Anda di halaman 1dari 20

PERAN ILMU KEDOKTERAN FORENSIK

DALAM PENANGANAN KASUS KEJAHATAN


SEKSUAL

Tim IKK

SMF/ILMU KEDOKTERAN FORENSIK


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT

BANJARMASIN
PENDAHULUAN

Kejahatan seksual (sexual offences), sebagai salah satu bentuk dari


kejahatan yang menyangkut tubuh, kesehatan dan nyawa manusia, mempunyai
kaitan yang erat dengan Ilmu Kedokteran khususnya Ilmu Kedokteran Forensik;
yaitu di dalam upaya pembuktian bahwa kejahatan tersebut memang telah terjadi.
Adanya kaitan antara Ilmu Kedokteran dengan kejahatan seksual dapat dipandang
sebagai konsekuensi dari pasal-pasal di dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP) serta Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP),
yang memuat ancaman hukuman serta tata cara pembuktian pada setiap kasus
yang termasuk di dalam pengertian kasus kejahatan seksual.1
Timbulnya banyak kejahatan seksual merupakan efek samping dari
perubahan masyarakat agraris-pertukangan menjadi masyarakat industri/modern
seperti yang kita alami sekarang. 2
Sebagian dari kejahatan seksual ini memerlukan pemeriksaan dokter
terhadap si korban untuk membantu menerangkan perkaranya, yaitu dimana telah
terjadi persetubuhan. 2
Pemeriksaan kasus-kasus persetubuhan yang merupakan tindakan pidana,
hendaknya dilakukan dengan teliti dan waspada. Pemeriksa harus yakin akan
semua bukti-bukti yang ditemukannya karena berbeda dengan yang di klinik ia
tidak lagi mempunyai kesempatan untuk melakukan pemeriksaan ulang guna
memperoleh lebih banyak bukti. Tetapi dalam melaksanakan kewajiban itu dokter

jangan sampai meletakkan kepentingan si korban di bawah kepentingan


pemeriksaan. 3
Dengan demikian upaya pembuktian secara kedokteran forensik pada
setiap kasus kejahatan seksual sebenarnya terbatas di dalam upaya pembuktian
ada tidaknya tanda-tanda persetubuhan, ada tidaknya tanda-tanda kekerasan,
perkiraan umur serta pembuktian apakah seseorang itu memang sudah pantas atau
sudah mampu untuk dikawini atau tidak. 1

ISI

Persetubuhan yang merupakan kejahatan seperti yang dimaksudkan oleh


undang-undang, dapat dilihat pada pasal-pasal yang tertera pada Bab XIV KUHP,
yaitu Bab tentang Kejahatan Terhadap Kesusilaan; yang meliputi baik
persetubuhan di dalam perkawinan maupun persetubuhan di luar perkawinan. 1
Agar kesaksian seorang dokter pada perkara pidana mencapai sasarannya
yaitu membantu pengadilan dengan sebaik-baiknya, dia harus mengenal undangundang yang bersangkutan dengan tindak pidana itu, seharusnya ia mengetahui
unsur-unsur mana yang dibuktikan secara medik atau yang memerlukan pendapat
medik. 3
KUHP pasal 284
(1) Dihukum dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan :
1a. seorang pria yang telah kawin, yang melakukan gendak, padahal
diketahui bahwa pasal 27 BW berlaku baginya.
1b. seorang wanita yang telah kawin yang melakukan gendak, padahal
diketahui bahwa pasal 27 BW berlaku baginya
2a. seorang pria yang turut serta melakukan perbuatan itu, padahal
diketahuinya bahwa yang turut bersalah telah kawin;
2b. seorang wanita yang belum kawin yang turut serta melakukan
perbuatan itu, padahal diketahui olehnya bahwa yang turut bersalah telah
kawin dan pasal 27 BW berlaku baginya.
(2) Tidak dilakukannya penuntutan melainkan atas pengaduan sua,i/istri yang
tercemar, dan bilamana bagi mereka berlaku pasal 27 BW, dalam tenggang
waktu tiga bulan diikuti dengan permintaan untuk bercerai atau pisah-meja
dan ranjang karena alasan itu juga.

(3) Terhadap pengaduan ini tidak berlaku pasal 72, 73, dan 75.
(4) Pengaduan dapat ditarik kembali selama pemerikaan dalam sidang
pengadilan belum dimulai.
(5) Jika bagi suami-istri itu berlaku pasal 27 BW, pengaduan tidak diindahkan
selama perkawinan belum diputuskan karena perceraian atau sebelum
putusan yang menyatakan pisah meja dan tempat tidur menjadi tetap. 3
BW pasal 27
Dalam waktu yang sama seorang laki hanya diperbolehkan mempunyai satu
orang perempuan sebagai istrinya, seorang perempuan hanya satu orang laki
sebagai suaminya. 3
Berdasarkan pasal tersebut di atas, yang perlu diperiksa oleh seorang
dokter terhadap si wanita : 2
- adanya persetubuhan
KUHP Pasal 285
Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang
perempuan bersetubuh dengan dia di luar perkawinan, karena perkosaan
dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya dua belas tahun.
Berdasarkan pasal tersebut, yang perlu diperiksa oleh dokter terhadap si
wanita :
- adanya persetubuhan
-adanya tanda-tanda kekerasan
-adanya tanda-tanda bekas pingsan atau tidak berdaya (lihat catatan pada pasal
286). 2
KUHP Pasal 286

Barang siapi bersetubuh dengan seorang perempuan di luar perkawinan,


padahal diketahuinya bahwa perempuan itu dalam keadaan pingsan atau tidak
berdaya, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya sembilan tahun.
Berdasarkan pasal tersebut, yang perlu diperiksa oleh dokter terhadap si
wanita :
- adanya persetubuhan
-adanya tanda-tanda bekas pingsan atau tidak berdaya.
Catatan :
Jika menjadi pingsan atau tidak berdaya itu dilakukan oleh si lelaki, maka
kejadian ini menjadi suatu perkosaan (pasal 285), mengingat bunyi KUHP
pasal 89 :
Disamakan dengan melakukan kekerasan ialah membuat seseorang
menjadi pingsan atau tidak berdaya. 2
KUHP Pasal 287
(1) Barang siapa bersetubuh dengan seorang perempuan di luar perkawinan,
padahal diketahuinya atau patut diduganya, bahwa unur orang perempuan
itu belum cukup lima belas tahun atau jika umurnya tidak jelas, bahwa
orang itu belum pantas untuk dikawin, dipidana dengan pidana penjara
selama-lamanya sembilan tahun.
(2) Penuntutan hanya dilakukan atas pengaduan, kecuali jika umur orang
perempuan itu belum cukup dua belas tahun atau jika ada salah satu
berdasarkan pasal 291 dan pasal 294.
Berdasarkan pasal tersebut, yang perlu diperiksa oleh dokter terhadap si wanita :
- adanya persetubuhan

- umur si wanita (15 tahun, 12 tahun)


- jika tidak jelas 15 tahun, apakah sudah pantas untuk dikawin
- adanya luka berat (sehubungan dengan pasal 291). 2
Catatan :
KUHP Belanda memakai batas umur 16 tahun. Untuk Indonesia
diturunkan menjadi 15 tahun dengan alasan, bahwa di daerah tropik anak
perempuan lebih cepat mendapat menstruasi.
Walaupun persetubuhan itu dilakukan atas dasar suka sama suka, namun
persetujuan si wanita itu dianggap tidak sah menurut hukum. Di sini terjadi
diskongruensi, karena persetujuan memerlukan kematangan psikis, sedangkan
menstruasi menandakan kematangan fisik, yaitu sudah dapat/mungkin menjadi
hamil. 2
KUHP Pasal 288
(1) Barang siapa dalam perkawinan bersetubuhan dengan seorang perempuan
yang diketahuiny atau patut diduganya, bahwa orang perempuan itu belum
pantas untuk dikawin, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya
empat tahun, jika perbuatan itu mengakibatkan luka.
(2) Jika perbuatan itu mengakibatkan luka berat, dijatuhkan pidana penjara
selama-lamanya delapan tahun.
(3) Jika perbuatan itu mengakibatkan kematian, dijatuhkan pidana penjara
selama-lamanya dua belas tahun.
Berdasarkan pasal tersebut, yang perlu diperiksa oleh dokter terhadap si wanita :
- adanya persetubuhan
- adanya luka atau luka berat

- apakah sudah pantas untuk dikawin. 2


KUHP Pasal 291
(1) Jika salah satu kejahatan yang diterangkan dalam pasal 286,287.289, dan 290
itu mengakibatkan luka berat dijatuhkan pidana penjara selama-lamanya dua
belas tahun.
(2) Jika salah satu kejahatan yang diterangkan dalam pasal 285, 286, 287, 289,
dan 290 ini mengakibatkan kematian dijatuhkan pidana penjara selamalamanya lima belas tahun. 2
KUHP Pasal 293
(1) Barangsiapa dengan memberi atau menjanjikan uang atau barang,
menyalahgunakan perbawa yang timbul dari hungan keadaan, atau dengan
penyesatan sengaja menggerakkan seorang belum dewasa dan tidak cacat
tingkah lakunya untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan
cabul dengan dia, padahal tentang kedewasaannya diketahui atau patut
diduganya, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun.
(2) Penuntutan hanya dilakukan atas pengaduan orang yang terhadap dirinya
dilakukan kejahatan itu.
(3) Tenggang waktu tersebut dalam pasal 74 bagi pengaduan adalah masingmasing sembilan bulan dan dua belas tahun.
Berdasarkan pasal tersebut, yang perlu diperiksa dokter terhadap si wanita :
- adanya persetubuhan (walaupun pasal ini hanya mensyaratkan perbuatan cabul,
dalam prakteknya dilakukan juga persetubuhan)
- umur 21 tahun (menurut Staasblad 1931 No. 54 dewasa dalam hukum berarti
genap 21 tahun atau sudah pernah kawin. 2
KUHP Pasal 294

(1) Barangsiapa melakukan perbuatan cabul dengan anaknya, anak tirinya, anak
angkatnya, anak di bawah pengawasannya yang belum dewasa, atau dengan
orang yang belum dewasa yang pemeliharaannya, pendidikan dan
penjagaannya diserahkan kepadanya ataupun dengan bujangan atau
bawahannya yang belum dewasa, dipidana dengan pidana penjara selamalamanya tujuh tahun.
(2) Dipidana dengan pidana yang sama :
1. Pejabat yang melakukan perbuatan cabul dengan orang yang karena
jabatannya adalah bawahannya, atau dengan orang yang penjagaannya
dipercayakan atau diserahkan kepadanya.
2. Pengurus, dokter, guru, pegawai, pengawas atau pesuruh dalam penjara,
tempat pekerjaan negara, tempat pendidikan, rumah piatu, rumah sakit,
rumah sakit jiwa atau lembaga sosial, yang melakukan perbuatan cabaul
dengan orang yang dimasukkan ke dalamnya.
Berdasarkan pasal tersebut, yang perlu diperiksa oleh dokter terhadap si
wanita :
- sama dengan pasal 293. 2
Dengan demikian pemeriksaan-pemeriksaan yang perlu dilakukan oleh
dokter terhadap si wanita dapat diringkas sebagai berikut :
1. Persetubuhan (pasal 284,285, 286, 287, 288, 293, 294)
2. Luka/kekerasan (pasal 285, 288)
3. Luka berat (pasal 286, 287, 288)
4. Pingsan/tidak berdaya (pasal 285, 286)
5. Umur (pasal 287, 293, 294)
6. Belum pantas untuk dikawin (pasal 287, 288). 2

1. Persetubuhan
Persetubuhan dalam arti biologis adalah suatu perbuatan yang
memungkinkan terjadinya kehamilan, sehingga harus terjadi :
a. Erectio penis,
b. Penetratio penis ke dalam vagina,
c. Ejaculatio dalam vagina.
Jika ketiga unsur ini diisyaratkan oleh hukum, maka ejakulasi dalam vagina
dengan mudah dapat ditiadakan, misalnya dengan kondom atau coitus interruptus.
Oleh karena itu maka ilmu hukum hanya mengharuskan adanya suatu penetrasi
penis ke dalam vagina. Sayangnya kejadian demikian sulit sekali dibuktikan
dengan ilmu kedokteran, karena bekas-bekasnya sangat tidak jelas. Oleh karena
itu dokter baru dapat membuktikan adanya suatu persetubuhan, jika penetrasi
cukup dalam. Untuk keperluan ini kita membagi para wanita dalam 2 golongan :
1. Yang belum pernah bersetubuh (masih perawan)
2. Yang sudah pernah bersetubuh. 2
Upaya pembuktian adanya persetubuhan dipengaruhi oleh berbagai faktor,
diantaranya :
- besarnya penis dan derajat penetrasinya,
- bentuk dan elastisitas selaput dara,
- ada tidaknya ejakulasi dan keadaan ejakulat itu sendiri,
- posisi persetubuhan,
- keaslian barang bukti serta waktu pemeriksaan. 1

Apabila ada persetubuhan telah dapat dibuktikan secara pasti (adanya


sperma di liang vagina), maka perkiraan saat terjadinya persetubuhan, harus
ditentukan; hal ini menyangkut masalah alibi yang sangat penting di dalam proses
penyidikan.
Sperma di dalam liang vagina masih dapat bergerak dalam waktu 4-5 jam
post-coital; sperma masih dapat ditemukan tidak bergerak sampai sekitar 24-36
jam post-coital, dan bila wanitanya mati masih akan dapat ditemukan sampai 7-8
hari.
Perkiraan saat terjadinya persetubuhan juga dapat ditentukan dari proses
penyembuhan dari selaput dara yang robek, yang pada umumnya penyembuhan
tersebut akan dicapai dalam waktu 7-10 hari. 1
2. Luka/kekerasan
Pada umumnya luka/kekerasan ini tidak sulit untuk ditemukan oleh
seorang dokter. Daerah muka, leher, buah dada, bagian dalam paha dan sekitar alat
kelamin merupakan tempat-tempat yang perlu diperhatikan. 2
3. Luka berat
Jika ditemukan luka-luka, maka perlu ditentukan apakah termasuk yang
disebutkan dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana pasal 90 atau tidak. 2
4. Pingsan/tidak berdaya
Keadaan ini sering disebabkan oleh obat bius/tidur/penenang. Perlu
diambil contoh darah untuk pemeriksaan laboratorium untuk menentukan kadar
obat itu. Selain itu dapat juga diambil urin untuk bahan pemeriksaan. 2
5. Umur

Perkiraan

umur

dapat

diketahui

dengan

melakukan

serangkaian

pemeriksaan fisik, ciri-ciri seks sekunder, pertumbuhan gigi, fusi atau penyatuan
dari tulang-tulang khususnya tengkorak serta pemeriksaan radiologis lainnya. 1
6. Pantas untuk dikawin
Bila perkawinan itu dimaksudkan sebagai suatu perbuatan yang sucu dan
baik, dimana tujuan utamanya adalah untuk dapat menghasilkan keturunan, maka
penentuan apakah seorang wanita itu sudah waktunya atau belum untuk dikawin,
semata-mata atas dasar kesiapan biologis saja (yang dapat dibuktikan oleh ilmu
kedokteran), dalam hal ini : menstruasi. Bila pada wanita itu telah mengalami
menstruasi, maka ia sudah waktunya untuk dikawin.
Untuk itu, yaitu untuk dapat mengetahui apakah wanita tersebut sudah
pernah menstruasi dokter pemeriksa tidak jarang harus merawat dan mengisolir
wanita tersebut, yang maksudnya agar ia dapat mengetahui dan memperoleh bukti
secara pasti bahwa telah terjadi mensruasi. 1
YANG PERLU DIPERHATIKAN SEBELUM PEMERIKSAAN

Setiap pemeriksaan untuk pengadilan harus berdasarkan permintaan

tertulis dari pihak penyidik yang berwenang.


Korban harus diantar oleh polisi karena tubuh korban merupakan benda

bukti.
Setiap Visum et Repertum harus dibuat berdasarkan keadaan yang
didapatkan pada tubuh korban pada waktu permintaan Visum et Repertum

diterima oleh dokter.


Ijin tertulis untuk pemeriksaan dapat diminta pada korban sendiri atau jika
korban adalah seorang anak, dari orang tua atau walinya.

Seorang perawat atau bidan harus mendampingi dokter pada waktu

memeriksa korban.
Pemeriksaan dilakukan secepat mungkin jangan ditunda terlampau lama.
Visum et Repertum diselesaikan secepat mungkin. 3

PEMERIKSAAN
Data yang perlu dicantumkan dalam bagian pendahuluan Visum et
Repertum delik kesusilaan adalah : Instansi Polisi yang meminta pemeriksaan,
nama dan pangkat polisi yang mengantar korban, nama, umur, alamat dan
pekerjaan korban seperti tertulis dalam surat permintaan, nama dokter yang
memeriksa, tempat, tanggal dan jam pemeriksaan dilakukan serta nama perawat
yang menyaksikan pemeriksaan. 3
Anamnesis umum meliputi pengumpulan data tentang umur, tempat dan
tanggal lahir, status perkawinan, siklus haid, penyakit kelamin, dan penyakit
kandungan serta adanya penyakit lain. Cari tahu pula apakah pernah bersetubuh,
persetubuhan terakhir, dan apakah menggunakan kondom. 3
Hal khusus yang perlu diketahui adalah waktu kejadian (tanggal dan jam),
dimana tempat terjadinya, apakah korban melakukan perlawanan, tanyakan
apakah terjadi penetrasi dan ejakulasi dan apakah setelah terjadi korban mencuci,
mandi dan mengganti pakaian. 3
Pemeriksaan tubuh korban meliputi pemeriksaan umum : lukiskan
penampilan (rambut dan wajah), rapi atau kusut, keadaan emosional. Adalah

tanda-tanda bekas kehilangan kesadaran atau diberikan obat bius/tidur, apakah ada
needle marks. Bila ada indikasi jangan lupa untuk mengambil urin dan darah.
Adakah tanda-tanda bekas kekerasan, memar atau luka lecet pada daerah mulut,
leher, pergelangan tangan, lengan, paha bagian dalam dan pinggang. 3
Dicatat pula tanda perkembangan alat kelamin sekunder, pupil, refleks
cahaya, tinggi dan berat badan, tekanan darah, keadaan jantung, paru dan
abdomen. 3
Pemeriksaan bagian khusus (daerah genetalia) meliputi ada tidaknya
rambut kemaluan yang saling melekat satu sama lain karena air mani yang
mengering. Cari pula bercak air mani di sekitar alat kelamin. Pada vulva, teliti
adanya tanda-tanda bekas kekerasan, seperti hiperemi, edema, memar dan luka
lecet. Introitus vagina apakah hiperemi/edema. Periksa jenis selaput dara, adakah
ruptur atau tidak. Bila ada, tentukan ruptur baru atau lama dan catat lokasi ruptur
tersebut, teliti apakah sampai ke insersio atau tidak. Tentukan juga besarnya
orifisium, sebesar ujung jari kelingking, jari telunjuk atau 2 jari. 3
Harus diingat bahwa persetubuhan tidak selalu disertai dengan deflorasi.
Pada ruptur lama, robekan menjalar sampai ke insersio disertai adanya parut pada
jaringan di bawahnya. Ruptur yang tidak lagi sampai ke insersio, bila sudah
sembuh tidak dapat dikenali lagi. 3
Periksa pula apakah frenulum labiorum pudendi dan commisurra labiorum
posterior utuh atau tidak. Periksa vagina dan serviks dengan spekulum, bila
keadaan genetalia mengijinkan dan adakah tanda penyakit kelamin. 3

Sekali dilakukan pemeriksaan eksterna dan dugaan telah dibuat,


pengambilan bahan untuk pemeriksaan laboratorium harus dilakukan. Adanya
pemeriksaan DNA terhadap air mani dan penyakit kelamin, mungkin dapat
membedakan antara beberapa air mani yang ada dan sekresi vagina. Apabila
ditemukan adanya cairan yang mengalir keluar dari vulva atau anus, maka harus
diambil dengan sebuah pipet yang bersih dan disimpan pada tabung kecil yang
tersedia, untuk menghindari keringnya akibat proses evaporasi. Batang kapas
harus digunaka untuk mengambil bahan-bahan berikut dengan menyentuhnya
secara lembut di atas permukaan mukosa :
(a)
(b)
(c)
(d)

Bagian dalam dari labia vulva dan disekitar lubang vagina.


Tepi dan bagian dalam anus.
Vagina bagian tengah
Vagina bagian atas, cerviks, dan forniks posterior, menggunakan sebuah
spatula untuk membuka saluran untuk memberikan jalan masuk kepada
alat pengoles. Apabila terlalu banyak cairan di vagina maka dapat

digunakan pipet. 4
Homoseksual Sebagai Salah Satu Bentuk Kejahatan Seksual
Di beberapa negara, semua perilaku seksual yang terjadi diantara laki-laki
menjadi suatu yang ilegal dan hukumannya sangat keras. Situasi ini telah terjadi
di Inggris dan Wales sampai terjadi tindakan penyerangan akan perilaku seksual
tersebut pada tahun 1967, ketika beberapa perilaku homoseksual telah
dipindahkan dari lingkungan kriminal. Di Skotlandia dan Irlandia, tidak ada satu
pun perilaku yang diperkenalkan/diajukan, tetapi penuntutan sekarang sangatlah
jarang walaupun sudah diajukan. 5

Perilaku homoseksual dapat terjadi antara laki-laki atau perempuan, yang


kemudian dikenal dengan sebutan lesbianisme, belum pernah terjadi penyerangan
yang bersifat kriminal kecuali kalau hal itu sampai mengganggu norma kesusilaan
yang ada dalam masyarakat. Antara laki-laki, pasangan yang aktif melakukan
persetubuhan dengan cara anal sering dikatakan melakukan sodomi sedangkan
laki-laki yang bersifat pasif adalah sebagai pejantan, meskipun itu merupakan
istilah yang sudah tua dan tidak digunakan lagi umumnya beberapa kurun waktu
ini. 5
Di dalam pasal 292 KUHP, terdapat ancaman hukuman bagi seseorang
yang cukup umur yang melakukan perbuatan cabul dengan orang lain yang sama
kelaminnya yang belum cukup umur. 1
KUHP Pasal 292
Orang dewasa yang melakukan perbuatan cabul dengan orang lain sesama
kelamin, yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya belum dewasa,
diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun.
Dengan demikian kasus homoseksual dan lesbian jelas merupakan
kejahatan seksual, bila partnernya belum dewasa, yang secara yuridis belum 21
tahun atau kurang dari 21 tahun tetapi sudah pernah kawin, maka partner tersebut
secara yuridis dapat dikatakan sudah dewasa.
Jika kasus yang dihadapi adalah kasus homoseks, antara dua pria, maka
pembuktian secara kedokteran forensik tidak sulit, oleh karena yang perlu
dibuktikan dalam hal ini adalah : perkiraan umur (belum dewasa), dan adanya air
mani serta sperma baik dalam dubur atau mulut korban; juga perlu diperiksa

bentuk dubur, bagi yang telah sering melakukan persetubuhan melalui dubur,
maka bentuk dari dubur akan mengalami perubahan, duburnya akan terbuka,
berbentuk corong (funel shape), dan otot spincternya sudah tidak dapat berfungsi
dengan baik.
Pada kasus lesbian, selain perkiraan umur maka perlu dicari apakah
terdapat kelainan yang diakibatkan oleh manipulasi genital dengan tangan atau
alat-alat bantu. 1
Pemeriksaan Laboratorium Korban Kejahatan Seksual
1. Tujuan: menentukan adanya sperma
Bahan pemeriksaan : cairan vagina
Metode : tanpa pewarnaan
Hasil yang diharapkan : sperma yang masih bergerak, bagian basis kepala
sperma berwarna ungu, bagian hidung merah muda.
2. Tujuan: menentukan adanya sperma
Bahan pemeriksaan : pakaian
Metode :pakaian yang mengandung bercak sedikit pada bagian tengahnya.
Hasil yang diharapkan : kepala sperma berwarna merah, bagian ekor biru
muda; kepala sperma tampak menempel pada serabut-serabut benang.
3. Tujuan : menentukan adanya air mani (asam fosfatase)
Bahan pemeriksaan : cairan vaginal
Metode : cairan vaginal ditaruh pada kertas Whatman, diamkan sampai
kering, semprotkan dengan reagensia, perhatikan warna ungu yang timbul
dan catat dalam beberapa detik warna ungu tersebut timbul.

Hasil yang diharapkan : warna ungu yang timbul dalam waktu kurang dari
30 detik, berarti asam fosfatase berasal dari prostat, berarti indikasi besar;
warna ungu timbul kurang dari 65 detik, indikasi sedang.

4. Tujuan : menentukan adanya air mani (kristal kholin)


Bahan pemeriksaan : cairan vaginal
Metode : florence, cairan vaginal ditetesi larutan yodium, kristal yang
terbentuk dilihat dibawah mikroskop.
Hasil yang diharapkan : kristal-kristal kholin-peryodida tampak berbentuk
jarum-jarum yang berwarna coklat.
5. Tujuan : menentukan adanya air mani (kristal spermin)
Bahan pemeriksaan : cairan vaginal
Metode : Berberio, cairan vaginal ditetesi larutan asam pikrat kemudian
dilihat di bawah mikroskop.
Hasil yang diharapkan : kristal-kristal spermin pikrat akan berbentuk
rhombik atau jarum kompas yang berwarna kuning kehijauan.
6. Tujuan : menentukan adanya kuman N. gonorrheae (GO)
Bahan pemeriksaan : sekret urethra dan serviks uteri
Metode : pewarnaan Gram
Hasil yang diharapkan : kuman N.gonorrheae
7. Tujuan : menentukan adanya kehamilan
Bahan pemeriksaan : Urine
Metode : Hemagglutination inhibition test, agglitination inhibition test.

Hasil yang diharapkan : aglutinasi pada kehamilan


8. Tujuan : menentukan adanya racun (toksikologi)
Bahan pemeriksaan : darah dan urine
Metode : TLC, mikrodifusi, dll.
Hasil yang diharapkan : adanya obat yang dapat menurunkan atau
menghilangkan kesadaran.
9. Tujuan : penentuan golongan darah
Bahan pemeriksaan :cairan vaginal yang berisi air mani dan darah
Metode : serologi
Hasil yang diharapkan : golongan darah dari air mani berbeda dengan
golongan darah korban.
Catatan : pemeriksaan ini hanya dapat dikerjakan bila tersangka pelaku
kejahatan termasuk golongan sekretor. 1

DAFTAR PUSTAKA

1. Idries, Abdul M. 1997. Kejahatan Seksual dalam Pedoman Ilmu


Kedokteran Forensik. Edisi Pertama. Jakarta, Binarupa Aksara.
2. Murtika, I Ketut. 1992. Dasar-dasar Materiil Tentang Kedokteran
Forensik dalam Dasar-dasar Ilmu Kedokteran Kehakiman. Jakarta, Rineka
Cipta.
3. Budiyanto, Arif, Wibisono Widiatmaka, Siswandi Sudiono, T. Winardi,
Abdul Munim, Sidhi, dkk. 1997. Pemeriksaan Medik Pada Kasus
Kejahatan Seksual dalam Ilmu Kedokteran Forensik. Edisi Pertama.
Jakarta, Bagian Kedokteran Forensik FK UI.
4. Knight, Bernard. 1997. Deaths Associated With Sexual Offences in
Forensic Pathology. Second Edition. Nem York, Oxford University Press.
5. Knight, Bernard. 1997. Sexual Offences in Simpsons Forensic Medicine.
Eleventh Edition. New York, Oxford University Press.

Anda mungkin juga menyukai