Anda di halaman 1dari 14

KISTA BARTOLINI

I.

DEFINISI
Kista Bartolini adalah suatu pembesaran membentuk benjolan
berisi cairan yang membengkak terjadi akibat sumbatan pada salah satu
dari kelenjar Bartolini. Sumbatan pada duktus menyebabkan mukus yang
dihasilkan tidak dapat disekresi. Kista dapat berkembang pada kelenjar itu
sendiri atau pada duktusnya termasuk duktus kecil dan kelenjar asinus.
Kista dapat unilobuler atau multilobuler.(1,2)

II.

ANATOMI DAN FISIOLOGI


Kelenjar bartolini adalah kelenjar yang terletak pada kedua belah
orificium vaginalis pada labia yang menutupi orificium vaginalis.
Kelenjar Bartolini terletak pada 1/3 posterior dari setiap labium mayus dan
muara dari duktus sekretorius dari kelenjar ini berada tepat di depan
(eksternal) himen pada posisi jam 4 dan 8. Kelenjar ini normalnya
berukuran sebesar kacang polong dan tidak teraba pada palpasi. (2,3)
Kelenjar bartolini merupakan kelenjar vestibuler besar yang
homolog dengan kelenjar Cowper (kelenjar bulbouretral) pada laki-laki.
Saat pubertas, kelenjar ini mulai berfungsi. Kelenjar Bartholini mensekresi
sejumlah mukus yang berperan dalam lubrikasi selama koitus.(2,4)

Gambar 1 : anatomi kelenjar bartolini(5)

III.

EPIDEMIOLOGI
Kista bartolini adalah masalah yang paling umum terjadi pada
vulva, tepatnya di sekitar labium mayora. Berdasarkan statistik,
didapatkan kurang lebih 2% dari wanita dapat mengalami kista bartolini
pada suatu periode kehidupannya. Frekuensi tersering timbulnya kista
terutama pada usia produktif yaitu umur 20-29 tahun. (2,4)

IV.

ETIOLOGI
Kista Bartolini disebabkan oleh sumbatan terutama pada duktus,
termasuk duktus kecil dan kelenjar asinus. Sumbatan dapat disebabkan
oleh karena mukus yang mengental, infeksi, trauma, inflamasi kronik atau
gangguan kongenital. Infeksi terutama yang disebabkan oleh Neisseria
gonorrhea, Streptococcus sp, dan Staphylococcus sp.(2,3)
Biasanya terjadi resolusi pada inflamasi tersebut, namun oklusi
yang permanen pada distal duktus menyebabkan retensi mukus yang
diproduksi oleh kelenjar bartolini. Sekresi yang dihasilkan oleh kelenjar
terakumulasi dan menyebabkan kelenjar membesar dan membentuk
kista.(2,5)

V.

PATOGENESIS
Kelenjar Bartolini menghasilkan cairan yang membasahi vagina
mulai masa pubertas, yang selain berfungsi untuk melumasi vagina pada
saat koitus, juga pada kondisi normal. Kista Bartolini terjadi karena
adanya sumbatan pada salah satu duktus sehingga mukus yang dihasilkan
tidak dapat disekresi, hal ini menyebabkan retensi sekret dan terjadi
dilatasi kistik. Sumbatan dapat disebabkan oleh mukus yang mengental,
infeksi, inflamasi kronik, trauma atau gangguan kongenital. (2,5)

VI.

DIAGNOSIS
a. Anamnesis
Kista Bartolini tidak selalu menyebabkan keluhan akan tetapi kadang
dirasakan sebagai massa yang berat dan menimbulkan kesulitan pada
waktu koitus. Jika kista Bartolini masih kecil dan tidak terinfeksi,
umumnya asimptomatik. Tetapi bila berukuran besar dapat menyebabkan
rasa kurang nyaman saat berjalan atau duduk. Gejala infeksi sekunder atau
eksaserbasi akut yang berat dapat menyebabkan indurasi yang luas, reaksi
peradangan, dan nyeri sehingga menimbulkan gejala klinik berupa nyeri,
dispareunia, ataupun demam.(2-4)
b. Pemeriksaan fisis
Tanda kista bartolini yang tidak terinfeksi berupa penonjolan yang
tidak nyeri pada salah satu sisi vulva. Kista Bartolini didiagnosis melalui
pemeriksaan fisik, khususnya dengan pemeriksaan ginekologis pelvis.
Pada pemeriksaan fisis dengan posisi litotomi, kista terdapat di bagian
unilateral, nyeri, fluktuasi dan terjadi pembengkakan yang eritem pada
posisi jam 5 atau jam 7 pada labium minus posterior. (2)

Gambar 2 : kista bartolini (3)

c. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan gram dapat dilakukan untuk membedakan bakteri
penyebab. Selain itu, apusan darah tepi dapat dilakukan untuk melihat ada
atau tidaknya leukositosis. Jika kista terinfeksi, pemeriksaan kultur
jaringan dibutuhkan untuk mengidentifikasikan jenis bakteri penyebab

abses dan untuk mengetahui ada tidaknya infeksi akibat penyakit menular
seksual seperti gonore dan klamidia. Untuk kultur diambil swab dari kista
atau dari daerah lain seperti serviks. Dari hasil ini dapat diketahui
antibiotik yang tepat yang perlu diberikan kepada penderita. Biopsi dapat
dilakukan pada kasus yang dicurigai keganasan.(2)
Pada pemeriksaan histopatologi menunjukkan dinding kista dilapisi
oleh epitel. Gambaran mikroskopis menunjukkan epitelium dilapisi oleh
epitelium skuamos atau epitel transisional yang sebagian terdiri dari epitel
silindris.(6)

Gambar 3. A. Gambaran mikroskopik pada dinding kista dilapisi oleh lapisan


epithelium skuamous bertingkat. B. Gambaran mikroskopik pada dinding kista
dilapisi oleh lapisan epithelium transisional.[7]

Gambar 4. A. Gambaran mikroskopik pada lapisan epithelium yang terdiri dari


skuamotransisional dan sel epitelium mucus. B. Gambaran mikroskopik pada
dinding kista yang terdiri dari sel silia.[7]

Pemeriksaan Radiografi MRI dan CT-scan dapat dilakukan untuk


mendiagnosis kista bartolini. Kista paravulvar secara kebetulan ditemukan
dengan MRI dan CT pelvis. Kista vulvar termasuk kista duktus Bartolini
adalah yang paling sering. Kista duktus Bartolini biasanya memiliki
panjang 1 hingga 4cm dan dapat dideteksi dengan ultrasound : kista yang
kecil dan asimptomatik tidak membutuhkan pengobatan. Pada MRI, kesan
T2 pada kista duktus Bartolini biasanya memperlihatkan sinyal intensitas
yang tinggi, meskipun gambaran T1 memberikan berbagai macam
intensitas sinyal.(6)

Gambar 5. (A) CT tanpa kontras dan (B) CT dengan kontras menunjukkan massa
berbatas tegas dan dinding tipis dengan densitas rendah homogen pada sisi kiri vulva.(6)

Gambar 6. (A) kesan T1 secara horizontal menunjukkan massa berbatas tegas dan dinding
tipis dengan intensitas tinggi yang homogen pada vulva. (B) kesan T2 horizontal
menunjukkan massa 5x10cm berbatas tegas dengan intensitas tinggi homogen pada
vulva.(6)

VII.

DIAGNOSIS BANDING
Sejumlah lesi pada vulva dan vagina memberikan gambaran klinis
yang menyerupai kista bartolini, yaitu:
a. Kista Sebaseus
Kista sebaseus pada vulva menyerupai kista pada daerah lain. Kista ini
terdapat pada epidermis dan sering asimptomatik. Jika kista ini terinfeksi
memberikan respon yang baik terhadap insisi dan drainase sederhana.(2)

Gambar 7. Kista Sebaseous(3)

b. Kista Epidermal
Kista epidermal merupakan pembesaran jinak, dapat digerakkan, tidak
nyeri, disebabkan oleh trauma atau obstruksi duktus polisebaseus. Lokasi
tersering adalah labium mayora tetapi dapat pula mengenai labium minora.
Kista ini dapat muncul sporadik, sebagai kelainan yang diturunkan, akibat
efek samping kronis dari penggunaan glukokortikoid pada daerah genital
atau berhubungan dengan hidraadenitis supuratif. Beberapa penderita
dengan hidraadenitis supuratif mengalami kista epidermal bilateral dan
beberapa mengalami perubahan pada mukosa membran vulva.(2,3,5)

Gambar 8. Kista epidermal pada vulva.(3)

c. Fibroma
Fibroma merupakan tumor jinak tersering pada vulva, berbatas tegas,
asimptomatik, mengalami degenerasi miksomatosa dan dapat berkembang
menjadi ganas. Indikasi eksisi jika ada nyeri, pertumbuhan yang cepat dan
berhubungan dengan kosmetik. Fibroma adalah tumor jinak langka yang
dominan ditemukan pada wanita kelompok usia reproduksi.(2,5,8)

Gambar 9. Fibroma(8)

d. Lipoma
Lipoma umumnya merupakan tumor pada jaringan lunak dimana
pertumbuhannya perlahan membentuk massa yang berlobus dan berada
pada kapsul fibrosa yang tipis. Lipoma dapat muncul pada labium mayora
atau klitoris dan dapat menjadi sangat besar. Merupakan tumor jinak,
berkembang

lambat,

sesil

(tidak

bertangkai)

atau

pedunkulus

(bertangkai).(2,9)

Gambar 10. Lipoma(9)

e. Kista Vestibular
Kista Vestibular merupakan kista pada labium minora dan vestibulum,
lunak, diameter kurang dari 2 cm, permukaan halus, lokasi superficial,
soliter atau multipel, biasanya asimptomatik, dan dindingnya berwarna

purih, kuning, atau nodul kebiru-biruan yang berkembang menjadi


beberapa milimeter sampai 3 cm. Kista vestibular timbul karena adanya
sumbatan pada muara kelenjar vestibulum.(2,5)

Gambar 11. Kista Vestibular pada vulva.(2)

f. Hidroadenoma
Tumor jinak yang terletak antara labium mayora dan labium minora
berbentuk nodul kecil (2mm-3mm), perkembangannya lambat, dan berasal
dari kelenjar keringat.(2,5)

Gambar 12. Hidroadenoma(10)

g. Adenokarsinoma Kelenjar Bartolini


Kelenjar bartolini biasanya menyusut selama menopause, massa vulva
pada wanita yang lebih tua lebih mungkin untuk menjadi ganas dan harus
dibedakan dari massa vulva jinak lainnya. Hal ini terutama berlaku jika
massa tersebut padat, irregular, nodular. Karsinoma primer kelenjar
Bartolini berkisar 1%-2% dari karsinoma vulva. Karsinoma kelenjar
Bartolini dapat menjadi skuamosa jika mereka berasal dekat lubang pada
saluran, papiler jika mereka timbul dari epitel transisi dari duktus, atau
8

adenokarcinoma jika mereka muncul dari kelenjar itu sendiri. Sekitar 50%
dari tumor kelenjar Bartolini adalah karsinoma sel skuamosa.(3,5,11)

Gambar 13. Adenocarcinoma bartolini.(3)

VIII.

PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan kista Bartolini tergantung pada beberapa faktor
seperti gejala klinik (nyeri atau tidak), ukuran kista dan terinfeksi tidaknya
kista. Kista Bartolini yang asimptomatik pada penderita dibawah usia 40
tahun tidak membutuhkan pengobatan. Pada beberapa kasus, kista kecil
hanya perlu diamati beberapa waktu untuk melihat ada tidaknya
pembesaran. Kista simptomatis memerlukan insisi dan drainase tetapi
biasanya terjadi rekurensi. Maka, pengobatan terbaik yaitu drainase yang
definit untuk kista bartolini adalah word catheter dan marsupialisasi. (1,2,5)
Word catheter biasanya dilakukan untuk terapi kista bartolini dan
abses bartolini. Panjang kateter ini mempunyai ukuran sekitar 1 inch dan
ukuran diameter nomor 10 kateter French Foley. Ujung balon pada kateter
ini dapat mengisi saline sekitar 3ml. Setelah persiapan yang steril, anestesi
lokal dilakukan. Obat anestesi lokal yang biasa digunakan adalah lidocaine
dan bupivicaine. Dinding kista ditarik dengan menggunakan forsep kecil
dan pisau bedah digunakan untuk membuat insisi ukuran sekitar 1-1,5 cm,
tergantung ukuran kista. Penting untuk menarik dinding kista sebelum
insisi dilakukan, jika tidak demikian maka kemungkinan dapat
mengakibatkan kolaps kista. Insisi dilakukan diantara introitus externa
dengan cincin hiamen pada daerah duktus orifisium.(2,4,5)

Setelah insisi dilakukan, word catheter dimasukkan, ujung balon


diisi 2-3ml cairan salin. Balon ini dibiarkan menetap di dalam kavitas
kista. Ujung kateter yang satunya diletakkan di dalam vagina. Agar terjadi
epitelisasi pada daerah insisi, word catheter dipasang selama 4-6 minggu,
hal ini juga bertujuan untuk memperkecil rekurensi.(2,4,5)

Gambar 14. Word catheter.(5)

Marsupialisasi dilakukan jika kista rekuren setelah terapi dengan


word catheter atau jika dokter memilih marsupialisasi sebagai terapi
pilihan pertama. Sekitar 5-15% kasus kista Bartolini yang rekuren terjadi
setelah marsupialisasi. Adapun komplikasi dari prosedur semacam ini
berupa dispareunia, hematom dan infeksi.(2,5)
Teknik marsupialisasi, yaitu: (12)

Pemeriksaan bimanual menyeluruh harus

Labia yang ditarik dengan 3-0 jahitan

dilakukan untuk menentukan sejauh mana

terputus, dan melibatkan introitus vagina.

pembesaran.

(12)

Sayatan dibuat di atas mukosa vagina


antara introitus ke dinding kelenjar. (12)

10

Dinding dari kelenjar yang diinsisi. Seluruh panjang insisi superfisial ditampilkan dalam
gambar. (12)

Isi abses dikeluarkan. (12)

Sampel kultur dapat diambil dari abses.


Dinding abses yang diklem dengan klem
Allis. (12)

11

Dinding abses dijahit dengan 3-0 jahitan

Marsupialisasi selesai. Umumnya, tidak ada

absorben sintetis untuk kulit introitus

penutupan atau saluran yang diperlukan.

lateral dan mukosa vagina medial. (12)

Pasien ditempatkan pada rejimen sitz bath


panas pada hari kedua pasca operasi.
Sebuah

pencahar

dan

pelunak

tinja

diberikan pada hari ketiga pasca operasi.


Terapi

antibiotik

sesuai

hasil

kultur.

Hubungan seksual biasanya dapat dilakukan


setelah 4 minggu. (12)

Eksisi dapat dilakukan pada kista yang cenderung berulang


beberapa kali. Prosedur ini tidak dapat dilakukan ditempat praktek,
melainkan dikamar operasi karena dapat terjadi perdarahan dari vena-vena
sekitarnya. Prosedur ini menggunakan anestesi umum dan dapat
menimbulkan hemoragik, hematom, infeksi sekunder dan dispareunia
akibat pembentukan jaringan parut. Eksisi kelenjar Bartolini dilakukan
jika tidak ada infeksi aktif. Jika sebelumnya telah dilakukan beberapa
tindakan untuk drainase kista maka kemungkinan ada perlengketan yang
dapat mempersulit eksisi dan dapat menimbulkan jaringan parut yang
disertai nyeri kronis postoperasi. Beberapa peneliti menyarankan eksisi
pada kelenjar Bartolini untuk mencegah adenokarsinoma jika kista
menyerang pada usia > 40 tahun, meskipun adenokarsinoma pada kelenjar
Bartolini termasuk dalam kasus yang jarang terjadi.(2,5)
12

Infeksi pada kelenjar bartolini memerlukan pengobatan antibiotika.


Antibiotika yang diberikan sesuai dengan hasil pemeriksaan apus atau
kultur mikroorganisme penyebab. Namun bila hasil belum ada, bisa
diberikan antibiotika spektrum luas. (3,5)

IX.

PROGNOSIS
Kista berkembang secara perlahan dan dapat menghilang secara
perlahan tanpa pengobatan. Kista Bartolini memberikan respon yang
cukup baik terhadap pengobatan dalam beberapa hari. Dengan teknik
marsupialisasi, prognosis baik. Pengobatan lainnya bisa menyebabkan
infeksi berulang dan dilatasi kistik mungkin dapat terjadi.(2,3)

13

DAFTAR PUSTAKA
1. De Charney A.H, Nathan L, Goodwin T.P, Laufer N. Benign Disorders of
the Vula and Vagina. Current diagnosis & treatment Obstetrics &
gynecology 10th ed. United States of America: McGraw-Hill Companies;
2003. p26.
2. Angreini D, Madjid A, Amiruddin MD. Bartolinitis dan Kista Bartolini.
In: Amiruddin MD, editor. Penyakit Menular Seksual. Makassar: Bagian
Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas
Hasanuddin; 2004. p163-75.
3. Adriaansz G. Tumor Jinak Organ Genitalia. In: Anwar M, Baziad A,
Parbowo P, editor. Ilmu Kandungan 3rd ed. Jakarta: Bina Pustaka
Sarwono Prawirohardjo; 2011. p252-5.
4. Basheer S, Paul M, Jose V. An Unusual Case of a Huge Vulval Swelling.
Brunei Int Med J. 2013;9(4):262-5.
5. Omole F, Simmons BJ, Hacker Y. Management of Bartholins Duct Cyst
and Gland Abscess. Am Fam Physician. 2003;68(1):135-40.
6. Kozawa E, Irisawa M, Heshiki A, Kimura F, Shimizu Y. MR Findings of a
Giant Bartholins Duct Cyst. Magn Reson Med Sci 2008;7(2):101-3.
7. Reichert RA. Pathology of The Vulva. Diagnostic Gynecologic And
Obstetric Pathology An Atlas and Text. Philadelphia: Wolters Kluwer;
2012. p7-8.
8. Najam R, HH C, Awasthi S. A Large Fibroma Polyp of Labia MajoraA
Case Report. J Clin Case Rep. 2013;3:8.
9. Khreisat B, Uraiqat A. Vulvar Lipoma. JRMS. 2012;19(2):79-81.
10. Foster DC. Vulvar Disease. Obstetrics & Gynecology. New York: Elsevier
Science Inc; 2002;100(1):p154.
11. Frumovitz M, Bodurka DC. Neoplastic Diseases of the Vulva. In: Katz
VL, Lentz GM, Lobo RA, Gershenson DM, editor. Comprehensive
Gynecology 5th ed. Philadelphia: Mosby Elsevier; 2007. p796.
12. Wheeless CR, Roenneburg ML. Bartholins Gland Cyst Marsupialization.
Atlas of Pelvic Surgery On-Line 4th Edition.
14

Anda mungkin juga menyukai