Anda di halaman 1dari 6

TINJAUAN PSIKOSOSIAL TERHADAP MENTAL DISORDERS HomeGANGGUAN KEPRIBADIANGANGGUAN

MOODGANGGUAN ADIKTIFGANGGUAN & VARIASI SEXUALSCHIZOPHRENIAANXIETY BASED DISORDER


GANGGUAN & VARIASI SEXUAL DEFINISI DISFUNGSI SEXUAL
Disfungsi seksual adalah tidak berfungsinya alat kelamin laki-laki ataupun wanita dengan baik. Hal ini
disebabkan oleh kegagalan ereksi pada laki-laki, dan kesukaran orgasme pada wanita. Penyebab
umumnya adalah pada pengalaman mereka, frustasi, rasa bersalah karena gagal, kehilangan harga diri,
dan masalah emosional dengan pasangan seksual. Semua itu adalah efek psikologis yang khas dari
disfungsi seksual. Disfungsi seksual umumnya menyebabkan perceraian dan jika beruntung pada
sebagian disfungsi dapat diobati dengan terapi keberanian. Type Disfungsi Seksual Dsm-III- R
menggolongkan disfungsi seksual berdasarkan tahap-tahap pertukaran respon seksual, sebagai
penjelasan pertama oleh penelitian William Master dan Virginia Jonson (1966), ditambah oleh ahli
terapi seks didefinisikan dalam bukunya yang berjudul Pembuka Penyimpangan (1974,1977). Dalam
klasifikasi ini disfungsi seksual didefinisikan pembuka penyimpangan psikologis yang membuat tidak
mungkin individu untuk menikmati senggama Disfungsi dapat mempengaruhi pada tiga tingkatan
pertama dari perputaran, yaitu: 1. Tahap keinginan, tahap rangsangan, tahap orgasme. Ada juga tahap
yang lain yaitu resolusi, tetapi sebagai perilaku sederhana dari relaksasi dan penurunan hasrat yang
mengikuti orgasme tidak ada dalam pengelompokan disfungsi. Tahap keinginan terdiri dari perasaan
mendesak untuk melakukan seks, mempunyai fantasi seksual dan keinginan sex pada orang lain.
Disfungsi seksual yang dimasukan pada tahap keinginan yaitu hypoactive sexual dexire adalah kurang
tertariknya dalam seks, dan sebagai hasilnya tingkatan yang rendah pada aktivitas seksual. Saat
seseorang dengan melakukan seks, seseorang sering berfungsi secara normal, bahkan menikmati
pengalamannya, tapi tidak menemukan kepuasan. Pasien dengan aversion sebaliknya, melakukan
aktivitas seks yang tidak menyenangkan. Berdasarkan pengalaman hasrat dan kesenangan, pasien ini
sering merasakan perubahan, kemualan dan ketakutan. 2. Tahapan Rangsangan Seksual Ditandai Oleh
Rangsangan Fisik Secara Umum. Misalnya perubahan kecepatan detak jantung, tensi otot, tekanan
darah, pernafasan dan perubahan khusus didaerah panggul. Dorongan pada panggul disebut Pelvic
Vasocongestion, membuat ereksi penis pada laki-laki dan membesarnya clitoris, labia dan memproduksi
lebrikasi vaginal pada wanita. Disfungsi pada tahap ini adalah male erectile disorder (impoten) dan
female arausal disorder. Versi awal dari DSM tidak membedakan antara hasrat fisik dan pengalaman
subyektif dari hasrat emosional dan ahli terapi seks memperhitungkan lebih detail sistem klasifikasi
yang dibutuhkan (Scahover, 1982). DSM-III-R mendefenisikan penyimpangan rangsangan seksual meliputi
penyimpangan atau penambahan besar genetal wanita, penis tidak dapat ereksi, kurangnya perasaan
subyektif dari hasrat seksual dan kesenangan baik pada wanita atau pada laki-laki. 3. Tahap Orgasme
Dari Perputaran Respon Seksual dan Kontraksi Otot Bagian Panggul. Umumnya disfungsi seksual laki-laki
pada tahap ini adalah ejakulasi dini yang didefenisikan sebagai ejakulasi dengan stimulus sebelum pada
atau sesudah penetrasi dan sebelum orang mengharapkannya (APA, 1987, P-295). Kadang-kadang
seorang laki-laki tidak dapat mencapai orgasme, walaupun stimulusnya cukup, hal ini disebut inhibited
male orgasm (DSM-III-R), tapi sering diartikan sebagai ejakulasi dini, kemampuan ejakulasi yang lambat
pada wanita disebut inhibited female orgams (DSM-III-R). DSM-III-R membuat 2 daftar disfungsi lain
sebagai sexual pain disorder atau adanya rasa sakit pada aktivitas seksual, vaginimus, kejang otot
sekitar vagina, tempat masuknya penis, disparaneuca berarti sakit pada alat genital selama aktivitas
seksual, ini jarang terjadi pada laki-laki. C. Penyebab Disfungsi Seksual Teori penyebab disfungsi
seksual berpusat pada pengaruh masa kecil yang belajar tentang seks, sikap dan kepercayaan yang
problematik, penyebab biologis seperti efek penyakit dan pengobatan, faktor psikodinamik individu,
dan masalah hubungan dengan orang lain. Definisi dari rendahnya hasrat seksual kadang bermasalah,
DSM-III-R mendefinisikan disfungsi ini sebagai persistently atau penurunan yang berulang atau absennya
fantasi seksual dan hasrat untuk aktivitas seksual. (Blum Stein dan Schwartz, 1983), mengindikasikan

bahwa rata-rata frekuensi seksual adalah dua atau tiga kali seminggu untuk pasangan menikah.
Sebenarnya hampir semua kasus memperlihatkan dalam terapi seks tidak hanya meliputi hasrat seksual
yang hipoactive, tetapi sebenarnya tidak efisiennya hasrat seksual (Loppiccolo dan Friendman, 1988).
Pasien ini tidak punya ketertarikan apa lagi dalam hubungan seksual dengan pasangannya, tidak onani
dan tidak punya fantasi seksual. Dorongan seks ditentukan oleh kombinasi faktor fisik dan psikologis,
tetapi kondisi fisik tertentu dapat menurunkan dorongan seksual. Beberapa obat terlarang, baik
prenscription dan illicit dapat mendorong atau meningkatkan hasrat seksual (Segraver, 1988), hampir
semua obat psikotropika mempengaruhi tingkat neurotransmiter seperti dopamin atau serotin, yang
nampaknya menimbulkan atau meningkatkan hasrat seksual, illicit drug seperti kokain, marijuana,
ampheramina dan heroin dapat meningkatkan hasrat seksual dalam dosis yang rendah (Bancroft, 1989).
Sakit fisik yang kronis juga dapat menekan dorongan seks (Bullard, 1988), rendahnya dorongan seks
dapat disebabkan oleh efek peyakit tersebut, efek pengobatan pada hormon seks atau akibat dari
stress, sakit, dan depresi juga dapat mempengaruhi dorongan seksual. Penyebab psikologis lebih
bervariasi dan kompleks, faktor situasional seperti perceraian, kematian keluarga, stress pekerjaan
dapat menyebabkan hipoaktif hasrat seksual (Kaplan, 1979) Psikoanalisis dari Freud menyebutkan
bahwa disfungsi seksual disebabkan oleh kegagalan untuk melawan tahap perkembangan psikoseksual
pada masa anak-anak. Menurut teori behavioral, disfungsi seksual merupakan akibat dari ketakutan
yang diketahui untuk menutupi respon seksual. ------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------ VARIASI SEXUAL GANGGUAN IDENTITAS GENDER (GENDER
IDENTITY DISORDER) Gangguan identitas gender adalah bagaimana seseorang merasa bahwa ia adalah
seorang pria atau wanita, dimana terjadi konflik antara anatomi gender seseorang dengan identitas
gendernya (Nevid, 2002). Identitas jenis kelamin adalah keadaan psikologis yang mencerminkan
perasaan dalam diri seseorang sebagai laki-laki atau wanita (Kaplan, 2002). Fausiah (2003) berkata,
identitas gender adalah keadaan psikologis yang merefleksikan perasaan daam diri seseorang yang
berkaitan dengan keberadaan diri sebagai laki-laki dan perempuan. Faktor Faktor Penyebab Saat ini,
masih belum terdapat pertanyaan mengenai penyebab munculnya gangguan identitas gender: nature
atau nurture? Walaupun terdapat beberapa data tentatif bahwa gangguan tersebut disebabkan oleh
faktor biologis, yaitu hormon, namun data yang tersedia tidak dapat mengatribusikan munculnya
transeksualisme hanya kepada hormon (Carroll, 2000). Faktor biologis lain, seperti kelainan kromosom
dan struktur otak, juga tidak dapat memberikan penjelasan yang konklusif. Faktor lain yang dianggap
dapat menyebabkan munculnya gangguan identitas seksual adalah faktor sosial dan psikologis.
Lingkungan rumah yang memberi reinforcement kepada anak yang melakukan cross-dressing, misalnya,
kemungkinan erkontribusi besar terhadap konflik antara anatomi sex anak dan identitas gender yang
diperolehnya (Green, 1974, 1997; Zuckerman & Green, 1993). Walaupun demikian, faktor sosial tidak
dapat menjelaskan mengapa seorang laki-laki yang dibesarkan sebagai perempuan, bahkan dengan
organ seks perempuan, tetap tidak memiliki identitas gender perempuan dan akhirnya memilih untuk
hidup sebagai laki-laki. Teori belajar menekankan tidak adanya figur seorang ayah pada kasus anak laki
laki menyebabkan ia tidak mendapatkan model seorang pria. Teori psikodinamika dan teori belajar
lainnya menjelaskan bahwa orang dengan gangguan identitas gender tidak dipengaruhi tipe sejarah
keluarganya. Faktor keluarga mungkin hanya berperan dalam mengkombinasikan dengan
kecenderungan biologisnya. Orang yang mengalami gangguan identitas gender sering memperlihatkan
gender yang berlawanan dilihat dari pemilihan alat bermainnya dan pakaian pada masa anak anak.
Hormon pernatal yang tidak seimbang juga mempengaruhi. Pikiran tentang maskulin dan feminine
dipengaruhi oleh hormone seks fase fase tertentu dalam perkembangan prenatal. PARAPHILIA
Merupakan kelompok yang memiliki pola tingkah laku seksual dengan objek, ritual, atau situasi yang
tidak biasa untuk mencapai kepuasan sexual. DSM III-R memasukkan 9 jenis yang termasuk pada
kelompok ini, di antaranya adalah : I. Fetishism Fetishism melibatkan ketergantungan pada obyek yang
tidak hidup untuk memperoleh rangsangan seksual. Obyek yang dibutuhkan untuk memperoleh

rangsangan seksual tersebut disebut fetishes,dan bentuknya beragam, misalnya kaki dan sepatu,
stocking, ataupun pakaian dalam. Munculnya fetish sangat disukai atau bahkan dibutuhkan untuk
terjadinya rangsangan seksual.Ketertarikan terhadap fetishes memiliki kualitas kompulsif, yaitu
involuntary dan tidak dapat ditahan. Gangguan hampir selalu muncul pada laki-laki. Pada umumnya,
fetishisme dimulai pada masa remaja, meskipun mungkin fetish sudah dianggap signifikan pada masa
yang lebih awal. Kebanyakan fetishes menampilkan pula parafilia lainnya, seperti paedofilia, sadisme,
atau masokisme (Mason, 1997) II. Transvestic Fetishism Merupakan gangguan saat seorang laki-laki
terangsang secara seksual dengan menggunakan pakaian ataupun perlengkapan perempuan lainnya,
meskipun ia masih menyadari dirinya sendiri sebagai laki-laki. Transvestis selalu heteroseksual dan,
selain saat memakai pakaian perempuan, cenderung memiliki tampilan, perilaku, dan preferensi
seksual yang maskulin. III. Pedofilia dan Inses Pedofilia), adalah orang dewasa yang memperoleh
kepuasan seksual melalui kontak fisik dan seksual dengan anak prapubertas yang tidak memiliki
hubungan darah dengannya. Hasil penelitian oleh Marshall (1997) menunjukkan bahwa, bertentangan
dengan pernyataan DSM bahwa seluruh paedofil lebih suka anak-anak prapubertas, sebagian paedofil
menyerang anak-anak yang telah melewati masa puber. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan
pengalaman melakukan sex dengan orang dewasa. Inses mengacu pada hubungan seksual antara
keluarga dekat, dimana pernikahan tidak diperbolehkan antara mereka. Biasanya adalah pada kakak
dan adik, dan bentuk lain yang umum dan dianggap lebih patologis adalah ayah dengan anak
perempuan. Bukti menunjukkan struktur keluarga dimana inses terjadi adalah patriarkal yang tidak
biasa dan tradisional, terutama dengan memandang posisi perempuan yang lebih rendah daripadam
laki-laki (Alexander & Lupfer, 1997). Orang tua dalam keluargasemacam ini akan cenderung menolak
dan berjarak secara emosional dengan anak mereka. IV. Voyeurism Adalah preferensi yang nyata untuk
memperoleh kepuasan seksual dengan melihat orang lain dalam keadaan tanpa busana atau sedang
melakukan hubungan seksual. Pada beberapa orang, hal ini merupakan satu-satunya aktivitas seksual
dimana mereka terlibat. Sementara bagi yang lain, kegiatan ini disukai namun tidak sepenuhnya
penting untuk meraih rangsangan seksual (Kaplan & Kreuger, 1997). Orang yang mengalami gangguan
ini akan memperoleh kepuasan seksual dengan melakukan masturbasi, baik saat melihat kejadian
ataupun saat membayangkan melakukannya. V. Eksibisionisme Merupakan preferensi mendapatkan
kepuasan seksual dengan memperlihatkan organ genital kepada orang tidak dikenal, atau dengan
membayangkan melakukan hal tersebut. Dalam sebagian besar kasus, terdapat keinginan untuk
membuat terkejut atau mempermalukan orang yang melihat. Pada eksibisionis, dorongan untuk
mengekspose bersifat kompulsif dan selain oleh rangsangan seksual, dipicu juga oleh kecemasan. Pada
saat melakukan exposure, eksibisionis bisa tidak menyadari konsekuensi sosial dan hukum dari apa yang
dilakukannya (Stevenson & Jones, 1972). Eksibisionisme umumnya mulai muncul pada masa remaja
(Murphy, 1997). Sebagian besar eksibisionis adalah laki-laki, dan pada umumnya tidak dewasa dalam
pendekatan kepada lawan jenis, serta memiliki kesulitan dalam hubungan interpersonal. Lebih dari
separuh eksibisionis telah menikah, namun memiliki hubungan seksual yang tidak memuaskan dengan
pasangan (Mohr, Turner, & Jerry, 1964). VI. Frotteurism Melibatkan kegiatan menyentuh orang lain
secara seksual. Biasa dilakukan di tempat-tempat ramai seperti kendaraan umum atau trotoar, seorang
frotteur dapat mengusap payudara atau alat kelamin seorang perempuan, atau menyentuhkan penisnya
sendiri kepada paha atau pantat orang tersebut. VII. Sadisme, Sadomasokisme, dan Masokisme Seksual Masokisme Seksual Masokisme seksual (sexual masochism), berasal dari nama seorang Novelis Austria,
Leopold Ritter von Sacher- Masoch (1836-1895), yang menulis cerita dan novel tentang pria yang
mencari kepuasan seksual dari wanita yang memberikan rasa nyeri/sakit pada dirinya, sering dalam
bentuk flagellation (dipukul atau dicambuk). Masokisme seksual melibatkan dorongan kuat yang terus
menerus dan fantasi yang terkait dengan tindakan seksual yang melibatkan perasaan dipermalukan,
diikat, dicambuk, atau dibuat menderita dalam bentuk lainnya. Dorongan itu dapat berupa tindakan
yang menyebabkan atau didasari oleh distress personal. Ekspresi masokisme yang paling berbahaya

adalah hipoksifilia (hypoxyphilia), dimana partisipan merasa terangsang secara seksual dengan
dikurangi konsumsi oksigennya, misalnya dengan menggunakan jerat, kantung plastic, bahan kimia,
atau tekanan pada dada saat melakukan aktivitas seksual, seperti masturbasi. -Sadisme Seksual
Sadisme seksual (sexual sadism) dinamai berdasarkan nama Marquis de Sade (1740-1814), pria Prancis
pada abad ke-18 yang terkenal, yang menulis cerita tentang kenikmatan mencapai kepuasan seksual
dengan memberikan rasa sakit atau rasa malu pada orang lain. Sadisme seksual ditandai dengan
preferensi mendapatkan atau meningkatkan kepuasan seksual dengan cara menyakiti orang lain, baik
secara fisik maupun mental. Berbeda dengan pada sadisme, objek yang disakiti pada orang dengan
masokisme seksual adalah diri sendiri. -Sadomasokisme Seksual Kata sadomasokis itu adalah gabungan
dari sadis dan masokis. Masokisme adalah kecenderungan yang tidak normal untuk mendapatkan
kesenangan karena disakiti orang lain. Masokis adalah orang yang mendapat kesenangan karena atau
dengan cara disakiti orang lain. Karena pada pelaksanaan hubungan seksual itu berpasangan (antara
pria dan wanita), maka disebutlah sadomasokisme. Mayoritas orang dengan sadisme menjalin hubungan
dengan masokis demi mendapatkan kepuasan seksual bersama. Pada hubungan tersebut, terdapat
cerita atau naskah yang telah disetujui bersama-sama. Misalnya, orang dengan sadisme berperan
sebagai guru yang disiplin, sedangkan orang dengan masokisme berperan sebagai murid yang nakal dan
perlu dihukum. Contoh kegiatan yang dilakukan adalah pencambukan, pukulan, mempermalukan, dan
lain-lain. Pada beberapa kasus, seorang dengan sadisme dipenjarakan sebagai sex offender yang
menyiksa korbannya, dan mendapatkan kepuasan seksual dari perbuatannya (Dietz, Hazelwood, &
Warren, 1990). Dibandingkan dengan sex offenders lain, orang dengan sadisme seksual labih sering
berkedok sebagai polisi, melakukan pembunuhan berseri, mengikat korban, serta menyembunyikan
mayat (Gratzer & Bradford, 1995). Etipologi Parafilia Pandangan Psikodinamik Menurut pandangan
psikodinamik, parafilia pada dasarnya defensif, melindungi ego dari ketakutan dan ingatan dan
direpres, dan mewakili fiksasi pada tahap pragenital dalam perkembangan psikoseksual. Orang dengan
parafilia dilihat sebagai seseorang yang takut akan hubungan heteroseksual yang konvensional, bahkan
yang tidak melibatkan seks. Perkembangan sosial dan seksualnya tidak matang, terbelakang, dan tidak
adekuat untuk hubungan sosial dan persetubuhan heteroseksual dengan orang dewasa (Lanyon, 1986).
Pandangan Behavioral dan Kognitif Terdapat pandangan bahwa parafilia muncul dari classical
conditioning, yang secara kebetulan telah memasangkan rangsangan seksual dengan kelompok stimulus
yang dianggang tidak pantas oleh masyarakat. Namun teori yang terbaru mengenai parafilia bersifat
multidimensional, dan menyatakan bahwa parafilia muncul apabila terdapat beberapa faktor yang
mempengaruhi seseorang. Seringkali orang dengan parafilia mengalami penyiksaan fisik dan seksual
pada masa kanak-kanak, dan tumbuh dalam keluarga yang hubungan antara orang tua dengan anak
terganggu (Mason, 1997; Murphy, 1997). Pengalaman-pengalaman awal ini dapat berkontribusi terhadap
tingkat kemampuan sosial serta self-esteem yang rendah, kesepian, dan kurangnya hubungan intim
yang sering terlihat pada parafilia (Kaplan & Kreuger, 1997; Marshall, Serran, & Cortoni, 2000).
Kepercayaan bahwa sexual abuse pada masa kanak-kanak merupakan predisposisi untuk munculnya,
ternyata, masih perlu ditinjau ulang. Berdasarkan penelitian, kurang dari sepertiga pelaku kejahatan
seks merupakan korban sexual abuse sebelum mencapai usia 18 tahun. Distorsi kognitif juga memiliki
peran dalam pembentukan parafilia. Orang dengan parafilia dapat membuat berbagai pembenaran atas
perbuatannya. Pembenaran dilakukan antara lain dengan mengatribusikan kesalahan kepada orang atau
hal lain, menjelek-jelekkan korban, atau membenarkan alasan perbuatannya. Sementara itu,
berdasarkan perspektif operant conditioning, banyak parafilia yang muncul akibat kemampuan sosial
yang tidak adekuat serta reinforcement yang tidak konvensional dari orang tua atau orang lain. Terapi
Parafilia Karena sebagian besar parafilia ilegal, banyak orang dengan parafilia yang masuk penjara, dan
diperintahkan oleh pengadilan untuk mengikuti terapi. Para pelaku kejahatan seks tersebut seringkali
kurang memiliki motivasi untuk mengubah perilakunya. Terdapat beberapa metode yang dapat
dilakukan terapis untuk meningkatkan motivasi mengikuti perawatan (Miller & Rollnick, 1991): 1.

Berempati terhadap keengganan untuk mengakui bahwa ia adalah pelanggar hukum.ikuti 2.


Memberitahukan jenis-jenis perawatan yang dapat membantu mengontrol perilaku dengan baik dan
menunjukkan efek negatif yang timbul apabila tidak dilakukan treatment. 3. Memberikan intervensi
paradoksikal, dengan mengekspresian keraguan bahwa orang tersebut memiliki motivasi untuk
menjalani perawatan. 4. Menjelaskan bahwa akan ada pemeriksaan psikofisiologis terhadap rangsangan
seksual pasien; dengan demikian kecenderungan seksual pasien dapat diketahui tanpa harus diucapkan
atau diakui oleh pasien (Garland & Dougher, 1991). Terdapat beberapa jenis perawatan untuk parafilia,
yaitu terapi psikoanalitis, behavioral, kognitif, serta biologis. Terdapat pula usaha hukum untuk
melindungi masyarakat dari pelaku kejahatan seksual. Terapi psikoanalitik Pandangan psikoanalisa
beranggapan bahwa parafilia berasal dari kelainan karakter, sehingga sulit untuk diberi perawatan
dengan hasil yang memuaskan. Psikoanalisa belum mmberi kontribusi yang besar bagi penanganan
parafilia secara efektif. Teknik Behavioral Para terapis dari aliran behavioral mencoba untuk
mengembangkan prosedur terapeutik untuk mengubah aspek seksual individu. Pada awalnya, dengan
pandangan bahwa parafilia merupakan ketertarikan terhadap obyek seksual yang tidak pantas, prosdur
yang dilakukan adalah dengan terapi aversif. Terapi aversif dilakukan dengan memberikan kejutan fisik
saat seoseorang menunjukkan perilaku yang berkaitan dengan parafilia. Metode lain, disebut satiation;
seseorang diminta untuk bermasturbasi untuk waktu lama, sambil berfantasi dengan lantang. Kedua
terapi tersebut, apabila digabungkan dengan terapi lai seperti pelatihan kemampuan sosial, dapat
bermanfaat terhadap paedofilia, transvestisme, eksibisionisme, dan transvestisme (Brownell, Hayes, &
barlow, 1977; Laws & Marshall, 1991; Marks & Gelder, 1967; Marks, Gelder, & Bancroft, 1970; Marshall
& Barbaree, 1990). Cara lain yang dilakukan adalah orgasmic reorientation, yang bertujuan membuat
pasien belajar untuk menjadi lebih terangsang pada stimulus seksual yang konvensional. Dalam
prosedur ini pasien dihadapkan pada stimulus perangsang yang konvensional, sementara mereka
memberi respon seksual terhadap rangsangan lain yang tidak konvensional. Terdapat pula teknik lain
yang umum digunakan, seperti pelatihan social skills. Penanganan Kognitif Prosedur kognitif sering
digunakan untuk mengubah pandangan yang terdistorsi pada individu dengan parafilia. Diberikan pula
pelatihan empati agar individu memahami pengaruh perilaku mereka terhadap orang lain. Banyak
program penanganan yang memberikan program pencegahan relapse, yang dibuat berdasarkan program
rehabilitasi ketergantungan obat-obatan terlarang. Penanganan Biologis Intervensi biologis yang
sempat banyak diberikan dua generasi yang lalu adalah dengan melakukan kastrasi atau pengangkatan
testis. Baru-baru ini, penanganan biologis yang dilakukan melibatkan obat-obatan. Beberapa obat yang
digunakan adalah medroxyprogesterone acetate (MPA) dan cyptoterone acetate. Kedua obat tersebut
menurunkan tingkat testosteron pada laki-laki, untuk menghambat rangsangan seksual. Walaupun
demikian, terdapat masalah etis daripenggunaan obat, karena pemakaian waktu yang tidak terbatas
serta efek samping yang mungkin muncul dari pemakaian jangka panjang. Baru-baru ini, fluoxetine
(Prozac) telah digunakan, karena obat tersebut kadang-kadang efektif untuk mengobati obsesi dan
kompulsi. Karena parafilia terbentuk dari pikiran dan dorongan yang serupa dengan parafilia. Usaha
Hukum Di Amerika, sebagai akibat dari tuntutan masyarakat, telah muncul hukum mengenai pelaku
kejahatan seks. Dikenal sebagai Megans Law, hukum tersebut memungkinkan warga sipil untuk
mendeteksi keberadaan mantan pelaku kejahatan seksual, yang dianggap berbahaya. Dengan hukum
ini, diharapkan masyarakat dapat waspada, dan para mantan pelaku tidak berkesempatan untuk
mengulangi kejahatannya. Email This BlogThis! Share to Twitter Share to Facebook Share to Pinterest
Home Subscribe to: Posts (Atom) ABNORMAL PSYCHOLOGY KELOMPOK LIMA Tinjauan Psikososial
Terhadap Mental Disorders Bandung, Taman Sari 1, Indonesia Awal mula dibuat blog ini adalah sebagai
tugas akhir mata kuliah Psikologi Abnormal kelas SP 2010. Tapi tujuannya berkembang lebih luas yaitu
sebagai sarana yang dapat mempermudah teman-teman untuk mendapatkan referensi lain sebagai
tambahan informasi mengenai Tinjauan Psikososial Terhadap Mental Disorders. View my complete
profile Fadila Nisa Ul Hasanah Rianita Soraya Septihelia Fitri Meliani Bayu Alrush Blog Archive 2010

(1) August (1) SUDUT PANDANG PSIKOSOSIAL Followers Travel template. Template images by
Nic_Taylor. Powered by Blogger.
Make Money at : http://bit.ly/copy_win

Anda mungkin juga menyukai