Anda di halaman 1dari 13

PLURALISME AGAMA

(Definisi, Perkembangan Diskursus dalam Islam dan Prospeknya di Indonesia)


Oleh: Nurrochman
To be religious today is to be interreligious
A. Pendahuluan
Tantangan umat Islam, khususnya umat Islam Indonesia di era sekarang adalah
kenyataan akan keragaman yang dalam banyak hal sangat rawan akan potensi konflik.
Bahwa setiap perbedaan selalu mengandung potensi konflik, adalah benar adanya. Namun
demikian tidak setiap konflik yang lahir karena perbedaan tidak harus berakhir pada gesekan
sosial. Bagaiamanapun, perbedaaan adalah satu hal yang niscaya dalam kehidupan. Manusia
hampir mustahil bisa menghindar atau sekedar menafikan perbedaan. Bagaimana
perbedaan tersebut dikelola, itulah yang menjadi tantangan terberat bangsa ini. Bangsabangsa yang telah berhasil mengelola perbedaan sehingga tidak berujung pada konflik
umumnya akan tumbuh menjadi bangsa yang maju, baik dari segi ekonomi, politik maupun
sosial-budayanya. Sebaliknya, bangsa yang gagal mengelola perbedaan akan berkubang
dengan konflik sosial berkepanjangan yang menguras energi.
Dalam konteks Indonesia, perbedaan sebagai sumber konflik agaknya tidak lagi
diragukan. Belum lekang dalam ingatan bagaimana bangsa ini sempat dikoyak oleh
serangkaian konflik sosial berdarah yang terjadi di sejumlah wilayah di Indonesia. Sebut saja
misalnya konflik sosial yang terjadi di Ambon dan Poso sebagai dua yang paling memilukan.
Ribuan nyawa melayang, harta benda musnah tiada bersisa, belum lagi sejumlah besar orang
yang dipaksa pergi dari tanah tempat ia tinggal. Kesemuanya merupakan hadiah pahit dari
konflik sosial. Tidak ada yang bisa dipetik dari gesekan sosial selain penderitaan
berkepanjangan yang menyebabkan bangsa ini terus terpuruk dalam keterbelakangan. Selain
suku dan ras, isu agama menjadi isu yang paling sering muncul dalam konflik-konflik sosial
yang terjadi di Indonesia. Meski pada kenyataannya, kepentingan ekonomi dan politik selalu
tidak pernah alpa menjadi katalisator pecahnya konflik sosial, namun isu agama menjadi
satu-satunya pembenaran paling populer bagi para pelaku di dalamnya. Seolah-olah
pembenaran yang mengatasnamakan agama akan membuat konflik menjadi sahih dan
kemudaratan di dalamnya layak untuk dianggap setimpal. Meski demikian, tidak juga bisa
dimungkiri bahwa agama nyatanya memang memiliki dua sisi yang nampak berlawanan. Di
satu sisi agama bisa dijadikan sumber cinta kasih di muka bumi. Namun, di sisi yang lain

agama juga kerap memicu lahirnya konflik sosial berdarah. Adalah kenyataan yang tidak bisa
dibantah bahwa konflik sosial di Ambon, Poso dan sejumlah wilayah lainnya yang terjadi
pasca gerakan reformasi 1998 kental dengan nuansa agama di dalamnya. Setidaknya jika
hal itu dilihat dari dua kelompok yang terlibat di dalamnya, yakni kelompok Islam di satu
pihak dan kelompok Kristen di pihak lain.
Kiranya konflik sosial yang melanda sejumlah wilayah Indonesia lebih dari satu
dasawarsa yang lalu tersebut cukup menjadi catatan kelam bagi sejarah perjalanan bangsa
ini. Cukuplah hal itu menjadi cerita masa lalu yang tidak akan pernah terulang. Sebagai
bangsa yang besar, bangsa Indonesia seharusnya memiliki kecapakan dalam mengelola
perbedaan dan menjadikannya sebagai kekuatan untuk membangun, bukan sebaliknya
justru menjadi hambatan.
Meski konflik sosial berlatarbelakang agama dalam skala yang besar dan masif relatif
sepi dari bumi Indonesia belakangan ini, namun itu tidak berarti bahwa Indonesia telah
sepenuhnya lepas dari persoalan yang diakibatkan adanya perbedaan agama. Bahkan,
konflik sosial berlatarbelakang agama kini berkembang tidak hanya berkonotasi pada
gesekan antara dua agama yang berbeda namun juga kelompok yang seagama namun
memiliki pandangan yang berbeda. Kasus penyerangan Jamaah Ahmadiyah Indonesia di
beberapa tempat, pengusiran paksa warga penganut aliran Syiah, sampai tindakan
penyegelan tempat Ibadah pemeluk agama tertentu oleh sekelompok orang. Semua itu kian
lengkap dengan tumbuh suburnya kelompok-kelompok radikal berkedok agama yang
menebar teror kepada kelompok yang dianggap berbeda dengan mereka. Sejumlah
kejadian memilukan itu adalah setumpuk bukti bahwa masih terdapat residu persoalan yang
ditimbulkan dari adanya keragaman, terutama dalam konteks beragama di Indonesia.
Negara yang dalam konteks ini sangat dibutuhkan kehadirannya justru acapkali mangkir.
Dalam banyak kasus kekerasan atas nama agama, nampak sangat jelas negara tidak
menunjukkan kemauan untuk menegakkan hukum dengan menindak para pelaku. Bahkan
sebaliknya negara acapkali melakukan pembiaran bahkan memberikan perlindungan bagi
para aktor di balik kekerasan tersebut.
Merujuk pada fakta yang ironis tersebut, mengharapkan lahirnya harmoni dalam
kehidupan bangsa Indonesia yang plural ini nampaknya hanya akan berujung pada
kekecewaan. Untuk itu, perlu adanya gerakan sosial untuk membumikan sikap hidup saling
menghargai, menghormati, mengenal dan bekerjasama antarkelompok masyarakat yang
dimulai dari bawah. Dalam konteks inilah wacana mengenai pluralisme sangat diperlukan
untuk menjembatani keragaman yang rawan konflik tersebut. Fatalnya, alih-alih mendukung

kampanye pluralisme sebagai sebuah cara pandang yang ramah terhadap perbedaan,
pemerintah melalui MUI justru memvonis pluralisme sebagai paham yang bertentangan
dengan Islam. Fatwa MUI yang melarang paham pluralisme berkembang di Indonesia pada
dasarnya adalah fatwa yang lahir karena ketidakpahaman mereka akan esensi pluralisme.
Pengidentikan pluralisme dengan relativisme, yang menganggap semua agama sama adalah
kesalahan yang sangat fatal dan memalukan. Dalam konteks itu, fatwa pengharaman
pluralisme oleh MUI merupakan fatwa yang mubadzir belaka. Tulisan ini hadir dalam rangka
merespon isu kekerasan antar maupun sesama agama yang belakangan marak terjadi di
tanah air. Berangkat dari premis bahwa negara telah gagal dalam menjamin keamanan dan
keamanan warganegara dalam menjalankan peribadatan sesuai dengan agama dan
keimanan masing-masing sebagaimana dijamin oleh konstitusi, maka kerukunan dan
harmoniasi keberagamaan idealnya di bangun dari bawah, yakni dari lingkup masyarakat.
Dalam konteks yang lebih luas, tulisan ini akan mengupas pertanyaan yang seringkali
terlontar, mengapa harus pluralisme? Mengapa tidak cukup toleransi saja?
B. Pluralisme Tidak Menganggap Semua Agama Sama: Sebuah Klarifikasi Tentang Definisi
Plurlasime
Juli tahun 2005, MUI mengeluarkan fatwa yang mengharamkan pluralisme. K. H.
Maruf Amin, salah seorang petinggi MUI, dalam konteks membela fatwa tersebut
berargumen bawha pluralisme memiliki banyak tafsiran. Jika pluralisme diartikan sebagai
perbedaan agama, maka MUI tidak mengharamkan, karena hal itu adalah sebuah
keniscayaan. Namun, jika pluralisme dimaknai sebagai paham yang menganggap semua
agama, maka MUI dengan tegas mengharamkannya. Menurutnya, agama Islamlah satusatunya agama yang paling benar, sebagaimana disebut dalam al Quran. Klaim al Quran
bahwa Islam adalah agama yang paling benar sekaligus menegasikan kebenaran agama lain.
Dalam bahasa yang sederhana, Islam adalah agama yang benar dan yang lain salah.
Argumentasi lain yang ia kemukakan dalam konteks penolakan (baca: pengharaman)nya
terhadap pluralisme adalah bahwa pluralisme cenderung mengarahkan penganut satu
agama menjadi sinkretis, mencampuradukkan ajaran-ajaran agama yang berbeda menjadi
satu.
Fatwa ini tidak pelak memicu respon di kalangan umat Islam Indonesia. Ada yang
mendukung, namun tidak sedikit pula yang mencibir. Hamka Haq, Guru Besar UIN Alaudin
Makassar menyebut fatwa tentang pluralisme yang dirilis oleh MUI adalah fatwa yang siasial alias mubazir lantaran MUI sendiri salah memahami esensi dari pluralisme. Tindakan
MUI menyamakan pluralisme dengan relativisme, terlebih sinkretisme membuktikan bahwa

MUI sebagai lembaga keagamaan resmi bentukan pemerintah hanya diisi oleh orang-orang
yang kurang berwawasan luas dan tidak melek wacana. Adalah sebuah kesalahan fatal
mengidentikkan apalagi menyamakan pluralisme dengan relativisme, apalagi sinkretisme.
Tidak ada satu tokoh penggiat wacana pluralisme, baik dari kalangan agama Yahudi, Nasrani
maupun Islam yang menganjurkan pemeluk agama untuk bersikap ralativistik terhadap
konsep keimanan yang ia anut, atau bertindak lebih jauh untuk mencampuradukkan
beberapa ajaran agama menjadi satu.
Amir Hussain, dalam artikelnya Muslim, Pluralism and Interfaith Dialogue
mengetengahkan definisi mengenai pluralisme yang menarik dan dinilai banyak kalagan
mewakili apa yang diamaui para penganjur pluralisme. Menurutnya, pluralisme tidak bisa
begitu saja dimaknai dengan keberagaman. Sebuah komunitas atau masyarakat akan sangat
memungkinkan terbentuk dari entitas-entitas yang berlatarbelakang agama dan kebudayaan
yang berbeda, tanpa ada jejaring relasi sosial di dalamnya. Maka bisa dikatakan bahwa di
dalam masyarakat tersebut belum tersemai benih pluralisme. Pluralisme menghendaki
terjalinnya koeksistensi atau kerjasama antarentitas yang beragam tersebut guna
mewujudkan tata kehidupan sosial yang berbasis pada keadilan dan perdamaian. Dalam
konteks ini, pluralisme berada satu tingkat di atas toleransi. Jika toleransi hanya bertumpu
pada jargon mutual respect, di mana masing-masing entitas mengakui keberadaan liyan (the
others),

maka

pluralisme

lebih

menghendaki

terciptanya

mutual

understanding

(kesalingpahaman) antar kelompok yang berbeda. Paradigma toleransi yang hanya


menganjurkan manusia untuk mengakui dan menghormati kelompok liyan, tanpa merasa
perlu untuk mengenal apalagi melakukan kerjasama terbukti rapuh dalam mengantisipasi
konflik. Nuansa damai yang dihadirkan oleh pola pikir toleran adalah perdamaian yang semu,
dan hanya menyentuh aspek permukaan saja. Masyarakat yang toleran, akan nampak baikbaik saja di permukaan, namun di dalamnya sesungguhnya terdapat potensi konflik yang
tinggal menunggu waktu untuk meledak. Manakala muncul kepentingan ekonomi dan politik
yang terbalut dalam provokasi bernuansa wacana agama, maka konflik sosial menjadi satu
hal yang sulit dielakkan.
Lebih lanjut Amin Hussain menegaskan bahwa pluralisme tidak serupa dengan
relativisme yang tidak mengakui adanya standar kebenaran. Pluralisme mengakui bahwa
masing-masing agama memiliki konsep keimanan dan teologi yang berbeda. Pluralisme juga
tidak menafikan bahwa setiap agama mengandung konsep jalan keselamatan (salvation) di
mana setiap agama hampir bisa dipastikan selalu mengklaim sebagai satu-satunya yang bisa
mengantarkan manusia menuju surga. Justru dalam konteks itulah pluralisme, sebagai

sebuah paradigma berpikir hadir. Jika semua agama telah dianggap sama oleh manusia,
maka kehadiran pandagan pluralisme menjadi tidak relevan. Pada titik ini, fatwa MUI yang
mengharamkan pluralisme yang berangkat dari pandangan bahwa pluralisme adalah sama
dengan relativisme nampaknya sangat perlu untuk ditinjau ulang. Pluralisme hadir untuk
menengahi klaim kebenaran masing-masing agama yang potensial menyulut gesekan
antaragama. Pluralisme tidak hendak menyatukan keragaman itu ke dalam sebuah kesatuan,
sebaliknya justru membiarkan keragaman itu tumbuh sebagaimana mestinya namun
meniadakan potensi konflik di dalamnya. Dalam kerangka itulah, masing-masing pemeluk
agama idealnnya tidak menutup diri dari berkomunikasi dan berdialog dengan kelompok
agama lain. Para pemeluk agama selayaknya beranjak dari pola pikir eksklusif menuju pola
pikir yang lebih inklusif. Pola pikir eksklusifistik dalam beragama akan melahirkan satu sikap
arogan yang menganggap agama sendiri sebagai yang paling benar dan menganggap agama
lain salah. Sedangkan pola pikir inklusif memungkinkan cara pandang yang lebih terbuka
dalam melihat kelompok lain. Seorang pluralis akan memupuk keimanan dalam hatinya
dengan menebar cinta kasih sebagaimana menjadi ajaran semua agama, bukan dengan
membenci kelompok yang berbeda dengan dirinya. Seorang pluralis akan memiliki
kesadaran bahwa jalan keselamatan hanya bisa diraih dengan cara mengamalkan ajaran
agama yang ia yakini. Jika mempertimbangkan realitas Indonesia yang plural, terlebih
mengingat rapor merah bangsa Indonesia dalam persoalan hubungan antaragama, maka
pluralisme sebagai sebuah cara pandang dalam melihat perbedaan nampak sangat relevan
untuk dipromosikan.
C. Perkembangan Diskursus Pluralisme
Wacana pluralisme agama pertama kali diperkenalkan oleh para teolog Kristiani. Ada
sejumlah nama yang ditengarai menjadi penggagas pluralisme, antara lain John Hick, Karl
Rahner, Raimundo Panikkar, Wilfred C. Smith, Rosemary Reuther, Paul F. Knitter dan Gordon
D. Kauffman. Di antara nama-nama tersebut, Karl Rahner disebut banyak kalangan sebagai
salah satu teolog Katolik yang pemikirannya berpengaruh secara signifikan terhadap teologi
Katolik pasca Konsili Vatikan, di mana di dalamnya terdapat revisi pandanan Gereja Katolik
terhadap agama lain. Sebagaimana diketahui, dalam Konsili Vatikan I pandangan Gereja
Katolik terhadap agama lain masih kental dengan nuansa eksklusifitas klaim kebenaran, di
mana di sana disebutkan bahwa tidak ada jalan keselamatan lain di luar Gereja Katolik.
Konsili Vatikan II menunjukkan arah yang cukup menjanjikan bagi terciptanya pluralisme
agama. Dalam Konsili Vatikan II, Gereja Katolik secara tegas mengakui adanya jalan
keselamatan lain di luar Gereja Katolik, terutama pada agama Yahudi dan Islam.

Sebelum dirilisnya Konsili Vatikan II, Karl Rehner jauh-jauh hari telah
memperkenalkan satu tafsiran terhadap teologi Katolik yang bercorak progresif. Dalam
pandangan Rahner, agama-agama lain sangat mungkin menemukan karunia Yesus melalui
jalan mereka masing-masing tanpa harus menjadi umat Nasrani. Rahner menyebut
kelompok penganut agama selain Nasrani bukan sebagai kafir atau sesat melainkan
menyebutnya dengan anonymous christian, orang Kristen anonim. Yesus, dalam
pandangan Rahner masih menjadi norma di mana kebenaran berada dan jalan di mana
keselamatan dapat diperoleh. Namun demikian, untuk mendapatkan jalan keselamatan itu,
seseorang tidak harus masuk ke dalam agama Kristen.
Selain Rahner, teolog Katolik lain yang memiliki andil dalam mempromosikan
pluralisme di awal perkembangannya, adalah Raimundo Panikkar, teolog asal Spanyol.
Panikkar sendiri mengklaim bahwa ia hidup dalam empat tradisi, yakni tradisi Katolik di
mana ia dibesarkan, tradisi Hindhu yang merupakan agama sang ayah, Budha dan budaya
sekuler Eropa tempat ia tinggal. Latarbelakang kehidupan yang kompleks itu pula yang
melahirkan satu pendekatan keagamaan yang cukup menarik dari Panikkar. Di lingkungan
Gereja Katolik, Panikkar dikenal dengan upaya-upayanya untuk menggalang dialog
antaragama juga dialog yang melibatkan dua peradaban besar, yakni Timur dan Barat.
melalui tulisan-tulisannya, Panikkar berkeinginan untuk membangun teologi agama-agama
yang baru tanpa perlu menghilangkan partikularitas yang dikandung oleh masing-masing
agama. Selain melakukan upaya intelektual, untuk sampai pada tujuannya membangun satu
teologi universal itu, ia juga melakukan semacam perjalanan spiritual di mana ia
memperjalankan dirinya melewati tradisi dan budaya dari masing-masing agama besar di
bumi ini.
Panikkar bertitik tolak pada sebuah anggapan bahwa kebenaran yang dikemukakan
baik oleh ajaran agama Kristen di satu pihak, maupun agama lain di pihak lain, pada
dasarnya merupakan kebenaran universal, namun sayangnya acapkali dianggap sebagai
sebuah kebenaran yang partikular dan berdiri sendiri. Dalam konteks meredam potensi
konflik yang mungkin muncul oleh adanya klaim kebenaran yang dimiliki semua agama,
Panikkar menawarkan adanya dialog antaragama. Tesis Panikkar adalah bahwa melalui
dialog pengalaman-pengalaman yang bersifat partikular, semisal Kristus bagi orang Kristen
dan Veda bagi orang Hindhu, dapat diperluas dan diperdalam sehingga menyingkap
pengalaman-pengalaman baru mengenai kebenaran. Setiap penganut agama bisa dipastikan
memiliki pengalaman spiritual ketika ia menjalankan ritual peribadatan dalam agamanya.
Seorang muslim misalnya, akan mengalami pengalaman yang mengesankan mengenai

peristiwa Isra miraj Nabi Muhammad. Sama halnya, seorang Kristen juga pasti mempunyai
kesan tersendiri mengenai (misalnya) kematian Yesus di tiang salib. Pengalaman spiritual
masing-masing penganut agama ini akan menuntun para penganut agama ke satu titik yang
harmoni dengan dialog antaragama ayang dilakukan secara intens. Tanpa dialog, tidak jarang
pengalaman spiritual penganut agama yang berbeda justru bisa menjadi pemicu munculnya
sengketa. Dialog antaragama bukanlah hubungan asimilasi (penyatuan) apalagi subtitusi
(upaya untuk menomorduakan yang lain), melainkan lebih bersifat saling berbagi dan saling
memahami konsep teologi masing-masing. Mengenal teologi agama lain, dalam konteks ini
bukan untuk mencari kesalahan, apalagi mencampuradukkan ajaran agama, melainkan
untuk memperkuat keimanan masing-masing. Secara tegas, Panikkar berujar bahwa sikap
eksklusif, merasa diri paling benar, merasa diri paling berhak menghuni surganya Tuhan,
adalah puncak dari kemunafikan.
Th. Sumartana, seorang penggiat pluralisme di Indonesia menyebutkan dua hal
pokok yang harus disentuh dalam dialog antaragama. Pertama, menghidupkan satu
kesadaran baru tentang keprihatinan pokok iman orang lain dan kedua, mencari solusi atas
persoalan sosial yang tengah membelit manusia. Poin yang kedua inilah yang sejatinya
menjadi tujuan dari pluralisme. Maka, adalah sebuah pemandangan yang indah manakala
para tokoh lintas agama duduk bersama dalam satu forum untuk mencari solusi atas
persoalan-persoalan sosial atau menuntut satu rezim agar lebih memperhatikan rakyatnya
dalam bidang pendidikan, kesehatan dan pemenuhan lapangan pekerjaan. Dialog
antaragama dengan tema seputar persoalan sosial akan membuka mata para penganut
agama yang berbeda bahwa musuh semua agama pada dasarnya sama, yakni
keterbelakangan, kebodohan, kemiskinan dan kerusakan moral manusia.
Namun dalam perkembangan selanjutnya, konsep pluralism yang diperkenalkan
oleh Panikkar ini dinilai banyak kalangan kurang memadai, bahkan masih diskriminatif
terhadap penganut agama lain. Konsep Kristen Anonim yang dikenalkan oleh Panikkar
dinilai sebagai pengakuan bahwa agama Kristen berada satu tingkat lebih tinggi tinimbang
agama-agama lainnya. Pandangan yang demikian tentu tidak mewakili inti pluralisme itu
sendiri yang menghendaki semua agama diposisikan secara sejajar. Dalam konteks
mengkritik konsep pluralisme Panikkar yang masih menyisakan celah persoalan itulah
muncul John Hick dengan gagasan pluralismenya yang jauh lebih maju.
Dalam pandangan John Hick, pluralisme agama seharusnya dimaknai dengan cara
meniadakan kliam kebenaran agama yang acapkali dipahami secara normatif oleh para
pemeluk agama. Klaim kebenaran seharusnya hanya diberlakukan ke dalam, bukan keluar.

Artinya setiap pemeluk agama wajib yakin bahwa ajaran agamanyalah yang paling benar,
namun hal itu tidak lantas berarti ia berhak memandang rendah nilai kebenaran yang juga
sangat mungkin dikandung oleh agama lain. Pada titik inilah, Hick mengambil jalan sebagai
pluralis yang berbeda dengan Panikkar. Hick sebagai penganut Katolik tidak menempatkan
agama yang ia yakini di atas agama-agama lain, sebaliknya ia memposisikan agama secara
sejajar.
Titik tolak pandangan pluralisme Hick ini diberangkatkan dari perspektifnya
mengenai Tuhan. Baginya, Tuhan adalah sesuatu yang tidak terbatas (the ultimate reality)
yang tidak bisa dijangkau dengan definisi yang dirangkai manusia. Segala penyebutan
Tuhan secara berbeda oleh agama-agama di bumi pada dasarnya adalah ekspresi manusia
dalam upaya mereka menemukan Tuhan. Setiap agama memiliki sebutan yang berbeda
untuk Tuhan mereka lantaran keterbatasan mereka dalam mengungkap Tuhan yang
sesungguhnya. Namun pada dasarnya, semua agama meyakini bahwa hanya ada satu
realitas tunggal yang tidak terbatas di dunia ini, realitas itulah yang tidak bisa didefinisikan
oleh manusia, realitas itulah yang memiliki sifat serba maha, realitas itulah Tuhan.
Oleh karena itu, cara paling arif untuk menyikapi perbedaan tafsiran manusia
mengenai Tuhan tersebut adalah dengan menerima kenyataan bahwa agama yang beragam
tersebut pada dasarnya merepresentasikan jalan menuju Sang Realitas Tunggal, Tuhan.
Konsekuensinya, tidak ada satu agama pun yang berhak mengklaim diri lebih benar daripada
agama lain, terlebih ketika klaim kebenaran itu dijadikan rasionalisasi atas tindakan radikal
yang dilukan satu kelompok agama atas penganut agama yang lain.
D. Pluralisme dalam Perspektif Islam
Wacana pluralisme menjadi wacana yang sensitif di dunia Islam, tidak terkecuali
dalam lingkup Indonesia. Kehadiran wacana ini tidak pelak telah melahirkan respon yang
beragam sebagian sepakat dengan ide pluralisme sebagai bagian dari cara pandang
keberagamaan yang ramah terhadap perbedaan, sebagian lagi dengan tegas menolak.
Kelompok penentang ide pluralisme bahkan acapkali tanpa segan menyebut para tokoh
penggiat pluralisme sebagai kafir, sesat atau antek zionis Barat, sebuah tuduhan yang
tentu terlalu prematur dan semata lahir karena ketidakpahaman mereka akan esensi
pluralisme yang sesungguhnya. Bab ini tidak hendak mengulas kembali sengketa pendapat
antara kelompok penentang dan pendukung gagasan pluralisme. Telah banyak forum digelar
dan buku ditulis untuk mengklarifikasi bahwa pluralisme tidak bisa diidentikkan dengan
relativisme, terlebih sinkretisme, semua demi memberikan pemahaman pada kelompok
yang anti-pluralisme. Namun pada kenyataannya tidak ada pergeseran pandangan. Bahkan

sampai detik ini, fatwa MUI yang mengharamkan pluralisme pun tidak kunjung dicabut dan
lebih sering dijadikan legitimasi bagi kelompok penentang ide pluralisme. Sekali lagi bab ini
tidak dikerangkakan untuk memperpanjang debat tidak produktif tersebut, bukankah inti
dari pluralisme adalah memberikan tempat yang sejajar dengan kelompok lain yang
berbeda? Pertanyaan bagi umat Islam sekarang ini bukan lagi mengacu pada apakah
pluralisme sesuai dengan ajaran Islam, melainkan apakah umat Islam di era sekarang
memiliki komitmen untuk mewujudkan perdamaian dan keadilan di negeri yang serba plural
ini?. Jika masyarakat Islam berkomitmen untuk mewujudkan perdamaian dan keadilan,
maka al Quran menyediakan banyak sumber yang bisa dijadikan dasar bagi gagasan
pluralisme.
Islam tidak menafikan adanya pluralitas atau keragaman. Dalam Islam, perbedaaan
adalah sebuah keniscayaan Tuhan (sunnatullah) yang tidak bisa dielakkan. Banyak bukti
tekstual dalam al Quran yang secara eksplisit mengakui adanya realitas sosial yang plural,
bahkan beberapa di antaranya menjelaskan tujuan Tuhan menciptakan dunia dengan
entitas-entitas yang berbeda di dalamnya. Salah satu ayat yang populer dan menjadi rujukan
dalam kajian mengenai pluralisme adalah ayat yang berbunyi, Hai manusia, sesungguhnya
kami menciptakan kamu dari seirang laki-laki dan perempuan, dan menjadikan kamu
berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Ayat yang relatif
pendek itu dengan jelas mendedahkan arti perbedaan dan tujuan mengapa perbedaan harus
ada di muka bumi. Di awal ayat, dijelaskan bahwa eksistensi manusia di muka bumi pun
dilatarbelakangi oleh adanya perbedaan. Teori penciptaan dalam Islam mengenal adanya
aktivitas yang melibatkan dua entitas yang berbeda yakni laki-laki dan perempuan.
Menariknya, tujuan Tuhan menciptakan kehidupan dengan anekaragam entitas di dalamnya
tiada lain adalah agar manusia saling mengenal satu sama lain. Jika ditelaah melalui sudut
pandang hermeneutis, titik tekan ayat tersebut berada pada saling mengenal. Al Quran
memberikan satu inspirasi yang menarik bahwa relasi sosial yang melibatkan entitas-entitas
yang beragam hendaknya dilandasi dengan prinsip mutual understanding. Pengejawantahan
prinsip mutual understanding mustahil terwujud manakala masing-masing pihak berdiri di
menara gading kebenarannya masing-masing tanpa merasa perlu untuk bertegur sapa
dengan liyan (The Others). Untuk itu, di bagian yang lain, al Quran memperkenalkan terma
tafassakhu fil majalisi, yang bermakna memberikan tempat bagi orang lain yang berbeda.
Islam jelas tidak menghendaki adanya diskriminasi manusia berdasar agama. Dalam
konteks rumpun agama Ibrahim, harus diakui bahwa Islam muncul belakangan setelah
agama Yahudi dan Nasrani. Konsekuensinya, Islam harus berhadapan dua agama

sebelumnya yang tentu memiliki konsep teologi yang berbeda. Meski demikian, al Quran
tidak serta merta menyebut dua komunitas agama yang sudah eksis sebelum Islam tersebut
sebagai kelompok kafir. Al Quran mengenal istilah Ahli Kitab yang merujuk pada dua
komunitas yakni Yahudi dan Nasrani. Dalam al Quran kedudukan Ahli Kitab setara dengan
kaum muslim. Bahkan disebutkan lebih lanjut bahwa tidak sahih keimanan seorang muslim
tanpa mengenal dan mengimani teologi yang dibawa agama Yahudi dan Nasrani.
Uniformitas, dalam artian penyeragaman, jelas bukan merupakan tujuan dari Islam.
Sedari awal, Islam tidak pernah berupaya untuk sekedar menegasikan apalagi menghapus
ajaran agama Yahudi dan Nasrani. Al Quran secara eksplisit menyebutkan, Jikalau Tuhanmu
menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu, tapi mereka senantiasa
berselisih pendapat. Kekuasaan Allah yang tidak terbatas memungkinkan dia untuk
menjadikan kehidupan ini serba seragam, namun Ia memilih untuk menjadikan dunia ini
beranekaragam.
Meski tidak merilis dokumen resmi, semacam Konsili Vatikan II layaknya yang
dilakukan Gereja Katolik, pada dasarnya Islam adalah agama yang terbuka terhadap
kemungkinan adanya jalan keselamatan di luar Islam. Berkali-kali al Quran menegaskan
bahwa Allah tidak membeda-bedakan manusia kecuali dari amal salehnya. Amal saleh yang
dilandasi dengan keberimanan pada Tuhan adalah dua syarat yang disebutkan al Quran
untuk manusia sampai pada surga yang dijanjikan. Sejalan dengan hal itu, Rasyid Ridha dan
Muhammad Thabathabai menyatakan bahwa semua yang beriman pada Tuhan dan
melakukan amal saleh dimungkinkan untuk menghuni surga tanpa pertimbangan afiliasi
agamanya. Bukan identitas agama secara harfiah yang akan mengantarkan manusia pada
surga, melainkan bagaimana ia menjadikan agama yang ia anut sebagai jalan untuk menebar
cinta kasih dan amal saleh.
Nurcholis Madjid penggiat pluralisme, yang juga pendiri Universitas Paramadina
Jakarta, mengemukakan satu analisa bahwa dewasa ini umat Islam, utamanya di Indonesia
cenderung menganggap diri lebih istimewa dibanding penganut agama lain. Penyakit ini,
menjadi salah satu kendala utama terciptanya kerukunan antarumat beragama yang kuat di
Indonesia. Berbeda dengan arus pemikiran keislaman di Indonesia yang cenderung eksklusif,
Madjid beranjak lebih jauh dengan tidak lagi memaknai Islam semata-mata sebagai
sekumpulan syariat dan aturan yang harus ditaati manusia. Menurutnya, dari akar katanya
Islam lebih tepat diartikan sebagai sebuah sikap tunduk, pasrah dan mengabdi pada
Tuhan.

Argumen utama al Quran mengenai pluralisme didasarkan pada hubungan antara


keimanan yang sifatnya pribadi, dan proyeksi publiknya dalam masyarakat Islam. Dalam hal
ini patut digarisbawahi bahwa Islam tidak pernah memaksakan penganut agama lain untuk
menganut agama Islam, melainkan memberikan kebebasan kepada mereka untuk bisa
mengaktualisasikan keimanan mereka dan hidup berdampingan secara damai dengan Islam.
Dewasa ini, wacana pluralisme agama menjadi tema yang banyak dipromosikan oleh
kalangan intelektual muslim. Nama-nama seperti Seyyed Hossei Nasr, Abdul Karim Soroush,
Khaled Abou el Fadl, Hasan Askari, Fathi Osman dan sejumlah nama lainnya aktif
menyebarkan gagasan pluralisme. Di Indonesia gerbong wacana pluralisme ditarik oleh
Nurcholis Madjid dan Abdurrahman Wahid. Meski ide-idenya banyak ditentang oleh
kalangan Islam garis keras, namun disadari atau tidak, gagasan pluralisme yang dengan
susah payah disemai oleh keduanya belakangan kian dirasakan manfaatnya. Sepeninggal
keduanya, wacana pluralisme di Indonesia nyatanya tidak tenggelam, bahkan kian bergeliat
dan berkembang ke arah yang lebih menjanjikan. Para penggiat pluralisme kini tidak hanya
datang dari akademisi berlatarbelakang pendidikan formal, namun juga datang dari kalangan
pesantren yang tidak mengecap pendidikan formal. Fenomena ini tentu menjadi kabar baik
bagi proyek kerukunan umat beragama di Indonesia. Bangsa Indonesia yang notabene
merupakan masyarakat Islam terbesar di dunia seharusnya mampu menjadi prototipe
masyarakat muslim ideal yang tidak hanya toleran, namun juga pluralis. Patut disayangkan
bahwa nyatanya masih banyak aksi-aksi kekerasan maupun diskriminasi atas nama agama
terjadi di Indonesia.
Dalam cakupan yang lebih luas, umat beragama seharusnya paham bahwa agama
selalu memiliki dua wilayah. Wilayah pertama adalah wilayah paling luar dari agama. Para
ahli agama menyebutnya dengan wilayah eksoterik. Pada wilayah ini, agama akan sangat
kental dengan nuansa perbedaan dan friksi, lantaran di bagian inilah tata aturan agama
(syariat), aturan dan cara ibadah dari agama-agama berada. Wilayah kedua adalah wilayah
esoterik, yakni wilayah paling dalam atau inti dari agama. Pada titik ini, agama akan sampai
pada definisinya sebagai seperangkat ajaran yang membimbing manusia menuju kesejatian
hidup. Syariat, tata aturan atau cara peribadatan menjadi tidak relevan diperbincangkan,
dalam hal ini. Pada titik ini pula, segala perbedaan agama yang berjibaku di wilayah eksoterik
(luar) lebur menjadi satu dan tidak lagi tampak.
Idealnya seorang penganut agama, memperjalankan dirinya sampai pada titik pusat
agama yang bersemayam di wilayah esoterik. Seorang penganut agama yang hanya asik
berada di wilayah paling luar agama (area eksoterik) berpotensi menjadi penganut agama

yang eksklusifistik. Ia akan menegakkan kebenaran yang ia yakini dengan cara menegasikan
kebenaran yang diyakini orang lain. Ia cenderung puas menikmati kemasan agama namun
luput akan subtansi atau isi di dalamnya. Sebaliknya, penganut agama yang berupaya
memperjalankan dirinya agar sampai pada wilayah esoterik agama bisa dipastikan memiliki
perspektif yang berbeda dalam melihat perbedaan. Ketika ia sampai pada wilayah paling
dalam dari agama, maka ia akan sepenuhnya sadar bahwa perbedaan antara satu agama
dengan agama yang lain hanyalah sebuah hal yang diniscayakan oleh sejarah.
Merujuk pada hal di atas, semua umat agama di muka bumi sebenarnya selalu
dihadapkan pada dua pilihan: mencari perbedaan atau mencari titik temu. Jika umat
beragama selalu memegang keyakinannya sebagai hal pembeda dengan penganut agama
lainnya, maka bisa dipastikan seluruh umat beragama akan berada dalam situasi yang
konfliktual. Sebaliknya, jika seluruh penganut agama bersedia untuk mengangguhkan klaim
kebenaran agama masing-masing lalu mencari titik temu, maka bisa dipastikan harmoni akan
tercipta dalam kehidupan manusia. Fritjof Schuon, dalam konteks pencarian titik temu
agama-agama, menawarkan satu perspektif yang menarik. Menurutnya, semua agama di
muka bumi, mulai dari agama samawi, agama ardhi maupun agama tradisi yang sebagian
besar sudah punah pada dasarnya merupakan jalan menuju pada yang satu, yakni Tuhan.
Titik berangkat, jalan dan cara mereka (agama-agama) mencapai Tuhan bisa dipastikan
berbeda, sehingga seolah-olah mereka adalah para musafir yang berbeda tujuannya.
Namun, ide dasar serta tujuan mereka, yakni Tuhan, akhirnya mempertemukan mereka pada
satu titik kesejatian.
E. Epilog
Siapa yang tidak miris menyaksikan bagaimana bangsa yang konon katanya
memilki tradisi kerukunan dan keramahtamahan yang kondang ke seluruh dunia ini harus
terpuruk oleh isu-isu perpecahan di dalamnya. Tengoklah googgle, si mesin pencari lalu
masukkan kata Indonesia di sana. Apa yang muncul teratas? Adalah Indonesia yang kerap
dilanda bencana alam, Indonesia yang politisinya gemar korupsi dan Indonesia yang
masyarakatnya doyan berkonflik, terutama yang dibungkus dengan isu agama. Anak muda
Indonesia, seharusnya tidak bisa tidur nyenyak dan makan enak manakala mendapati
kenyataan ini. Namun faktanya, banyak yang acuh pada kenyataan yang sesungguhnya
memalukan ini. Bahkan tanpa disadari, banyak anak muda yang (sekali lagi) tanpa sadar ikut
memiliki andil dalam mereproduksi kekerasan atas nama agama. Tidak percaya? Coba simak
yel-yel anak soleh yang diajarkan kakak ustadz atau ustadzah kepada anak-anak Taman
Pendidikan al Quran yang akhirannya berbunyi Islam-islam Yes, Kafir-kafir No. Tidak perlu

penyelidikan lebih lanjut bahwa kata kafir dalam kalimat tersebut pasti merujuk pada
kelompok non-Islam, atau bahkan sesama muslim namun tidak sejalan dengan pandangan
mereka, sang pencipta yel-yel tersebut. Miris tentu melihat anak-anak kecil yang dengan
semangat datang ke Mesjid untuk mengenal agama, justru bertemu dengan orang-orang
yang mengajari mereka untuk membenci kelompok lain. Anak-anak yang demikian ini, akan
tumbuh menjadi manusia dewasa yang memendam kebencian terhadap liyan. Pada otak
mereka sudah tersimpan satu file bahwa kelompok yang berbeda dengan dirinya adalah
kafir, dan harus dienyahkan di muka bumi. Hanya tinggal menunggu waktu sampai ada
provokasi dan pembenaran yang bisa menyulut kebencian itu menjadi sebuah aski radikal.
Tantangan bangsa ini ke depan adalah bagaimana masyarakatnya yang serba plural
ini bisa hidup secara damai, berdampingan dan saling bekerjasama. Pendidikan mengenai
pluralisme seharusnya menjadi pengetahuan wajib bagi anak-anak. Jauh sebelum mereka
mengenal teknologi dan hal-hal lain yang seringkali dianggap sebagai simbol modernitas,
mereka seharusnya paham mengenai pluralisme.

Anda mungkin juga menyukai