TESIS
OLEH
AUZA ANGGARA
107005038/HK
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2012
TESIS
OLEH :
AUZA ANGGARA
107005038/HK
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2012
Judul Tesis
Nama Mahasiswa :
Auza Anggara
Nomor Pokok
107005038
Program Studi
Ilmu Hukum
Menyetujui
Komisi Pembimbing
Dekan
ABSTRAK
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
menyebutkan dalam Pasal 13 dan Pasal 14 tentang bidang-bidang yang menjadi
kewenangan Pemerintah Daerah yang antara lain pelayanan pertanahan. Pelaksanaan
yang dilimpahkan kepada daerah dalam kerangka otonomi daerah adalah pelaksanaan
hukum tanah nasional. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 2 ayat (4) Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria bahwa hak menguasai dari
Negara, pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada daerah-daerah swatantra dan
masyarakat-masyarakat hukum adat, sekadar diperlukan dan tidak bertentangan
dengan Peraturan Pemerintah. Sementara itu, dalam penjelasan Pasal 2 UndangUndang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria disebutkan bahwa
dengan demikian, pelimpahan wewenang untuk melaksanakan hak penguasaan dari
Negara atas tanah itu dilakukan dalam rangka tugas medebewind.
Metode penelitian dilakukan dengan metode penelitian hukum normatif.
Data pokok dalam penelitian adalah data sekunder. Pengumpulan data dalam penelitian
ini dilakukan dengan cara penelitian kepustakaan dan penelitian lapangan. Analisis data
terhadap data sekunder dilakukan dengan analisis kualitatif.
Adanya konflik peraturan perundang-undangan di bidang pertanahan,
mengharuskan terlebih dahulu melakukan analisis terhadap nilai-nilai dan asas-asas
yang terkandung dalam konstitusi, yaitu Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Analisa
atas nilai dan asas-asas tersebut bertujuan untuk menemukan hakikat konsep hukum
yang menjadi dasar pembangunan ekonomi di Indonesia, termasuk di bidang agraria,
khususnya di bidang pertanahan. Analisa nilai-nilai dan asas-asas tersebut di atas
diperlukan mengingat konflik peraturan perundang-undangan di bidang agraria,
diyakini akibat adanya perubahan nilai dan asas dari amandemen Undang-Undang
Dasar Tahun 1945. Perubahan nilai dan asas tersebut tidak sesuai dengan nilai-nilai
yang terkandung pada Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum di
Indonesia. Nilai-nilai Pancasila tersebut, terutama adalah kemanusiaan yang adil dan
beradab, dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Asumsi tersebut di atas
didasarkan banyaknya kritik yang diajukan, bahwa peraturan perundang-undangan di
bidang agraria, khususnya di bidang pertanahan, lebih banyak melindungi penanam
modal, dan melemahkan rakyat untuk dapat mengakses hak atas tanah.
Disarankan agar urusan pertanahan yang menyangkut hukum tanah nasional
tetap menjadi kewenangan Pemerintah, sedangkan untuk pelimpahan wewenang
kepada Pemerintah Daerah dapat dilakukan tetapi hanya berdasarkan prinsip tugas
pembantuan (medebewind), disarankan juga adanya kemauan politik yang kuat dari
pemerintah untuk membuat dan melaksanakan peraturan perundang-undangan
sebagai penjabaran dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok
Agraria serta Pemerintah segera melakukan penataan pertanahan untuk
menyelesaikan beberapa masalah pertanahan.
Kata Kunci : Kewenangan, Bidang Pertanahan, dan Otonomi Daerah
ABSTRACT
KATA PENGANTAR
Bapak Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara atas dorongan, bimbingan, dan pemberian
kesempatan kepada penulis untuk menulis dan menyelesaikan penulisan
Tesis ini.
2.
Bapak Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH, selaku Ketua Program Studi Magister
Ilmu Hukum, Universitas Sumatera Utara, atas dukungan kepada penulis untuk
menulis dan menyelesaikan penulisan Tesis ini.
3.
Bapak Prof. Dr. Syafruddin Kallo, SH, M.Hum selaku Komisi Pembimbing I
yang selalu sabar memberikan masukan dan arahan dalam menyelesaikan
Tesis ini.
4.
Bapak Prof. Dr. Tan Kemello, SH, MS selaku Komisi Pembimbing II yang selalu
sabar memberikan masukan dan arahan dalam menyelesaikan Tesis ini.
5.
Bapak Dr. Pendastaren Tarigan, SH, MS selaku Komisi Pembimbing III yang
selalu setia memberikan masukan dan arahan dalam menyelesaikan Tesis ini.
6.
Bapak Dr. Mirza Nasution, SH, M.Hum selaku penguji yang sangat banyak
membantu memberikan saran, masukan serta motivasi bagi penulis dalam
menyelesaikan tesis ini.
7.
Bapak Dr. Hasim Purba, SH, M. Hum, selaku penguji yang sangat banyak
membantu memberikan arahan, bagi penulis dalam menyelesaikan tesis ini.
8.
Orang Tua penulis tercinta Syahrul Anwar, SH dan Syarifah Fauziah yang selalu
memberikan semangat dan dorongan dalam menyelesaikan penulisan tesis ini
9.
Orang Tua penulis tercinta M. Nur Hutabarat dan Ivo Fresty yang selalu
memberikan semangat dan dorongan dalam menyelesaikan penulisan tesis ini.
10. Istri penulis tercinta Laura Frestynur Hutabarat, SE, beserta putra M. Ghaozan
Alvaro, yang telah mendorong dan memberikan semangat kepada penulis dalam
menulis tesis ini.
11. Bapak Fachrul Husin Nasution, SH., M.Kn selaku Kepala Seksi Pengaturan
Tanah Instansi Pemerintah di Kanwil BPN Provinsi SUMUT, yang telah dengan
senang hati berwawancara dengan penulisan dan memberikan data-data kepada
penulis.
12. Terima kasih juga kepada rekan-rekan angkatan 2010 di Kelas Reguler B dan
juga rekan-rekan di kelas Hukum Administrasi Negara.
13. Seluruh Dosen dan Staf Administrasi Pasca Sarjana Ilmu Hukum Kak Fika, Kak
Juli, Kak Fitri, Kak Ganti, Kak Niar dan Bang Udin.
Harapan penulis semoga nama-nama (orang-orang) tersebut di atas
mendapat imbalan dari Allah SWT, atas perbuatan dan tindakan mereka
terhadap penulis.
Medan,
Juli 2012
Penulis
(AUZA ANGGARA)
RIWAYAT HIDUP
Nama
: Auza Anggara
: Laki-laki
Status
: Menikah
Agama
: Islam
Alamat
PENDIDIKAN FORMAL
1. SD Muhammadyah No. 03 Tahun 1993
2. SMP Kemala Bhayangkari Tahun 1998
3. SMA Swasta Harapan Medan Tahun 2001
4. Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Tahun 2004
5. Magister Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara Tahun 2012
DAFTAR ISI
ABSTRACK... i
ABSTRACT ii
KATA PENGANTAR iii
DAFTAR RIWAYAT HIDUP.. iv
DAFTAR ISI.. v
BAB I
PENDAHULUAN .............................................................. 1
A. Latar Belakang .......................................................................................
B. Permasalahan .........................................................................................
14
14
15
16
16
16
2. Konsepsi ...........................................................................................
30
33
33
34
34
35
35
BAB II
37
49
BAB III
57
67
72
76
82
82
88
97
92
102
111
119
121
BAB V
132
132
133
135
138
144
149
159
B. Saran ......................................................................................................
157
164
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia sebagai sebuah negara kesatuan, dalam praktik penyelenggaraan
urusan pemerintahan sepanjang perjalanan sejarah mengalami pasang surut. Dimulai
sejak awal kemerdekaan sampai saat ini terjadi perubahan-perubahan, baik dari sisi
konsep maupun kecenderungannya ke arah sentralisasi atau desentralisasi. Pasang
surut
tersebut
berlangsung
sangat
dinamis,
puncaknya
terjadi
praktek
daerah menurut asas otonomi. Konsekuensi dari perubahan undang-undang dasar ini,
maka peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang pemerintahan daerah
perlu disesuaikan. Sejalan dengan hal tersebut, pada tahun 2004 dilakukan berbagai
evaluasi dan koreksi atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah. Koreksi dilakukan sebagai jawaban atas perubahan drastis
pada sistem penyelenggaraan pemerintahan daerah yang menempatkan hubungan
Pemerintah dan Daerah kurang proporsional. Hal ini dilakukan untuk mengantisipasi
potensi terjadinya disintegrasi dan tidak tercapainya tujuan otonomi daerah
sebagaimana yang dicita-citakan.
Di tengah perubahan dan perkembangan dinamika kehidupan politik,
terdapat isu sentral yang menjadi wacana publik, yaitu perlunya pembagian
kewenangan yang seimbang antara Pemerintah dan Daerah. 1 Pembagian kewenangan
atas urusan pemerintahan antara Pemerintah dan Daerah perlu dilakukan secara
proporsional dalam kerangka otonomi daerah. Salah satu ukuran yang dapat menjadi
parameter tentang besarnya otonomi, dapat diukur dari seberapa banyak urusan
pemerintahan yang dimiliki Daerah. Walaupun demikian, menurut Bhenyamin
Hoessein, bahwa besarnya otonomi bukan hanya diukur oleh banyaknya urusan
pemerintahan yang telah dimiliki daerah sebagai konsekuensi dari penyelenggaraan
Kaloh, Kepala Daerah; Pola Kegiatan, Kekuasaan, dan Perilaku Kepala Daerah, Dalam
Pelaksanaan Otonomi Daerah, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2003), hal. 17.
Bhenyamin Hoessein, Perubahan Model, Pola, dan Bentuk Pemerintahan Daerah: Dari
Era Orde Baru ke Era Reformasi, (Jakarta: Departemen Ilmu Administrasi FISIP Universitas
Indonesia, 2009), hal. 166.
Penerapan
praktik
penyelenggaraan
urusan
pemerintahan
dengan
desentralisasi dan otonomi daerah sepanjang sejarah Indonesia sampai saat sekarang
ini telah menampilkan gambaran yang bervariasi, yang secara umum dipahami
mencerminkan tarik ulur sifat sentralistik dan desentralistik. Kenyataan implementasi
antara dua kontinum tersebut selama ini telah pula menampilkan pemahaman yang
beraneka ragam terhadap otonomi daerah. Namun, apapun rumusan atau
ungkapannya, otonomi daerah pada dasarnya dimaksudkan untuk mendekatkan
pemerintahan kepada masyarakat. 3
Penyelenggaraan urusan pemerintahan dengan desentralisasi yang selama
ini telah berlangsung, berpotensi untuk terjadi resentralisasi bila bandul
kewenangan penyelenggaraan urusan pemerintahan lebih condong kepada pusat dan
sebaliknya dapat berpotensi disintegrasi yang mengarah kepada federalisme bila
bandul kewenangan dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan lebih condong
kepada daerah.
Potensi terjadi resentralisasi atau kewenangan kembali terpusat dapat dilihat
pada Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 10
ayat (5), yang menyatakan bahwa, Dalam urusan pemerintahan yang menjadi
kewenangan Pemerintah di luar urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud pada
ayat (3), Pemerintah dapat :
Hari Sabarno, Sambutan Menteri Dalam Negeri pada Penerbitan Buku Beberapa Gagasan
dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah di Indonesia dalam Owen Podger dkk, Beberapa Gagasan
Dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah di Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2002), hal. iv.
mempunyai
kewenangan
sepenuhnya
atas
penyelenggaraan
urusan
Indra J.Piliang ed., Otonomi Daerah: Evaluasi Dan Proyeksi, (Jakarta: Yayasan Harkat
Bangsa, 2003), hal. 13.
5
Kewenangan pelaksanaan urusan pemerintahan oleh Pemerintah hanya terbatas pada
kewenangan yang bertujuan: (1) Mempertahankan dan memelihara identitas dan integritas bangsa dan
negara; (2) Menjamin kualitas pelayanan umum yang setara bagi semua warga negara; (3) menjamin
efisiensi pelayanan umum karena jenis pelayanan umum tersebut berskala nasional; (4) Menjamin
keselamatan fisik dan nonfisik secara setara bagi semua warga negara; (5) Menjamin pengadaan
teknologi keras dan lunak yang langka, canggih, mahal, dan beresiko tinggi serta sumber daya manusia
yang berkualifikasi tinggi tetapi sangat diperlukan oleh bangsa dan negara, seperti tenaga nuklir,
teknologi peluncuran satelit, teknologi penerbangan dan sejenisnya; (6) Menjamin supremasi hukum
nasional; dan (7) Menciptakan stabilitas ekonomi dalam rangka peningkatan kemakmuran rakyat.
Dalam Deddy Supriady Bratakusumah dan Dadang Solihin, Otonomi Penyelenggaraan Pemerintahan
Daerah, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2001), hal. 33-34.
Pemerintah sudah tidak perlu campur tangan lagi terhadap urusan pemerintahan yang
telah didesentralisasikan.
Ada anggapan dari Pemerintah Daerah bahwa dengan desentralisasi, Daerah
mempunyai kedudukan dan kewenangan yang besar sehingga Pemerintah tidak perlu
lagi menyelenggarakan urusan pemerintahan yang sudah didesentralisasikan.
Seharusnya, peran Pemerintah sebatas merumuskan kebijakan makro atau koordinasi
secara nasional, Pemerintah tidak lagi mempunyai peran sebagai pelaksana langsung
(executing)
terhadap
penyelenggaraan
urusan
pemerintahan
yang
telah
menyelenggarakan
suatu
urusan
pemerintahan
yang
semestinya
dapat
Idealnya
pemerintah
mampu
mengakomodir
orientasi
politik
hukum/kesadaran hukum masyarakat - yang bersifat pluralis - dan mengharmonisasikannya dengan kebutuhan pemerintah dan dunia internasional, dengan tetap
berpegang pada tujuan nasional, yaitu masyarakat adil dan makmur.
Kenyataan yang terjadi hingga saat ini mengindikasikan, bahwa pemerintah
mempunyai orientasi sendiri, dan yang terlalu maju (bervisi global), sedangkan
masyarakat sebagian besar belum siap dengan visi tersebut. Akibatnya, banyak
peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan pemerintah dinilai tidak memihak
kepentingan rakyat, namun lebih memihak pada dunia perdagangan yang bersifat
global/perdagangan bebas, dan para investor. Padahal, seyogyanya pemerintah sangat
Maria R Ruwiastuti, Sesat Pikir Politik Hukum Agraria, Membongkar Alas Penguasaan
Negara Atas Hak-Hak Adat, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), hlm. 109-110.
10
Banyak hal yang dapat diidentifikasi sebagai permasalahan politik pertanahan sejak
zaman Hindia Belanda, misalnya penerapan sistem Landrente, Cultuurstelsel atau tanam paksa dan
asas Domeinverklaring. Pada intinya politik pertanahan tersebut tidak ditujukan untuk kemakmuran
rakyat (Indonesia), melainkan untuk pemerintah Belanda dan kaum modal asing lainnya.
11
Arie Sukanti Hutagalung, Tebaran Pemikiran Seputar Masalah Hukum Tanah, (Jakarta:
Lembaga Pemberdayaan Hukum Indonesia, 2005), hlm.40.
12
B. Permasalahan
Berdasarkan uraian latar belakang, maka permasalahan yang akan diteliti
dan dianalisis dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut :
1. Bagaimanakah kewenangan urusan pertanahan menurut Undang-Undang Pokok
Agraria dengan Undang-Undang Pemerintahan Daerah?
2. Bagaimanakah kewenangan Pemerintah Daerah dalam penyelenggaraan urusan
pertanahan dalam konteks Otonomi Daerah?
3. Apakah hambatan-hambatan yang terjadi dalam pelaksanaan kewenangan
pertanahan di daerah serta upaya-upaya apa yang dilakukan?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah yang telah dikemukakan diatas, maka
penelitian ini bertujuan :
1. Untuk mengetahui pengaturan kewenangan urusan pertanahan menurut UndangUndang Pokok Agraria dengan Undang-Undang Pemerintahan Daerah.
2. Untuk mengetahui kewenangan Pemerintah Daerah dalam penyelenggaraan
urusan pertanahan dalam konteks Otonomi Daerah.
3. Untuk mengetahui hambatan-hambatan yang terjadi dalam pelaksanaan
kewenangan pertanahan di daerah serta upaya-upaya yang dilakukan.
D. Manfaat Penelitian
Bertitik tolak dari latar belakang serta rumusan masalah yang telah
diuraikan, manfaat penelitian ini adalah :
1. Mendeskripsikan dan menganalisis secara juridis dinamika pengaturan pembagian
urusan pemerintahan antara Pemerintah dan Daerah di Indonesia khususnya di
bidang pertanahan.
2. Untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi pengaturan
pembagian urusan pemerintahan antara Pemerintah dan Daerah khususnya di
bidang pertanahan.
Penelitian ini diharapkan memberi manfaat dan kegunaan secara teoritis,
berupa :
1. Sumbangan pemikiran terhadap kajian pembagian urusan pemerintahan antara
Pemerintah dan Daerah di bidang pertanahan.
2. Sebagai salah satu referensi untuk mengkaji lebih mendalam mengenai hukum
ketatanegaraan dan administrasi negara khususnya hukum pemerintahan daerah
yang secara langsung berkaitan desentralisasi dan otonomi daerah di bidang
pertanahan.
Manfaat dan kegunaan dari penelitian ini secara praktis adalah:
1. Sebagai masukan pemikiran untuk pembangunan hukum dalam rangka
memperkuat dan mendorong otonomi daerah dengan kewenangan yang seluasluasnya namun tetap dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.
2. Penelitian ini dapat menjadi masukan untuk kebijakan dan pengaturan terkait
dengan pembagian urusan pemerintahan di bidang pertanahan.
3. Diharapkan berguna sebagai bahan kajian untuk akselerasi otonomi daerah,
sebagai upaya mendekatkan pelayanan pemerintah dengan masyarakat untuk
mencapai kesejahteraan masyarakat serta terwujudnya clean government dan
good governance di bidang pertanahan.
E. Keaslian Penelitian
Berdasarkan pengamatan dan penelusuran kepustakaan yang dilakukan di
Perpustakaan Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, dan sepanjang yang diketahui
belum ada penelitian yang dilakukan dengan mengangkat Judul Kewenangan Bidang
Pertanahan Dalam Konteks Otonomi Daerah (Studi di Kantor Wilayah Badan Pertanahan
Nasional Provinsi Sumatera Utara).
Dengan demikian, penelitian ini dapat dikatakan penelitian yang pertama
kali dilakukan di lingkungan Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, oleh
karenanya, penulis berkeyakinan bahwa judul tesis ini dan permasalahan yang
diajukan belum pernah diteliti dan dibahas, sehingga dapat dikatakan asli.
14
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama,
2008), hal. 17.
15
Bhenyamin Hoessein, Penyempurnaan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 Menurut
Konsepsi Otonomi Daerah Hasil Amandemen 1945, disampaikan dalam Seminar Dan Lokakarya
Pembangunan Hukum Nasional VIII, diselenggarakan oleh BPHN Depkumham, Bali, 14 18 Juli
2003, hal. 1.
16
Marsilam Simanjutak, Pandangan Negara Integralistik, (Jakarta: Grafiti, 1997), hal. 85.
Pemerintah
mempunyai
wewenang
untuk
menyerahkan
sebagian
19
Agussalim Andi Gadjong, Pemerintahan Daerah, Kajian Politik Dan Hukum, (Bogor:
Ghalia Indonesia, 2007), hal. x.
20
Moh. Mahfud MD., Konstitusi dan Hukum Konstitusi dalam Kontroversi Isu, (Jakarta:
Rajawali Pers, 2009), hal. 212. Mahfud juga menjelaskan bahwa konsep kesatuan berbeda dengan
konsep persatuan, persatuan adalah sikap batin atau kejiwaan atau semangat kolektif untuk bersatu
dalam ikatan kebangsaan dan negara.
21
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Op.Cit., hal. 269.
22
Arthur Maass, Area And Power A Thery Of Local Government, (Illions: Glencoe, 1969), hal. 9.
Bhenyamin Hoessein, Berbagai Faktor Yang Mempengaruhi Besarnya Otonomi Dati II
Suatu Kajian Desentralisasi Dan Otonomi Daerah Dari Segi Ilmu Administrasi Negara, Disertasi,
Universitas Indonesia, Jakarta, 1993, hal. 71.
23
bahwa politik hukum mencakup ius constitutum atau hukum yang berlaku di wilayah
negara pada saat ini dan ius contituendum atau hukum yang atau seharusnya
diberlakukan di masa mendatang.
Sementara itu, Padmo Wahyono 28 mengatakan bahwa politik hukum adalah
kebijakan dasar yang menentukan arah, bentuk, maupun isi dari hukum yang akan
dibentuk. Politik hukum adalah kebijakan penyelenggara negara tentang apa yang
dijadikan kriteria untuk menghukumkan sesuatu yang di dalamnya mencakup
pembentukan, penerapan, dan penegakan hukum. Dalam hal ini, Padmo Wahyono
melihat politik hukum dengan lebih condong pada aspek ius constituendum.
Soedarto memberikan pengertian politik hukum adalah kebijaksanaan dari
negara dengan perantaraan badan-badan yang berwenang untuk menetapkan
peraturan perundangan yang dikehendaki dan diperkirakan dapat digunakan untuk
mengekspresikan norma yang terkandung dalam masyarakat dan untuk mencapai
tujuan yang dicita-citakan. 29 Dari berbagai definisi politik hukum, dapat dibuat
rumuan sederhana bahwa politik hukum itu adalah arahan atau garis resmi yang
dijadikan dasar pijak dan cara untuk membuat dan melaksanakan hukum dalam
rangka mencapai tujuan bangsa dan negara. Dapat juga dikatakan bahwa politik
hukum merupakan upaya menjadikan hukum sebagai proses pencapaian tujuan
28
Ibid.
Aruan Sakidjo dan Bambang Poernomo. Hukum Pidana: Dasar Aturan Umum Hukum
Pidana Kodifikasi, Cet. I, (Yogyakarta: Ghalia Indonesia, 1990), hal. 55.
29
negara. 30 Tujuan politik hukum nasional adalah, pertama, sebagai suatu alat atau
sarana dan langkah yang dapat digunakan oleh pemerintah untuk menciptakan suatu
sistem hukum nasional yang dikehendaki; Kedua, dengan sistem hukum nasional itu
akan diwujudkan cita-cita bangsa Indonesia yang lebih besar. 31
Selanjutnya, konsep dan pokok aturan hukum agraria yang termuat dalam
Undang-Undang Pokok Agraria Nomor. 5 Tahun 1960 (selanjutnya disebut UUPA)
merupakan produk hukum dan cerminan kebijakan pemerintahan saat itu, yakni orde
lama. Undang-Undang Pokok Agraria Nomor. 5 Tahun 1960 (selanjutnya disebut
UUPA) ditujukan guna pembaruan hukum agraria saat itu, namun belum cukup
waktu dan terlaksana apa yang diprogramkan, kepemimpinan negara berpindah pada
rezim orde baru yang memiliki pola kepemimpinan yang berbeda. Sebagaimana
diketahui masa orde baru adalah masa pertumbuhan sehingga seluruh kebijakan
sangat
propertumbuhan.
Meskipun
banyak
kebijakan
pembangunan
dan
30
Teuku Muhammad Radhi dalam Moh. Mahfud MD, Membangun Politk Hukum,
Menegakkan Konstitusi, Op.Cit., hal. 16.
31
Imam Syaukani dan A. Ahsin Thohari, Dasar-Dasar Politik Hukum, (Jakarta:
Rajagrafindo Persada, 2004), hal. 59.
32
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok
Agraia, Isi, dan Pelaksanaanya (Jilid I), (Jakarata: Penerbit Djambatan, 2003), hal. 243-244.
presiden,
keputusan/peraturan
menteri),
pengaturan
dan
kebijakan di bidang agraria juga didukung oleh beberapa Ketetapan MPR, seperti
TAP
MPR
No.XV/MPR/1998
tentang
Penyelenggaraan
Otonomi
Daerah;
Hal ini menunjukkan bahwa posisi hukum tanah nasional sangat signifikan
dan terkait dengan kepentingan antar dan berbagai sektor dan bidang hukum lainnya.
Namun
demikian
fakta
menunjukkan
bahwa
ada
ketidakharmonisan
dan
33
36
Ibid., Pasal 4.
Ibid., Pasal 5.
Ibid., Pasal 6.
39
Kata ulayat berasal dari bahasa Minang, berarti wilayahnya. Lihat Boedi Harsono,
Hukum Agraria Indonesia, Sejarah, Op.Cit., hal. 83.
40
Masyarakat adat adalah masyarakat yang timbul secara spontan di wilayah tertentu
dengan rasa solidaritas yang besar diantara anggota dan memandang yang bukan anggota sebagai
orang luar. Penggunaan wilayahnya sebagai sumber kekayaan yang dapat dimanfaatkan sepenuhnya
oleh anggotanya. Pemanfaatan oleh orang luar harus mendapat izin dan pemberian imbalan tertentu
berupa recognisi, Lihat dalam Maria. S.W. Sumardjono, Hak Ulayat dan Pengakuannya Dalam
UUPA, (Jakarta: Kompas, 13 Mei 1993), hal. 4.
41
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional
(Propenas) Tahun 2000-2004, Lembaran Negara Nomor 206 Tahun 2000.
38
setempat, termasuk hak ulayat masyarakat adat dengan tetap menjaga kelestarian
fungsi lingkungan hidup. 42
Terkait dengan dimulainya era desentralisasi, maka dalam rangka
pembangunan daerah, di samping aspek ruang, maka sebagian besar kegiatan
masyarakat berkaitan dengan tanah yang merupakan aset bagi perorangan, badan
usaha, dan publik yang wajib diakui. Pada saat ini masalah pengelolaan atau
administrasi pertanahan dilakukan oleh pemerintah untuk menjamin ketertiban proses
sertifikasi status tanah, penguasaan penggunaan, dan pengalihan pemilikan tanah,
penguasaan penggunaan, dan pengalihan pemilikan tanah. Peran pemerintah sangat
penting untuk menjamin kepastian hukum, kelancaran penggunaan tanah oleh semua
anggota masyarakat untuk berbagai kepentingan. Hal ini dilakukan dengan
mengembangkan kebijakan pertanahan untuk meningkatkan pemanfaatan dan
penggunan tanah secara adil, transparan dan produktifitas dengan mengutamakan
hak-hak rakyat setempat, termasuk hak ulayat dan masyarakat adat, serta berdasarkan
tata ruang wilayah yang serasi dan seimbang.
Untuk melaksanakan amanat GBHN 1999-2004, program pembangunan
prioritas untuk mempercepat pengembangan wilayah di bidang pertanahan adalah
dengan Program Pengelolaan Pertanahan. Tujuan dari program ini adalah
mengembangkan administrasi pertanahan untuk meningkatkan pemanfaatan dan
penguasaan tanah secara adil dengan mengutamakan hak-hak rakyat setempat
termasuk hak ulayat masyarakat hukum adat dan meningkatkan kapasitas
42
Ibid.
kelembagaan pengelolaan pertanahan di pusat dan daerah. Sasaran yang ingin dicapai
adalah adanya kepastian hukum terhadap hak milik atas tanah; dan terselenggaranya
pelayanan pertanahan bagi masyarakat secara efektif oleh setiap pemerintah daerah
dan berdasarkan pada peraturan dan kebijakan pertanahan yang berlaku secara
nasional. 43 Adapun kegiatan pokok yang dilakukan adalah (1) peningkatan pelayanan
pertanahan di daerah yang didukung sistem informasi pertanahan yang andal; (2)
penegakan hukum pertanahan secara konsisten; (3) penataan penguasaan tanah agar
sesuai dengan rasa keadilan; (4) pengendalian penggunaan tanah sesuai dengan
rencana tata ruang wilayah termasuk pemantapan sistem perizinan yang berkaitan
dengan pemanfaatan ruang atau penggunaan tanah didaerah; dan (5) pengembangan
kapasitas kelembagaan pertanahan di pusat dan daerah. 44
2. Konsepsi
Dalam penelitian ini terdapat beberapa konsep dan terminologi yang perlu
untuk dijelaskan secara lebih rinci serta diberikan batasan dalam definisinya.
Penjelasan dan pemberian dimaksudkan untuk memberikan definisi atau gambaran
yang sama tentang konsep dan terminologi yang berhubungan topik pada penelitian
ini. Kerangka konsep yang digunakan dalam penulisan ini berasal dari undangundang dan pendapat ahli. Beberapa definisi dan batasan yang dapat digunakan
sebagai pedoman operasional dalam penulisan ini antara lain sebagai berikut :
43
44
Ibid.
Ibid.
urusan
pemerintah
adalah
pembagian
kewenangan
dalam
kabupaten/kota
adalah
kewenangan
pemberian
izin
lokasi;
50
Dharma Setyawan Salam, Otonomi Daerah Dalam Perspektif Lingkungan, Nilai, dan
Sumber Daya (Jakarta: Penerbit Djambatan, 2003), hlm. 81. Kemudian pengertian otonomi daerah
menurut Bhenyamin Hossein adalah pemerintahan oleh, dari, dan untuk rakyat di bagian wilayah
nasional suatu negara melalui lembaga-lembaga pemerintahan yang secara formal berada di luar
pemerintah pusat. Bhenyamin Hoessein, Perubahan Model, Pola, dan Bentuk Pemerintahan Daerah:
Dari Era Orde Baru ke Era Reformasi, Op.Cit., hal. 18. Lihat juga pengertian daerah dalam UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah bahwa otonomi daerah adalah hak,
wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan
dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
51
Pasal 2 ayat (2) huruf a, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok
Agraria.
52
Pasal 14 ayat (2) huruf a, Ibid.
G. Metode Penelitian
1. Spesifikasi Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian yang bersifat deskriptif, yaitu suatu penelitian
yang bertujuan untuk mendeskripsikan atau menggambarkan dan menganalisis data
yang diperoleh secara sistematis, faktual dan akurat tentang kewenangan bidang
pertanahan dalam konteks otonomi daerah.
Spesifikasi penelitian yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah dengan
menggunakan penelitian hukum normatif. Mengambil istilah Ronald Dworkin, penelitian
semacam ini juga disebut dengan istilah penelitian doktrinal54 (doctrinal research), yaitu
penelitian yang menganalisis hukum, baik yang tertulis di dalam buku (law as it is
written in the book), maupun hukum yang diputuskan oleh hakim melalui proses
pengadilan (law as it decided by the judge through judicial process).55 Dalam penelitian
ini bahan kepustakaan dan studi dokumen dijadikan sebagai bahan utama sementara data
lapangan yang diperoleh melalui wawancara akan dijadikan sebagai data pendukung atau
pelengkap.
53
2. Metode Pendekatan
Penelitian ini mempergunakan metode pendekatan deskriftif dengan melalui
pendekatan yuridis normatif, dimulai analisis terhadap pasal-pasal yang mengatur
hal-hal yang menjadi permasalahan diatas, dengan mengingat permasalahan yang
diteliti berdasarkan pada peraturan-peraturan perundang-undangan yaitu hubungan
peraturan satu dengan peraturan lain serta kaitannya dengan penerapannnya dalam
praktek.
Pada prakteknya kedua jenis alat pengumpul data tersebut dapat dipergunakan
secara bersama-sama, karena disamping studi dokumen, peneliti juga melakukan
wawancara kepada instansi lain dalam kaitannya dengan penelitian ini.
4. Analisis Data
Setelah alat pengumpulan data dilakukan, maka data tersebut dianalisa secara
kualitatif 56 yakni dengan mengadakan pengamatan data-data yang diperoleh dan
menghubungkan tiap-tiap data yang diperoleh tersebut dengan ketentuan-ketentuan
maupun asas-asas hukum yang terkait dengan permasalahan yang diteliti. Karena
penelitian ini normatif, dilakukan interpretasi dan konstruksi hukum dengan menarik
kesimpulan menggunakan cara deduktif menjawab dari permasalahan dan tujuan
penelitian yang ditetapkan.
5. Sumber data
Pengumpulan data diperoleh dari penelitian kepustakaan yang didukung
penelitian lapangan. Penelitian kepustakaan (library research) yaitu menghimpun
data dengan melakukan penelaahan bahan kepustakaan atau data sekunder
yang meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum
tertier. 57
56
j.
mengenai bahan hukum primer, seperti : hasil-hasil penelitian dan karya ilmiah
dari kalangan hukum, yang berkaitan dengan kewenangan bidang pertanahan
dalam konteks otonomi daerah.
3. Bahan tertier adalah bahan pendukung di luar bidang hukum seperti kamus
ensiklopedia atau majalah yang terkait dengan kewenangan bidang pertanahan
dalam konteks otonomi daerah.
BAB II
URUSAN PERTANAHAN
MENURUT UNDANG-UNDANG POKOK AGRARIA
DAN UNDANG-UNDANG PEMERINTAHAN DAERAH
hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan Negara,
yang berdasarkan atas persatuan bangsa dan sosialisme Indonesia, serta dengan
peraturan-peraturan yang tercermin dalamUndang-Undang Pokok Agraria Nomor. 5
Tahun 1960
58
Van Vollenhoven, 1925, Het Adatrecht van Nederlandsch Indie, Jilid I Bagian Pertama.
Lihat juga Arie Sukanti Hutagalung dan Markus Gunawan, Kewenangan Pemerintah di Bidang
Pertanahan, (Jakarta: Rajawali Press, 2008), hal. 16. Lihat juga Hazairin, Demokrasi Pancasila,
(Jakarta: Tinta Mas, 1973), hal. 44.
hak milik raja. Semua tanah yang ada di seluruh wilayah kerajaan adalah milik
sepenuhnya dari raja yang bersangkutan. Di negara-negara yang tidak menganut
sistem kerajaan, kemudian dilakukan analog bahwa tanah-tanah adalah milik negara,
sehingga penguasaan tertinggi atas tanah ada pada negara sebagai pengganti
kedudukan raja. Dalam hukum tanah barat yang pernah berlaku di Indonesia ada
konsep Domein Verklaring berdasarkan Agrarishce Wet 1848 yang didasarkan pada
keputusan (Besluit) Raja Belanda bahwa terhadap tanah-tanah yang tidak dapat
dibuktikan kepemilikannya oleh rakyat Indonesia, maka menjadi hak (domein)
negara. Berdasarkan ketentuan tersebut maka terhadap hak-hak atas tanah yang
dikuasai oleh masyarakat hukum adat Indonesia yang tidak ada bukti kepemilikannya
menurut hukum tanah Barat berdasarkan prinsip Domein Verklaring, maka tanahtanah tersebut adalah menjadi milik negara.
Ketentuan dalam Agrarische Wet dan hukum tanah peninggalan Pemerintah
Penjajah Belanda kemudian dicabut dengan Undang-Undang Pokok Agraria Nomor.
5 Tahun 1960
kepemilikan atas tanah baik yang dikuasai dengan hukum Barat maupun hukum adat.
Melalui pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria Nomor. 5 Tahun 1960
(selanjutnya disebut UUPA) ini maka hak-hak atas tanah yang sebelumnya dibagi
berdasarkan hak atas tanah menurut hukum Barat dan hak atas tanah menurut hukum
tanah nasional. Terhadap tanah-tanah yang sampai berlakunya UUPA masih
menggunakan nama hak atas tanah yang lama maka kemudian dilakukan konversi
menjadi hak-hak atas tanah nasional menurut UUPA sebagaimana yang diatur dalam
Pasal 16, yaitu terdiri atas hak milik, hak guna bangunan, hak guna usaha, hak pakai,
hak sewa dan hak-hak lainnya.
Kelahiran Undang-Undang Pokok Agraria Nomor. 5 Tahun 1960 (selanjutnya
disebut UUPA) dinilai sebagai suatu keberhasilan perjuangan bangsa Indonesia dalam
melepaskan diri dari belenggu hukum kolonial yang pada dua dekade pasca
kemerdekaan Indonesia Tahun 1945 masih menguasai hukum di Indonesia. Melalui
UUPA maka bangsa Indonesia berarti telah melepaskan diri dari keterikatan terhadap
peraturan hukum tanah yang bersendikan pemerintah jajahan yang amat bertentangan
dengan kepentingan dan jiwa bangsa Indonesia, sehingga kontraproduktif dengan
kepentingan dan tujuan pembangunan nasional. Kelahiran UUPA sesuai dengan
kondisi Indonesia sebagai negara agraris dan negara kepulauan di mana keberadaan
bumi, air dan ruang angkasa sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa mempunyai
fungsi yang amat penting untuk membangun masyarakat yang adil dan makmur
sesuai cita-cita bangsa Indonesia. Oleh karena itu hukum tanah nasional yang berlaku
harus memberikan kemungkinan tercapainya fungsi bumi, air dan ruang angkasa
sesuai dengan cita-cita dan kepentingan seluruh rakyat Indonesia.
Hukum tanah nasional harus merupakan penjelmaan dari asas dan cita-cita
hukum (recht ide) Bangsa Indonesia sesuai nilai-nilai Pancasila, yakni bersendikan
pada nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa, Perikemanusiaan, Kebangsaan,
Kerakyatan dan Keadilan Sosial serta harus merupakan implementasi dari ketentuan
nasional tentang bumi, air dan ruang angkasa sebagaimana diatur dalam Pasal 33
UUD 1945. Dalam Penjelasan Undang-Undang Pokok Agraria Nomor. 5 Tahun 1960
Dasar kenasionalan sebagaimana diletakkan dalam Pasal 1 ayat 1 UndangUndang Pokok Agraria Nomor. 5 Tahun 1960 (selanjutnya disebut UUPA) yang
meyatakan bahwa : Seluruh wilayah Indonesia adalah kesatuan tanah air dari
seluruh rakyat Indonesia, yang bersatu sebagai Bangsa Indonesia. Demikian
pula dalam Pasal 1 ayat 2 UUPA yang menyebutkan bahwa : Seluruh bumi, air
dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya
merupakan Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai karunia
Tuhan Yang Maha Esa, adalah bumi, air dan ruang angkasa Bangsa Indonesia
yang merupakan kekayaan nasional.
Hubungan bangsa Indonesia dengan bumi, air dan ruang angkasa merupakan
sejenis hubungan hak ulayat yang diangkat pada tingkat yang paling atas, yaitu
mengenai seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Adapun
hubungan antara bangsa dan bumi, air, serta ruang angkasa Indonesia itu adalah
hubungan yang bersifat abadi. Adanya hubungan antara bangsa dan bumi, air
serta ruang angkasa tersebut tidak berarti bahwa hak milik perseorangan atas
sebagian dari bumi tidak dimungkinkan lagi. Hanya permukaan bumi saja, yaitu
yang disebut tanah, yang dapat dihaki oleh seseorang. Selain hak milik sebagai
hak turun-temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah,
terdapat juga hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, hak sewa dan hakhak lainnya.
2.
Negara tidak bertindak sebagai pemilik tanah, melainkan bertindak selaku badan
penguasa. Dari kata dikuasai oleh Negara bukan berarti dimiliki namun
merupakan pengertian yang memberi wewenang kepada Negara sebagai
organisasi kekuasaan dari bangsa Indonesia pada tingkatan tertinggi untuk
mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan
pemeliharaannya, menentukan dan mengatur hak-hak yang dapat dipunyai atas
bagian dari bumi (yaitu tanah), air dan ruang angkasa itu, menentukan dan
mengatur hubungan-hubangan hukum antara orang-orang dan perbuatanperbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa. Semuanya itu
4.
Semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial. Hal ini bermakna bahwa
penggunaan tanah harus disesuaikan dengan keadaan tanah bersangkutan serta
sifat haknya, sehingga bermanfaat bagi kesejahteraan dan kebahagiaan bagi
pihak yang mempunyainya, serta bermanfaat bagi masyarakat dan Negara.
Kepentingan masyarakat dan kepentingan perseorangan haruslah saling
mengimbangi, sehingga pada akhirnya akan tercapai tujuan pokok, yakni
kemakmuran, keadilan dan kebahagiaan bagi rakyat secara keseluruhan.
5.
Sesuai dengan asas kebangsaan maka hanya warga Negara Indonesia saja yang
dapat mempunyai hak milik atas tanah. Hak milik tidak dapat dipunyai oleh
orang asing dan pemindahan hak milik kepada orang asing adalah dilarang.
Orang-orang asing dapat mempunyai tanah dengan hak pakai yang luasnya
terbatas. Meskipun pada dasarnya badan-badan hukum tidak dapat mempunyai
hak milik atas ranah, namun mengingat akan keperluan masyarakat yang sangat
erat
hubungannya
dengan
paham
keagamaan,
sosial
dan
hubungan
7.
keluarganya. Di samping itu perlu diatur pula tentang batas maksimum luas tanah
yang dapat dimiliki dengan hak milik, agar dapat dicegah terjadinya akumulasi
atau penumpukan tanah pada satu tangan atau keluarga atau golongan tertentu
saja. Dalam hubungan ini maka Pasal 7 Undang-Undang Pokok Agraria Nomor.
5 Tahun 1960 (selanjutnya disebut UUPA) memuat suatu asas yang penting,
yaitu bahwa pemilikan dan penguasaan tanah yang melampaui batas tidak
diperkenankan atau dilarang karena dapat merugikan kepentingan umum.
8.
Untuk mencapai apa yang menjadi cita-cita bangsa dan Negara Indonesia di
bidang pertanahan, maka perlu adanya suatu rencana mengenai peruntukan,
penggunaan dan persediaan bumi, air dan ruang angkasa untuk pelbagai
kepentingan hidup rakyat dan Negara. Rencana umum (general plan) tersbut
meliputiseluruh wilayah Indonesia, yang kemudian diperinci menjadi rencanarencana khusus dari tiap-tiap daerah di seluruh Indonesia. Dengan adanya
perencanaan tersebut, maka penggunaan tanah dapat dilakukan secara terencana,
terpimpin dan teratur sehingga dapat membawa manfaat yang sebesar-besarnya
bagi Negara dan seluruh rakyat Indonesia.
Selanjutnya untuk mencapai tujuan kedua dari diterbitkannya Undang-
Undang Pokok Agraria Nomor. 5 Tahun 1960 (selanjutnya disebut UUPA), yakni
meletakkan dasar-dasar untuk melakukan unifikasi dan kesederhanaan hukum tanah
nasional, maka ada beberapa prinsip yang harus diperhatikan dan dilaksanakan, yaitu:
1. UUPA bermaksud menghilangkan dualisme peraturan dan secara sadar hendak
mengadakan kesatuan atau unifikasi hukum sesuai dengan keinginan rakyat
sebagai bangsa yang bersatu dan sesuai pula dengan kepentingan perekonomian
nasional. Hal ini penting mengingat tanah merupakan salah satu asset atau modal
bangsa dan sebagai salah satu sarana untuk menunjang kegiatan di bidang
ekonomi.
2. Upaya menyelenggarakan unifikasi hukum melalui Undang-Undang Pokok
Agraria Nomor. 5 Tahun 1960
pemegang hak atas tanah yang bersangkutan, dengan maksud agar mereka
memperoleh kepastian tentang haknya. Di samping itu dalam Pasal 19 UndangUndang Pokok Agraria Nomor. 5 Tahun 1960 (selanjutnya disebut UUPA) yang
mengatur mengenai pendaftaran tanah juga ditujukan kepada Pemerintah sebagai
suatu instruksi untuk menjalankan pendaftaran tanah agar di seluruh wilayah
Indonesia diadakan pendaftaran tanah yang bersifat rechts kadaster yang bertujuan
untuk menjamin kepastian hukum bagi hak-hak atas tanah di seluruh wilayah
Indonesia.
Kendati hukum tanah nasional telah diunifikasi melalui Undang-Undang
Pokok Agraria Nomor. 5 Tahun 1960 (selanjutnya disebut UUPA), namun beberapa
ketentuan baru sesuai perkembangan masyarakat belum terakomodasi dalam UUPA.
Menurut Maria S.W Soemardjono, UUPA masih meninggalkan banyak pekerjaan
rumah. Di samping itu, masalah pertanahan yang dihadapi tidak semakin berkurang,
namun justru malah bertambah dalam kompleksitasnya. Oleh karena itu di dalam
pembentukan peraturan perundang-undangan yang merupakan peraturan pelaksana
UUPA ataupun peraturan-peraturan lain yang relevan, pada umumnya tidak
dilengkapi dengan pemikiran yang tuntas terhadap peraturan pelaksananya.
Kesenjangan ini jika dibiarkan terlalu lama sudah barang tentu akan menimbulkan
ketidakpastian hukum. 61 Guna mengantisipasi perkembangan di bidang hukum tanah,
maka harus senantiasa dilakukan modernisasi terhadap ketentuan dalam UUPA
61
dekonsentrasi,
karena
sesungguhnya
dekonsentrasi
merupakan
62
Dharma Setyawan Salam, Otonomi Daerah Dalam Perspektif Lingkungan Nilai dan
Sumber Daya Alam, (Jakarta: Djambatan, 2003), hal. 81.
daerah
adalah
penyelenggaraan
pemerintahan
oleh
daerah
yang
63
untuk mendukung dan melaksanakan kebijakan di daerahnya terutama untuk tugastugas rutin dan tugas pembangunan demi untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat.
Dengan demikian maka wewenang yang dilimpahkan oleh Pemerintah Pusat
kepada Daerah dapat diperbesar atau diperkecil atau juga dapat ditarik/dicabut
kembali secara keseluruhan. Penambahan bobot atau besaran wewenang oleh
Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah tidak akan mengakibatkan munculnya
staat atau negara dalam negara di negara bersangkutan. Pelimpahan wewenang
tersebut tidak meliputi kewenangan untuk menetapkan produk legislatif yang disebut
secara formal dalam undang-undang, dan kewenangan mengadili atau yudikatif
(rechtspraak) seperti yang dimiliki oleh suatu negara bagian dalam sistem federal.
Komponen kedua yaitu kemandirian dalam otonomi daerah dapat dilihat dari
adanya kemandirian Pemerintah Daerah untuk menggali Pendapatan Asli Daerah
(PAD), di samping bantuan dari Pemerintah Pusat dalam bentuk Dana Alokasi Umum
(DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK). Apabila suatu daerah memiliki PAD lebih
besar dari DAU dan DAK yang diperoleh dari Pusat, berarti Daerah yang bersangkutan
mempunyai kemandirian yang lebih besar, dibanding daerah yang PAD-nya kecil.
Apabila PAD suatu daearah kecil, maka daerah tersebut ketergantungannya kepada
Pemerintah Pusat sangat besar karena dana untuk penyelenggaraan pemerintahan dan
pembangunan masih ditopang oleh Pemerintah Pusat.
Menurut Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang
Pemerintah Daerah, dikatakan bahwa otonomi daerah adalah hak, wewenang dan
kewajiban daerah untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan
kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Sedang pengertian desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh
Pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan
pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia (Pasal 1 angka 7).
Daerah otonom sebagai penerima penyerahan wewenang dari Pemerintah adalah
kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang
mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat
menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara
Kesatuan Republik Indonesia (Pasal 1 angka 6).
Penyelenggaraan otonomi daerah di Indonesia merupakan amanat UUD 1945
yang intinya menyatakan bahwa Pemerintah Daerah berwenang untuk mengatur dan
mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan.
Pemberian otonomi luas kepada daerah diarahkan untuk mempercepat terwujudnya
kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan peran
serta masyarakat. Melalui otonomi luas maka daerah diharapkan mampu
meningkatkan daya saing dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan,
keadilan, keistimewaan dan kekhususan serta potensi dan keanekaragaman daerah
dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dalam pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia diterapkan prinsip otonomi
seluas-luasnya dalam arti kepada daerah diberikan kewenangan mengurus dan
mengatur semua urusan pemerintahan yang diterapkan berdasarkan undang-undang.
65
Safri Nugraha, dkk, Hukum Administrasi Negara, (Depok-Jakarta: CLGS-FHUI, 2007), hal. 20.
Soetandyo Wignyosoebroto, Desentralisasi Dalam Tata Pemerintahan Kolonial Hindia
Belanda, (Malang: Bayumedia, 2004), hal. 24.
66
Pemerintah
Daerah.
Namun
tidak
semua
urusan
pemerintahan
67
Lihat Sudono Syueb, Dinamika Hukum Pemerintahan Daerah di Indonesia, Sejak Jaman
Penjajah sampai Era Reformasi, (Yogyakarta: LaksBang Mediatama, 2008), hal. 22.
improper
illegal
maka
badan
pemerintah
yang
berwenang
harus
68
Tatik Sri Djatmiati, Prinsip-prinsip Ijin Usaha Industri di Indonesia, Disertasi, Program
Pascasarjana UNAIR, Surabaya, 2002, hal. 61.
69
Philipus M. Hadjon, 1994, Fungsi Normatif Hukum Administrasi dalam Mewujudkan
Pemerintah yang Bersih, Pidato Pengukuhan Guru Besar UNAIR, Surabaya, 10 Oktober 1994, hal.8.
Dalam Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Pokok Agraria Nomor. 5 Tahun 1960
(selanjutnya disebut UUPA) disebutkan bahwa Negara sebagai personifikasi dari
seluruh rakyat diberi wewenang untuk mengatur, yaitu membuat peraturan,
menyelenggarakan dalam arti melaksanakan (execution), menggunakan (use),
menyediakan (reservation) dan memelihara (maintenance) atas bumi, air dan ruang
angkasa serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Berdasarkan hak
menguasai negara atas bumi, air dan kekayaan alam tersebut, maka kewenangan
penguasaan dan pengurusan bidang pertanahan ada pada Negara, di mana di bidang
eksekutif (pemerintahan) dijalankan oleh Presiden (pemerintahan) atau didelegasikan
kepada menteri. 70
Selanjutnya dalam Pasal 2 ayat (4) Undang-Undang Pokok Agraria Nomor. 5
Tahun 1960
70
71
Budi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan UUPA, Isi dan
Pelaksanaannya, Jilid I, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1997), hal. 239.
72
Imam Sutiknjo, Politik Agraria Nasional, (Yogyakarta: Gajah Mada University Press,
1994), hal. 56-57.
hal. 60-61.
74
1. Pemberian hak milik atas tanah pertanian yang luasnya lebih dari 2 ha.
2. Pemberian hak milik atas tanah non pertanian yang luasnya tidak lebih
dari 5.000 M2, kecuali yang kewenangan pemberiannya telah dilimpahkan
kepada Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota.
3. Pemberian Hak Guna Usaha atas tanah yang luasnya tidak lebih dari 200
Ha.
4. Pemberian Hak Guna Bangunan atas tanah yang luasnya tidak lebih dari
150.000 M2, kecuali yang kewenangan pemberiannya telah dilimpahkan
kepada Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/kota.
5. Pemberian Hak Pakai atas tanah pertanian yang luasnya lebih dari 2 ha.
6. Pemberian Hak Pakai atas tanah non pertanian yang luasnya tidak lebih
dari 150.000 M2, kecuali kewenangan pemberiannya telah dilimpahkan
kepada Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota.
7. Pemberian hak atas tanah yang sudah dilimpahkan kewenangan
pemberiannya kepada Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota apabila
atas laporan yang diperlukan berdasarkan keadaan di lapangan.
8. Pembatalan keputusan pemberian hak atas tanah yang telah dikeluarkan
oleh Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota yang terdapat cacat
hukum dalam penerbitannya.
9. Pembatalan keputusan pemberian hak atas tanah yang kewenangan
pemberiannya dilimpahkan kepada Kepala Kantor Pertanahan
Kabupaten/Kota dan Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional
Propinsi untuk melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap
Sedang kewenangan Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota adalah
member keputusan mengenai 75:
1. Pemberian Hak Milik atas tanah pertanian yang luasnya tidak lebih dari 2 ha.
2. Pemberian hak milik atas tanah non pertanian yang luasnya tidak lebih
dari 2.000 M2, kecuali mengenai tanah bekas Hak Guna Usaha.
3. Pemberian Hak Milik atas tanah dalam rangka pelaksanaan program
transmigrasi, redistribusi tanah, konsolidasi tanah, pendaftaran tanah
secara massal baik dalam rangka pelaksanaan pendaftaran tanah secara
sistematik maupun sporadik.
4. Pemberian Hak Guna Bangunan atas tanah yang luasnya tidak lebih dari
2.000 M2, kecuali yang mengenai tanah bekas Hak Guna Usaha.
5. Semua pemberian Hak Guna Bangunan atas tanah Hak Pengelolaan.
6. Pemberian Hak Pakai atas tanah pertanian yang luasnya tidak lebih dari 2 ha.
75
Ibid.
7. Pemberian Hak Pakai atas tanah non pertanian yang luasnya tidak lebih
dari 2.000 M2 kecuali mengenai tanah bekas Hak Guna Usaha.
8. Semua pemberian Hak Pakai atas tanah Hak Pengelolaan.
9. Memberi keputusan mengenai semua perubahan hak atas tanah kecuali
perubahan Hak Guna Usaha menjadi hak lain.
Jadi, kendati Undang-Undang Pokok Agraria Nomor. 5 Tahun 1960
(selanjutnya disebut UUPA) dianggap sebagai induk (payung undang-undang atau
Umbrella Act) bagi pengaturan soal pertanahan namun ternyata masih dirasakan
belum lengkap. Hal ini didasarkan pada ketidakmampuan UUPA dalam menangani
berbagai konflik di bidang pertanahan. Terdapat beberapa kelemahan dalam UUPA,
yaitu, pertama, sistem kepemilikan tanah beraneka ragam bagi perseorangan,
sehingga secara birokratis amat mahal dan tidak menguntungkan bagi masyarakat.
Kedua, sistem kepemilikan tanah bagi perusahaan dan kelompok masih timpang.
Ketiga, fungsi ruang dan pemanfaatan yang terkait dengan pemilikan tanah yang
kurang mendukung mekanisme pasar yang mampu mengatur alokasinya secara adil
dan transparan. 76
Reformasi di bidang pertanahan perlu memperhatikan hak-hak rakyat atas
tanah, fungsi sosial hak atas tanah, batas maksimum pemilikan tanah pertanian dan
perkotaan, serta pencegahan tindakan penelantaran tanah, termasuk berbagai upaya
untuk mencegah pemusatan penguasaan tanah di satu tangan yang merugikan
kepentingan rakyat. Kelembagaan pertanahan perlu disempurnakan agar dapat
terwujud sistem pengelolaan pertanahan yang terpadu, serasi, efektif dan efisien, yang
76
Herman Haeruman, Suatu Pemikiran dalam Reformasi Sistem Agraria, Membentuk Sistem
Pertanahan Positif Yang Lebih Efektif Untuk Kesejahteraan Masyarakat, Opening Remarks
International Conference on Land Policy Reform, Bappenas RI, Jakarta, 26 Juli 2000, hal. 1.
77
IX Tahun 2001 Tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam,
yang ditetapkan pada Sidang Tahunan MPR tanggal 9 November 2001. Perlunya
dilakukan reformasi di bidang pertanahan melalui TAP MPR Nomor IX Tahun 2001
tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam didasarkan pada
pertimbangan 79:
a. Sumber daya agraria atau sumber daya alam meliputi bumi, air dan ruang
angkasa dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya sebagai rahmat
Tuhan Yang Maha Esa kepada Bangsa Indonesia merupakan kekayaan
nasional yang wajib disyukuri. Kekayaan nasional tersebut harus dikelola dan
dimanfaatkan secara optimal bagi generasi sekarang dan generasi mendatang
dalam rangka mewujudkan masyarakat adil dan makmur.
b. MPR mempunyai tugas konstitusional untuk menetapkan arah dan dasar bagi
pembangunan nasional yang dapat menjawab berbagai persoalan kemiskinan,
ketimpangan dan ketidakadilan sosial ekonomi rakyat, serta kerusakan sumber
daya alam.
c. Pengelolaan sumber daya agraria/sumber daya alam yang berlangsung selama
ini telah menimbulkan penurunan kualitas lingkungan, ketimpangan struktur
penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatannya serta menimbulkan
berbagai konflik.
d. Peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pengelolaan sumber
daya agraria/SDA saling tumpang tindih.
79
80
Pasal 4, TAP MPR Nomor IX Tahun 2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan
Sumber Daya Alam
Ibid.
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang menyatakan bahwa yang
dilimpahkan kepada Daerah bukanlah urusan di bidang pertanahan, tetapi hanya
terkait dengan pelayanan pertanahan. Itu artinya pemegang kebijakan dan pembuat
regulasi di bidang pertanahan tetap dijalankan oleh Pemerintah Pusat, sementara
Pemerintah Daerah hanya sebatas menjalankan kebijakan dan melaksanakan produk
hukum di bidang pertanahan yang telah diterbitkan oleh Pemerintah Pusat.
82
Ibid.
Bagir Manan, Dasar-Dasar Perundang-undangan Indonesia, (Jakarta: IND-HILL CO,
1992), hal. 22.
85
Lili Rasjidi dan I.B. Waysa Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem, (Bandung: Remaja
Rosdakarya, 1993), hal. 136.
84
pendidikan;
kesehatan;
pekerjaan umum;
perumahan;
penataan ruang;
perencanaan pembangunan;
perhubungan;
lingkungan hidup;
pertanahan;
Pasal 2 ayat (4), Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007.
Dengan mengacu pada terori hirarkhi hukum dan asas lex superiori derogate legi
inferiori, maka ketentuan yang seharusnya diberlakukan adalah sebagaimana yang
tercantum dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah , khususnya Pasal 13 dan 14.
Adapun perincian kewenangan di bidang pertanahan yang masih diurusi oleh
Pemerintah Pusat termuat dalam Lampiran Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun
2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah
Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota lampiran I, yaitu sebagai berikut 87:
desentralisasi
secara
utuh
dilaksanakan
di
daerah
yang wajib dijalankan oleh Pemerintah Kabupaten dan Kota, yaitu meliputi pekerjaan
umum, kesehatan, industri dan perdagangan, pertanahan, penanaman modal,
lingkungan hidup, peternakan, koperasi dan tenaga kerja.
Sedang wewenang Propinsi ditentukan secara umum, yaitu urusan (bidang)
pemerintahan yang bersifat lintas kabupaten dan kota, urusan (bidang) pemerintahan
tertentu, serta urusan pemerintahan yang belum dapat dilaksanakan oleh kabupaten
dan kota. Wewenang Pemerintah Kabupaten dan Kota berkaitan dengan desentralisasi
(otonomi) tersebut terlihat sangat luas, bahkan ada yang berdimensi internasional
seperti urusan perhubungan, penanaman modal, keimigrasian, bea cukai dan
lingkungan hidup. Sementara kewenangan Pemerintah Propinsi hanya mengurusi
bidang tertentu yang tidak dapat dilaksanakan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota atau
urusan yang bersifat lintas kabupaten/kota. Luasnya urusan yang diserahkan kepada
Pemerintah Kabupaten.Kota mengakibatkan terjadi euphoria dan kekagetan daerah
sehingga semua bidang diurusi meski daerah tersebut sebenarnya tidak mampu dan
belum siap untuk mengurusi sendiri.
Apabila ditilik Pasal 11 (2) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah maka urusan di bidang pertanahan menjadi kewenangan Daerah
Otonom, artinya undang-undang melimpahkan kewenangan di bidang pertanahan
kepada Pemerintah Daerah. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000
tentang Pembagian Wewenang Antara Pusat dan Provinsi dalam Pelaksanaan
Otonomi Daerah dijelaskan bahwa yang dimaksud kewenangan pemerintah adalah
hak dan kekuasaan Pemerintah untuk menentukan atau mengambil kebijakan dalam
88
Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Pembagian Wewenang Antara Pusat
dan Provinsi dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah
89
Pasal 4 ayat (3) Lampiran VII.17, Keputusan Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah
Nomor 50 Tahun 2000 tentang Pedoman Susunan Organisasi Perangkat Daerah
disebutkan dalam Pasal 129 ayat (2) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah. Beberapa instansi Pusat berhasil dilebur menjadi Dinas
Daerah, namun untuk bidang pertanahan instansi pusat di daerah, yakni Kantor
Pertanahan Kabupaten/Kota tidak dapat dilebur menjadi Dinas Pertanahan. Padahal,
di beberapa daerah Kabupaten/Kota telah diterbitkan Peraturan Daerah tentang
pembentukan dinas-dinas Daerah, salah satunya adalah Dinas Pertanahan.
Dalam Keputusan Presiden Nomor 95 Tahun 2000 tentang Badan Pertanahan
Nasional (BPN) dinyatakan bahwa kantor BPN Kabupaten/Kota tetap merupakan
instansi vertical yang secara teknis administrasi berada di bawah pembinaan BPN
Pusat dan tetap melaksanakan tugas dan fungsinya sampai ada ketentuan lebih lanjut
(Pasal 32 ayat 2). Selanjutnya dalam Keputusan Presiden Nomor 10 Tahun 2001
Tentang Pelaksanaan Otonomi Daerah di Bidang Pertanahan, tanggal 17 Januari
melikuidasi
merupakan
instansi
Kantor
Pertanahan
Pemerintah
Pusat
Kabupaten/Kota
(vertikal)
di
yang
daerah.
sebelumnya
Menghadapi
B.N Marbun, Otonomi Daerah 1945-2005 Proses dan Realita, Perkembangan Otonomi
Daerah Sejak Zaman Kolonial Sampai Saat Ini, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2005), hal. 108.
91
Sudono Syueb, 2008, Op.Cit, hal. 86.
kepada daerah otonom untuk mengurus dan mengatur semua urusan pemerintahan di
luar bidang yang menjadi urusan Pemerintah. Daerah memiliki kewenangan untuk
membuat kebijakan guna member pelayanan, peningkatan peran serta, prakarsa dan
pemberdayaan masyarakat yang bertujuan pada peningkatan kesejahteraan rakyat.
Berdasarkan prinsip otonomi luas tersebut maka kemudian dilaksanakan
otonomi yang nyata dan bertanggung jawab, yaitu suatu prinsip bahwa untuk
menangani urusan pemerintahan dilaksanakan berdasarkan tugas, wewenang dan
kewajiban yang senyatanya telah ada dan berpotensi untuk tumbuh, hidup dan
berkembang sesuai potensi dankekhasan daerah. Dengan demikian maka isi dan jenis
otonomi bagi setiap daerah tidak selalu sama antara daerah yang satu dengan daerah
lainnya. Sedang otonomi yang bertanggung jawab adalah otonomi yang
penyelenggaraannya sejalan dengan maksud pemberi otonomi, yaitu untuk
memberdayakan daerah termasuk untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat yang
merupakan
bagian
utama
dari
tujuan
nasional.
Dengan
demikian
maka
sumber keuangan daerah. Daerah diberi hak untuk mendapatkan sumber keuangan
berupa kepastian tersedianya pendanaan dari Pemerintah Pusat sesuai urusan
pemerintahan yang diserahkan kepada Pemerintah Daerah.
Urusan di bidang pertanahan merupakan salah satu urusan yang wajib
dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah, baik Pemerintah Propinsi maupun Pemerintah
Kabupaten/Kota sesuai skala masing-masing daerah. Hal ini berbeda dengan UndangUndang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang hanya
memberikan pelimpahan urusan di bidang pertanahan kepada Pemerintah
Kabupaten/Kota selaku daerah otonom, sedang Pemerintah Propinsi tidak diberi
pelimpahan wewenang untuk mengurusi bidang pertanahan. Dalam Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, kewenangan mengurus bidang
pertanahan diberikan secara lebih luas kepada Pemerintah Propinsi, yakni termasuk
mengurus bidang pelayanan pertanahan lintas kabupaten/kota. Dalam Pasal 13 ayat
(1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah disebutkan
bahwa urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah propinsi
merupakan urusan dalam skala propinsi yang meliputi 92:
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.
92
Pasal 13 ayat (1), Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah.
Pasal 14 ayat (1), Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah.
BAB III
KEWENANGAN PEMERINTAH DAERAH
DALAM PENYELENGGARAAN URUSAN PERTANAHAN
DALAM KONTEKS OTONOMI DAERAH
tentang
Pasal 7 ayat (2), Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan
Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota
Pasal 7 ayat (4), Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan
Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota
96
E.
F.
G.
H.
I.
kabupaten/kota tidak lagi menjadi sub ordinat atau bawahan Provinsi maka
dampaknya seringkali terjadi pertentangan yang dilakukan oleh Pemerintah
Kabupaten/Kota terhadap Pemerintah Provinsi. Padahal, baik dalam Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah maupun dalam Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah telah ditegaskan bahwa
Gubernur selaku Kepala Daerah Provinsi adalah wakil Pemerintah Pusat di daerah.
Sebagai wakil Pemerintah di daerah, maka Pemerintah Provinsi berwenang
melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap Pemerintah Kabupaten/Kota. Hal ini
terlihat dari adanya kewenangan Gubernur untuk mengawasi (dalam arti melakukan
evaluasi dan klarifikasi) terhadap Peraturan Daerah dan Rancangan Peraturan Daerah
serta Peraturan Bupati/Walikota dan Rancangan Peraturan Bupati/Walikota
sebagaimana ditentukan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2005 tentang
Pedoman Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah jo
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 53 Tahun 2007 tentang Pengawasan
Peraturan Daerah dan Peraturan Kepala Daerah. 97
Menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah, Pemerintah Daerah menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi
kewenangannya kecuali urusan pemerintahan yang menjadi urusan pemerintah.
Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah
tersebut, pemerintah daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya untuk mengatur dan
97
bersifat pilihan terkait erat dengan potensi unggulan dan kekhasan daerah yang
bersangkutan.
Adapun
urusan
wajib
yang
harus
diselenggarakan
Pemerintah
Kabupaten/Kota adalah sama dengan Pemerintah Provinsi, yaitu menurut Pasal 7 ayat
(2) Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan
Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota yang meliputi 98:
1. pendidikan;
2. kesehatan;
3. lingkungan hidup;
4. pekerjaan umum;
5. penataan ruang;
6. perencanaan pembangunan;
7. perumahan;
8. kepemudaan dan olah raga;
9. penanaman modal;
10. koperasi dan usaha kecil dan menengah;
11. kependudukan dan catatan sipil;
12. ketenagakerjaan;
13. ketahanan pangan;
14. pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak;
15. keluarga berencana dan keluarga sejahtera;
16. perhubungan;
17. komunikasi dan informatika;
18. pertanahan;
19. kesatuan bangsa dan politik dalam negeri;
20. otonomi daerah; pemerintahan umum; administrasi keuangan daerah,
perangkat daerah, kepegawaian dan persandian;
21. pemberdayaan masyarakat dan desa;
22. sosial;
23. kebudayaan;
24. statistik;
98
Pasal 7 ayat (2), Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan
Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota
25. kerarsipan;
26. perpustakaan.
Selanjutnya urusan pilihan yang menjadi urusan Pemerintah Kabupaten/Kota
sebagaimana disebutkan Pasal 7 ayat (4) Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007
tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi
dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, yaitu meliputi 99:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
Pembagian
urusan
wajib
dan
urusan
pilihan
antara
Pemerintah
Kabupaten/Kota adalah sama dengan urusan wajib dan urusan pilihan yang menjadi
kewenangan Pemerintah Provinsi. Hanya saja tergantung pada Pemerintah Daerah
yang bersangkutan apakah akan mengambil semua urusan wajib dan urusan pilihan
tersebut dalam penyelenggaraan pemerintahan. Terkait dengan penyelenggaraan
urusan pemerintahan sebagaimana yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 38
Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah
Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota tersebut maka diatur pula
Pasal 7 ayat (4), Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan
Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan daerah
Kabupaten/Kota
1.
2.
3.
4.
5.
dan bersifat teknis. Hal ini sesuai dengan sifatnya bahwa daerah hanya melaksanakan
kebijakan nasional pertanahan yang telah ditetapkan oleh Pemerintah. Dalam rangka
penyerahan kewenangan bidang pertanahan kepada Pemerintah Kabupaten/ Kota, maka
perlu dipahami makna politik pertanahan lokal dan administrasi pertanahan yang
dikendalikan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota. Politik pertanahan lokal berkaitan
dengan kebijakan pemerintah lokal dalam rangka penataan tata guna tanah bagi
perikehidupan sosial maupun ekonomi guna memenuhi interaksi antar individu di
daerah.
Politik pertanahan lokal tersebut sepenuhnya dikendalikan oleh Pemerintah
Kabupaten/Kota dengan tujuan agar alokasi sumber daya alam maupun sumber daya
ekonomi dapat diwujudkan untuk kemakmuran rakyat. Regulasi tersebut harus
teratur, yang agak tetap, mempunyai pemerintahan sendiri (kepala daerah dan
pembantunya), memiliki harta materiil dan immaterial sendiri, maka persekutuanpersekutuan itu dinamakan sebagai persekutuan hukum. 103
Persekutuan-persekutuan hukum yang warganya mempunyai hubungan yang
erat atas keturunan yang sama dimana faktor keturunan adalah faktor yang penting,
dinamakan sebagai persekutuan hukum genealogis. 104 Dalam hubungan genealogis
pada umumnya terdapat susunan keluarga menurut keturunan pihak bapak
(vaderrechtelijk) dan susunan keluarga menurut keturunan pihak bapak-ibu
(ouderrechttelijk, parenteel). 105 Persekutuan-persekutuan hukum yang didasarkan
pada daerah atau wilayah yang didiami dinamakan sebagai persekutuan hukum
tertorial. 106 Persekutuan teritorial dapat dibedakan menjadi 3 (tiga) macam
persekutuan, yaitu : Pertama, persekutuan desa, Kedua, persekutuan daerah, dan
Ketiga, perserikatan desa. Apabila terdapat segolongan orang yang terikat pada suatu
tempat kediaman dan di dalamnya terdapat dukuh-dukuh terpencil yang tidak berdiri
sendiri, dan kepala persekutuannya dengan pejabat pemerintahan desa praktis
berdiam di tempat itu juga maka dinamakan sebagai persekutuan desa. Persekutuan
daerah lahir dari beberapa persekutuan yang meliputinya yang memiliki batas-batas
dan pemerintahan sendiri dan memiliki hak ulayat tanah di wilayahnya itu. Jika
beberapa persekutuan desa lengkap dengan wilayahnya dan pemerintahannya tinggal
103
Ibid.
Ibid., hal. 79.
105
Ibid.,
106
Ibid., hal. 80.
104
dahulu,
dan
atau
pemerintahannya
bekerjasama
antar
pemerintahan-
pemerintahan desa dan gabungan persekutuan desa itu tidak memiliki hak ulayat
sendiri, maka dinamakan perserikatan desa. 107
Persekutuan hukum genealogis memiliki hubungan yang erat dengan
persekutuan hukum teritorial karena persekutuan genealogis ditentukan juga dan
dibatasi oleh hubungannya dengan tanah desanya yaitu daerahnya. Namun demikian,
hubungan dengan tanah desanya, daerahnya mengikat juga kelompok-kelompok yang
tinggal di wilayahnya itu dan yang tidak mempunyai hubungan kekeluargaan menjadi
suatu persekutuan hukum, suatu kesatuan. 108 Individu sebagai anggota desa ikut
mempunyai hak pertuanan desa, dimana ia dapat ikut menggunakan tanah yang
masuk pertuanan desa. Tanah tersebut digunakan sebagai sumber makanan bagi
persekutuan. Hak untuk ikut mengusahakan sumber makanan tersebut adalah untuk
mencukupi kebutuhan pangan bagi keluarga anggota persekutuan tersebut.
Selama seorang individu anggota persekutuan mengusahakan tanah tersebut
sebagai sumber makanan bagi keluarganya, maka ia akan dihormati dalam hal itu.
Namun jika ia melanggar batas tersebut, misalnya menggunakan haknya untuk
maksud
perdagangan
maka
ia
akan
diperlakukan
sebagai
orang
asing.
107
108
membayar sejumlah uang yang diharuskan dan ditetapkan oleh adat, sama halnya
dengan orang asing, yang juga memerlukan ijin desa untuk menggunakan tanah
persekutuan. Atas dasar hak pertuanannya, baginya dapat menyediakan sendiri
sebidang tanah rimba dengan lebih dahulu memberitahukannya kepada kepala desa.
Dengan demikian ia berhak untuk membuat tanah tersebut menjadi lading tanaman
bagi keluarganya. Disamping itu, ia mempunyai kewajiban melakukan pekerjaanpekerjaan untuk membuka tanah, bila telah tiba musim yang ditentukan untuk itu.
Bial ia lalai dalam hal itu, maka ia tidak dapat mencegah orang lain untuk
mengerjakan tanah itu.
Kemudian, jika seseorang anggota sedesa membuka tanah secara individual,
maka ia mendapat hak individual yang paling tinggi atas tanah, yaitu hak milik. Hak
ini memberi kekuasaan, juga kewajiban untuk menanami tanah atau memakainya
(mengerjakan, menjaminnya) selaras dengan maksud tanah tersebut. Hubungan antar
individu dan persekutuan dalam kehidupan desa dikuasai oleh kesadaran persatuan
yang sewajarnya antara individu yang satu dengan yang lain dan oleh solidaritas (rasa
satu) individu dengan golongan sebagai kesatuan.
Dalam hukum adat dikenal istilah hak ulayat dimana hak ulayat pada
hakekatnya merupakan kepunyaan bersama para warga masyarakat hukum adat yang
bersangkutan. Ada bagian tanah ulayat yang digunakan bersama dan ada pula yang
dikuasai
warganya
secara
perorangan
dan
digunakan
untuk
pemenuhan
Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat, yang dimaksud dengan hak ulayat
adalah kewenangan yang menurut hukum adat dipunyai oleh masyarakat hukum adat
tertentu atas wilayah tertentu yang merupakan lingkungan hidup para warganya untuk
mengambil manfaat dari sumber daya alam, termasuk tanah, dalam wilayah tersebut,
bagi kelangsungan hidup dan kehidupannya, yang timbul dari hubungan secara
lahiriah dan batiniah turun temurun dan tidak terputus antara masyarakat hukum adat
tersebut dengan wilayah yang bersangkutan. Hak ulayat merupakan hak penguasaan
atas tanah yang tertinggi dalam hukum adat, meliputi semua tanah di dalam
lingkungan wilayah suatu para warganya. Di dalam hak ulayat terkandung unsur
perdata, yaitu bahwa masyarakat hukum adat secara bersama-sama (kolektif)
menguasai dan memiliki tanah yang termasuk wilayah hukum tersebut dan unsur
publik untuk mengelola dan mengatur peruntukan, penggunaan dan penguasaan tanah
hak ulayat tersebut baik dalam hubungan intern maupun ekstern. 109
Pada Pasal 2 Peraturan Menteri Agraria/Kepala BPN Nomor 5 Tahun 1999
tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat
menyebutkan bahwa hak ulayat masyarakat hukum adat dianggap masih ada
apabila 110:
a. Terdapat sekelompok orang yang masih merasa terikat oleh tatanan
hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum tertentu,
109
Arie Sukanti Hutagalung, Laporan Akhir Tim Kompilasi Hukum Tentang Penggunaan
Tanah Menurut Hukum Adat, (Jakarta: BPHN Departemen Hukum dan Perundang-undangan Republik
Indonesia, 1999/2000), hal. 16.
110
Pasal 2, Peraturan Menteri Agraria/Kepala BPN Nomor 5 Tahun 1999 tentang Pedoman
Penyelesaian Masalah Hak Ulayat masyarakat Hukum Adat
Pasal
67
menyatakan
masyarakat
hukum
adat
diakui
111
dilepaskan oleh masyarakat hukum adat itu atau oleh warganya sesuai dengan
ketentuan dan tata cara hukum adat yang berlaku. 112
Hak ulayat merupakan hak penguasaan atas tanah yang tertinggi dalam hukum
adat. Hak ulayat ini meliputi semua tanah yang ada dalam lingkungan wilayah
masyarakat hukum adat yang bersangkutan, dimana mempunyai kekuatan berlaku ke
dalam dan ke luar. Mempunyai kekuatan berlaku ke dalam artinya bahwa tiap-tiap
anggota kaum atau warga nagari mempunyai hak untuk menggunakan hak ulayat itu
menurut ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan oleh masyarakat hukum itu dan
hak itu dibatasi oleh masyarakat hukum itu untuk kepentingan bersama. Kekuatan ke
luar berarti bahwa orang-orang yang bukan warga suku/kaum atau daerah asli yang
mempunyai hak ulayat itu, tidak diperkenankan menggunakannya kecuali dengan
syarat-syarat yang ditentukan oleh masyarakat hukum yang bersangkutan. 113
Pengelolaan, penguasaan dan pemeliharaan tanah ulayat dan bagianbagiannya tersebut perlu diatur, direncanakan dan dipimpin agar terselenggara
ketertiban dan kelestarian pemanfaataannya bagi generasi berikutnya. Hak ulayat
masyarakat hukum adat mengandung 2 (dua) unsur, yaitu 114:
a. unsur kepunyaan (yang kita ketahui bukan hak milik dalam arti teknis yuridis) dan;
b. unsur tugas kewenangan untuk mengatur, merencanakan, memipin yang dalam
hukum modern termasuk bidang hukum publik.
112
Arie Sukanti Hutagalung, Laporan Akhir Tim Kompilasi Hukum., Op.Cit., hal. 49.
Mahjudin Saleh, Status Tanah; Kumpulan Tulisan Tanah Ulajat Dalam Pembangunan,
(Padang: Fakultas Hukum dan Pengetahuan Masyarakat Universitas Andalas, Tanpa Tahun), hal. 10.
114
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan, Op.Cit., hal. 24.
113
dilaksanakan
sendiri-sendiri
sehingga
kewenangan
pelaksanaannya
dilimpahkan kepada kepala adat sebagai penguasa masyarakat hukum adat yang
bersangkutan dan penguasa adat mempunyai kewenangan penuh dalam hal
penggunaan tanah adat suatu masyarakat hukum adat. Dengan kewenangannya
tersebut, penguasa adat dapat menunjuk objek, subjek maupun bentuk penggunaan
terhadap bidang-bidang tanah di dalam masyarakat hukum adat dan pelaksanaan hak
ulayat tidak boleh bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara, tidak boleh
bertentangan dengan undang-undang dan peraturan lain yang lebih tinggi. 115
Pertanahan
1. Pengurusan
Pertanahan
Berdasarkan
Ketentuan
Badan
Pertanahan
Nasional (BPN)
Eksistensi Badan Pertanahan Nasional (BPN) yang memiliki tugas dan
wewenang di bidang pertanahan masih dipertahankan oleh Pemerintah melalui
walaupun urusan bidang pertanahan adalah merupakan salah satu urusan yang telah
disentralisasikan kepada Pemerintah Daerah melalui Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah ini. Salah satu pertimbangan
dipertahankannya keberadaan Badan Pertanahan Nasional (BPN) adalah karena tanah
merupakan perekat Negara Kesatuan Republik Indonesia, sehingga perlu diatur dan
dikelola secara nasional untuk menjaga keberlanjutan sistem kehidupan berbangsa
dan bernegara. 117
Kebijakan
Pemerintah
mempertahankan
eksistensi
Badan
Pertanahan
117
Hasil wawancara dengan Fachrul Husin Nasution, SH., M.Kn (Kepala Seksi Bidang
Pengaturan Tanah Instansi Pemerintah) Pada Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Sumatera
Utara), Pada tanggal 3 April 2012.
118
Pasal 3, Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2006 tentang Badan Pertanahan Nasional
Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Pembagian Wewenang Antara Pusat
dan Provinsi dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah.
dan
120
Hasil wawancara dengan Bapak Fachrul Husin Nasution, SH, M.Kn (Kepala Seksi Bidang
Pengaturan Tanah Pemerintah ) Pada Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Sumatera Utara),
Pada tanggal 3 April 2012.
121
Pasal 2, Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 2003 tentang Kebijakan Nasional di Bidang
Pertanahan
b. Mendapat bagian dari Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan
(BPHTB) serta Pajak Penghasilan (PPh) sebesar 80% untuk daerah dimana
BPHTB
serta
PPh
diperoleh,
sedangkan
sebesar
20%
Keputusan Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah Nomor 50 Tahun 2000 tentang
Pedoman Susunan Organisasi Perangkat Daerah
BAB IV
HAMBATAN DALAM PELAKSANAAN KEWENANGAN
PERTANAHAN DALAM KONTEKS OTONOMI DAERAH
mencerminkan,
mengemban
dan
mengejewantah
suatu
negara
M. Solly Lubis, Pembahasan UUD 1945, (Bandung: Alumni, 1985), hal. 25, 63.
dan
oligopoli)
maupun
praktek-praktek
cartel
dalam
hal
Pasal 37. Pasal 33 yang semula terdiri dari tiga ayat diubah menjadi 5 (lima) ayat,
yaitu :
1. Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas
kekeluargaan.
2. Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang
menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.
3. Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat.
4. Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi
ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan,
berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan
menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.
5. Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam
undang-undang.
Perubahan penting lainnya adalah Penjelasan UUD 1945 tidak lagi
ditempatkan sebagai penjelasan otentik dari UUD 1945. Rumusan Pasal 33 UUD
1945 setelah diamandemen selengkapnya adalah : Secara umum amandemen
UUD 1945 perubahan pertama sampai dengan perubahan ke empat menimbulkan
kontroversi di kalangan cendekiawan (intellectual) maupun dari masyarakat
sipil lainnya, yaitu berkisar pada materi perubahan (substansial) maupun dari segi
proses amandemen. Adanya keinginan sebagian masyarakat untuk kembali ke
UUD 1945 terutama disebabkan, masyarakat menyakini bahwa UUD 1945 hasil
amandemen MPR Tahun 19992002 membawa semangat (Neo) Liberalisme
dalam kehidupan kenegaraan.
Pendapat lain yang muncul berkaitan dengan penambahan ayat dalam
UUD 1945 pada Pasal 28, yaitu Pasal 28E ayat (2), Pasal 28F dan, Pasal 33, yaitu
penambahan Pasal 33 ayat (4). Perubahan Pasal 28 mengakibatkan aspek ideologi
dan keamanan nasional menjadi tidak jelas kedudukannya (vide: pasal 28E ayat
(4) dan pasal 28F). Konsekwensi penambahan ayat pada Pasal 28 tersebut adalah,
paham ekonomi kekeluargaan yang dianut bangsa Indonesia juga menjadi tidak
jelas kedudukannya. Sedangkan penambahan ayat pada Pasal 33 dengan Pasal 33
ayat (4) yang intinya mengedepankan prinsip demokrasi ekonomi, menimbulkan
pertanyaan bahwa demokrasi ekonomi yang bagaimana yang menjadi paham
ekonomi Indonesia sekarang setelah terjadi penambahan ayat tersebut.
Jika merujuk pada pengertian asasi demokrasi politik, esensinya adalah
mayoritas suara yang menentukan. Jika makna demikian dijadikan patokan untuk
memahami makna demokrasi ekonomi, maka tafsir yang didapat adalah mayoritas
(kekuatan) kapital yang menentukan. Hal ini berarti, Indonesia Pasca Reformasi
menganut sistem ekonomi kapitalis. Mubyarto menyatakan, perubahan Judul Bab
XIV UUD 1945 tentang Kesejahteraan Sosial menjadi Perekonomian Nasional
dan Kesejahteraan Sosial adalah perubahan yang menyesatkan. Mubyarto 124
menyatakan, perubahan tersebut terjadi karena (anggota MPR) menganggap
bahwa perekonomian nasional bisa dilepaskan kaitannya dengan kesejahteraan
sosial, oleh karena itu perubahan Bab XIV dirumuskan dalam 2 (dua) variabel,
yaitu Perekonomian Nasional dan Kesejahteraan Sosial. Perumusan demikian
bertentangan dengan pendirian founding fathers, karena pada saat disahkannya
124
Mubyarto adalah salah satu pakar ekonomi yang awalnya terlibat dalam perumusan
perubahan Pasal 33 UUD 1945, yang kemudian mengundurkan diri karena ada perbedaan pandangan
dengan anggota tim pakar ekonomi lainnya. Argumentasinya mengenai Perubahan Bab IXV UUD
1945 secara lengkap dapat dilihat dalam, Mubyarto, Paradigma Kesejahteraan Rakyat dalam Ekonomi
Pancasila, (Jakarta: Jurnal Ekonomi Rakyat, ArtikelTh. IINomor 4Juli, 2003).
UUD 1945, para pendiri negara tidak pernah ragu dalam pendiriannya, bahwa
baik buruknya perekonomian nasional akan ikut menentukan tinggi rendahnya
kesejahteraan sosial.
Lebih jauh Mubyarto menyatakan, amandemen Pasal 33 dengan
menambahkan ayat (4) tentang penyelenggaraan perekonomian nasional yang
dibedakan dari penyusunan perekonomian pada ayat (1) adalah sekedar
mencari kompromi antara mereka yang ingin mempertahankan dan yang ingin
menggusur asas kekeluargaan pada ayat (1). Mereka yang ingin menggusur asas
kekeluargaan mengira asas kekeluargaan menolak sistem ekonomi pasar yang
berprinsip efisiensi. Padahal, perekonomian yang berasaskan kekeluargaan
(ekonomi Pancasila) tidak berarti sistem ekonomi bukan pasar. Berkaitan
dengan penghapusan Penjelasan UUD 1945, Mubyarto berpendapat sebagai
kekeliruan fatal dan dapat dianggap sebagai pengkhianatan terhadap ikrar para
pendiri negara. Penghapusan penjelasan Pasal 33, berarti hilangnya pengertian
demokrasi ekonomi dan hilangnya kata koperasi sebagai bangunan perusahaan
yang sesuai dengan demokrasi ekonomi.
B. Kewenangan Dalam Bidang Pertanahan Menurut Undang-Undang Pokok
Agraria Dengan Peraturan Perundang-undangan Pertanahan Lainnya
Hukum mengatur sendiri pembentukannya karena suatu norma hukum
menentukan cara bagaimana norma hukum yang lain mengatur serta menentukan
isinya. Untuk sampai pada penjabaran norma yang sesuai dengan norma yang di
atasnya harus ditentukan pula oleh norma lain yang mengatur tatacara penetapan
norma. Penjelasan ini dapat digambarkan dalam bentuk piramida sistem hubungan
penormaan. Sebagai konsekuensinya, suatu norma yang lebih tinggi akan mengikat
norma yang lebih rendah. Pengikatan norma yang lebih rendah dilakukan baik dalam
proses penciptaan maupun materi muatannya. Dalam konsepsi hukum tanah di
Indonesia, penormaan atas penetapan dan penggunaan hak atas tanah menampakkan
bentuknya dalam penjabaran asas-asas hukum yang bersumber pada Pancasila.
Dengan demikian Pancasila mengandung asas hukum dasar yang terjabarkan dalam
Undang-Undang Dasar 1945 sebagai asas hukum umum. Implementasi lebih lanjut
dari asas hukum umum tersebut di atas berupa asas hukum khas yang mengatur
bidang hubungan manusia dengan tanah.
Beberapa asas yang menonjol dalam hubungan dengan tanah adalah asas
kewenangan negara dalam merencanakan, mengatur dan menyediakan tanah.
Demikian pula asas fungsi sosial yang terjabarkan dalam sub asas manfaat,
memelihara, menjaga keseimbangan, kepantasan dalam berhubungan, menolong yang
lemah dan mengutamakan kepentingan umum. Asas-asas tersebut diimplementasikan
dalam norma-norma hukum baik yang bersifat privat maupun publik (bersegi satu
dan bersegi banyak).
Kemudian, dalam Undang-Undang Pokok Agraria Nomor. 5 Tahun 1960
(selanjutnya disebut UUPA) asas-asas yang menonjol tersebut di atas bermuara pada
faktor penggunaan tanah sebagai tolok ukur pencapaian implementasi dari asas-asas
tersebut. Penormaan asas tersebut di atas dilakukan dalam satu peraturan perundangundangan yang di dalamnya tidak saja memuat aspek formal dan material suatu
idealitas peraturan namun juga unsur-unsur pemahaman yang jelas tentang arti,
maksud yang dikandung dalam peraturan tersebut. Saat ini implementasi asas dalam
UUPA lebih ditonjolkan pada asas yang berkaitan dengan penetapan hak atas tanah,
belum menyangkut pada aspek penggunaan tanah. Hal demikian menyebabkan
terjadinya kesenjangan antara hak atas tanah dan kewajiban yang harus diemban dari
perolehan hak tersebut.
Kedepan harus dibuat undang-undang yang mendasarkan pada hubungan
tunggal antara hak atas tanah dan kewajiban dari perolehan hak tersebut sehingga
pada setiap pemilik hak atas tanah akan segera mengetahui apakah kewajiban
sebagaimana tercantum dalam asas-asas tersebut di atas. Untuk membantu
pelaksanaan kesatuan konsep hak atas tanah dan kewajiban atas tanah maka
ditekankan pada dua hak dasar yaitu hak milik dan hak pakai dimana hak pakai
disesuaikan dengan rencana peruntukan kebutuhan serta perkembangan masyarakat
dimasa yang akan datang. Konsepsi pengaturan yang demikian itu menuntut adanya
koordinasi antara Pemerintah Daerah dengan Kantor Pertanahan setempat guna
memberikan landasan pengaturan yang sama yang akan dipergunakan sebagai dasar
pengaturan tentang kewajiban pemilik hak atas tanah, apapun nama haknya. Secara
konkrit dapat dicontohkan sebagai usaha mengarahkan pemanfaatan tanah sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yaitu mencantumkan hak dan kewajiban
dalam setiap sertipikat tanah sebagai tanda bukti hak beserta sanksi dan
perlindungannya.
Salah satu politik agraria yang menonjol adalah usaha untuk menjadikan
tanah mempunyai fungsi pemerataan dalam menunjang kehidupan. Dalam
kenyataannya rencana tata ruang sering dibuat daerah-daerah pertumbuhan yang
memusat sehingga mendorong naiknya nilai tanah. Keadaan demikian secara sadar
dimanfaatkan oleh Pemerintah Daerah untuk mengenakan pajak tanah dan Bea
Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) sebagai sumber pendapatan
daerah yang diharapkan. Kecenderungan ini secara sistematis akan mengurangi
pemerataan tanah dan penyamaan nilai ekonomi tanah dengan menciptakan tanah
sebagai ajang spekulasi dan barang perdagangan. Sampai saat ini belum ada politik
pemerintah untuk mengendalikan pengenaan pajak tanah yang akan berdampak pada
pemerataan kesejahteraan rakyat.
yang ditindaklanjuti dengan Surat Edaran Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor
110 Tahun 2001. Dalam berbagai peraturan tersebut dinyatakan bahwa kewenangan
di bidang pertanahan tetap menjadi urusan Pemerintah yang dilaksanakan oleh Badan
Pertanahan Nasional (BPN). Keberadaan Kantor BPN, baik ditingkat Provinsi
maupun Kabupaten/Kota tetap dipertahankan sebagai instansi vertikal Pemerintah di
Daerah dengan terbitnya Keputusan Presiden Nomor 10 Tahun 2006 tentang Badan
Pertanahan Nasional.
Akibat tidak konsistennya Pemerintah dalam melaksanakan aturan
mengenai otonomi daerah di bidang pertanahan telah menyebabkan terjadinya ketidak
sesuaian antara pengaturan perundang-undangan di bidang otonomi daerah dengan
peraturan perundang-undangan di bidang pertanahan baik secara vertikal maupun
horizontal. terjadi ketidak sesuaian antara ketentuan peraturan perundang-undangan
yang lebih tinggi dengan peraturan yang lebih rendah. Ketentuan mengenai otonomi
di bidang pertanahan sebagaimana diatur dalam Pasal 11 ayat (2) Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang diganti dengan UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah banyak bertentangan
dengan peraturan pelaksana yang lebih rendah, yaitu :
1.
125
Hasil wawancara dengan Fachrul Husin Nasution, SH., M.Kn (Kepala Seksi Bidang Pengaturan
Tanah Instansi Pemerintah) di Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Sumatera Utara tanggal 18
Juni 2012.
sumber daya mereka pada tanah tersebut. Tetapi, hanya pemilik tanah yang
mempunyai bukti kepemilikan yang dapat menerima perlindungan hukum,
walaupun sertipikasi pertanahan Indonesia hanya mencakup 20% dari lahan yang
ada. Pengakuan atas kepemilikan berdasar penempatan lahan, serta berbagai bukti
informal lainnya, seperti bukti pembayaran pajak ditambah dengan pengakuan
dari para tetangga, misalnya, dapat meningkatkan jaminan terhadap kepemilikan
oleh
masyarakat
miskin.
Hal
ini
juga
dapat
menjadi
dasar
untuk
pencatatan akan dibatalkan dan pencatatan hak kepemilikan palsu secara formal
tidak dapat diterima. Ketiga, mengembangkan pendekatan perencanaan nasional
dan mengkoordinasi rencana tata ruang yang ada. Hirarki yang ada dalam
perencanaan tata guna lahan menyebabkan proses tersebut menjadi berbiaya
tinggi atau tidak dapat dijalankan. Dengan memusatkan aktifitas pemerintah pusat
pada usaha mendefinisikan kriteria yang jelas atas penggunaan tanah, sementara
perencanaan secara terinci dilakukan pada tingkat pemerintah lokal, dapat
menciptakan sistem perencanaan yang terkoordinasi dan terkonsolidasi yang lebih
efisien dan efektif. Ini juga dapat diiringi dengan memperkenalkan sistem zoning,
di berbagai lokasi dimana peta pertanahan kadastral belum tersedia dan tidak akan
tersedia di waktu dekat.
4. Pengelolaan lahan di area kehutanan secara berkesinambungan.
Pertama, memperkuat adat. Selain diberlakukannya hukum tradisional sebagai
bukti untuk klaim atas lahan, perlu pula diakui pola penggunaan dan pemukiman
lahan (seperti adat sebelum dan sesudah konsesi diberikan, ketika aktifitas
pemotongan hutan selesai, dalam proses konversi kehutanan, dan lain-lain)
sebagai bukti alternatif untuk memperkuat peran adat. Hal ini akan memperkuat
basis atas peraturan mengenai penggunaan tanah, misalnya dengan mengharuskan
lahan tertentu tetap menjadi lahan hutan, dengan menghubungkan hak
kepemilikan dan tanggung jawab bagi pengelolaan pertanahan dan kehutanan
yang berkesinambungan, serta dengan mendefinisikan hak kepemilikan lahan bagi
sumber daya perkayuan ketika konsesi yang diberikan berakhir. Pemegang
publik.
Sementara
dibutuhkan
penjabaran
yang
jelas
dalam
menterjemahkan prinsip menjadi aksi, imbalan yang didapatkan dari segi efisiensi
dan keadilan begitu tinggi dan dapat menjadi dasar dalam proses perubahan untuk
menciptakan berbagai lembaga pertanahan yang lebih transparan, efisien dan dapat
dipertanggungjawabkan.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Dari pembahasan terhadap permasalahan yang telah dikemukakan dalam tesis
ini, kesimpulan yang dapat dikemukakan adalah sebagai berikut :
1. Menurut UUPA pengurusan pertanahan merupakan wewenang dari Pemerintah
Pusat yang memandang urusan pertanahan merupakan urusan nasional sehingga
tidak dapat dilimpahkan kepada Pemerintah Daerah (Provinsi/Kabupaten/Kota)
walaupun sebenarnya urusan pertanahan ini telah diserahkan kepada Daerah
Otonom berdasarkan Pasal 13 dan Pasal 14 Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2004 tentang Pemerintah Daerah. Tetapi, karena menyangkut bidang hukum tanah
dan kebijakan di bidang pertanahan yang bersifat nasional maka masih tetap
diurusi oleh Pemerintah atau tidak dilimpahkan kepada daerah otonom. Hal ini
terbukti dengan adanya beberapa peraturan perundang-undangan yang menganulir
wewenang Pemerintah Daerah dalam mengurusi bidang pertanahan dan adanya
kebijakan Pemerintah untuk tetap mempertahankan eksistensi Badan Pertanahan
Nasional baik ditingkat Provinsi maupun Kabupaten/Kota dengan diterbitkannya
Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 2006 tentang Badan Pertanahan Nasional.
2. Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah
ditentukan bahwa urusan pemerintahan di bidang pelayanan pertanahan
daerah. Pelimpahan itu dilakukan agar pemerintah daerah mudah mengatur lokasi
diakhiri
dengan
melimpahkannya
ke
Pemerintah
daerah
guna
beberapa masalah yang dihadapi, yaitu perangkat hukum yang ada masih
terbatas dalam pelayanan untuk memberikan kepastian hukum atas tanah;
pengetahuan dan kesadaran masyarakat akan pentingnya penataan pertanahan
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku-buku
Asshidiqqie, Jimly, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi,
Jakarta: PT. Bhuana Ilmu Populer, 2007.
Bratakusumah, Deddy Supriady dan Dadang Solihin, Otonomi Penyelenggaraan
Pemerintahan Daerah, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2001.
Budiardjo, Miriam, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama,
2008.
Gadjong, Agussalim Andi, Pemerintahan Daerah, Kajian Politik Dan Hukum,
Bogor: Ghalia Indonesia, 2007.
Hanitijo, Ronny, Metode Penelitian Hukum dan Jurimetri, Jakarta: Ghalia Indonesia,
1988.
Harsono, Boedi, Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan Undang-Undang
Pokok Agraia, Isi, dan Pelaksanaanya (Jilid I), Jakarata: Penerbit
Djambatan, 2003.
Hidayat, Syahrul, Otonomi Daerah, Pilkada dan Komitmen Desentralisasi Politik:
Tinjauan atas tiga UU mengenai Otonomi Daerah dalam Pilkada Langsung,
Demokratisasi Daerah dan Mitos Good Governance, Partnership dan Pusat
Kajian Ilmu Politik Fisip UI, Jakarta, 2005.
Hoessein, Bhenyamin, Naskah akademik Tata Hubungan Kewenangan Pemerintahan
Pusat Dan Daerah, PKPADK Fisip UI, Jakarta, 2005.
__________________, Perubahan Model, Pola, dan Bentuk Pemerintahan Daerah:
Dari Era Orde Baru ke Era Reformasi, Jakarta: Departemen Ilmu
Administrasi FISIP Universitas Indonesia, 2009.
Huda, Nimatul, Pengawasan Pusat Terhadap Daerah Dalam Penyelenggaraan
Pemerintahan Daerah, FH UII Press, Yogyakarta, 2007.
Hutagalung, Arie Sukanti, Tebaran Pemikiran Seputar Masalah Hukum Tanah,
Jakarta: Lembaga Pemberdayaan Hukum Indonesia, 2005.
Kaloh, Kepala Daerah; Pola Kegiatan, Kekuasaan, dan Perilaku Kepala Daerah,
Dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka
Utama, 2003.
MD., Moh. Mahfud, Membangun Politk Hukum, Menegakkan Konstitusi, Jakarta:
LP3ES, 2006.
________________, Konstitusi dan Hukum Konstitusi dalam Kontroversi Isu,
Jakarta: Rajawali Pers, 2009.
Maass, Arthur, Area And Power A Thery Of Local Government, Illions: Glencoe, 1969.
Muljadi, H. M. Arief, Landasan dan Prinsip Hukum Otonomi Daerah dalam Negara
Kesatuan RI, Jakarta: Prestasi Pustaka, 2005.
Piliang, Indra J., Otonomi Daerah: Evaluasi Dan Proyeksi, Jakarta: Yayasan Harkat
Bangsa, 2003.
Ruwiastuti, Maria R., Sesat Pikir Politik Hukum Agraria, Membongkar Alas
Penguasaan Negara Atas Hak-Hak Adat, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000.
Sakidjo, Aruan dan Bambang Poernomo. Hukum Pidana: Dasar Aturan Umum
Hukum Pidana Kodifikasi, Cet. I, Yogyakarta: Ghalia Indonesia, 1990.
Salam, Dharma Setyawan, Otonomi Daerah Dalam Perspektif Lingkungan, Nilai,
dan Sumber Daya Jakarta: Penerbit Djambatan, 2003.
Simanjutak, Marsilam, Pandangan Negara Integralistik, Jakarta: Grafiti, 1997.
Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan
Singkat, Jakarta: Rajawali Press, 1995.
Sunggono, Bambang, Metodelogi Penelitian Hukum, Jakarta: Raja Grafindo Persada,
1997.
Syafrudin, H. Ateng, Pemahaman Tentang Dekonsentrasi, Bandung: Refika Aditama,
2006.
Syaukani, Imam dan A. Ahsin Thohari, Dasar-Dasar Politik Hukum, Jakarta:
Rajagrafindo Persada, 2004