Anda di halaman 1dari 22

Ekosistem

a. Ekosistem lamun (Seagrass ecosystem)


Lamun (seagrass) adalah satu-satunya kelompok tumbuh-tumbuhan berbunga yang
hidup di lingkungan laut. Tumbuh-tumbuhan ini hidup di habitat perairan pantai yang
dangkal. Seperti halnya rumput di darat, mereka mempunyai tunas berdaun yang tegak
dan tangkai-tangkai yang merayap yang efektif untuk berbiak. Berbeda dengan
tumbuh-tumbuhan laut lainnya (alga dan rumput laut), lamun berbunga, berbuah dan
menghasilkan biji. Mereka juga mempunyai akar dan sistem internal untuk mengangkut
gas dan zat-zat hara. Sebagai sumberdaya hayati, lamun banyak dimanfaatkan untuk
berbagai keperluan.
Secara tradisional lamun telah dimanfaatkan untuk keranjang anyaman, dibakar
untuk garam, soda atau penghangat, bahan isian kasur, atap, bahan kemasan, pupuk,
isolasi suara dan suhu. Pada jaman modern ini, lamun dimanfaatkan antara lain sebagai
penyaring limbah, stabilisator pantai, pupuk, makanan dan obat-obatan.
Padang lamun berlaku sebagai daerah asuhan, pelindung dan tempat makan ikan,
Avertebrata, dugong dan sebangsanya. Padang lamun juga berinteraksi dengan terumbu
karang dan mangrove. Ekosistem lamun ini terdapat di banyak perairan pantai di negara
kita. Di Kepulauan Seribu, misalnya, terdapat ekosistem ini yang berdampingan dengan
mangrove dan terumbu karang. Ekosistem ini dikaitkan dengan kehadiran dugong
karena tumbuh-tumbuhan lamun menjadi makanannya.

b. Savanna
Savana dari daerah tropika terdapat di wilayah dengan curah hujan 40 60
inci per tahun, tetapi dengan musim kering yang berkepanjangan pada saat api
menjadi bagian penting dari lingkungan. Savana yang terluas di dunia terdapat di
Afrika; namun di Australia juga terdapat savana yang luas.
Berhubung dalam ekosistem savana ini, rerumputan dan pohon-pohon yang hidup
harus tahan terhadap musim kering dan api, maka jumlah jenis tumbuh-tumbuhan yang
hidup di savana ini tidak banyak, tidak seperti yang hidup di hutan hujan tropik, tidak
seperti yang hidup hutan hujan tropik. Rumput-rumput dari marga Panicum,
Pennisetum, Andropogon dan Imperata mendominasi lingkungan ini, sedangkan
pepohonan yang hidup di sana sama sekali berada dengan jenis pohon yang hidup di
hutan hujan tropik. Di Afrika diantaranya terdapat pohon Acacia yang terbesar di
savanna. Di Indonesia padang savanna ini dapat ditemukan di Taman Nasional (TN)
Baluran dan TN Alas Purwo di Banyuwangi, Jawa Timur.

c. Estuari

Estuari berasal dari kata aetus yang artinya pasang-surut. Estuari didefinisikan
sebagai badan air di wilayah pantai yang setengah tertutup, yang berhubungan dengan
laut bebas. Oleh karena itu ekosistem ini sangat dipengaruhi oleh pasang surut dan air
laut bercampur dengan air darat yang menyebabkan salinitasnya lebih rendah daripada
air laut. Muara sungai, rawa pasang-surut, teluk di pantai dan badan air di belakang
pantai pasir temasuk estuari.
Biota yang hidup di ekosistem estuari umumnya adalah percampuran antara yang
hidup endemik, artinya yang hanya hidup di estuari, dengan mereka yang berasal dari
laut dan beberapa yang berasal dari perairan tawar, khususnya yang mempunyai
kemampuan osmoregulasi yang tinggi. Bagi kehidupan banyak biota akuatik komersial,
ekosistem estuari merupakan daerah pemijahan dan asuhan. Kepiting (Scylia serrata),
tiram (Crassostrea cucullata) dan banyak ikan komersial merupakan hewan estuari.
Udang niaga yang memijah di laut lepas membesarkan larvanya di ekosistem ini dengan
memanfaatkannya sebagai sumber makanan.
Daerah muara sungai yang terlindung dan kaya akan sumberdaya hayati menjadi
tumpuan hidup para nelayan, sehingga tidak dapat dihindari terjadinya pemukiman di
pinggiran muara sungai. Tidak hanya itu, karena muara sungai ini juga menjadi
penghubung daratan dan lautan yang sangat praktis, maka manusia menggunakannya
sebagai media perhubungan. Daerah yang terlindung juga menjadi tempat berlabuh dan
berlindung kapal, terutama di saat-saat laut berombak besar. Perkembangan industri
pantai menambah padatnya wilayah estuari ini oleh kegiatan manusia karena daratan
estuari merupakan akses yang bagus buat kegiatan industri itu, khususnya tersedianya
air yang melimpah, baik itu untuk pendingin generator maupun untuk pencucian
alat-alat tertentu dan tidak dapat dihindari nafsu untuk membuang limbah ke
lingkungan akuatik.
Mengingat banyaknya perikanan komersial yang tergantung pada ekosistem estuari
ini maka perlindungan ekosistem ini merupakan salah satu persyaratan ekonomik yang
utama agar perkembangan ekonomi di wilayah ini dapat dijaga kelanjutannya.
Banyaknya jenis pemanfaatan wilayah di ekosistem estuari ini menyebabkan sering
terjadinya bertentangan kepentingan dan kerusakan ekosistem yang berharga ini. Oleh
karena itu, perencanaan terpadu wilayah estuari ini perlu dilakukan dengan seksama
untuk menjaga ekosistem ini agar tidak rusak.

d. Ekosistem Danau
Ekosistem danau ditandai oleh adanya bagian perairan yang dalam sehingga
tumbuh-tumbuhan berakar tidak dapat tumbuh di bagian ini. Berbeda dengan ekosistem
kolam yang tidak dalam (kedalamannya tidak lebih dari 4-5 meter) yang memungkinkan
tumbuh-tumbuhan berakar dapat tumbuh di semua bagian perairan.
Danau yang luas seperti danau Toba di Sumatra dapat berombak karena
memungkinkan angin untuk bertiup di sepanjang permukaan air yang luas sehingga
menciptakan ombak itu. Danau terjadi karena glacier, tanah longsor yang membendung
lembah, pelarutan mineral tertentu dalam tanah sehingga permukaan tanah menurun
membentuk cekungan. Danau juga dapat dibentuk oleh kawah gunung api yang sudah
mati atau gobah yang terbentuk di pinggir laut.

Ekosistem danau mempunyai tiga mintakat (zona) yakni:


1. Mintakat litoral, yakni bagian yang dangkal di mana sinar matahari dapat menembus
sampai ke dasar perairan;
2. Mintakat limnetik, yakni bagian perairan yang terbuka yang terlalu dalam untuk
pertumbuhan tumbuh-tumbuhan berakar, tetapi masih memungkinkan sinar
matahari menembus lapisan ini untuk digunakan fotosintetis tumbuh-tumbuhan air;
dan
3. Mintakat atau lapisan profundal, yakni lapisan di bawahnya di mana sinar matahari
tidak tidak dapat menembus

Mintakat-mintakat limnetik dan profundal tidak terdapat pada ekosistem kolam.


Pada mintakat litoral hidup tumbuhan apung (terutama fitoplankton) dan tumbuhan
berakar. Banyak kelompok hewan hidup di mintakat ini. Pada mintakat limnetik hidup
fitoplankton dan zooplankton seperti di atas, ganggang hijau dan hijau biru, Copepoda,
Cladocera dan banyak lagi. Sebagian besar ikan hidup di mintakat ini. Pada lapisan
profundal hidup bakteri anaerobik dan fungsi, cacing nematoda, keong dan beberapa
jenis ikan.
Waduk-waduk yang dibangun oleh manusia seperti waduk Ir. Sutami, Jatiluhur dan
Saguling merupakan danau buatan. Danau-danau ini banyak digunakan untuk budidaya
ikan dengan karamba. Pada saat-saat tertentu terjadi kematian ikan secara massal, dan
sedang diteliti penyebabnya.

e. Ekosistem Mangrove
Mangrove sebagai ekosistem didefinisikan sebagai mintakat (zona) antar-pasangsurut (pasut) dan supra (atas)-pasut dari pantai berlumpur di teluk, danau (air payau)
dan estuari, yang didominasi oleh halofit berkayu yang beradaptasi tinggi dan terkait
dengan alur air yang terus mengalir (sungai), rawa dan kali-mati (backwater) bersamasama dengan populasi flora dan fauna di dalamnya. Di tempat yang tak ada muara
sungai biasanya hutan mangrovenya agak tipis. Sebaliknya, di tempat yang mempunyai
muara sungai besar dan delta yang aliran airnya banyak mengandung lumpur dan pasir,
biasanya mangrovenya tumbuh meluas.
Ekosistem ini mempunyai dua komponen lingkungan, yakni darat (terestrial) dan air
(akuatik). Lingkungan akuatik pun dibagi dua, laut dan air tawar. Ekosistem mangrove
dikenal sangat produktif, penuh sumberdaya tetapi peka terhadap gangguan. Ia juga
dikenal sebagai pensubsidi energi, karena adanya arus pasut yang berperan
menyebarkan zat hara yang dihasilkan oleh ekosistem mangrove ke lingkungan
sekitarnya. Dengan potensi yang sedemikian rupa dan potensi-potensi lain yang
dimilikinya, ekosistem mangrove telah menawarkan begitu banyak manfaat kepada
manusia sehingga keberadaannya di alam tidak sepi dari perusakan, bahkan
pemusnahan oleh manusia.

Ekosistem mangrove ditumbuhi sedikitnya oleh 89 jenis tumbuh-tumbuhan. Dari


jumlah ini terdapat empat jenis yang dinamakan strict mangrove, yakni Avicennia,
Excoecaria, Sonneratia dan Rhizophora. Selain ditumbuhi berbagai jenis tumbuhan,
ekosistem mangrove juga dihuni oleh berbagai jenis satwa. Sebagai contoh, jenis burung
seperti Ardea cinerea (cangak abu), Nomenius schopus (gajahan sedang), Egretta sp.
(kuntul), dan Larus sp. (camar). Satwa lainnya yang hidup di sana adalah Macaca
fascicularis (kera ekor panjang), Varanus salvator (biawak), juga terdapat satwa yang
hidup di dasar hutan mangrove seperti kepiting graspid dan ikan gelodong
(Periohthalmus).

f. Ekosistem Karst
Karst berawal dari nama kawasan batu gamping di wilayah Yugoslavia. Nama ini
kemudian dipakai secara umum oleh masyarakat ilmiah untuk seluruh kawasan batu
gamping yang terdapat di dunia. Kawasan karst yang terdapat di Indonesia antara lain
Karst Gunung Sewu, Karst Gombong Selatan, Karst Maros, Karst Tuban dan beberapa
tempat di daerah Kalimantan. Tipe karst di Indonesia merupakan karst tropik basah dan
hal ini yang membedakan dengan kawasan karst di tempat lain di dunia.
Kawasan karst di Indonesia rata-rata mempunyai ciri-ciri yang hampir sama yaitu,
tanahnya yang kurang subur untuk pertanian, sensitif terhadap erosi, mudah longsor,
bersifat rentan dengan pori-pori aerasi yang rendah, gaya permeabilitas yang lamban
dan didominasi oleh pori-pori mikro. Ekosistem karst mengalami keunikan tersendiri,
dengan keragaman aspek biotis yang tidak dijumpai di ekosistem lain.
Habitat dalam gua merupakan suatu habitat yang gelap total, tidak ada sinar
matahari yang masuk sehingga tidak terdapat organisme heterotrofik. Peran organisme
khas gua seperti kelelawar yang setiap malam hari mencari makan ke luar gua dan pada
siang hari kembali lagi, akan membawa energi dari luar gua untuk kehidupan berbagai
organisme gua (Arthropoda) terutama kotoran (guano) dan bangkai kelelawar tersebut.
Disamping itu energi dibawa oleh akar tumbuhan yang berada di atas gua yang
menembus dinding atas gua. Sungai di dalam gua yang semula mengalir di permukaan
luar gua juga berperan terhadap transfer energi ke dalam lingkungan gua dengan
memhawa bahan organik.
Di dalam gua sendiri mengalami jaring-jaring makanan yang rumit. Perubahanperubahan lingkungan di luar gua sangat mempengaruhi kehidupan di dalam gua.
Dalam kondisi gua yang sangat ekstrem, tanpa adanya cahaya, kelembaban yang sangat
tinggi dan suhu yang konstan sepanjang tahun, mengakibatkan organisme penghuni gua
beradaptasi terhadap lingkungannya. Bentuk adaptasi organisme gua antara lain: 1)
adaptasi morfologi hewan diperlihatkan dengan memucatnya warna kulit, adanya alat
sensoris yang berkembang sangat baik, mata mereduksi dll; 2) adaptasi fisiologis yang
diperlihatkan adalah tidak adanya kemampuan untuk membedakan antara siang dan
malam hari sehingga hewan tidak peka terhadap sinar karena lingkungan hidupnya yang
gelap sepanjang tahun; 3) tumbuhan di lingkungan gua mempunyai sifat poikilohidri
yaitu mempunyai ketahanan yang besar terhadap kekura
http://www.iwf.or.id/ekosistem.htm

Rumput Laut: Harapan Peningkatan Ekonomi Masyarakat Pesisir


Ketika pemerintah khususnya Depatemen Kelautan dan Perikanan mencanangkan
revitalisasi perikanan dan kelautan dengan memacu produksi beberapa komoditas
unggulan nasional yang salah satu diantaranya adalah rumput laut, ini menjadikan
harapan baru bagi masyarakat pesisir Khususnya di kawasan Timur Indonesia seperi di
Sulawesi Tenggara. Terlebih setelah Gubernur Provinasi Sulawesi Tenggara
mencanangkan bahwa rumput laut menjadi produk andalan provinsi Sulawesi Tenggara.
Dengan Luas perairan yang diperkirakan mencapai 110.000 km2 atau 11.000.000 ha.
Provinsi Sulawesi Tenggara memiliki potensi pengembagan perikanan yang sangat besar.
Dan potensi tersebut diantaranya adalah pengembangan usaha budidaya rumput laut.
Walaupun sampai dengan tahun 2005 potensi pengembangan usaha budidaya rumput laut
diperkirakan hanya sebesar 83.000 Ha, ini menggambarkan bahwa potensi tersebut masih
sangat besar untuk terus di kembangkan. Jika dilihat dari produksi rumput laut
masyarakat pesisir Sulawesi Tenggara khususnya di Kawasan daerah kepulauan seperti
Kabupaten Buton, Buton Utara, Bombana, Muna, Wakatobi dan Kota Bau-Bau, total
potensi produksi dapat mencapai 796.800 ton/thn. Namun demikian sampai saat ini
potensi produksi tersebut baru mencapai 31.000 ton/ thn.

Usaha budidaya rumput laut merupakan salah satu usaha budidaya yang paling mudah
untuk dilakukan. Dengan modal yang tidak terlalu besar, beberapa keluarga masyarakat
pesisir dapat melakukan usaha budidaya rumput laut di sekitar perairan mereka.Terlebih
lagi pada mayoritas daerah pesisir Kawasan Timur Indonesia khususnya di Sulawesi
Tenggara, pada perairan yang berada diluar jalur transportasi umum dan tradisional,
mempunyai kondisi yang sangat memungkinkan untuk melakukan usaha budidaya
rumput laut. Dengan persyaratan kondisi oceanografi pada kisaran yang normal termasuk
kecepatan arus dan gelombang serta tinggi pasang surut dan konsentrasi kandungan unsur
hara perairan yang normal sangat memungkinkan pengembangan usaha ini terus
dilakukan. Saat ini pola budidaya rumput laut yang diterapkan masyarakat pesisir
umumnya telah beralih dari sistem rakit ke sistem long line yang lebih memberikan
harapan peningkatan produksi yang lebih besar. Sistem longline memungkinkan
pemanfaatan ruang budidaya yang lebih luas pada kedalaman yang sangat bervariasi
antara 5 50 m, tergantung pada kemampuan modal masyarakat untuk membeli tali,

pemberat dan pelampung. Dengan modifikasi tali bersusun, beberapa pembudidaya juga
dapat menerapkan pemanfaatan ruang persegi dengan lebih optimal. Jarak antar tali
secara horizontal dapat disesuaikan dengan bentangan tali yang ada. Pada bentangan tali
sampai dengan 100 m persatu bentangan, dapat memparalelkan dengan tali yang lain
pada jarak 5 m. Ini diharapkan agar tiap tali tidak saling mengait. Sehingga optimalisasi
penggunaan ruang persegi dilakukan dengan baik. Hal yang menarik dari usaha budidaya
rumput laut adalah masyarakat dapat memanen rumput laut mereka dengan hanya 45 hari
penanaman dilaut. Nilai pertambahan produksi dari bibit yang ditanam dapat mencapai
10 - 14 kali pertumbuhan bibit yang ditanam. Namun saat ini nilai tersebut sudah
semakin berkurang sehingga keuntungan yang dirasakan masyarakt semakin berkurang.

Hal yang menjadi kendala terbesar untuk memacu pertumbuhan rumput laut di Kawasan
Timur Indonesia adalah karena tidak adanya bibit yang baik (masyarakat masih
tergantung pada pola stek), banyaknya hama penggangu seperti lumut, crustacean kecil
penggagu, ikan pemakan rumput laut serta epiphyte lain yang menjadi komptitor unsur
hara. Untuk memenuhi pertumbuhannya, rumput laut hanya mengandalkan cahaya
matahari dan unsur hara seperti nitrite nitrate dan phosphate. Namun jika terjadi
pelekatan berbagai lumut dan macro alga penggangu, ini akan sangat menylutkan bagi
penyerapan unsur tersebut oleh rumput laut. Belum lagi beberapa ikan seperti Siganus sp
yang sangat menyukai rumput laut sehingga dengan cepat dapat memakan tunas-tunas
muda dari rumput laut. Ditambah dengan serangan penyakit ice-ice yang semakin
merajalela. Penyakit ice-ice ini dapat mematikan rumput laut dengan sangat cepat. Dari
hasil perhitungan sementara, nilai normal yang seharusnya di rasakan oleh masyarakat
dapat mencapai 10 14 kali pertumbuhan dari bibit awal, namun dengan berbagai
kendala tersebut, produksi rumput laut masyarakat dapat berkurang hingga menjadi 4 6
kali dari pertumbuhan bibit awal. Sehingga dapat ditaksir masyarakat pesisir Sulawesi
Tenggara kehilangan 18.000 ton/thn. Jumlah kerugian ini akan terus meningkat jika kita
tidak mengadakan usaha-usaha pendampingan kemasyarakat dan jika kita tidak
melakukan strategi solusi yang seharusnya dapat kita lakukan.

Untuk memacu produksi rumput laut Sulawesi tenggara kita mulai dapat melakukan
beberapa strategi pendekatan diantaranya :

Meregenerasi bibit rumput laut dengan menggunakan bibit yang dihasilkan dari
upaya generative dan bukan vegetative yang selama ini dilakukan masyarakat.
Mengidentifikasi masalahan per areal sehingga dapat meminimalisasi serangan
hama dan penyakit yang ada.
Merancang pola budidaya yang sesuai dengan topografi daerah.
Melakukan pendampingan untuk mengontrol perlakuan masyarakat terhadap
usaha budidaya yang dilakukan.

Kesemuanya ini dapat dilakukan dengan pola yang sinergis sehingga peningkatan
produksi rumput laut dikawasan timur Indonesia khususnya di Sulawesi Tenggara dapat
memberikan harapan baru bagi peningkatan ekonomi masyarakat pesisir. Sangat
diharapkan bahwa peningkatan nilai jual rumput laut yang sampai dengan bulan Agustus
2008 yang berkisar Rp 18.000 20.000 ini dapat terus bertahan dan masyarakat dapat
meningkatkan produksinya dengan catatan bahwa permintaan pasar dunia khususnya
yang berasal dari Cina dapat terus tertuju ke Indonesia. Harapan baru untuk
meningkatkan ekonomi ini juga akan berimbas pada pelestarian sumberdaya mangrove
dan terumbu karang karena masyarakat akan lebih terkonsentrasi untuk menjaga dan
melakukan usaha budidaya rumput laut dengan baik tanpa harus melakukan upaya
exploitasi dengan menggunakan alat yang tidak ramah lingkungan.
http://marufkasim.blog.com/

Haruskah Tambak Merusak Ekosistem


Pesisir?
Summary rating: 3 stars (16 Tinjauan)

Kunjungan : 832
Comments : 0
kata : 600

oleh : foreno
Pengarang : Wahyu Astiko
Diterbitkan di: Juli 31, 2007
Beberapa puluh tahun yang lalu, di Indonesia terdapat hutan mangrove yang sangat luas.
Hutan mangrove pada masa itu banyak memberikan manfaat kepada para penduduk dan
nelayan disekitarnya sebagai penahan ombak dan angin kencang sehingga pantai
terhindar dari abrasi. Selain itu daerah ini merupakan tempat berlindung binatang air
seperti udang dan ikan dari pemangsa (predator), untuk bertelur dan berganti kulit.
Banyak burung bersarang dan bertelur di tempat ini sehingga menambah asrinya suasana
di sekitar pantai tersebut. Pada masa itu penduduk sangat mudah mencari ikan dan udang
di sekitar mangrove. Suasana ini berubah drastis pada tahun-tahun terakhir ini, dimana
banyak perusahaan yang membuka usaha tambak dengan membabat habis ratusan dan
bahkan ribuan hektar hutan mangrove untuk dijadikan tambak intensif. Parahnya lagi,
perusahaan tersebut membuat unit sumur dalam (deep well) dengan kedalaman mencapai
100 meter. Air tawar digunakan untuk mengurangi salinitas air laut agar menjadi kondisi
payau ramah bagi pertambakan udang. Akibat penyedotan air tanah yang terus menerus
dalam jumlah yang besar, terjadi infiltrasi air laut ke dalam sumur penduduk sekitar
sehingga tidak layak di konsumsi. Mulai masa inilah sedikit demi sedikit mulai timbul
masalah yang dirasakan oleh masyarakat sekitar seperti kualitas air laut yang menurun
akibat proses produksi tambak yang tidak ramah lingkungan, abrasi dan erosi pantai yang
mengkhawatirkan, menurunnya hasil tangkap nelayan pesisir, yang secara keseluruhan,
mengakibatkan kerusakan ekosistem pesisir dan laut. Oleh karena itu terjadi penurunan
produksi tambak sehingga banyak perusahaan tambak yang merugi. Puncaknya terjadi
pada tahun 1997 dimana terjadi krisis moneter yang melanda Indonesia. Harga pakan
melambung tinggi sedangkan harga jual udang dan bandeng sangat rendah. Inilah yang
menyebabkan sebagian besar perusahaan tambak di Indonesia mengalami kebangkrutan
dan akhirnya gulung tikar. Permasalahan-permasalahan utama berhubungan dengan
kegagalan usaha pertambakan adalah kelemahan dalam aspek perencanaan. Rencana
sering tidak memperhitungkan lebih dahulu: (i) faktor lingkungan alam, sosial, ekonomi
dan kemungkinan konflik dengan pemakai Sumber Daya Alam (SDA) lain; (ii) kondisi
fisik lokasi yang tidak memenuhi persyaratan dasar untuk kriteria pertambakan misalnya
tingkat kesuburan tanah, kadar zat sulfida, sumber air tawar yang cukup, dan tingkat
pasang-surut air laut; dan (iii) masukan dari penyuluh teknis Dinas Kelautan dan
Perikanan (DKP) dalam tahap pemilihan dan desain lokasi. Agar kelestarian alam dan
kelangsungan hidup manusia sekitarnya tidak dikorbankan, aturan-aturan yang sudah
dibuat perlu ditegaskan. Perijinan untuk usaha pertambakan harus berdasar pada
perencanaan yang mantap dan teknologi ramah lingkungan. Dengan memperhatikan

keseimbangan ekosistem pesisir ketika membuka tambak, akan mempengaruh secara


positif keberlangsungan hidup organismem disekitarnya dan secara langsung maupun
tidak langsung akan meningkatkan penghasilan petani tambak itu sendiri.
Abstrak lain tentang Haruskah Tambak Merusak Ekosistem Pesisir?

Daftar Pustaka
Haruskah Tambak Merusak Ekosistem Pesisir? oleh Wahyu Astiko 2007
http://id.shvoong.com/exact-sciences/1639793-haruskah-tambak-merusak-ekosistempesisir/
Beberapa puluh tahun yang lalu, di Indonesia terdapat hutan mangrove yang sangat luas.
Hutan mangrove pada masa itu banyak memberikan manfaat kepada para penduduk dan
nelayan disekitarnya sebagai penahan ombak dan angin kencang sehingga pantai
terhindar dari abrasi. Selain itu daerah ini merupakan tempat berlindung binatang air
seperti udang dan ikan dari pemangsa (predator), untuk bertelur dan berganti kulit.
Banyak burung bersarang dan bertelur di tempat ini sehingga menambah asrinya suasana
di sekitar pantai tersebut. Pada masa itu penduduk sangat mudah mencari ikan dan udang
di sekitar mangrove. Suasana ini berubah drastis pada tahun-tahun terakhir ini, dimana
banyak perusahaan yang membuka usaha tambak dengan membabat habis ratusan dan
bahkan ribuan hektar hutan mangrove untuk dijadikan tambak intensif. Parahnya lagi,
perusahaan tersebut membuat unit sumur dalam (deep well) dengan kedalaman mencapai
100 meter. Air tawar digunakan untuk mengurangi salinitas air laut agar menjadi kondisi
payau ramah bagi pertambakan udang. Akibat penyedotan air tanah yang terus menerus
dalam jumlah yang besar, terjadi infiltrasi air laut ke dalam sumur penduduk sekitar
sehingga tidak layak di konsumsi. Mulai masa inilah sedikit demi sedikit mulai timbul
masalah yang dirasakan oleh masyarakat sekitar seperti kualitas air laut yang menurun
akibat proses produksi tambak yang tidak ramah lingkungan, abrasi dan erosi pantai yang
mengkhawatirkan, menurunnya hasil tangkap nelayan pesisir, yang secara keseluruhan,
mengakibatkan kerusakan ekosistem pesisir dan laut. Oleh karena itu terjadi penurunan
produksi tambak sehingga banyak perusahaan tambak yang merugi. Puncaknya terjadi
pada tahun 1997 dimana terjadi krisis moneter yang melanda Indonesia. Harga pakan
melambung tinggi sedangkan harga jual udang dan bandeng sangat rendah. Inilah yang
menyebabkan sebagian besar perusahaan tambak di Indonesia mengalami kebangkrutan
dan akhirnya gulung tikar.
Permasalahan-permasalahan utama berhubungan dengan kegagalan usaha pertambakan
adalah kelemahan dalam aspek perencanaan. Rencana sering tidak memperhitungkan
lebih dahulu: (i) faktor lingkungan alam, sosial, ekonomi dan kemungkinan konflik
dengan pemakai Sumber Daya Alam (SDA) lain; (ii) kondisi fisik lokasi yang tidak
memenuhi persyaratan dasar untuk kriteria pertambakan misalnya tingkat kesuburan
tanah, kadar zat sulfida, sumber air tawar yang cukup, dan tingkat pasang-surut air laut;
dan (iii) masukan dari penyuluh teknis Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) dalam tahap
pemilihan dan desain lokasi. Agar kelestarian alam dan kelangsungan hidup manusia
sekitarnya tidak dikorbankan, aturan-aturan yang sudah dibuat perlu ditegaskan. Perijinan
untuk usaha pertambakan harus berdasar pada perencanaan yang mantap dan teknologi

ramah lingkungan. Dengan memperhatikan keseimbangan ekosistem pesisir ketika


membuka tambak, akan mempengaruhi secara positif keberlangsungan hidup organisme
disekitarnya dan secara langsung maupun tidak langsung akan meningkatkan penghasilan
petani tambak itu sendiri.
Sumber: SHVOONG
http://img.gd.itb.ac.id/?p=43

Kehidupan di balik tandusnya pantai berpasir


Oleh : Ma'ruf Kasim

Nuansa alam laut yang khas dengan udara sejuk yang selalu
menyapa, Keindahan pohon-pohon pantai yang terus melambai
anggun dan panorama yang unik, mempesona dan melenakan mata,
selalu melekat pada sebagian besar kawasan pantai berpasir di
Indonesia. Sebagai kawasan yang di kenal dengan daerah tropis,
Indonesia memiliki sangat banyak potensi keindahan alam pantai yang
menakjubkan. Keindahan tersebut merupakan paduan dari hamparan
biru laut dan batas pulau yang memanjang yang di kenal dengan
kawasan pesisir pantai. Sangat sering kita melihat hamparan pasir,
batuan dan daerah pasang surut yang memberi kesan keindahan
tersendiri. Keelokan yang terjaga dan kemurnian tempat yang
terlidung.
Manusia tidak membiarkan alam pantai begitu saja, sebagai karunia
Tuhan yang tidak ternilai, kawasan pantai banyak di jadikan sarana
untuk melepas lelah, membuang stress, bermain, berlibur dan banyak
aktivitas lain yang menjadikan daerah pantai sebagai obyek wisata
yang terus berkembang.
Beberapa di antaranya adalah Pulau Dewata dengan pasirnya yang
luas dan indah, Pulau Lombok dengan ketengan pantai pasir putihnya,

Teluk Sunda (Tanjung Lesung) yang bersih, indah dan putih, Pantai
Parang Tritis yang khas dengan pasir buram dan gelap namun cantik,
elok dan khas di Yokyakarta, serta beberapa kawasan lainnya yang
tersebar di seluruh Indonesia. Setiap lokasi memiliki kekhasan dan
keunikan tersendiri. Dan di situlah kunci dari setiap keindahan yang
tercipta dari kawasan ini.
Garis pantai yang memanjang dengan batas laut yang apik
memberikan gambaran tersendiri. Genangan air laut terhadap daratan
pesisir yang terus berubah dengan dinamika yang cukup tinggi,
memungkinkan pemilahan zona bagi kawasan ini yang banyak di
pengaruhi oleh pola pergerakan pasang surut. Pasang surut
merupakan fenomena pantai landai yang di pengaruhi oleh gaya
gravitasi bulan sebagai benda langit terdekat dengan bumi. Hingga
ketinggian laut sebagai medium cair bumi pada garis pantai terlihat
mencolok oleh gaya tarik tersebut. Sebagai kawasan yang dinamis,
kawasan berpasir tidak hanya indah namun unik karena pola
pembatasan yang terpilah tersendiri.
Pemilahan Zona Pantai

Secara umum kita dapat membagi kawasan pantai berpasir sebagai


kawasan pasang surut karena sangat dipengaruhi oleh pola naik dan
surutnya air laut kedalam tiga zona yang merupakan pemilahan dari
pola pergerakan pasang surut dan hempasan riak gelombang yang
dinamis tersebut. Zona pertama merupakan daerah diatas pasang
tertinggi dari garis laut yang hanya mendapatkan siraman air laut dari
hempasan riak gelombang dan ombak yang menerpa daerah tersebut
(supratidal), Zona kedua merupakan batas antara surut terendah dan
pasang tertinggi dari garis permukaan laut (intertidal) dan zona ketiga
adalah batas bawah dari surut terendah garis permukaan laut
(subtidal).
Jika anda berjalan pada kawasan pantai yang sesekali dibasahi oleh
hempasan riak kecil gelombang, dan pada batas tumbuhnya beberapa
tanaman khas pantai seperti pohon kelapa, dan pohon lainnya,

kawasan inilah yang di kenal dengan zona supratidal. Kawasan ini


hanya sesekali mendapat percikan air pada pasang-pasang tertinggi
dan sering terjadi proses pengeringan dengan kontak langsung oleh
sinar matahari serta udara pantai, termasuk pengaruh daratan yang
lebih dominan terutama oleh aktifitas manusia. Pada kawasan yang
lebih rendah yang terus dibasahi oleh air laut saat pasang adalah zona
intertidal yang lebih "nyaman" bagi beberapa hewan kecil yang
bergerak lincah. Kawasan ini sesekali terendam oleh air saat pasang
dan sesekali terjemur oleh teriknya matahari saat surut.
Pada kawasan supratidal dan intertidal, banyak di dominasi oleh
hewan-hewan yang bergerak cepat untuk mencari makan seperti
beberapa jenis kepiting dan atau mengubur diri kedalam pasir seperti
beberapa jenis kerang-kerangan (bivalve) dan cacing pantai
(Annelida). Khusus pada zona intertidal, hewan-hewan yang
membanamkan diri pada pasir (infauna) lebih banyak di jumpai di
bandingkan dengan daerah subtidal yang di dominasi oleh hewanhewan kecil yang hidup di atas permukaan pasir (epifauna).
Hewan-hewan kecil pantai

sumber foto :http://moray.ml.duke.edu/

Dibalik keindahan kawasan pantai berpasir yang terlukis oleh kuas


alam, tidak jarang dari kita menganggapnya sebagai kawasan "tandus"
yang hanya berisikan pasir atau benda mati lainnya. Kita mungkin
tidak pernah menyangka kalau kawasan dinamis yang terus di terjang
riak gelombang laut tersebut sebenarnya merupakan "rumah" bagi
berjuta hewan kecil dan alga laut yang khas. Hewan-hewan tersebut
hidup dengan pola unik yang harus menyesuaikan diri dengan
dinamika pantai yang terus bergolak.
Sebagian besar dari hewan-hewan ini adalah hewan yang bergerak
aktif atau membenamkan diri dalam pasir (infauna) dan atau melekat
pada beberapa substrat padat seperti batuan yang terdapat di
sepanjang daerah tersebut.

Kita jarang melihat adanya organisma pada kawasan supratidal atau


intertidal saat berjalan santai diatasnya, karena hewan-hewan kecil
pada kawasan ini sangat aktif dan mempunyai semacam alat
pendeteksi untuk memastikan mereka aman dari gangguan hewan lain
termasuk manusia. Saat mereka merasa terganggu, dengan sangat
cepat mereka bergerak membenamkan diri kedalam pasir dan atau
mencari kawasan yang lebih aman dari jangkauan. Pada beberapa
kawasan yang jauh dari kegiatan manusia, kita dapat menemukan
begitu ramainya kehidupan pantai berpasir dari kegiatan "pencarian
makanan" dan "bermain" di sela-sela hempasan riak gelombang oleh
kepiting-kepiting kecil termasuk hermit crab, cacing-cacing pantai,
kerang-kerangan kecil. Pada daerah yang sarat dengan kegiatan
manusia (pantai wisata) kita mungkin masih dapat menyaksikan
keunikan kehidupan tersebut saat malam hari.
Kita sering melihat sepintas kecerdikan kepiting kecil yang hidup di
tepi pantai sambil sesekali berlari mencari makan dan bersembunyi
kedalam lubang yang merupakan "rumah kecil" ketika merasa terusik,
atau secara tidak sengaja, saat menyandarkan telapak tangan kita
keatas pasir yang sesekali terendam, kita sering merasakan gigitangigitan kecil dari cacing-cacing pantai yang bersembunyi di sela-sela
pasir dan bahkan kita sering memungut kerang-kerangan kecil yang
masih hidup terkubur di tepi pantai berpasir.
Keseluruhan hewan-hewan tadi adalah penguhi tetap kawasan pantai
berpasir yang saling terkait kedalam suatu ekosistem pesisir yang unik
dan khas. Semua saling terkait walau masing-masing tinggal dan
mencari makan pada zona yang berbeda. Keterkaitan yang khas ada
pada pola pemanfaatan ruang dan makanan. Namun sayangnya, di
beberapa kawasan pantai Indonesia, hampir kita tidak lagi dapat
menemukan pola keseimbangan yang terjadi antara ketiga zona
tersebut, karena umumnya seluruh daerah subtidal yang dekat dengan
kegiatan manusia telah rusak dan hewan-hewan yang hidup di sana
tersingkir kedaerah-daerah yang lebih jauh dan aman. Hingga sering
kita menemukan banyak cangkang organisma laut di sepanjang garis
pantai yang kita lalui dan itu merupakan rumah kecil dari beberapa
hewan yang mendominasi kawasan subtidal.
Semoga di beberapa kawasan pesisir yang masih tersisa dan terjaga
keasliannya, dapat kita pertahankan sehingga kawasan tersebut tidak
hanya indah terlihat oleh mata kita, namun juga terjaga bagi "rumah"
jutaan hewan kecil yang cantik dan menggemaskan (Ma'ruf Kasim).
Posted by Maruf Kasim at 20:05:1
http://marufkasim.blog.com/Pantai%20Berpasir/

Peranan dan Fungsi Hutan Bakau


(Mangrove) dalam Ekosistem Pesisir
April 8, 2008 in Uncategorized | 1 comment
08/03/04 - Lain-lain: Artikel-dkp.go.id
Hutan Bakau (mangrove) merupakan komunitas vegetasi pantai tropis, yang didominasi oleh
beberapa jenis pohon mangrove yang mampu tumbuh dan berkembang pada daerah pasang
surut pantai berlumpur (Bengen, 2000). Sementara ini wilayah pesisir didefinisikan sebagai
wilayah dimana daratan berbatasan dengan laut. Batas wilayah pesisir di daratan ialah daerahdaerah yang tergenang air maupun yang tidak tergenang air dan masih dipengaruhi oleh prosesproses bahari seperti pasang surutnya laut, angin laut dan intrusi air laut, sedangkan batas
wilayah pesisir di laut ialah daerah-daerah yang dipengaruhi oleh proses-proses alami di
daratan seperti sedimentasi dan mengalirnya air tawar ke laut, serta daerah-daerah laut yang
dipengaruhi oleh kegiatan-kegiatan manusia di daratan seperti penggundulan hutan dan
pencemaran.
Kawasan pesisir dan laut merupakan sebuah ekosistem yang terpadu dan saling berkolerasi
secara timbal balik (Siregar dan Purwaka, 2002). Masing-masing elmen dalam ekosistem
memiliki peran dan fungsi yang saling mendukung. Kerusakan salah satu komponen ekosistem
dari salah satunya (daratan dan lautan) secara langsung berpengaruh terhadap keseimbangan
ekosistem keseluruhan. Hutan mangrove merupakan elemen yang paling banyak berperan dalam
menyeimbangkan kualitas lingkungan dan menetralisir bahan-bahan pencemar.
Menurut Davis, Claridge dan Natarina (1995), hutan mangrove memiliki fungsi dan manfaat
sebagai berikut :

1. Habitat satwa langka

2.

3.

4.

5.

Hutan bakau sering menjadi habitat jenis-jenis satwa. Lebih dari 100 jenis burung hidup
disini, dan daratan lumpur yang luas berbatasan dengan hutan bakau merupakan tempat
mendaratnya ribuan burug pantai ringan migran, termasuk jenis burung langka Blekok
Asia (Limnodrumus semipalmatus)
Pelindung terhadap bencana alam
Vegetasi hutan bakau dapat melindungi bangunan, tanaman pertanian atau vegetasi
alami dari kerusakan akibat badai atau angin yang bermuatan garam melalui proses
filtrasi.
Pengendapan lumpur
Sifat fisik tanaman pada hutan bakau membantu proses pengendapan lumpur.
Pengendapan lumpur berhubungan erat dengan penghilangan racun dan unsur hara air,
karena bahan-bahan tersebut seringkali terikat pada partikel lumpur. Dengan hutan
bakau, kualitas air laut terjaga dari endapan lumpur erosi.
Penambah unsur hara
Sifat fisik hutan bakau cenderung memperlambat aliran air dan terjadi pengendapan.
Seiring dengan proses pengendapan ini terjadi unsur hara yang berasal dari berbagai
sumber, termasuk pencucian dari areal pertanian.
Penambat racun
Banyak racun yang memasuki ekosistem perairan dalam keadaan terikat pada
permukaan lumpur atau terdapat di antara kisi-kisi molekul partikel tanah air. Beberapa

spesies tertentu dalam hutan bakau bahkan membantu proses penambatan racun secara
aktif
6. Sumber alam dalam kawasan (In-Situ) dan luar Kawasan (Ex-Situ)
Hasil alam in-situ mencakup semua fauna dan hasil pertambangan atau mineral yang
dapat dimanfaatkan secara langsung di dalam kawasan. Sedangkan sumber alam ex-situ
meliputi produk-produk alamiah di hutan mangrove dan terangkut/berpindah ke tempat
lain yang kemudian digunakan oleh masyarakat di daerah tersebut, menjadi sumber
makanan bagi organisme lain atau menyediakan fungsi lain seperti menambah luas
pantai karena pemindahan pasir dan lumpur.
7. Transportasi
Pada beberapa hutan mangrove, transportasi melalui air merupakan cara yang paling
efisien dan paling sesuai dengan lingkungan.
8. Sumber plasma nutfah
Plasma nutfah dari kehidupan liar sangat besar manfaatnya baik bagi perbaikan jenisjenis satwa komersial maupun untukmemelihara populasi kehidupan liar itu sendiri.
9. Rekreasi dan pariwisata
H utan bakau memiliki nilai estetika, baik dari faktor alamnya maupun dari kehidupan
yang ada di dalamnya.
10. Sarana pendidikan dan penelitian
Upaya pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi membutuhkan laboratorium
lapang yang baik untuk kegiatan penelitian dan pendidikan.
11. Memelihara proses-proses dan sistem alami
Hutan bakau sangat tinggi peranannya dalam mendukung berlangsungnya prosesproses ekologi, geomorfologi, atau geologi di dalamnya.
12. Penyerapan karbon
Proses fotosentesis mengubah karbon anorganik (C02) menjadi karbon organik dalam
bentuk bahan vegetasi. Pada sebagian besar ekosistem, bahan ini membusuk dan
melepaskan karbon kembali ke atmosfer sebagai (C02). Akan tetapi hutan bakau justru
mengandung sejumlah besar bahan organik yang tidak membusuk. Karena itu, hutan
bakau lebih berfungsi sebagai penyerap karbon dibandingkan dengan sumber karbon.
13. Memelihara iklim mikro
Evapotranspirasi hutan bakau mampu menjaga ketembaban dan curah hujan kawasan
tersebut, sehingga keseimbangan iklim mikro terjaga.
14. Mencegah berkembangnya tanah sulfat masam
Keberadaan hutan bakau dapat mencegah teroksidasinya lapisan pirit dan menghalangi
berkembangnya kondisi alam.
Hutan Mangrove dan Perikanan

Dalam tinjauan siklus biomassa, hutan mangrove memberikan masukan unsur hara
terhadap ekosistem air, menyediakan tempat berlindung dan tempat asuhan bagi anakanak ikan, tempat kawin/pemijahan, dan lain-lain. Sumber makanan utama bagi
organisme air di daerah mangrove adalah dalam bentuk partikel bahan organik (detritus)
yang dihasilkan dari dekomposisi serasah mangrove (seperti daun, ranting dan bunga).
Selama proses dekomposisi, serasah mangrove berangsur-angsur meningkat kadar
proteinnya dan berfungsi sebagai sumber makanan bagi berbagai organisme pemakan
deposit seperti moluska, kepiting dang cacing polychaeta. Konsumen primer ini menjadi
makanan bagi konsumen tingkat dua, biasanya didominasi oleh ikan-ikan buas berukuran
kecil selanjutnya dimakan oleh juvenil ikan predator besar yang membentuk konsumen
tingkat tiga Singkatnya, hutan mangrove berperan penting dalam menyediakan habitat
bagi aneka ragamjenis-jenis komoditi penting perikanan baik dalam keseluruhan maupun
sebagian dari siklus hidupnya.

Sumber : Buletin Mina Diklat, Desember 2003

http://my-curio.us/?p=1050
ADVOKASI PESISIR DAN LAUT
Wilayah pesisir memiliki arti strategis karena merupakan wilayah peralihan antara
ekosistem darat dan laut, serta memiliki potensi sumberdaya alam dan jasa-jasa
lingkungan yang sangat kaya. Namun, karakteristik laut tersebut belum sepenuhnya
dipahami dan diintegrasikan secara terpadu. Kebijakan pemerintah yang sektoral dan bias
daratan, akhirnya menjadikan laut sebagai kolam sampah raksasa. Dari sisi sosialekonomi, pemanfaatan kekayaan laut masih terbatas pada kelompok pengusaha besar dan
pengusaha asing. Nelayan sebagai jumlah terbesar merupakan kelompok profesi paling
miskin di Indonesia.
Kekayaan sumberdaya laut tersebut menimbulkan daya tarik bagi berbagai pihak untuk
memanfaatkan sumberdayanya dan berbagai instansi untuk meregulasi pemanfaatannya.
Kekayaan sumberdaya pesisir, meliputi pulau-pulau besar dan kecil sekitar 17.500 pulau,
yang dikelilingi ekosistem pesisir tropis, seperti hutan mangrove, terumbu karang,
padang lamun, berikut sumberdaya hayati dan non-hayati yang terkandung di dalamnya.
Akan tetapi, kekayaan sumberdaya pesisir tersebut mulai mengalami kerusakan. Sejak
awal tahun 1990-an, fenomena degradasi biogeofisik sumberdaya pesisir semakin
berkembang dan meluas. Laju kerusakan sumberdaya pesisir telah mencapai tingkat yang
mengkhawatirkan, terutama pada ekosistem mangrove terumbu karang dan estuari
(muara sungai).
Rusaknya ekosistem mangrove, terumbu karang, dan estuari berimplikasi terhadap
penurunan kualitas lingkungan untuk sumberdaya ikan serta erosi pantai. Sehingga terjadi
kerusakan tempat pemijahan dan daerah asuhan ikan, berkurangnya populasi benur,
nener, dan produktivitas tangkap udang.
Semua kerusakan biofisik lingkungan tersebut adalah gejala yang terlihat dengan kasat
mata dari hasil interaksi antara manusia dengan sumberdaya pesisir yang tidak
memperhatikan kaidah-kaidah kelestarian dan daya dukung lingkungannya. Sehingga
persoalan yang mendasar adalah mekanisme pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau
kecil tidak efektif untuk memberi kesempatan kepada sumberdaya hayati pesisir yang
dimanfaatkan pulih kembali atau pemanfaatan sumberdaya non-hayati disubstitusi
dengan sumberdaya alam lain dan mengeliminir faktor-faktor yang menyebabkan
kerusakannya.
Secara normatif, kekayaan sumberdaya pesisir dikuasai oleh Negara untuk dikelola
sedemikian rupa guna mewujudkan kesejahteraan masyarakat, memberikan manfaat bagi
generasi sekarang tanpa mengorbankan kebutuhan generasi yang akan datang. Ironisnya,
sebagian besar tingkat kesejahteraan masyarakat yang bermukim di wilayah pesisir justru
menempati strata ekonomi yang paling rendah bila dibandingkan dengan masyarakat
darat lainnya.

Selama ini, kegiatan ekonomi yang berlangsung di wilayah pesisir hanya dilakukan
berdasarkan pendekatan sektoral yang didukung UU tertentu yang menguntungkan
instansi sektor dan dunia usaha terkait. Akibatnya, pengelolaan pesisir dan pulau-pulau
kecil cenderung eksploitatif, tidak efisien, dan sustainable (berkelanjutan). Banyak
faktor-faktor yang menyebabkan ketidakefektifan pengelolaan sumberdaya pesisir ini,
antara lain ambiguitas pemilikan dan penguasaan sumberdaya, ketidakpastian hukum,
serta konflik pengelolaan. Ambiguitas pemilikan dan penguasaan sumberdaya pesisir
masih sering terjadi di berbagai tempat. Biasanya sumberdaya pesisir dianggap tanpa
pemilik (open access property), tetapi berdasarkan pasal 33 UUD 1945, dan UU Pokok
Perairan No. 6/1996, dinyatakan sebagai milik pemerintah (state property). Namun, ada
indikasi di beberapa wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil terjadi pemilikan pribadi
(quasi private proverty). Di beberapa wilayah pesisir atau pulau masih dipegang teguh
sebagai milik kaum atau masyarakat adat (common property).
Perbedaan penerapan konsep pemilikan dan penguasaan sumberdaya ini mendorong
ambiguitas atau ketidakjelasan siapa yang berhak untuk mengelolanya. Hal ini
mendorong berbagai stakeholder untuk mengeksploitasi sumberdaya wilayah pesisir ini
secara berlebihan, kalau tidak maka pihak lain yang akan memanfaatkannya, dan tidak
ada insentif untuk melestarikannya, sehingga terjadi the tragedy of commons yang baru.
Pada dasarnya, hampir di seluruh wilayah pesisir Indonesia terjadi konflik-konflik antara
berbagai pihak yang berkepentingan. Masing-masing mempunyai tujuan, target, dan
rencana untuk mengeksploitasi sumberdaya pesisir. Perbedaan tujuan, sasaran, dan
rencana tersebut mendorong terjadinya konflik pemanfaatan dan konflik kewenangan.
Dari kajian terhadap peraturan perundang-undangan, terdapat 20 undang-undang, 5
konvensi internasional yang telah diratifikasi Indonesia, yang memberi legal mandat
terhadap 14 sektor pembangunan dalam meregulasi pemanfaatan sumberdaya pesisir,
baik langsung maupun tidak langsung. Kegiatan diatur dalam perundang-undangan
tersebut umumnya bersifat sektoral dan difokuskan pada eksploitasi sumberdaya pesisir
tertentu. Undang-undang tersebut terdikotomi untuk meregulasi pemanfaatan sumberdaya
pesisir di darat saja atau di perairan laut saja.
Keempat belas sektor tersebut, meliputi sektor pertanahan, pertambangan, perindustrian,
perhubungan, perikanan, pariwisata, pertanian, kehutanan, konservasi, tata ruang,
pekerjaan umum, pertahanan, keuangan, dan pemerintahan daerah. Visi sektoral
pengelolaan sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan pesisir, telah mendorong
departemen-departemen atau instansi teknis berlomba-lomba membuat peraturan
pelaksanaan pengelolaan sumberdaya pesisir sesuai dengan kepentingannya.
Ada juga kecenderungan Pemerintah Daerah untuk membuat peraturan daerah
berdasarkan kepentingannya dalam meningkatkan pendapatan asli daerah. Pengaturan
demikian, telah dan akan melahirkan ketidakpastian hukum bagi semua kalangan yang
berkaitan dan berkepentingan dengan wilayah pesisir. Berdasarkan hasil review terhadap
perundang-undangan dan konvensi yang telah diratifikasi pemerintah Indonesia yang
berkaitan dengan pengelolaan wilayah pesisir, maka dijumpai tiga permasalahan hukum
yang krusial, yaitu:

* Konflik antar Undang-Undang;


* Konflik antara UU dengan Hukum Adat;
* Kekosongan Hukum; dan
* Konflik antar UU terjadi pada bidang pengaturan tata ruang wilayah pesisir dan laut.
Di dalam UU No. 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang ditentukan bahwa penataan
ruang diatur secara terpusat dengan UU (Pasal 9). Sebaliknya, di dalam UU No. 22/1999
tentang Pemerintah Daerah ditentukan bahwa penataan ruang wilayah laut sejauh 12 mil
merupakan kewenangan propinsi dan sepertiganya kewenangan kabupaten/kota.
Konflik antara UU dengan hukum adat terjadi pada persoalan status kepemilikan
sumberdaya alam di wilayah pesisir. Di dalam UU No. 6/1996 tentang Perairan Indonesia
Pasal 4, status sumber daya alam perairan pesisir dan laut, secara substansial, merupakan
milik negara (state property). Sebaliknya, masyarakat adat mengklaim sumber daya di
perairan tersebut dianggap sebagai hak ulayat (common property) berdasarkan hukum
adat yang telah ada jauh sebelum berdirinya Negara Indonesia.
Ketidakpastian hukum yang terjadi pada bidang penguasaan/pemilikan wilayah perairan
pesisir dan pulau-pulau kecil. Di dalam UU No. 5/1960 terjadi Ketentuan Dasar
Pokokpokok Agraria (UUPA) hanya diatur sebatas pemilikan/penguasaan tanah sampai
pada garis pantai. Memang, ada ketentuan tentang Hak Pemeliharaan dan Penangkapan
Ikan di dalam UU ini, tetapi baru sekadar disebutkan saja tanpa ada rincian
pengaturannya.
Ketiga masalah krusial tersebut, bermuara pada ketidakpastian hukum, konflik
kewenangan, dan pemanfaatan, serta kerusakan bio-geofisik sumberdaya pesisir. Ketiga
masalah tersebut merupakan suatu kesatuan, sehingga solusi yuridisnya pun harus
terpadu melalui undang-undang baru yang mengintegrasi pengelolaan wilayah pesisir.
Saat ini, Pemerintah dalam proses menyusun RUU Pengelolaan Wilayah Pesisir dan akan
mengusulkannya ke DPR RI tahun 2003 ini.
Pulau-Pulau Kecil
Pulau-pulau kecil memiliki karakteristik dan tingkat kerentanan yang berbeda
dibandingkan dengan pulau besar. Namun, demikian selama ini pengetahuan mengenai
karakteristik pulau-pulau kecil sangat minim. Sehingga pengelolaan, pola pembangunan,
dan regulasi disusun sama dengan cara pandang kita terhadap pengelolaan pulau besar
(mainland). Sebagian besar dari pulau-pulau tersebut merupakan pulau-pulau kecil yang
memiliki kekayaan sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan (environmental services)
yang sangat potensial untuk pembangunan ekonomi.
Batasan dan karakteristik pulau-pulau kecil adalah sebagai berikut:
1. Pulau yang ukuran luasnya kurang atau sama dengan 10.000 km2, dengan jumlah
penduduknya kurang atau sama dengan 200.000 orang;
2. Secara ekologis, terpisah dari pulau induknya (mainland island), memiliki batas fisik
yang jelas, dan terpencil dari habitat pulau induk sehingga bersifat insular;
3. Mempunyai sejumlah besar jenis endemik dan keanekaragaman yang tipikal dan

bernilai tinggi;
4. Daerah tangkapan air (catchment area) relatif kecil, sehingga sebagian besar aliran air
permukaan dan sedimen masuk ke laut;
5. Dari segi sosial, ekonomi, dan budaya, masyarakat pulau-pulau bersifat khas
dibandingkan dengan pulau induknya.
Keragaman hayati, sumberdaya perikanan, dan nilai estetika yang tinggi merupakan nilai
lebih ekosistem pulau-pulau kecil. Di sinilah ekosistem dengan produktivitas hayati
tinggi, seperti terumbu karang, padang lamun (sea grass), rumput laut (sea weeds) dan
hutan bakau (mangrove) ditemukan. Selain itu, pulau-pulau kecil ini juga memberikan
jasa-jasa lingkungan yang tinggi nilai ekonomisnya dan sekaligus sebagai kawasan
berlangsungnya kegiatan kepariwisataan.
Pada sisi yang lain, pulau-pulau kecil memiliki tingkat kerentanan yang cukup tinggi,
khususnya menyangkut ketersediaan air yang rendah dan resiko erosi (penenggelaman).
Oleh karena itu, pilihan pembangunan pulau-pulau kecil merupakan gabungan dari 2 sisi
ini. Kegiatan yang bersifat ekstraktif (eksploitatif), seperti pertambangan, industri yang
rakus konsumsi air, dan sebagainya, merupakan pilihan yang harus dihindari. Aktifitas
ekstraktif justru cenderung hanya mengeksploitasi satu jenis sumberdaya lain, dan
mengabaikan/merusak sumberdaya lain yang beragam. Negara-negara yang telah maju
dalam mengelola pulau-pulau kecilnya, di antaranya Fiji, mengandalkan pariwisata dan
budidaya perikanan berbasis masyarakat sebagai strategi pembangunannya.
Sumber: Wikipedia
http://img.gd.itb.ac.id/?p=42

log Lingkungan Ekosistem Pesisir

BLOG LINGKUNGAN EKOSISTEM PESISIR


Bila kawan-kawan tertarik dengan ekosistem pantai beserta foto-foto satwa dan
tumbuhannya silahkan berkunjung ke Blog Lingkungan Ekosistem Pesisir
<http://maruf.wordpress.com/> yang dibuat oleh Ma'aruf Kasim.
Blog Lingkungan Ekosistem Pesisir termasuk sederhana yang didominasi oleh warna
putih serta warna-warna soft lainnya. Walau sederhana, blog ini penuh dengan informasi
tentang ekosistem pesisir secara ilmiah populer sehingga mudah dipahami oleh orang
awam. Selain itu ada satu hal yang menambah nilai plus dari blog ini, yaitu adanya
gambar-gambar (foto) cantik baik satwa maupun tumbuhan di ekosistem pesisir. Bahkan
ada sebuah gambar yang sangat mengenaskan, yaitu sekor dugong yang sedang dibelah
oleh seseorang untuk diambil daging dan lemaknya
<http://maruf.wordpress.com/tag/dugong-indonesia-konservasi-yang-jalan-di-tempat/>.
Siapa Ma'aruf Kasim itu? Identitas Ma'aruf Kasim adalah
<http://maruf.wordpress.com/profile/>:
Name : Maruf Kasim

Sex : Male
Marital Staus : Married
e-mail : marufkasim@gmail.com
Homepage : www.pantai.netfirms.com
Mengapa Ma'aruf Kasim membuat Blog Lingkungan Ekosistem Pesisir yang cantik ini?
Dalam kata pengantarnya <http://maruf.wordpress.com/about/>, Ma'aruf Kasim
mengatakan antara lain:
"Sekarang saya sementara belajar di Hokkaido University untuk Program
Doktor bidang Ekologi Laut khususnya ekosistem pantai.
Sengaja saya buat beberapa bahasan tentang ekosistem Pantai Indonesia di
sini dan beberapa aspek ekologi yang mungkin bisa di baca untuk memberikan
sedikit gambaran tentang betapa besarnya manfaat lingkungan ekosistem
Pantai di sekitar kita.
Kadang kita tidak menyadari kalau kita sangat tergantung pada lingkungan
ekosistem pantai lebih dari 60 % dari kebutuhan harian kita. Ini belum
termasuk kepuasan batin akan keindahannya yang kita nikmati, namun lambat
laun dan dengan pasti Keindahan itu akan hilang.
Jika anda pernah menyaksikan panorama Pantai yang putih dengan bau khas
laut yang unik, keindahan bawah laut dengan ekosistem lamun yang hijau,
keunikan pantai mangrove dengan beribu hewan dan tumbuhan yang khas,
keindahan terumbu karang yang penuh dengan jutaan hewan dan tumbuhan
cantik. Atau pun jika anda lebih jauh melihat keindahan struktur dari Diatom
(phytoplankton). Maka sekarang keindahan itu telah mulai tergusur oleh
keegoan dan ketidak arifan manuasia sebagai pengubah langsung ekosistem
tadi.
Sanggup kah keindahan yang amat sangat berharga itu kita pertahankan.
Semoga."
Untuk mempermudah navigasi dan pencarian informasi di dalam blog ini, informasi
dalam Blog Lingkungan Ekosistem Pesisir dikelompokkan ke dalam kategori-kategori,
yaitu :
* Dugong Indonesia : Konservasi yang jalan di tempat
<http://maruf.wordpress.com/tag/dugong-indonesia-konservasi-yang-jalan-di-tempat/>
* Estuary : Lingkungan unik yang sangat penting

<http://maruf.wordpress.com/tag/estuary-lingkungan-unik-yang-sangat-penting/>
* Hewan cantik yang tergusur <http://maruf.wordpress.com/tag/hewan-cantik-yangtergusur/>
* Kehidupan di balik tandusnya pantai berpasir
<http://maruf.wordpress.com/tag/kehidupan-di-balik-%e2%80%9ctandusnya
%e2%80%9d-pantai-berpasir/>
* Kenali Padang Lamun untuk di Lindungi <http://maruf.wordpress.com/tag/kenalipadang-lamun-untuk-di-lindungi/>
* Mengenal Diatom <http://maruf.wordpress.com/tag/mengenal-diatom/>
* Mengenal Dugong <http://maruf.wordpress.com/tag/mengenal-dugong/>
* Mengintip Kehidupan Pesisir Pantai Batuan
<http://maruf.wordpress.com/tag/mengintip-kehidupan-pesisir-pantai-batuan/>
* Penyu Laut <http://maruf.wordpress.com/tag/penyu-laut/>
* Penyu Laut (Hewan cantik yang tergusur) <http://maruf.wordpress.com/tag/penyu-lauthewan-cantik-yang-tergusur/>
* Pola Percampuran Estuary <http://maruf.wordpress.com/tag/pola-percampuranestuary/>
* Seagrass (Ekosistem yang terabaikan) <http://maruf.wordpress.com/tag/seagrassekosistem-yang-terabaikan/>
* Seagrass bukan Rumput Laut <http://maruf.wordpress.com/tag/seagrass-bukan-rumputlaut/>
* Tripneustes gratilla (Hewan unik penghuni Ekosistem lam
<http://maruf.wordpress.com/tag/tripneustes-gratilla-hewan-unik-penghuni-ekosistemlamun/>
* Uncategorized <http://maruf.wordpress.com/tag/uncategorized/>
Terima kasih banyak kepada Ma'aruf Kasim atas Blog Lingkungan Ekosistem Pesisir
yang cantik dan informatif ini. Dan selamat menggali informasi dan menikmati gambargambar (foto) ekosistem pesisir dari Blog tersebut.
Salam,
Djuni Pristiyanto
Moderator Milis Lingkungan <http://groups.yahoo.com/group/lingkungan> dan Milis
Berita Lingkungan <http://groups.yahoo.com/group/berita-lingkungan>
My Blog:
# Jalan Setapak <http://djuni.blogspot.com/>
# Berita Lingkungan Indonesia <http://beritalingkungan.blogspot.com/>
# Peduli Bencana Jember <http://bencana-jember.blogspot.com/>
posted by Djuni Pristiyanto at 2/13/2006 10:53:00 PM
<< Home

About Me
Name: Djuni Pristiyanto
Location: Jakarta, DKI Jakarta, Indonesia

Moderator Milis Lingkungan, Milis Berita Lingkungan, Milis WGCoP


View my complete profile

Previous Posts

Beberapa hal yg berkaitan dg illegal logging


Perda Bandung No. 2 thn 2004 ttg RTRW Kota Bandung...
Perda Kota Bandung yg berhubungan dengan kesehatan...
Keppres No. 9 Thn 1999 ttg Pembentukan tim Koordin...
Kepmenhut No. 52 Thn 2001 ttg Pedoman Penyelenggar...
Kepmenhut No. 665 ttg Organisasi dan tata kerja BP...
PP No. 27 Thn 1999 ttg Analisis Mengenai Dampak Li...
UU No. 11 thn 1974 ttg Pengairan
Keppres No. 114 Thn 1999 ttg Penataan Ruang Kawasa...
PP RI No. 82 Tahun 2001 Tentang Pengelolaan Kualit...

Anda mungkin juga menyukai