Anda di halaman 1dari 16

Pendahuluan

Penyakit jantung rematik adalah komplikasi yang paling serius dari demam rematik. Demam
rematik akut mengikuti 0,3% kasus faringitis streptokokus grup A beta-hemolitik pada anak-anak.
Sebanyak 39% pasien dengan demam rematik akut dapat mengembangkan berbagai tingkat
pancarditis dengan insufisiensi katup terkait, gagal jantung, perikarditis, dan bahkan kematian.
Dengan penyakit jantung rematik kronis, pasien mengembangkan stenosis katup dengan berbagai
derajat regurgitasi, dilatasi atrium, aritmia, dan disfungsi ventrikel. Penyakit jantung rematik kronis
tetap menjadi penyebab utama stenosis katup mitral dan penggantian katup pada orang dewasa di
Amerika Serikat.1
Pengenalan sedini mungkin terhadap keterlibatan jantung menjadi bagian penting dalam
mencegah terjadinya kerusakan jantung lebih lanjut. Oleh karena itu dalam makalah ini akan dibahas
mengenai kriteria diagnosis terbaru serta pencegahan terhadap terjadinya masalah lebih lanjut.
Anamnesa
Diagnosis pada demam jantung rematik memerlukan anamnesis dan pemeriksaan
fisikyang teliti.
Pertama ialah menanyakan identitas pasien seperti nama, umur, pekerjaan, alamat,
dan lain-lain. Setelahnya menanyakan keluhan utama serta menelusuri keluhan utama,
seperti:
1. Karditis
- Adakah sesak? Apakah sesak dipengaruhi aktivitas? ---d i p s n o e - - - o n effort
- Adakah sesak pada malam hari? (Paroxysmal Nocturnal Dyspnea)
- A d a k a h s e s a k ya n g t e r j a d i p a d a p os i s i b e r b a r i n g d a n hi l a n g
p a d a posisi duduk? (orthopnea)
- Adakah nyeri dada? Bagaimanakah sifat nyeri?
- Adakah pembengkakan (udem)?
2. infeksi tenggorokan
- apakah ada keluhan nyeri menelan sebelumnya?
- Apakah disertai gejala batuk dan mata merah?
- Adakah keluhan demam?
- Adakah nyeri tekan pada kelenjar leher?
3. Polartritis
- A p a k a h a d a b e n g k a k ya n g t e r j a d i t i ba - t i b a pa d a s e n d i - s e n d i b e s a r
( l ut u t , p e r ge l a n g a n k a ki a t a u t a n g a n, p a h a , l e n g a n, s i k u da n b a h u )
sebelumnya?
- Apakah bengkak pada sendi simetris dan berpindah?
- Apakah bengkak tersebut disertai nyeri?
4. Korea
- Adakah gerakan-gerakan yang tidak disadari?
- Adakah kelemahan otot?
- Adakah ketidakstabilan emosi?
5. Eritema marginatum
- Adakah bercak kemerahan yang tidak gatal?
- Apakah bercaknya seakan-akan menjauhi pusat lingkaran?
- Apakah bercak berpindah-pindah?
6. Nodul Subkutan
- Adakah teraba massa padat?
1

Apakah massa tersebut tidak terasa nyeri, mudah digerakkan dari kulitdi atasnya?

Sesudahnya tanyakan K=kondisi sebelumnya (termasuk masa kanak-kanak) dan terkait,


seperti infark miokard, hipertensi, diabetes, demam reumatik. Informasi resep dan obat lainnya, serta
kepatuhan pasien. Tinjauan kembali tekanan darah, kadar lipid, rontgen toraks, dan EKG sebelumnya.
Setelahnya tanyakan riwayat prnyakit keluarga, pekerjaan,dan sosial, hal-hal yang memperberat dan
memperingan, serta aktivitas, iklim, makanan, kebiasaan dan obat-obatan.
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan tanda vital
Pemeriksaan tanda vital seperti tekanan darah,frekuensi pernapasan,denyut nadi,berat
badan,tinggi badan. Pemeriksaan tanda vital pada pasien ini berfungsi untuk mengetahui kondisi
umum dari pasien. Pada penderita demam jantung rematik dengan komplikasi yang parah seperti
insufisiensi mitral akan didapatkan tanda-tanda gagal jantung yaitu dispnea dan mungkin juga terjadi
denyut nadi yang cepat untuk mengkompesasi kekurangan aliran darah yang masuk ke aorta.
Beberapa kelainan dari tanda vital juga akan diketemukan pada penyakit jantung rematik dengan
komplikasi yang lain. Berat badan dan tinggi badan juga merupakan suatu pertanda penting untuk
membedakan suatu penyakit jantung bawaan maupun didapat. Sebagian besar penyakit jantung
bawaan akan menunjukkan keterlambatan tumbuh kembang dari anak terserbut.
Hasil dari tanda tanda vital didapatkan nadi 140 kali/menit, napas 40 kali/menit, suhu
36,30C. Serta keadaan umumnya sakit berat, sesak, gelisah, diaforetik namun tidak sianosis.
Inspeksi
Memperhatikan gerakan-gerakan lain pada dinding dada. Pada pemeriksaan
inspeksi perlu diperhatikan adanya sesak napas, pernapasan cuping hidung, sianosis, pembengkakan
pada sendi, melihat apakah denyut jantung terlihat di permukaan kulit atau tidak. Adanya pernapasan
cuping hidung, sianosis merupakan pertanada adanya gejala dari gagal jantung ataupun kelainan dari
pada jantung. Pembengkakan sendi merupakan salah satu kriteria major jones sehingga patut menjadi
perhatian utama untuk mendiagnosis penyakit jantung rematik. Denyut jantung yang terlihat juga
dapat terjadi karena beberapa sebab, mungkin terjadi karena terjadi kardiomegali yang cukup besar
atau anak tersebut sangat kurus.
Hasil inspeksi dalam skenario adalah thoraks: ictus cordis 2 jari lateral linea midclav
sinistra ICS 6.
Palpasi
Meraba denyut jantung, palpasi berguna untuk menekan sendi, dimana pada arthritis yang
disebabkan oleh demam rematik akan terjadi sakit. Palpasi juga penting untuk memeriksa nodul
2

subkutan, nodul subkutan pada demam jantung rematik dapat digerakan dan tidak sakit. Pemeriksaan
palpasi yang tidak kalah penting adalah menentukan ukuran dari hati. Ukuran dari hati akan
membesar apabila terjadi gagal jantung kanan yang merupakan salah satu komplikasi lanjut dari
penyakit jantung rematik.
Perkusi
Mengetahui batas-batas jantung. Perkusi berguna untuk memeriksa apakah adanya
perbesaran dari jantung. Pada penderita kronis akan terjadi perbesaran jantung karena efek
kompensasi.
Auskultasi
Mendengarkan bunyi-bunyi jantung. Pada pemerikssaan auskultasi berguna untuk
mencari suara patologis dari jantung. Pada penderita jantung rematik biasanya ditemukan murmur
holosistolik yang merupakan akibat dari insufisiensi katup mitral dan mungkin pada penderita yang
lebih lanjut disebabkan oleh insufisiensi katup trikuspidalis. Pada pemeriksaan auskultasi juga
mungkin ditemukan suara jantung ketiga yang disebabkan keterlambatan penutupan atau percepatan
penutupan dari katup-katup jantung. Yang paling sering adalah kecepatan penutupan dari katup aorta
yang disebabkan oleh insufisiensi dari katup mitral.
Hasil auskultasi dalam skenario adalah suara: vesikuler, ronki basah halus di kedua basal
paru. Cor: pan sistolik murmur grade 3/6 di apex dan diastolik murmur ICS 2 sternalis kanan.
Pemeriksaan penunjang
1. Kultur tenggorok
Dengan hapusan tenggorok pada saat akut. Biasanya kultur Streptococcus Grup A
negatif pada fase akut. Bila positif belum pasti membantu dalam menegakkan diagnosis sebab
kemungkinan akibat kekambuhan kuman Streptococcus Grup A atau infeksi Streptococcus
dengan strain yang lain.
2. Rapid antigen test
Pemeriksaan antigen dari Streptococcal Grup A. Pemeriksaan ini memiliki angka
spesifitas lebih besar dari 95%, tetapi sensitivitas hanya 60-90%, sehingga pemeriksaan kultur
tenggorok sebaiknya dilakukan untuk menegakkan diagnosis.
3. Antistreptococcal antibody
Antibodi Streptococcus lebih dapat menjelaskan adanya infeksi oleh kuman tersebut,
dengan adanya kenaikan titer ASTO dan anti-DNA se B. Terbentuknya antibodi ini sangat
dipengaruhi oleh umur dan lingkungan. Titer ASTO positif bila besarnya 210 Todd pada
orang dewasa dan 320 Todd pada anak-anak. Pemeriksaan titer ASTO memiliki sensitivitas
80-85%.
3

Titer pada DNA-se 120 Todd untuk orang dewasa dan 240 Todd pada anak-anak
dikatakan positif. Pemeriksaan anti DNAse B lebih sensitive (90%).
Antobodi ini dapat dideteksi pada minggu kedua sampai ketiga setelah fase akut
demam rematik atau 4-5 minggu setelah infeksi kuman Streptococcus Grup A di tenggorokan.
4. Protein fase akut
Pada fase akut dapat ditemukan lekositosis, LED yang meningkat, C reactive protein
positif; yang selalu positif pada saat fase akut dan tidak dipengaruhi oleh obat antirematik.
5. Pemeriksaan Imaging
a. Pada foto rontgen thorax dapat ditemukan adanya cardiomegali dan edema paru yang
merupakan gejala gagal jantung.
b. Doppler-echocardiogram
Pemeriksaan ini dapat mendeteksi kelainan katup dan ada tidaknya disfungsi
ventrikel. Pada keadaan carditis ringan, mitral regurgitasi dapat ditemukan saat fase akut,
yang kemudian akan mengalami resolusi dalam beberpa minggu sampai bulan.

Pasien

dengan carditis sedang sampai berat mengalami mitral dan atau aorta regurgitasi yang
menetap.
Pada penyakit jantung rematik kronik, pemeriksaan ini digunakan untuk melihat
progresivitas dari stenosis katup, dan dapat juga untuk menentukan kapan dilakukan
intervensi pembedahan. Didapatkan gambaran katup yang menebal, fusi dari commisurae
dan chordae tendineae. Peningkatan echodensitas dari katup mitral dapat menunjukkan
6.

adanya kalsifikasi.
Kateterisasi jantung
Pada penyakit jantung rematik akut, pemeriksaan ini tidak diindikasikan. Pada kasus
kronik, pemeriksaan ini dapat digunakan untuk mengevaluasi katup mitral dan aorta dan
untuk melakukan balloon pada mitral stenosis.

7.

EKG
Pada panyakit jantung rematik akut :
sinus takikardia dapat diperoleh.
- AV block derajat I dapat diperoleh pada beberapa pasien
- didapatkan gambaran PR interval memanjang. AV block derajat I tidak
spesifik sehingga tidak digunakan untuk mendiagnosis penyakit jantung
rematik. Jika didapatkan AV block tidak berhubungan dengan adanya
-

penyakit jantung rematik yang kronis.


AV block derajat II dan III juga dapat didapatkan pada penyakit jantung rematik,

block ini biasanya mengalami resolusi saat proses rematik berhenti.


Pasien dengan penyakit jantung rematik juga dapat terjadi atrial flutter atau atrial
fibrilasi yang disebabkan kelainan katup mitral yang kronis dan dilatasi atrium.

Differential Diagnosis
Demam rematik akut
merupakan respon imunologi abnormal terhadap streptokokus hemolitikus beta, yaitu suatu
organisme yang sering menimbulkan sakit tenggorok dan tonsilitis. Diperkirakan bahwa tubuh tidak

dapat membedakan antigen dari tubuh sendiri dengan antigen dari organisme tersebut sehingga terjadi
reaksi autoimun. 2
Gambaran klinisnya, 1-3 minggu setelah infeksi tenggorokan, penderita (biasanya anak usia
sekolah) mengalami demam, malaise, dan poliartritis migrans akut yang meliputi sendi ukuran sedang
(lutut, pergelangan kaki, pergelangan tangan dan siku). Karditis sering terjadi, meliputi seluruh
lapisan jantung. Perikarditis menimbulkan pergesekan atau efusi perikardial. Miokarditis
menimbulkan takikardi, pembesaran jantung, dan aritmia. Endokarditis menyebabkan bising sistolik
dan diastolik. Ruam kulit, terutama eritem marginatum, dan nodul subkutan pada oksiput atau
permukaan ekstensor dari siku, pergelangan tangan dan jari-jari, jarang ditemukan. Korea merupakan
manisfestasi neurologis demam rematik yang jarang dihubungkan dengan karditis. 2
Pengobatannya, diberikan Penisilin untuk membunuh stretokokus dan aspirin dosis tinggi
diberikan untuk menurunkan demam serta meredakan artritis. Steroid dapat memperpendek masa
sakit tetapi tidak menurunkan insiden kerusakan jantung permanen yang disebabkan karditis-obat ini
terutama digunakan pada kasus demam rematik yang berat. 2
Endocarditis Infektif
Kolonisasi mikroba pada katub jantung menyebabkan terbentuknya vegetasi yang rapuh dan
terinfeksi, dengan kerap kali menimbulkan kerusakan katup. Lazimnya, terdapat bentuk endokarditis
infektif akut (disebabkan oleh mikroorganisme yang sangat virulen, contohnya Staphylococcus
sureus), dan endokarditis infektif subkutan (disebabkan oleh mikroorganisme dengan virulensi yang
sedang hingga rendah, contoh Streptococcus viridans).3
Patogenesisnya dimulai dari mikroorganisme yang terbawa darah (biasanya bakterimia)
merupakan prasyarat untuk terjadinya endokarditis infektif. Mikroorganisme tersebut bisa berasal dari
tempat lain di dalam tubuh, penyalahgunaan obat intravena, prosedur dental atau bedah, ataupun
berasal dari jejas ringan pada usus, traktus urinarius, ororfaring, atau kulit. Keadaan yang turut
mendukung meliputi neutropenia dan imunosupresi. Meskipun endokarditis dapat terjadi pada katup
jantung yang normal, tetapi kelainan katup tertentu dan keadaan kardiovaskuler lainnya memudahkan
terjadinya infeksi tersebut: VSD, penyakit jantung rematik yang kronik, prolapsus katup mitral,
stenosis degeneratif dengan kalsifikasi, katup aorta bikuspid, katup prostetik, kateter di dalam
kandung kemih (kateter balon).3
Gambaran klinis jejas langsung pada katup atau pada miokardium dan aorta; emboli dari
vegetasi ke lien, ginjal, jantung, dan otak yang disertai infark atau infeksi metastatik; jejas renal
meliputi infarksi atau infeksi dipastikan lewat kriteria Duke. 3
Terapi antibiotik merupakan terapi utama, berdasarkan hasil kultur darah dan sensitivitas
organisme. Pemberiannya harus bekerja sama dengan ahli mikrobiologi. Antibiotik biasanya diberikan
intravena, seringkali berupa kombinasi obat untuk mendapatkan daya bunuh bakteri dan daya tembus
jaringan yang terbaik. Terapi umumnya berlangsung selama 4 atau 6 minggu. Kadang-kadang terdapat
indikasi bedah untuk mengambil dan mengganti katup yang terinfeksi .4
Miokarditis
5

Miokarditis merupakan peradangan otot jantung akibat infeksi virus, infeksi bakteri,
pemparan radiasi, penyakit autoimun, atau kerusakan oleh toksin. Gambarn klinisnya tergantung berat
dan lamanya peradangan. Pada miokarditis akut gambaran yang dominan adalah gagal jantung akut.
Psien bisa tampak sakit sangat berat, mengalami sesak napas, dengan keadaan curah jantung yang
rendah. Tanda miokarditis adalah adanya takikardia yang tidak sesuai dengan beratnya gagal jantung.
Manifestasi miokarditis akut yang paling berat adalah kematian jantung mendadak, yang
prevalensinya lebih tinggi pada penderita olahragawan. Pada miokarditis kronis, misalnya karena
infeksi tripanosomiasis Amerika Selatan (Trypanosoma cruzii), pasien bisa datang dengan keluhan
gagal jantung kronis. Terapi spesifik jarang ada. Diberikan terapi antigagal jantung standar.4
ASD (atrial septal defect)
Pada sebagian besar defek septum atrium, lubang terletak pada septum atrium pada daerah
fosa ovalis, yaitu lokasi foramen ovale. Inilah yang disebut defek ostium sekundum. Karena ventrikel
kanan kurang berotot dan lebih mudah terisi darah dibandingkan ventrikel kiri, darah akan mengalir
dari atrium kiri ke kanan melalui defek, kemudian ke ventrikel kanan dan ke paru-paru. Oleh karena
itu jantung kanan menanggung seluruh beban tambahan akibat adanya pirai tersebut.
Gejala klinis jarang timbul pada masa anak. Hampir semua anak yang mengalami defek
septum atrium menunjukkan adannya bising jantung. Bising sering terdengar cukup halus dan sering
kali tidak terdeteksi hingga anak mencapai usia sekolah. Jika timbul gejala klinis, biasanya adalah
sesak napas, atau kelelahan setelah memeras tenaga atau infeksi saluran napas yang berulang.
Pengobatan, jika defek berukuran sedang atau besar, dianjurkan penutupan dengan
menggunakan pintasan kardiopulmoner. Koreksi dilakukan dengan penjahitan sederhana atau dengan
insersi jaringan perikardium. 2
VSD ( Ventricle septal defect)
Penyakit ini merupakan kelainan jantung bawaan yang paling sering ditemukan. Sebuah defek
biasanya terdapat pada bagian membranosa septum ventrikel, berdekatan dengan katup trikuspid, atau
dibawah katup aorta. Pada keadaan yang lebih jarang dapat ditemukan satu atau multipel defek pada
bagian muskular septum. Pada 25-30% dari seluruh anak yang menderita defek septum ventrikel
ditemukan kelainan jantung lain.2
Pengobatan awal adalah medikamentosa. Bayi dengan gagal jantugn dirawat dalam posisi
setengah duduk. Diuretik (biasanya furosemide atau thiazide) diberikan bersama-sama dengan
suplemen kalium atau diberikan diuretik hemat kalium seperti spironolakton. Keberhasilan terapi
dinilai dengan penimbangan berat badan secara berkala dan pencatatan ukuran hati. Jika gagal jantung
berespon terhadap pengobatan, berat badan akan menurun dengan cepat dan ukuran hati akan
mengecil. Jika bayi tidak berespon terhadap pengobatan, diperlukan penutupan dengan pembedahan.
Pembedahan paling baik dilakukan dalam satu tahap dengan menggunakan pintasan kardiopulmoner.
Pembedahan seperti ini pada bayi yang sakit memerlukan keterampilan medis dan bedah yang paling
baik. Cara pembedahan alternatif adalah menempatkan pita pengerut (constricting band) di sekitar
6

basal arteri pulmonalis yang mengurangi besar pirau. Pembedahan kedua diperlukan untuk
mengangkat pita dan menutup defek.2
PDA (persistent ductus arteriosus)
Duktus arteriosus persisten merupakan kelainan jantung bawaan yang sering dijumpai, baik
sebagai kelainan tunggal ataupun sebagai kombinasi dengan kelainan jantung yang lain. Kelainan ini
terutama sering dijumpai pada perempuan, pada anak dari ibu yang menderita rubela saat kehamilan
trisemester pertama dan pada bayi yang dilahirkan prematur. Dalam kehidupan janin, duktus
arteriosus yang merupakan pembuluh darah besar berotot, mengalirkan darah dari ventrikel kanan dan
arteri pulmonalis ke aorta. Dalam 24 jam pertama setelah lahir, duktus akan menutup sebagai respon
terhadap darah yang teroksigenisai. Duktus arteriosus persisten tidak mungkin menutup spontan
dalam 3 bulan pertama kehidupan msih mungkin terjadi. Saat resistensi pembuluh darah pulmonalis
melalui duktus (berlawanan arah dengan aliran darah pada kehidupan janin). 2
Pengobatannya, tindakan ligasi dianjurkan karena resiko endokarditis

bakterialis.

Pembedahan itu sendiri mempunyai resiko yang amat kecil. 2


Working diagnosis
Penyakit Jantung Rematik
Penyakit jantung rematik adalah penyebab utama penyakit katub jantung didapat. Kerusakan
pada jantung setelah demam rematik dapat terjadi pada keempat katup jantung. Kerusakan jantung
pada demam rematik jantung akibat respon imun penjamu yang sehat, meskipun menghasilkan
antigen untuk melawan streptokokus, reaksi silang melawan sel sendiri terjadi di katup jantung.
Respon imun ini termasuk imunitas humoral (sel-B) dan sel-termediasi (sel-T). Serangan antigen
sendiri tampaknya berhubungan dengan kemiripan antigenik antara katup jantung dan antigen
streptokokus beta hemolitikus grup A, dan atau kesalahan dalam mengenalio antigen penjamu ke sel
imun. Serangan imun dapat terjadi pada keempat katup jantung, tetapi biasanya dijumpai di katup
mitralis dan aorta
Perjalanan penyakit jantung rematik dapat dibagi menjadi stadium akut dan kronis. Pada
stadium akut, katup membengkak dan kemerahan akibat adanya reaksi inflamsi. Dapat terbentuk lesi
di daun katup. Setelah inflamasi akut mereda, terbentuk janringan parut. Hal ini dapat menyebabkan
deformitas katup dan, pada sebagian kasus, menyebabkan daun-daun katup menyatu sehingga
orifisium menyempit. Dapat terjadi stadium kronis yang ditandai inflamasi berulang dan pembentukan
jaringan parut yang terus berlanjut. 5
Gejala Klinis
Diagnosis penyakit jantung rematik lazim didasarkan pada suatu kriteria yang untuk pertama
kali diajukan oleh T. Duchett Jones dan, oleh karena itu kemudian dikenal sebagai kriteria Jones.
Kriteria Jones memuat kelompok kriteria mayor dan minor yang pada dasarnya merupakan
manifestasi klinik dan laboratorik demam rematik. Pada perkembangan selanjutnya, kriteria ini
kemudian diperbaiki oleh American Heart Association dengan menambahkan bukti adanya infeksi
streptokokus sebelumnya. Apabila ditemukan 2 kriteria mayor, atau 1 kriteria mayor dan 2 kriteria
7

minor, ditambah dengan bukti adanya infeksi streptokokus sebelumnya, kemungkinan besar
menandakan adanya penyakit jantung rematik. Tanpa didukung bukti adanya infeksi streptokokus, maka
diagnosis penyakit jantung rematik harus selalu diragukan, kecuali pada kasus penyakit jantung rematik
dengan manifestasi mayor tunggal berupa korea Syndenham atau karditis derajat ringan, yang biasanya
terjadi jika demam rernatik baru muncul setelah masa laten yang lama dan infeksi streptokokus.
Perlu diingat bahwa kriteria Jones tidak bersifat mutlak, tetapi hanya sebagai suatu pedoman
dalam menentukan diagnosis penyakit jantung rematik.. Kriteria ini bermanfaat untuk memperkecil
kemungkinan terjadinya kesalahan diagnosis, baik berupa over-diagnosis maupun underdiagnosis.

Tabel 1. Kriteria Jones

Etiologi
Kuman Streptokokus hemolitik dapat dibagi atas sejumlah grup serologinya yang
didasarkan atas antigen polisakarida yang terdapat pada dinding sel bakteri tersebut. Tercatat saat ini
lebih dari 130 serotipe M yang bertanggung jawab pada infeksi pada manusia, tetapi hanya grup A
yang mempunyai hubungan dengan etiopatogenesis Demam Rematik dan Penyakit Jantung Rematik.
9

Hubungan kumam Streptokokus hemolitik grup A sebagai penyebab Demam Rematik


terjadi secara tidak langsung, karena organisme penyebab tidak dapat diperoleh dari lesi, tetapi
banyak penelitian klinis, imunologis dan epidemiologis yang membuktikan bahwa penyakit ini
mempunyai hubungan dengan infeksi Streptokokus hemolitik grup A, terutama serotipe
M1,3,6,14,18,19 dan 24.
Penyakit jantung rematik berhubungan pula dengan factor predisposisi pada individu seperti
faktor genetik, jenis kelamin, golongan etnik dan ras, umur, keadaan gizi dan lain-lain. Serta faktorfaktor lingkungan seperti keadaan sosial ekonomi yang buruk, iklim dan geografi, dan cuaca.
Epidemiologi
Amerika Serikat
Pada saat ini, demam rematik jarang terjadi di antara anak-anak di Amerika Serikat. Insiden
demam rematik dan penyakit jantung rematik telah menurun di Amerika Serikat dan negara-negara
industri lainnya dalam 80 tahun terakhir. Prevalensi penyakit jantung rematik di Amerika Serikat saat
ini adalah kurang dari 0,05 per 1.000 penduduk, dengan wabah daerah jarang dilaporkan di Tennessee
pada tahun 1960 dan di Utah [4], Ohio, dan Pennsylvania pada 1980-an. Pada awal 1900-an, kejadian
itu dilaporkan 5-10 kasus per 1000 penduduk. Insiden penurunan demam rematik telah dikaitkan
dengan pengenalan penisilin atau perubahan virulensi Streptococcus. Kejadian demam rematik akut di
negara-negara maju lainnya, seperti Italia, sebanding. 1
Internasional
Berbeda dengan Amerika Serikat, kejadian demam rematik dan penyakit jantung rematik
tidak menurun di negara-negara berkembang. Penelitian retrospektif mengungkapkan negara-negara
berkembang memiliki angka tertinggi untuk tingkat keterlibatan dan kekambuhan demam jantung
rematik . Di seluruh dunia, ada lebih dari 15 juta kasus RHD, dengan 282.000 kasus baru dan 233.000
kematian akibat penyakit ini setiap tahun. 1
Sebuah studi dari anak-anak sekolah di Kamboja dan Mozambik dengan demam rematik
menunjukkan bahwa prevalensi penyakit jantung rematik bila menggunakan echocardiography untuk
skrining adalah 10 kali lipat lebih besar dibandingkan dengan prevalensi saat dilakukan pemeriksaan
klinis saja. 1
Ras , asli Hawaii dan Maori (keduanya keturunan Polinesia) memiliki insiden yang lebih
tinggi dari demam rematik (13,4 per 100.000 anak dirawat di rumah sakit per tahun), bahkan dengan
profilaksis antibiotik faringitis streptokokus. Jika tidak, ras (ketika kontrol dengan variabel sosial
ekonomi) belum didokumentasikan untuk mempengaruhi kejadian penyakit.
Jenis Kelamin , demam rematik terjadi dalam jumlah yang sama pada pria dan wanita, tetapi
prognosis lebih buruk bagi wanita dibandingkan pada pria.
Umur, demam rematik adalah terutama penyakit masa kanak-kanak, dengan rata-rata berusia
10 tahun, meskipun juga terjadi pada orang dewasa (20% dari kasus)
Demam rematik jarang terjadi sebelum usia 5 tahun dan setelah usia 25 tahun, paling banyak
ditemukan pada anak-anak dan dewasa muda. Insidens tertinggi terdapat pada anak usia 5-15 tahun

10

dan di negara tidak berkembang atau sedang berkembang dimana antibiotik tidak secara rutin
digunakan untuk pengobatan faringitis.2
Patofisiologi
Terdapat 2 teori dari terjadinya demam rematik yang pertama adalah sitotoksik dan teori
imunologi6. Teori sitotoksik menduga toksin dari SGA terlibat dalam patogenesis demam rematik akut
dan PJR. SGA memproduksi beberapa enzim yang sitotoksik terhadap sel jantung mamalia, seperti
streptolisin O, dimana memiliki efek sitotoksik langsung pada sel mamalia pada kultur jaringan.
Namun demikian salah masalah utama adalah hipotesis sitotoksik tidak dapat menjelaskan periode
laten diantara faringitis SGA dan onset dari demam rematik akut.
Patogenesis yang dimediasi imun pada demam rematik akut dan PJR diduga adanya reaksi
silang antara komponen SGA dan sel mamalia. Diperkirakan terjadi reaksi silang oleh karena adanya
kemiripan molekul (molekul mimikri) antara protein M ( subtipe 1,3,5,14,18,19 dan 24 ) 5 dari SGA
dengan antigen glikoprotein jantung, sendi dan jaringan lainnya. 2
M protein pada SGA ( M1,M5,M6, dan M19 ) bereaksi silang dengan glikoprotein pada
jantung seperti miosin dan tropomiosin, dan endotelium katup. 6
Antibodi antimiosin mengenali laminin, sebuah matriks ekstraseluler alfa-heliks koil protein
yang adalah bagian dari struktur membran katup. Katup yang paling sering terkena secara urutan
mulai dari yang tersering adalah mitral, aorta, trikuspid, dan pulmonal. Dalam banyak kasus katup
mitral diikuti 1 atau 3 katup lainnya. 6
Sel T yang responsif terhadap protein M menginfiltrasi katup melewati endotelium katup
diaktivasi oleh ikatan antistreptokokal karbohidrat dengan pelepasan TNF dan Interleukin.
Selama demam rematik akut fokal inflamasi ditemukan pada berbagai jaringan yang terutama
dapat dibedakan di dalam jantung yang disebut badan Aschoff. Badan Aschoff ini terdiri dari fokusfokus eosinofil yang menelan kolagen dikelilingi limfosit, terutama sel T terkadang plasma sel dan
makrofag besar yang disebut sel Anitschkow, yang merupakan patognomonik dari demam rematik.
Sel yang berbeda ini memiliki sitoplasma yang berlimpah dan nuklei sentral bulat-panjang dimana
kromatin ditengah, ramping, seperti pita bergelombang yang disebut caterpillar cell. 6
Selama fase akut, inflamsi difus dan badan Aschoff dapat ditemukan pada ketiga lapisan dari
jantung, perikardium, miokardium dan endokardium yang disebut sebagai pankarditis.
Pada perikardium, inflamasi diikuti oleh eksudat fibirinous atau serofibrinous sehingga
diistilahkan perikarditis bread and butter yang biasanya akan bersih tanpa sekule. Pada miokarditis,
badan Aschoff tersebar luas pada jaringan intersitial dan sering juga perivaskulat. Keterlibatan terus
menerus endokardium dan katup sisi kiri oleh fokus-fokus inflamasi menghasilkan nekrosis fibrinoid
didalam cusps atau sepanjang korda tendinae dimana terletak vegetasi kecil berukuan 1-2mm yang
disebut veruka di sepanjang garis penutupan. Proyeksi iregular seperti kutil ini mungkin timbul dari
presipitasi fibrin pada daerah erosi, berhubungan dengan inflamasi yang terjadi dan degen erasi
kolagen dan menyebabakan gangguan kecil fungsi jantung. 6
Lesi subendokardial, mungkin akan eksaserbasi oleh regurgitasi jets yang memulai penebalan
iregular disebut plak MacCallum biasanya pada atrium kiri. PJR kronik memiliki karakter inflamasi
11

akut dan subsekuen fibrosis. Dalam partikel kecil, daun katup menjadi mebeal dan retraksi
menyebabkan deformitas permaen. Perubahan anatomi utama pada katup mitral atau trikuspid adalah
penebalan daun katup, fusi komisural dan pemendekan, serta penebalan dan fusi dari korda tendinae,
membentuk seperti mulut ikan ( fish-mouth defromity) Pada penyakit kronis, katup mitral selalu
abnormal, tetapi keterlibatan katup lain seperi aorta mungkin secara klinis adalah yang paling
penting.6
Secara mikroskopis terdapat fibrosis difus dan sering terdapat neovaskularisasi yang
mengurangi lapisan awal dan susunan daun katup avaskular. Badan Aschoff digantikan oleh jaringan
parut fibrosis sehingga bentuk diagnostik dari lesi ini jarang ditemukan pada spesimen jaringan
autopsi dari pasien dengan PJR kronik. 6
PJR kronik secara keseluruhan adalah penyebab tersering dari stenosis mitral ( 99% kasus ).
Dengan adanya mitral stenosis, atrium kiri berdilatasi secara progresif dan mungkin terdapat trombus
mural apakah apa tepi atau sepanjang dinding. Kongestif paru yang lama memulai perubahan vaskular
paru dan perubahan parenkimal dan menuju kepada hipertrofi ventrikel kanan. 6
Penatalaksanaan
Pengobatan demam rematik memiliki 3 tujuan:
-

Menyembuhkan infeksi streptokokus dan mencegah kekambuhan


Mengurangi peradangan,terutama pada persendian dan jantung
Membatasi aktivitas fisik yang dapat memperburuk organ yang meradang.

Penatalaksanaan demam rematik meliputi


1) Tirah Baring
Semua penderita demam rematik harus tinggal di rumah sakit. Penderita dengan
artritis atau karditis ringan tanpa mengalami gagal jantung tidak perlu menjalani tirah
baring secara ketat. Akan tetapi, apabila terdapat karditis yang berat (dengan gagal
jantung kongestif), penderita harus tirah baring total paling tidak selama pengobatan
kortikosteroid. Lama tirah baring yang diperlukan sekitar 6-8 minggu), yang paling
menentukan lamanya tirah baring dan jenis aktivitas yang boleh dilakukan adalah
penilaian klinik dokter yang merawat.
Sebagai pedoman, tirah baring sebaiknya tetap diberlakukan sampai semua tanda
demam rematik akut telah mereda, suhu kembali normal saat tirah baring tanpa
pemberian obat antipiretik, denyut nadi kembali normal dalam keadaan istirahat, dan
pulihnya fungsi jantung secara optimal.
2) Eradikasi Kuman Streptokokus
Eradikasi harus secepatnya dilakukan segera setelah diagnosis demam rematik dapat
ditegakkan. Obat pilihan pertama adalah penisilin G benzatin karena dapat diberikan
dalam dosis tunggal, sebesar 600.000 unit untuk anak di bawah 30 kg dan 1 ,2 juta unit
untuk penderita di atas 30 kg. Pilihan berikutnya adalah penisilin oral 250 mg 4 kali
12

sehari diberikan selama 10 hari. Bagi yang alergi terhadap penisilin, eritromisin 50
mg/kg/ hari dalam 4 dosis terbagi selama 10 hari dapat digunakan sebagai obat eradikasi
pengganti.
3) Obat Antiradang
Salisilat memiliki efek dramatis dalam meredakan artritis dan demam. Obat ini dapat
digunakan untuk memperkuat diagnosis karena artritis demam rematik memberikan
respon yang cepat terhadap pemberian salisilat. Natrium salisilat diberikan dengan dosis
100-120 mg/kg/hari dalam 4-6 dosis terbagi selama 2-4 minggu, kemudian diturunkan
menjadi 75 mg/kg/hari selama 4-6 minggu. Aspirin dapat dipakai untuk mengganti
salisilat dengan dosis untuk anak-anak sebesar 15-25 mg/kg/hari dalam 4-6 dosis terbagi
selama seminggu, untuk kemudian diturunkan menjadi separuhnya; dosis untuk orang
dewasa dapat mencapai 0,6-0,9 g setiap 4 jam,
Kortikosteroid dianjurkan pada demam rematik dengan gagal jantung. Obat ini
bermanfaat meredakan proses peradangan akut, meskipun tidak mempengaruhi insiden
dan berat ringannya kerusakan pada jantung akibat demam rematik. Prednison diberikan
dengan dosis 2 mg/kg/hari dalam 3-4 dosis terbagi selama 2 minggu, kemudian
diturunkan menjadi 1 mg/kg/hari selama minggu ke 3 dan selanjutnya dikurangi lagi
sampai habis selama 1-2 minggu berikutnya. Untuk menurunkan resiko terjadinya
rebound phenomenon, pada awal minggu ke 3 ditambahkan aspirin 50-75 mg/kg/hari
selama 6 minggu berikutnya.
4) Pengobatan Korea
Korea pada umumnya akan sembuh sendiri, meskipun dapat berlangsung selama
beberapa minggu sampai 3 bulan. Obat-obat sedatif, seperti klorpromazin, diazepam,
fenobarbital atau haloperidol dilaporkan memberikan hasil yang memuaskan. Perlu
diingat, halopenidol sebaiknya tidak diberikan pada anak di bawah umur 12 tahun.
5) Penanganan Gagal Jantung
Gagal jantung pada demam rematik dapat ditangani seperti kasus gagal jantung pada
umumnya. Komplikasi ini biasanya dapat diatasi dengan tirah baring dan pemberian
kortikosteroid, meskipun seringkali perlu diberikan digitalis, diuretik, atau vasodilator.
Digitalis biasanya tidak seefektif pada gagal jantung kongestif akibat kelainan lainnya.
Pemberian obat ini harus dilakukan secara hati-hati karena dapat menambah iritabilitas
jantung sehingga dapat menyebabkan aritmia, di samping batas keamanannya yang
sempit.
6) Tindakan pembedahan
Ketika gagal jantung menetap atau memburuk setelah terapi medis agresif untuk PJR
akut, pembedahan untuk menurunkan insufisiensi katup mungkin menyelamatkan nyawa.

13

Empat puluh persen (40%) pasien dengan PJR akut mengalami stenosis mitral ketika
dewasa. Pada pasien dengan stenosis kritikal, mitral valvulotomi, percutaneous balloon
valvuloplasty,atau penggantian katup mungkin diindikasikan. Dikarenakan kekambuhan
gejala yang sering setelah annuloplasti atau prosedur perbaikan lainnya, pergantian katup
lebih merupakan pilihan pembedahan.
7) Pemberian diet bergizi tinggi mengandung cukup vitamin.
Pencegahan dan pengobatan infeksi streptokokus grup A dapat mencegah demam rematik.
Ada dua pencegahan untuk demam rematik akut, profilaksis primer dan profilaksis sekunder. 7
Profilaksis primer merujuk pada pengobatan antibiotik infeksi streptokokus saluran
pernapasan atas untuk mencegah serangan awal demam rematik. Diagnosa yang tepat dan terapi
antibiotik yang cukup dengan pemberantasan streptokokus grup A saluran pernapasan atas
mengurangi resiko berkembangnya demam reumatik sampai mendekati nol. Terapi antibiotik yang
dimulai sampai sekitar 1 minggu sesudah mulai nyeri tenggorokan dapat mencegah demam reumatik.
Dosis terapi oral 10 hari penuh sangat penting jika digunakan metode oral. Dosis yang disarankan
ditulis pada Tabel 2. 7
Profilaksis sekunder merujuk pada pencegahan kolonisasi atau infeksi saluran pernapasan atas
dengan streptokokus hemolitikus grup A pada orang orang yang telah mederita serangan akut
demam rematik sebelumnya. Penderita yang mendapat antibiotik terus menerus dan tidak menderita
infeksi streptokokus grup A tidak menderita demam reumatik kumat. Metode pencegahan sekunder
yang dianjurkan adalah injeksi intramuskular benzatin penisilin G setiap bulan (setiap 3-4 minggu)
secara teratur, pemberian penisilin oral setiap hari, atau pemberian eritromisin oral setiap hari (untuk
individu yang tidak dapat minum salah satu antibiotik yang disebut sebelumnya). Walaupun obat
sulfadiazin adalah efektif pada pencegahan kolonisasi saluran pernapasan atas dan merupakan bentuk
profilaksis sekunder yang dapat diterima. Injeksi intratransmural teratur benzatin penisilin G lebih
disukai dari pada profilaksis oral karena ketaatannya lebih baik. Individu yang beresiko tinggi untuk
kumat demam reumatik harus diberi 1.200.000 unit secara intramuskuler setiap tiga minggu. Kadar
penisilin selama minggu ke-4 pasca injeksi dapat lebih rendah daripada MIC untuk streptokokus
hemolitikus grup A. Namun, pada kebanyakan keadaan di Amerika Serikat interval 4 minggu untuk
injeksi adalah cukup karna resiko kumat demam reumatik kecil. 7
Tabel 2. Pencegahan Primer dan Pencegahan Sekunder Demam Reumatik 7
Rute Pemberian

Antibiotik

Dosis

Frekuensi

pencegahan primer pengobatan faringitis Streptokokus untuk mencegah serangan


demam reumatik primer
intramuskular

Benzatin Penisilin
G

1.200.000 unut
(600.000 unit jika

sekali

<27 kg)
14

oral

Penisilin V

250 mg/kg/24 jam


40mg/kg/24jam

Eritromisin

(tidak melebihi 1

bidselama 10 hari
tid atau qid selama
10 hari

g/24jam)
lain-lain seperti
klindamisin,
nafsilin, ampisilin,

dosis bervariasi

amoksisilin,
sefaleksin
jangan menggunakan tetrasiklin atau obat-obat sulfa
Pencegahan sekunder: Pencegahan kumat demam reumatik
intramuskular
oral

Benzatin Penisilin

1.200.000 ung
G
Penisilin V
250 mg
Sulfadiazin
500 mg
Eritromisin
250 mg
jangan menggunakan tetrasiklin

setiap 3-4 minggu


bid
od
bid

Komplikasi
Komplikasi potensial meliputi gagal jantung dari insufisiensi katup (rematik karditis akut)
atau stenosis (rematik karditis kronik). Komplikasi jantung meliputi aritmia atrial, edema pulmonal,
emboli pulmonal berulang, endokarditis infeksi, pembentukan trombus intrajantung, dan emboli
sistemik.
Prognosis
Penyakit jantung rematik yang memiliki kelainan pada katup jantung tidak selalu
membutuhkan pembedahan dan hasil jangka panjang setelah operasi tidak selalu bagus untuk
perbaikan katup jantung. Karena timbulnya jaringan parut pada katup setelah operasi dapat semakin
progresif.
Kesimpulan
Jantung rematik dapat timbul terjadi dalam 2 fase yaitu akut dan kronik dengan akibat yang
sama-sama berbahaya yaitu terjadinya gagal jatung bahkan kematian. Penegakan diagnosis harus
sedini mungkin dilakukan untuk mengetahui adanya keterlibatan jantung atau tidak dalam demam
rematik. Komunikasi dan edukasi yang baik harus diberikan baik kepada orangtua dan pasien,
mengigat pengobatan yang akan dijalankan adalah jangka panjang, dimana kepatuhan pasien menjadi
kunci keberhasilan terkontrolnya perkembangan penyakit ini.
Daftar pustaka
1. Chin ,TK. Pediatric rheumatic heart disease.11 Februari 2014. Medscape Reference [serial
online].

Diunduh

pada

tanggal

20

September

2012.

20:55.

Diunduh

dari

http://emedicine.medscape.com/article/891897-overview#showall
15

2. Hull D, Johnston DI. Dasar-dasar pediatri. Ed.3. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta;
2008: h.133-8, 148-9.
3. Mitchell, Kumar, Abbas, Fausto. Buku saku dasar patologis penyakit. Ed.7. Penerbit Buku
Kedokteran EGC. Jakarta; 2008: h.346-7.
4. Davey P. At a glance medicine. Penerbit Erlangga. Jakarta; 2002: h. 161.
5. Corwin EJ. Buku saku patofisiologi. Ed.3. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta; 2009: h.
510-11.
6. Behrman, Kliegman, Arvin. Nelson: Ilmu kesehatan anak. Volume 2. Ed.15. Penerbbit Buku
Kedokteran EGC. Jakarta; 2000: h.935.
7. Wilson, Price, Fisiologi Sistem Kardiovaskular dalam Patofisiologi Konsep Klinis ProsesProses Penyakit. Edisi ke-6.Jakarta: EGC; 2005.

16

Anda mungkin juga menyukai