Anda di halaman 1dari 19

JURNAL KAMAYANTI

(2012)

ANGGOTA KELOMPOK
Ika Permana S. A. 041211331062

Ayu Gardenia 041211333085

Giovani B. N. 041211331073

Fila Nabilah S. 041211333088

Kunthi Wikresna J. 041211331092

Aldila Mustika P. 041211333090

Nisa Flidzah A. 041211333022

Aya Sophia W. 041211333141

Tantia Candra D. 041211333025

M. Teguh A. K. 041211333149

Dea Ef Tarul NF 041211333084

Putri Febriani P. 041211333175

Pengantar Sebuah Cerita


Dalam Konferensi Nasional Akuntansi di Fakultas Ekonomi Bisnis Universitas
Brawijaya pada tanggal 18-20 April 2012, mengulas bagaimana pentingnya
Pancasila dalam kelangsungan Pendidikan Akuntansi di Indonesia.
Di era sekarang, perilaku ber-panca-kesadaran diharapkan mampu menjadi
acuan dalam hasil akhir pendidikan akuntansi Indonesia.
Masalah yang timbul adalah perumusan Learning Outcome (LO) pada setiap
jenjang pendidikan. Hal ini akan menjadi sulit ketika LO tersebut hanya dapat
memberikan arahan tentang proses pendidikan, tidak dalam pengukurannya,
karena akan timbul masalah subyektifitas.

Jiwa dari kelima isi Pancasila yakni kecintaan kepada Tuhan, kemanusiaan,
keIndonesiaan, kebersamaan, dan keadilan akan memiliki konsekuensi yang
mendasar pada materi akuntansi yang diajarkan, hingga pada proses pembelajaran.

Irvin (1995) menegaskan pada penolakan perubahan pendidikan akuntansi


sebagaimana yang dikompilasikan oleh the AAAs Bedford Committee diakibatkan
oleh mahalnya perubahan , dan terlalu bergantungnya pendidikan akuntansi terhadap
buku teks.
Dalam penulisan ini mengangkat kebebasan dari pembelajaran nyata pada sebuah
kelas Etika Bisnis dan Profesi bagi mahasiswa akuntansi selama datu semester di
semester genap 2011-2012.

Posisi Paradigmatik Penelitian dan Metode Pendidikan Dialogis


Pembahasan yang disajikan ini merupakan hasil dari dialog empiris pada kelas Etika
Bisnis & Profesi di sebuah perguruan tinggi. Penelitian ini menggunakan data berupa
proses pembelajaran yang diambil dari beberapa pertemuan kelas yang berjumlah 31
mahasiswa S1.
Proses membangkitan kesadaran ke dalam pendidikan akuntansi ditujukan pada
suatu cerita yang utuh.
Dalam penentuan paradigma kesadaran pendidikan akuntansi, maka lima bentuk
kesadaran Pancasila yang harus ditransfer dalam pendidikan harus dilakukan secara
simultan.
Proses pembangkitan kesadaran tersebut menjadi kunci penting pendidikan yang
membebaskan. Proses ini dilakukan dengan pendekatan dialogis.

Pendekatan dialogis adalah pendidikan yang diusulkan oleh Freire (1972) sebagai
pendidikan yang memiliki nilai cinta, rasa kerendahan hati, harapan, dan keyakinan.

Dalam hal ini, maka dosen harus melakukan emansipasi dengan cara mengintervensi
terhadap cara berpikir mahasiswanya.
Intervensi yang dilakukan untuk mengarahkan mahasiswa berpikir secara rasional,
namun juga kritis, serta menggunakan intuisi dan spiritualitas mereka, tetap tidak
bisa dijabarkan dengan cara yang lebih baik dibandingkan dengan pengungkapan
dialogis.
Dalam intervensionisme, dosen berperan sebagai pihak yang persuasif, mendorong
mahasiswanya berpikir dan bertindak kritis.
Oleh karena itu, dalam menunjukkan aliran dialogis, penulisan cerita akan banyak
menggunakan footnote untuk menunjukkan dukungan pernyataan melalui scientific
justification tanpa harus meninggalkan trustworthiness dari data dan juga
pengungkapannya.

Cerita Cinta tentang Sebuah Proses Pembebasan


Dalam sebuah pertemuan di kelas, perasaan beliau (Ari Kamayanti) menjadi
geram ketika menjelaskan sebuah materi perkuliahan. Wah, Ibu marah ya,
ucap salah satu mahasiswanya. Tentu saja saya sedang marah! gertak
beliau.
Lalu kelas menjadi hening, saat itu pula beliau berbicara menggebu-gebu
mengatakan bahwa beliau marah terhadap kondisi bangsa saat ini, dan atas
kondisi keterbatasan beliau dalam melakukan perubahan yang berarti. Beliau
juga marah atas ketidaksadaran sebagian besar dari kita tentang perilaku kita,
perilaku bangsa. Beliau mulai membahas itu dengan menyangkut-pautkan
dengan Pancasila dan UUD 1945 sebagai landasan perilaku bangsa.

Beliau bertanya kepada salah satu mahasiswa bernama Fira, apa tujuan ia
berpakaian ke kampus hari ini yang dijawab karena Malu oleh Fira. Kemudian
beliau menyanggah kembali jangankan tidak berpakaian, apabila Fira diminta
melepaskan jilbabnya sekarang, ia juga pasti tidak mau karena malu. Artinya nilai
Islam, dalam kasus Fira, menjadi nilai etis yang tercermin dalam kehidupannya.
Semua mahasiswa pada pagi itu datang ke kelas juga pasti didasari suatu nilai
yang mereka yakini benar. Baik itu untuk membahagiakan orang tua, menuntut
ilmu atau hidup mandiri kelak di kemudian hari.
Kemudian beliau mengajak berdiskusi dan membahas tentang nilai etis bangsa
dalam Pancasila UUD 45 . Sebagai contoh ambil dari sila pertama Ketuhanan
yang Maha Esa. Apakah akuntansi sebagai hasil dari perilaku bangsa telah
mencerminkan nilai etis sila pertama tersebut yang dianut Indonesia?

Mahasiswa mulai berargumen dan menyanggah seperti, Mengapa kita tidak menuliskan
nama Tuhan saja di Laporan Keuangan? setelah beliau menyatakan saat sesuatu hilang
dari teks, maka sebenarnya sesuatu tersebut secara sadar ternegasikan atau terpinggirkan.
Cavallaro (2004:138), Dalam kaitan dengan nama Tuhan yang bahkan tidak tersentuh di
buku teks akuntansi, maka Tuhan telah sebenarnya terdominasi dan terpinggirkan dalam
akuntansi .
Beliau menjawab bahwa pertanyaan tersebut sebenarnya sangat berkaitan dengan nilai
yang kita anut. Nilai ketuhanan sudah tidak lagi menjadi sumber ilmu pengetahuan.
Mengapa demikian? Jawabannya adalah karena Tuhan dianggap tidak bisa dibuktikan
secara empiris. Tuhan ada pada rasa dan keyakinan. Rasa tidak bisa dibuktikan secara
empiris karena rasa dan demikian pula Tuhan bersifat subyektif dan terkait dengan
individual. Ilmu sudah terkungkung pada kebenaran bahwa ia harus obyektif. Obyektivitas
merupakan suatu karakter yang maskulin, sedangkan rasa di sisi lain sesuatu yang
subyektif. Ilmu akuntansi juga tak lepas dari kebenaran tersebut.

Beliau memberikan gesture tanda kutip dengan tangan pada kebenaran. Inilah suatu
bentuk sekularisasi ilmu yaitu pemisahan Tuhan dan segala hal yang bersifat duniawi,
termasuk ilmu akuntansi. Kemudian beliau bertanya siapa yang kira-kira berani menulis
skripsi tentang misalnya kasih sayang atau cinta dalam akuntansi? Yang disambut tawa dan
gelengan oleh para mahasiswa. Beliau berpendapat ini dikarenakan adanya pertanyaan
mendasar tentang keilmiahan. Apakah ilmiah suatu tulisan tentang kasih sayang atau
cinta atau keindahan? Ini juga merupakan suatu bukti tentang kesadaran kita, kesadaran,
kalian bahwa hal-hal yang sedemikian bukan merupakan ilmu yang bisa diterima.
Lalu beliau dan mahasiswa mengangkat contoh dari Akuntansi yang berbicara tentang
Tuhan, Akuntansi Syariah. Karena nilai etis yang dianut adalah Tuhan, Tauhid. Akuntansi
Syariah muncul karena kegundahan atas akuntansi konvensional yang materialistis,
kapitalistis. Nilai etis yang berbeda akan menghasilkan ilmu yang berbeda, perilaku yang
berbeda pula. Nilai-nilai dalam akuntansi konvensional telah membentuk kita melalui
pendidikan akuntansi sebagai sarana petransferan nilai.

Setelah cukup membahas berbagai implementasi tentang Tuhan dan Akuntansi


tersebut, beliau melanjutkan diskusi kembali ke topik awal nilai etis akuntansi dalam
pancasila kemudian bertanya kepada mahasiswa, Menurut kalian, apakah akuntansi
Indonesia kita sekarang sudah Pancasilais?.
Salah satu mahasiswa berpendapat bahwa ia rasa akuntansi kita belum Pancasilais,
dikarenakan akuntansi kita masih mementingkan kepuasan pemegang saham, karena
berorientasi pada laba. Laba pada akhirnya akan dibagikan pada pemegang saham
dan muncul sebagai Earning per Share. Padahal sila kelima itu berbicara tentang
keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Kalau EPS kan tentang perusahaan dan
para pemegang sahamnya. Artinya sangat egois dirasanya dan tidak Pancasilais.
Beliau setuju akuntansi yang sangat berorientasi pada laba merupakan hal yang tidak
Pancasilais karena tidak mencerminkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Kemudian beliau menegaskan apakah Kita setuju dengan hal ini? Artinya akuntansi
tidak hanya sebatas alat pelaporan? Akuntansi tidak tergantung pada pemakainya?
Akuntansi tidak bebas nilai tetapi ia memiliki nilai yang ia bawa?

Beliau melanjutkan, jika demikian, berarti kita semua telah lepas dari pemikiran naif
bahwa akuntansi bebas nilai. Artinya kita sudah sangat paham tentang keterkaitan
nilai etis, ilmu, dan perilaku. Begitu pula di akuntansi. Nah, bagaimana ini jika
akuntansi kita, akuntansi Indonesia, tidak sesuai dengan nilai yang kita sebagai
bangsa Indonesia anut? Mahasiswa tersebut menjawab, Itu namanya Munafik, Bu.
Lalu beliau menimpali ringan jika kesimpulannya demikian, berarti kita semua
munafik karena kita membiarkan suatu tindakan tidak sejalan dengan nilai yang kita
yakini. Kita telah melakukan tindakan, dalam hal ini mempraktikkan akuntasi, tanpa
kesadaran penuh, karena orang yang sadar adalah orang yang hati dan otaknya
sejalan. Antara nilai dan tindakan tersinkronisasi.

Kemudian mahasiswa tersebut mengatakan bahwa selain akuntansi tidak Pancasilais,


dosennya pun jarang yang membicarakan Tuhan, keadilan atau cerminan sila lain.
Apakah benar dosen juga tidak Pancasilais? Apakah para mahasiswa merasa
terganggu dengan akuntansi semacam itu atau dosen yang mengajar dengan cara
demikian itu? Para mahasiswa mengatakan tidak masalah atas pertanyaan tersebut.

Beliau menyimpulkan semua setuju bahwa akuntansi tidak Pancasilais, namun saat
kita dihadapkan pada praktik semacam itu, praktik yang tidak Pancasilais, maka kita
tidak ada masalah.
Beliau memberikan pengandaian apabila seorang muslim tidak diperbolehkan sholat
sama sekali, apakah mahasiswa akan merasa terganggu dan tetap mendirikan sholat?
Jelas para mahasiswa akan merasa terganggu dan tetap mendirikan sholat. Mengapa
begitu? Karena kita yakin bahwa sholat itu wajib hukumnya, atas dasar perintah
agama. Islam, dalam hal ini menjadi suatu pijakan nilai etis. Sholat adalah perilaku
etis karena sesuai dengan nilai etis yang dipercayai yaitu Islam.

Jika dikembalikan pada simpulan tadi, apabila mahasiswa tidak merasa


terganggu (tidak masalah) dengan akuntansi yang diajarkan, maka mahasiswa
tidak percaya tentang kebenaran Pancasila, tidak percaya bahwa Tuhan perlu
dalam akuntansi, bahwa kemanusiaan, keIndonesiaan, kebersamaan, dan
keadilan benar-benar dibutuhkan akuntansi.
Kemudian beliau melanjutkan, mengapa IFRS sebagai satu standar tunggal
menjadi penting? Agar laporan keuangan negara bisa diperbandingkan.
Bukankah keseragaman standar meningkatkan daya banding? Siapa yang ingin
membandingkan laporan keuangan dari berbagai negara? Jawabannya tentu
investor kelas kakap yang memang ingin melakukan investasi yang tidak hanya
menguntungkan tetapi bersifat menguasai. Didukung oleh deregulasi sebagai
alat pembongkar batasan maka investor berhak masuk dan menguasai
sumber daya alam. Inilah fenomena pasar bebas sekarang.

Sebenarnya Indonesia sangat kaya akan hasil bumi termasuk minyak, namun
mengapa rakyat Indonesia pemilik kekayaan harus membayar BBM dan justru
akan dicabut pula subsidinya yang akan membuat harga BBM semakin mahal?
Kemunculan Caltex, Shell, dan distributor BBM lain di negara kita saat ini bukti
bahwa bahkan migas telah jatuh dalam pelukan pasar bebas.
UUD 45 telah hilang relevansinya. Pasal 33 tentang penguasaan kekayaan
Indonesia yang akan mempengaruhi hajat hidup orang banyak pada negara
jelas tidak lagi diaplikasikan. Lalu apa gunanya Pancasila dan UUD 45 apabila
kita tidak lagi mempercayai kebenarannya?
Jadi bisa ditarik kesimpulan bahwa akuntansi saat ini tidak lagi etis karena
ilmunya tidak sesuai dengan nilai etis yang dianut Indonesia.
Kalau akuntansi sudah tidak lagi etis, maka akuntansi harus diubah. Ini
merupakan tindakan berkesadaran, sadar bahwa ada nilai etis yang melekat
pada setiap tindakan begitu pula dengan akuntansi.

Namun bagaimana cara mengubahnya? Bukankah kita sudah punya standar akuntansi
yang jelas?
Jika kita tilik kembali apa yang dulu terjadi tanggal 17 Agustus 1945, kita sedang
dijajah saat itu, namun dengan lantang kita tidak peduli dengan ikatan penjajahan
serta memproklamirkan kemerdekaan diri Indonesia. Cinta kepada keadilan,
kemerdekaan yang merupakan wujud atas cinta kepada Tuhan adalah pembebas dari
segala bentuk ikatan penjajahan. Ikatan penjajahan pada saat itu sama dengan
standar akuntansi yang ada sekarang, sama-sama mengikat.
Seandainya saat itu Soekarno dan Hatta tidak melakukan proklamasi mungkin kita
masih dalam jajahan Belanda. Dan bisa terlihat sekarang kita juga sedang dijajah.
Memang bukan dalam bentuk fisik, namun ikatan standar akuntansi kita yang
mengacu pada IFRS dan ikatan pengadaan pendidikan akuntansi yang mengacu pada
IES yang pada akhirnya akan tertuang pada SPAI, bisa jadi adalah penjajahan model
baru. Mengapa demikian? IFRS adalah untuk investor dan pasar modal saja. Jadi kita
memang hidup in this tangled web: jaring yang begitu rumitnya membelenggu
kebebasan bangsa.

Bahkan ketika standar pendidikan kita pun harus mengikuti pola yang ditetapkan oleh
badan internasional, siapa yang mempertanyakan mengapa dan untuk siapa? Jika
akuntansi yang sekarang adalah untuk kepentingan MNC, maka pendidikan akuntansi
juga didesain untuk kepentingan MNC.
Lalu kita sebagai mahasiswa bisa apa? Kita bisa mencipta. Bukan berarti kita tidak lagi
belajar akuntansi. Akuntansi yang sekarang harus dipelajari untuk kemudian dikritisi
dan diperbaiki sesuai nilai etis. Dan semua itu berasal dari cinta.

Jadi jika akuntansi yang sekarang sangat cinta pada laba, maka ada aspek cinta lain
yang belum ditangkap dalam akuntansi. Kita terlalu lama telah dikuasai oleh
objektifitas, kali ini biarkan subjektifitas masuk ke dalam diri kita.
Akuntansi adalah tentang pertanggungjawaban. Laporan Keuangan selain merupakan
informasi
untuk
pengambilan
keputusan,
juga
merupakan
bentuk
pertanggungjawaban.

Proses Dialogis dan Keterbatasan Penelitian


Proses dialogis memunculkan banyak kesadaran mahasiswa. Kesadaran ketuhanan atau spiritual
muncul saat mahasiswa mendiskusikan pentingnya Tuhan secara teks maupun konteks dalam
akuntansi. Kesadaran keIndonesiaan muncul saat mahasiswa secara kritis menginginkan jalan
keluar bagi keterjebakan akuntansi.
Kesadaran kebersamaan dan kemanusiaan muncul saat mahasiswa menggunakan rasa dan intuisi
untuk menciptakan nilai dalam akuntansi. Kesadaran untuk berbuat adil muncul saat diskusi
mengarah pada tujuan akuntansi konvensional, keberpihakan serta pembacaan terhadap dunia.
Keterbatasan penelitian ini terletak pada ketidakmampuannya untuk menangkap bahwa hasil
penelitian yang merupakan pembentukan kesadaran yang utuh pada mahasiswa dapat terbawa
pada diri mahasiswa secara permanen.

Dalam hal kesadaran mahasiswa akan ilmu akuntansi, kita perlu menyadari bahwa
pendidikan merupakan indoktrinasi (Peterson, 2007), oleh karena itu jika dosendosen menerapkan pendidikan dialogis berkesadaran selama terus-menerus, apa
yang dapat dilakukan oleh mahasiswa calon akuntan penerus bangsa bisa menjadi
sangat tidak terbatas.

Pendidikan akuntansi akan mampu menghasilkan akuntan yang memiliki


kesadaran ketuhanan, kemanusiaan, keIndonesiaan, kebersamaan dan keadilan
sosial; dan pada saat yang bersamaan mampu mengikuti arus globalisasi dengan
sikap kritis yang menjaga integritas dan kemerdekaan bangsa Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai