Anda di halaman 1dari 44

14

Pelaku Pelecehan Seksual Berusia Remaja


JOSEPH G. POIRIER
Independent Practice, Rockville, Maryland

Daftar isi
Sinopsis kasus
Pendahuluan
Kasus legal terkait
Pertimbangan etis dan moral praktis
Mengupayakan metode dan aplikasi berbasis empiris
Penilaian diagnostik
Penilaian risiko
Karakteristik pelaku pelecehan seksual berusia remaja sesuai bukti empiris
Poin-poin dasar yang perlu dipertimbangkan pada penilaian klinis/forensik
Menghindari kesalahan evaluasi dan konsultasi
Pertimbangan terapi
Menulis laporan forensik dan bertindak sebagai saksi ahli
Aplikasi baru dari bukti dan pengetahuan forensik

Sinopsis kasus
Pengadilan anak menemukan bahwa Peggy yang berusia 17 tahun terlibat dalam
tindakan pelecehan seksual pada anak. Peggy berkulit putih, dan tidak naik kelas
saat kelas satu SMA. Ia tinggal dengan keluarganya di perumahan kelas
menengah ke atas di tepi kota. Korbannya adalah seorang gadis hispanik 11 tahun
bernama Maria yang tinggal di area perumahan miskin dengan neneknya dari
pihak ibu dan dua sepupu yang lebih muda, yang dirawat oleh neneknya.
Lingkungan sekitar mereka memang memungkinkan untuk saling berinteraaksi.

Peggy mengajak Maria berteman dan keduanya semakin sering menghabiskan


waktu bersama, biasanya di rumah Peggy ketika tidak ada orang lain yang di
rumah. Sesekali, nenek Maria akan memberi Peggy beberapa dolar untuk
mengasuh Maria. Pasca suatu presentasi di sekolah yang dilakukan oleh petugas
kepolisian tentang kekerasan pada anak, Maria mengaku pada konselor sekolah
tentang

aktivitas

seksual

yang

tidak

layak

dengan

Peggy.

Konselor

melaporkannya pada Layanan Perlindungan Anak dan dilakukan penyelidikan.


Karenanya status Peggy sebagai pengasuh Maria, ia dituntut dengan pelecehan
seksual pada anak. Tindakan pelecehan tersebut dimulai ketika Peggy dan Maria
bermain rumah-rumahan dan memainkan peran suami dan istri. Permainan peran
ini akhirnya mengarah pada membuka pakaian, kemudian kontak jari, oral, dan
genital. Menurut Maria, Peggy telah melakukan aktivitas mencumbu yang tidak
layak sepanjang waktu sambil terus meyakinan Maria bahwa tidak ada yang salah.
Pengadilan anak memerintahan evaluasi pada Peggy untuk menilai kemungkinan
pengulangan tindakan dan untuk memberikan rekomendasi disoposisi.

Pendahuluan
Bab ini berfokus pada masalah remaja yang melakukan kekerasan atau pelecehan
seksual. Upaya penanganan masalah pelanggaran seksual oleh remaja terus
menjadi masalah yang melelahkan dan mahal pada masyarakat kontemporer
(Andrade, Vincent, dan Saleh, 2006; Barbaree, Blanchard, dan Langton, 2003;
Barbaree dan Marshall, 2006; Broxholme dan Lindsay, 2003; Gerardin dan
Thibaut, 2004; Murphy, DiLillo, Haynes, dan Steere, 2001; Poirier, 1999b, 2005;
Ryan, 1997; Seager, Jellicoe, dan Dhaliwal, 2004). Riset berkelanjutan telah
semakin memperjelas bahwa masalah ini kompleks dan akan membutuhkan upaya
multimodal sehingga tiap kasus dapat berlangsung lama (yaitu kira-kira 36 bulan)
dan memakan biaya. Untuk referensi komprehensif terkait masalah pelanggaran
seksual oleh remaja, lihat Craig, Smith, Hayler, dan Pardie (1999) dan Smith,
Craig, Loose, Brodus, dan Kimmelman (2002). Masalah pelanggaran seksual oleh
remaja adalah hal yang berat seperti dicerminkan dalam jumlah korban; data
dijelaskan di bawah. Derajat masalah dicerminkan pada totalitas trauma yang
2

disebabkan oleh viktimisasi (Hunter, 2000; Barbaree dan Marshall, 2006). Jumlah
sebenarya dari pelaku pelecehan seksual usia remaja (juvenile sex offender, JSO)
tidak diketahui karena banyak sekali kriminalitas tidak dilaporkan; data untuk
kasus-kasus yang dilaporkan dijelaskan di bawah.
Istilah juvenile sex offender adalah konsep legal dan bukan merupakan
suatu terminologi klinis. Sejarah pengetahuan terkait parafilia seksual cenderung
terdistorsi karena masalah-masalah terkait definisi, tabu secara budaya, dan proses
hukum. Selama 20 tahun terakhir, pemeriksaan legal semakin meningkat baik
untuk pelaku pelecehan seksual berusia dewasa maupun remaja. Sistem hukum
juga telah memberi sanksi dan penalti legal yang semakin lama semakin berat
untuk pelaku (Letourneau dan Miner, 2005). Sejarah keterlibatan layanan
kesehatan jiwa pada kasus hukum terkait aturan predator seksual juga bersifat
panjang dan kompleks (untuk kajian, lihat American Psychiatric Association,
1999).
Pelecehan seksual pada anak oleh pelaku dari usia berapapun bersilangan
dengan tabu moral dan sosial yang bersifat nyaris universal. Tabu ini memberi
dampak luas pada pendekatan terhadap masalah pelecahan seksual anak oleh
sistem hukum dan kesehatan jiwa (Poirier, 1999c). Selama awal 1990an,
pertemuan

peradilan

pidana/kesehatan

jiwa

tidak

menunjukkan

banyak

perkembangan dalam penanganan populasi JSO. Namun, terdapat tuntutan dan


harapan sosial untuk intervensi terapi yang bermakna yang jauh melebihi
pembaharuan yang dapat dicapai oleh riset (Davis and Leitenberg, 1987).
Suatu studi baru dan meta-analisis yang penting oleh Hanson dan MortonBourgon (2005) menjelaskan temuan-temuan terkait prediktor residivisme pelaku
pelecehan seksual dewasa. Temuan-temuan pada metaanalisis ini (dijelaskan pada
bagian Penilaian Risiko pada bab ini) mencerminkan sejumlah pembaharuan pada
pemahaman kita tentang faktor risiko yang relevan untuk terapi. Temuan-temuan
ini juga mengidentifikasi sejumlah pertimbangan terapi, yang secara historis
dianggap penting dalam terapi pelaku pelecehan seksual, tetapi tidak ditemukan
efektif pada meta-analisis. Studi ini juga membahas semua pertanyaan penting

tentang apakah prediktor residivisme seksual berbeda dari residivisme kriminal


yang nonseksual.
Data dari agensi bantuan hukum dan fasilitas koreksional yang
dikumpulkan oleh FBI dan disimpan oleh Biro Kehakiman memberi informasi
yang paling komprehensif dan terbaru terkait kriminalitas, tetapi data ini tidak
cukup banyak dan representatif secara nasional karena tingginya kegagalan
pelaporan dan juga perbedaan pada berbagai definisi kriminal jurisdiksional dan
perbedaan dalam metodologi pelaporan.
Dari sumber-sumber lain, Biro Kehakiman menggunakan data dari
Uniform Crime Reporting Program (UCR) untuk menyusun statistik kriminalitas.
Secara historis, UCR hanya melaporkan insiden pemerkosaan dan kekerasan
seksual yang dipaksa (FBI, 1997, 2005). UCR saat ini juga telah mencakup
National Incident-Based Reporting System (NIBRS), yang memiliki potensi untuk
menghasilkan deskripsi yang detail tentang kekerasan seksual yang dilaporkan
oleh agensi perlindungan hukum yang berpartisipasi (Snyder, 2000).
Terdapat sejumlah tumpang tindih data demografis, etiologis, dan
klasifikasi antara pelaku pelecehan seksual dewasa dan remaja, tetapi juga ada
perbedaan-perbedaan yang penting (Caldwell, 2002; Pithers, Becker, Kafka,
Morenz, Schlank, dan Leombruno, 1995). Sebagian besar korban pemerkosaan
dan kriminalitas kekerasan seksual adalah anak-anak dan remaja. Tabel 14.1
menyajikan poin-poin demografi terbaru (menurut Biro Kehakiman) terkait
pelanggaran seksual oleh pelaku dewasa dan remaja (Greenfield, 1997). Data
penegakan hukum terbaru terkait kekerasan seksual dari karakteristik anak dan
pelaku berusia muda dikompilasi oleh Biro Kehakiman pada tahun 19911996
(Snyder, 2000). Data ini dikompilasi dari NIBRS. Terdapat dua basis data pada
studi: yang pertama mencakup sekitar 61.000 korban, dan yang kedua terdiri atas
sekitar 58.000 pelaku. Data didasarkan pada laporan kekerasan seksual anak-anak
yang lebih muda ke sumber data penegakan hukum seperti diberikan oleh 12
negara bagian dari 1991 hingga 1996. Data ini memberi sejumlah besar informasi
terkait karakteristik korban dan penyerangan yang akan berguna bagi pembaca
yang tertarik, tetapi yang kami fokuskan di sini adalah data terkait pelaku.

Tabel 14.2 menunjukkan data yang khusus untuk pelaku pelecehan sesual
usia remaja.
Tabel 14.3 menyajikan kemungkinan sampel data profil korban/pelaku
berdasarkan data statistik NIBRS. Data ini digunakan peneliti untuk menentukan
faktor-faktor risiko yang berhubungan dengan kecenderungan pengulangan
tindakan.

Hakim Agung Luis Perez adalah hakim di Pengadilan anak Worcester di


Worcester, Massachusetts. Hakim Perez baru-baru ini menunjuk bahwa
pengadilan saja tidak akan mampu memecahkan masalah sosial seperti
kriminalitas remaja. Hakim Perez membuat komentar yang menyadarkan banyak
orang sebagai berikut:
Sejak 1984, tedapat peningkatan 68 persen pada catatan di pengadilan anak secara
nasional. Sejak 1987, remaja yang ditahan dan dimasukkan ke institusi negara
bagian telah meningkat dari sekitar 90.000 menjadi 400.000 pada tahun 2002.
Sistem ini diperumit oleh meningkatnya kepadatan penduduk, dan kurangnya staf
di ruang sidang, program terapi, dan fasilitas detensi. Kegagalan untuk berinvestasi
pada anak sekarangdan pada titik paling dini yang memungkinkan untuk

intervensidapat menyebabkan tingginya biaya di masa depan akibat peningkatan


kriminalitas dan kemunduran sosial. Ini membuat tiap negara bagian harus
menghabiskan sekitar $6000 per tahun untuk mengedukasi anak. Meskipun begitu,
negara bagian akan menghabiskan lebih dari $30.000 per tahun untuk menahan
anak di fasilitas residensial (termasuk penjara). Tampaknya akan efektif biaya
untuk berinvestasi pada intervensi dini untuk mencegah anak-anak ditahan oleh
negara bagian, jauh dari keluarganya. (Perez, 2003, p.5)

Pencapaian model etiologis terintegrasi dari pelaku kekerasan remaja terus


menjadi petualangan yang sulit dipahami (Bischof dan Rosen, 1997; Marshall,
1996; Marshall, 2000; Marshall dan Marshall, 2000; Quinsey dan Harris, 1998;
Ryan, 1997b). Berdasarkan berbagai penelitian pada pelaku pelanggaran seksual,
Marshall dan koleganya berhipotesis bahwa pelaku prospektif memiliki kualitas
hubungan yang buruk dengan figur pengasuh pada masa kanak-kanak (Barbaree,
Marshall, dan McCormick, 1998; Marshall, 2000). Penulis juga menyebutkan
bahwa riwayat pengasuhan yang buruk meningkatkan risiko viktimisasi seksual
untuk anak. Korban-korban anak ini selanjutnya berisiko untuk menjadi pelaku
potensial.
Selama masa remaja, latar belakang dinamika ini berkombinasi dengan
fantasi seksual yang umum terkait pubertas. Marshall telah mengamati bahwa
riwayat seksual JSO dicirikan oleh tingkat masturbasi yang tinggi sebagai cara
koping

dengan

stress.

Peningkatan

praktik

masturbasi

meningkatkan

kecenderungan bahwa fantasi seksual akan secara bertahap memasukkan elemenelemen kekuatan dan kontrol. Harga diri yang buruk adalah faktor yang
berhubungan dengan riwayat JSO. Dinamika ini menjadi latar untuk pola
rangsangan seksual yang menyimpang pada JSO (Hunter dan Becker, 1994;
Kaermingk, Morales, Becker, dan Kaplan, 1995).
Menurut model etiologis Marshall, seiring waktu, fantasi pelaku menjadi
semakin menyimpang. Ketika sensasi nilai pelaku dan batasan sosial yang
dimilikinya menjadi terhambat karena alasan tertentu (misalnya tekanan sebaya,
penyalahgunaan zat, aktivitas geng, adanya korban oportunis, dll.), kecenderungan
pelanggaran seksual menjadi lebih mendesak. Paparan perkembangan awal pada
keluarga yang abusif oleh pelaku potensial akan menginduksi sindrom hendaya
7

sosial (Barbaree et al., 1998). Penulis menjelaskan faktor risiko komorbid untuk
JSO mencakup kurangnya kelekatan dengan orang dewasa yang sehat, harga diri
yang rendah, dan partisipasi pada berbagai perilaku antisosial. Karena
ketidakmampuan untuk mengalami empati, JSO prospektif memiliki kesulitan
dalam memulai, dan kemudian mempertahankan hubungan dekat yang dewasa
(Curwen, 2003; Garlick, Marshall, dan Thornton, 1996).

Kasus legal terkait


Kasus legal terkait pelaku remaja secara umum bervariasi dan memotret
pergumulan upaya hukum untuk menyeimbangkan berbagai kepentingan,
misalnya, hak anak dan orang tua dengan pemberian undang-undang. Pengadilan
telah mengenali diperlukannya berbagai strategi untuk mengatasi masalah
pelanggaran seks oleh remaja. Masalah pelanggaran seks remaja ini bukan sekedar
masalah keadaankeadaan khusus berupa pelanggaran seksual yang dilakukan
oleh remaja. Masalah ini juga mencakup nilai-nilai orang tua hingga sikap
masyarakat.
Satu contoh dari pengaruh sosial terkait perilaku seksual remaja adalah
hukum terkait pornografi yang menggunakan aktor anak atau memotret anak.
Kasus hukum sering mengikuti dan mencerminkan evolusi pemikiran sosiologis,
juga perubahan-perubahan pada moral budaya. Pada beberapa keadaan, kasus
hukum berkontribusi pada definisi proses evolusi. Kasus yang dapat dibahas di
sini adalah keputusan kasus terkenal yang masih kontroversial, 1973 Mahkamah
Agung Roe v. Wade terkait aborsi. Karena publik telah semakin memperhatikan
JSO, pengadilan secara progresif menjadi lebih terlibat dalam membahas masalah
ini. Tabel 14.4 meringkas keputusan-keputusan pengadilan yang menjadi
landmark terkait pelanggaran remaja secara umum; kami memasukkan data ini
karena fungsinya sebagai latar historis data pada Tabel 14.5, yang meringkas
kasus hukum yang khusus berhubungan dengan masalah-masalah JSO.

Pertimbangan etis dan moral praktis


Kinerja klinis dengan anak dan remaja memiliki pertimbangan etis yang unik
untuk kelompok umur ini. Selain itu, terdapat kompleksitas klinis, etis, dan legal
untuk klinisi yang bekerja dengan subpopulasi JSO (Hunter dan Lexier, 1998).
Sebagai poin pendahuluan, kami mencatat bahwa seperti area-area lain pertemuan
kesehatan jiwa/legal, praktisi diharuskan untuk memahami kebutuhan sesuai
undang-undang pada jurisdiksi lokal mereka. Kebutuhan sesuai undang-undang
pada pelaku remaja dapat memiliki variasi yang bermakna dari satu pengadilan ke
pengadilan lainnya. Pengabaian persyaratan perundang-undangan khusus pada
yurisdiksi tertentu adalah langkah pertama untuk terjadinya malpraktik dan
masalah etis. Kebutuhan etis yang penting dari semua kinerja klinis adalah
harapan bahwa klinisi akan berfungsi dalam batas-batas kompetensinya.
Mengingat upaya-upaya klinis dengan populasi JSO masih belum banyak
dikembangkan, masalah kompetensi klinisi adalah sesuatu yang penting untuk
diperhatikan. Penawaran pendidikan berkelanjutan terkait JSO, program pelatihan
formal, atau kesempatan untuk supervisi terstruktur dengan populasi JSO masih
terbatas. Sesuai dengan hal tersebut, maka menjadi beban bagi tiap klinisi untuk
menunjukkan pelatihan dan pengalaman yang cukup sebagai dasar kompetensi
untuk bekerja dengan JSO.

10

Kinerja klinis pada anak dan remaja juga memiliki lapisan-lapisan terkait
batasan yang lebih perlu diperhatikan dibandingkan kerja konvensional dengan
pelaku dewasa. Sebagian besar anak dan remaja terlibat dengan pengasuh dan
wali yang beragam (orang tua dan anggota keluarga lainnya, pendidik, dokter
anak, dll.). Untuk dapat efektif, klinisi yang menilai/menterapi harus siap untuk

11

berhadapan secara efektif dengan semua pihak yang berhubungan secara kolateral
ini. Ketika kami menambahkan dimensi tambahan berupa pelanggaran seksual,
tantangan manajemen kasus menjadi jauh lebih rumit (polisi, layanan
perlindungan anak, pengadilan anak, pengacara, hukum anak, petugas di kantor
percobaan, klinisi yang terlibat secara kolateral, dll.). Perhatian dan batasan etis
dari klinisi yang bekerja dengan populasi JSO cukup bermakna. Ini terutama
penting jika JSO terlibat dalam tuntutan. Klinisi harus memikirkan masalahmasalah budaya dan etis ketika bekerja dengan anak dan keluarga (American
Psychological Association, 2003; Hansen, Randazzo, Schwartz, Marshall, Kalis,
Frazier, Burke, Kershner-Rice, dan Norvirg, 2006; Smith, Constantine, Dunn,
Dinehart, dan Montoya, 2006). Masalah-masalah ini dapat berhubungan dengan
bagaimana JSO atau anggota keluarga menganggap sesuatu sebagai layak dan
tidak layak dalam hal perilaku seksual remaja. Dari persektif legal, bagaimanapun,
kebutuhan penegakan hukum inilah yang mendefinisikan apa yang sah dan apa
yang tidak sah.
Satu celah yang menonjol pada matriks dukungan untuk JSO adalah
kekurangan universal untuk sistem dukungan berbasis komunitas. Untuk hampir
semua area masalah yang dihadapi oleh anak dan remaja, terdapat layanan
berbasis komunitas untuk membahasnya. Sebaiknya, untuk JSO, masyarakat
tampaknya cukup puas dengan hanya memberi sedikit dana untuk program terapi
JSO sebagai cara untuk menjaga anak-anak tetap aman.
Dilema etis dalam bekerja dengan anak dan mungkin yang lebih penting
dengan remaja umumnya terkait masalah seperti kerahasiaan (etis) dan hak khusus
(legal). Dalam bekerja dengan remaja yang usianya lebih tua, utamanya, selalu
ada masalah untuk menegakkan dan mempertahankan aliansi terapetik dengan
remaja sementara pada saat

yang sama menghargai hak dari orang

tua/wali/anggota keluarga untuk memiliki akses pada informasi terkait anak-anak


mereka. Ini dapat sangat sulit pada kasus di mana komunikasi anak/orang tua
sudah buruk sebelumnya. Topik-topik seksualitas, viktimisasi anak, dan
pelanggaran seksual menyebabkan komunikasi orang tua ke anak/remaja menjadi
lebih rentan dan sensitif. Klinisi harus hati-hati untuk tidak membagi pengetahuan

12

tentang seksualitas atau nilai-nilai tentang seksualitas pada JSO yang hanya akan
memperburuk masalah yang ada. Yang terkait dengan hal ini adalah pertimbangan
bahwa orang tua memiliki tanggung jawab utama untuk mengajarkan seksualitas
pada anaknya, dan klinisi harus menjajaki masalah dengan hati-hati, dengan tetap
menghargai tanggung jawab orang tua ini.
Pada tiap upaya kolaborasi, klinisi harus hati-hati tentang informasi apa
terkait pelaku kekerasan seksual usia remaja yang tepat untuk diungkapkan, pada
siapa, dan untuk tujuan apa. Praktisi juga harus membuat upaya khusus untuk
memastikan bahwa pelaku dan wali yang bertanggung jawab tidak memiliki
informed consent yang ambigu tentang diseminasi apapun terkait informasi
klinis, dan persetujuan ini perlu dilakukan secara tertulis menggunakan formulir
tertulis yang dapat diterima.
Penjelasan perundang-undangan terkait pelanggaran seksual remaja dan
hak korban dan pelaku saat ini masih terus dikembangkan. Area-area sensitif
terkait masalah legal/etis, yang khusus untuk populasi pelaku pelanggaran berusia
remaja, mencakup perintah legal untuk melaporkan dugaan kekerasan dan
penelantaran. Masalah-masalah lain yang perlu diperhatikan saat bekerja dengan
populasi JSO meliputi sebagai berikut:
a. Kebutuhan untuk pengenalan masyarakat terhadap pelaku pelecehan
seksual yang diadili, termasuk JSO (Zevitz dan Farkas, 2000a, 2000b,
2000c)
b. Prosedur-prosedur evaluasi sebelum peradilan dan untuk terapi involunter
(Roberts, Doren, dan Thornton 2002)
c. Prosedur-prosedur untuk penggunaan teknik-teknik kognitif perilaku
d. Prosedur-prosedur

untuk

penggunaan

berbagai

intervensi

psikofarmakologis (Galli, Raute, McConville, dan McElroy, 1998; Hunter


dan Lexier, 1998)
e. Panduan prosedural untuk penggunaan teknik-teknik phallometric dan
poligraf
Suatu area riset dan praktik yang kontroversial pada JSO adalah penggunaan
substansi psikoaktif untuk menurunkan atau mengendalikan risiko JSO. Meskipun

13

penggunaan obat dengan JSO adalah area yang potensial menjanjikan, diperlukan
lebih banyak riset untuk mengidentifikasi obat mana dan dosis apa yang memiliki
efikasi dalam menurunkan risiko JSO untuk residivisme. Mungkin manfaat primer
dari psikotropika dengan JSO adalah untuk melemahkan bentuk-bentuk komorbid
dari psikopatologi yang dapat mengeksaserbasi risiko JSO.
Pendekatan berbasis biologi lain yang kontroversial dengan JSO adalah
kastrasi kimiawi dari pelaku sebagai syarat percobaan atau pembebasan bersyarat
(Miller, 1998). Kastrasi kimiawi adalah alternatif sementara untuk kastrasi bedah.
Penggunaan teknik-teknik kastrasi pada pelaku kekerasan seksual usia dewasa
memiliki sejarah legal yang panjang dan rumit (untuk kajian, lihat Miller, 1998).
Telah dilakukan upaya-upaya kastrasi farmakologis juga dengan populasi JSO.
Penggunaan teknik-teknik phallometric (Hunter dan Becker, 1994) dan
poligraf (Emerick dan Dutton, 1993) dengan JSO secara etis dipertanyakan untuk
sejumlah alasan. Alasan ini mencakup kemampuan kognitif JSO untuk memahami
implikasi legal dari keadaan mereka dan masalah-masalah terkait informed
consent (Ilgen dan Bell, 2001). Teknik-teknik phallometric cenderung mahal dan
invasif. Phallometry membutuhkan penggunaan stimuli seksual eksplisit,
menimbulkan kekhawatiran tentang pembelajaran kesadaran stimulasi seksual,
terutama pada pelaku yang lebih muda. Meskipun begitu, telah dilakukan riset
phallometric dengan remaja (Becker, Kaplan, dan Tenke, 1992; Becker, Stein,
Kaplan, dan Cunningham-Rathner, 1992; Hunter, Becker, dan Kaplan, 1995;
Hunter, Goodwin, dan Becker, 1994). Phallometry telah terbukti dapat
membedakan ketertarikan pedofilik khusus di antara para pelaku kekerasan
seksual usia remaja dibandingkan bukan pelaku (Seto, Lalumire, dan Blanchard,
2000). Inferensinya adalah bahwa temuan-temuan phallometric dapat berguna
sebagai satu aspek dari upaya evaluasi komprehensif (untuk kajian, lihat Marshall
dan Fernandez, 2001). Bagaimanapun, terdapat konsensus bahwa teknik-teknik
phallometric saja tidak secara empiris cukup untuk penentuan apakah pelaku telah
melakukan atau tidak melakukan pelanggaran seksual, sebagian karena respons
phallometric dapat salah (Harris, Rice, Chaplin, dan Quinsey, 1998). Phallometry

14

terus menjadi alat yang dipertanyakan untuk penilaian forensik, hampir sama
dengan penggunaan poligraf.
Kesalahan penggunaan instrumen psikologis dan aktuarial adalah area lain
yang potensial menyulitkan secara etis (Edens, 2001). Saat ini tidak ada instrumen
psikologis yang memiliki validitas untuk memprediksi derajat risiko pengulangan
oleh JSO. Namun, terdapat sejumlah instrumen yang tampaknya menjanjikan.
Penggunaan apapun dari instrumen ini harus bijaksana, dan laporan forensik perlu
menggabungkan pernyataan-pernyataan yang teliti, yang mengenali keterbatasan
instrumen-instrumen ini. Terdapat sejumlah instrumen psikologis terstandarisasi
yang dapat dan perlu digunakan pada pelaku remaja terkait fungsi psikologis
umum, juga evaluasi untuk kemungkinan psikopatologi komorbid (Kafka dan
Hennen, 2002; Lalumire, Harris, Quinsey, dan Rice, 2005b; Poirier, 2002).
Semua penggunaan dan pengembangan instrumen psikologis untuk
penilaian pelaku pelanggaran seksual harus mematuhi standar yang diberikan oleh
American Educational Research Association (AERA) (1955, 1999), American
Psychological Association (APA), (1954, 1966, 1974, 1985, 2002), dan National
Council on Measurement in Education (1995). Luaran potensial baik untuk pelaku
dan korban secara sederhana bisa buruk jika instrumen tes disalahgunakan.
Sebagian besar disiplin kesehatan jiwa telah profesional telah menegakkan
panduan etis untuk praktisi. Misalnya, psikolog harus mematuhi standar etis
American Psychological Association (2002) dan psikolog forensik harus
mematuhi standar Committee on Ethical Guidelines for Forensic Psychologists
(1991).

Mengupayakan metode dan aplikasi berbasis empiris


Identifikasi tipikal dari JSO biasanya terjadi ketika pelanggaran pertama terjadi.
Pada titik ini atau setelah titik inilah klinisi umumnya akan terlibat dengan JSO.
Pada bab ini, kami mengidentifikasi sejumlah faktor risiko statistik dan yang
ditegakkan melalui riset yang secara empiris, yang tampaknya berhubungan
dengan pelanggaran seksual remaja. Bagaimanapun, tidak ada dari karakteristik
ini, baik secara tunggal atau dalam kelompok atau pola yang ditentukan, telah
15

terbukti benar-benar prediktif untuk pelanggaran seksual oleh remaja. Kami akan
meringkas uraian ini untuk mengembangkan pendekatan aktuarial untuk menilai
risiko JSO pada bagian Penilaian Risiko.

Penilaian diagnostik
Berbagai pendekatan telah dijelaskan untuk penilaian JSO (Bonner, Marx, Th
ompson, dan Michaelson, 1998; Bourke dan Donahue, 1996; Quinsey dan
Lalumire, 2001; Ross dan Loss, 1991; Stickrod, Gray, dan Wallace, 1992;
Zussman, 1989). Pendekatan ini meliputi sistem taksonomi (Butler dan Seto,
2002; Gray, Pithers, Busconi, dan Houchens, 1997; OHalloran et al., 2002) dan
klasifikasi kontinuum (Johnson dan Feldmeth, 1993). Pendekatan-pendekatan ini
juga mencakup klasifikasi skema untuk penempatan JSO pada model terapi
multidisipliner atau multifasilitas (McGrath, Cumming, dan Holt, 2002).
Sejumlah upaya dini telah dilakukan untuk menegakkan pola atau jenis
yang dapat dipahami di antara para pelaku pelecehan seksual usia remaja (Gray et
al., 1997; Johnson dan Feldmeth, 1993; Knight dan Prentky, 1993; Simourd,
Hoge, Andrews, dan Leschied, 1994). Terdapat pengajuan skema klasifikasi
(MacHovec dan Wieckowski, 1992; OBrien dan Bera, 1986). Seiring waktu,
upaya-upaya ini tidak dianggap terlalu membantu; JSO adalah populasi yang
terlalu heterogen untuk dapat dikategorikan secara sederhana. Studi-studi lain
mengaji profil retrospektif pemuda yang mungkin berisiko menjadi korban JSO
(Berliner dan Conte, 1990; Faller, 1989a; Green, Ramelli, dan Mizumoto, 2001;
Rice, Harris, dan Quinsey, 2002).
Penerapan instrumen pemeriksaan psikologis standar untuk membantu
penilaian JSO telah tercatat dengan baik (Curnoe dan Langevin, 2002; Dalton,
Ruddy, dan Simon-Roper, 2003; Hunter et al., 1995; Hunter, Becker, Kaplan, dan
Goodwin, 1991; Hughes, DeVille, Chalhoub, dan Romboletti, 1992; Kraerner,
Spielman, dan Salisbury, 1997; Losada Paisley, 1998). Namun, tes-tes standar
yang tersedia, tidak secara langsung membahas masalah-masalah dasar dari status
psikoseksualitas atau risiko residivisme.
Penilaian pelanggaran JSO harus mempertimbangkan faktor-faktor
kontekstual dan situasional. Misalnya, konteks yang akan berarti satu hal untuk
16

pelaku dewasa, membujuk untuk melakukan hubungan dengan remaja di Internet,


misalnya, dapat memiliki makna yang sepenuhnya berbeda untuk remaja
(Lalumire, Harris, Quinsey, dan Rice, 2005a).
Beberapa peneliti telah menekankan pentingnya berhati-hati tentang
masalah-masalah perkembangan pada penilaian dan terapi JSO (Harnett dan
Misch, 1993; Pithers et al., 1995; Prescott, 2004; Quinsey dan Rice, 1993).
Kemampuan kognitif, kematangan sosial-emosional, dan pemahaman moralitas
dapat memiliki variasi yang sangat bermakna pada tingkat perkembangan yang
berbeda. Selain itu, tingkat perkembangan menentukan kesiapan fisik dan
kesadaran seksual psikologis pada anak/remaja. Satu studi menemukan bahwa
pelaku inses dewasa dengan korban yang lebih muda (<6 tahun) umumnya lebih
menunjukkan psikopatologi dibandingkan mereka yang korbannya lebih tua (>12
tahun). (Firestone, Dixon, Nunes, dan Bradford, 2005). Sejumlah penulis telah
mencatat pentingnya klinisi untuk tetap tahu informasi tentang evolusi yang terus
terjadi terkait standar-standar legal untuk masalah JSO (Doren, 2002; Winick dan
La Fond, 2003; Witt, DelRusso, dan Ferguson, 1996).
Lanyon (2001) mengajukan skema enam bagian yang ringkas dan berguna
untuk mengorganisir area-area pencarian klinis ketika menilai pelaku pelanggaran
seksual. Pertanyaan-pertanyaan untuk penilaian dapat diringkas sebagai berikut:
1. Lakukan identifikasi pada karakteristik psikologis umum dari pelaku
dengan penekanan pada psikopatologi komorbid apapun. Yang penting
terhadap penilaian apapun adalah basis data yang berisi informasi biografis
komprehensif terkait pelaku untuk mencakup data dari sumber daya
kolateral.

Lanyon

juga

menyarankan

bahwa

tes-tes

psikologis

terstandarisasi seperti Minnesota Multiphasic Personality Inventory,


Millon personality instruments, dan yang lain, dapat berguna dalam
menilai psikopatologi komorbid pelaku. Ia mencatat bahwa data biografis
membantu dalam menguji validitas temuan-temuan pemeriksaan.
2. Penilaian untuk minat seksual menyimpang pada pelaku. Klinisi harus
menentukan seberapa kuat minat yang menyimpang tersebut, dan
bagaimana jika dibandingkan dengan pelaku dengan minat seksual yang

17

tidak menyimpang. Sejumlah instrumen tersedia untuk membantu


penilaian ini. Instrumen-instrumen ini mencakup wawancara terstruktur,
skala untuk perilaku seksual, adaptasi khusus dari tes-tes terstandarisasi,
dan penile plethysmography.
3. Penilaian risiko mencakup prediksi kecenderungan pelanggaran ulang.
Berbagai instrumen telah diajukan. Namun, sebagian besar instrumen ini
dikembangkan dengan pelaku pelanggaran seksual dewasa yang ditahan
dan sejauh ini memiliki aplikasi terbatas pada populasi pelaku pelanggaran
seksual anak/remaja. Saat ini, terdapat sejumlah instrumen aktuarial yang
menjanjikan yang sedang dikembangkan, untuk selanjutnya digunakan
pada populasi JSO (lihat Tabel 14.9).
4. Penilaian kemungkinan responsivitas JSO terhadap terapi. Telah
diidentifikasi sejumlah faktor yang tampaknya berhubungan dengan
prognosis yang baik pada JSO. Faktor-faktor ini mencakup keinginan
pelaku untuk menerima tanggung jawab untuk pelanggarannya, dan
memiliki motivasi yang cukup untuk berpartisipasi pada proses
rehabilitasi. Faktor-faktor prognostik positif lainnya meliputi minat dan
pengalaman heteroseksual yang sesuai umur, dan tidak adanya
psikopatologi komorbid yang terutama mencakup penyalahgunaan zat dan
perilaku impulsif-agresif.
5. Dinamika yang umum pada semua pelaku pelanggaran seksual adalah
kesalahan representasi self-serving. Potensi pelaku untuk terlibat dalam
penipuan sudah mendarah daging pada tiap evaluasi yang berhubungan
dengan forensik (Hall dan Poirier, 2001). Hall dan Poirier menjelaskan
teknik-teknik untuk menilai penipuan pada berbagai masalah forensik,
tetapi pada akhirnya, evaluasi yang akurat dan reliabel untuk penipuan
adalah suatu upaya yang memiliki banyak celah yang dapat menjatuhkan
klinisi. Kebijaksanaan dalam membentuk dan mempertahankan opini
terkait penipuan bersifat mutlak. Pada pelaku pelanggaran seksual,
kecenderungan untuk menipu akan meningkat karena adanya tabu kultural,

18

potensi hukuman legal yang berat, dan perilaku asosial yang dipraktikkan
yang cenderung integral dengan kepribadian pelaku.
6. Penilaian perilaku seksual tidak layak oleh pelaku berdasarkan kriteria
formal khusus. Kriteria ini dapat bersifat legal atau klinis. Bisa juga
terdapat beberapa kategori kriteria lainnya sesuai kebutuhan konteks
spesifik upaya evaluasi.

Penilaian risiko
Area yang relatif baru dari upaya riset dengan populasi ini adalah penilaian risiko.
Klinisi yang bekerja dengan JSO tanpa bisa dihindari akan dipanggil untuk
memberikan perkiraan kecenderungan kemungkinan pengulangan pelanggaran
seksual. Literatur kekerasan telah menjelaskan tiga model esensial untuk penilaian
risiko. Ketiga model ini adalah (1) pembuatan keputusan klinis tak terstruktur, (2)
pembuatan keputusan aktuarial, dan (3) penilaian profesional terstruktur (Kropp et
al., 2004).
Meskipun pembuatan keputusan klinis tak terstruktur mungkin merupakan
metode yang paling banyak digunakan untuk penilaian risiko kekerasan, ini adalah
pendekatan yang secara empiris paling tidak kuat (Quinsey dan Harris, 2006a).
Pembuatan keputusan klinis tak terstruktur sedikit lebih baik dari tebakan intuitif
terbaik oleh klinisi (Monahan, 1996). Pendekatan ini bergantung pada kajian dari
sejarah pelaku sebelumnya dan tingkat fungsi JSO saat ini seperti dinilai oleh
klinisi. Pendekatan ini dapat rancu akibat bias klinisi dan interpretasi klinisi yang
potensial salah. Karena risiko yang berkelanjutan, pendekatan ini harus digunakan
dengan batasan yang sesuai dalam hal masalah forensik (Harris dan Rice, 2003;
Quinsey, V. L., Lalumire, M. L., Rice, M. E., dan Harris, G. T., 1995). Kropp,
Hart, dan Belfrage (2004) berkomentar tentang pendekatan pembuatan keputusan
klinis tak terstruktur seperti berikut: Rekomendasi untuk strategi-strategi
perbaikan manajemenjika memang adadapat lebih diarahkan pada preferensi
pelatihan, dan bias dari penilai dan bukannya pada (1) pertimbangan yang masuk
akal dari faktor risiko dinamika dan krimonogenik (misalnya relevansi terhadap

19

kriminalitas), dan (2) strategi-strategi intervensi yang valid secara empiris atau
yang dapat diterima di lapangan.
Klinisi yang praktik berhadapan dengan kenyataan bahwa banyak area
khusus penilaian risiko untuk perilaku agresif atau kekerasan tidak memiliki
instrumen penilaian yang dikembangkan secara formal. Pada keadaan ini, klinisi
secara esensial tidak memiliki pilihan selain untuk menggunakan pembuatan
keputusan klinis tak terstruktur sebagai upaya untuk membantu penilaian risiko
dan berkontribusi pada rencana manajemen. Temuan-temuan penilaian tersebut,
bagaimanapun, perlu menggambarkan dengan jelas keterbatasan upaya klinis dan
berhati-hati dalam mempertahankan temuan-temuan.
Tujuan model penilaian aktuarial adalah untuk memberikan pendekatan
yang memperbaiki kurangnya reliabilitas dan validitas dari pendekatan klinis tak
terstruktur (Quinsey dan Harris, 2006b). Penilaian aktuarial membandingkan
risiko kekerasan pada individu dengan suatu kelompok referensi dari pelaku yang
diketahui. Faktor risiko pelaku ditotal dan kemudian dibandingkan untuk
menegakkan normal untuk kelompok referensi. Satu keterbatasan dari penilaian
aktuarial adalah temporalitasnya yang menetap. Faktor risiko yang diperkirakan
berasal dari interval waktu yang menetap dan karenanya memiliki nilai prediktif
untuk interval yang terbatas.
Heilbrun (1997) mencatat penggunaan praktis model berorientasi
manajemen untuk penilaian risiko dibandingkan model prediksi. Model
manajemen untuk penilaian risiko berupaya untuk menyesuaikan kebutuhan
pelaku dengan sumber daya yang tersedia, berlawanan dengan untuk mencoba
memprediksi risiko pelaku dengan cara yang terkuantifikasi. Yang disebutkan
belakangan mungkin lebih sulit dipahami.
Aspek yang mendefinisikan dari skala risiko aktuarial adalah bahwa
item-item mengalami pembobotan dan dikombinasikan berdasarkan algoritma
yang menetap dan eksplisit (Kropp, Hart, dan Belfrage, 2004). Karenanya,
dengan skala risiko aktuarial, tidak penting apakah isi skala disusun secara
empiris atau didasarkan pada intuisi klinis. Ketika menggunakan pendekatan
aktuarial, klinisi mempertimbangkan sekelompok faktor risiko menetap, dan

20

bukan parameter lainnya. Karakteristik yang disebutkan belakangan adalah


kekuatan pendekatan aktuarual, dan pada saat yang sama merupakan keterbatasan
yang utama.
Penilaian

profesional

terstruktur

adalah

suatu

upaya

untuk

mengkombinasikan kekuatan relatif dari penilaian klinis tak terstruktur dan


penilaian aktuarial (Douglas dan Kropp, 2002; Harris, Rice, dan Quinsey, 1998).
Kropp et al. (2004) mencirikan penilaian profesional terstruktur sebagai berikut:
Di sini, penilai harus melakukan penilaian berdasarkan panduan yang
mencerminkan pengetahuan teoretis, profesional, dan empiris tentang kekerasan.
Panduan tersebut menjelaskan kelompok minimum faktor risiko yang harus
dipertimbangkan pada tiap kasus. Panduan umumnya juga akan mencakup
rekomendasi untuk mengumpulkan informasi (misal penggunaan sumber multipel
dan metode multipel), mengkomunikasikan opini, dan menerapkan strategi-strategi
pencegahan kekerasan.

Pendekatan penilaian profesional terstruktur tidak mengeliminasi intuisi


klinisi, tetapi melengkapinya dengan pertimbangan dari data faktor risiko yang
berasal dari berbagai sumber, berbasis aktuarial. Menurut Douglas dan Kropp
(2002), tujuan utama dari penilaian profesional terstruktur adalah pencegahan
kekerasan. Penilaian profesional terstruktur berupaya mencegah kekerasan dengan
identifikasi sistemik dari faktor risiko statik dan dinamis (Kropp et al., 2004).
Karena ketergantungannya pada penilaian aktuarial, pendekatan ini dianggap
cukup kuat secara empiris.
Permintaan penilaian psikologis JSO dapat terjadi pada berbagai poin pada
proses peradilan remaja (Prentky, Harris, Frizell, dan Righthand, 2000). Pada
sebagian besar keadaan, petugas hukum akan lebih tertarik dengan estimasi risiko
dibandingkan penilaian klinis yang lebih konvensional. Penilaian risiko
dipasangkan dengan strategi-strategi yang dirancang untuk mencegah residivisme
adalah area-area yang telah menerima perhatian cukup signifikan dari peneliti
(McCarthy, 2001; Pecker, Harris, dan Sales, 1993; Smith dan Monastersky, 1986;
Vizard, Monck, dan Minsch, 1995; West, 2001). Penilaian risiko perlu bersifat
komprehensif, terdokumentasi baik, dan mempertimbangkan masalah-masalah
21

manajemen risiko. Studi-studi penilaian risiko telah mencakup kombinasi metodemetode aktuarial dan klinis tradisional.
Beech, Fisher, dan Thornton (2002) meringkas empat kategori faktor risiko
luas yang telah teridentifikasi pada literatur penilaian risiko untuk pelaku
pelanggaran seksual. Keempat kategori tersebut adalah sebagai berikut:
a. Faktor

disposisional,

termasuk

gambaran

gangguan

kepribadian

psikopatik, antisosial, atau lainnya yang menonjol.


b. Faktor historis, termasuk trauma pada masa perkembangan, riwayat
terdahulu untuk aktivitas kriminal atau kekerasan, riwayat psikiatri
sebelumnya, dan riwayat terkait kepatuhan terhadap terapi.
c. Pendahulu kontekstual untuk kekerasan, termasuk faktor risiko untuk
perilaku kriminal, keterlibatan pada jejaring sosial yang menyimpang, dan
kurangnya dukungan sosial yang positif.
d. Faktor klinis, termasuk diagnosis psikiatri, tingkat fungsi yang buruk, dan
penyalahgunaan zat.
Kami mencatat bahwa contoh-contoh untuk sebagian besar faktor ini
teridentifikasi pada data yang dicakup pada Tabel 14.1 hingga 14.3. Terdapat
debat yang cukup bermakna dalam evolusi riset penilaian risiko tentang
kebutuhan untuk melakukan analisis di luar pertimbangan faktor risiko statis,
yang secara esensial tidak berubah seiring waktu, dan untuk menempatkan lebih
banyak penekanan pada faktor risiko dinamik (Craig, Browne, Stringer, dan
Beech, 2005; Dvoskin dan Heilbrun, 2001; Douglas dan Skeem, 2005; Quist dan
Matshazi, 2000). Quinsy dan Lalumire (2001) menyarankan bahwa selain faktor
risiko statik dan dinamik, faktor risiko proksimal (dari pelanggaran) juga penting.
Skeem dan Mulvey (2002) menjelaskan keadaan risiko sebagai konsep
yang mencakup faktor risiko statik dan dinamis. Faktor risiko dinamik (misalnya
penyalahgunaan zat, baru-baru ini memiliki senjata, munculnya korban yang
rentan, dll.) adalah yang dapat berubah dari waktu ke waktu. Faktor-faktor risiko
dinamis karenanya lebih cenderung prediktif secara iminens untuk kecenderungan
perilaku kekerasan. Heilbrun (1997) berpendapat bahwa faktor-faktor risiko

22

dinamik paling berhubungan dengan upaya untuk mencapai penurunan kekerasan


(dan manajemen kekerasan), dan bukannya untuk prediksi kekerasan.
Beech

et

al.

(2002)

menjelaskan

suatu

bingkai

kerja

untuk

mengintegrasikan penilaian aktuarial dan berbasis klinis. Mereka menyarankan


mengkombinasikan tiga strategi penilaian utama: (1) analisis fungsional, (2)
penilaian risiko aktuarial, dan (3) peningkatan risiko dinamik. Tabel 14.6
menggarisbawahi komponen-komponen penting dari ketiga strategi penilaian
tersebut.

Peneliti Kanada telah menjelaskan sejumlah metode aktuarial untuk


memprediksi risiko pelaku dewasa (Harris dan Rice, 2003).
Tabel 14.7 mengutip instrumen aktuarial pelaku seksual dewasa ini. Penggunaan
masing-masing instrumen ini terbatas oleh spesifisitas dari sampel validasinya
(misalnya pelaku dewasa yang ada di tahanan, residivis kontak versus nonkontak,
pelaku pelanggaran seksual yang menggunakan kekerasan versus non kekerasan,
dsb.). Kami menekankan bahwa penggunaan instrumen aktuarial dewasa yang
dicakup pada Tabel 14.7 dengan JSO dapat sesuai karena, hingga kini, tidak ada
studi-studi validasi silang yang mendukung penerapan tersebut.
Hanson dan Morton-Bourgon (2005) baru-baru ini memperbaharui meta
analisis Hanson dan Bussire (1998) untuk studi-studi residivisme pelaku seksual.

23

Penulis mencatat bahwa studi 1998 didasarkan pada faktor risiko statis (misalnya
historis). Studi yang lebih baru menambahkan faktor risiko dinamik. Berdasarkan
82 studi residivisme (1.620 temuan dari 29.450 pelaku pelanggaran seksual)
penulis mengidentifikasi preferensi seksual yang menyimpang dan orientasi
antisosial sebagai prediktor utama dari residivisme baik untuk pelaku pelanggaran
seksual dewasa dan remaja. Prediktor risiko utama untuk residivisme kekerasan
adalah orientasi antisosial. Ini juga merupakan prediktor utama untuk residivisme
(apapun) secara umum. Penulis mengidentifikasi faktor risiko dinamik yang yang
memiliki potensi menjadi target terapi yang berguna. Ini mencakup preokupasi
seksual dan masalah pengaturan diri secara umum. Sebaliknya, sejumlah variabel
yang umumnya dibahas pada program terapi JSO tidak memiliki hubungan
dengan residivisme kekerasan seksual. Ini mencakup kesulitan psikologis,
penyangkalan kriminalitas seksual, empati korban, dan motivasi yang dinyatakan
untuk terapi.
Pengukuran-pengukuran aktuarial didasarkan pada tingkat perilaku
kekerasan dan rasio pemilihan atau keduanya. Tingkat dasar pada intinya
mencerminkan prevalensi jenis kekerasan, dan rasio pemilihan adalah proporsi
orang yang diprediksi menunjukkan kekerasan (Rice dan Harris, 1995; Quinsey,
Harris, Rice, dan Cormier, 1998). Masalah muncul ketika instrumen
menghasilkan estimasi negatif palsu dan positif palsu. Pembaharuan terbaru pada
prediksi kekerasan adalah pada penerapan pengukuran yang berasal dari receiver
operating characteristics (ROC) (Beech et al., 2002; Harris dan Rice, 2003;
Hilton, Rice, dan Harris, 2006). Konsep ROC awalnya dikembangkan untuk
membantu deteksi sinyal (radar) bertahun-tahun lalu. ROC adalah indeks terbaik
dari akurasi prediktif dari suatu metode penilaian. ROC juga dapat
membandingkan kinerja prediktif dari berbagai instrumen (Rice dan Harris, 1995).
Instrumen Ini memiliki kelebihan karena tidak adanya distorsi oleh variasi-variasi
pada tingkat dasar residivisme. Secara umum, dapat diinterpretasikan bahwa
residivis yang dipilih secara acak akan memiliki skor yang lebih menyimpang
dibandingkan nonresidivis yang dipilih secara acak. Ini bervariasi dari 0,5 (tidak

24

ada akurasi prediktif) hingga 1,0 (akurasi prediktif sempurna) (Beech et al.,
2002).
Riset telah menunjukkan bahwa frekuensi kriminalitas dengan kekerasan
termasuk kriminalitas seksual menurun seiring usia (Barbaree et al., 2003).
Wollert (2006) mengamati bahwa kurva ROC untuk tes aktuarial untuk
residivisme seksual tidak mempertimbangkan efek dari magnitudo tingkat dasar
(misalnya tingkat dasar yang berbeda untuk kelompok usia yang berbeda) pada
kinerja instrumen. Sebagai hasil, informasi yang diberikan oleh instrumen
residivisme kekerasan seksual tidak mencukupi jika merujuk pada efisiensi
instrumen untuk rentang tes kritis spesifik. Berdasarkan MacArthur Study of
Mental Disorder and Violence (Monahan, Steadman, Silver, Applebaum,
Robbins, Mulvey, Roth, Grisso, dan Banks, 2001), kumpulan berbagai faktor
risiko dapat relevan untuk kelompok usia yang berbeda. Sebagai koreksi, Wollert
merekomendasikan penerapan teorema Baye yang memperluas rentang analisis
ROC. Ketika diterapkan pada residivisme seksual, teorema Baye memungkinkan
penilai untuk menentukan average estimate (E) dari tingkat dengan mana suatu
kelas pelaku dengan skor aktuarialterutama, mereka yang diklasifikasikan
sebagai kemungkinan residivisakan kembali melakukan pelanggaran. Penulis
mengatakan bahwa teorema Baye sederhana untuk dihitung. Ini membutuhkan
tiga bagian informasi. Yang pertama adalah P (yaitu tingkat dasar) atau Q (yaitu
tingkat nonresidivisme menurut sampel, yang sama dengan 1 minus P) pada
populasi induk yang mencakup interval usia (A) tempat pelaku berada. Informasi
lainnya adalah T (yaitu, proporsi residivis yang diidentifikasi oleh tes) dan F
(yaitu proporsi nonresidivis) untuk skor yang dicakup oleh C (yaitu nilai pada
rentang kritis). Suatu formula statistik diaplikasikan pada nilai-nilai ini.
Umumnya instrumen-instrumen residivisme cukup akurat pada kelompok usia
yang lebih muda karena mereka memiliki tingkat dasar yang paling besar. Metode
Bayesian membantu memperluas akurasi ini pada kelompok usia yang lebih tua.
Pengukuran aktuarial menjanjikan untuk menegakkan hubungan antara faktor
risiko dan pola pelanggaran (Macpherson, 2003; Doren, 2004).

25

Sementara

sejumlah

instrumen

aktuarial

penilaian

risiko

telah

dikembangkan untuk pelaku pelanggaran seksual usia dewasa, proses yang


sebanding untuk pelaku usia remaja, dengan satu atau dua pengecualian, tertinggal
jauh di belakang (Hunter, Hazelwood, dan Slesinger, 2000; Langstrom dan Grann,
1999). Peneliti JSO telah mencoba untuk mengkapitalisasi pada pencapaian
penilaian risiko dengan pelaku dewasa, tetapi ekstrapolasi tersebut memiliki batas
karena perbedaan perkembangan yang signifikan antara populasi dewasa dan
remaja. Tabel 14.8 menyajikan beberapa instrumen penilaian yang dijelaskan pada
literatur JSO. Penggunaan apapun dari instrumen ini harus jelas. Serupa dengan
hal tersebut, penggunaan instrumen perlu melibatkan klinisi untuk menjadi
sepenuhnya familiar dengan instrumen, keterbatasan spesifik dari tiap instrumen,
dan aplikasi klinis yang diniatkannya. Lietratur JSO mencakup sejumlah checklist
yang diajukan untuk penggunaan dengan JSO (Bremer, 2001; Christodoulides,
Richardson, Graham, Kennedy, dan Kelly, 2005; Epps, 1997; Perry dan Orchard,
1992a; Ross dan Loss, 1991). Tidak ada dari item-item ini, bagaimanapun, yang
memiliki data reliabilitas atau validitas yang tegak. Kami telah mengikutsertakan
Bremers Protective Factors Scale (PFS) dan alat penilaian risiko yang diajukan
Christodoulides et al. pada Tabel 14.8 sebagai contoh untuk checklist ini.
Dari berbagai instrumen yang dijelaskan pada Tabel 14.8, hanya dua yang
telah mendapat dukungan untuk penerimaan sebagai skala penilaian risiko
aktuarial yang berbasis empiris (Beech et al., 2002). Kedua skala ini adalah
Juvenile Sex Offender Protocol (J-SOAP; Prentky et al., 2000; Righthand,
Prentky, Knight, Carpenter, Hecker, dan Nangle, 2005), dan Estimate of Risk of
Adolescent Sexual Offender Recidivism (ERASOR; Worling dan Curwen, 2000).
Kami mencatat bahwa sebagian besar peneliti penilaian risiko menyarankan
penggunakan berbagai instrumen penilaian risiko dengan asumsi bahwa lebih
banyak lebih baik. Bagaimanapun, Seto (2005) telah menantang asumsi ini. Seto
menggunakan empat instrumen aktuarial dewasa yang tervalidasi (yaitu, VRAG,
SORAG, RRASOR, dan Static-99) dengan sampel 215 pelaku pelanggaran
seksual pria dewasa. Seto menyimpulkan, tidak ada kombinasi metode yang
memberi manfaat yang signifikan secara statistik atau konsisten over akurasi

26

prediktif dari skala aktuarial tunggal yang terbaik. Penulis mengenali sejumlah
keterbatasan pada studi ini yang dimulai dengan kemiripan pada derivasi dan isi
dari keempat instrumen. Akibatnya, temuan-temuan ini memunculkan pertanyaan
tentang inefisiensi praktik berupa pemberian instrumen penilaian risiko multipel.
J-SOAP terdiri atas empat faktor dan diringkas pada Tabel 14.9. Menurut
Worling (2004), J-SOAP dirancang sehingga koding dapat dilakukan dari data
arsip, dan karenanya, sebagian besar item di dalamnya bersifat statis, yaitu,
bersifat historis. Karena hal ini, J-SOAP tidak sensitif terhadap perubahan yang
disebabkan oleh terapi khusus pelanggaran dan kami mencatat bahwa hal-hal
tersebut memang bukan merupakan tujuan dari J-SOAP. Prentky et al. (2000)
menyatakan bahwa J-SOAP adalah kontribusi awal untuk penilaian risiko dengan
JSO dan diperlukan penelitian lebih lanjut untuk menghasilkan instrumen yang
valid. Sejak itu penulis telah memperbaharui protokol menjadi versi II (J-SOAPII; Righthand et al., 2005). Langkah pertama dalam menggunakan protokol adalah
penentuan tingkat perkembangan kognitif pelaku. J-SOAP berguna dengan
pemuda paling muda hingga 10 tahun dalam hal kemampuan kognitif. Karenanya,
bisa saja terdapat remaja yang kemampuan kognitifnya kurang dari 10 tahun dan
penggunaan J-SOAP akan menjadi tidak tepat.

27

28

ERASOR dikembangkan untuk sensitif terhadap perubahan faktor risiko


pelaku akibat dampak terapi. ERASOR dikembangkan dengan cara yang serupa
dengan instrumen dewasa SVR-20; keduanya adalah pendekatan penilaian risiko
penilaian klinis yang dipandu secara empiris. Dalam mengkarakterisasi ERASOR,
Worling (2004) menyatakan, Lebih jauh lagi tujuan kami adalah untuk
menghasilkan alat yang dapat membantu klinisi untuk menilai variabel-variabel
dinamis, atau potensial berubah yang akan menjadi target pada terapi khusus
untuk remaja dan keluarganya. ERASOR dirancang untuk digunakan pada remaja
putra dan putri usia 12 hingga 18 tahun. Karena penilaian dilakukan oleh klinisi,
ERASOR dapat berguna dengan pelaku yang secara perkembangan lebih muda
dari 12 tahun. Dari 25 faktor risiko pada ERASOR, 16 bersifat dinamis; faktorfaktor risiko dinamis membutuhkan penilaian ulang sesuai perjalanan waktu atau
perubahan perilaku yang bermakna.

29

Tabel 14.10 menyajikan outline dari item-item ERASOR. Kami


menekankan bahwa data pada Tabel 14.9 dan 14.10 hanya memberi pembaca
gambaran superfisial dan skala J-SOAP dan ERASOR. Penggunaan aktual skala
membutuhkan pembacaan dan pemahaman yang teliti dari definisi penulis asli dan
kriteria skoring yang eksplisit. Penulis mencatat bahwa menurunkan suatu
estimasi akhir dari risiko (yaitu, rendah, sedang, atau tinggi) dengan
ERASOR adalah masalah penilaian klinis. Ini karena, saat ini, tidak ada algoritma
spesifik untuk menjumlahkan faktor-faktor risiko yang teridentifikasi. Penilaian
klinis dengan ERASOR perlu didasarkan pada kajian dari kombinasi faktor-faktor
risiko dan bukannya hanya berdasarkan jumlah faktor risiko. Untuk dapat
dianggap valid secara empiris, suatu instrumen penilaian risiko perlu berbasis
aktuarial dan telah menunjukkan validitas internal dan eksternal. Selain itu,
instrumen perlu memiliki reliabilitas pada berbagai pengguna dan pada pemberian
pada replikasi longitudinal.

30

Karakteristik pelaku pelecehan seksual berusia remaja sesuai


bukti empiris
Tabel 14.11 memberi kajian dari riset berbasis bukti yang terbaru dengan JSO.
Tabel 14.12 memberi kajian karakteristik pemrosesan hukum dari JSO.

31

Poin-poin dasar yang perlu dipertimbangkan pada penilaian


klinis/forensik
Konsekuensi evaluasi klinis/forensik dari JSO dapat mengubah hidup baik secara
negatif maupun positif. Klinisi harus waspada dalam mengenali signifikansi
dampak potensial di masa depan dari JSO yang diseimbangkan dengan kebutuhan
32

yang mutlak untuk melindungi masyarakat. Poin-poin dasar lainnya yang perlu
dipertimbangkan ketika bekerja dengan JSO adalah sebagai berikut:
1. Seperti kerja klinis spesialis apapun, klinisi harus memiliki kompetensi
pada area kelancaran dengan cara pelatihan, supervisi, riset, atau
kombinasi dari semuanya. Beban tanggung jawab untuk menunjukkan
kompetensi adalah pada klinisi. Dengan JSO, terutama, klinisi harus
memiliki keahlian dalam penilaian remaja dan keluarganya. Keluarga juga
perlu memiliki pelatihan dan pengalaman terkait penilaian dan manajemen
agresi seksual.
2. Ketika melakukan kerja forensik, sangat penting bagi klinisi untuk
mengetahui peran pastinya dan membuat upaya yang terorganisir untuk
mempertahankan batas peran tersebut. Klinisi juga harus berkomunikasi
semenyeluruh mungkin, dan sesering kebutuhan, tentang peran penilaian
pada pelaku remaja dan orang tuanya. Ketika melakukan kerja forensik,
terdapat banyak sekali poin kepentingan dan pemain yang berkompetisi
sehingga klinisi dapat dengan mudah tergoda untuk mengkompromikan
masalah peran atau batas. Misalnya, seorang klinisi dapat menyelesaikan
penilaian yang diperintahkan pengadilan pada pelaku remaja. Semua pihak
yang berhubungan dapat dibuat senang dengan kerja klinisi. Belakangan,
sebagai bagian dari disposisi, terdapat undangan bagi penilai forensik
untuk terlibat dalam peran menterapi pada pelaku. Ini tidak tepat secara
profesional dan etis karena klinisi sebelumnya telah berada pada peran
yang objektif, penilai netral, dan batas dari peran tersebut tidak seharusnya
dihilangkan karena adanya peran yang baru. Kekhawatiran yang mendasar
adalah bahwa perubahan pada peran klinisi dapat membingungkan JSO
dan keluarganya sehingga mengurangi efektivitas terapi.
3. Sebagai tindak lanjut dari poin di atas, jika klinisi melakukan evaluasi
yang diperintahkan pengadilan terhadap JSO, klinisi harus secara eksplisit
menunjukkan bahwa mereka tidak melayani dalam kapasitas terapi; klinisi
bukan, dan tidak akan, menjadi terapis pelaku remaja.

33

4. Kami telah menekankan di sepanjang bab bahwa penilaian yang tepat dari
tertuduh pelaku pelecehan seksual usia remaja harus mengakses sebanyak
mungkin domain fungsi yang mungkin. Selain informasi klinis dan
perkembangan yang umum, penilaian JSO perlu mencakup kajian domain
riwayat kesehatan fisik, riwayat psikoseksual, keluarga, intrapersonal, dan
interpersonal.
5. Pengumpulan data dengan JSO juga harus mencakup data dari sebanyak
mungkin sumber penilaian sejauh yang dianggap relevan. Secara
minimum, ini akan mencakup wawancara klinis, tes dan instrumen
psikologis, observasi perilaku (pada berbagai latar jika memungkinkan),
dan kajian menyeluruh dari semua informasi rujukan termasuk laporan
terdahulu dan catatan kasus.
6. Dapatkan informasi dari sebanyak mungkin sumber kolateral yang
dianggap relevan. Ini akan meliputi, tetapi tidak terbatas pada pelaku,
keluarga pelaku, polisi, petugas pembinaan remaja, petugas masa
percobaan, pekerja kasus kesejahteraan anak, dan tenaga profesional lain
yang terlibat secara kolateral. Akhirnya, kami akan menekankan nilai-nilai
mewawancara korban dan anggota keluarganya. Sayangnya, ini tidak
selalu mungkin dilakukan karena berbagai alasan, di antaranya pengacara
korban keberatan terhadap praktik tersebut. Satu dari pendekatan terbaik
adalah untuk mencoba mengedukasi hakim anak tentang pentingnya
memiliki akses pada korban secara klinis/forensik. Jika kebutuhan sudah
dipahami, pada situasi yang tepat, hakim dapat bertanya pada korban jika
mereka mau menjadi bagian dari evaluasi. Korban dapat memberi tilikan
yang sangat bermakna pada upaya penilaian risiko.
7. Klinisi perlu tetap up to date dengan riset estimasi risiko yang sedang
berlangsung dengan JSO. Penulis mencatat bahwa, saat ini sebagian besar
riset estimasi risiko terus dilakukan dengan pelaku pelecehan seksual
dewasa. Klinisi perlu memahami riset ini juga, tetapi tetap hati-hati
tentang aplikasinya pada JSO.

34

8. Penting untuk sadar tentang koefisen reliabilitas dan validitas pada


instrumen penilaian risiko juga dengan riset longitudinal yang aplikatif.
Pada saat ini, data terkait JSO tidak banyak, dan keadaan ini perlu
disebutkan pada laporan tertulis dan kesaksian ahli.
9. Satu bagian dari tiap penilaian risiko adalah pertimbangan data dari
instrumen risiko aktuarial yang tervalidasi.
10. Klinisi perlu menyadari bahwa instrumen penilaian risiko, terutama yang
menggunakan faktor-faktor dinamis akan terbatas waktu terkait dengan
periode aplikasi. Penilaian risiko manapun dapat menjadi kadaluarsa
dibandingkan perubahan pada faktor risiko; instrumen lain atau faktor
risiko lain dapat lebih kuat.

Menghindari kesalahan evaluasi dan konsultasi


Sebagian besar pertimbangan ini terkandung pada diskusi yang terus berlanjut
terkait poin-poin dasar. Masalah yang penting di sini adalah untuk menghindari
kesalahan yang akan menurunkan atau menyangkal temuan dan opini klinisi.
Seperti yang sudah kami coba ilustrasikan, ini agak mudah untuk dicapai dengan
pemikiran ke depan dan pendekatan yang hati-hati. Bagian dari tiap pelatihan
pengacara adalah belajar bagaimana untuk menghadapi saksi ahli. Strategi studi
primer dari banyak pengacara adalah untuk menantang kesaksian ahli sebagai
upaya untuk meminimalisir dampaknya pada trier fakta. Selanjutnya, penggunaan
saksi ahli telah menjadi salah satu upaya utama, seacar nasional, finansial. Untuk
sebagian besar klinisi, bagaimanapun, keterlibatan pada proses pengadilan terkait
JSO relatif lebih banyak dilakukan.
Titik awal dari praktik profesional dalah untuk berpraktik dalam area
kompetensinya. Area-area kompetensi profesional yang terbatas harus dikenali
segera. Ini adalah strategi yang memungkinkan pegacara untuk menyudutkan
dokter ketika berada di bilik saksi. Jika ini terjadi, pengacara akan memposisikan
ahli sebagai orang yang berupaya menyembunyikan masalah-masalah dan
karenanya menunjukkan keperluan konsultasi tambahan sedini mungkin pada
pemain-pemain utama dalam kasus. Kecuali pada kasus yang banyak diekspos,
35

rekomendasi tersebut biasanya akan dilewatkan karena biaya, tetapi klinisi dapat
selalu menunjukkan agar keterbatasan tidak menjadi masalah, dan membuat
rekomendasi remedial selama tahap awal upaya penilaian.
Basis data klinisi harus komprehensif dan dapat dipahami dengan baik.
Seringkali basis data ideal tidak bisa didapat karena biaya atau ketidakmampuan
individu kunci. Sekali lagi, kesadaran tentang keadaan ini dan batasan yang
diberikan pada temuan-temuan ahli perlu dipahami. Pembahasan kami pada
bagian sebelumnya terkait mengakses informasi secara langsung dari korban
merupakan contoh bagus dari sumber data yang tidak selalu dapat diakses.
Meskipun begitu, klinisi harus mampu menyatakan bahwa ini akan menjadi
bagian yang diperlukan dari basis data, dan memberikan alasan kenapa saat ini
data tersebut tidak bisa didapat.
Penggunaan tes-tes dan istrumen psikologis harus bijaksana dan memiliki
dasar yang kuat, dan klinisi perlu hati-hati tentang bagaimana data ini
digabungkan dalam temuan dan rekomendasi dan keterbatasan apa yang ada.
Harapan yang umum adalah bahwa ahli forensik akan membantu juri untuk
mencapai temuan yang bermakna terkait keterlibatan JSO pada situasi saat
kejadian, dan kemudian membantu pertimbangan disposisional.
Rencana manajemen yang direkomendasikan cenderung realistik dalam hal
kebutuhan klinis JSO dan terkait sumber daya yang tersedia dan dapat diakses.
Dengan anak dan remaja, ini selalu berarti mempertimbangan kepentingankepentingan orang tua dan konstelasi keluarga. Seringkali pada situasi ini,
persepsi keluarga akan bervariasi dari yang diindikasikan secara klinis. Meskipun
begitu, sebagian besar keluarga akan menghargai upaya untuk setidaknya
mengenali keterlibatan mereka juga minat mereka atas nama JSO.Penting juga
untuk

menyeimbangkan

presentasi

dari

rencana

disposisional

yang

direkomendasikan dengan aset atau kekuatan apapun yang dapat dimiliki JSO.
Laporan tertulis/kesaksian ahli perlu menunjukkan sensitivitas pada fakta bahwa
pelaku adalah anak/remaja yang dapat melakukan tindakan serius berupa tingkah
laku seksual yang salah, tetapi bahwa pada masa muda pelaku, tetap ada harapan
untuk rehabilitasi dan masa depan yang menyeluruh.

36

Pertimbangan terapi
Seringkali sulit untuk melibatkan JSO dalam terapi terutama ketika korban jauh
lebih muda (Dolan dan Fullam, 2005; Efta-Breitbach dan Freeman, 2004b; Perry
dan Orchard, 1992b; Seager et al., 2004). Terdapat berbagai alasan untuk hal ini,
tetapi yang utama adalah dinamika tabu budaya yang berhubungan dengan
pelanggaran seksual pada anak yang berusia lebih muda. Beberapa klinisi dapat
terganggu dengan pikiran untuk menggunakan penetapan pengadilan untuk
melibatkan pelaku dalam terapi. Namun dengan JSO, ini biasanya merupakan
taktik yang efektif dan diperlukan, dan klinisi perlu menyambut bantuan kolateral
dari pengadilan dengan populasi ini.
Telah ada penelitian yang berupaya mengidentifikasi masalah-masalah
yang membuat kondusif bagi JSO untuk mengenali kompleksitas pelanggaran
seksual, tetapi sebagian besar JSO akan terlibat pada penyangkalan atau hanya
sebagian yang menyadari kesalahannya (Faller et al., 2001). Masalah terapi awal
yang umum dengan JSO adalah klaim amnesia tentang keadaan saat perbuatan
terjadi. Intervensi terapi untuk mengatasi masalah ini telah dijelaskan (Marshall,
Serran, Marshall, dan Fernandez, 2005; Serran dan Marshall, 2005). Tujuan terapi
yang paling utama dengan JSO adalah mencegah residivisme (Marshall dan
Serran, 2000). Terapi JSO dimulai dengan identifikasi yang tepat terkait pola
rangsangan seksual yang menyimpang dan diagnosis adanya psikopatologi
komorbid pada JSO (Firestone, Bradford, Greenberg, dan Serran, 2000).
Secara historis, berbagai pendekatan terapi telah dijelaskan untuk JSO
(Becker, Harris, dan Sales, 1993; Camp dan Thyer, 1993; Erti dan McNamara,
1997; Flora, 2001; Freeman-Longo, Bird, Stevenson, dan Fiske, 1995; Kaplan,
Morales, dan Becker, 1995; Morenz dan Becker, 1995; Pecker, 1990; Pithers dan
Gray, 1998; Schwartz, 2003; Seabloom et al., 2003; Weinrott, Riggan, dan
Frothingham, 1997). Pendekatan terapi untuk para korban kekerasan seksual juga
telah dijelaskan (Pharris dan Nafstad, 2002).
Modalitas terapi yang awalnya diajukan untuk JSO adalah adaptasi
pendekatan terapi yang terkenal sejak bertahun-tahun lalu untuk masalah-masalah
klinis yang dianggap menonjol untuk JSO, misalnya, pendekatan terapi untuk
37

adiksi dan perilaku agresif, juga menegakkan pendekatan terapi untuk pelaku
pelanggaran seksual dewasa. Modalitas populer lain yang diajukan adalah terapi
kelompok, kelompok pertemuan, kelompok keluarga multipel, terapi sendiri,
pengkondisian Pavlov, dan restrukturisasi kognitif. Saat ini, sebagian besar
aplikasi terapi ini tidak digunakan karena tidak efektif untuk populasi JSO.
Sebagian besar program terapi kontemporer untuk laporan JSO
menggunakan pendekatan kognitif perilaku (Kolko, Noel, Th omas, dan Torres,
2004; Winick dan La Fond, 2003). Untuk kajian historis tentang pendekatan
kognitif dan perilaku seperti digunakan untuk pelaku pelanggaran seksual, lihat
Laws dan Marshall (2003) dan Marshall dan Laws (2003).
Pada tahun 1987, Davis dan Leitenberg menjelaskan tujuan terapi primer
untuk bekerja dengan JSO. Meskipun kadaluarsa pada beberapa hal, inti dari
tujuan-tujuan ini masih tetap relevan hingga kini, yang diringkas sebagai berikut:
a. Menurunkan penyangkalan dan meningkatkan penerimaan tanggung jawab
untuk

pelanggaran

seksual,

termasuk

penggunaan

teknik-teknik

konfrontasi kelompok sebaya.


b. Meningkatkan pemahaman pemuda tentang dampak tindakannya pada
korban.
c. Memberi tilikan untuk motif spesifik dan kejadian-kejadian yang
sebelumnya yang mempresipitasi pelanggaran seksual.
d. Jika diperlukan, fokus pada konseling tentang pengalaman viktimisasi
seksual pelaku remaja sendiri.
e. Pendidikan tentang seksualitas manusia, nilai-nilai seksual, dan peran jenis
kelamin
f. Penggunaan teknik-teknik untuk mengeliminasi pola rangsangan dan
fantasi menyimpang, termasuk berbagai prosedur rekondisi masturbasi dan
prosedur pengkondisian aversif.
g. Restrukturisasi kognitif di sekitar dasar kepercayaan dan mitos destruktif
yang berhubungan dengan pemerkosaan dan kekerasan seksual pada anak.
h. Pelatihan keterampilan interpersonal, berkencan, dan sosial. Pelatihan
manajemen kemarahan dan mengungkapkan pendapat.

38

i. Menggunakan terapi keluarga untuk mendukung perilaku pengasuhan


yang positif dan untuk reintegrasi pelaku dalam keluarga (mis. pada kasus
inses)
Bunston (2000) menjelaskan bahwa banyak pelaku pelecehan seksual usia remaja
memiliki pengenalan terdistorsi yang mereka gunakan untuk membenarkan
perilakunya yang tidak layak. Distorsi ini mencakup sistem kepercayaan di mana
pelaku dapat secara magis menghubungakan perilaku mereka pada beberapa
kesalahan atau kecerobohan pada korban (Ward, Hudson, Johnston, dan Marshall,
1997). Satu metode untuk mengidentifikasi dan memantau distorsi ini adalah
melacak fantasi seksual JSO (Aylwin, Reddon, dan Burke, 2005). Strategi-strategi
terapi harus mencakup restrukturisasi distorsi ini. Terapi juga perlu memfasilitasi
kemampuan JSO untuk mengalami penyesalan dan untuk mengalami empati pada
masalah korban (Marshall, OSullivan, dan Fernandez, 1996).
JSO biasanya membutuhkan banyak layanan kolateral selain terapi inti
yang khusus untuk pelanggaran seksual. Layanan ini dapat meliputi berbagai
modalitas psikoterapi, edukasional, dan rekreasional. Selain itu, terapi kolateral
dapat meliputi terapi penyalahgunaan zat, manajemen kemarahan, terapi keluarga,
dan terapi psikofarmakologi. Banyak JSO menunjukkan masalah dengan ekspresi
kemarahan, kontrol kemarahan, dan impuls sadistik dan akan membutuhkan terapi
yang khusus untuk masalah-masalah ini (Myers dan Monaco, 2000; Poirier, 1984,
1999a).
Kerja dengan populasi umumnya juga melibatkan upaya manajemen kasus
yang kuat dengan sumber daya kolateral yang tak terhitung. Selain itu, sumber
daya kolaboratif untuk klinisi dapat melibatkan petugas percobaan dan
pembebasan bersyarat. Bagaimanapun, terdapat kontroversi tentang derajat
partisipasi aktual yang bisa dan sebaiknya dilakukan PO dalam modalitas terapi,
misalnya pada sesi terapi kelompok sebaya atau modalitas terapi lainnya
(McGrath et al., 2002).
Yang penting untuk proses terapi dengan JSO adalah aliansi terapetik yang
bermakna antara pelaku dan terapis. Terapi yang efektif dengan JSO diperkuat
oleh pertemuan kolaboratif dari gaya terapis dan persepsi pelaku tentang terapis

39

(Marshall et al., 2003, 2005). Teknik-teknik kognitif perilaku efektif dalam


menyasar masalah-maslaah distorsi kognitif JSO, memungkinkan JSO untuk
mencapai rasa empati bagi korban, dan meningkatkan motivasi pelaku untuk
mengadopsi ekspresi seksualitas yang matang (Serran, Fernandez, Marshall, dan
Mann, 2003).
Marshall dan koleganya mengeksplorasi masalah kualitas terapis yang
dianggap efektif untuk terapi dengan JSO. Gambaran yang umum dari terapis
seperti empati, kehangatan, dan bersifat mengarahkan dianggap membawa
perubahan yang diinginkan (Serran et al., 2003). Meskipun konfrontasi agresif
pernah dianggap sebagai hal yang penting dalam bekerja dengan pelaku seksual
dewasa, ini tidak efektif dengan JSO (Marshall et al., 2003). Terapi keluarga
adalah komponen penting lain dari terapi JSO meskipun tidak selalu dari awal
(Kolko et al., 2004). Satu masalah adalah bahwa merupakan keharusan untuk
membahas selama terapi keluarga tentang riwayat keluarga antar generasi apapun
untuk perilaku JSO (Faller, 1989b; Janus dan Walbek, 2000). Kami akhirnya
berkomentar bahwa terapi JSO pada latar komunitas (dan bukannya dengan
penempatan pada fasilitas koreksional dan residensial) membawa harapan bahwa
penjagaan keamanan publik akan diberlakukan (Douglas dan Skeem, 2005;
Tarasoff v. Regents of California, 1976).

Menulis laporan forensik dan bertindak sebagai saksi ahli


Penulisan laporan forensik dan menjadi saksi ahli adalah keterampilan yang perlu
dipelajari. Kesaksian ahli harus mengikuti prosedur etis yang aplikatif; harus
didasarkan pada basis data yang kuat dan berbasis empiris; dan harus kreatif dan
persuasif. Hal ini adalah campuran harapan yang rumit. Memenuhi harapanharapan ini dapat merupakan tantangan bagi klinisi forensik untuk menguasainya
secara konsisten.
Klinisi harus ingat masalah legal yang utama (misalnya rasa bersalah,
kesesuaian untuk ditahan, tingkat bahaya, dll.) adalah hak prerogatif pengadilan.
Hukum memiliki sejarah panjang tentang apa yang menyusun norma pada ruang
sidang dan apa peran para pemain di ruang sidang (Heilbrun, 2001). Penulis telah
40

menghadapi berbagai situasi di mana ahli berupaya melewati otoritas legal ini.
Perlu disadari bahwa opini ahli tidak sama dengan membuat penentuan legal
akhir. Dari perspektif legal, tujuan primer dari kesaksian ahli adalah untuk
mengedukasi para pelaku hukum tentang fakta-fakta yang tidak secara umum ada
untuk orang awam. Ahli yang menyimpang dari hal ini tidak akan membantu
pengadilan dan tidak juga merepresentasikan disiplin profesionalnya dengan baik.
Kontribusi ahli dari awal hingga akhir harus merepresentasikan respek terhadap
tradisi panjang pertemuan legal/kesehatan jiwa; isi dan nada laporan dan
kesaksian forensik harus selalu mempertimbangkan area-area sensitif ini. Jika ahli
berada di bangku saksi, sudah terlambat untuk membatalkan apa yang telah
menjadi kecerobohan atau arogansi ketika menulis laporan.
Mungkin contoh paling baik untuk berupaya memberi satu opini yang
dapat dipercaya, sambil pada saat yang sama mempertahankan keseimbangan
kontrol yang tepat adalah pada aspek estimasi risiko. Pada bab ini, kami telah
berupaya menegaskan sifat tentatif empiris dari penilaian risiko secara umum dan
dengan instrumen khusus terkait JSO. Penilaian risiko telah mengalami
perkembangan yang kuat dan cepat, tetapi tetap jauh dari akurasi mendekati 90%
(yaitu, mendekati tingkat bukti legal yang tidak dapat diragukan secara akal
sehat).
Klinisi forensik perlu mengingat bahwa derajat kebebasan yang
terkandung dalam bidang riset alat-alat penilaian risiko secara fundamental
berbeda dari membawa data penilaian risiko ke ruang sidang. Bahasa laporan
forensik harus memiliki ketepatan dan idealnya berasal dari skema yang dipegang
oleh komunitas ilmiah. Saat ini, temuan-temuan penilaian risiko yang terbaik
hanya dapat dijelaskan menggunakan istilah-istilah kualitatif, yang menghindari
implikasi ketepatan logaritmik (misalnya, risiko minimal, risiko sedang, dll.).
Pilihan lain adalah untuk mencatat serangkaian faktor risiko berbasis empiris yang
ditunjukkan oleh JSO, yang oleh riset telah dikenali sebagai indikator untuk risiko
JSO.

41

Aplikasi baru dari bukti dan pengetahuan forensic


Terdapat riset neuropsikologis yang semakin banyak pada pelaku kriminal
dewasa. Data menunjukkan bahwa sejumlah besar populasi ini menunjukkan
defisit neuropsikologis. Temuan yang umum adalah adanya disfungsi fungsi
eksekutif lobus frontalis. Veneziano, LeGrand, dan Richards (2004) melaporkan
temuan-temuan yang serupa dengan subkelompok pelaku pelanggaran berusia
remaja dan JSO. Temuan ini memiliki potensi untuk implikasi nyata untuk bekerja
dengan populasi ini. Terdapat juga riset yang semakin banyak untuk neurobiologi
perilaku agresif (de Almeida, Ferrari, Parmigiani, dan Miczek, 2005; Gollan, Lee
dan Coccaro, 2005; Goodman, New, dan Siever, 2004; Turecki, 2005). Baumbach
(2002) menunjukkan bahwa JSO yang memiliki riwayat paparan alkohol prenatal
dapat membutuhkan modifikasi strategi terapi. Studi-studi neurobiologis di masa
depan dengan JSO akan cenderung memberi penjelasan lebih lanjut pad hipotesis
Baumbach terutama terkait prevalensi dan dampak dari paparan alkohol fetus
dengan JSO. Penulis mengantisipasi bahwa riset neuropsikologis di masa depan
akan memiliki dampak signifikan pada strategi penilaian dan intervensi dengan
JSO.
Kami telah berkomentar pada masalah khusus berupa distorsi dan
penipuan ketika bekerja dengan upaya penilaian dengan JSO (Hall dan Poirier,
2001). Peneliti psikologis telah mengalami efek-efek distorsi (baik disengaja
maupun tidak disengaja) ketika berupaya untuk menilai kepercayaan yang
menstigma secara sosial (misalnya chauvinisme, homofobia, rasisme, dan
penyerangan seksual). Subjek cenderung tidak memberi respons objektif pada
riset yang membahas topik-topik tersebut, sehingga menyebabkan distorsi temuan.
Berbagai upaya untuk mengatasi masalah ini, juga teknik-teknik untuk mengukur
kepercayaan dengan sarana indirek atau implisit telah banyak dikembangkan.
Gray, Bravn, MacCulloch, Smith, dan Snowden (2005) menjelaskan suatu upaya
pendahuluan dengan penggunaan mode implisit pada pedofil dewasa. Subjek
melihat stimulus kata-kata yang bersifat kontrol dan target. Kata stimulus
disajikan sebagai pasangan yang berhubungan pada suatu layar komputer, dan
subjek diminta untuk mengklasifikasikan kata-kata tersebut sebagai seks atau
42

bukan seks secepat mungkin. Waktu reaksi dan kesalahan dianalisis secara
statistik. Temuan-temuan menunjukkan bahwa subjek pedofil menunjukkan
hubungan yang lebih tinggi antara anak dan seks dibandingkan dengan pelaku
nonpedofil yang menunjukkan hubungan antara dewasa dan seks. Pendekatan ini
dapat menjanjikan untuk diterapkan (yaitu pada konteks nonforensik) dengan JSO
pada suatu upaya untuk membahas masalah kecenderungan subjek untuk salah,
yang selalu menghambat upaya evaluasi dan terapi.
Prescott (2004) mencatat pentingnya bagi klinisi dan peneliti untuk
mempertahankan fokus pada kelancaran perkembangan remaja. Contoh yang
penting dari hal ini adalah nonlinearitas pertumbuhan neurobiologis. Di masa
depan, riset neuropsikologis dapat memberi lebih banyak keterangan pada
idiosinkrasi perkembangan ini. Sementara ini, upaya untuk memahami JSO dalam
bingkai kerja kolektif dapat tidak mencerminkan kejadian perkembangan aktual
oleh JSO secara individual.
Penilaian risiko dengan populasi JSO sedang berada pada tahap yang
paling awal dari perkembangan. Kami berharap masa depan untuk membawa
semakin banyak pembaharuan seiring semakin dikembangkannya strategi-strategi
riset. Misalnya, instrumen penilaian risiko akan dikembangkan secara khusus
utnuk kelompok usia remaja yang berbeda. Instrumen-instrumen yang secara
khusus dapat digunakan untuk populasi JSO juga akan semakin dikembangkan.
Dapat dipahami bahwa instrumen yang ada saat ini untuk JSO pria akan dapat
diterapkan, atau diadaptasi untuk JSO perempuan; bisa saja diperlukan instrumen
yang sepenuhnya baru. Masalah ini ada sebagian karena menurut data yang ada,
JSO laki-laki secara signifikan melebihi JSO perempuan (Greenfield, 1997;
Snyder, 2000; Stroud, Martens, dan Baker, 2000). Selain itu, terdapat perbedaan
antar jenis kelamin pada ekspresi agresi (Archer, 2004). Faktor lain yang mungkin
berperan adalah bahwa sistem hukum secara umum masih enggan untuk
memenjarakan pelaku perempuan dari usia berapapun dibandingkan pelaku lakilaki. Kenyataan ini memiliki efek menekan yang nyata pada jumlah JSO
perempuan yang teridentifikasi (Schwartz and Cellini, 1995). Kami juga
mengantisipasi bahwa masa depan akan mengarah pada pengembangan instrumen

43

penilaian risiko untuk populasi khusus lainnya misalnya JSO yang mengalami
retardasi mental, kecatatan fisik, dan gangguan jiwa (Broxholme dan Lindsay,
2003).
Tidak seperti bentuk lain dari pelanggaran oleh pelaku usia remaja, saat ini
tidak ada program dukungan berbasis komunitas untuk mengintegrasikan JSO
kembali ke hidup yang normal di masyarakat (Faller dan Henry, 2000; Poirier,
1998). Meskipun situasi ini secara historis dan budaya dapat dipahami, hal ini
merupakan hambatan penting untuk JSO dan keluarganya yang mungkin berupaya
mencari terapi. Masalah ini bahkan lebih besar untuk pedofil dewasa yang harus
puas dengan register pelaporan pelaku dan daftar website. Karena dorongan vonis
legal yang dilaksanakan baru-baru ini, JSO tertentu juga akan berurusan dengan
daftar register. Poin kami di sini, tentunya, tidak untuk menyarankan bahwa
komunitas untuk bersikap tenang terkait pelecehan dewasa maupun remaja. Justru,
kami mencoba untuk menyarankan bahwa pada JSO, utamanya, sebagian solusi
terletak pada tingkat komunitas, yang merupakan asal masalah. Mungkin masa
depan akan membawa penerimaan yang beralasan dan bijak oleh masyarakat
ketika hal ini sudah ditempatkan dengan tepat.

44

Anda mungkin juga menyukai