Daftar isi
Sinopsis kasus
Pendahuluan
Kasus legal terkait
Pertimbangan etis dan moral praktis
Mengupayakan metode dan aplikasi berbasis empiris
Penilaian diagnostik
Penilaian risiko
Karakteristik pelaku pelecehan seksual berusia remaja sesuai bukti empiris
Poin-poin dasar yang perlu dipertimbangkan pada penilaian klinis/forensik
Menghindari kesalahan evaluasi dan konsultasi
Pertimbangan terapi
Menulis laporan forensik dan bertindak sebagai saksi ahli
Aplikasi baru dari bukti dan pengetahuan forensik
Sinopsis kasus
Pengadilan anak menemukan bahwa Peggy yang berusia 17 tahun terlibat dalam
tindakan pelecehan seksual pada anak. Peggy berkulit putih, dan tidak naik kelas
saat kelas satu SMA. Ia tinggal dengan keluarganya di perumahan kelas
menengah ke atas di tepi kota. Korbannya adalah seorang gadis hispanik 11 tahun
bernama Maria yang tinggal di area perumahan miskin dengan neneknya dari
pihak ibu dan dua sepupu yang lebih muda, yang dirawat oleh neneknya.
Lingkungan sekitar mereka memang memungkinkan untuk saling berinteraaksi.
aktivitas
seksual
yang
tidak
layak
dengan
Peggy.
Konselor
Pendahuluan
Bab ini berfokus pada masalah remaja yang melakukan kekerasan atau pelecehan
seksual. Upaya penanganan masalah pelanggaran seksual oleh remaja terus
menjadi masalah yang melelahkan dan mahal pada masyarakat kontemporer
(Andrade, Vincent, dan Saleh, 2006; Barbaree, Blanchard, dan Langton, 2003;
Barbaree dan Marshall, 2006; Broxholme dan Lindsay, 2003; Gerardin dan
Thibaut, 2004; Murphy, DiLillo, Haynes, dan Steere, 2001; Poirier, 1999b, 2005;
Ryan, 1997; Seager, Jellicoe, dan Dhaliwal, 2004). Riset berkelanjutan telah
semakin memperjelas bahwa masalah ini kompleks dan akan membutuhkan upaya
multimodal sehingga tiap kasus dapat berlangsung lama (yaitu kira-kira 36 bulan)
dan memakan biaya. Untuk referensi komprehensif terkait masalah pelanggaran
seksual oleh remaja, lihat Craig, Smith, Hayler, dan Pardie (1999) dan Smith,
Craig, Loose, Brodus, dan Kimmelman (2002). Masalah pelanggaran seksual oleh
remaja adalah hal yang berat seperti dicerminkan dalam jumlah korban; data
dijelaskan di bawah. Derajat masalah dicerminkan pada totalitas trauma yang
2
disebabkan oleh viktimisasi (Hunter, 2000; Barbaree dan Marshall, 2006). Jumlah
sebenarya dari pelaku pelecehan seksual usia remaja (juvenile sex offender, JSO)
tidak diketahui karena banyak sekali kriminalitas tidak dilaporkan; data untuk
kasus-kasus yang dilaporkan dijelaskan di bawah.
Istilah juvenile sex offender adalah konsep legal dan bukan merupakan
suatu terminologi klinis. Sejarah pengetahuan terkait parafilia seksual cenderung
terdistorsi karena masalah-masalah terkait definisi, tabu secara budaya, dan proses
hukum. Selama 20 tahun terakhir, pemeriksaan legal semakin meningkat baik
untuk pelaku pelecehan seksual berusia dewasa maupun remaja. Sistem hukum
juga telah memberi sanksi dan penalti legal yang semakin lama semakin berat
untuk pelaku (Letourneau dan Miner, 2005). Sejarah keterlibatan layanan
kesehatan jiwa pada kasus hukum terkait aturan predator seksual juga bersifat
panjang dan kompleks (untuk kajian, lihat American Psychiatric Association,
1999).
Pelecehan seksual pada anak oleh pelaku dari usia berapapun bersilangan
dengan tabu moral dan sosial yang bersifat nyaris universal. Tabu ini memberi
dampak luas pada pendekatan terhadap masalah pelecahan seksual anak oleh
sistem hukum dan kesehatan jiwa (Poirier, 1999c). Selama awal 1990an,
pertemuan
peradilan
pidana/kesehatan
jiwa
tidak
menunjukkan
banyak
Tabel 14.2 menunjukkan data yang khusus untuk pelaku pelecehan sesual
usia remaja.
Tabel 14.3 menyajikan kemungkinan sampel data profil korban/pelaku
berdasarkan data statistik NIBRS. Data ini digunakan peneliti untuk menentukan
faktor-faktor risiko yang berhubungan dengan kecenderungan pengulangan
tindakan.
dengan
stress.
Peningkatan
praktik
masturbasi
meningkatkan
kecenderungan bahwa fantasi seksual akan secara bertahap memasukkan elemenelemen kekuatan dan kontrol. Harga diri yang buruk adalah faktor yang
berhubungan dengan riwayat JSO. Dinamika ini menjadi latar untuk pola
rangsangan seksual yang menyimpang pada JSO (Hunter dan Becker, 1994;
Kaermingk, Morales, Becker, dan Kaplan, 1995).
Menurut model etiologis Marshall, seiring waktu, fantasi pelaku menjadi
semakin menyimpang. Ketika sensasi nilai pelaku dan batasan sosial yang
dimilikinya menjadi terhambat karena alasan tertentu (misalnya tekanan sebaya,
penyalahgunaan zat, aktivitas geng, adanya korban oportunis, dll.), kecenderungan
pelanggaran seksual menjadi lebih mendesak. Paparan perkembangan awal pada
keluarga yang abusif oleh pelaku potensial akan menginduksi sindrom hendaya
7
sosial (Barbaree et al., 1998). Penulis menjelaskan faktor risiko komorbid untuk
JSO mencakup kurangnya kelekatan dengan orang dewasa yang sehat, harga diri
yang rendah, dan partisipasi pada berbagai perilaku antisosial. Karena
ketidakmampuan untuk mengalami empati, JSO prospektif memiliki kesulitan
dalam memulai, dan kemudian mempertahankan hubungan dekat yang dewasa
(Curwen, 2003; Garlick, Marshall, dan Thornton, 1996).
10
Kinerja klinis pada anak dan remaja juga memiliki lapisan-lapisan terkait
batasan yang lebih perlu diperhatikan dibandingkan kerja konvensional dengan
pelaku dewasa. Sebagian besar anak dan remaja terlibat dengan pengasuh dan
wali yang beragam (orang tua dan anggota keluarga lainnya, pendidik, dokter
anak, dll.). Untuk dapat efektif, klinisi yang menilai/menterapi harus siap untuk
11
berhadapan secara efektif dengan semua pihak yang berhubungan secara kolateral
ini. Ketika kami menambahkan dimensi tambahan berupa pelanggaran seksual,
tantangan manajemen kasus menjadi jauh lebih rumit (polisi, layanan
perlindungan anak, pengadilan anak, pengacara, hukum anak, petugas di kantor
percobaan, klinisi yang terlibat secara kolateral, dll.). Perhatian dan batasan etis
dari klinisi yang bekerja dengan populasi JSO cukup bermakna. Ini terutama
penting jika JSO terlibat dalam tuntutan. Klinisi harus memikirkan masalahmasalah budaya dan etis ketika bekerja dengan anak dan keluarga (American
Psychological Association, 2003; Hansen, Randazzo, Schwartz, Marshall, Kalis,
Frazier, Burke, Kershner-Rice, dan Norvirg, 2006; Smith, Constantine, Dunn,
Dinehart, dan Montoya, 2006). Masalah-masalah ini dapat berhubungan dengan
bagaimana JSO atau anggota keluarga menganggap sesuatu sebagai layak dan
tidak layak dalam hal perilaku seksual remaja. Dari persektif legal, bagaimanapun,
kebutuhan penegakan hukum inilah yang mendefinisikan apa yang sah dan apa
yang tidak sah.
Satu celah yang menonjol pada matriks dukungan untuk JSO adalah
kekurangan universal untuk sistem dukungan berbasis komunitas. Untuk hampir
semua area masalah yang dihadapi oleh anak dan remaja, terdapat layanan
berbasis komunitas untuk membahasnya. Sebaiknya, untuk JSO, masyarakat
tampaknya cukup puas dengan hanya memberi sedikit dana untuk program terapi
JSO sebagai cara untuk menjaga anak-anak tetap aman.
Dilema etis dalam bekerja dengan anak dan mungkin yang lebih penting
dengan remaja umumnya terkait masalah seperti kerahasiaan (etis) dan hak khusus
(legal). Dalam bekerja dengan remaja yang usianya lebih tua, utamanya, selalu
ada masalah untuk menegakkan dan mempertahankan aliansi terapetik dengan
remaja sementara pada saat
12
tentang seksualitas atau nilai-nilai tentang seksualitas pada JSO yang hanya akan
memperburuk masalah yang ada. Yang terkait dengan hal ini adalah pertimbangan
bahwa orang tua memiliki tanggung jawab utama untuk mengajarkan seksualitas
pada anaknya, dan klinisi harus menjajaki masalah dengan hati-hati, dengan tetap
menghargai tanggung jawab orang tua ini.
Pada tiap upaya kolaborasi, klinisi harus hati-hati tentang informasi apa
terkait pelaku kekerasan seksual usia remaja yang tepat untuk diungkapkan, pada
siapa, dan untuk tujuan apa. Praktisi juga harus membuat upaya khusus untuk
memastikan bahwa pelaku dan wali yang bertanggung jawab tidak memiliki
informed consent yang ambigu tentang diseminasi apapun terkait informasi
klinis, dan persetujuan ini perlu dilakukan secara tertulis menggunakan formulir
tertulis yang dapat diterima.
Penjelasan perundang-undangan terkait pelanggaran seksual remaja dan
hak korban dan pelaku saat ini masih terus dikembangkan. Area-area sensitif
terkait masalah legal/etis, yang khusus untuk populasi pelaku pelanggaran berusia
remaja, mencakup perintah legal untuk melaporkan dugaan kekerasan dan
penelantaran. Masalah-masalah lain yang perlu diperhatikan saat bekerja dengan
populasi JSO meliputi sebagai berikut:
a. Kebutuhan untuk pengenalan masyarakat terhadap pelaku pelecehan
seksual yang diadili, termasuk JSO (Zevitz dan Farkas, 2000a, 2000b,
2000c)
b. Prosedur-prosedur evaluasi sebelum peradilan dan untuk terapi involunter
(Roberts, Doren, dan Thornton 2002)
c. Prosedur-prosedur untuk penggunaan teknik-teknik kognitif perilaku
d. Prosedur-prosedur
untuk
penggunaan
berbagai
intervensi
13
penggunaan obat dengan JSO adalah area yang potensial menjanjikan, diperlukan
lebih banyak riset untuk mengidentifikasi obat mana dan dosis apa yang memiliki
efikasi dalam menurunkan risiko JSO untuk residivisme. Mungkin manfaat primer
dari psikotropika dengan JSO adalah untuk melemahkan bentuk-bentuk komorbid
dari psikopatologi yang dapat mengeksaserbasi risiko JSO.
Pendekatan berbasis biologi lain yang kontroversial dengan JSO adalah
kastrasi kimiawi dari pelaku sebagai syarat percobaan atau pembebasan bersyarat
(Miller, 1998). Kastrasi kimiawi adalah alternatif sementara untuk kastrasi bedah.
Penggunaan teknik-teknik kastrasi pada pelaku kekerasan seksual usia dewasa
memiliki sejarah legal yang panjang dan rumit (untuk kajian, lihat Miller, 1998).
Telah dilakukan upaya-upaya kastrasi farmakologis juga dengan populasi JSO.
Penggunaan teknik-teknik phallometric (Hunter dan Becker, 1994) dan
poligraf (Emerick dan Dutton, 1993) dengan JSO secara etis dipertanyakan untuk
sejumlah alasan. Alasan ini mencakup kemampuan kognitif JSO untuk memahami
implikasi legal dari keadaan mereka dan masalah-masalah terkait informed
consent (Ilgen dan Bell, 2001). Teknik-teknik phallometric cenderung mahal dan
invasif. Phallometry membutuhkan penggunaan stimuli seksual eksplisit,
menimbulkan kekhawatiran tentang pembelajaran kesadaran stimulasi seksual,
terutama pada pelaku yang lebih muda. Meskipun begitu, telah dilakukan riset
phallometric dengan remaja (Becker, Kaplan, dan Tenke, 1992; Becker, Stein,
Kaplan, dan Cunningham-Rathner, 1992; Hunter, Becker, dan Kaplan, 1995;
Hunter, Goodwin, dan Becker, 1994). Phallometry telah terbukti dapat
membedakan ketertarikan pedofilik khusus di antara para pelaku kekerasan
seksual usia remaja dibandingkan bukan pelaku (Seto, Lalumire, dan Blanchard,
2000). Inferensinya adalah bahwa temuan-temuan phallometric dapat berguna
sebagai satu aspek dari upaya evaluasi komprehensif (untuk kajian, lihat Marshall
dan Fernandez, 2001). Bagaimanapun, terdapat konsensus bahwa teknik-teknik
phallometric saja tidak secara empiris cukup untuk penentuan apakah pelaku telah
melakukan atau tidak melakukan pelanggaran seksual, sebagian karena respons
phallometric dapat salah (Harris, Rice, Chaplin, dan Quinsey, 1998). Phallometry
14
terus menjadi alat yang dipertanyakan untuk penilaian forensik, hampir sama
dengan penggunaan poligraf.
Kesalahan penggunaan instrumen psikologis dan aktuarial adalah area lain
yang potensial menyulitkan secara etis (Edens, 2001). Saat ini tidak ada instrumen
psikologis yang memiliki validitas untuk memprediksi derajat risiko pengulangan
oleh JSO. Namun, terdapat sejumlah instrumen yang tampaknya menjanjikan.
Penggunaan apapun dari instrumen ini harus bijaksana, dan laporan forensik perlu
menggabungkan pernyataan-pernyataan yang teliti, yang mengenali keterbatasan
instrumen-instrumen ini. Terdapat sejumlah instrumen psikologis terstandarisasi
yang dapat dan perlu digunakan pada pelaku remaja terkait fungsi psikologis
umum, juga evaluasi untuk kemungkinan psikopatologi komorbid (Kafka dan
Hennen, 2002; Lalumire, Harris, Quinsey, dan Rice, 2005b; Poirier, 2002).
Semua penggunaan dan pengembangan instrumen psikologis untuk
penilaian pelaku pelanggaran seksual harus mematuhi standar yang diberikan oleh
American Educational Research Association (AERA) (1955, 1999), American
Psychological Association (APA), (1954, 1966, 1974, 1985, 2002), dan National
Council on Measurement in Education (1995). Luaran potensial baik untuk pelaku
dan korban secara sederhana bisa buruk jika instrumen tes disalahgunakan.
Sebagian besar disiplin kesehatan jiwa telah profesional telah menegakkan
panduan etis untuk praktisi. Misalnya, psikolog harus mematuhi standar etis
American Psychological Association (2002) dan psikolog forensik harus
mematuhi standar Committee on Ethical Guidelines for Forensic Psychologists
(1991).
terbukti benar-benar prediktif untuk pelanggaran seksual oleh remaja. Kami akan
meringkas uraian ini untuk mengembangkan pendekatan aktuarial untuk menilai
risiko JSO pada bagian Penilaian Risiko.
Penilaian diagnostik
Berbagai pendekatan telah dijelaskan untuk penilaian JSO (Bonner, Marx, Th
ompson, dan Michaelson, 1998; Bourke dan Donahue, 1996; Quinsey dan
Lalumire, 2001; Ross dan Loss, 1991; Stickrod, Gray, dan Wallace, 1992;
Zussman, 1989). Pendekatan ini meliputi sistem taksonomi (Butler dan Seto,
2002; Gray, Pithers, Busconi, dan Houchens, 1997; OHalloran et al., 2002) dan
klasifikasi kontinuum (Johnson dan Feldmeth, 1993). Pendekatan-pendekatan ini
juga mencakup klasifikasi skema untuk penempatan JSO pada model terapi
multidisipliner atau multifasilitas (McGrath, Cumming, dan Holt, 2002).
Sejumlah upaya dini telah dilakukan untuk menegakkan pola atau jenis
yang dapat dipahami di antara para pelaku pelecehan seksual usia remaja (Gray et
al., 1997; Johnson dan Feldmeth, 1993; Knight dan Prentky, 1993; Simourd,
Hoge, Andrews, dan Leschied, 1994). Terdapat pengajuan skema klasifikasi
(MacHovec dan Wieckowski, 1992; OBrien dan Bera, 1986). Seiring waktu,
upaya-upaya ini tidak dianggap terlalu membantu; JSO adalah populasi yang
terlalu heterogen untuk dapat dikategorikan secara sederhana. Studi-studi lain
mengaji profil retrospektif pemuda yang mungkin berisiko menjadi korban JSO
(Berliner dan Conte, 1990; Faller, 1989a; Green, Ramelli, dan Mizumoto, 2001;
Rice, Harris, dan Quinsey, 2002).
Penerapan instrumen pemeriksaan psikologis standar untuk membantu
penilaian JSO telah tercatat dengan baik (Curnoe dan Langevin, 2002; Dalton,
Ruddy, dan Simon-Roper, 2003; Hunter et al., 1995; Hunter, Becker, Kaplan, dan
Goodwin, 1991; Hughes, DeVille, Chalhoub, dan Romboletti, 1992; Kraerner,
Spielman, dan Salisbury, 1997; Losada Paisley, 1998). Namun, tes-tes standar
yang tersedia, tidak secara langsung membahas masalah-masalah dasar dari status
psikoseksualitas atau risiko residivisme.
Penilaian pelanggaran JSO harus mempertimbangkan faktor-faktor
kontekstual dan situasional. Misalnya, konteks yang akan berarti satu hal untuk
16
Lanyon
juga
menyarankan
bahwa
tes-tes
psikologis
17
18
potensi hukuman legal yang berat, dan perilaku asosial yang dipraktikkan
yang cenderung integral dengan kepribadian pelaku.
6. Penilaian perilaku seksual tidak layak oleh pelaku berdasarkan kriteria
formal khusus. Kriteria ini dapat bersifat legal atau klinis. Bisa juga
terdapat beberapa kategori kriteria lainnya sesuai kebutuhan konteks
spesifik upaya evaluasi.
Penilaian risiko
Area yang relatif baru dari upaya riset dengan populasi ini adalah penilaian risiko.
Klinisi yang bekerja dengan JSO tanpa bisa dihindari akan dipanggil untuk
memberikan perkiraan kecenderungan kemungkinan pengulangan pelanggaran
seksual. Literatur kekerasan telah menjelaskan tiga model esensial untuk penilaian
risiko. Ketiga model ini adalah (1) pembuatan keputusan klinis tak terstruktur, (2)
pembuatan keputusan aktuarial, dan (3) penilaian profesional terstruktur (Kropp et
al., 2004).
Meskipun pembuatan keputusan klinis tak terstruktur mungkin merupakan
metode yang paling banyak digunakan untuk penilaian risiko kekerasan, ini adalah
pendekatan yang secara empiris paling tidak kuat (Quinsey dan Harris, 2006a).
Pembuatan keputusan klinis tak terstruktur sedikit lebih baik dari tebakan intuitif
terbaik oleh klinisi (Monahan, 1996). Pendekatan ini bergantung pada kajian dari
sejarah pelaku sebelumnya dan tingkat fungsi JSO saat ini seperti dinilai oleh
klinisi. Pendekatan ini dapat rancu akibat bias klinisi dan interpretasi klinisi yang
potensial salah. Karena risiko yang berkelanjutan, pendekatan ini harus digunakan
dengan batasan yang sesuai dalam hal masalah forensik (Harris dan Rice, 2003;
Quinsey, V. L., Lalumire, M. L., Rice, M. E., dan Harris, G. T., 1995). Kropp,
Hart, dan Belfrage (2004) berkomentar tentang pendekatan pembuatan keputusan
klinis tak terstruktur seperti berikut: Rekomendasi untuk strategi-strategi
perbaikan manajemenjika memang adadapat lebih diarahkan pada preferensi
pelatihan, dan bias dari penilai dan bukannya pada (1) pertimbangan yang masuk
akal dari faktor risiko dinamika dan krimonogenik (misalnya relevansi terhadap
19
kriminalitas), dan (2) strategi-strategi intervensi yang valid secara empiris atau
yang dapat diterima di lapangan.
Klinisi yang praktik berhadapan dengan kenyataan bahwa banyak area
khusus penilaian risiko untuk perilaku agresif atau kekerasan tidak memiliki
instrumen penilaian yang dikembangkan secara formal. Pada keadaan ini, klinisi
secara esensial tidak memiliki pilihan selain untuk menggunakan pembuatan
keputusan klinis tak terstruktur sebagai upaya untuk membantu penilaian risiko
dan berkontribusi pada rencana manajemen. Temuan-temuan penilaian tersebut,
bagaimanapun, perlu menggambarkan dengan jelas keterbatasan upaya klinis dan
berhati-hati dalam mempertahankan temuan-temuan.
Tujuan model penilaian aktuarial adalah untuk memberikan pendekatan
yang memperbaiki kurangnya reliabilitas dan validitas dari pendekatan klinis tak
terstruktur (Quinsey dan Harris, 2006b). Penilaian aktuarial membandingkan
risiko kekerasan pada individu dengan suatu kelompok referensi dari pelaku yang
diketahui. Faktor risiko pelaku ditotal dan kemudian dibandingkan untuk
menegakkan normal untuk kelompok referensi. Satu keterbatasan dari penilaian
aktuarial adalah temporalitasnya yang menetap. Faktor risiko yang diperkirakan
berasal dari interval waktu yang menetap dan karenanya memiliki nilai prediktif
untuk interval yang terbatas.
Heilbrun (1997) mencatat penggunaan praktis model berorientasi
manajemen untuk penilaian risiko dibandingkan model prediksi. Model
manajemen untuk penilaian risiko berupaya untuk menyesuaikan kebutuhan
pelaku dengan sumber daya yang tersedia, berlawanan dengan untuk mencoba
memprediksi risiko pelaku dengan cara yang terkuantifikasi. Yang disebutkan
belakangan mungkin lebih sulit dipahami.
Aspek yang mendefinisikan dari skala risiko aktuarial adalah bahwa
item-item mengalami pembobotan dan dikombinasikan berdasarkan algoritma
yang menetap dan eksplisit (Kropp, Hart, dan Belfrage, 2004). Karenanya,
dengan skala risiko aktuarial, tidak penting apakah isi skala disusun secara
empiris atau didasarkan pada intuisi klinis. Ketika menggunakan pendekatan
aktuarial, klinisi mempertimbangkan sekelompok faktor risiko menetap, dan
20
profesional
terstruktur
adalah
suatu
upaya
untuk
manajemen risiko. Studi-studi penilaian risiko telah mencakup kombinasi metodemetode aktuarial dan klinis tradisional.
Beech, Fisher, dan Thornton (2002) meringkas empat kategori faktor risiko
luas yang telah teridentifikasi pada literatur penilaian risiko untuk pelaku
pelanggaran seksual. Keempat kategori tersebut adalah sebagai berikut:
a. Faktor
disposisional,
termasuk
gambaran
gangguan
kepribadian
22
et
al.
(2002)
menjelaskan
suatu
bingkai
kerja
untuk
23
Penulis mencatat bahwa studi 1998 didasarkan pada faktor risiko statis (misalnya
historis). Studi yang lebih baru menambahkan faktor risiko dinamik. Berdasarkan
82 studi residivisme (1.620 temuan dari 29.450 pelaku pelanggaran seksual)
penulis mengidentifikasi preferensi seksual yang menyimpang dan orientasi
antisosial sebagai prediktor utama dari residivisme baik untuk pelaku pelanggaran
seksual dewasa dan remaja. Prediktor risiko utama untuk residivisme kekerasan
adalah orientasi antisosial. Ini juga merupakan prediktor utama untuk residivisme
(apapun) secara umum. Penulis mengidentifikasi faktor risiko dinamik yang yang
memiliki potensi menjadi target terapi yang berguna. Ini mencakup preokupasi
seksual dan masalah pengaturan diri secara umum. Sebaliknya, sejumlah variabel
yang umumnya dibahas pada program terapi JSO tidak memiliki hubungan
dengan residivisme kekerasan seksual. Ini mencakup kesulitan psikologis,
penyangkalan kriminalitas seksual, empati korban, dan motivasi yang dinyatakan
untuk terapi.
Pengukuran-pengukuran aktuarial didasarkan pada tingkat perilaku
kekerasan dan rasio pemilihan atau keduanya. Tingkat dasar pada intinya
mencerminkan prevalensi jenis kekerasan, dan rasio pemilihan adalah proporsi
orang yang diprediksi menunjukkan kekerasan (Rice dan Harris, 1995; Quinsey,
Harris, Rice, dan Cormier, 1998). Masalah muncul ketika instrumen
menghasilkan estimasi negatif palsu dan positif palsu. Pembaharuan terbaru pada
prediksi kekerasan adalah pada penerapan pengukuran yang berasal dari receiver
operating characteristics (ROC) (Beech et al., 2002; Harris dan Rice, 2003;
Hilton, Rice, dan Harris, 2006). Konsep ROC awalnya dikembangkan untuk
membantu deteksi sinyal (radar) bertahun-tahun lalu. ROC adalah indeks terbaik
dari akurasi prediktif dari suatu metode penilaian. ROC juga dapat
membandingkan kinerja prediktif dari berbagai instrumen (Rice dan Harris, 1995).
Instrumen Ini memiliki kelebihan karena tidak adanya distorsi oleh variasi-variasi
pada tingkat dasar residivisme. Secara umum, dapat diinterpretasikan bahwa
residivis yang dipilih secara acak akan memiliki skor yang lebih menyimpang
dibandingkan nonresidivis yang dipilih secara acak. Ini bervariasi dari 0,5 (tidak
24
ada akurasi prediktif) hingga 1,0 (akurasi prediktif sempurna) (Beech et al.,
2002).
Riset telah menunjukkan bahwa frekuensi kriminalitas dengan kekerasan
termasuk kriminalitas seksual menurun seiring usia (Barbaree et al., 2003).
Wollert (2006) mengamati bahwa kurva ROC untuk tes aktuarial untuk
residivisme seksual tidak mempertimbangkan efek dari magnitudo tingkat dasar
(misalnya tingkat dasar yang berbeda untuk kelompok usia yang berbeda) pada
kinerja instrumen. Sebagai hasil, informasi yang diberikan oleh instrumen
residivisme kekerasan seksual tidak mencukupi jika merujuk pada efisiensi
instrumen untuk rentang tes kritis spesifik. Berdasarkan MacArthur Study of
Mental Disorder and Violence (Monahan, Steadman, Silver, Applebaum,
Robbins, Mulvey, Roth, Grisso, dan Banks, 2001), kumpulan berbagai faktor
risiko dapat relevan untuk kelompok usia yang berbeda. Sebagai koreksi, Wollert
merekomendasikan penerapan teorema Baye yang memperluas rentang analisis
ROC. Ketika diterapkan pada residivisme seksual, teorema Baye memungkinkan
penilai untuk menentukan average estimate (E) dari tingkat dengan mana suatu
kelas pelaku dengan skor aktuarialterutama, mereka yang diklasifikasikan
sebagai kemungkinan residivisakan kembali melakukan pelanggaran. Penulis
mengatakan bahwa teorema Baye sederhana untuk dihitung. Ini membutuhkan
tiga bagian informasi. Yang pertama adalah P (yaitu tingkat dasar) atau Q (yaitu
tingkat nonresidivisme menurut sampel, yang sama dengan 1 minus P) pada
populasi induk yang mencakup interval usia (A) tempat pelaku berada. Informasi
lainnya adalah T (yaitu, proporsi residivis yang diidentifikasi oleh tes) dan F
(yaitu proporsi nonresidivis) untuk skor yang dicakup oleh C (yaitu nilai pada
rentang kritis). Suatu formula statistik diaplikasikan pada nilai-nilai ini.
Umumnya instrumen-instrumen residivisme cukup akurat pada kelompok usia
yang lebih muda karena mereka memiliki tingkat dasar yang paling besar. Metode
Bayesian membantu memperluas akurasi ini pada kelompok usia yang lebih tua.
Pengukuran aktuarial menjanjikan untuk menegakkan hubungan antara faktor
risiko dan pola pelanggaran (Macpherson, 2003; Doren, 2004).
25
Sementara
sejumlah
instrumen
aktuarial
penilaian
risiko
telah
26
prediktif dari skala aktuarial tunggal yang terbaik. Penulis mengenali sejumlah
keterbatasan pada studi ini yang dimulai dengan kemiripan pada derivasi dan isi
dari keempat instrumen. Akibatnya, temuan-temuan ini memunculkan pertanyaan
tentang inefisiensi praktik berupa pemberian instrumen penilaian risiko multipel.
J-SOAP terdiri atas empat faktor dan diringkas pada Tabel 14.9. Menurut
Worling (2004), J-SOAP dirancang sehingga koding dapat dilakukan dari data
arsip, dan karenanya, sebagian besar item di dalamnya bersifat statis, yaitu,
bersifat historis. Karena hal ini, J-SOAP tidak sensitif terhadap perubahan yang
disebabkan oleh terapi khusus pelanggaran dan kami mencatat bahwa hal-hal
tersebut memang bukan merupakan tujuan dari J-SOAP. Prentky et al. (2000)
menyatakan bahwa J-SOAP adalah kontribusi awal untuk penilaian risiko dengan
JSO dan diperlukan penelitian lebih lanjut untuk menghasilkan instrumen yang
valid. Sejak itu penulis telah memperbaharui protokol menjadi versi II (J-SOAPII; Righthand et al., 2005). Langkah pertama dalam menggunakan protokol adalah
penentuan tingkat perkembangan kognitif pelaku. J-SOAP berguna dengan
pemuda paling muda hingga 10 tahun dalam hal kemampuan kognitif. Karenanya,
bisa saja terdapat remaja yang kemampuan kognitifnya kurang dari 10 tahun dan
penggunaan J-SOAP akan menjadi tidak tepat.
27
28
29
30
31
yang mutlak untuk melindungi masyarakat. Poin-poin dasar lainnya yang perlu
dipertimbangkan ketika bekerja dengan JSO adalah sebagai berikut:
1. Seperti kerja klinis spesialis apapun, klinisi harus memiliki kompetensi
pada area kelancaran dengan cara pelatihan, supervisi, riset, atau
kombinasi dari semuanya. Beban tanggung jawab untuk menunjukkan
kompetensi adalah pada klinisi. Dengan JSO, terutama, klinisi harus
memiliki keahlian dalam penilaian remaja dan keluarganya. Keluarga juga
perlu memiliki pelatihan dan pengalaman terkait penilaian dan manajemen
agresi seksual.
2. Ketika melakukan kerja forensik, sangat penting bagi klinisi untuk
mengetahui peran pastinya dan membuat upaya yang terorganisir untuk
mempertahankan batas peran tersebut. Klinisi juga harus berkomunikasi
semenyeluruh mungkin, dan sesering kebutuhan, tentang peran penilaian
pada pelaku remaja dan orang tuanya. Ketika melakukan kerja forensik,
terdapat banyak sekali poin kepentingan dan pemain yang berkompetisi
sehingga klinisi dapat dengan mudah tergoda untuk mengkompromikan
masalah peran atau batas. Misalnya, seorang klinisi dapat menyelesaikan
penilaian yang diperintahkan pengadilan pada pelaku remaja. Semua pihak
yang berhubungan dapat dibuat senang dengan kerja klinisi. Belakangan,
sebagai bagian dari disposisi, terdapat undangan bagi penilai forensik
untuk terlibat dalam peran menterapi pada pelaku. Ini tidak tepat secara
profesional dan etis karena klinisi sebelumnya telah berada pada peran
yang objektif, penilai netral, dan batas dari peran tersebut tidak seharusnya
dihilangkan karena adanya peran yang baru. Kekhawatiran yang mendasar
adalah bahwa perubahan pada peran klinisi dapat membingungkan JSO
dan keluarganya sehingga mengurangi efektivitas terapi.
3. Sebagai tindak lanjut dari poin di atas, jika klinisi melakukan evaluasi
yang diperintahkan pengadilan terhadap JSO, klinisi harus secara eksplisit
menunjukkan bahwa mereka tidak melayani dalam kapasitas terapi; klinisi
bukan, dan tidak akan, menjadi terapis pelaku remaja.
33
4. Kami telah menekankan di sepanjang bab bahwa penilaian yang tepat dari
tertuduh pelaku pelecehan seksual usia remaja harus mengakses sebanyak
mungkin domain fungsi yang mungkin. Selain informasi klinis dan
perkembangan yang umum, penilaian JSO perlu mencakup kajian domain
riwayat kesehatan fisik, riwayat psikoseksual, keluarga, intrapersonal, dan
interpersonal.
5. Pengumpulan data dengan JSO juga harus mencakup data dari sebanyak
mungkin sumber penilaian sejauh yang dianggap relevan. Secara
minimum, ini akan mencakup wawancara klinis, tes dan instrumen
psikologis, observasi perilaku (pada berbagai latar jika memungkinkan),
dan kajian menyeluruh dari semua informasi rujukan termasuk laporan
terdahulu dan catatan kasus.
6. Dapatkan informasi dari sebanyak mungkin sumber kolateral yang
dianggap relevan. Ini akan meliputi, tetapi tidak terbatas pada pelaku,
keluarga pelaku, polisi, petugas pembinaan remaja, petugas masa
percobaan, pekerja kasus kesejahteraan anak, dan tenaga profesional lain
yang terlibat secara kolateral. Akhirnya, kami akan menekankan nilai-nilai
mewawancara korban dan anggota keluarganya. Sayangnya, ini tidak
selalu mungkin dilakukan karena berbagai alasan, di antaranya pengacara
korban keberatan terhadap praktik tersebut. Satu dari pendekatan terbaik
adalah untuk mencoba mengedukasi hakim anak tentang pentingnya
memiliki akses pada korban secara klinis/forensik. Jika kebutuhan sudah
dipahami, pada situasi yang tepat, hakim dapat bertanya pada korban jika
mereka mau menjadi bagian dari evaluasi. Korban dapat memberi tilikan
yang sangat bermakna pada upaya penilaian risiko.
7. Klinisi perlu tetap up to date dengan riset estimasi risiko yang sedang
berlangsung dengan JSO. Penulis mencatat bahwa, saat ini sebagian besar
riset estimasi risiko terus dilakukan dengan pelaku pelecehan seksual
dewasa. Klinisi perlu memahami riset ini juga, tetapi tetap hati-hati
tentang aplikasinya pada JSO.
34
rekomendasi tersebut biasanya akan dilewatkan karena biaya, tetapi klinisi dapat
selalu menunjukkan agar keterbatasan tidak menjadi masalah, dan membuat
rekomendasi remedial selama tahap awal upaya penilaian.
Basis data klinisi harus komprehensif dan dapat dipahami dengan baik.
Seringkali basis data ideal tidak bisa didapat karena biaya atau ketidakmampuan
individu kunci. Sekali lagi, kesadaran tentang keadaan ini dan batasan yang
diberikan pada temuan-temuan ahli perlu dipahami. Pembahasan kami pada
bagian sebelumnya terkait mengakses informasi secara langsung dari korban
merupakan contoh bagus dari sumber data yang tidak selalu dapat diakses.
Meskipun begitu, klinisi harus mampu menyatakan bahwa ini akan menjadi
bagian yang diperlukan dari basis data, dan memberikan alasan kenapa saat ini
data tersebut tidak bisa didapat.
Penggunaan tes-tes dan istrumen psikologis harus bijaksana dan memiliki
dasar yang kuat, dan klinisi perlu hati-hati tentang bagaimana data ini
digabungkan dalam temuan dan rekomendasi dan keterbatasan apa yang ada.
Harapan yang umum adalah bahwa ahli forensik akan membantu juri untuk
mencapai temuan yang bermakna terkait keterlibatan JSO pada situasi saat
kejadian, dan kemudian membantu pertimbangan disposisional.
Rencana manajemen yang direkomendasikan cenderung realistik dalam hal
kebutuhan klinis JSO dan terkait sumber daya yang tersedia dan dapat diakses.
Dengan anak dan remaja, ini selalu berarti mempertimbangan kepentingankepentingan orang tua dan konstelasi keluarga. Seringkali pada situasi ini,
persepsi keluarga akan bervariasi dari yang diindikasikan secara klinis. Meskipun
begitu, sebagian besar keluarga akan menghargai upaya untuk setidaknya
mengenali keterlibatan mereka juga minat mereka atas nama JSO.Penting juga
untuk
menyeimbangkan
presentasi
dari
rencana
disposisional
yang
direkomendasikan dengan aset atau kekuatan apapun yang dapat dimiliki JSO.
Laporan tertulis/kesaksian ahli perlu menunjukkan sensitivitas pada fakta bahwa
pelaku adalah anak/remaja yang dapat melakukan tindakan serius berupa tingkah
laku seksual yang salah, tetapi bahwa pada masa muda pelaku, tetap ada harapan
untuk rehabilitasi dan masa depan yang menyeluruh.
36
Pertimbangan terapi
Seringkali sulit untuk melibatkan JSO dalam terapi terutama ketika korban jauh
lebih muda (Dolan dan Fullam, 2005; Efta-Breitbach dan Freeman, 2004b; Perry
dan Orchard, 1992b; Seager et al., 2004). Terdapat berbagai alasan untuk hal ini,
tetapi yang utama adalah dinamika tabu budaya yang berhubungan dengan
pelanggaran seksual pada anak yang berusia lebih muda. Beberapa klinisi dapat
terganggu dengan pikiran untuk menggunakan penetapan pengadilan untuk
melibatkan pelaku dalam terapi. Namun dengan JSO, ini biasanya merupakan
taktik yang efektif dan diperlukan, dan klinisi perlu menyambut bantuan kolateral
dari pengadilan dengan populasi ini.
Telah ada penelitian yang berupaya mengidentifikasi masalah-masalah
yang membuat kondusif bagi JSO untuk mengenali kompleksitas pelanggaran
seksual, tetapi sebagian besar JSO akan terlibat pada penyangkalan atau hanya
sebagian yang menyadari kesalahannya (Faller et al., 2001). Masalah terapi awal
yang umum dengan JSO adalah klaim amnesia tentang keadaan saat perbuatan
terjadi. Intervensi terapi untuk mengatasi masalah ini telah dijelaskan (Marshall,
Serran, Marshall, dan Fernandez, 2005; Serran dan Marshall, 2005). Tujuan terapi
yang paling utama dengan JSO adalah mencegah residivisme (Marshall dan
Serran, 2000). Terapi JSO dimulai dengan identifikasi yang tepat terkait pola
rangsangan seksual yang menyimpang dan diagnosis adanya psikopatologi
komorbid pada JSO (Firestone, Bradford, Greenberg, dan Serran, 2000).
Secara historis, berbagai pendekatan terapi telah dijelaskan untuk JSO
(Becker, Harris, dan Sales, 1993; Camp dan Thyer, 1993; Erti dan McNamara,
1997; Flora, 2001; Freeman-Longo, Bird, Stevenson, dan Fiske, 1995; Kaplan,
Morales, dan Becker, 1995; Morenz dan Becker, 1995; Pecker, 1990; Pithers dan
Gray, 1998; Schwartz, 2003; Seabloom et al., 2003; Weinrott, Riggan, dan
Frothingham, 1997). Pendekatan terapi untuk para korban kekerasan seksual juga
telah dijelaskan (Pharris dan Nafstad, 2002).
Modalitas terapi yang awalnya diajukan untuk JSO adalah adaptasi
pendekatan terapi yang terkenal sejak bertahun-tahun lalu untuk masalah-masalah
klinis yang dianggap menonjol untuk JSO, misalnya, pendekatan terapi untuk
37
adiksi dan perilaku agresif, juga menegakkan pendekatan terapi untuk pelaku
pelanggaran seksual dewasa. Modalitas populer lain yang diajukan adalah terapi
kelompok, kelompok pertemuan, kelompok keluarga multipel, terapi sendiri,
pengkondisian Pavlov, dan restrukturisasi kognitif. Saat ini, sebagian besar
aplikasi terapi ini tidak digunakan karena tidak efektif untuk populasi JSO.
Sebagian besar program terapi kontemporer untuk laporan JSO
menggunakan pendekatan kognitif perilaku (Kolko, Noel, Th omas, dan Torres,
2004; Winick dan La Fond, 2003). Untuk kajian historis tentang pendekatan
kognitif dan perilaku seperti digunakan untuk pelaku pelanggaran seksual, lihat
Laws dan Marshall (2003) dan Marshall dan Laws (2003).
Pada tahun 1987, Davis dan Leitenberg menjelaskan tujuan terapi primer
untuk bekerja dengan JSO. Meskipun kadaluarsa pada beberapa hal, inti dari
tujuan-tujuan ini masih tetap relevan hingga kini, yang diringkas sebagai berikut:
a. Menurunkan penyangkalan dan meningkatkan penerimaan tanggung jawab
untuk
pelanggaran
seksual,
termasuk
penggunaan
teknik-teknik
38
39
menghadapi berbagai situasi di mana ahli berupaya melewati otoritas legal ini.
Perlu disadari bahwa opini ahli tidak sama dengan membuat penentuan legal
akhir. Dari perspektif legal, tujuan primer dari kesaksian ahli adalah untuk
mengedukasi para pelaku hukum tentang fakta-fakta yang tidak secara umum ada
untuk orang awam. Ahli yang menyimpang dari hal ini tidak akan membantu
pengadilan dan tidak juga merepresentasikan disiplin profesionalnya dengan baik.
Kontribusi ahli dari awal hingga akhir harus merepresentasikan respek terhadap
tradisi panjang pertemuan legal/kesehatan jiwa; isi dan nada laporan dan
kesaksian forensik harus selalu mempertimbangkan area-area sensitif ini. Jika ahli
berada di bangku saksi, sudah terlambat untuk membatalkan apa yang telah
menjadi kecerobohan atau arogansi ketika menulis laporan.
Mungkin contoh paling baik untuk berupaya memberi satu opini yang
dapat dipercaya, sambil pada saat yang sama mempertahankan keseimbangan
kontrol yang tepat adalah pada aspek estimasi risiko. Pada bab ini, kami telah
berupaya menegaskan sifat tentatif empiris dari penilaian risiko secara umum dan
dengan instrumen khusus terkait JSO. Penilaian risiko telah mengalami
perkembangan yang kuat dan cepat, tetapi tetap jauh dari akurasi mendekati 90%
(yaitu, mendekati tingkat bukti legal yang tidak dapat diragukan secara akal
sehat).
Klinisi forensik perlu mengingat bahwa derajat kebebasan yang
terkandung dalam bidang riset alat-alat penilaian risiko secara fundamental
berbeda dari membawa data penilaian risiko ke ruang sidang. Bahasa laporan
forensik harus memiliki ketepatan dan idealnya berasal dari skema yang dipegang
oleh komunitas ilmiah. Saat ini, temuan-temuan penilaian risiko yang terbaik
hanya dapat dijelaskan menggunakan istilah-istilah kualitatif, yang menghindari
implikasi ketepatan logaritmik (misalnya, risiko minimal, risiko sedang, dll.).
Pilihan lain adalah untuk mencatat serangkaian faktor risiko berbasis empiris yang
ditunjukkan oleh JSO, yang oleh riset telah dikenali sebagai indikator untuk risiko
JSO.
41
bukan seks secepat mungkin. Waktu reaksi dan kesalahan dianalisis secara
statistik. Temuan-temuan menunjukkan bahwa subjek pedofil menunjukkan
hubungan yang lebih tinggi antara anak dan seks dibandingkan dengan pelaku
nonpedofil yang menunjukkan hubungan antara dewasa dan seks. Pendekatan ini
dapat menjanjikan untuk diterapkan (yaitu pada konteks nonforensik) dengan JSO
pada suatu upaya untuk membahas masalah kecenderungan subjek untuk salah,
yang selalu menghambat upaya evaluasi dan terapi.
Prescott (2004) mencatat pentingnya bagi klinisi dan peneliti untuk
mempertahankan fokus pada kelancaran perkembangan remaja. Contoh yang
penting dari hal ini adalah nonlinearitas pertumbuhan neurobiologis. Di masa
depan, riset neuropsikologis dapat memberi lebih banyak keterangan pada
idiosinkrasi perkembangan ini. Sementara ini, upaya untuk memahami JSO dalam
bingkai kerja kolektif dapat tidak mencerminkan kejadian perkembangan aktual
oleh JSO secara individual.
Penilaian risiko dengan populasi JSO sedang berada pada tahap yang
paling awal dari perkembangan. Kami berharap masa depan untuk membawa
semakin banyak pembaharuan seiring semakin dikembangkannya strategi-strategi
riset. Misalnya, instrumen penilaian risiko akan dikembangkan secara khusus
utnuk kelompok usia remaja yang berbeda. Instrumen-instrumen yang secara
khusus dapat digunakan untuk populasi JSO juga akan semakin dikembangkan.
Dapat dipahami bahwa instrumen yang ada saat ini untuk JSO pria akan dapat
diterapkan, atau diadaptasi untuk JSO perempuan; bisa saja diperlukan instrumen
yang sepenuhnya baru. Masalah ini ada sebagian karena menurut data yang ada,
JSO laki-laki secara signifikan melebihi JSO perempuan (Greenfield, 1997;
Snyder, 2000; Stroud, Martens, dan Baker, 2000). Selain itu, terdapat perbedaan
antar jenis kelamin pada ekspresi agresi (Archer, 2004). Faktor lain yang mungkin
berperan adalah bahwa sistem hukum secara umum masih enggan untuk
memenjarakan pelaku perempuan dari usia berapapun dibandingkan pelaku lakilaki. Kenyataan ini memiliki efek menekan yang nyata pada jumlah JSO
perempuan yang teridentifikasi (Schwartz and Cellini, 1995). Kami juga
mengantisipasi bahwa masa depan akan mengarah pada pengembangan instrumen
43
penilaian risiko untuk populasi khusus lainnya misalnya JSO yang mengalami
retardasi mental, kecatatan fisik, dan gangguan jiwa (Broxholme dan Lindsay,
2003).
Tidak seperti bentuk lain dari pelanggaran oleh pelaku usia remaja, saat ini
tidak ada program dukungan berbasis komunitas untuk mengintegrasikan JSO
kembali ke hidup yang normal di masyarakat (Faller dan Henry, 2000; Poirier,
1998). Meskipun situasi ini secara historis dan budaya dapat dipahami, hal ini
merupakan hambatan penting untuk JSO dan keluarganya yang mungkin berupaya
mencari terapi. Masalah ini bahkan lebih besar untuk pedofil dewasa yang harus
puas dengan register pelaporan pelaku dan daftar website. Karena dorongan vonis
legal yang dilaksanakan baru-baru ini, JSO tertentu juga akan berurusan dengan
daftar register. Poin kami di sini, tentunya, tidak untuk menyarankan bahwa
komunitas untuk bersikap tenang terkait pelecehan dewasa maupun remaja. Justru,
kami mencoba untuk menyarankan bahwa pada JSO, utamanya, sebagian solusi
terletak pada tingkat komunitas, yang merupakan asal masalah. Mungkin masa
depan akan membawa penerimaan yang beralasan dan bijak oleh masyarakat
ketika hal ini sudah ditempatkan dengan tepat.
44