Anda di halaman 1dari 19

Proposal Penelitian

KAJIAN MEKANISME PEMBAYARAN JASA LINGKUNGAN


(Studi Kasus DAS Citarum)

Oleh :
Neina Febrianti
E34070008

Dosen Pembimbing:
Dr. Ir. Endes N. Dahlan, MS

DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA


FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2011

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Air merupakan salah satu bentuk dari jasa penyediaan lingkungan yang
dapat dimanfaatkan. Air tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia, hampir
seluruh kegiatan manusia dan makhluk hidup lainnya bergantung pada keberadaan
air. Begitu besarnya manfaat dan pentingnya keberadaan air, menyebabkan
permintaan terhadap sumberdaya ini juga semakin meningkat ditambah lagi
dengan

laju

pertumbuhan

penduduk

yang

semakin

meningkat

yang

memungkinkan tingginya konflik terhadap pemanfaatan sumberdaya air. Menurut


Fauzi (2004), air merupakan barang ultra-esensial bagi kelangsungan hidup
manusia, bahkan para ahli memprediksi bahwa air akan menjadi sumber konflik di
abad ke-21 ini. Bocoran laporan terkini dari Pentagon yang dikutip The Observer
menyebutkan bahwa akan terjadi catastrophic shortage (kekurangan air yang
dahsyat) terhadap air di masa mendatang yang akan mengarah pada menyebarnya
perang di sekitar tahun 2020. Sedangkan menurut Chandler dan Suyanto (2004),
tahun 2003 dicanangkan sebagai Tahun Air Internasional oleh PBB (UN
International Year of Freshwater), dengan demikian mencerminkan makin
besarnya perhatian terhadap persediaan air bersih bagi penduduk dunia yang terus
bertambah. Bila dibandingkan dengan minyak, saat ini air sudah dianggap sebagai
sumberdaya yang akan menjadi sangat langka bagi masa depan planet bumi.
Beberapa hal yang berpengaruh terhadap kelangkaan air adalah pertambahan
jumlah penduduk, perluasan lahan pertanian, industrialisasi, perluasan hunian,
serta berbagai perubahan demografis lainnya.
Paradigma lama beranggapan bahwa air merupakan barang publik yang
dapat dengan bebas dimanfaatkan tanpa harus mengeluarkan biaya utuk
mendapatkannya. Namun jika kecenderungan yang ada adalah kemungkinaan
akan langkanya air, maka paradigma tersebut harus segera dihapuskan dengan
anggapan bahwa air adalah barang ekonomi dimana diperlukan biaya untuk dapat
memanfaatkannya. Menurut Purwanto et al. (2006), air merupakan salah satu
hasil hutan non kayu yang saat ini masih merupakan barang publik, belum
merupakan barang ekonomi. Namun dengan adanya Undang-undang No. 7 Tahun

2004 tentang Sumberdaya Air: Pasal 45 ayat 2 dan 3, pengusahaan sumberdaya air
dapat dilaksanakan oleh Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah,
perseorangan, badan usaha, atau kerjasama antar badan usaha berdasarkan izin
pengusahaan dari pemerintah pusat atau pemerintah daerah. Ayat 1: pengusahaan
sumberdaya air diselenggarakan dengan memperhatikan fungsi sosial dan
kelestarian

lingkungan

hidup.

Berdasarkan

Undang-undang

tersebut

dimungkinkan adanya perubahan air sebagai barang publik menjadi barang


ekonomi.
Jika berbicara mengenai air, maka sangat erat hubungannya dengan daerah
aliran sungai. Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan menyebutkan, tahun ini ada 22
Daerah Aliran Sungai (DAS) dari total 120 yang menjadi prioritas karena masuk
dalam kategori kritis di berbagai wilayah Indonesia. Salah satu dari DAS tersebut
adalah DAS Citarum (Rosalina 2010). Menurut Rohmat (2010), hasil studi
tentang proyeksi pemanfaatan air permukaan menunjukkan bahwa pada tahun
2020, potensi air Sungai Citarum sekitar 12.925 jt m 3 dengan total pemanfaatan
sebesar 10.190 jt m3. Di dalam kawasan DAS Citarum, saat ini diperkirakan 8 juta
penduduk bermukim, dan lebih kurang 1000 buah industri beroperasi. Namun
disebutkan selanjutnya bahwa pada beberapa hasil pengamatan dan penilitian
menunjukkan bahwa terjadi penurunan kualitas yang air tidak memenuhi baku
mutu air golongan C atau D dan kuantitas air sungai Citarum yang pada tahun
1997, jumlah air yang masuk sungai Citarum hanya 3,6 milyar m 3 yang
merupakan kejadian terparah selama 30 tahun terkhir akibat daerah resapan yang
mengalami degradasi, pembuangan limbah ke badan sungai,dll yang kemudian
menjadikan DAS Citarum ini tergolong kritis. Dengan tingginya potensi
pemanfaatan air sungai Citarum dibarengi dengan tekanan lingkungan yang begitu
besar sedangkan biaya pengelolaan untuk kelestarian DAS sangat besar,
menyebabkan dibutuhkannya suatu mekanisme kerjasama antara komponen yang
saling mempengaruhi yaitu melibatkan masyarakat hulu dan masyarakat hilir.
Mekanisme yang sedang berjalan sebagai bentuk kepedulian masyarakat
hilir terhadap berharganya air sungai yang seharusnya dijadikan barang ekonomi
dan pembayaranan terhadap masyarakat hulu yang sudah menjaga kelestarian
DAS di daerah tangkapan air, saat ini dikenal sebagai mekanisme pembayaran
jasa lingkungan. Menurut Tampubolon (2009), jasa lingkungan yang diterima oleh

setiap penerima jasa terutama di hilir, seyogyanya dibayar oleh penerima jasa.
Prinsip pembayaran jasa lingkungan seperti ini dikenal dengan beneficiary pay
principle. Disamping itu ada juga prinsip pembayaran jasa lingkungan yang
dibebankan kepada setiap perusak lingkungan yang dikenal dengan polluters
pay principle. Penerapan kedua prinsip pembayaran jasa lingkungan ini sangat
diperlukan agar biaya pengelolaan lingkungan yang berkesinambungan dapat
dijamin.
Mekanisme pembayaran jasa lingkungan merupakan konsep yang masih
baru di Indonesia, dan sebagian besar dalam tahap pengembangan konsep dan uji
coba implementasi (Prasetyo 2009) sehingga dari segi payung hukum belum ada
yang secara khusus mengatur mekanisme ini. Untuk itu diperlukan pembelajaran
dari mekanisme-mekanisme yang telah berjalan untuk pembentukan kebijakan
lebih lanjut mengenai mekanisme ini sehingga memiliki batasan-batasan aturan
yang jelas dan payung hukum tersendiri.
1.2 Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk :
1. Mengidentifikasi dan mendeskripsikan mekanisme pembayaran jasa
2.

lingkungan DAS Citarum yang telah berjalan.


Menganalisis stakeholder yang terlibat dalam mekanisme pembayaran

3.

jasa lingkungan DAS Citarum yang telah berjalan.


Menganalisis kelebihan dan kekurangan dari mekanisme pembayaran

jasa lingkungan yang sudah berjalan.


1.3 Manfaat
Penilitian ini diharapkan dapat dijadikan rekomendasi untuk pelaksanaan
mekanisme pembayaran jasa lingkungan selanjutnya dan sebagai bahan
pertimbangan penyusunan regulasi yang lebih lanjut.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Jasa Lingkungan
Hutan menyediakan beragam jasa dan barang, baik berupa manfaat
tangible maupun manfaat intangible yang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan
ekonomi, sosial-budaya, dan perlindungan ekologis. Kayu, hasil hutan bukan
kayu, dan jasa lingkungan merupakan barang dan jasa ekosistem hutan yang
keberadaan nilai manfaatnya saling berkaitan satu dengan yang lainnya, misalnya
apabila tegakan hutan rusak, maka jasa lingkungan pun akan rusak atau hilang pula
(Ramdan 2010). Menurut Penilaian Lingkungan Milenium PBB (2005) dalam
ESCAP (2009), jasa lingkungan ialah manfaat yang diperoleh masyarakat dari
hubungan tpembayaran-balik yang dinamis yang terjadi di dalam lingkungan
hidup, antara tumbuhan, binatang, dan jasa renik dan lingkungan non-hayati.
Walaupun kekayaan materi dapat membentengi perubahan lingkungan, manusia
sangat tergantung pada aliran jasa lingkungan tersebut. Berbagai jenis jasa
lingkungan yang diterima oleh masyarakat diuraikan antara lain :
1.

Jasa penyediaan : Pangan, Air tawar, Bahan bakar, Serat, Obat-obatab,


Sumberdaya genetik, air, mineral, dll.

2.

Jasa pengaturan : Pengaturan iklim, Pengaturan banjir, Penjernihan air,


kualitas udara, kontrol erosi, pengelolaan sampah, kontrol penyakit
manusia, kontrol biologi, pengurangan resiko, dll.

3.

Jasa penunjang : Pendauran hara, Pembentukan tanah, Produksi oksigen,


Ketahanan tanah, Ketersediaan habitat, siklus gizi, dll.

4.

Jasa budaya : Keindahan, Rohani, Pendidikan, Hiburan, Keindahan,


Identitas dan keragaman budaya, Inspirasi, Hubungan sosial, Nilai
peninggalan pusaka, rekreasi, pengetahuan (tradisional dan formal), dll.
Saat ini ada empat tipe jasa lingkungan yang sedang mengemuka (Wunder

2005). Jasa lingkungan tersebut antara lain : penyerap dan penyimpan karbon,
perlindungan keanekaragaman hayati, pelestarian keindahan bentang alam , dan
perlindungan DAS.

2.2 DAS dan Pengelolaan DAS


Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah daerah yang dibatasi oleh topografi
secara alami sedemikian rupa sehingga semua air hujan yang jatuh kedalam DAS
tersebut akan ditampung, disimpan dan dialirkan melalui suatu sistim sungai dan
anak-anaknya ke danau atau laut. Dengan pemahaman seperti itu maka DAS dapat
dianggap sebagai suatu sistim secara hidrologis dan berfungsi untuk menampung,
menyimpan dan mengalirkan air hujan. Dalam pengelolaan DAS, fungsi
hidrologis tersebut yang harus dikonservasi kan agar dapat menunjang kehidupan
secara lestari. Karena DAS merupakan suatu sistem secara hidrologis maka
bagian-bagian DAS mempunyai hubungan saling ketergantungan. DAS bagian
hilir sangat tergantung pada DAS bagian hulu dalam hal penyediaan air
(Tampubolon 2009).
Menurut Tampubolon (2009) Terjadinya krisis air baik dalam kuantitas dan
kualitas, disebabkan oleh pengelolaan DAS yang tidak tepat. Arsyad (2000),
Pagiola, et al (2002), Asdak (2004) dan Kodoatie dan Sjarief (2005) dalam
Tampubolon (2009) menyatakan bahwa kondisi air merupakan parameter kunci
dalam menilai keberhasilan pengelolaan DAS yang dicirikan oleh beberapa faktor
yaitu:
1. Kuantitas air. Pada umumnya kuantitas air sangat berkaitan dengan jumlah
curah hujan, kondisi penutup dan tataguna lahan. Semakin tinggi
perbandingan antara luas lahan tertutup vegetasi dengan total luas lahan,
maka tingkat ketersediaan air akan semakin besar, demikian sebaliknya.
Kondisi ini dapat dilihat pada besarnya air limpasan permukaan dan debit
air sungai.
2. Kualitas air. Kondisi kualitas air dalam DAS sangat dipengaruhi oleh
penutup lahan, limbah domestik, limbah industri, kegiatan pertanian (pola
tanam, pemupukan dan pestisida). Kualitas air ini dapat dilihat dari kondisi
kualitas air limpasan, air sungai, waduk dan sumur.
3. Perbandingan debit maksimum dan debit minimum. Kondisi ini
mencirikan kemampuan DAS menyimpan air (saat musim hujan) dan
mengalirkannya terus menerus (kontinuitas) walaupun musim kemarau

dengan fluktuasi debit yang kecil. Kemampuan lahan menyimpan air


sangat tergantung pada kondisi dan distribusi penutup lahan serta tanah.
2.3 Pembayaran Jasa Lingkungan
Secara umum PES (pembayaran jasa lingkungan) didefinisikan sebagai
mekanisme kompensasi dimana penyedia jasa (service provider) dibayar oleh
penerima jasa (service users) (The Regional Forum on Payment Schemes for
Environmental Services in Watersheds, The Third Latin American Congress on
Watershed Management 2003 dalam USAID 2009). Sedangkan definisi dari
Wunder (2005), Pembayaran Jasa Lingkungan (PJL) adalah sebuah transaksi
sukarela dengan kerangka kerja yang digosiasikan dimana terdapat jasa
lingkungan yang dapat terukur atau adanya penggunaan lahan untuk memelihara
jasa lingkungan yang dikandungnya yang kemudian jasa lingkungan tersebut
dibeli oleh minimal satu pembeli dari minimal satu penyedia jasa lingkungan jika
dan hanya jika penyedia jasa lingkungan memelihara keberlangsungan jasa
lingkungan yang diperjualbelikan tersebut sesuai dengan ketentuan yang
disyaratkan saat negosiasi. Berikut adalah ilustrasi pembayaran jasa lingkungan
(Gambar 1).

Gambar 1. Ilustrasi pembayaran jasa lingkungan. Sumber : USAID (2009)


Berdasarkan definisi diatas suatu kegiatan pembayaran jasa lingkungan
memerlukan sebuah mekanisme untuk mengatur berjalannya kegiatan tersebut.
Mekanisme pembayaran jasa multifungsi DAS yang tergolong dalam pembayaran

jasa lingkungan dapat dikelompokkan dalam 3 bentuk (Cahyono dan Purwanto


2006), yaitu:
1.

Kesepakatan yang di atur sendiri.


Kesepakatan diatur sendiri antara penyedia jasa dengan penerima
jasa, biasanya bersifat tertutup, cakupannya sempit, negosiasi terjadi
secara tatap muka, perjanjian cenderung sederhana, dan campur tangan
yang rendah dari pemerintah. Misalnya, skema ekolabel, sertifikasi,
pembelian hak pengembangan lahan dimana jasa itu berada, pembayaran
langsung antara pemanfaat jasa DAS yang berada di luar lokasi dengan
pemilik lahan yang bertanggungjawab atas ketersediaan jasa multifungsi
DAS.

2.

Skema pembayaran publik.


Pendekatan ini sering digunakan bila pemerintah bermaksud
menyediakan landasan kelembagaan untuk suatu program dan sekaligus
menanamkan investasinya. Pemerintah dapat memperoleh dana melalui
beberapa jenis iuran dan pajak. Contohnya, kebijakan penetapan harga air,
persetujuan penggunaan pajak air untuk melindungi DAS, menciptakan
mekanisme pengawasan, pemantauan dan pelaksanaan regulasi yang
bersifat melindungi penyedia jasa dan menerapkan denda bagi
pelanggarnya. Pembayaran Jasa Multifungsi DAS Untuk Mendukung
Pengelolaan Daerah Aliran Sungai 77

3.

Skema pasar terbuka.


Skema ini jarang diterapkan dan cenderung dapat diterapkan di
negara yang sudah maju. Pemerintah dapat mendefinisikan barang atau
jasa apa saja dari multifungi DAS yang dapat diperjual belikan.
Selanjutnya dibuat regulasi yang dapat menimbulkan permintaan. Perlu
sebuah kerangka regulasi yang kuat dan penegakan hukum, transparansi,
penghitungan secara ilmiah yang akurat dan sistem verifikasi yang
terjamin.
Sedangkan menurut Landell-Mills dan Porras (2002), terdapat delapan

kategori mekanisme pembayaran jasa DAS, mekanisme-mekanisme tersebut


antara lain :

1.

Direct negotiation between buyers and sellers. Mekanisme ini melibatkan


rincian kontrak untuk membangun praktek manajemen terbaik yang dapat
meningkatkan manfaat DAS atau perjanjian pembelian tanah berdasarkan
negosiasi antara pembeli dan penjual

2.

Intermediary-based transactions. Perantara digunakan untuk mengontrol


biaya transaksi dan resiko, dan paling sering dibangun dan dijalankan oleh
LSM, organisasi masyarakat, dan instansi pemerintah. Pada beberapa
kasus dibuat perwakilan dana independen.

3.

Pooled transactions. Transaksi terpusat mengontrol biaya transaksi dengan


menyebar resiko pada beberapa pembeli. Mereka juga dipekerjakan untuk
membagi biaya dari transaksi besar seperti yang dibutuhkan pasar DAS.

4.

Internal trading. Transaksi dalam suatu organisasi, misalnya pembayaran


dalam intra pemerintahan.

5.

Over-the-counter trades/user fees. Mekanisme ini muncul dimana jasa


dikemas untuk dijual, contohnya kredit kualitas air. Jasa DAS seringkali
menawarkan standar tingkatan untuk penerima yang berbeda melalui biaya
penggunaan. Tingkatan ini biasanya tidak dinegosiasikan dan dikenakan
pada semua penerima.

6.

Clearing-house transactions. Sebuah perantara yang lebih rumit


menawarkan inti bentuk dasar perdagangan kepada pembeli dan penjual
berupa penerimaan cek-cek antara bank. Mekanisme ini tergantung pada
keberadaan dari standar pra pengemasan komoditas. Seperti : kredit
salinitas, ganti rugi kualitas air.

7.

Auctions. Seringkali diasosiasikan dengan mekanisme clearing-house dan


perdagangan over-the counter, pelelangan mencoba untuk melangkah lebih
dekat dengan pasar persaingan untuk jasa DAS. Pelelangan ditujukan
untuk menentukan penawaran jasa DAS serta untuk mengalokasikan
kebijakan untuk membayar.

8.

Retail-based trades. Dimana pembayaran jasa untuk perlindungan DAS


yang melekat pada pembayaran dari konsumen. Contohnya: produksi
pertanian yang aman. Biasanya diasosiasikan dengan sertifikasi dan skema

pelabelan yang menghasilkan pengakuan konsumen dan kemauan


membayar.
Peraturan Perundangan Terkait Jasa Lingkungan

2.4

Menurut Prasetyo (2009), UU No 23 Tahun 1997 yang menggantikan


Undang-Undang Lingkungan Hidup No 4 Tahun 1984 menjelaskan pihak yang
berwenang, hak, dan tanggung jawab pemerintah dalam mengatur pengelolaan
lingkungan, termasuk delegasi pemerintahan lokal (propinsi, kabupaten, dan
kota), dengan mempertimbangkan perencanaan tata ruang dan penggunaan lahan.
UU No 41 Tahun 1999 diikuti baru-baru ini oleh PP No 6 Tahun 2007 tentang
Kehutanan, menyediakan pedoman umum pengelolaan sumber daya hutan dengan
bagian tertentu mengatur pengelolaan jasa lingkungan. Undang-undang ini,
dikombinasikan dengan UU No 34 Tahun 2000 dan PP 65 Tahun 2001 tentang
Perpajakan Daerah. Menurut Bapak Subarudi dari Badan Litbang Kehutanan,
sebenarnya Indonesia telah memiliki peraturan perundangan terkait pembayaran
jasa lingkungan yaitu UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokokpokok Agraria Pasal 14 yang banyak terkait dengan pemanfaatan air, dan PP No. 6
Tahun 2007 Jo PP No. 3 Tahun 2008 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana
Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan (Murjani 2010).
Analisis Stakeholder

2.5

Stakeholder adalah keseluruhan aktor atau kelompok yang mempengaruhi


dan atau dipengaruhi oleh kebijakan, keputusan, dan aksi dari proyek. Stakeholder
juga dapat termasuk kategori tersamar dari generasi masa depan, kepentingan
nasional, dan masyarakat luas. Stakeholder mewakili sistem dengan tujuan,
sumberdaya, dan sensitivitas mereka sendiri (Groenendijk 2003). Menurut
Grimble dan Quan (1993) dalam Suharno (2005), analisis stakeholder adalah
sebuah pendekatan untuk memahami suatu sistem dengan cara mengidentifikasi
aktor-aktor utama dalam sistem tersebut dan mengakses kepentingan mereka
dalam sistem tersebut.
Tujuan kunci dari analisis stakeholder sendiri adalah (Groenendijk 2003):

Untuk meningkatkan efektivitas kebijakan atau proyek dengan secara


eksplisit mempertimbangkan kepentingan stakeholder dan tantangan yang
muncul

Untuk lebih baik lagi mendistribusikan secara tepat akibat dari kebijakan
dan proyek dengan menggunakan analisis untuk menilai secara terpisah
kepentingan dan dampak dari intervensi pada stakeholder yang berbeda

Untuk mengukuhkan keikutsertaan dari kelompok minoritas pada


pengembangan metode partisipatori

Untuk memperkuat komunikasi dan mekanisme kolaborasi antar


stakeholder

Untuk memperkuat implementasi proyek dan meningkatkan kegiatan yang


terlibat

Untuk lebih memahami situasi multi-stakeholder yang rumit

BAB III
METODOLOGI
3.1 Waktu dan Lokasi
Penelitian akan dilaksanakan pada wilayah DAS Citarum. Wilayah DAS
Citarum hulu sebagai penyedia jasa lingkungan yaitu Desa Cikole dan Desa
Sunten Jaya, Kecamatan Lembang, Bandung dan wilayah hilir yaitu PT Aetra Air
Jakarta dan Pusat Standadisasi Lingkungan Kementrian Kehutanan sebagai
pemberi kompensasi bagi penyedia jasa lingkungan. Penelitian akan dilakukan
pada bulan Juni-Juli 2011.
3.2 Objek dan Alat Penelitian
Objek penelitian adalah stakeholder yang terkait dalam mekanisme
pembayaran jasa lingkungan DAS Citarum yang sedang berjalan. Alat yang
digunakan antara lain: alat tulis, tape recorder, panduan wawancara, dan kamera
digital.
3.3 Jenis Data
Data yang diambil pada penelitian ini terdiri dari data primer dan data
sekunder. Data primer berupa hasil wawancara dari stakeholder yang terkait
dalam mekanisme pembayaran jasa lingkungan di DAS Citarum , yaitu :
Kelompok Tani Giri Putri, Kelompok Tani Syurga Air, PT Aetra Air Jakarta, Pusat
Standadisasi Lingkungan Kementrian Kehutanan, LP3ES, Yayasan Peduli
Citarum. Data sekunder didapatkan dari penelusuran dokumen perjanjian
mekanisme pembayaran jasa lingkungan DAS Citarum yang sedang berjalan,
undang-undang terkait, buku referensi, jurnal, internet, dan data pendukung
lainnya seperti data fluktuasi debit air dan kualitas Sungai Citarum dan data
kependudukan dari desa terkait.
3.4

Metode Pengumpulan Data


Metode pengumpulan data untuk penelitian ini terdiri dari metode

wawancara dan studi literatur. Metode wawancara dilakukan dengan cara semi
terstruktur dimana responden dipilih secara purposive sampling dengan
mempertimbangkan keterlibatannya dalam mekanisme terkait dan merupakan
tokoh kunci dari setiap stakeholder. Wawancara semi terstruktur merupakan

wawancara lintas stakeholder untuk memeriksa atau menambahkan kelompok


data yang difokuskan (Reed et al. 2009). Sedangkan studi literatur dilakukan
melalui penelusuran dokumen perjanjian mekanisme pembayaran jasa lingkungan
DAS Citarum yang sedang berjalan, undang-undang terkait pembayaran jasa
lingkungan, dan data pendukung lainnya seperti data fluktuasi debit air dan
kualitas Sungai Citarum dan data kependudukan dari desa terkait, dll.
3.5 Analisis Data
3.5.1 Analisis Mekanisme Pembayaran Jasa Lingkungan
Berdasarkan data dari dokumen perjanjian mekanisme pembayaran jasa
lingkungan yang ada, kemudian dianalisis secara deskriptif kualitatif dengan tiga
jalur analisis data (Miles dan Huberman 1992 dalam Agusta 2003), yaitu reduksi
data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan. Reduksi data untuk
menyederhanakan data, meringkas, dan menggolongkannya. Penyajian data dapat
berupa skema atau bagan alir mekanisme atau teks naratif. Penarikan kesimpulan
dengan cara peninjauan ulang data untuk menarik kesimpulan.
3.5.2

Analisis Stakeholder
Stakeholder yang terlibat dianalisis untuk mengetahui peranan dan

fungsinya melalui

metode pendekatan yang disebut analisis 4Rs (rights,

responsibilities, revenues (benefits), and relationship) (Tekwe dan Percy 2001).


Metode ini terdiri dari 2 tahap, yaitu analisis 3R pertama (rights, responsibilities,
revenues) dari setiap stakeholder yang terlibat kemudian tahap selanjutnya adalah
menganalisis hubungan dari tiap stakeholder yang ada (relationship).

Rights (Hak) dapat berupa akses dan penggunaan hasil hutan yang
merupakan hak yang memang seharusnya atau hak yang dibeli. Dapat juga
berupa akses pekerjaan dari hutan masyarakat.

Responsibilitiy (tanggung jawab) merupakan tugas-tugas yang berkaitan


dengan pengelolaan hutan (pengukuran, monitoring dan kontrol,
koordinasi, membuat keputusan), mengimplementasikan keputusan yang
sudah diatur, prosedur,dan manfaat, serta mematuhi peraturan.

Revenues (keuntungan) merupakan keuntungan langsung yang muncul dari


sumber daya hutan yang diakses, keuntungan langsung dari pekerjaan
dalam mengelola hutan masyarakat, keuntungan tidak langsung dari

implementasi proyek pengembangan masyarakat yang menggunakan dana


yang masih harus dibayar dari pendapatan yang dihasilkan oleh hutan
kemasyarakatan.
Data dari 3R pertama tersebut dapat dikumpulkan ke dalam satu tabel dan
diberi skor seperti Tabel 1 dengan pemberian skor berkisar antara 0-5.
Tabel 1. Rights, Responsibility, dan Revenues dari setiap stakeholder.
Stakeholder

Rights

Skor

Responsibilit

Skor

Revenue

Skor

Stakeholder 1
Stakeholder 2
.....
Stakeholder ke-n
Selanjutnya dibuatlah analisis Relationship dari tiap stakeholder
berdasarkan kualitas hubungan (baik, biasa, atau konflik), kekuatan hubungan
(frekuensi dan intensitas kontak), hubungan formal (formal atau informal), dan
ketergantungan antara stakeholder (Mayers 2001).

Dari analisis tersebut

kemudian dapat dibuat tabel hubungan seperti tabel berikut (Tekwe dan Percy
2001).
Tabel 2 Relationship antar stakeholder
Stakeholder 1

Stakeholder 2

..........

Stakeholder ke-n

Stakeholder 1
Stakeholder 2
......
Stakeholder ke-n
Tabel tersebut dapat diisi dengan kode hubungan seperti : V=sangat baik,
V=baik, X=kurang baik, - = tidak ada hubungan.
3.5.3

Analisis Efektivitas Mekanisme yang Berjalan


Mekanisme yang sedang berjalan dianalisis melalui kelebihan dan

kekurangan yang dilihat dari pemasalahan yang muncul dan kekuatan dari
mekanisme tersebut seperti dukungan dari masyarakat, dukungan pemerintah,
dasar hukum, dan faktor-faktor pendukung lainnya yang mendorong mekanisme
ini berjalan dengan lancar.

BAB IV
KONDISI UMUM
4.1 Letak dan Luas
DAS Citarum adalah DAS utama di Jawa Barat yang secara geografis
terletak di antara 0643-0715 LS dan 10730-108BT dengan batas-batas
sebagai berikut (Dinas Tata Ruang dan Permukiman Jawa Barat serta ITB
Bandung 2002 dalam Hasibuan 2005):

Sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Purwakarta

Sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Bandung

Sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Sumedang dan Garut

Sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Cianjur dan Garut

Luas DAS Citarum adalah sebesar 6.080 km2 atau 608.000 ha, dengan
sungai Citarum yang panjangnya 300 km. Sungai utama Citarum memiliki anak
sungai berjumlah 36 dengan panjang sekitar 873 km, dan 3 waduk besar yakni
Saguling, Cirata dan Juanda. Sungai Citarum berhulu di Gunung Wayang
Kabupaten Bandung dan bermuara di laut Jawa, melewati 7 Kabupaten yakni
Sumedang, Bandung, Cianjur, Bogor, Bekasi, Purwakarta, dan Karawang, serta 2
kota yakni Bandung dan Cimahi yang kesemuanya berada dalam Propinsi Jawa
Barat (Kurniasi 2002 dalam Drakel 2008).

Gambar 2 DAS Citarum hulu (Poerbandono 2006).


4.2 Kondisi Fisik Kawasan

4.2.1

Kondisi Geografis

DAS Citarum hulu memiliki kondisi kemiringan berkisar antara datar


sampai dengan sangat curam, dengan kemiringan dataran mulai 3% sampai lebih
50% (Hasibuan 2005) dengan jenis tanah adalah Andosol ( Drakel 2008). Das
Ciatrum hulu terdiri dari 15 Sub-DAS yang berada di wilayah kota Bandung, kota
Cimahi, Kabupaten Bandung, Kabupaten Sumedang, dan Kabupaten Garut (Tabel
3).
Tabel 3 Pembagian daerah aliran sungai Citarum hulu
No.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.

Sub-DAS
Citarum Atas
Cirasea
Citarik
Cikeruh
Kopo
Cicadas
Cikapundung
Cidurian

Luas (ha)
19.700
9.310
28.140
20.460
5.370
2.870
14.430
5.180

No.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.

Sub-DAS
Cisangkuy
Cijalupang
Ciwidey
Cibeureum
DAS Hilir Dayeuhkolot
Cimahi
DAS Hilir Nanjung

Luas (ha)
27.650
6.010
20.060
11.720
800
4.800
600

Sumber: Dinas Tata Ruang dan Pemukiman Jawa Barat serta ITB Bandung (2002) dalam Hasibuan (2005).

4.2.2

Iklim dan Curah Hujan

DAS Citarum mempunyai iklim tropis yang dipengaruhi angin muson.


Curah hujan tahunan yang terendah 187,2 mm/tahun dan tertinggi 287,5
mm/tahun, jumlah hari hujan setiap tahunnya berkisar antara 108 hari sampai
denagn 130 hari. Sehingga rata-rata curah hujan harian antara 13-25 mm. Suhu
udara rata-rata berkisar antara 19C hingga 24C. Kelembaban nisbi berkisar
antara 59-85% dan lama penyinaran anatara hari berkisar 38%-84% (Drakel
2008).
4.2.3

Luas dan Tata Guna Lahan

Penggunaan lahan di DAS Citarum terdiri dari beberapa macam


penggunaan yang diuraikan pada Tabel 4 beserta luas tiap penggunaan lahannya.
Tabel 4 Jenis-jenis penggunaan lahan di DAS Citarum (Rohmat 2010)
No.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.

Penggunaan Lahan
Belukar
Danau/Waduk
Hutan
Industri
Institusi
Jalan
Jalan KA
Kebun Campur
Lapangan Golf

(km2)
172,21
3,07
301,22
26,56
16,72
43,61
0,41
118,16
0,54

Luas Areal
(Ha)
17.221
307
30.122
2.656
1.672
4.361
41
11.816
54

%
9,94
0,18
17,39
1,53
0,97
2,52
0,02
6,82
0,03

10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.
23.
24.

Pasar/Pertokoan
Perkebunan/Kebun
Perumahan/Komplek Permukiman
Rawa
Rumput
Sawah
Sawah Tadah Hujan
Semak
Stadion/Lapangan
Stasiun/Terminal
Sungai
Taman
Tambang
Tanah kosong
Tegal/Ladang
Jumlah

0,68
89,76
120,14
0,22
1,03
513,53
0,11
35,4
1,3
0,01
4,85
0,47
0,17
10,13
271,54
1.731,84

68
8.976
12.014
22
103
51.353
11
3.540
130
1
485
47
17
1.013
27.154
173184

0,04
5,18
6,94
0,01
0,06
29,65
0,01
2,04
0,08
0,00
0,28
0,03
0,01
0,58
15.68
100,00

4.3 Sosial Ekonomi Masyarakat


Jumlah penduduk di wilayah DAS Citarum secara keseluruhan berjumlah
7.174.031 orang dengan kepadatan 1.031 orang/km2 sedangkan untuk wilayah
Citarum Hulu 3.953,207 orang (1.729 orang/ km2). Mata pencaharian penduduk di
DAS Citarum antara lain: petani (36,63%), pedagang(10,67%), Pegawai negri/abri
(9,96%), buruh/swasta/pengrajin(43,47%) dengan pendapatan tahunan rata-rata
sebesar Rp.750.000,-/orang/tahun (Drakel 2008).

DAFTAR PUSTAKA
[ESCAP]. Economic and Social Commission for Asia and The Pacific. 2009.
Kebijakan Sosial Ekonomi InovatifUntuk Meningkatkan Kinerja
Lingkungan : Pembayaran Jasa Lingkungan. Bangkok : PBB.
Agusta I. 2003. Teknik Pengumpulan dan Analisis Data Kualitatif. Makalah
pelatihan metode kualitatif di Pusat Penelitian Sosial Ekonomi. Litbang
Pertanian Bogor, 27 Februari 2003.
Cahyono SA, Purwanto. 2006. Pembayaran Jasa Multifungsi Das Untuk
Mendukung Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Makalah Seminar Peran
Stakeholder dalam Pengelolaan Jasa Lingkungan DAS Cicatih Hulu, 21
September 2006 di Bogor.
Chandler FJC, Suyanto. 2004. Pengakuan Dan Pemberian Pembayaranan Bagi
Penyediaan Jasa Daerah Aliran Sungai (DAS). Bogor : ICRAF.
Drakel A. 2008. Analisis kemauan membayar masyarakat perkotaan untuk jasa
perbaikan lingkungan lahan dan air (studi kasus DAS Citarum hulu).
[tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Fauzi A. 2004. Mencermati implementasi uu sumberdaya air. http://www.digilibampl.net/detail/detail.php?
row=18&tp=artikel&ktg=airminum&kd_link=&kode=104.
[10
mei
2011].
Groenendijk L. 2003. Planning and Management Tools, A Reference Book.
Netherlands: The International Institute for Geo-Information Science and
Earth Observation (ITC).
Hasibuan AS. 2005. Pengembangan kebijakan pengelolaan daerah aliran sungai
bagian hulu untuk efektivitas waduk : studi kasus DAS Citarum hulu
terhadap efektivitas Waduk Saguling di Provinsi Jawa Barat. [disertasi].
Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Landell-Mills N, Porras IT. 2002. Silver Bullet or Fools Gold? A Global Review
of Markets for Forest Environmental Services and Their Impact on The
Poor. London : International Institute for Environment and Development.
Mayers J. 2005. Power Tools: The Four Rs. London: IIED.
Murjani NI. 2010. Mencari mekanisme tepat implementasi pembayaran jasa
lingkungan.
http://blog.cifor.org/2010/11/19/mencari-mekanisme-tepatimplementasi-pembayaran-jasa-lingkungan/. [10 mei 2011].
Poerbandono, Basyar A, Harto AB, Rallyanti P. Evaluasi Perubahan Perilaku Erosi
Daerah Aliran Sungai Citarum Hulu dengan Pemodelan Spasial. Jurnal
Infrastruktur dan Lingkungan Binaan (2) no 2: 21-28.
Prasetyo FA, Suwano A, Purwanto, Hakim R. 2009. Making Policies Work for
Payment for Environmental Services (PES): An Evaluation of the
Experience of Formulating Conservation Policies in District of Indonesia.
Journal of Sustainable Forestry 28: 415-433.

Purwanto S, Cahyono A, Murtiono UH, Ginoga K. 2006. Kajian Nilai Ekonomi


Hasil Air Dari Hutan Lindung Baturaden (Water Yield Economic Valuation
Of Baturaden Forest Conservation). Makalah Seminar Pengelolaan DAS
Cicatih, Bogor 21 September 2006
Ramdan H. 2010. Kontribusi Dan Kerjasama Para Pihak Dalam Pemanfaatan Jasa
Lingkungan Di Hutan Konservasi. Makalah Utama Workshop Kontribusi
Dan Kerjasama Para Pihak Dalam Pemanfaatan Jasa Lingkungan Di
Kawasan Hutan Konservasi, Balai Besar KSDA Jawa Barat Tahun 2010.
Bandung, 28 Juli 2010.
Reed MS, Graves A, Dandy N, Posthumus H, Hubacek K, morris J, Prell C,
Quinn CH, Stringer LC. 2009. Whos in and Why? A Typhology of
Stakeholder Analysis Methods for Natural Resources Management. Jounal
of Environmental Management xxx: 1-17.
Rohmat D. 2010. Upaya Konservasi Untuk Kesinambungan Ketersediaan
Sumberdaya Air (Kasus: DAS Citarum). Makalah Seminar Air Untuk
kehidupan Manusia. Bandung 22 Maret 2010.
Rosalina. 2010. 22 DAS di Indonesia dalam keadaaan kritis.
http://www.tempointeraktif.com/hg/kesra/2010/10/19/brk,20101019285772,id.html. [10 Mei 2011].
Suharno. 2005. Dewan Sumberdaya Air: Analisis Kelembagaan
Organisasional. Bogor: Pusat Studi Pembangunan-IPB dan UNDP

dan

Tampubolon S. Studi Jasa Lingkungan di Kawasan Danau Toba. Japan : Centre of


Forest and Nature Conservation Research and Development (CFNCRD)
and International Tropical Timber Organization (ITTO)
USAID. 2009. Pembayaran Jasa Lingkungan di Beberapa Daerah Aliran Sungai.
Jakarta : USAID.
Wunder S. 2005. Payments For Environmental Services : some nuts and bolts.
Bogor : CIFOR.

Anda mungkin juga menyukai