PERENCANAAN PEMBELAJARAN
BERBASIS PENDIDIKAN KARAKTER
Disusun Oleh :
Dedi Kurniawan
(K2513014)
Faqih Bahrudin
(K2513022)
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Teknologi pembelajaran
yang diampu oleh Bapak Dr. H. Roemintoyo S.T., M.Pd.
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pasca reformasi 1998 bangsa Indonesia menunjukkan indikasi terjadinya
krisis karakter yang cukup memprihatikan. Demoralisasi mulai merambah ke
dunia pendidikan yang belum memberi ruang untuk berperilaku jujur karena
proses pembelajaran cenderung mengajarkan pendidikan moral dan budi pekerti
sebatas pengetahuan yang tertulis dalam teks dan kurang mempersiapkan siswa
untuk menyikapi dan menghadapi kehidupan yang kontradiktif. Fenomena
maraknya praktik korupsi bisa juga berawal dari kelemahan dunia pendidikan
dalam menjalankan fungsinya sebagai
Korupsi merupakan salah satu bentuk krisis karakter yang sangat dampaknya
buruk bagi bangsa Indonesia. Korupsi menjadi penghambat utama kemajuan
ekonomi, dan pada akhirnya korupsi menjadi sumber dari berkembangnya
kemiskinan di Indonesia. Posisi Indonesia dalam kancah pergaulan internasional,
sebagai salah satu negara yang terkorup di dunia telah menyebabkan bangsa ini
kehilangan martabat di tengah-tengah pergaulan bangsa lain. Korupsi terjadi
karena orang-orang kehilangan beberapa karakter baik, terutama sekali kejujuran,
pengendalian diri (self regulation), dan tanggung jawab sosial.
Fenomena sosial yang terjadi pada akhir-akhir ini, budaya korupsi sudah
merambah di lingkungan eksekutif, legislatif, yudikatif, dan BUMN. Kasus kasus
Bank Century, kasus suap pada anggota DPR, Markus (makelar kasus) ala
Gayus Tambunan, korupsi perpajakan lainnya, mafia pengadilan, dan lain-lain
adalah fenomena korupsi yang sering kita dengar dan tonton di mass madia.
Kasus tersebut mengambarkan bahwa aktivitas kelembagaan, semakin lama
semakin terjebak kepada budaya koruptif bahkan mengacu budaya yang pragmatis
materialistik, padahal budaya kelembagaan haruslah jauh dari kepentingan
pragmatis materialistik dan harus mengacu pada nilai-nilai pendidikan
spiritualitas, sebagaimana yang mereka cita-citakan. Budaya kelembagaan
mestinya mampu membangun sikap dan sifat-sifat seperti jujur, tegas, hati-hati,
percaya diri, penuh pertimbangan, berani, sopan, bersemangat, lembut, dan halus,
sikap ramah, moderat dan bijaksana, rendah hati, adil, mengamalkan kebaikan,
menabur kasih sayang, hidup sederhana, taat dan patuh, sabar menjaga
kedamaian, dapat mempercayai dan dipercaya.
Memudarnya karakter anak bangsa juga ditunjukkan oleh meningkatnya
aksi-aksi yang berdampak pada rusaknya diri bangsa kita sendiri, seperti tawuran,
vandalism,
saling
caci-maki,
perkelahiran
antarsporter,
pembunuhan,
yang
benar-benar
mampu
memberikan
kontribusi
bagi
yang
baik
dan
mana
yang
kurang/tidak
baik
berdasarkan
B. Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan makalah ini adalah sbb :
1.
3.
4.
C. Manfaat Penulisan
1.
2.
3.
4.
BAB 2
KAJIAN TEORI
A. Pengertian Perencanaan
Perencanaan adalah menyusun langkah-langkah yang akan dilaksanakan
untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan. Perencanaan tersebut dapat disusun
berdasarkan kebutuhan dalam jangka waktu tertentu sesuai dengan keinginan
pembuat perencanaan. Namun yang lebih utama adalah perencanaan yang dibuat
harus dapat dilaksanakan dengan mudah dan tepat sasaran.
Perencanaan adalah menentukan apa yang akan dilakukan. Perencanaan
mengandung rangkaian-rangkaian putusan yang luas dan penjelasan-penjelasan
dari tujuan, penentuan kebijakan, penentuan program, penentuan metode-metode
dan prosedur tertentu dan penentuan kegiatan berdasarkan jadwal sehari-hari.
Perencanaan mencakup rangkaian kegiatan untuk menentukan tujuan umum
(goal) dan tujuan khusus (objektivitas) suatu organisasi atau lembaga
penyelenggaraan pendidikan, berdasarkan dukungan informasi yang lengkap.
Setelah tujuan ditetapkan perencanaan berkaitan dengan penyusunan pola,
rangakaian, dan proses kegiatan yang akan dilakukan untuk mencapai tujuan
tersebut. Kesimpulannya, efektifitas perencanaan berkaitan dengan penyusunan
rangkaian kegiatan untuk mencapai tujuan, dapat diukur dengan terpenuhinya
faktor kerjasama perumusan perencanaan, program kerja madrasah, dan upaya
implementasi program kerja dalam mencapai tujuan.
B. Pengertian pembelajaran
Pembelajaran adalah suatu proses yang dilakukan oleh para guru dalam
membimbing, membantu, dan mengarahkan peserta didik untuk memiliki
pengalaman belajar. Pengajaran adalah suatu cara bagaimana mempersiapkan
pengalaman belajar bagi peserta didik. (Jones at. Al dalam Mulyani Sumantri,
1988:95).
C. Pengertian Pendidikan
Secara etimologi kata pendidikan berasal dari kata "didik" yang
mendapat awalan "pe" dan akhiran "an" , maka menjadi kata pendidikan. Dari
Bahasa Yunani, pendidikan berasal dari kata pedagogi yaitu kata paid yang
artinya anak dan agogos yang artinya membimbing, sehingga pedagogi dapat
diartikan sebagai ilmu dan seni membimbing anak.
UU No. 20 Tahun 2003, tentang sistem pendidikan nasional, pendidikan
adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya
untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,
kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat,
bangsa dan Negara.
Menurut epistimologi para ahli mengemukakan berbagai arti tentang
pendidikan Prof. Zahara Idris, M.A. misalnya, mengatakan bahwa Pendidikan
ialah serangkaian kegiatan komunikasi yang bertujuan, antara manusia dewasa
dengan si anak didik secara tatap muka atau dengan menggunakan media dalam
rangka memberikan bantuan terhadap perkembangan anak seutuhnya.
Ahmad D. Marimba berpendapat bahwa Pendidikan adalah bimbingan atau
pimpinan secara sadar oleh pendidik terdapat perkembangan jasmani dan rohani
terdidik menuju terbentuknya kepribadian yang utama.
Pendidikan merupakan suatu proses yang kontinyu, yang merupakan
pengulangan yang perlahan tetapi pasti dan terus-menerus sehingga sampai pada
bentuk yang diinginkan.
Kesimpulannya bahwa pendidikan adalah usaha sadar terencana untuk
mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran atau pelatihan agar peserta
didik secara aktif dapat mengembangkan potensi dirinya supaya memiliki
kekuatan spiritual keagamaan, emosional, pengendalian diri, kepribadian,
kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya dan
masyarakat.
Konsep yang lebih jelas dituangkan adalah pendidikan yang dirumuskan
dalam UU RI No 2 th 1989. Bab 1, pasal 1. butir 1 : Pendidikan ialah usaha sadar
untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran
dan atau latihan bagi peranan masa yang akan datang.
Istilah
pendidikan
dalam
perkembangannya
berarti
bimbingan
atau
pertolongan yang diberikan secara sengaja terhadap anak didik oleh orang dewasa
agar anak didik menjadi dewasa, dalam perkembangan selanjutnya, pendidikan
berarti usaha yang dijalankan oleh seseorang atau sekelompok orang untuk
mempengaruhi seseorang atau sekelompok orang agar menjadi dewasa atau
mencapai tingkat hidup dan penghidupan yang lebih tinggi dalam arti mental,
dengan demikian pendidikan berarti, segala usaha orang dewasa dalam pergaulan
dengan anak-anak untuk memimpin perkembanagan jasmani dan rohaninya
kearah kedewasaan.
10
perencanaan
atau
perancangan
(desain)
sebagai
upaya
untuk
2.
3.
4.
11
bentuk sasaran yang jelas dan terukur agar perencanaan dapat disusun dan
ditentukan dengan baik. Dengan adanya sasaran yang jelas maka ada target yang
harus dicapai. Target itulah yang selanjutnya menjadi fokus dalam menentukan
langkah-langkah selanjutnya.
Strategi berkaitan dengan penetapan keputusan yang harus dilakukan oleh
seorang perencana, misalnya keputusan tentang waktu pelaksanaan dan jumlah
waktu yang diperlukan untuk mencapai tujuan. Penetapan sumber daya diperlukan
untuk mencapai tujuan yang meliputi penetapan sarana dan prasarana yang
diperlukan, anggaran biaya dan sumber lainnya. Implementasi adalah pelaksanaan
dari strategi dan penetapan sumber daya. Implementasi merupakan unsur penting
dalam proses perencanaan karena dapat digunakan untuk menilai efektivitas suatu
perencanaan.
Kedua, pembelajaran dapat diartikan sebagai proses kerjasama antara guru
dan siswa dalam memanfaatkan segala potensi dan sumber daya yang ada baik
yang bersumber dari dalam diri siswa itu sendiri seperti minat, bakat dan
kemampuan dasar yang dimiliki termasuk gaya belajar maupun potensi yang ada
di luar diri siswa seperti lingkungan sebagai upaya untuk mencapai tujuan belajar
tertentu.
Berdasarkan
dua
makna
tentang
konsep
perencanaan
dan
konsep
12
13
hasil system dari pelaksanaan perencanaan pendidikan itu sendiri, yaitu dokumen
rencana pendidikan.
Dari beberapa rumusan tentang perencanaan pendidikan tadi dapat dimaklumi
bahwa masalah yang menonjol adalah suatu proses untuk menyiapkan suatu konsep
keputusan yang akan dilaksanakan di masa depan. Dengan demikian, perencanaan
pendidikan dalam pelaksanaan tidak dapat diukur dan dinilai secara cepat, tapi
memerlukan waktu yang cukup lama, khususnya dalam kegiatan atau bidang
pendidikan yang bersifat kualitatif, apalagi dari sudut kepentingan nasional.
E. Pengertian Karakter
Istilah karakter diambil dari bahasa Yunani, yaitu to mark yang artinya
menandai. Istilah ini lebih fokus pada tindakan atau tingkah laku. Ada dua
pengertian tentang karakter. Pertama, karakter menunjukkan bagaimana seseorang
bertingkah laku. Apabila seseorang berperilaku tidak jujur, kejam, ataupun rakus,
tentulah orang tersebut dianggap memiliki perilaku buruk. Sebaliknya, apabila
seseorang berperilaku jujur, suka menolong, tentulah orang tersebut dianggap
memiliki karakter mulia. Kedua, istilah karakter erat kaitannya dengan
personality. Seseorang baru bisa disebut orang yang berkarakter, apabila
tingkah lakunya sesuai kaidah moral. Imam Ghozali menganggap bahwa karakter
lebih dekat dengan akhlaq, yaitu spontanitas manusia dalam bersikap atau
melakukan perbuatan yang telah menyatu dalam dirinya.
Menurut Pusat Bahasa Kementerian Pendidikan Nasional, Karakter adalah
bawaan, hati, jiwa, kepribadian, budi pekerti, perilaku, personalitas, sifat, tabiat,
temperamen, watak. Sementara berkarakter adalah berkepribadian, berperilaku,
bersifat, bertabiat dan berwatak.
Dengan demikian, karakter mulia, berarti individu itu memiliki pengetahuan
tentang potensi dirinya, yang ditandai dengan nilai-nilai seperti reflektif, percaya
14
diri, rasional, logis, kritis, analitis, kreatif dan inovatif, mandiri, hidup sehat,
bertanggung jawab, cinta ilmu, sabar, berhati-hati, rela berkorban, pemberani,
dapat dipercaya, jujur, menepati janji, adil, rendah hati, malu berbuat salah, pemaaf,
berhati lembut, setia, bekerja keras, tekun, ulet/gigih, teliti, berinisiatif, berpikir
positif, disiplin, antisipatif, inisiatif, visioner, bersahaja, bersemangat, dinamis,
hemat/efisien, menghargai waktu, pengabdian/dedikatif, pengendalian diri,
produktif, ramah, cinta keindahan (estetis), sportif, tabah, terbuka, tertib. Individu
juga memiliki kesadaran untuk berbuat yang terbaik ataupun unggul. Selain itu,
individu itu juga mampu bertindak sesuai potensi dan kesadarannya tersebut.
Karakteristik adalah realisasi perkembangan positif sebagai individu (intelektual,
emosional, sosial, etika, dan perilaku).
Individu yang berkarakter baik ataupun unggul adalah seseorang yang
berusaha melakukan hal-hal yang terbaik terhadap Tuhan Yang Maha Esa, dirinya,
sesamanya, lingkungannya, bangsa dan negaranya, serta dunia internasional pada
umumnya dengan mengoptimalkan potensi (pengetahuan) dirinya dan disertai
dengan kesadaran, emosi dan motivasinya (perasaannya).
Dalam
merumuskan
hakikat
karakter,
Simon
Philips
(2008:235)
berpendapat bahwa karakter adalah kumpulan tata nilai yang menuju pada suatu
sistem, yang melandasi pemikiran, sikap, dan perilaku yang ditampilkan.
Sedangkan Doni Koesoema A (2007:80) memahami bahwa karakter sama dengan
kepribadian. Kepribadian dianggap sebagai ciri, atau karakteristik, atau gaya,
atau sifat khas dari diri seseorang yang bersumber dari bentukan-bentukan yang
diterima dari lingkungan, misalnya lingkungan keluarga pada masa kecil dan juga
bawaan seseorang sejak lahir.
Dari pendapat di atas dapat dipahami bahwa karakter itu berkaitan dengan
kekuatan moral, berkonotasi positif, bukan netral. Jadi, orang berkarakter
adalah orang yang mempunyai kualitas moral (tertentu) positif. Dengan demikian,
15
karakter bangsa.
Oleh karena itu, pengembangan karakter bangsa hanya dapat dilakukan melalui
pengembangan karakter individu seseorang. Akan tetapi, karena manusia hidup
dalam lingkungan sosial dan budaya tertentu, maka pengembangan karakter
individu seseorang hanya dapat dilakukan dalam lingkungan sosial dan budaya
yang berangkutan. Artinya, pengembangan budaya dan karakter bangsa hanya
dapat dilakukan dalam suatu proses pendidikan yang tidak melepaskan peserta
didik dari lingkungan.
BAB 3
RUMUSAN MASALAH
keprihatinan kita terhadap praksis pendidikan yang semakin hari semakin tidak
jelas arah dan hasilnya.
Pendidikan yang dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang SISDIKNAS
bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang
beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,
berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta
bertanggung jawab (pasal 3). Hanya dalam kenyatan, justru banyak warga negara
yang tidak berakhlak mulia (sejenis korupsi, penyalahgunaan narkoba, dan
kekerasan), kurang mandiri (konsumtif), tidak bertanggung jawab, dan kasus lain
yang justru bertentangan dengan tujuan pendidikan nasional.
Untuk itu perlunya pendidikan berkarakter , baik dengan terintregrasi dengan
mata pelajaran atau lewat pendidikan secara khusus. Agar terlaksana kita harus
tahu bagaimana merencanakan pembelajaran dengan terintegrasi dengan
character buiding. Dengan kasus demikian maka rumusan masalah dapat
disimpulkan Bagaimana menentukan perencanaan pembelajaran berbasis
karakter?.
16
BAB 4
PEMBAHASAN
termasuk budi pekerti luhur serta kepribadian unggul dan kompetensi estetis;
2.
Kognitif yang tercermin pada kapasitas pikir dan daya intelektualitas untuk
Psikomotorik
yang
tercermin
pada
kemampuan
mengembangkan
17
18
Tujuan
sekolah,
pelaksanaan
aktivitas
atau
kegiatan
ko-kurikuler,
19
sekolah. Di samping itu, pendidikan karakter juga dapat dimaknai sebagai suatu
perilaku yang harus dilakukan warga sekolah untuk menyelenggarakan pendidikan
yang berkarakter.
Pendidikan karakter dimaknai sebagai berikut: character education is the
deliberate effort to help people understand, care about, and act upon core ethical
values. When we think about the kind of character we want for our children, it is
clear that we want them to be able to judge what is right, care deeply about what is
right, and then do what they believe to be right, even in the face of pressure from
without and temptation from within. Lebih lanjut dijelaskan bahwa pendidikan
karakter adalah segala sesuatu yang dilakukan guru, yang mampu mempengaruhi
karakter peserta didik. Guru membantu membentuk watak peserta didik. Hal ini
mencakup keteladanan bagaimana perilaku guru, cara guru berbicara atau
menyampaikan materi, bagaimana guru bertoleransi, dan berbagai hal terkait
lainnya.
Pendidikan karakter memiliki esensi dan makna yang sama dengan pendidikan
moral dan pendidikan akhlak. Tujuannya adalah membentuk pribadi anak, supaya
menjadi manusia yang baik, warga masyarakat, dan warga negara yang baik.
Adapun kriteria manusia yang baik, warga masyarakat yang baik dan warga negara
yang baik bagi suatu masyarakat dan bangsa, secara umum adalah nilai-nilai sosial
tertentu, yang banyak dipengaruhi oleh budaya masyarakat dan bangsanya. Oleh
karena itu, hakikat dari pendidikan karakter dalam konteks pendidikan di Indonesia
adalah pedidikan nilai, yakni pendidikan nilai-nilai luhur yang bersumber dari
budaya bangsa Indonesia sendiri, dalam rangka membina kepribadian generasi
muda.
Pendidikan karakter berpijak dari karakter dasar manusia, yang bersumber dari
nilai moral universal (bersifat absolut) sebagai pengejawantahan nilai-nilai agama
yang biasa disebut the golden rule. Pendidikan karakter dapat memiliki tujuan yang
20
pasti, apabila berpijak dari nilai-nilai karakter dasar tersebut. Menurut para ahli
psikolog, beberapa nilai karakter dasar tersebut adalah: cinta kepada Allah dan
ciptaan-Nya (alam dengan isinya), tanggung jawab, jujur, hormat dan santun, kasih
sayang, peduli, kerjasama, percaya diri, kreatif, kerja keras, pantang menyerah,
keadilan kepemimpinan, baik, rendah hati, toleransi, cinta damai dan cinta
persatuan.
Pendapat lain mengatakan bahwa karakter dasar manusia terdiri dari: dapat
dipercaya, rasa hormat, perhatian, peduli, jujur, tanggung jawab, tulus, berani,
tekun, disiplin, visioner, adil, dan integritas. Atas dasar itulah, penyelenggaraan
pendidikan karakter di sekolah harus berpijak kepada nilai-nilai karakter dasar yang
selanjutnya dikembangkan menjadi nilai-nilai yang lebih banyak atau lebih tinggi
(yang bersifat tidak absolut atau bersifat relatif) sesuai dengan kebutuhan, kondisi
dan lingkungan sekolah itu sendiri.
Dewasa ini banyak pihak menuntut peningkatan intensitas dan kualitas
pelaksanaan pendidikan karakter pada lembaga pendidikan formal. Tuntutan
tersebut didasarkan pada fenomena sosial yang berkembang, yakni meningkatnya
kenakalan remaja dalam masyarakat, seperti perkelahian massal dan berbagai kasus
dekadensi moral lainnya. Bahkan, di kota-kota besar tertentu, gejala tersebut telah
sampai pada taraf yang sangat meresahkan. Oleh karena itu, lembaga pendidikan
formal sebagai wadah resmi pembinaan generasi muda diharapkan dapat
meningkatkan peranannya dalam pembentukan kepribadian peserta didik melalui
peningkatan intensitas dan kualitas pendidikan karakter.
Para pakar pendidikan pada umumnya sependapat tentang pentingnya upaya
peningkatan pendidikan karakter pada jalur pendidikan formal. Namun demikian,
ada perbedaan-perbedaan pendapat di antara mereka tentang pendekatan dan
modus pendidikannya. Berhubungan dengan pendekatan, sebagian pakar
menyarankan penggunaan pendekatan-pendekatan pendidikan moral yang
21
totalitas
proses
psikologis
dan
sosial-kultural
tersebut
dapat
OLAH
PIKIR
OLAH
HATI
OLAH
RAGA
OLAH
RASA/
KARSA
ramah, saling
menghargai, toleran,
peduli, suka menolong,
gotong royong,
nasionalis, kosmopolit ,
mengutamakan
kepentingan umum,
bangga menggunakan
bahasa dan produk
Indonesia, dinamis,
kerja keras, dan beretos
kerja
22
23
mengisyaratkan
bahwa
pendidikan
karakter
sangat
penting
untuk
dikembangkan.
Berbicara masalah pendidikan karakter, tentu tidak terlepas dari pengertian
karakter itu sendiri. Karakter merupakan nilai-nilai perilaku manusia yang
berhubungan dengan Sang Pencipta, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan,
dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan
perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata krama, budaya, dan adat
istiadat. Dengan demikian, pendidikan karakter dapat pula dimaknai sebagai suatu
sistem penanaman nilai-nilai karakter kepada warga sekolah yang meliputi
komponen pengetahuan, kesadaran dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai
24
tersebut, baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama, lingkungan,
maupun kebangsaan sehingga menjadi manusia insan kamil.
Penerapan pendidikan karakter dalam konteks keindonesiaan, merupakan
kebutuhan yang tidak dapat ditawar-tawar lagi. Para putra putri bangsa telah
banyak pemborong medali dalam setiap kompetisi olimpiade sains internasional.
Mereka mereka membutuhkan penghargaan sebagai bagian implementasi
pendidikan karakter. Namun di sisi lain, kasus siswa-siswi cacat moral seperti
siswi married by accident, aksi pornografi, kasus narkoba, plagiatisme dalam
ujian, dan sejenisnya, senantiasa
25
yang tidak hanya bertumpu pada pengembangan kompetisi kognitif peserta didik
semata, tetapi juga pada penanaman nilai etika, moral, dan spritual.
Untuk mewujudkan pendidikan karakter, tidaklah perlu dibuat mata pelajaran
baru, tetapi cukup diintegrasikan dalam pembelajaran pada setiap mata pelajaran.
Salah satu cara yang efektif dengan mengubah atau menyusun silabus dan RPP
dengan menyelipkan norma atau nilai-nilai dalam konteks kehidupan sehari-hari.
Dengan demikian, pembelajaran nilai-nilai karakter tidak hanya pada tataran
kognitif, tetapi menyentuh pada internalisasi, dan pengamalan nyata dalam
kehidupan peserta didik sehari-hari di masyarakat. Salah satunya dengan
mengambangkan pembelajaran kontekstual.
Pendidikan karakter mengantarkan siswa untuk belajar memaknai kearifan.
Meski secara fisiologis dan psikologis, siswa belum mengerti tentang hal itu,
namun bila melihat bahwa esensi pendidikan pada hakikatnya adalah peniruan dan
pembiasaan, maka kearifan patut dikenalkan sejak dini.
26
komprehensif
dalam
pendidikan
karakter,
(2)
pembelajaran
pendidikan karakter yang dahulu cukup efektif, tidak sesuai lagi untuk
membangun generasi sekarang dan yang akan datang. Bagi generasi masa lalu,
pendidikan karakter yang bersifat indoktrinatif sudah cukup memadai untuk
membendung
terjadinya
kemasyarakatan,
perilaku
meskipun
hal
yang
itu
menyimpang
tidak
mungkin
dari
norma-norma
dapat
membentuk
tepat
untuk
dijadikan
teladan.
Dengan
kata
lain,
diperlukan
aspek.
Pertama,
isinya
harus
komprehensif,
meliputi
semua
27
dalam pendidikan
karakter.
Metode Komprehensif
Metode komprehensif meliputi dua metode tradisional, yaitu inkulkasi
(penanaman) nilai dan pemberian teladan serta dua metode kontemporer, yaitu
fasilitasi nilai dan pengembangan keterampilan hidup (soft skills).
Inkulkasi (penanaman) nilai memiliki ciri-ciri berikut ini:
28
29
Demikian juga apabila guru dan orang tua berperilaku yang sebaliknya,
anak-anak juga secara tidak sadar akan menirunya. Oleh karena itu, para guru dan
orang tua harus berhati-hati dalam bertutur kata dan bertindak, supaya tidak
tertanamkan nilai-nilai negatif dalam sanubari anak.
Guru dan orang tua perlu memiliki keterampilan asertif dan keterampilan
menyimak. Kedua keterampilan ini sangat diperlukan untuk menjalin hubungan
antarpribadi dan antarkelompok. Oleh karena itu, perlu dijadikan contoh bagi
anak-anak. Keterampilan asertif adalah keterampilan mengemukakan pendapat
secara terbuka, dengan cara-cara yang tidak melukai perasaan orang lain.
Keterampilan menyimak ialah keterampilan mendengarkan dengan penuh
pemahaman dan secara kritis. Kedua keterampilan ini oleh Bolton (Darmiyati
Zuchdi, 2010: 177) digambarkan sebagai yin dan yang. Keduanya harus
dikembangkan secara seimbang karena merupakan komponen vital dalam
berkomunikasi.
Inkulkasi dan keteladanan mendemonstrasikan kepada subjek didik cara yang
terbaik untuk mengatasi berbagai masalah, sedangkan fasilitasi nilai melatih
subjek didik mengatasi masalah-masalah tersebut. Bagian yang terpenting dalam
metode fasilitasi ini adalah pemberian kesempatan kepada subjek didik.
Kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh subjek didik dalam pelaksanaan metode
fasilitasi nilai membawa dampak positif pada perkembangan kepribadian.
Metode yang terakhir, pengembangan keterampilan hidup (soft skills). Ada
berbagai keterampilan yang diperlukan agar seseorang dapat mengamalkan
nilai-nilai yang dianut, sehingga berperilaku konstruktif dan bermoral dalam
masyarakat. Keterampilan tersebut antara lain: berpikir kritis, berpikir kreatif,
berkomunikasi secara jelas, menyimak, bertindak asertif, dan menemukan resolusi
konflik, yang secara ringkas disebut keterampilan akademik dan keterampilan
sosial.
30
b. Evaluasi Komprehensif
Evaluasi dilakukan untuk mengetahui ketercapaian tujuan. Oleh karena itu,
perlu dibahas lebih dulu secara ringkas tujuan pendidikan karakter. Secara
lengkap, tujuan pendidikan karakter harus meliputi tiga kawasan yakni
pemikiran/penalaran, perasaan, dan perilaku.
Supaya tujuan pendidikan karakter yang berujud perilaku yang baik dapat
tercapai, subjek didik harus sudah memiliki kemampuan berpikir/bernalar dalam
permasalahan nilai/moral sampai dapat membuat keputusan secara mandiri dalam
menentukan tindakan apa yang harus dilakukan. Dalam hal ini
Kohlberg, berdasarkan penelitian longitudinal, telah berhasil meredefinisi
pemikiran Dewey mengenai reflective thinking dan memvalidasi karya Piaget
mengenai
perkembangan
berpikir,
kemudian
menyusun
tingkat-tingkat
31
32
Perilaku moral atau tindakan moral (moral action) hanya mungkin dievaluasi
secara akurat dengan melakukan pengamatan dalam jangka waktu yang relatif
lama, secara terus-menerus. Dengan demikian, dapat ditarik kesimpulan apakah
perilaku orang yang diamati sudah menunjukkan karakter atau kualitas akhlak
yang akan dievaluasi, misalnya, apakah orang tersebut benar-benar jujur, adil,
disiplin, beretos kerja, bertanggung jawab, dsb. Pengamat
Pembelajaran Terintegrasi
Pembelajaran terintegrasi dapat memberikan pengalaman yang bermakna
kepada
peserta
didik,
keterampilan-keterampilan
karena
dan
mereka
nilai-nilai
memahami
yang
mereka
konsep-konsep,
pelajari
dengan
33
lain, suatu keterampilan dengan keterampilan lain, atau suatu tugas dengan tugas
berikutnya, dalam satu bidang studi. Berikutnya model jaring laba-laba
merupakan model pembelajaran yang menggunakan pendekatan tematik untuk
mengintegrasikan beberapa beberapa bidang studi. Yang terakhir, model
terintegrasi ialah model pembelajaran yang menggabungkan berbagai bidang studi
dengan mene-mukan konsep, keterampilan, dan sikap yang saling tumpah tindih.
Di antara ketiga model tersebut, yang paling sering digunakan adalah model
yang kedua, yakni model yang menggunakan pendekatan tematik. Tema-tema
yang digunakan untuk pendidikan karakter dengan pendekatan komprehensif,
yang diintegrasikan dalam perkuliahan dan pengembangan kultur universitas pada
program implementasi tahun pertama (2010), antara lain: ketaatan beribadah,
kejujuran, tanggung jawab, kedisplinan, kerja sama, kepedulian, dan hormat pada
orang lain.
3.
Pengembangan Kultur
Guna menciptakan kultur yang bermoral perlu diciptakan lingkungan sosial
yang dapat mendorong subjek didik memiliki moralitas yang baik/karakter yang
terpuji. Sebagai contoh, apabila suatu perguruan tinggi memiliki iklim demokratis,
para mahasiswa terdorong untuk bertindak demokratis. Sebaliknya apabila suatu
perguruan tinggi terbiasa memraktikkan tindakan-tindakan otoriter, sulit bagi
mahasiswa untuk dididik menjadi pribadi-pribadi yang demokratis.
Demikian juga apabila perguruan tinggi dapat menciptakan lingkungan sosial
yang menjunjung tinggi kejujuran dan rasa tanggung jawab maka lebih mudah
bagi para mahasiswa untuk berkembang menjadi pribadi-pribadi yang jujur dan
bertanggung jawab. Namun, masyarakat secara umum juga perlu memiliki kultur
yang senada dengan yang dikembangkan di lembaga pendidikan.
Berikut ini enam elemen kultur lembaga pendidikan yang baik :
a.
34
b.
c.
d.
bergotong royong.
f.
dan membangun
35
Kerja keras, (6) Kreatif, (7) Mandiri, (8) Demokratis, (9) Rasa Ingin Tahu, (10)
Semangat Kebangsaan, (11) Cinta Tanah Air, (12) Menghargai Prestasi, (13)
Bersahabat/Komunikatif, (14) Cinta Damai, (15) Gemar Membaca, (16) Peduli
Lingkungan, (17) Peduli Sosial, & (18) Tanggung.
36
37
persepsi
dan
pandangan
yang
berbeda
tentang
perencanaan
38
Kedua
dilakukan
adalah
mengidentifikasi,
dan
tanggungjawabnya
melalui
pelayanan,
Ketiga
adalah;
merencanakan,
melaksanakan
dan
Keempat
39
begitu sulit mencerna pembelajaran yang diterimanya. Maka dari itu, langkah
pembelajaran yang harus disusun oleh guru, dilakukan secara berurutan untuk
mencapai tujuan pembelajaran. Penentuan urutan langkah pembelajaran sangat
penting artinya bagi materi-materi yang memerlukan prasyarat tertentu. Selain itu,
pendekatan pembelajaran yang bersifat spiral (mudah ke sukar; konkret ke abstrak;
dekat ke jauh) juga memerlukan urutan pembelajaran yang terstruktur. Rumusan
pernyataan dalam langkah pembelajaran minimal mengandung dua unsur yang
mencerminkan pengelolaan pengalaman belajar siswa, yaitu: kegiatan siswa dan
materi.
40
41
bahwa tujuan pembelajaran mengarah kepada pengembangan tiga hal dalam setiap
diri siswa yakni pertama, pengetahuan (knowledge).
Perubahan yang diharapkan adalah dari tidak mengetahui menjadi
mengetahui, dari tidak mengerti menjadi mengerti, dan sebagainya. Kedua,
keterampilan (skill); Perubahan yang diharapkan adalah dari tidak bias membuat,
melakukan, membentuk dan sebagainya berubah bisa membuat, melakukan,
membentuk sesuatu, dan sebagainya. Ketiga, sikap (attitude); Perubahan yang
diharapkan adalah dari sikap negatif menjadi sikap positif, dari sikap salah
menjadi sikap baik dan sebagainya.(Thontowi, t.t: 100).
Pengetahuan, keterampilan dan sikap merupakan komponen utama dalam
membangun manusia berkarakter. Untuk itu, ketiga domain dalam pembelajaran
ini tidak boleh tertinggal. Semuanya saling terkait satu sama lain. Jika semuanya
dapat saling terkait maka akan terbentuk manusia yang memiliki karakter dan
memiliki nilai lebih di mata orang lain,
42
No.
Mata Pelajaran
Nilai Utama
Pendidikan
Religius,
Agama
jujur,
cerdas,
tangguh,
peduli,
PKn
Religius,
jujur,
cerdas,
tangguh,
peduli,
Bahasa Indonesia
Religius,
jujur,
cerdas,
tangguh,
peduli,
Matematika
Religius,
jujur,
cerdas,
tangguh,
peduli,
IPS
IPA
Religius,
jujur,
cerdas,
tangguh,
peduli,
43
Bahasa Inggris
Religius,
demokratis,
jujur,
cerdas,
menghargai
tangguh,
peduli,
keberagaman,
santun,
Seni Budaya
Religius,
jujur,
cerdas,
tangguh,
peduli,
Penjasorkes
Religius,
jujur,
cerdas,
tangguh,
peduli,
10
TIK/Ketrampilan
Religius,
jujur,
cerdas,
tangguh,
peduli,
mandiri,
bertanggung
jawab,
dan
Muatan Lokal
Religius,
jujur,
cerdas,
tangguh,
peduli,
44
45
46
dengan persoalan yang menukik dengan keseharian siswa akan menjadikan siswa
tidak hanya sekedar mengikuti kegiatan belajar mengajar tersebut, tetapi juga
karena mereka merasa butuh. Persoalan kehidupan siswa yang dapat diangkat
guru untuk disajikan ke dalam pembelajaran pendidikan karakter antara lain:
narkoba, pacaran, jati diri remaja, jihad dalam belajar, pola berbakti kepada orang
tua dan sebagainya.
Titik tolakan inilah yang akan mengubah pola pandang siswa dalam
memahami pendidikan karakter, dari sekedar materi pembelajaran yang penuh
dengan normatif untuk mengembangkan menjadi pendidikan ilmu kehidupan di
dunia dan di akhirat. Inilah sebuah langkah mendasar (backbone) dalam
membentuk siswa berkarakter melalui pembumian nilai-nilai pendidikan karakter
dari kehidupan paling terdekat siswa.
I.
Jika lembaga pendidikan tersebut dipenuhi dengan guru yang berkualitas, maka
output yang dihasilkan pun akan lebih terjamin dan maksimal. Begitu pula
sebaliknya, jika lembaga pendidikan tersebut banyak dihuni oleh guru yang
kualitasnya jauh dari unsur kemutuan, maka output yang dikeluarkannya menjadi
kurang maksimal dan bisa jadi malah tidak bisa menyamai standar pembelajaran
yang diharapkan.
Terus tumbuhnya kesadaran baru dalam menyajikan mata pelajaran yang
menyentuh semua aspek siswa menjadi dorongan bagi guru untuk terus
meningkatkan kemampuan mengajarnya. Seiring dengan itu, benih-benih
kesadaran guru untuk terus memperbaiki kualitas pengajarannya pun terus
menggeliat. Ini menjadi semacam modal dasar dalam merancang pembelajaran
dan pendidikan karakter yang multi makna.
47
(transfer)
materi-materi,
tetapi
transformasi/pengubahan
J.
dan pengetahuan yang luas mengenai nilai-nilai pribadi dan sosial dalam
pendidikan karakter kepada siswa. Pengetahuan di sini mengacu sebagaimana
48
49
yang ada di sekitar siswa. Dari situ, siswa didorong oleh guru ( setelah proses
pemberian materi dan pemahamannya) menerapkan nilai-nilai dasar pendidikan
karakter seperti peduli lingkungan dan sikap tanggung jawab, pada permasalahan
kebersihan kelas mereka.(Depdiknas, 2006: 13-14)
Melangkah kepada tahap pembelajaran yang lebih tinggi adalah analisis.
Dalam tahapan tersebut, siswa diperkenankan oleh guru untuk berusaha memilah
suatu integritas dari rangkaian proses pembelajaran pendidikan karakter menjadi
unsur-unsur atau bagian-bagian sehingga jelas hierarkinya dan susunannya.
Analisis merupakan suatu kecakapan yang kompleks, yang memanfaatkan
kecakapan dari ketiga tipe hasil belajar sebelumnya. Dengan kemampuan analisis
diharapkan siswa mempunyai pemahaman yang komprehensif tentang materi
pendidikan karakter dan dapat memilah atau memecahnya menjadi bagian-bagian
yang terpadu baik dalam hal prosesnya, cara bekerjanya, maupun dalam hal
sistematikanya. Bila kecakapan analisis telah dikuasai siswa maka siswa akan
dapat mengaplikasikannya pada situasi baru secara kreatif. .(Depdiknas, 2006:
14). Hal inilah yang akan mempengaruhi siswa untuk terus mengembangkan pola
berpikir yang rasional. Ketika siswa sudah mampu berpikir rasional, ia akan
beranjak kepada bernalar ilmiah yang menjadi struktur dasar pemikiran keilmuan
modern.
Pada tahap tingkatan pembelajaran berikutnya, siswa didorong oleh guru
untuk melakukan penyatuan unsur-unsur materi pembelajaran pendidikan karaker
ke dalam bentuk menyeluruh disebut sintesis. Proses pembelajaran ini merupakan
rangkaian dari pelatihan siswa untuk berpikir berdasar pengetahuan hafalan,
berpikir pemahaman, berpikir aplikasi, dan berpikir analisis menuju cara berpikir
devergen. Dalam berpikir divergen pemecahan masalah atau jawabannya belum
dapat dipastikan. Dalam proses ini, guru mulai mengenalkan berbagai macam cara
berpikir kreatif kepada siswa dikenalkan. Siswa mulai dilatih berpikir kreatif
50
dengan teknik menemukan atau menciptakan sesuatu dari persoalan, problem atau
solusi ketika guru memberikan materi pendidikan karakter. Dengan kemampuan
sintesis, siswa dimungkinkan untuk menemukan hubungan kausal, urutan tertentu,
astraksi dari suatu fenomena yang mengandung muatan pendidikan karakter.
.(Depdiknas, 2006: 15)
BAB 5
PENUTUP
A. Kesimpulan
Perencanaan pembelajaran bermanfaat dalam menetapkan kecermatan
maupun kesesuaian segala strategi maupun materi pembelajaran pendidikan
karakter. Ini dilakukan agar prinsip-prinsip pembelajaran pendidikan karakter
yang telah tersusun dalam lembar kerja (worksheet) guru dapat dipastikan tersaji
secara menyeluruh, tanpa ada tahapan pembelajaran yang ditinggalkan. Hal
tersebut merupakan bagian dalam membangun sistem pembelajaran yang analitis,
visioner dan kontekstual.
Kegiatan perencanaan pembelajaran merupakan langkah awal dalam
menyusun kegiatan belajar mengajar yang efektif. Sebab dengan adanya
perencanaan akan diketahui arah, orientasi, kemampuan yang ingin ditanamkan
hingga strategi yang digunakan. Merancang perencanaan pembelajaran akan
mengantarkan guru memahami gambaran proses pembelajaran yang diampunya.
Ini dilakukan agar guru memiliki persiapan yang matang dalam menghadapi
proses dinamika yang akan terjadi saat guru tersebut melakukan proses
pembelajaran kepada siswanya.
Pendidikan karakter berupaya menjawab berbagai problema pendidikan
dewasa ini. Pendidikan
yang tidak hanya bertumpu pada pengembangan kompetisi kognitif peserta didik
semata, tetapi juga pada penanaman nilai etika, moral, dan spritual.
Untuk mewujudkan pendidikan karakter, tidaklah perlu dibuat mata pelajaran
baru, tetapi cukup diintegrasikan dalam pembelajaran pada setiap mata pelajaran.
Salah satu cara yang efektif dengan mengubah atau menyusun silabus dan RPP
51
52
evaluasi yang akan dilakukan. Evaluasi ini bisa berupa formatif (evaluasi untuk
memperbaiki pembelajaran) maupun sumatif (evaluasi untuk melihat keberhasilan
belajar siswa).
3.
pembelajaran sebagai proses pengalaman belajar siswa. Pada tahap ini guru harus
menentukan metode, pendekatan, model, dan media pembelajaran, serta teknik
pengelolaan kelas (laboratorium). (Depdiknas, 2009: 2)
53
B. Saran
Untuk
meningkatkan
kualitas
pembentukan
karakter
siswa
melalui
Untuk memiliki daya pendorong dalam hidup maka pembelajaran nilai perlu
diberikan sejak dini dengan secara sadar dirancang dan dikelola secara
eksplisit, terfokus dan komprehensif agar dalam proses pembelajaran terjadi
proses pembentukan karakter yang baik.
2.
3.
Meningkatkan kesadaran diri guru dan kepala sekolah. Guru selalu dengan
rela menanamkan pendidikan nilai kepada siswa secara terus menerus dengan
mengaitkan nilai secara terstruktur pada materi pelajaran yang dirancang dan
dilaksanakannya, sedangkan kepala sekolah secara terus menerus memantau
mereka.
4.
Memperbanyak
bentuk-bentuk
pelatihan
pembelajaran
yang
mampu
54
6.
7.
Para peneliti lain perlu mengembangkan makna karakter yang lebih jelas
menurut kondisi siswa dengan mendefinisikan secara rinci dimensi karakter
dan makna sistem karakter.
55
DAFTAR PUSTAKA
Audah, Ali. 2010. Nama dan Kata dalam al-Qur'an Pembahasan dan
Pembandingan. Bogor: Pustaka Lintera Antar Nusa.
Berkson, William dan John Wettersten. 2003. Psikologi Belajar dan Filsafat Ilmu
Karl Popper. Terjemahan oleh Ali Noer Zaman.Yogyakarta: Qalam.
Bower, Gordon H. dan Ernest R.Hilgard. 1998. Theories of Learning. 4th Edition.
New Jersey: Prentice Hall. Inc.
Depdiknas. 2006. Permendiknas No. 22 Tahun 2006. Jakarta: Depdiknas.
Depdiknas. 2007. Panduan Pengembangan Mata Pelajaran Muatan
Lokal .Jakarta: Depdiknas.
Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat UPTD Balai Pelatihan Guru. T.t. Modul
Peningkatan Mutu Tenaga Kependidikan,Bandung: Diknas Jabar.
Fadjar, Malik. 2005. Holistika Pemikiran Pendidikan. Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada.
Ginanjar A., Ary.2002.Emosional Spiritual Question. Jakarta:Arga.
Idris, Zahara.1982.Dasar-Dasar Kependidikan.Bandung:Angkasa.
Kemdiknas. 2010. Pendidikan Karakter Terintegrasi dalam Pembelajaran di
Sekolah Menengah Pertama.Jakarta: Kemdiknas.
Kementrian Pendidikan Nasional.2010.Pengembangan Pendidikan Budaya dan
Karakter Bangsa: Pedoman Sekolah.Jakarta:Puskur Balitbang Kemendiknas.
Koesoema, Doni.2007.Pendidikan Karakter:Strategi Mendidik Anak di Zaman
Global.Jakarta:Grasindo.Cet I.
Kusrini, Siti dkk. 2005. Keterampilan Dasar Mengajar (PPL 1), Berorientasi
Pada Kurikulum Berbasis Kompetensi.Malang: Fakultas Tarbiyah UIN
Malang.
Majid , Abdul. 2011.Perencaan Pembelajaran. Bandung : PT Remaja Rosdakarya.
Marimba,
Ahmad
D.1980.Pengantar
Filsafat
Pendidikan
Islam.Bandung:N.V.Almaarif.
Sumantri, Mulyani.1988.Kurikulum dan Pengajaran.Jakarta:P2LPTK.
Thonthowi, Ahmad. T.t. Psikologi Pendidikan.Bandung: Angkasa.
UU Sistem Pendidikan Nasional no. 20 tahun 2003
Wuryadi.2010.Sinergi Fungsional antar Unit sebagai Upaya Mendukung Fungsi
Lembaga
Pengembangan
Pendidikan
dan
Pembelajaran
(LP3).Yogyakarta:UNY Press
Zuchdi, Darmiyati.2010. Pendidikan Karakter dengan Pendekatan Komprehensif.
Yogyakarta: UNY Press
56
LAMPIRAN
RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN
Mata Pelajaran
Kelas/Semester
: X/1
Pertemuan ke
:I
Durasi Waktu
: 3 Jam @ 45 Menit
Indikator
A. TUJUAN PEMBELAJARAN
1.
Tujuan Akademik
a) Sikap dan perilaku yang patuh dalam melaksanakan ajaran agama yang
dianutnya, toleran terhadap pelaksanaan ibadah agama lain, dan hidup rukun
dengan pemeluk agama lain (Religius)
b) Siswa melakukan tindakan yang menunjukkan perilaku tertib dan patuh pada
berbagai ketentuan dan peraturan (Disiplin)
c) Siswa
mampu
melakukan
perilaku
yang
menunjukkan
upaya
57
dan kewajibannya, yang seharusnya dia lakukan, terhadap diri sendiri, masyarakat,
lingkungan (alam, sosial dan budaya), negara dan Tuhan Yang Maha Esa.
(Tanggung Jawab)
B. MATERI PEMBELAJARAN
BESARAN VEKTOR DAN SKALAR
1.
Pengertian Pengukuran
Pengukuran didenifisikan sebagai suatu proses membandingkan suatu besaran
dengan besaran lain ( sejenis ) yang dipakai sebagai satuan. Besaran adalah
sesuatu yang dapat diukur, dinyatakan dengan angka ( nilai ) dan memiliki satuan.
2.
Besaran
Nilai
Satuan
Panjang
80
Sentimeter
Massa
Kilogram
Waktu
15
Sekon
Skalar
Perpindahan
Jarak
Kecepatan
Laju
Percepatan
Kekuatan
Gaya
Waktu
Momentum
Volume
58
Kerja
Massa (inersia)
Tabel Besaran dan Skalar
C. METODE PEMBELAJARAN
Metode yang digunakan adalah dengan menggunakan pembelajaran klasikal.
Yaitu pembelajaran di kelas dengan sistim tutor dari guru dan teman sebaya.
D. KEGIATAN PEMBELAJARAN
1.
Kegiatan Awal
a) Mengucapakn salam
b) Mengkoordinasikan siswa untuk siap belajar
c) Mengadakan apersepsi: Siapakah yang mengenal sistim satuan di bidang
tekhnik?
d) Menyampaikan materi yang akan dibahas
2.
Kegiatan Inti
a.
b.
c.
3.
Kegiatan Akhir
a.
b.
Memberikan evaluasi
c.
Salam penutup
2.
Diagram/gambar
59
3.
Modul pembelajaran
F. PENILAIAN
1.
Soal
Vektor
Skalar
Panjang
Percepatan
Waktu
Gaya
Volume
2.
Kunci Jawaban
a.
Besaran vektor, adalah besaran yang memiliki besar (nilai) dan arah
b.
c.
b) Besaran
c) Vektor
Panjang
Waktu
Gaya
Percepatan
Volume
d) Skalar
60
3.
Skor Penilaian