Anda di halaman 1dari 6

Ruptur perineum

RUPTUR PERINEUM
Amir Fauzi

PENDAHULUAN

uptura perineum merupakan komplikasi persalinan pervaginam yang


jarang tapi serius. Angka kejadiannya bervariasi berkisar 13%, di AS berkisar
2,219%. Ruptura perineum ini terjadi pada
saat lahirnya kepala atau bahu dan ada
beberapa faktor yang mempengaruhinya,
antara lain: persalinan dengan bantuan alat
seperti ekstraksi vakum, ekstraksi forceps,
persalinan pertama, janin besar, kala II lama,
posisi oksipito posterior persisten, episiotomi mediana, dan anestesi epidural.1-5
Ruptura perineum dibagi dalam 4
tingkatan: tingkat 1 dan 2, disebut ruptura
perineum ringan, tingkat 3 dan 4 disebut
ruptura perineum berat. Meningkatnya kejadian inkontinensia fekal sangat berkaitan
erat dengan ruptura perineum tingkat III-IV,
baik sfingternya utuh atau terdapat defek.
Diagnosis ruptura pasca persalinan tersebut
penting karena akan menentukan keadaan
selanjutnya. Pada keadaan otot sfingter ani
yang utuh setelah penjahitan luka ruptura
perineum kadang masih terdapat inkontinensia fekal yang disebabkan kerusakan

nervus pudendus selama persalinan atau


proses denervasi saraf otot sfingter ani yang
progresif.6-11
Diagnosis ruptura perineum ini bertujuan mengurangi komplikasi robekan otot
perineum terutama sfingter ani eksterna dan
otot sfingter ani interna. Dengan demikian
otot sfingter tersebut dapat direparasi secepatnya.
Tujuan dari tulisan ini adalah untuk menentukan beberapa faktor yang berhubungan
dengan ruptura perineum tersebut sehingga
dapat mengurangi efek samping dari ruptura
perineum.
PREVALENSI
Episiotomi merupakan salah satu faktor
yang mendukung terjadinya trauma perineum,
di Inggris lebih dari 85% wanita pernah
mengalami trauma perineum saat melahirkan. Angka rata-rata episiotomi di AS bervariasi antara 20 sampai 70%, hal tersebut
tergantung unit pelayanannya. Di Belanda
berkisar 8%, Inggris 14% dan 99% dinegara
Eropa Timur. Tetapi hanya sekitar 1,7-12%

179

Buku Ajar Uroginekologi Indonesia

(2,9-19% pada primipara) yang mengalami


ruptura perineum tingkat 3 dan 4.10-14

Tingkat 2 : laserasi termasuk otot perineum


tetapi tidak termasuk otot sfingter
ani.

ETIOLOGI

Tingkat 3 : kerusakan termasuk otot sfingter


ani dan dibagi lagi menjadi:
3a. robekan otot sfingter ani eksterna <50%.
3b. robekan otot sfingter ani eksterna >50%.
3c. robekan sudah termasuk otot sfingter ani
interna.

Trauma perineum saat persalinan dapat


terjadi secara spontan atau setelah tindakan
insisi bedah perineum (episiotomi) untuk
menambah diameter muara vulva. Istilah
episiotomi sebenarnya merujuk pada tindakan
memotong pudenda (genitalia eksterna).
Istilah perineotomi lebih tepat digunakan
karena diartikan sebagai insisi perineum.
Secara anatomi ruptura perineum adalah
trauma perineum posterior yang diartikan
sebagai kerusakan dinding vagina posterior,
otot perineum, otot sfingter ani eksterna dan
interna serta mukosa rektum.5-18
KLASIFIKASI
Dari banyak kepustakaan ternyata sebagian besar penulis masih tidak mencantumkan secara jelas klasifikasi dari
robekan perineum serta sebagian lagi hanya
mengatakan bahwa bila robekan tersebut
sampai ke otot sfingter ani diklasifikasikan
sebagai laserasi tingkat 2. Fernando dkk. di
Inggris melakukan survey terhadap praktek
spesialis kebidanan dan didapat bahwa
mereka mengklasifikasikan robekan sfingter
ani eksterna sebagian atau komplit sebagai
robekan tingkat 2. Ada juga yang menggolongkannya sebagai robekan tingkat 2
apabila robekan otot sfingter ani eksternanya komplit.5-22
Untuk membakukan standar klasifikasi
ruptura perineum tersebut, Sultan membuat
rancangan klasifikasi sebagai berikut:5-26
Tingkat 1 : hanya laserasi mukosa vagina
atau kulit perineum.

180

Tingkat 4 : robekan tingkat 3 dan termasuk


mukosa anus.
DIAGNOSIS
Untuk membuat diagnosis yang tepat
sebaiknya penderita diletakkan dalam posisi
lithotomi dengan penerangan yang cukup.
Sebelumnya harus dimintakan dulu pernyataan persetujuan, dilakukan pemeriksaan
melalui vagina dan rektum. Apabila pemeriksaan terkendala karena rasa nyeri dapat
diberikan analgesia sebelum dilakukan
pemeriksaan.2-30
Pemeriksaan dimulai dengan membuka
labia dengan jari telunjuk dan jari tengah
untuk memastikan seberapa luas robekan
dinding vagina serta puncak/ ujung laserasi
harus teridentifikasi. Kemudian ditentukan
juga apakah laserasi tersebut tunggal atau
banyak dan kedalaman laserasi tersebut.
Pemeriksaan melalui anus berguna untuk
menyingkirkan ada tidaknya kerusakan
mukosa rektum dan otot sfingter ani. Setiap
wanita postpartum harus dilakukan pemeriksaan colok dubur setelah penjahitan untuk
menghindari adanya robekan yang tidak
terlihat seperti robekan buttonhole dimana
terdapat robekan dinding vagina dengan otot
sfingter ani utuh. kadang juga bisa didapatkan ruptura perineum tingkat 3 atau 4 dengan

Ruptur perineum

kulit perineum yang utuh. Untuk itu diperlukan penerangan yang baik pada saat melakukan pemeriksaan dengan colok dubur.
Untuk mendiagnosis adanya kerusakan otot
sfingter ani ini harus dilakukan dengan cara
perabaan/palpasi dimana telunjuk dimasukkan ke dalam rongga anus dan jempol didalam vagina kemudian jari digerakkan
seperti memegang pil (pill-rolling motion).
Apabila masih tidak jelas, maka penderita
disuruh untuk mengkontraksikan otot sfingter
ani, perbedaan kontraksi akan terasa dibagian
depan. Karena otot tersebut berkontraksi
maka ujung laserasi akan tertarik kearah
ujung otot sfingter ani eksterna. Otot sfingter ani interna juga harus diidentifikasi dan
direparasi tersendiri. Otot sfingter ani
interna ini merupakan otot polos dan warnanya lebih pucat dibanding dengan otot
sfingter ani eksterna. Posisi ujung otot ini
hanya beberapa millimeter proksimal dari
ujung distal otot sfingter ani eksterna.5-33
PENATALAKSANAAN
Sesuai dengan diagnosis yang dibuat,
ruptura tingkat 1, 2 tingkat 3 atau 4, maka
penanganannya adalah sebagai berikut: pada
ruptur tingkat I dan II, cukup dilakukan
reparasi di kamar bersalin; sedangkan untuk
ruptur 3 dan 4 idealnya dilakukan di kamar
operasi karena butuh suasana yang aseptik,
penerangan yang cukup serta peralatan yang
memadai. Untuk mendapatkan hasil penjahitan sfingter yang baik, diperlukan anestesi
yang adekuat.9-35
Ruptura perineum tingkat 3 dapat
terjadi pada persalinan yang tidak dilakukan
episiotomi atau karena pelebaran luka
episiotomi mediana. Pada tingkat ini selain
otot perineum juga terkena adalah otot

sfingter ani eksterna maupun interna baik


sebagian maupun seluruhnya. Langkah awal
penjahitan adalah mencari ujung otot sfingter
ani yang robek, dimana biasanya ujung otot
tersebut tertarik ke pinggir luka. Otot ini
tampak berbeda dari jaringan sekitar yang
seratnya lebih kasar dan berwarna lebih
gelap. Pada otot yang utuh atau sebagian
saja yang robek, identifikasinya dapat
dilakukan dengan cara meraba otot tersebut
atau dapat juga dengan cara menyuruh
penderita tersebut mengerutkan otot
sfingternya. Kerutan otot tersebut dapat
terlihat atau dapat dirasakan kerutannya bila
jari berada didalam rongga anus. Cara ini
tidak dapat dilakukan bila penderita dalam
keadaan anestesia spinal atau blok pudendal.
Setelah otot diidentifikasi, otot tersebut
dijepit dengan klem Allis dan didekatkan
ujungnya satu sama lain. Ujung otot sfingter
ani eksterna tersebut dijahit secara terputus
dengan metoda end to end atau overlapping.
Kemudian dilakukan colok dubur untuk
memastikan tidak ada jahitan yang
menembus mukosa rektum karena dapat
menyebabkan
infeksi
dan
fistula.
Selanjutnya luka tersebut dijahit seperti
penjahitan ruptura perineum tingkat 2 atau
luka episiotomi.8,9,10,36,37
Berbeda dengan ruptura perineum
tingkat 3, ruptura perineum tingkat 4 sudah
mencapai mukosa rektum. Setelah lukanya
teridentifikasi maka dilakukan penjahitan
mukosa rektum secara terputus kemudian
dilakukan penjahitan otot sfingter ani interna
secara terputus atau jelujur. Setelah itu dilanjutkan reparasi otot sfingter ani eksterna
secara end to end atau overlapping.8,9,10,27,33
Pemilihan bahan untuk penjahitan ruptura
perineum biasanya adalah bahan yang di-

181

Buku Ajar Uroginekologi Indonesia

serap untuk dinding vagina dan otot seperti


benang kromik. Bahan yang tidak diserap
sudah lama ditinggalkan atau tidak dipakai
lagi. Pada saat ini digunakan bahan sintetik
yang lambat serap (sekitar 63 hari) seperti
poliglaktin atau asam poliglikolat. Oleh
karena bahan tersebut lambat diserap
kadang-kadang penderita mengeluhkan nyeri
pada saat senggama. Untuk menghindarkan
keluhan tersebut digunakan bahan sintetik
cepat serap (42 hari) yaitu monofilamen
terutama untuk menjahit kulit perineum.6,8,9
Ukuran benang yang digunakan
biasanya no. 0 atau 2/0 untuk benang kromik
dan 2/0 atau 3/0 untuk poliglaktin dan asam
poliglikolat. Pemilihan ukuran jarumpun
berperan terhadap penyembuhan luka pada
perineum selain jenis dan ukuran benang.
Pemilihan ukuran/dimensi jarum ini penting
untuk menurunkan trauma terhadap jaringan.
Jarum dan benang yang dipakai adalah yang
bersifat atraumatika yakni benang langsung
menempel dipangkal jarum sehingga pada
saat melewati jaringan tidak menimbulkan
trauma. Dimensi jarum yang dipakai adalah
multipurpose atau tapercut dengan setengah
lengkung dan panjang 30-40 mm.
PERAWATAN PASCA TINDAKAN REPARASI
Perawatan meliputi: menjaga kebersihan
perineum, pemberian analgetik lokal dalam
bentuk semprot, krim atau gel atau sistemik
seperti parasetamol, dan antiradang nonsteroid.
Pada ruptura perineum 3 dan 4, hindari pemakaian obat obatan per rektal karena dapat
menyebabkan iritasi, menimbulkan rasa
tidak nyaman dan mengganggu penyembuhan
luka. Pemberian analgetik yang mengandung
kodein lebih baik dihindari karena dapat

182

menimbulkan konstipasi yang memicu


regangan luka perineum sehingga luka dapat
terbuka kembali. Pemberian antibiotika
pasca penjahitan ruptura perineum ini
sampai sekarang masih menjadi kontroversi,
apabila diberikan dapat menggunakan antibiotika berspektrum luas selama 5-7 hari,
terutama ditujukan untuk bakteri E.coli
Pasien dianjurkan mengkonsumsi diet tinggi
serat dan diberikan pelunak feses peroral
selama 10-14 hari seperti laktulosa atau susu
magnesium dan dapat pulang dari rumah sakit
bila sudah dapat buang air besar.6,8,9,24,25,30
Setelah penderita pulang dari rumah
sakit, penderita kembali setelah 1 minggu
untuk kontrol tentang keluhan dan keadaan
luka perineum. Bila semuanya baik penderita kembali kontrol kedua pada minggu
ke 6. Pada pasien ini dilakukan pemeriksaan
digital untuk mengetahui tonus sfingter ani
atau dilakukan pemeriksaan USG (ultrasonografi) untuk mengetahui ada atau tidaknya kerusakan otot sfingter ani tersembunyi.
Pada penderita mempunyai keluhan yang
ringan atau pada USG ditemukan kerusakannya ringan diperlukan latihan otot dasar
panggul, sedangkan penderita yang mempunyai keluhan berat atau kerusakan sfingter
ani yang besar pertimbangkan untuk dilakukan reperasi tiga bulan pasca reparasi
pertama.6,8,9
KESIMPULAN
Ruptura perineum dapat terjadi dalam
berbagai tingkatan dari yang ringan (tingkat
1 dan 2) sampai berat (tingkat 3 dan 4).
Ruptura perineum ini terjadi saat proses
lahirnya kepala atau bahu. Keberhasilan
penjahitan luka ruptura perineum ini banyak
ditentukan oleh beberapa faktor seperti

Ruptur perineum

diagnosis yang tepat, penjahitan yang benar


serta perawatan pasca penjahitan yang baik
dan benar.
DAFTAR PUSTAKA
1.

2.

3.

4.

5.

6.

7.

8.

9.
10.

11.

12.

Williams MK, Chames MC. Risk factors for


breakdown of perineal laceration repair after vaginal
delivery. Am J Obstet Gynecol. 2006;195:755-9.
Nichols CM, Lamb EH, Ramakrishnan V.
Differences in outcomes after third- versus fourthdegree perineal laceration repair: A prospective
study. Am J Obstet Gynecol. 2005;193:530-6.
Garcia V, Rogers RG, Kim SS, Hall RJ, KammererDoak. Primary repair of obstetric anal sphincter
laceration: A randomized trial of two surgical techniques. Am J Obstet Gynecol. 2005;192:1697-701.
Rodriguez A, Arenas EA, Osorio AL, Mendez O,
Zuleta JJ. Selective vs routine midline episiotomy
for prevention of third- or fourth-degree lacerations
in nulliparous women. Am J Obstet Gynecol.
2008;198:285.e1-285.e4.
Thakar R, Fenner DE. Anatomy of the perineum
and the anal aphincter. In: Sultan AH, Thakar R,
Fenner DE eds. Perineal and anal sphincter
trauma, diagnosis and clinical management.
London: Springer-Verlag; 2009.p.3-12.
Arulkumaran S. Malpresentation, malposition,
cephalopelvik disproportion and obstetric
procedures. In: Edmonds DK ed. Dewhursts
textbook of obstetrics and gynaecology. 7th ed.
Massachusetts: Blackwell Publishing; 2007.p.224-6.
Cunningham FG, Leveno KJ, Bloom SI, Hauth
JC, Rouse DJ, et al. Williams Obstetrics. 23rd ed.
New York: McGraw-Hill Medical; 2010.p.400-5.
Nisbet MD, Rouse BA. Perineal repair. Adelaide:
Davis & Geck, Cyanamid Australia Pty. 1992:614,54-9.
Harding SG. Perineal suturing workshop, Jakarta
2008.
Cundiff GW. Anatomy of the pelvik viscera. In:
Bent AE, Cundiff GW, Swift SE, eds.
Ostergards Urogynecology and pelvik floor
disfunction. 6th ed. Philadelphia: Lippincott
Williams & Wilkins; 2008.p.3-25.
Haslam J. Physical and physiological changes of
labor and the puerperium. In: Mantle J, Haslam J,
Barton L. Physioteraphy in obstetrics and
gynecology. 2nd ed. London: ButterworthHeinemann. 2004.p.78-9.
Angioli R, Gomez-Marin O, Cantuaria G,
OSullivan MJ. Severe perineal lacerations during

vaginal delivery: The University of Miami ecperience. Am J Obstet Gynecol. 2000;182:1083-5.


13. Walsh CJ, Mooney EF, Upton J, Motson RW.
Incidence of third-degree perineal tears in labour
and outcome after primary repair. British Journal
of Surgery. 1996;83:218-221.
14. Nicholson JM, Parry S, Caughey AB, Rosen S,
Keen A, Macones GA. The impact of the active
management of risk in pregnancy at term on birth
outcomes: a randomized clinical trial. Am J
Obstet Gynecol. 2008;198:511.e1-511.e15.
15. Lowder JL, Burrows LJ, Krohn MA, Weber AM.
Risk factors for primary and subsequent anal
sphincter lacerations: a comparison of cohorts by
parity and prior mode of delivery. Am J Obstet
Gynecol. 2007;196:344.e1-344.e5.
16. Damron DP, Capeless EL. Operative vaginal
delivery: A comparison of forceps and vacuum
for success rate and risk of rectal sphincter
injury. Am J Obstet Gynecol. 2004;191:907-10.
17. Kudish B, Blackwell S, Mcneeley G, Bujold E,
Kruger M, Hendrix SL, Sokol R. Operative
vaginal delivery and midline episiotomy: A bad
combination for the perineum. Am J Obstet
Gynecol. 2006;195:749-54.
18. Hudelist G, Gellen J, Singer C, Ruecklinger E,
Czerwenka K, Kandolf O, Keckstein J. Factors
predicting severe perineal trauma during childbirth: Role of forceps delivery routine combined
with mediolateral episiotomy. Am J Obstet
Gynecol. 2005;192:875-81.
19. Macarthur AJ, Macarthur C, MBChB. Incidence,
severity, and determinants of perineal pain after
vaginal delivery: A prospective cohort study. Am
J Obstet Gynecol. 2004;191:1199-204.
20. Marchand MC, Corriveau H, Dubois MF, Watier
A. Effect of dyssynergic defecation during
pregnancy on third-and fourth-degree tear during
a firstvaginal delivery: a case-control study. Am J
Obstet Gynecol. 2009;201:183.e1-6.
21. Mckenna DS, Ester JB, Fischer JR. Elective
cesarean delivery for woman with a previous anal
sphincter rupture. Am J Obstet Gynecol.
2003;189:1251-56.
22. Kammerer-Doak DN, Wesol AB, Rogers RG,
Domininguez CE, Dorin MH. A prospective
cohort study of women after primary repair of
obstetric anal sphincter laceration. Am J Obstet
Gynecol. 1999;181:1317-23.
23. Touboul C, Nizard J, Fauconnier A, Bader G. Perineal
approach to vascular anatomy during transobturator
cystocele repair. BJOG. 2009;116:708-712.

183

Buku Ajar Uroginekologi Indonesia


24. Small KA, Wynne JM. Evaluating the Pelvik
Floor in Obstetric Patients. Aust NZ J Obstet
Gynaecol. 1990;30:41-45.
25. Elfaghi I, Johansson-Ernste B, Rydhstroem H.
Rupture of the sphincter ani: the recurrence rate
in second delivery. BJOG. 2004;111:1361-64.
26. Valsky DV, Messing B, Petkova R, Savchev S,
Rosenak D, Hochner-Celnikier D, Yagel S.
Postpartum evaluation of the anal sphincter by
transperineal three-dimensional ultrasound in
primiparous women after vaginal delivery and
following surgical repair of third-degree tears by
the overlapping technique. Ultrasound Obstet
Gynecol. 2007;29:195-204.
27. Woodman PJ, Graney DO. Anatomy and
Physiology of the Female Perineal Body With
Relevance to Obstetrical Injury and Repair. Clin
Anat. 2002;15:321-34.
28. Orno AK, Marsal K, Herbst A. Ultrasonographic
anatomy of perineal structures during pregnancy
and immediately following obstetrics injury.
Ultrasound Obstet Gynecol. 2008;32:527-34.
29. Poen AC, Felt-Bersma RJF, Strijers RLM,
Dekkers GA, Cuesta MA, Meuwissen SGM.
Third-degree obstetrics perineal tear: long-term
clinical and functional results after primary repair.
British Journal of Surgery. 1998;85:1433-38.
30. Kindberg S, Stehouwer M, Hvidman L,
Hendriksen TB. Postpartum perineal repair
performed by midwifes: a randomized trial

184

31.

32.

33.

34.

35.

36.

37.

comparing two suture techniques leaving the skin


unsutured. BJOG. 2008;115:472-479.
Pinta M, Kylanpaa-Back ML, Salmi T, Jarvinen
HJ, Luukkonen P. Delayed sphincter repair for
obstetric ruptures: Analysis of failure. Colorectal
Disease. 2003;5:73-78.
Robinson JN, Norwitz ER, Cohen AP, McElrath
TF, Lieberman ES. Episiotomy, operative
vaginal delivery, and significant perineal trauma
in nulliparous women. Am J Obstet Gynecol.
1999;181:1180-84.
Lundquist M, Olsson A, Nissen E, Norman M. Is
it Necessary to Suture All Lacerations After A
Vaginal Delivery?. BIRTH. 2000;27:79-85.
Okur H, Kucukaydin M, Kazez A, Turan C,
Bozkurt A. Genitourinary tract injuries in girls.
British Journal of Urology. 1996;78:446-449.
Anthony S, Buitendijk SE, Zondervan KT, Van
Rijssel EJC, Verkerk PH. Episiotomies and the
occurance of severe perineal lacerations. BJOG.
1994;101:1064-1067.
Fleming VEM, Hagen S, Niven C. Does perineal
suturing make a difference? The SUNS trial.
BJOG. 2003;110:684-689.
Fornell EU, Matthiesen L, Sjodahl R, Berg G.
Obstetric anal sphincter injury ten years after:
subjective and objective long term effects. BJOG.
2005;112:312-316.

Anda mungkin juga menyukai