengusulkan agar kewajiban untuk membuat perencanaan
pembelajaran dihapuskan saja.
Dalam pandangan mereka, sebaiknya guru dituntut untuk mengadopsi saja
perencanaan pembelajaran dengan situasi dan kondisi tempat mereka mengajar.
Hal inilah yang akan memperingan beban tugas guru dalam kegiatan belajar
mengajar.
G. Peran Guru dalam Perencanaan Pembelajaran Berbasis Pendidikan
Karakter
Kecenderungan guru untuk kurang terbiasa dalam membuat perencanaan
pembelajaran dikarenakan rendahnya budaya tulis menulis. Hal inilah yang
menyebabkan pembuatan perencaan pembelajaran sebagai sesuatu yang

38

melelahkan. Bila ditelisik, dalam menyusun perencanaan pembelajaran, terdapat


beberapa hal yang harus dilakukan guru di dalam kelas. Hal itu tersaji dalam tabel
berikut ini:
Tugas
Pertama

Peran dalam Pembelajaran


Analis dan pengembang kurikulum. Pada konteks ini,
aktivitas yang dilakukan adalah menganalisis isi kurikulum
dan mengembangkannya menjadi suatu perangkat yang
fokus ke arah implementasi di depan kelas.

Kedua

Analis klinis potensi siswa. Pada konteks ini, aktivitas


yang

dilakukan

adalah

mengidentifikasi,

dan

mengembangkan potensi fisik dan psikologis siswa yang


menjadi

tanggungjawabnya

melalui

pelayanan,

pembimbingan, pembelajaran dan pelatihan.

Ketiga

Manajer kelas, dalam konteks ini, aktivitas yang


dilakukan

adalah;

merencanakan,

melaksanakan

dan

mengevaluasi pembimbingan pembelajaran dan pelatihan.

Keempat

Fasilitator yakni melakukan tindakan memfasilitasi


siswa, hal ini fokus pada penyiapan perangkat dan
sumber-sumber belajar di sekolah/madrasah.

Tabel 1.1 Peran Guru dalam Pembelajaran (Disdik Jabar, t.t: 2)


Berdasarkan tabel di atas, peran guru begitu beragam dalam pembelajaran. Di
satu sisi ia memerankan diri sebagai manajer kelas, namun di sisi lain ia bagaikan
seorang dokter yang mendiagnosis beberapa keluhan siswa mengapa mereka

39

begitu sulit mencerna pembelajaran yang diterimanya. Maka dari itu, langkah
pembelajaran yang harus disusun oleh guru, dilakukan secara berurutan untuk
mencapai tujuan pembelajaran. Penentuan urutan langkah pembelajaran sangat
penting artinya bagi materi-materi yang memerlukan prasyarat tertentu. Selain itu,
pendekatan pembelajaran yang bersifat spiral (mudah ke sukar; konkret ke abstrak;
dekat ke jauh) juga memerlukan urutan pembelajaran yang terstruktur. Rumusan
pernyataan dalam langkah pembelajaran minimal mengandung dua unsur yang
mencerminkan pengelolaan pengalaman belajar siswa, yaitu: kegiatan siswa dan
materi.

Tabel 1.2 Contoh Pernyataan pembelajaran


Ditetapkannya kurikulum tingkat satuan pendidikan sebagai kurikulum
standar yang dipergunakan di sekolah/madrasah memacu guru untuk lebih giat
lagi dalam mengelola pembelajaran. Kini, untuk dapat mengampu mata pelajaran,
guru pun dituntut mampu memperhitungkan apa yang akan diajarkannya kepada
siswa. Bagaimana strategi yang digunakan hingga pada penilaian seperti apa yang
mampu memotret kemampuan siswanya. Menjadi guru di era modern tak jauh
bedanya dengan seorang manajer. Segala sesuatunya harus tersistem. Dengan

40

adanya desain pembelajaran maka guru akan mendapatkan rancangan/gambaran


mengenai segala sesuatu yang dilakukannya dalam merencanakan, melaksanakan
hingga menilai kegiatan belajar mengajar yang diampunya.
Pada tahap perencanaan pembelajaran, guru mulai memperhitungkan mana
konsep pembelajaran yang abstrak dan sulit diterjemahkan dalam ranah praksis,
serta mana pembelajaran yang dapat diperluas konteks strategi maupun materi
yang ingin disampaikan kepada siswa.
Perencanaan pembelajaran pendidikan karakter disusun dengan desain yang
menggambarkan: Apa yang akan diajarkan kepada siswa (what), bagaimana cara
pembelajaran yang dilakukan (how), mengapa pembelajaran tersebut perlu
ditanamkan (why), kapan seharusnya pembelajaran tersebut dilaksanakan (when),
dimana tempat paling sesuai dengan proses pembelajaran tersebut (where), dan
media apa yang paling tempat digunakan dalam pembelajaran tersebut (which).
Melalui kegiatan penyusunan perencanaan pembelajaran, guru akan memiliki
keunggulan dengan persiapan yang matang dan terpola dalam membangun sistem
pembelajaran efektif. Perencanaan pembelajaran yang baik merupakan tahap awal
dalam mendesain pembelajaran pendidikan karakter berkualitas.
Pembelajaran merupakan perubahan tingkah laku seseorang melalui
pengalaman yang diulang-ulang. Hal tersebut bukanlah respon pembawaan yang
dibawa seseorang, serta bukan sekedar proses kematangan yang bersifat
sementara. Dengan begitu, perencanaan pembelajaran pendidikan karakter dapat
dikatakan sebagai konsep pembelajaran yang akan diberikan kepada siswa
berkenaan dengan materi pendidikan karakter. Lalu apa sebenarnya yang
dimaksud dengan perencanaan pembelajaran pendidikan karakter yang bermutu?
Paling tidak sebuah pembelajaran dikatakan memiliki nilai-nilai pendidikan
karakter dan bermutu jika dalam diri siswa nampak adanya perubahan. Dari yang
tidak tahu menjadi tahu, dari yang belum bisa menjadi bisa. Thontowi menyebut

41

bahwa tujuan pembelajaran mengarah kepada pengembangan tiga hal dalam setiap
diri siswa yakni pertama, pengetahuan (knowledge).
Perubahan yang diharapkan adalah dari tidak mengetahui menjadi
mengetahui, dari tidak mengerti menjadi mengerti, dan sebagainya. Kedua,
keterampilan (skill); Perubahan yang diharapkan adalah dari tidak bias membuat,
melakukan, membentuk dan sebagainya berubah bisa membuat, melakukan,
membentuk sesuatu, dan sebagainya. Ketiga, sikap (attitude); Perubahan yang
diharapkan adalah dari sikap negatif menjadi sikap positif, dari sikap salah
menjadi sikap baik dan sebagainya.(Thontowi, t.t: 100).
Pengetahuan, keterampilan dan sikap merupakan komponen utama dalam
membangun manusia berkarakter. Untuk itu, ketiga domain dalam pembelajaran
ini tidak boleh tertinggal. Semuanya saling terkait satu sama lain. Jika semuanya
dapat saling terkait maka akan terbentuk manusia yang memiliki karakter dan
memiliki nilai lebih di mata orang lain,

H. Pemetaaan Nilai-Nilai Pendidikan Karakter dalam Perencanaan


Pembelajaran
Pemupukan pengetahuan, keterampilan dan sikap sudah semestinya dilakukan
secara terorganisir dan disesuaikan dengan keadaan di masing-masing
sekolah/madrasah.
Inilah alasan utama mengapa pendidikan karakter perlu diintegrasikan dalam
seluruh aspek pembelajaran. Semua mata pelajaran mengusung pendidikan
karakter sebagai salah satu subtansi pengetahuan dan nilai yang ingin ditanamkan
kepada siswa.
Berikut disajikan nilai-nilai pendidikan karakter dalam setiap mata pelajaran
mata peajaran sebagaimana dilansir oleh Kementrian Pendidikan dan
Kebudayaan yaitu sebagai berikut :

42

No.

Mata Pelajaran

Nilai Utama

Pendidikan

Religius,

Agama

jujur,

cerdas,

tangguh,

peduli,

demokratis, santun, disiplin, bertanggung jawab,


cinta ilmu, ingin tahu, percaya diri, menghargai
keberagaman, patuh pada aturan sosial, bergaya
hidup sehat, sadar akan hak dan kewajiban, kerja
keras

PKn

Religius,

jujur,

cerdas,

tangguh,

peduli,

demokratis, nasionalis, patuh pada aturan sosial,


menghargai keberagaman, sadar akan hak dan
kewajiban diri dan orang lain
3

Bahasa Indonesia

Religius,

jujur,

cerdas,

tangguh,

peduli,

demokratis, berpikir logis, kritis, kreatif dan


inovatif, percaya diri, bertanggung jawab, ingin
tahu, santun, nasionalis
4

Matematika

Religius,

jujur,

cerdas,

tangguh,

peduli,

demokratis, berpikir logis, kritis, kerja keras, ingin


tahu, mandiri, percaya diri
5

IPS

Religius, jujur, cerdas, tangguh, peduli,


demokratis, nasionalis, menghargai keberagaman,
berpikir logis, kritis, kreatif, dan inovatif, peduli
sosial dan lingkungan, berjiwa wirausaha, kerja
keras

IPA

Religius,

jujur,

cerdas,

tangguh,

peduli,

demokratis, ingin tahu, berpikir logis, kritis, kreatif,


dan inovatif, jujur, bergaya hidup sehat, percaya
diri, menghargai keberagaman, disiplin, mandiri,

43

bertanggung jawab, cinta ilmu.


7

Bahasa Inggris

Religius,
demokratis,

jujur,

cerdas,

menghargai

tangguh,

peduli,

keberagaman,

santun,

percaya diri, mandiri, bekerjasama, patuh pada


aturan sosial
8

Seni Budaya

Religius,

jujur,

cerdas,

tangguh,

peduli,

demokratis, menghargai keberagaman, nasionalis,


dan menghargai karya orang lain, ingin tahu,
disiplin.
9

Penjasorkes

Religius,

jujur,

cerdas,

tangguh,

peduli,

demokratis, bergaya hidup sehat, kerja keras,


disiplin, percaya diri, mandiri, menghargai karya
dan prestasi orang lain

10

TIK/Ketrampilan

Religius,

jujur,

cerdas,

tangguh,

peduli,

demokratis, berpikir logis, kritis, kreatif, dan


inovatif,

mandiri,

bertanggung

jawab,

dan

menghargai karya orang lain


11

Muatan Lokal

Religius,

jujur,

cerdas,

tangguh,

peduli,

demokratis, menghargai keberagaman, menghargai


karya orang lain, nasionalis
Tabel 1.3 Nilai utama tiap mata pelajaran
Pemetaan nilai-nilai pendidikan karakter dalam mata pelajaran merupakan
kerangka kerja konseptual dalam membantu guru merencanakan sekaligus
melaksanakan kegiatan belajar mengajar yang berbasis pendidikan karakter.
Banyak alasan yang mengemuka untuk menjawab problem tersebut: pertama,
dikatakan bahwa jam pelajaran pendidikan karakter hanya terselip dalam semua

44

pembelajaran. Hal ini menyebabkan penanaman pengetahuan dan nilai (transfer of


knowledge and values) yang diberikan menjadi kurang maksimal. Kedua, guru
terlalu sibuk untuk membuat desain penilaian yang bersifat kognitif. Demikian
pula dengan siswanya yang termotivasi mengikuti mata pelajara berbasis
pendidikan karakter, hanya untuk sekedar mendapat nilai baik di rapor. Ketiga,
pembelajaran pendidikan karakter tidak membekas dalam kehidupan di sekolah
apalagi masyarakat karena pembelajarannya tidak dapat menggugah siswa untuk
menerapkannya.
Meski terkendala waktu pertemuan yang sempit, bukan berarti pendidikan
karakter hanya menjadi penghias, pelengkap, dan penderita dari mapel yang ada.
Justru dengan keadaan demikian, pendidikan karakter harus mampu mendarah
daging di kehidupan sekolah dan diwujudkan tidak hanya dari segi pengetahuan,
tetapi juga menjadi budaya keseharian sekolah. Untuk itulah, aspek terpenting dari
pembelajaran pendidikan karakter tidak terletak dari materi pelajaran yang
disajikan. Namun terpusat pada sisi implementasi dan keteladanan. Sebab
pendidikan karakter sesungguhnya adalah materi dan nilai dari pembelajaran
moralitas dan spiritualitas yang terus berkembang. Untuk itu, pendidikan karakter
yang ada di sekolah/madrasah merupakan akar dalam memberikan pembekalan
nilai-nilai luhur dalam bermasyarakat dan simbolisasi budaya religius dimanapun
seseorang tersebut berada. Dengan kata lain, pendidikan karakter seyogyanya
tidak hanya menjadi refleksi dari pemahaman hidup agamis di dunia namun juga
berarti menjadi cerminan kepribadian siswa dan guru dalam menjalani hidup
dalam dua kehidupan (dunia dan akhirat).
Fokus pembelajaran pendidikan karakter yang masih tersandera pada aspek
akademik belaka, perlu dibebaskan. Meski sebagian guru mengetahui bahwa bila
pendidikan karakter hanya diajarkan dengan menitikberatkan pada aspek kognitif,
namun kenyataannya memang sebagian besar penilaian pembelajaran ini juga

45

lebih mengkedepankan penilaian sisi itu. Siswa pun hanya termotivasi


mempelajari pendidikan karakter untuk sekedar selamat dan prestasi di atas kertas
rapor atau lembar hasil belajar siswa. Namun kurang begitu tertarik dan tertantang
untuk menjelmakannya dalam kehidupan pribadinya, antar teman sepergaulan,
orang tua apalagi masyarakat.
Adanya perubahan orientasi penilaian pendidikan karakter merupakan
keniscayaan. Sudah saatnya titik konsentrasi pendidikan karakter tertuju kepada
penilaian afektif. Sebab bagaimanapun untuk anak sekolah, tingkat kognisi
pendidikan karakter yang diajarkan tidak sedalam siswa madrasah maupun
pesantren. Jadikan saja bahwa penilaian afektif sangat mempengaruhi terhadap
kenaikan kelas siswa melebihi dari balutan angka yang terkadang hanya
menggambarkan sisi pengamalan pendidikan karakter di permukaan namun tidak
akurat bila dijadikan penilaian yang sesungguhnya.
Ini yang akan memaksa siswa untuk menyerap pendidikan karakter sebagai
jalan kehidupan di kehidupan sekolah daripada menargetkan mendapatkan nilai
10 di kelas. Apalagi banyak fakta yang memperlihatkan setiap ganti tahun
ajaran baru, sejumlah siswa mengalami lupa atau sulit mengingat kembali materi
dan nilai-nilai pendidikan karakter yang diberikan. Hal ini dikarenakan karena
daya serap siswa terhadap materi dan nilai-nilai pendidikan karakter masih pada
short term memory (memori jangka pendek). Adanya kecenderungan ini bisa jadi
disebabkan : pertama, gaya pengajaran yang diberikan guru terlihat kurang
menginspirasi siswa. Kedua, siswa tidak termotivasi atau mendapatkan impian
untuk menerapkan pendidikan karakter di kehidupannya sehingga mapel
pendidikan karakter tidak membekas dalam kehidupannya. Agar pendidikan
karakter dapat teringat dan terinspirasi selalu dalam kehidupan siswa (long term
memory), mapel ini harus disajikan dengan contoh yang ada sangkut pautnya
dengan kehidupan siswa. Penyajian pendidikan karakter yang banyak bersentuhan

46

dengan persoalan yang menukik dengan keseharian siswa akan menjadikan siswa
tidak hanya sekedar mengikuti kegiatan belajar mengajar tersebut, tetapi juga
karena mereka merasa butuh. Persoalan kehidupan siswa yang dapat diangkat
guru untuk disajikan ke dalam pembelajaran pendidikan karakter antara lain:
narkoba, pacaran, jati diri remaja, jihad dalam belajar, pola berbakti kepada orang
tua dan sebagainya.
Titik tolakan inilah yang akan mengubah pola pandang siswa dalam
memahami pendidikan karakter, dari sekedar materi pembelajaran yang penuh
dengan normatif untuk mengembangkan menjadi pendidikan ilmu kehidupan di
dunia dan di akhirat. Inilah sebuah langkah mendasar (backbone) dalam
membentuk siswa berkarakter melalui pembumian nilai-nilai pendidikan karakter
dari kehidupan paling terdekat siswa.

I.

Aktivitas Guru dalam Penyusunan Perencanaan Pembelajaran


Kesuksesan suatu lembaga pendidikan dipengaruhi oleh kualitas gurunya.

Jika lembaga pendidikan tersebut dipenuhi dengan guru yang berkualitas, maka
output yang dihasilkan pun akan lebih terjamin dan maksimal. Begitu pula
sebaliknya, jika lembaga pendidikan tersebut banyak dihuni oleh guru yang
kualitasnya jauh dari unsur kemutuan, maka output yang dikeluarkannya menjadi
kurang maksimal dan bisa jadi malah tidak bisa menyamai standar pembelajaran
yang diharapkan.
Terus tumbuhnya kesadaran baru dalam menyajikan mata pelajaran yang
menyentuh semua aspek siswa menjadi dorongan bagi guru untuk terus
meningkatkan kemampuan mengajarnya. Seiring dengan itu, benih-benih
kesadaran guru untuk terus memperbaiki kualitas pengajarannya pun terus
menggeliat. Ini menjadi semacam modal dasar dalam merancang pembelajaran
dan pendidikan karakter yang multi makna.

47

Ketuntasan dan keefektifan pembelajaran tidak hanya ditentukan strategi dan


materi yang diajarkan. Melainkan pula dipengaruhi juga oleh faktor guru. Sebuah
kaidah pembelajaran dari Arab menyatakan al- thariqoh ahammu min al-maddah,
wa lakin al-mudarris ahammu min al-thariqah. Kaidah tersebut mengandung
pengertian bahwa metode (pembelajaran) lebih penting daripada materi (belajar),
akan tetapi eksistensi guru (dalam proses belajar mengajar) jauh lebih penting
daripada metode pembelajaran itu sendiri. Untuk itulah, mengampu pembelajaran
dan pendidikan karakter tidak boleh diajarkan kepada guru amatir. Proses
penanaman pendidikan karakter tidak hanya bertumpu kepada sekedar
pemindahan

(transfer)

materi-materi,

tetapi

transformasi/pengubahan

(transformation); baik itu pengetahuan, keterampilan, maupun nilai. (Berkson dan


Wettersten, 2003: V).
Menanamkan nilai-nilai pendidikan karakter memerlukan sosok dengan
kecakapan keilmuan yang kompleks. Apalagi, pendidikan karakter sesungguhnya
mempunyai kedekatan dengan kehidupan sehari-hari siswa. Proses interaksi
antara orang tua dan anak, proses jual beli di toko kelontong dekat rumah, sejarah
candi-candi di sekitar tempat tinggalnya merupakan contoh kehidupan yang
didalamnya penuh dengan muatan pendidikan karakter. Oleh karena itu, dalam
melaksanakan kegiatan pembelajaran, apa yang semua yang terjadi, tergelar dan
berkembang di masyarakat dan lingkungan sekitar serta lingkungan alam semesta
dijadikan sumber belajar, contoh dan teladan (alam takambang jadi guru ).
(Depdiknas, 2006: 6)

J.

Pengembangan Perencanaan Pembelajaran


Pemberian materi pembelajaran memang penting untuk memberi wawasan

dan pengetahuan yang luas mengenai nilai-nilai pribadi dan sosial dalam
pendidikan karakter kepada siswa. Pengetahuan di sini mengacu sebagaimana

48

hierarki yang dibuat oleh Bloom. Sekalipun demikian, maknanya tidak


sepenuhnya tepat sebab dalam istilah tersebut termasuk pula pengetahuan faktual
disamping pengetahuan hafalan atau untuk diingat seperti pengertian, jenis-jeis,
definisi, istilah, nama-nama tokoh yang menjadi panutan, dalam pendidikan
karakter dan sebagainya. Dilihat dari segi proses belajar, istilah-istilah tersebut
memang perlu dihafal dan diingat agar dapat dikuasainya sebagai dasar bagi
pengetahuan atau pemahaman konsep-konsep dasar dalam mempelajari
pendidikan karakter.(Depdiknas, 2006: 12)
Tipe hasil balajar yang lebih tinggi dari pada pengetahuan adalah
pemahaman. Misalnya menjelaskan manfaat yang dapat dirasakan dengan
menerapkan nilai-nilai yang terkandung dalam pendidikan karakter, memberi
contoh dari penerapan nilai-nilai pendidikan karakter, menggunakan sikap peduli
lingkungan dan tanggung jawab dalam memelihara kondisi taman di
sekolah/madrasah. Dalam taksonomi Bloom, kesanggupan memahami setingkat
lebih tinggi dari pada pengetahuan. Namun, tidaklah berarti bahwa pengetahuan
tidak perlu ditanyakan. Sebab, untuk dapat memahami, perlu terlebih dahulu
mengetahui atau mengenal. (Depdiknas, 2006: 13)
Tingkat yang lebih tinggi dari pemahaman adalah aplikasi. Kegiatan ini
merupakan penggunaan abstraksi pada situasi kongkret atau situasi khusus.
Abstraksi tersebut mungkin berupa ide, teori, generalisasi dan pedoman atau
petunjuk teknis pelaksanaan nilai-nilai pendidikan karakter. Menerapkan abstraksi
ke dalam situasi baru disebut aplikasi. Aplikasi yang berulangkali dilakukan pada
situasi lama akan beralih menjadi pengetahuan hafalan atau keterampilan. Suatu
situasi akan tetap dilihat sebagai situasi baru bila terjadi proses pemecahan
masalah. Dalam proses perencanaan pembelajaran pendidikan karakter, guru
dapat mengetengahkan sebuah problem baru di tengah siswa, misalnya saja
masalah kebersihan ruang kelas. Problem tersebut lebih didasarkan atas realitas

49

yang ada di sekitar siswa. Dari situ, siswa didorong oleh guru ( setelah proses
pemberian materi dan pemahamannya) menerapkan nilai-nilai dasar pendidikan
karakter seperti peduli lingkungan dan sikap tanggung jawab, pada permasalahan
kebersihan kelas mereka.(Depdiknas, 2006: 13-14)
Melangkah kepada tahap pembelajaran yang lebih tinggi adalah analisis.
Dalam tahapan tersebut, siswa diperkenankan oleh guru untuk berusaha memilah
suatu integritas dari rangkaian proses pembelajaran pendidikan karakter menjadi
unsur-unsur atau bagian-bagian sehingga jelas hierarkinya dan susunannya.
Analisis merupakan suatu kecakapan yang kompleks, yang memanfaatkan
kecakapan dari ketiga tipe hasil belajar sebelumnya. Dengan kemampuan analisis
diharapkan siswa mempunyai pemahaman yang komprehensif tentang materi
pendidikan karakter dan dapat memilah atau memecahnya menjadi bagian-bagian
yang terpadu baik dalam hal prosesnya, cara bekerjanya, maupun dalam hal
sistematikanya. Bila kecakapan analisis telah dikuasai siswa maka siswa akan
dapat mengaplikasikannya pada situasi baru secara kreatif. .(Depdiknas, 2006:
14). Hal inilah yang akan mempengaruhi siswa untuk terus mengembangkan pola
berpikir yang rasional. Ketika siswa sudah mampu berpikir rasional, ia akan
beranjak kepada bernalar ilmiah yang menjadi struktur dasar pemikiran keilmuan
modern.
Pada tahap tingkatan pembelajaran berikutnya, siswa didorong oleh guru
untuk melakukan penyatuan unsur-unsur materi pembelajaran pendidikan karaker
ke dalam bentuk menyeluruh disebut sintesis. Proses pembelajaran ini merupakan
rangkaian dari pelatihan siswa untuk berpikir berdasar pengetahuan hafalan,
berpikir pemahaman, berpikir aplikasi, dan berpikir analisis menuju cara berpikir
devergen. Dalam berpikir divergen pemecahan masalah atau jawabannya belum
dapat dipastikan. Dalam proses ini, guru mulai mengenalkan berbagai macam cara
berpikir kreatif kepada siswa dikenalkan. Siswa mulai dilatih berpikir kreatif

50

dengan teknik menemukan atau menciptakan sesuatu dari persoalan, problem atau
solusi ketika guru memberikan materi pendidikan karakter. Dengan kemampuan
sintesis, siswa dimungkinkan untuk menemukan hubungan kausal, urutan tertentu,
astraksi dari suatu fenomena yang mengandung muatan pendidikan karakter.
.(Depdiknas, 2006: 15)

BAB 5
PENUTUP

A. Kesimpulan
Perencanaan pembelajaran bermanfaat dalam menetapkan kecermatan
maupun kesesuaian segala strategi maupun materi pembelajaran pendidikan
karakter. Ini dilakukan agar prinsip-prinsip pembelajaran pendidikan karakter
yang telah tersusun dalam lembar kerja (worksheet) guru dapat dipastikan tersaji
secara menyeluruh, tanpa ada tahapan pembelajaran yang ditinggalkan. Hal
tersebut merupakan bagian dalam membangun sistem pembelajaran yang analitis,
visioner dan kontekstual.
Kegiatan perencanaan pembelajaran merupakan langkah awal dalam
menyusun kegiatan belajar mengajar yang efektif. Sebab dengan adanya
perencanaan akan diketahui arah, orientasi, kemampuan yang ingin ditanamkan
hingga strategi yang digunakan. Merancang perencanaan pembelajaran akan
mengantarkan guru memahami gambaran proses pembelajaran yang diampunya.
Ini dilakukan agar guru memiliki persiapan yang matang dalam menghadapi
proses dinamika yang akan terjadi saat guru tersebut melakukan proses
pembelajaran kepada siswanya.
Pendidikan karakter berupaya menjawab berbagai problema pendidikan
dewasa ini. Pendidikan

tersebut adalah sebuah konsep pendidikan integratif

yang tidak hanya bertumpu pada pengembangan kompetisi kognitif peserta didik
semata, tetapi juga pada penanaman nilai etika, moral, dan spritual.
Untuk mewujudkan pendidikan karakter, tidaklah perlu dibuat mata pelajaran
baru, tetapi cukup diintegrasikan dalam pembelajaran pada setiap mata pelajaran.
Salah satu cara yang efektif dengan mengubah atau menyusun silabus dan RPP

51

52

dengan menyelipkan norma atau nilai-nilai dalam konteks kehidupan sehari-hari.


Dengan demikian, pembelajaran nilai-nilai karakter tidak hanya pada tataran
kognitif, tetapi menyentuh pada internalisasi, dan pengamalan nyata dalam
kehidupan peserta didik sehari-hari di masyarakat. Salah satunya dengan
mengambangkan pembelajaran kontekstual.
Pendidikan karakter mengantarkan siswa untuk belajar memaknai kearifan.
Meski secara fisiologis dan psikologis, siswa belum mengerti tentang hal itu,
namun bila melihat bahwa esensi pendidikan pada hakikatnya adalah peniruan dan
pembiasaan, maka kearifan patut dikenalkan sejak dini
Beberapa langkah yang harus dilakukan guru dalam persiapan pembelajaran,
yaitu:
1.

Merumuskan tujuan pembelajaran, dalam pelaksanaan KTSP diwujudkan

dalam bentuk indikator. Indikator pencapaian kompetensi dikembangkan oleh


sekolah, disesuaikan dengan lingkungan setempat, dan media serta lingkungan
belajar yang ada di sekolah.
2.

Merumuskan alat evaluasi/asesmen, baik bentuk, cara, waktu, dan model

evaluasi yang akan dilakukan. Evaluasi ini bisa berupa formatif (evaluasi untuk
memperbaiki pembelajaran) maupun sumatif (evaluasi untuk melihat keberhasilan
belajar siswa).
3.

Memilih materi pelajaran yang esensial untuk dikuasai dan dikembangkan

dalam strategi pembelajaran. Materi pelajaran yang dipilih terutama berkaitan


dengan prinsip, yang berisi sejumlah konsep dan konten yang menjadi alat untuk
mendidik dan mengembangkan kemampuan siswa.
4.

Berdasarkan karakterisktik materi (bahan ajar) maka guru memilih strategi

pembelajaran sebagai proses pengalaman belajar siswa. Pada tahap ini guru harus
menentukan metode, pendekatan, model, dan media pembelajaran, serta teknik
pengelolaan kelas (laboratorium). (Depdiknas, 2009: 2)

53

B. Saran
Untuk

meningkatkan

kualitas

pembentukan

karakter

siswa

melalui

pendidikan, disarankan upaya-upaya antara lain sebagai berikut:


1.

Untuk memiliki daya pendorong dalam hidup maka pembelajaran nilai perlu
diberikan sejak dini dengan secara sadar dirancang dan dikelola secara
eksplisit, terfokus dan komprehensif agar dalam proses pembelajaran terjadi
proses pembentukan karakter yang baik.

2.

Guru merancang secara khusus kurikulum yang memuat pendidikan karakter


di sekolah. Hal ini tidak berarti harus dalam bentuk mata pelajaran, tetapi
dapat berbentuk pemberian tugas, misalnya memberikan tugas kepada siswa
untuk membaca buku cerita tentang pembelajaran nilai. Melakukan aktivitas
refleksi pemaknaan nilai pada setiap materi pelajaran yang terkait.

3.

Meningkatkan kesadaran diri guru dan kepala sekolah. Guru selalu dengan
rela menanamkan pendidikan nilai kepada siswa secara terus menerus dengan
mengaitkan nilai secara terstruktur pada materi pelajaran yang dirancang dan
dilaksanakannya, sedangkan kepala sekolah secara terus menerus memantau
mereka.

4.

Memperbanyak

bentuk-bentuk

pelatihan

pembelajaran

yang

mampu

meningkatkan, mengembangkan dan melaksanakan pembelajaran yang


mengandung pendidikan karakter mulai dari isi materi, strategi pembelajaran,
merencanakan skenario pembelajaran, dan melakukan evaluasi. Hal ini
sejalan dengan diterapkannya Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP)
yang memberikan peluang yang lebih banyak kepada guru untuk berkreasi.
5.

Mendayagunakan keluarga sebagai konteks aktif dan fungsional dalam


pembelajaran karakter, agar kondusif bagi anakanaknya dalam membangun
pembentukan karakter.

54

6.

Mendayagunakan pengarang buku mata pelajaran agar mampu berperan


dalam penanaman pembelajaran karakter kepada siswa, dan melibatkan anak
pada kelompok organisasi yang baik dan sehat.

7.

Para peneliti lain perlu mengembangkan makna karakter yang lebih jelas
menurut kondisi siswa dengan mendefinisikan secara rinci dimensi karakter
dan makna sistem karakter.

55

DAFTAR PUSTAKA
Audah, Ali. 2010. Nama dan Kata dalam al-Qur'an Pembahasan dan
Pembandingan. Bogor: Pustaka Lintera Antar Nusa.
Berkson, William dan John Wettersten. 2003. Psikologi Belajar dan Filsafat Ilmu
Karl Popper. Terjemahan oleh Ali Noer Zaman.Yogyakarta: Qalam.
Bower, Gordon H. dan Ernest R.Hilgard. 1998. Theories of Learning. 4th Edition.
New Jersey: Prentice Hall. Inc.
Depdiknas. 2006. Permendiknas No. 22 Tahun 2006. Jakarta: Depdiknas.
Depdiknas. 2007. Panduan Pengembangan Mata Pelajaran Muatan
Lokal .Jakarta: Depdiknas.
Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat UPTD Balai Pelatihan Guru. T.t. Modul
Peningkatan Mutu Tenaga Kependidikan,Bandung: Diknas Jabar.
Fadjar, Malik. 2005. Holistika Pemikiran Pendidikan. Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada.
Ginanjar A., Ary.2002.Emosional Spiritual Question. Jakarta:Arga.
Idris, Zahara.1982.Dasar-Dasar Kependidikan.Bandung:Angkasa.
Kemdiknas. 2010. Pendidikan Karakter Terintegrasi dalam Pembelajaran di
Sekolah Menengah Pertama.Jakarta: Kemdiknas.
Kementrian Pendidikan Nasional.2010.Pengembangan Pendidikan Budaya dan
Karakter Bangsa: Pedoman Sekolah.Jakarta:Puskur Balitbang Kemendiknas.
Koesoema, Doni.2007.Pendidikan Karakter:Strategi Mendidik Anak di Zaman
Global.Jakarta:Grasindo.Cet I.
Kusrini, Siti dkk. 2005. Keterampilan Dasar Mengajar (PPL 1), Berorientasi
Pada Kurikulum Berbasis Kompetensi.Malang: Fakultas Tarbiyah UIN
Malang.
Majid , Abdul. 2011.Perencaan Pembelajaran. Bandung : PT Remaja Rosdakarya.
Marimba,
Ahmad
D.1980.Pengantar
Filsafat
Pendidikan
Islam.Bandung:N.V.Almaarif.
Sumantri, Mulyani.1988.Kurikulum dan Pengajaran.Jakarta:P2LPTK.
Thonthowi, Ahmad. T.t. Psikologi Pendidikan.Bandung: Angkasa.
UU Sistem Pendidikan Nasional no. 20 tahun 2003
Wuryadi.2010.Sinergi Fungsional antar Unit sebagai Upaya Mendukung Fungsi
Lembaga
Pengembangan
Pendidikan
dan
Pembelajaran
(LP3).Yogyakarta:UNY Press
Zuchdi, Darmiyati.2010. Pendidikan Karakter dengan Pendekatan Komprehensif.
Yogyakarta: UNY Press

56

LAMPIRAN
RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN

Mata Pelajaran

: Memahami Dasar Kekuatan Bahan Dan Komponen Mesin

Kelas/Semester

: X/1

Pertemuan ke

:I

Durasi Waktu

: 3 Jam @ 45 Menit

Standar Kompetensi : Menjelaskan Dasar Kekuatan Bahan &Komponen Mesin


Kompetensi Dasar

: Mendiskripsikan Prinsip Dasar Mekanika

Indikator

: Besaran skalar dan vektor dimengerti dengan benar

A. TUJUAN PEMBELAJARAN
1.

Tujuan Akademik

a) Siswa mampu menjelaskan besaran vektor dan besaran scalar


b) Siswa mampu membedakan besaran vektor dan besarab scalar
2.

Tujuan Nilai Karakter

a) Sikap dan perilaku yang patuh dalam melaksanakan ajaran agama yang
dianutnya, toleran terhadap pelaksanaan ibadah agama lain, dan hidup rukun
dengan pemeluk agama lain (Religius)
b) Siswa melakukan tindakan yang menunjukkan perilaku tertib dan patuh pada
berbagai ketentuan dan peraturan (Disiplin)
c) Siswa

mampu

melakukan

perilaku

yang

menunjukkan

upaya

sungguhsungguh dalam mengatasi berbagai hambatan belajar dan tugas, serta


menyelesaikan tugas dengan sebaikbaiknya. Perilaku yang menunjukkan upaya
sungguhsungguh dalam mengatasi berbagai hambatan belajar dan tugas, serta
menyelesaikan tugas dengan sebaikbaiknya. (Kerja keras)
d) Siswa mampu bersikap dan ber perilaku seseorang untuk melaksanakan tugas

57

dan kewajibannya, yang seharusnya dia lakukan, terhadap diri sendiri, masyarakat,
lingkungan (alam, sosial dan budaya), negara dan Tuhan Yang Maha Esa.
(Tanggung Jawab)

B. MATERI PEMBELAJARAN
BESARAN VEKTOR DAN SKALAR
1.

Pengertian Pengukuran
Pengukuran didenifisikan sebagai suatu proses membandingkan suatu besaran

dengan besaran lain ( sejenis ) yang dipakai sebagai satuan. Besaran adalah
sesuatu yang dapat diukur, dinyatakan dengan angka ( nilai ) dan memiliki satuan.

2.

Besaran

Nilai

Satuan

Panjang

80

Sentimeter

Massa

Kilogram

Waktu

15

Sekon

Vektor dan Skalar

Secara garis besar besaran fisika dibagi menjadi dua, yaitu :


a) Besaran vektor, adalah besaran yang memiliki besaran ( nilai ) dan arah
b) Besaran skalar, adalah besaran yang hanya memiliki besaran saja
Besaran
Vektor

Skalar

Perpindahan

Jarak

Kecepatan

Laju

Percepatan

Kekuatan

Gaya

Waktu

Momentum

Volume

58

Kuat medan magnet

Kerja

Torsi ( momen gaya )

Massa (inersia)
Tabel Besaran dan Skalar

C. METODE PEMBELAJARAN
Metode yang digunakan adalah dengan menggunakan pembelajaran klasikal.
Yaitu pembelajaran di kelas dengan sistim tutor dari guru dan teman sebaya.

D. KEGIATAN PEMBELAJARAN
1.

Kegiatan Awal

a) Mengucapakn salam
b) Mengkoordinasikan siswa untuk siap belajar
c) Mengadakan apersepsi: Siapakah yang mengenal sistim satuan di bidang
tekhnik?
d) Menyampaikan materi yang akan dibahas
2.

Kegiatan Inti

a.

Siswa memperhatikan penjelasan guru tentang sistim satuan

b.

Siswa mengerjakan tugas dari guru tentang sistim satuan

c.

Siswa mendiskusikan tugas yang diberikan

3.

Kegiatan Akhir

a.

Menyimpulkan materi yang telah dibahas

b.

Memberikan evaluasi

c.

Salam penutup

E. ALAT / BAHAN / SUMBER BELAJAR


1.

Papan tulis dan kelengkapannya

2.

Diagram/gambar

59

3.

Modul pembelajaran

F. PENILAIAN
1.

Soal

a) Apakah yang dimaksud dengan besaran vektor ?


b) Apakah yang dimaksud dengan besaran skalar ?
c) Berilah tanda centang tabel di bawah ini sesuai denga jawaban yang benar !
Besaran

Vektor

Skalar

Panjang

Percepatan

Waktu

Gaya

Volume

2.

Kunci Jawaban

a.

Besaran vektor, adalah besaran yang memiliki besar (nilai) dan arah

b.

Besaran skalar, adalah besaran yang hanya memiliki besar saja

c.
b) Besaran

c) Vektor

Panjang

Waktu

Gaya

Percepatan

Volume

d) Skalar

60

3.

Skor Penilaian

Skor No. 1 dan 2 = 2, skor No. 3 = 5


Penilaian = (Skor + 1 ) x 10 = Nilai
= ( 2+2+5+1 ) x 10
= 10 x 10
= 100

Anda mungkin juga menyukai