Anda di halaman 1dari 7

Tugas Media, Seksualitas & Multikulturalisme

SEKSUALITAS PEREMPUAN INDONESIA


DALAM MAJALAH PLAYBOY

Oleh
Yokhanan Kristiono
090810179

Program PascaSarjana
Media dan Komunikasi
FISIP UNAIR
2009
Tugas Seksualitas dalam Media

SEKSUALITAS PEREMPUAN INDONESIA DALAM


MAJALAH PLAYBOY

Jaman dulu, guru atau mungkin orang tua kita sering membedakan falsafah seksualitas
antara dunia timur dengan barat. Sebagai orang timur, kita disosialisasikan dengan
seksualitas yang sakral, tabu dan kadang penuh dengan nuansa mistis. Sementara,
berbeda dengan di timur, masyarakat barat cenderung memiliki ‘budaya seksualitas’ yang
liberal, bebas dan sebagainya. Pembedaan seperti ini mungkin dulu benar adanya atau
bahkan sampai saat ini beberapa bagian dari masyarakat kita masih memegang teguh
falsafah seksualitas timur yang sakral dan cenderung ditabukan tersebut.
Meskipun demikian, tidak salah juga untuk menyatakan bahwa transformasi seksualitas
pada hari ini telah sedemikian dahsyat menggoyang tradisi seksualitas timur -atau
sebutlah keIndonesiaan- tersebut. Sebab, saat ini kita menyaksikan fenomena
ketelanjangan tubuh telah menjadi realitas keseharian yang menghiasi kehidupan
masyarakat kita. Untuk setiap saat, kita disuguhkan dengan berbagai bentuk
ketelanjangan tubuh; erotisme, sensualisme yang melakukan bujuk rayu, mengundang
hasrat berperilaku konsumtif. Melihat perubahan yang tengah terjadi dalam masyarakat,
di dalamnya terpantul juga keterbukaan seksualitas. Jika semula hubungan seksual lebih
banyak merujuk fungsi reproduksinya, kini fungsi rekreatif juga menonjol. Pornografi
menambah sebuah dimensi pada ruang seks,ia membuat ruang ini tampak lebih nyata dari
yang nyata – dan menyebabkan hilangnya berahi.1

Terakhir muncul polemik berkepanjangan mengenai UU Pornografi dan Pornoaksi..


Alasan mengenai urgensi dari Undang-Undang itu tentunya saja karena banyaknya
tayangan di media massa yang dikategorikan porno. Mulai dari iklan komersial di TV,
tabloid. Kemudian banyak artis maupun foto model Indonesia yang terlibat dalam
kegiatan yang kemudian dikatakan sebagai porno maupun menjurus pada pornoaksi.

1
Jean Baudrillard : Berahi

2
Tugas Seksualitas dalam Media

Mulai dari aksi goyang erotis “ngebor” Inul Daratista yang beberapa waktu lalu sempat
ramai dengan pro dan kontranya. Menyusul kasus foto telanjang seorang artis bernama
Anjasmara dan Isabele Yahya juga menjadi ramai diperbincangkan, bahkan
menyebabkan Anjasmara di laporkan ke Polda Metro Jaya oleh Front Pembela Islam
(FPI). Seorang gadis model kelahiran Solo, Jawa Tengah, bernama Tiara Lestari sudah
terpampang bugil di majalah Playboy edisi Spanyol Agustus 2005. Tiara juga dinobatkan
oleh Playboy sebagai Naomi Campbell of Asia dengan menyusul pula penerbitan 13 foto
bugil Tiara Lestari ini oleh majalah Penthouse pada September 2005. Begitu hebohnya
sampai pakar marketing seperti Hermawan Kartajaya menulis disitusnya gaya marketing
ala Tiara Lestari.
Tidak kalah menariknya pada beberapa karya sastra berbentuk novel di tanah air juga
terkandung muatan bernuansa pornografi meski dengan klaim seninya para satrawan
seperti Ayu Utami menolak karyanya disebut porno.Dengan ramainya perdebatan dan
polemik bisa dikatakan fenomena global postmodern tentang ”tubuh” tengah dan telah
menghampiri bangsa kita – meski dengan acuan norma yang berbeda dengan masyarakat
barat. Tubuh sendiri bisa dinilai sebagai alat pertukaran dalam masyarakat sekarang
(konsumsi), sebab dalam realitas masyarakat konsumsi, tubuh merupakan sesuatu yang
patut dimanjakan. Tubuh dierotiskan untuk menunjukkan daya tariknya, sehingga sering
menjadi kendaraan iklan. Mengapa misalnya seorang wanita resah dengan bentuk
tubuhnya? Tentu dilatarbelakangi oleh tuntutan budaya yang sebagian besar dibentuk
oleh media, bahwa kecantikan seorang wanita hanya ditemukan pada tubuh yang berkulit
putih, halus, langsing dan beberapa bagian tubuh yang sengaja ditonjolkan. Bisa
dikatakan bahwa seksualitas merupakan kunci dari masyarakat konsumsi. Produk yang
dicitrakan melalui media dominan melalui kendaraan seksualitas sehingga lambat laun
kemungkinan masyarakat akan terjangkit budaya seks. Di mana-mana seks menjadi tema
utama mulai dari iklan produk sabun mandi sampai produk otomotif.
Tubuh merupakan sebuah media tempat segala macam aksesoris melekat. Tubuh
dibentuk, dimanipulasi, oleh tuntutan budaya media. Media menjadi cermin identitas
perempuan, tempat dimana wanita merasakan dirinya sebagai subjek, bagian dari kultur
global. Sikap pemujaan terhadap tubuh bisa dilacak sampai kisah Narcissus dalam
dongeng Yunani yang cinta pada gambarnya sendiri.

3
Tugas Seksualitas dalam Media

Media sebagai Transformasi Seksualitas


Pada saat era media seperti sekarang, sulit untuk melepaskan kehidupan masyarakat dari
media. Media menjadi alat transformasi paling utama yang menentukan dan mengarahkan
kehidupan manusia modern. Maka tak salah kalau Marshall McLuhan dalam bukunya
yang termasyhur, Understanding Media – Ekstension of Man (1999) mentesiskan tentang
sebuah perkampuangan global (global village), sebuah kecenderungan di mana dunia
mengalami pemampatan dan disatukan melalui teknologi media. Media dengan demikian
mampu untuk melakukan proses penyeragaman (homogenisasi) terhadap ‘selera budaya’
masyarakat yang seharusnya plural.
Terkait dengan permasalahan seksualitas, media dalam hal ini telah melakukan
transformasi secara signifikan; mendekonstruksi pandangan seksualitas timur yang penuh
tabu. Di tangan media, permasalahan seksualitas yang semestinya menjadi permasalahan
privat, kini telah digeser menjadi konsumsi publik. Media telah melakukan desakralisasi
terhadap seksualitas, sehingga seks kini mulai bergeser menjadi hal yang ‘lazim’ untuk
dikonsumsi oleh siapapun. Hal-hal yang bernuansa sensualitas dan erotisme kini
sedemikian mudah diakses oleh masyarakat, dari yang ilegal sampai legal tanpa batas
umur. Fenomena tentang ketelanjangan tubuh; erotisme dan sensualisme adalah tidak
pernah lepas dari tubuh perempuan. Setiap saat kita disuguhkan dengan berbagai bentuk
tayangan yang hampir semuanya menampilkan tubuh perempuan sebagai icon. Lagi-lagi
perempuan menjadi komoditas berharga bagi kepentingan modal. Tubuh perempuan
dicitrakan tidak lebih sebagai penarik hasrat dan libido untuk mengkonsumsi. Dan lagi-
lagi kapitalisme berjingkrang dalam kesadaran kita memaksa kita menuruti dan melayani
mereka.
Dalam kaitan ini, yang dipermasalahkan bukanlah cerita sukses perempuan dalam media
karena keberaniannya berekspresi (seni) secara bebas. Bukan pula kepopuleran Inul
lantaran goyang ngebornya, Uut Permata sari dengan goyang ngecor, Anisa bahar dengan
goyang patah-patah atau Merlyn Moundrow dan Madonna dengan kesuksesannya.
Persoalannya lebih pada komodifikasi, bahwa kesuksesan mereka adalah juga komoditas
berharga bagi kepentingan modal, atau pada ketelanjangan tubuh dan budaya, bahwa
seksualitas telah mengalami desakralisasi dan diobral dengan murahnya dan dikonsumsi
oleh siapapun atau bahwa moral dan agama tidak lagi otoritatif untuk mengevaluasi.

4
Tugas Seksualitas dalam Media

Lebih dari itu, dalam persinggungannya dengan perspektif gender, maka substansinya
adalah kembali lagi pada realitas ketakberdayaan perempuan; obyektivikasi atas
perempuan. Kita diserang dari berbagai sisi oleh “pornografi informasi dan komunikasi”,
sehingga seksualitas menjadi alat pertukaran sosial. Bagaimana seharusnya hubungan
wanita dengan media? Siapakah yang menguasai media? Adalah pertanyaan yang cukup
pelik untuk dijawab secara tergesa-gesa tanpa analisis multiperspektif. Kaum pejuang
feminisme seperti Luce Irigaray, Julia Kristeva dan sederet nama lainnya, mengajukan
kritik pada ide phalosentrisme, di mana ide phallus merupakan kekuatan simbolik yang
mendasari seluruh identitas dalam dunia bahasa dan wacana yang represif tak terkecuali
dalam budaya media.
Artinya, bahasa dan wacana dalam media tidaklah bersifat patriarkal, seperti yang banyak
diklaim oleh para teorisasi dan pengamat media. Bahkan mempertanyakan tentang ruang
patriarkal media yang tampaknya sudah tidak relevan lagi, atau melakukan pemetaan
yang kejam antara rasionalitas pria dan irrasionalitas wanita.
Jika wanita menguasai media dengan sensualitas tubuh, seperti itulah rasionalitasnya, dan
ini hanyalah persoalan kesempatan. Tentu hasil akhir studi kita bisa berujung pada ide
dasar tentang “kekuasaan wanita” (matriakat) bukan “kekuasaan pria” (patriarkat).
Wanita seharusnya tampil di media dalam bungkusan “rasionalitas nilai” yang
mengedepankan nilai-nilai etis, estetis dan religius, bukan dengan “rasionalitas tujuan”
yang mementingkan cara-cara mencapai tujuan dan mengindahkan nilai-nilai yang
dikhayati sebagai intisari kesadaran.
Kita sering terjebak oleh idiom “modernisasi” sebagai intisari kemajuan, padahal
modernitas menunjuk pada perubahan sosial dan budaya secara masif dan pemutusan
secara radikal terhadap tradisi. Terakhir, bahwa media bukanlah ruang yang netral, di
mana beragam kepentingan saling berebut pengaruh. Kuasa ada dimana-mana tak
terkecuali dalam tubuh dan seksualitas wanita.
Terlepas dari perdebatan tentang UU Anti Pornografi dan Pornoaksi, ketelanjangan tubuh
perempuan adalah juga persoalan otonomi tubuh perempuan. Bahwa tubuh perempuan
sedang dikendalikan dan dikonstruksikan oleh struktur diluar dirinya, bahwa tubuh
perempuan tidak lagi properti perempuan sendiri, tetapi milik publik. Karena itulah,
seksualitas perempuan dalam media ini adalah juga menjadi problem kemanusiaan yang

5
Tugas Seksualitas dalam Media

semestinya mendapatkan perhatian juga; bukan hanya dari para perempuan atau gerakan
feminisme; tapi juga siapapun yang sadar dan memaknai fenomena ini sebagai fakta
dehumanisasi.

Pornomedia
Perbincangan seksualitas dan erotika menjadi wacana yang sangat menarik akhir-akhir
ini. Kendati bukan masalah baru, topik ini mencuat dan kemudian redup kembali,
sehingga tak pernah tuntas. Fokusnya pun berganti-ganti, dari soal keperawanan, iklan
sabun yang seronok, video klip artis yang terlalu menantang, VCD porno, dan hidden
camera. Dan yang paling aktual ialah pro dan kontra diterbitkannya majalah Playboy
edisi Indonesia—yang dianggap terlalu memamerkan lekuk tubuh, dan seksualitas.
Fenomena majalah Playboy menjadi persoalan besar ketika pornomedia telah menjadi
hiburan semua kelas sosial dan komoditas baru masyarakat kapitalis. Dalam kapitalisme,
hiburan dan budaya telah menjelma menjadi industri. Sosiolog Jerman, Theodor Adorno
(1903-1969) dan teoretikus sosial Jerman, Max Horkheimer (1895-1973) menyatakan,
bahwa budaya industri adalah “media tipuan.” Mereka meyakini bahwa hilangnya
kepribadian seperti kemampuan menggambarkan keadaan yang nyata karena budaya
telah berubah menjadi industri dan produk standar ekonomi kapitalis.
Dunia hiburan (entertainment) telah menjadi sebuah proses reproduksi kepuasan manusia
dalam media tipuan. Hampir tak ada lagi perbedaan antara kehidupan nyata dan dunia
yang digambarkan dalam film yang dirancang menggunakan sound effect dengan tingkat
ilusi yang sempurna, sehingga tak terkesan imaginative. Karena itu, fenomena majalah
Playboy seakan memenuhi konsep kapitalisme, budaya, dan konstruksi sosial dalam
masyarakat.
Kaum liberal khawatir, pelarangan dan atau kecaman terhadap majalah Playboy akan
menjadi preseden bagi pembatasan berikutnya yang tentu akan berdampak pada ruang
gerak kebebasan berekspresi atau ruang gerak mengeruk keuntungan finansial—dalam
konteks konstruksi sosial dan komoditas baru kapitalis.
Dalam hal ini muncul aneka pro dan kontra di media massa. Terjadi pergulatan sengit di
tengah masyarakat untuk merumuskan batasan dan kriteria pornografi dan pornoaksi
yang dapat disepakati bersama, meski upaya ini justru menimbulkan lebih banyak

6
Tugas Seksualitas dalam Media

perdebatan. Persoalannya, bagaimana secara sosiologis dan rasional tema pornografi ini
dirumuskan oleh masyarakat. Berbagai kepentingan dan konsep ditawarkan untuk
memenangkan kepentingan mereka. Karena itu, perlu sebuah pemahaman universal
tentang definisi porno, bagaimana hubungannya dengan persoalan norma seksual,
bagaimana perubahan yang terjadi di sekitar konsep ini dari masa ke masa serta
bagaimana seksualitas dan porno menjadi komoditas baru kapitalis dan politik dalam
masyarakat kita yang semakin terbuka dan liberal.

DAFTAR PUSTAKA
• Alimi, Moh Yasir. 2005. Seks Juga Bentukan Sosial: Rethinking Gender dan
Seksualitas Menurut Teori Queer. Jurnal Online.
http://www.rahima.or.id/Makalah/Seks%20Juga% 20Bentukan%20Sosial.doc,
diakses tanggal 22 Nopember 2009
• Budi Radjab, Keterbukaan Seksualitas dan Peran Media,
http://www.unisosdem.org/article_detail.php?aid=5850&coid=1&caid=34&gid=2
, diakses pada tanggal 22 Nopember 2009
• Widijanto, seksualitas perempuan dan media-massa,
http://widijanto.wordpress.com/2008/05/30/seksualitas-perempuan-dan-media-
massa/, diakses pada tanggal 22 Nopember 2009
• Syafruddin, Pornomedia, http://dinazhar.multiply.com/journal/item/22, diakses
tanggal 23 Nopember 2009

Anda mungkin juga menyukai