BAB I
KELENJAR TIROID
PENDAHULUAN
Bedah endokrin membahas pemeriksaan dan pengendalian keadaan bedah pada kelenjar
endokrin.
Penyakit kelenjar endokrin mempunyai bentuk yang terbatas. Kelenjar endokrin dapat
menghasilkan hormon secara berlebihan, umpamanya pada penyakit Graves, yaitu
hiperfungsi kelenjar tiroid atau menghasilkan terlalu sedikit hormon, misalnya pada
miksudem
akibat
hipofungsi
kelenjar
tersebut
(1,
3).
Kelainan grandula thyroidea dapat berupa gangguan fungsi seperti tirotoksikosis atau
perubahan susunan kelenjar dan morfologinya, seperti penyakit tiroid nodular. Berdasarkan
patologinya, pembesaran tiroid umumnya disebut struma (1, 3).
ANATOMI
Kelenjar tiroid mulai terlihat berbentuk pada janin berukuran 3,4 4 cm, yaitu pada akhir
bulan pertama kehamilan. Kelenjar tiroid berasal dari lekukan faring antara bronchial pouch
pertama dan kedua yang kemudian membentuk dua lobus. Penurunan ini terjadi pada garis
tengah. Saluran pada struktur ini menetap dan menjadi duktus tiroglosus, yang berasal dari
foraimen
sekum
di
basis
lidah.
Pada umumnya duktus ini akan menghilang setelah dewasa tetapi pada beberapa keadaan
masih
menetap.
Kelenjar tiroid terletak di bagian bawah leher terdiri atas dua lobus, yang dihubungkan oleh
ismus
dan
menutupi
cincin
trakea
dan
3.
Kapsul fibrosa menggantungkan kelenjar ini pada fasia pretrakea sehingga pada setiap
gerakan menelan selalu diikuti dengan gerakan terangkatnya kelenjar ke arah kranial.
Sifat inilah yang digunakan di klinik untuk menentukan suatu bentukan di leher berhubungan
dengan
kelenjar
tiroid
atau
tidak.
Pengaliran darah berasal dari : a. tiroidea superior (cabang a. karotis eksterna) dan a. tiroidea
inferior (cabang a. subklavia). Setiap folikel tiroid diselubungi oleh jala-jala limfatik,
sedangkan
sistem
venanya
berasal
dari
pleksus
perifolikuler.
Pembuluh getah bening kelenjar tiroid berhubungan secara bebas dengan pleksus trakealis,
selanjutnya dari pleksus ini ke arah nodul prelaring yang tepat berada di atas ismus serta ke
kelenjar getah bening pretrakealis dan paratrakealis, sebagian lagi bermuara di kelenjar getah
bening brakiosefatika dan sebagian ada yang langsung ke duktus torasikus (1, 3, 4, 7).
FISIOLOGI
Kelenjar tiroid menghasilkan hormon tiroid utama yaitu tiroksin (T4), bentuk aktif hormon
ini adalah Triyodotironin (T3) yang sebagian besar berasal dari konversi hormon T4 di
perifer,
dan
sebagian
hasil
langsung
dibentuk
oleh
kelenjar
tiroid.
Yodida inorganik yang diserap dari saluran cerna merupakan bahan baku hormon tiroid. Zat
ini dipekatkan kadarnya menjadi 30 40 kali secara selektif di dalam kelenjar tiroid.
Yodida inorganik mengalami oksidasi menjadi bentuk organik dan selanjutnya menjadi
bagian dari tirosin yang terdapat dalam tiroglobulin sebagai monoyodotirosin (MIT) atau
diyodotironin
(DIT).
Senyawa DIT yang terbentuk dari MIT menghasilkan T3 atau T4 yang disimpan dalam
koloid kelenjar tiroid. Sebagian besar T4 dilepaskan ke sirkulasi, sedangkan sisanya tetap di
dalam kelenjar yang kemudian mengalami deyodinasi untuk selanjutnya menjalani daur ulang
(1,
3,
7).
Sekresi hormon tiroid dikendalikan oleh kadar hormon perangsangan tiroid (thyroid
stimulating hormone, TSH) yang dihasilkan oleh lobus anterior kelenjar hipofisis. Kelenjar
ini secara langsung dipengaruhi dan diatur aktivitasnya oleh kadar hormon tiroid dalam
sirkulasi, yang bertindak sebagai umpan balik negatif terhadap lobus anterior hipofisis dan
terhadap sekresi hormon pelepas tirotropin (thyrotropine releasing hormone, TRH) dari
Hipotalamus.
Kelenjar tiroid juga mengeluarkan kalsitonin dari sel parafolikuler. Kalsitonin adalah
polipeptida yang menurunkan kadar kalsium serum, mungkin melalui pengaruhnya terhadap
tulang (1, 3, 7).
KLASIFIKASI
I.
Struma
endemik
hiperplastik
(Simple
difusa
(area
goiter)
endemik
dan
Eutiroid.
struma
pubertas).
a.
Struma
b.
Struma
Primer
Struma
b.
toksika
toksika
difusa
Sekunder
Struma
(penyakit
Grave).
(nodular)
nodular
toksika;
III.
Struma
neoplastik.
a.
Jinak.
b. Ganas.
IV.
Tiroiditis.
a.
Tiroiditis
b.
suburatif
Tiroiditis
c.
akut.
sub
akut.
Tiroiditis
hasimoto.
seperti
Finlandia,
Belanda,
dan
sebagainya.
Untuk struma toksika prevalensinya 10 kali lebih sering pada wanita dibanding pria. Di
Inggris, prevalensi Hypertiroidisme pada praktek umum adalah 25 35 kasus dalam 10.000
wanita,
sedang
di
rumah
sakit
didapatkan
kasus
dalam
10.000
pasien.
Pada wanita ditemukan 20 27 kasus dalam 1.000 wanita, sedangkan pria 1 5 per 1.000
pria. Data dari Whickham Survey pada pemeriksaan penyaring kesehatan dengan
menggunakan Free Thyroxine Index (FT4) menunjukkan prevalensi Hipertiroidisme pada
masyarakat sebanyak 2% (1, 3, 5).
GRAVES
DISEASE
(STRUMA
TOKSIK
DIFUSA)
Penyakit Graves lazim juga disebut penyakit Basedow yang merupakan hipertiroidi yang
sering dijumpai, penyakit graves merupakan sindrom autoimun sistemik dengan penampilan
bervariasi yang meliputi goiter dengan hipertiroidisme, eksolftalmas, miksudema pretibia dan
acropachy. Walaupun etiologi penyakit graves tidak diketahui, tampaknya terdapat peran
antibodi terhadap reseptor TSH, yang menyebabkan peningkatan produksi tiroid. Penyakit ini
ditandai dengan peninggian penyerapan Iodium radio aktif oleh kelenjar tiroid (1, 2, 3, 7).
Gambaran
Klinis
Gejala dan tanda peningkatan metabolisme di segala sistem tubuh mungkin terlihat jelas dan
meliputi intoleransi terhadap panas, banyak keringat, berat badan turun, gerakan hiperkinetik,
insomnia, kelemahan otot proksimal, tremor, mensis sedikit, takikardia, dan fibrilasi atrium.
Gambaran penyakit Graves pada mata meliputi rangkaian kesatuan dari mata melotot dan
kelopak mata terbuka sampai hilangnya penglihatan akibat kornea atau nervus optikus
terkena (1, 4, 7).
Tes
Laboratorik
Kadar T3 dan T4 meninggi, ambilan yodium radio aktif biasanya meningkat. Menurut Bayer
MF10 kombinasi hasil pemeriksaan laboratorium Thyroid Stimulating Hormone Sensitif
(TSHS) yang tak terukur atau jelas subnormal dan Free T4 (FT4) meningkat, jelas
menunjukkan
hipertiroidisme.
Pemeriksaan auto antibodi tiroid membantu untuk membedakan penyakti autoimun dengan
penyebab lain. Bila TSHS sub normal dan FT4 normal perlu diperiksa FT3 untuk
membedakan T3 toksikosis dan hipertiroidisme subklinis. Pemeriksaan sidik tiroid atau
RAIU digunakan untuk melengkapi diagnosa banding pada hipertiroidisme (4, 5).
Pengobatan
Tujuan pengobatan hipertiroidisme adalah membatasi produksi hormon tiroid yang berlebih
dengan cara menekan produksi (obat anti tiroid) atau merusak jaringan tiroid (Yodium radio
aktif, tiroidoktomi sub total).
1.
Obat
Antitiroid.
Tirotoksikosis dapat dikendalikan dengan efektif oleh obat antitiroid. Sayangnya, obat ini
mungkin berhasil dalam menimbulkan pada remisi yang permanen hanya pada sebagian kecil
penderita dewasa dan kira-kira 20% anak-anak. Penggunaan obat untuk waktu lama terbatas
karena efek samping toksik, seperti ruam kulit, disfungsi hati, neuritis, artralgia, mialgia,
limfadenopati.
2.
Radio
iodine
Terapi radio iodine mungkin dipertimbangkan untuk tirotoksikosis kecuali pada bayi baru
lahir, pada wanita hamil, atau jika dihindari oleh uptake iodine yang rendah. Pengobatan
sangat efektif, walaupun hipotiroidisme progresif yang membutuhkan penggantian tiroid
sering terjadi.
3.
Tiroidoktomi
Indikasi
tiroidoktomi
Tidak
tahan
KI
subtotal
/
tidak
untuk
pada
patuh
subtotal.
penyakit
dengan
terapi
graves
disease
terapi
radio
obat
meliputi
antitiroid.
iodine.
Tiroidoktomi sub total merupakan indikasi untuk penyakit graves pada anak-anak dan dewasa
muda
Penanganan bedah hipertiroidisme ditinjau untuk mengangkat jaringan tiroid secukupnya
guna mempertahankan penderita dalam status eutiroid. Resiko pembedahan minimal tetapi
NODOSA
Struma nodosa atau struma adenomentosa terutama ditemukan di daerah pegunungan karena
defisiensi yodium. Struma endemik ini dapat dicegah dengan substitusi yodium (1, 3, 5, 7).
Etiologi
Umumnya multi faktor, tetapi dapat disebabkan antara lain adalah defisiensi yodium atau
gangguan
kimia
intratiroid.
Akibat gangguan ini kapasitas kelenjar tiroid untuk mensekresi tiroksin terganggu,
mengakibatkan peningkatan kadar TSH dan hipersekresi dan hipertrofi folikel-folikel tiroid
(1, 3, 7).
Klasifikasi
Struma
nodosa
dan
dapat
diklasifikasikan
karakteristik
berdasarkan
beberapa
hal,
yaitu
Berdasarkan jenis nodul : bila jumlah nodul hanya satu disebut nodosa soliter, bila lebih
dari
satu
disebut
multi
nodosa.
Berdasarkan kemampuan : menangkap iodium radio aktif dikenal 3 bentuk : nodul dingin,
nodul
hangat,
nodul
panas.
Berdasarkan konsistensinya: nodul lunak, kistik, keras, sangat keras (5, 6, 7).
Biasanya penderita struma nodosa tidak mengalami keluhan karena tidak ada hipo atau
hipertiroidisme, nodul mungkin tunggal tetapi kebanyakan berkembang menjadi multinodular
yang tidak berfungsi. Karena pertumbuhannya sering berangsur-angsur. Struma dapat
menjadi besar tanpa gejala kecuali benjolan di leher. Sebagian penderita dengan struma
nodosa dapat hidup dengahn strumanya tanpa keluhan.
Gambaran
Klinis
Pasien dapat memperlihatkan penonjolan di sepertiga bagian bawah leher. Struma yang besar
dapat menimbulkan masalah kompresi mekanik, disertai pergeseran letak trakea dan
oesofagus dan gejala-gejala obstruksi. Biasanya struma adenomatosa benigna walaupun besar
tidak menyebabkan gangguan neurologik , muskuloskolotel, vaskuler, atau menelan karena
tekanan
atau
dorongan.
Keluhan yang ada ialah rasa berat di leher, sewaktu menelan, trakea naik untuk menutup
laring dan epiglottis sehingga tiroid terasa berat karena terfiksasi pada trakea (1, 3, 7).
Tes
laboratorik
Hasil pengukuran T4, T3, TSH atau T3RU biasanya normal, tetapi ambilan radio yodium
dan kadar TSH dapat sedikit meningkat.
Pemeriksaan
lain
Pemeriksaan
sidik
tiroid.
Hasil pemeriksaan dengan radio isotop adalah ukuran, bentuk, lokasi dan yang utama ialah
fungsi
bagian
tiroid.
Pada pemeriksaan ini pasien diberi nal pol oral, dan setelah 24 jam secara fotografik
ditentukan konsentrasi yodium radio aktif yang ditangkap oleh tiroid (5,7).
Dari
hasil
sidik
tiroid
dapat
dibedakan
bentuk,
yaitu
1. Nodul dingin bila penangkapan yodium nihil atau kurang dibandingkan sekitarnya. Hal ini
menunjukkan
fungsi
yang
rendah.
2. Nodul panas bila penangkapan yodium lebih banyak dari pada sekitarnya, keadaan ini
memperlihatkan
aktivitas
yang
berlebihan.
3. Nodul hangat bila penangkapan yoidum sama dengan sekitarnya, ini berarti fungsi nodul
sama dengan bagian tiroid yang lain.
-
Pemeriksaan
Ultrasonografi
(USG)
Dengan pemeriksaan USG dapat dibedakan yang padat dan cair. Selain itu, dengan berbagai
penyempurnaan sekarang, USG dapat membedakan beberapa bentuk kelainan, tetapi belum
dapat
membedakan
dengan
pasti
apakah
suatu
nodul
itu
ganas
atau
jinak.
Gambaran USG yang dapat dibedakan atau dasar kelainan yang difus atau lokal yang
kemudian juga dibedakan atas dasar derajat ekonya, yaitu : hypoekoik, isoekoik, campuran.
(4, 5, 6, 7).
-
Biopsi
Aspirasi
Jarum
Halus.
Biopsi jarum sekarang diterima sebagai prosedur skrining diagnosis paling tepat untuk
membedakan nodul tiroid jinak dari yang ganas. Biopsi jarum halus tidak nyeri, tidak
menyebabkan
dan
hampir
tidak
ada
bahaya
penyebaran
sel-sel
ganas.
Pada kista dapat juga dihisap cairan secukupnya, sehingga dapat mengecilkan nodul, jadi
selain diagnostik, bias juga terapeutik.
Pengobatan
Terapi struma antara lain dengan penekanan TSH oleh hormon tiroid. Pengobatan dengan
tiroksin yang lama akan mengakibatkan penekanan TSH hipofisis dan penghambatan fungsi
tiroid disertai atropi kelenjar tiroid. Struma yang besar mungkin perlu dibedah untuk
menghilangkan
gangguan
mekanis
dan
kosmetik
yang
diakibatkannya.
Penanganan struma lama yaitu dengan tiriodoktomi sub total (3, 7).
Diagnosa
banding
tumor dermoid dan keganasan paru (1, 7). limfoma, timoma, Tumor lain di mediastinum
anterior seperti
TIROIDITIS
HASIMOTO
Adalah peradangan kronik kelenjar tiroid yang diduga merupakan fenomena oto-imun, nama
lainnya
ialah
struma
limfomatosa.
Tiroiditis autoimun yang terserang terutama wanita berusia antara 30 50 tahun dan dicirikan
dengan adanya kelenjar tiroid yang keras. Membesar difus, tak nyeri. Pasien biasanya
eutiroid atau hipotiroid dan jarang hipertiroid. Titer antibodi biasanya tinggi dan ada imunitas
yang
cell
mediated
terhadap
antigen
tiroid.
Kelainan histopatologis dapat bermacam-macam yaitu antara lain infiltrasi limfosit yang
difus, obliterasi folikel tiroid dan fibrosis (6, 8).
Diagnosa
Hanya dapat ditegakkan dengan pasti secara histologis maupun biopsi, tetapi hasil biopsi
sering
tidak
dapat
dipercaya.
Diagnosa Presumtif dapat dibuat atas dasar gambaran klinis dan tingginya titer antibodi lebih
dari 1/32 untuk antibodi mikrosomal atau 1/100 untuk antibodi tiroglobulin (6, 8).
Pengobatan
Biasanya tidak diperlukan pengobatan karena strumanya kecil dan asimptomatik. Bila
kelenjar tiroid sangat besar mungkin diperlukan tindakan pengangkatan, tetapi operasi ini
sebaiknya ditunda karena kelenjar tiroid tersebut dapat mengecil sejalan dengan waktu.
Pemberian tiroksin dapat mempercepat hal tersebut. (4, 6, 8).
DAFTAR PUSTAKA
1. Widjosono Garjitno, Sistem Endokrin : Buku Ajar Ilmu Bedah. Editor Syamsuhidayat
R.Jong WB, Edisi Revisi, EGC,Jakarta, 1997 : 925 952.
2. Sachdova R. K., Tiroid : Catatan Ilmu Bedah, Editor Erlan, Edisi Kelima, Hipokrates, 1996
: 85 86.
3. Kariadi KS Sri hartini, Sumual A., Struma Nodosa Non Toksik & Hipertiroidisme: Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Edisi Ketiga, Penerbit FKUI, Jakarta, 1996 : 757 778.
4. Lyberty Kim H, Kelenjar Tiroid : Buku Teks Ilmu Bedah, Jilid Satu, Penerbit Binarupa
Aksara, Jakarta, 1997 : 15 19.
5. Allo D. Maria, L. John Cameron, Goiter Non Toksik Terapi Bedah Mutakhir, Edisi
Keempat, Jilid Dua, Penerbit Binarupa Aksara, Jakarta, 1993 : 146 150.
6. Clark oila H, Bedah Endoktrin, Ilmu Bedah, Editor Dharma Asdji Petrus L., Edisi Ketujuh,
EGC, Jakarta, 1995 : 146 150.
7. Schteingert David E., Penyakit Kelenjar Tiroid, Patoksiologi, Edisi Keempat, Buku Dua,
EGC, Jakarta, 1995 : 1071 0178.
8. Sri hartini KS Kariadi, Struma Nodosa Non Toksik : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam,
Editor Noor Syaifullah, Edisi Ketiga, Penerbit FKUI, Jakarta, 1996 : 762 763.