bahwa rata-rata frekuensi seksual adalah dua atau tiga kali seminggu untuk pasangan menikah.
Sebenarnya hampir semua kasus memperlihatkan dalam terapi seks tidak hanya meliputi hasrat seksual
yang hipoactive, tetapi sebenarnya tidak efisiennya hasrat seksual (Loppiccolo dan Friendman, 1988).
Pasien ini tidak punya ketertarikan apa lagi dalam hubungan seksual dengan pasangannya, tidak onani
dan tidak punya fantasi seksual. Dorongan seks ditentukan oleh kombinasi faktor fisik dan psikologis,
tetapi kondisi fisik tertentu dapat menurunkan dorongan seksual. Beberapa obat terlarang, baik
prenscription dan illicit dapat mendorong atau meningkatkan hasrat seksual (Segraver, 1988), hampir
semua obat psikotropika mempengaruhi tingkat neurotransmiter seperti dopamin atau serotin, yang
nampaknya menimbulkan atau meningkatkan hasrat seksual, illicit drug seperti kokain, marijuana,
ampheramina dan heroin dapat meningkatkan hasrat seksual dalam dosis yang rendah (Bancroft, 1989).
Sakit fisik yang kronis juga dapat menekan dorongan seks (Bullard, 1988), rendahnya dorongan seks
dapat disebabkan oleh efek peyakit tersebut, efek pengobatan pada hormon seks atau akibat dari
stress, sakit, dan depresi juga dapat mempengaruhi dorongan seksual. Penyebab psikologis lebih
bervariasi dan kompleks, faktor situasional seperti perceraian, kematian keluarga, stress pekerjaan
dapat menyebabkan hipoaktif hasrat seksual (Kaplan, 1979) Psikoanalisis dari Freud menyebutkan
bahwa disfungsi seksual disebabkan oleh kegagalan untuk melawan tahap perkembangan psikoseksual
pada masa anak-anak. Menurut teori behavioral, disfungsi seksual merupakan akibat dari ketakutan
yang diketahui untuk menutupi respon seksual. ------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------ VARIASI SEXUAL GANGGUAN IDENTITAS GENDER (GENDER
IDENTITY DISORDER) Gangguan identitas gender adalah bagaimana seseorang merasa bahwa ia adalah
seorang pria atau wanita, dimana terjadi konflik antara anatomi gender seseorang dengan identitas
gendernya (Nevid, 2002). Identitas jenis kelamin adalah keadaan psikologis yang mencerminkan
perasaan dalam diri seseorang sebagai laki-laki atau wanita (Kaplan, 2002). Fausiah (2003) berkata,
identitas gender adalah keadaan psikologis yang merefleksikan perasaan daam diri seseorang yang
berkaitan dengan keberadaan diri sebagai laki-laki dan perempuan. Faktor Faktor Penyebab Saat ini,
masih belum terdapat pertanyaan mengenai penyebab munculnya gangguan identitas gender: nature
atau nurture? Walaupun terdapat beberapa data tentatif bahwa gangguan tersebut disebabkan oleh
faktor biologis, yaitu hormon, namun data yang tersedia tidak dapat mengatribusikan munculnya
transeksualisme hanya kepada hormon (Carroll, 2000). Faktor biologis lain, seperti kelainan kromosom
dan struktur otak, juga tidak dapat memberikan penjelasan yang konklusif. Faktor lain yang dianggap
dapat menyebabkan munculnya gangguan identitas seksual adalah faktor sosial dan psikologis.
Lingkungan rumah yang memberi reinforcement kepada anak yang melakukan cross-dressing, misalnya,
kemungkinan erkontribusi besar terhadap konflik antara anatomi sex anak dan identitas gender yang
diperolehnya (Green, 1974, 1997; Zuckerman & Green, 1993). Walaupun demikian, faktor sosial tidak
dapat menjelaskan mengapa seorang laki-laki yang dibesarkan sebagai perempuan, bahkan dengan
organ seks perempuan, tetap tidak memiliki identitas gender perempuan dan akhirnya memilih untuk
hidup sebagai laki-laki. Teori belajar menekankan tidak adanya figur seorang ayah pada kasus anak laki
laki menyebabkan ia tidak mendapatkan model seorang pria. Teori psikodinamika dan teori belajar
lainnya menjelaskan bahwa orang dengan gangguan identitas gender tidak dipengaruhi tipe sejarah
keluarganya. Faktor keluarga mungkin hanya berperan dalam mengkombinasikan dengan
kecenderungan biologisnya. Orang yang mengalami gangguan identitas gender sering memperlihatkan
gender yang berlawanan dilihat dari pemilihan alat bermainnya dan pakaian pada masa anak anak.
Hormon pernatal yang tidak seimbang juga mempengaruhi. Pikiran tentang maskulin dan feminine
dipengaruhi oleh hormone seks fase fase tertentu dalam perkembangan prenatal. PARAPHILIA
Merupakan kelompok yang memiliki pola tingkah laku seksual dengan objek, ritual, atau situasi yang
tidak biasa untuk mencapai kepuasan sexual. DSM III-R memasukkan 9 jenis yang termasuk pada
kelompok ini, di antaranya adalah : I. Fetishism Fetishism melibatkan ketergantungan pada obyek yang
tidak hidup untuk memperoleh rangsangan seksual. Obyek yang dibutuhkan untuk memperoleh
rangsangan seksual tersebut disebut fetishes,dan bentuknya beragam, misalnya kaki dan sepatu,
stocking, ataupun pakaian dalam. Munculnya fetish sangat disukai atau bahkan dibutuhkan untuk
terjadinya rangsangan seksual.Ketertarikan terhadap fetishes memiliki kualitas kompulsif, yaitu
involuntary dan tidak dapat ditahan. Gangguan hampir selalu muncul pada laki-laki. Pada umumnya,
fetishisme dimulai pada masa remaja, meskipun mungkin fetish sudah dianggap signifikan pada masa
yang lebih awal. Kebanyakan fetishes menampilkan pula parafilia lainnya, seperti paedofilia, sadisme,
atau masokisme (Mason, 1997) II. Transvestic Fetishism Merupakan gangguan saat seorang laki-laki
terangsang secara seksual dengan menggunakan pakaian ataupun perlengkapan perempuan lainnya,
meskipun ia masih menyadari dirinya sendiri sebagai laki-laki. Transvestis selalu heteroseksual dan,
selain saat memakai pakaian perempuan, cenderung memiliki tampilan, perilaku, dan preferensi
seksual yang maskulin. III. Pedofilia dan Inses Pedofilia), adalah orang dewasa yang memperoleh
kepuasan seksual melalui kontak fisik dan seksual dengan anak prapubertas yang tidak memiliki
hubungan darah dengannya. Hasil penelitian oleh Marshall (1997) menunjukkan bahwa, bertentangan
dengan pernyataan DSM bahwa seluruh paedofil lebih suka anak-anak prapubertas, sebagian paedofil
menyerang anak-anak yang telah melewati masa puber. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan
pengalaman melakukan sex dengan orang dewasa. Inses mengacu pada hubungan seksual antara
keluarga dekat, dimana pernikahan tidak diperbolehkan antara mereka. Biasanya adalah pada kakak
dan adik, dan bentuk lain yang umum dan dianggap lebih patologis adalah ayah dengan anak
perempuan. Bukti menunjukkan struktur keluarga dimana inses terjadi adalah patriarkal yang tidak
biasa dan tradisional, terutama dengan memandang posisi perempuan yang lebih rendah daripadam
laki-laki (Alexander & Lupfer, 1997). Orang tua dalam keluargasemacam ini akan cenderung menolak
dan berjarak secara emosional dengan anak mereka. IV. Voyeurism Adalah preferensi yang nyata untuk
memperoleh kepuasan seksual dengan melihat orang lain dalam keadaan tanpa busana atau sedang
melakukan hubungan seksual. Pada beberapa orang, hal ini merupakan satu-satunya aktivitas seksual
dimana mereka terlibat. Sementara bagi yang lain, kegiatan ini disukai namun tidak sepenuhnya
penting untuk meraih rangsangan seksual (Kaplan & Kreuger, 1997). Orang yang mengalami gangguan
ini akan memperoleh kepuasan seksual dengan melakukan masturbasi, baik saat melihat kejadian
ataupun saat membayangkan melakukannya. V. Eksibisionisme Merupakan preferensi mendapatkan
kepuasan seksual dengan memperlihatkan organ genital kepada orang tidak dikenal, atau dengan
membayangkan melakukan hal tersebut. Dalam sebagian besar kasus, terdapat keinginan untuk
membuat terkejut atau mempermalukan orang yang melihat. Pada eksibisionis, dorongan untuk
mengekspose bersifat kompulsif dan selain oleh rangsangan seksual, dipicu juga oleh kecemasan. Pada
saat melakukan exposure, eksibisionis bisa tidak menyadari konsekuensi sosial dan hukum dari apa yang
dilakukannya (Stevenson & Jones, 1972). Eksibisionisme umumnya mulai muncul pada masa remaja
(Murphy, 1997). Sebagian besar eksibisionis adalah laki-laki, dan pada umumnya tidak dewasa dalam
pendekatan kepada lawan jenis, serta memiliki kesulitan dalam hubungan interpersonal. Lebih dari
separuh eksibisionis telah menikah, namun memiliki hubungan seksual yang tidak memuaskan dengan
pasangan (Mohr, Turner, & Jerry, 1964). VI. Frotteurism Melibatkan kegiatan menyentuh orang lain
secara seksual. Biasa dilakukan di tempat-tempat ramai seperti kendaraan umum atau trotoar, seorang
frotteur dapat mengusap payudara atau alat kelamin seorang perempuan, atau menyentuhkan penisnya
sendiri kepada paha atau pantat orang tersebut. VII. Sadisme, Sadomasokisme, dan Masokisme Seksual Masokisme Seksual Masokisme seksual (sexual masochism), berasal dari nama seorang Novelis Austria,
Leopold Ritter von Sacher- Masoch (1836-1895), yang menulis cerita dan novel tentang pria yang
mencari kepuasan seksual dari wanita yang memberikan rasa nyeri/sakit pada dirinya, sering dalam
bentuk flagellation (dipukul atau dicambuk). Masokisme seksual melibatkan dorongan kuat yang terus
menerus dan fantasi yang terkait dengan tindakan seksual yang melibatkan perasaan dipermalukan,
diikat, dicambuk, atau dibuat menderita dalam bentuk lainnya. Dorongan itu dapat berupa tindakan
yang menyebabkan atau didasari oleh distress personal. Ekspresi masokisme yang paling berbahaya
adalah hipoksifilia (hypoxyphilia), dimana partisipan merasa terangsang secara seksual dengan
dikurangi konsumsi oksigennya, misalnya dengan menggunakan jerat, kantung plastic, bahan kimia,
atau tekanan pada dada saat melakukan aktivitas seksual, seperti masturbasi. -Sadisme Seksual
Sadisme seksual (sexual sadism) dinamai berdasarkan nama Marquis de Sade (1740-1814), pria Prancis
pada abad ke-18 yang terkenal, yang menulis cerita tentang kenikmatan mencapai kepuasan seksual
dengan memberikan rasa sakit atau rasa malu pada orang lain. Sadisme seksual ditandai dengan
preferensi mendapatkan atau meningkatkan kepuasan seksual dengan cara menyakiti orang lain, baik
secara fisik maupun mental. Berbeda dengan pada sadisme, objek yang disakiti pada orang dengan
masokisme seksual adalah diri sendiri. -Sadomasokisme Seksual Kata sadomasokis itu adalah gabungan
dari sadis dan masokis. Masokisme adalah kecenderungan yang tidak normal untuk mendapatkan
kesenangan karena disakiti orang lain. Masokis adalah orang yang mendapat kesenangan karena atau
dengan cara disakiti orang lain. Karena pada pelaksanaan hubungan seksual itu berpasangan (antara
pria dan wanita), maka disebutlah sadomasokisme. Mayoritas orang dengan sadisme menjalin hubungan
dengan masokis demi mendapatkan kepuasan seksual bersama. Pada hubungan tersebut, terdapat
cerita atau naskah yang telah disetujui bersama-sama. Misalnya, orang dengan sadisme berperan
sebagai guru yang disiplin, sedangkan orang dengan masokisme berperan sebagai murid yang nakal dan
perlu dihukum. Contoh kegiatan yang dilakukan adalah pencambukan, pukulan, mempermalukan, dan
lain-lain. Pada beberapa kasus, seorang dengan sadisme dipenjarakan sebagai sex offender yang
menyiksa korbannya, dan mendapatkan kepuasan seksual dari perbuatannya (Dietz, Hazelwood, &
Warren, 1990). Dibandingkan dengan sex offenders lain, orang dengan sadisme seksual labih sering
berkedok sebagai polisi, melakukan pembunuhan berseri, mengikat korban, serta menyembunyikan
mayat (Gratzer & Bradford, 1995). Etipologi Parafilia Pandangan Psikodinamik Menurut pandangan
psikodinamik, parafilia pada dasarnya defensif, melindungi ego dari ketakutan dan ingatan dan
direpres, dan mewakili fiksasi pada tahap pragenital dalam perkembangan psikoseksual. Orang dengan
parafilia dilihat sebagai seseorang yang takut akan hubungan heteroseksual yang konvensional, bahkan
yang tidak melibatkan seks. Perkembangan sosial dan seksualnya tidak matang, terbelakang, dan tidak
adekuat untuk hubungan sosial dan persetubuhan heteroseksual dengan orang dewasa (Lanyon, 1986).
Pandangan Behavioral dan Kognitif Terdapat pandangan bahwa parafilia muncul dari classical
conditioning, yang secara kebetulan telah memasangkan rangsangan seksual dengan kelompok stimulus
yang dianggang tidak pantas oleh masyarakat. Namun teori yang terbaru mengenai parafilia bersifat
multidimensional, dan menyatakan bahwa parafilia muncul apabila terdapat beberapa faktor yang
mempengaruhi seseorang. Seringkali orang dengan parafilia mengalami penyiksaan fisik dan seksual
pada masa kanak-kanak, dan tumbuh dalam keluarga yang hubungan antara orang tua dengan anak
terganggu (Mason, 1997; Murphy, 1997). Pengalaman-pengalaman awal ini dapat berkontribusi terhadap
tingkat kemampuan sosial serta self-esteem yang rendah, kesepian, dan kurangnya hubungan intim
yang sering terlihat pada parafilia (Kaplan & Kreuger, 1997; Marshall, Serran, & Cortoni, 2000).
Kepercayaan bahwa sexual abuse pada masa kanak-kanak merupakan predisposisi untuk munculnya,
ternyata, masih perlu ditinjau ulang. Berdasarkan penelitian, kurang dari sepertiga pelaku kejahatan
seks merupakan korban sexual abuse sebelum mencapai usia 18 tahun. Distorsi kognitif juga memiliki
peran dalam pembentukan parafilia. Orang dengan parafilia dapat membuat berbagai pembenaran atas
perbuatannya. Pembenaran dilakukan antara lain dengan mengatribusikan kesalahan kepada orang atau
hal lain, menjelek-jelekkan korban, atau membenarkan alasan perbuatannya. Sementara itu,
berdasarkan perspektif operant conditioning, banyak parafilia yang muncul akibat kemampuan sosial
yang tidak adekuat serta reinforcement yang tidak konvensional dari orang tua atau orang lain. Terapi
Parafilia Karena sebagian besar parafilia ilegal, banyak orang dengan parafilia yang masuk penjara, dan
diperintahkan oleh pengadilan untuk mengikuti terapi. Para pelaku kejahatan seks tersebut seringkali
kurang memiliki motivasi untuk mengubah perilakunya. Terdapat beberapa metode yang dapat
dilakukan terapis untuk meningkatkan motivasi mengikuti perawatan (Miller & Rollnick, 1991): 1.
(1) August (1) SUDUT PANDANG PSIKOSOSIAL Followers Travel template. Template images by
Nic_Taylor. Powered by Blogger.
Make Money at : http://bit.ly/copy_win