Anda di halaman 1dari 2

Dorongan manusia untuk memenuhi kebutuhan dalam hidup baik itu

kebutuhan ekonomi maupun biologisnya sangatlah sulit untuk di elakan,


terlebih lagi di jaman era globalisasi pada saat ini dengan diiringi
perkembangan teknologi yang begitu canggih dan terbarukan, pada jaman
prasejarah ketika manusia belum mengenal teknologi dan ilmu pengetahuan,
untuk menunjang kebutuhan hidupnya manusia atau nenek moyang kita ketika
itu cukup hanya berburu hewan liar di hutan atau sekedar mengkonsumsi
tumbuh-tumbuhan saja.
Namun semakin berkembangnya jaman hingga masuknya era globalisasi,
dengan adanya perubahan perilaku ekonomi dan kebutuhan manusia yang
semakin beragam manusia yang hidup di era globalisasi dalam menunjang
kebutuhan ekonominya tentulah merasa tidak cukup apabila hanya dengan
berburu hewan liar di hutan atau sekedar bercocok tanam di ladang, oleh
karena itu manusia di jaman modern ini merasa perlu melakukan upaya lain
dalam pemenuhan kebutuhan tersebut salah satunya yaitu dengan pemanfaatan
Sumber Daya Alam (SDA).
Indonesia adalah salah satu negara yang mempunyai kekayaan Sumber Daya
Alam (SDA) yang melimpah, yang menjadi primadona Mineral, Gas, dan
Batubara (MINERBA). Pendapatan Negara dari pemanfaatan sektor migas saja
pada tahun 2103 mencapai Rp.180,6 Triliun dan di tahun 2014 mencapai
Rp.196,5 Triliun dan dari pemanfaatan nonmigas pada tahun 2013 mencapai
Rp.168,5 Triliun dan di tahun 2014 Rp.188,9 Triliun, pendapatan Negara dari
pemanfaatan Sumber Daya Alam (SDA) khusus untuk di tahun terakhir atau di
2014 menyumbang sebesar Rp.385,4 Triliun ke dalam APBN. Tapi justru
sangat di sayangkan, ibarat seperti memanen buah nangka, masyarakat hanya
menerima getah dari nangka tersebut.
Melalui lembaga-lembaga yang mempunyai kewenangan secara langsung
maupun tidak langsung terhadap pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA) di
Indonesia, lembaga-lembaga tersebut justru menjadi tikus yang terus
menggerogoti tidak hanya lapisan kulit bumi Indonesia tapi juga nilai prinsip
yang terbangun sejak jaman nenek moyang kita dulu, mereka merusak tatanan
sosial, adat istiadat dan kebudayaan yang sejak dulu menjadi bagian dalam
Negeri ini berdiri.
Pengelolaan Sumber Daya Alam di Provinsi Kalimantan Timur contohnya
dimana korporasi hingga lembaga negara tidak hanya menerobos seperangkat
aturan tapi juga begitu banyak nilai-nilai sosial yang tertanam sejak dulu
sengaja atau memang dipaksa untuk di hilangkan, nilai-nilai sosial yang
dimaksudkan salah satunya adalah "Adat Istiadat".
Adat Istiadat yang berlaku di suatu wilayah lokal, oleh pihak yang
berkepentingan atau suatu "korporasi" dipandang sebagai penghambat dalam

pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA) ini tidak lepas dari ciri-ciri masyarakat
adat itu sendiri yang terikat kepada alam, dalam arti sangatlah minim daya
mereka untuk menolak pengaruh alam, apalagi untuk mengubah alam,
disamping itu pula tidak terlepas dengan hal kepercayaan mereka yang bersifat
kosmis-religio magis, sebagai contoh masyarakat adat mempercayai bahwa
hutan adalah tempat para leluhur mereka berdiam dan dihutan itulah mereka
bisa mendapatkan sumber penghidupan, jadi mereka mau tidak mau harus
hidup menyelaraskan diri dengan keadaan alam dimana mereka berada.
Ada suatu otoritas besar yang paling bertanggung jawab terhadap penghapusan
nilai adat istiadat tersebut yang juga sekaligus menjadi kekawatiran yaitu
dimana Negara sendiri menjadi alat atau memfasilitasi pengusaha yang tidak
bertanggung jawab dalam pelaksanaan pengelolaan Sumbeer Daya Alam.
negara juga mempunyai pandangan bahwa pemanfaatan Sumber Daya Alam
(SDA) secara maksimal jauh lebih penting dari pada mempertahankan
keberadaan suatu tatanan masyarakat adat di suatu wilayah lokal yang
mempunyai potensi kekayaan Sumber Daya Alam (SDA). Konklusinya Negara
dalam hal ini pemerintah pusat maupun daerah adalah sebagai aktor utama
dalam penghapusan atau melemahkan suatu sistem sosial masyarakat.
Adat atau secara konsep umumnya kita kenal dengan "Hukum Adat"
Sebagai catatan, "Menurut Prof. Dr.C. van Vallenhoven, Hukum Adat adalah
aturan-aturan yang berlaku bagi orang-orang Pribumi dan orang-orang Timur
Asing, yang positif dan yang disatu pihak mempunyai sanksi",
dari pernyataan tersebut dapat kita tarik suatu kesimpulan bahwa ada sebuah
tatanan sistem masyarakat kecil yang disebut sebagai Masyarakat Adat (orangorang pribumi) yang juga hidup dalam sebuah sistem tatanan secara luas yang
disebut sebagai Negara.
Sebenarnya Negara sudah mengakui keberadaan Masyarakat Adat seperti yang
tercantum dalam Pasal 18B Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi
"Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum
adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia,
yang diatur dalam undang-undang"

Anda mungkin juga menyukai