PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sejarah umat manusia adalah sejarah penindasan dan perbudakan. Menurut Ali
Syari`ati, simbol-simbol peradaban manusia sesungguhnya dibangun atas nyawa dan darah
jutaan orang. Dibalik kemegahan Piramid, simbol peradaban Mesir kuno, tersimpan cerita
memillukan tentang sebuah rezim penindasan dan perbudakan. Dibutuhkan 800 juta keping
batu yang harus di bawa sejauh 980 km dari Aswan menuju Mesir hanya untuk membangun
kuburan para terkutuk itu. Jutaan nyawa budak manusia adalah harga yang harus dibayar
demi ambisi Fifaun, sang penindas.
Seiring perjalanan waktu, penindasan dan perbudakan terus bergulir dengan berbagai
bentuknya. Hari ini kita tidak lagi melihat tragedi perbudakan untuk membangun kuburan.
Namun dengan sangat jelas dapat dilihat bahwa proses penindasan masih terus terjadi dengan
berbagai motif tapi dengan tujuan yang sama, yaitu memuaskan nafsu segelintir orang. Hari
ini perbudakan terjadi dengan modus yang lebih halus. Atas nama perang terhadap teroris,
ribuan tentara AS harus terbunuh atau membunuh orang yang tidak pernah mereka kenal di
Irak dan Afghanistan. Bahkan penindasan bisa terjadi atas nama agama sekalipun.
Sebaliknya, jika sejarah manusia adalah sejarah penindasan, maka sejarah kenabian
adalah sejarah pembebasan terhadap kaum tertindas. Kehadiran mereka di muka bumi
bukanlah sekedar penyampai wahyu Tuhan, namun juga memimpin kaumnya dalam
melakukan perlawanan terhadap penindasan dan penjajahan. Sepanjang masa kenabiannya,
Nabi Muhammad SAW telah berhasil membebaskan kaum lemah Arab, terutama dari
kebodohan dan perbudakan. Posisi kaum perempuan yang sebelumnya sangat hina, bahkan
bisa diwariskan dan diperjual belikan, diangkat menjadi makhluk yang mulia bahkan berhak
atas harta warisan. Para budak yang biasanya diperlakukan sebagai barang dagangan
diberikan kebebasan sebagai manusia merdeka yang memiliki hak yang sama dengan
manusia lain, bahkan dengan nabi sekalipuin.
Orang musyrik Mekkah seringkali mencela Islam dengan mengatakan bahwa
pengikut Muhammad hanyalah kaum miskin saja. Maka berkatalah pemimpin-pemimpin
1
yang kafir dari kaumnya: Kami tidak melihat kamu, melainkan (sebagai) seorang manusia
(biasa) seperti kami, dan kami tidak melihat orang-orang yang mengikuti kamu, melainkan
orang-orang yang hina dina di antara kami yang lekas percaya saja, dan kami tidak melihat
kamu memiliki sesuatu kelebihan apapun atas kami, bahkan kami yakin bahwa kamu adalah
orang-orang yang dusta. (QS Nuh 27)
Begitulah, kaum dhuafa memang sangat dekat dengan para rasul, dan sebaliknya
keberadaan mereka sangat dibenci dan dihina oleh kaum penguasa. Para penguasa zalim
tersebut tentu saja tidak senang jika kelompok tertindas tersebut melakukan perlawanan
terhadap kekuasaannya. Sehingga berbagai cara dilakukan agar perbudakan tetap terjadi
sehingga kelompok tertindas tersebut tetap berada dalam kesulitan. Cerita tentang
penyiksaan, pemerkosaan, dan pembunuhan terhadap para budak tentu sangat sering kita
dengar dalam sejarah perjalanan nabi.
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana nilai dan ajaran sosial kemanusiaan muhammadiyah (Teologi Al Maun)?
2. Bagaimana gerakan peduli kepada fakir miskin dan anak yatim yang dilakukan
muhammadiyah?
3. Bagaimana bentuk dan model gerakan sosial kemanusiaan muhammadiyah?
4. Bagaimana bentuk revitalisasi gerakan sosial muhammadiyah?
1.3 Tujuan Penulisan
Pada dasarnya tujuan penulisan makalah ini terbagi menjadi dua bagian, yaitu tujuan umum dan
khusus. Tujuan umum dalam penyusunan makalah ini adalah untuk memenuhi salah satu tugas mata
kuliah Kemuhammadiyahan II.
Adapun tujuan khusus dari penyusunan makalah ini adalah :
1. Untuk mengetahui nilai dan ajaran sosial kemanusiaan muhammadiyah (Teologi Al
Maun)?
2. Untuk mengetahui gerakan peduli kepada fakir miskin dan anak yatim yang dilakukan
muhammadiyah
3. Untuk mengetahui bentuk dan model gerakan sosial kemanusiaan muhammadiyah
4. Untuk mengetahui bentuk revitalisasi gerakan sosial muhammadiyah
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Nilai dan Ajaran Sosial Kemanusiaan Muhammadiyah (Teologi Al Maun)
Teologi Al-Maun merupakan suatu konsep yang diambil dari Surat Al-Maun. Dalam
surat ini, terdapat pembelajaran yang sangat berharga, sebagai upaya membangun etos
moralitas-spritualitas disatu sisi dengan berkaca terhadap fakta realitas keagamaan dan sosialbudaya dengan melihat fakta ketidakadilan sosial dalam kerangka makro dengan harapan dan
tujuan memberdayakan kembali prinsip-prinsip utama umat Islam umumnya dan warga
Muhammadiyah dalam menciptakan tatanan yang seimbang dalam persoalan-persoalan
politik, ekonomi, budaya dan lain sebagainya.
Surat Al-Maun berbunyi:
}3
} 2 } 1
}7 } 6 } 5
} 4
Artinya : " Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama?. Itulah orang yang
menghardik anak yatim. dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin. Maka
kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat. (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya.
orang-orang yang berbuat riya. dan enggan (menolong dengan) barang berguna." (QS. AlMaun: 1-7)
Ayat di atas merupakan basis ideologi perjuangan Muhammadiyah yang memberikan
landasan keberpihakan kepada kaum lemah (dhuafa) dan kaum teraniaya (mustadhafin).
Semangat Al-Maun merupakan dasar pijakan dalam pengembangan awal gerakan PROPenolong Kesengsaraan
Oemoem dengan
tokoh
Kyai
Sudjak
di
awal
pendirian
anak yatim dan atau menyakitinya (Itulah orang yang menghardik anak yatim, dan tidak
menganjurkan memberi makan orang miskin, ayat 2-3). Logika kufur muncul karena
seharusnya saat iman seorang sudah mantap di hati niscaya anak-anak yatim dan orang
miskin tentu tidak akan diterlantarkan.
SEMANGAT agama sebagai ideologi kritik sosial dapat dirujuk akar teologisnya
pada Al-Quran surat Al-Maun. Al-Mn adalah satu diantara surat dalam Al-Quran yang
mengandung doktrin teologi sangat penting. Surat yang termasuk makiyah awal (turun di
Makkah) ini mengajarkan kaitan yang erat antara penghayatan iman dengan pengamalan
sosial. Suatu ajaran yang menyimpulkan hubungan antara ide monoteisme (tauhid) dengan
semangat humanisme (kemanusiaan), serta rasa keadilan ekonomi dan sosial.1
Tauhid adalah dimensi keimanan sedang humanisme adalah dimensi kemanusiaan.
Tauhid adalah mengesakan Tuhan, humanisme menyatukan manusia dalam kesederajatan
sebagai sama-sama makhluk Tuhan. Tauhid adalah sebuah ketundukan kepada Tuhan sedang
humanisme adalah sebuah penghargaan atas martabat kemanusiaan. Tauhid adalah konsepsi
keyakinan sedang humanisme adalah gerakan sosial. Tauhid adalah menjaga dan humanisme
adalah bergerak. Semua itu, sekali lagi, merupakan spirit dari teologi Al-Maun.
Untuk mengatasi ketidakadilan sosial yang terjadi saat ini, maka Muhammadiyah
sebagai persyarikatan perlu untuk menghidupkan lagi spirit Al-Maun, sebagaimana yang
telah dilakukan oleh Kyai Dahlan di awal-awal pendirian Muhammadiyah.
Ada beberapa pesan yang dapat di tangkap dari surat Al-Maun, diantaranya adalah:
Pertama, orang yang menelantarkan kaum dhuafa (mustadhafiin) tergolong kedalam orang
yang mendustakan agama.
Kedua, ibadah shalat memiliki dimensi sosial, dalam arti tidak ada faedah shalat seseorang
jika tidak dikerjakan dimensi sosialnya.
Ketiga, mengerjakan amal saleh tidak boleh dibarengi dengan sikap riya.
Keempat, orang yang tidak mau memberikan pertolongan kepada orang lain, bersikap egois
dan egosentris termasuk kedalam orang yang mendustakan agama.
Bila ingin dipadatkan lagi, empat buah pesan yang terkandung dalam surat Al-Maun
inilah yang menjadi cita-cita sosial Muhammadiyah, yaitu ukhuwah (persaudaraan), hurriyah
(kemerdekaan), musawah (persamaan), dan adaalah (keadilan).
Spirit inilah yang ditangkap oleh Kyai Dahlan dan diimplementasikannya dalam
kehidupan sosial melalui persyarikatan Muhammadiyah. Nilai-nilai ini sejalan dengan misi
Islam di muka bumi ini sebagai agama yang rahmatan lilalamiin. Dalam perjalanannya,
untuk mengimplementasikan tauhid sosial ini juga memerlukan berbagai macam faktor
pendukung yang harus hidup dan berkembang pada warga persyarikatan Muhammadiyah.
Dalam perspektif teologi Al-Maun di atas, agama seharusnya bukan sekedar
keimanan yang bersifat simbolik dan bisu, apalagi acuh terhadap ketimpangan sosial yang
terjadi. Tetapi, agama semestinya mengambil prakarsa untuk mewujudkan keadilan sosial dan
ekonomi sebagai bentuk tanggung jawab sosial agama dan pembelaan terhadap anak yatim
dan kaum miskin. Lebih dari itu, agama juga dituntut untuk menumbuhkan kesalehan
transformatif dengan ikut terlibat dalam mewujudkan masyarakat yang keberadaban. Suatu
masyarakat yang terbebas dari praktek ketidakadilan sosial, eksploitasi dan dehumanisasi atas
kaum miskin.
Gagasan sentral teologi Al-Maun di atas adalah keberpihakan terhadap kaum
dhuafa, fuqara, masakin dan mustadhafin. Inilah prinsip populisme yang menjadi focus
theologicus Islam.
2.2 Gerakan Peduli Kepada Fakir Miskin Dan Anak Yatim Yang Dilakukan
Muhammadiyah
Sejak awal berdirinya Muhammadiyah menaruh perhatian besar terhadap kesejahteraan
masyarakat, khususnya masyarakat kelas dhuafa.
Penyaluran dan pembagian zakat fitrah danmaal kepada fakir miskin dan asnaf yang lain
Pendirian Balai kesehatan, poliklinik, Rumah sakit Ibu dan Anak dan Rumah Sakit Umum
Abdul Munir Mulkhan, 1990, Warisan Intelektual K.H. Ahmad Dahlan dan Amal Muhammadiyah,
Yogyakarta: Penerbit PT Percetakan Persatuan, hal. 132
dan kaum mustadhafin lainnya oleh Muhammadiyah. Seperti dikatakan Kyai Ahmad Dahlan
untuk terus menerus menyerukan agar setiap orang yang mampu bersedia memenuhi hak-hak
dan berlaku adil kepada orang miskin dan para fakir, anak yatim dan orang-orang terlantar
dan menderita.
Selanjutnya praksis sosial untuk kemanusiaan dari pemahaman atas teologi al-Maun
tampak pula pada gerakan dakwah Muhammadiyah saat ini yang memiliki jangkauan lebih
luas dan beragam, seperti keaktifan Muhammadiyah dalam Pokja Pemberantasan Korupsi,
penuntasan mafia pajak dan hukum, pemberantasan flu burung dan TB (tubercolosis) yang
banyak menimpa kelompok masyarakat miskin, fatwa kurban dan bencana alam yang
menekankan agar kurban diberikan berdasarkan prioritas nilai manfaat dan kebutuhan
masyarakat terutama yang menjadi korban bencana, serta pendirian MDMC (Muhammadiyah
Disaster Center) untuk penanganan tanggap darurat bencana agar lebih cepat dan lebih
efektif dalam menolong korban bencana.
Munir Mulkhan, 2007, Pesan dan Kisah Kiai Ahmad Dahlan dalam Hikmah Muhammadiyah,
Yogyakarta: Penerbit Suara Muhammadiyah, hal. 194, lihat juga Abdul Munir Mulkhan, 1990, ibid, hal 75
semangat awal untuk tujuan dakwah sosial kemasyarakatan. Muhammadiyah saat ini dan
pada masa yang akan datang menghadapi tantangan yang lebih berat, mengingat tidak hanya
dituntut tetap menjaga semangat dan nilai pengajaran Kyai Ahmad Dahlan, melainkan harus
terus mampu melakukan terobosan baru untuk kerja sosial dalam berbagai bentuknya sesuai
kebutuhan masyarakat dan kondisi zamannya. Ke depan diharapkan akan dilahirkan lebih
banyak lagi rumah sakit baru yang lebih modern dengan kelengkapan teknologi kedokteran,
keunggulan dalam mutu dan kualitas pelayanan, integrasi nilai indigenious dan modern dalam
pengobatan, serta tetap terjaganya spirit dan amal sosial rumah sakit untuk melayani
sepenuhnya fakir miskin yang sakit. Panti asuhan atau rumah singgah dikembangkan bukan
hanya sebagai tempat penampungan sementara dengan pelatihan keterampilan pendukung,
tetapi juga diarahkan agar dapat difungsikan sebagai sentra kerajinan dan home industry yang
mampu memberi kecukupan secara ekonomi kepada penghuninya. Demikian pula terkait
dengan pengelolaan zakat, lembaga pendidikan, pengembangan ekonomi mikro, lembaga
penanganan bencana, serta program-program sosial kemasyarakatan lainnya. Dengan begitu,
zaman dan manusia boleh berubah, tetapi spirit perjuangan dan gerakan dakwah (amal sosial)
Muhammadiyah atas dasar surat al-Maun tetap terpelihara untuk mampu secara terus
menerus melahirkan kerja sosial dan amal baik untuk kepentingan dan kemaslahatan fakir,
miskin, para dhuafa, dan kaum mustadhafin.
ajaran
yang
dianggap
mapan
oleh
umat
Islam.
Penerjemahan
kalimat thayyibah; la ilaha illallah dengan tiada Tuhan selain Tuhan, merupakan salah satu
contoh kreasi para pembaru muslim yang menimbulkan kontroversi berkepanjangan.
Menghadapi perdebatan dan persaingan dua mazhab pemikiran Islam yang senantiasa
memutlakkan kebenaran kelompoknya, Muhammadiyah sesungguhnya dapat menampilkan
diri sebagai mediator. Dalam hal ini Muhammadiyah dapat menjalankan fungsi management
of ideas di antara berbagai mazhab pemikiran.
9
10
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Teologi Al-Maun merupakan suatu konsep yang diambil dari Surat Al-Maun. Dalam
surat ini, terdapat pembelajaran yang sangat berharga, sebagai upaya membangun etos
moralitas-spritualitas. Gagasan sentral teologi Al-Maun di atas adalah keberpihakan terhadap
kaum dhuafa, fuqara, masakin dan mustadhafin. Inilah prinsip populisme yang menjadi
focus theologicus Islam.
Sejak awal berdirinya Muhammadiyah menaruh perhatian besar terhadap
kesejahteraan masyarakat, khususnya masyarakat kelas dhuafa. Dengan mendirikan
Penolong Kesengsaraan Oemoem (PKO), balai pengobatan, rumah sakit, rumah miskin, panti
asuhan, panti jompo, panti korban perang, sekolah, hingga penerbitan media cetak yang
ditujukan sebagai upaya mengamalkan nilai Islam agar bermanfaat bagi pengentasan
kemiskinan, pemberdayaan masyarakat yang tertindas (mustadhafin), serta pencerdasan
umat yang bodoh dan terbelakang.
Tafsir sosial yang dilakukan oleh Kiai Dahlan atas semua persoalan pada masanya
sangat lugas. Penerjemahan teks-teks Qurani ke dalam praksis sosial dilakukan oleh Kiai
Dahlan dengan sangat tangkas. Tetapi secara lebih mendasar apa yang dilakukan oleh Kiai
Dahlan bukan berarti tanpa refleksi kritis dan mendalam terhadap kondisi yang dihadapi.
Refleksi kritis terhadap realitas sosial yang terjadi dan kemudian mencarikan solusi yang
tepat untuk mengentaskannya inilah yang belakangan menjadi sebuah semangat baru dalam
ilmu sosial. Sehingga teori sosial kritis yang belakangan ini banyak diintrodusir, dianggap
perlu dipertimbangkan sebagai sebuah pendekatan baru dalam metode tafsir sosial
Muhammadiyah.
Saran
Gerakan sosial Muhammadiyah ini masih banyak memiliki kekurangan-kekurangan
yang harus di benahi dan di kritisi agar gerakan sosial Muhammadiyah ini berjalan dengan
lebih baik sehingga organisasi Muhammadiyah menjadi lebih besar dan lebih sempurna
dalam mengamalkan ajaran-ajaran yang telah di sampaikan oleh Nabi Muhammad SAW dan
sesuai dengan apa yang dituliskan oleh Allah SWT didalam Al-Quran-Nya.
11
DAFTAR PUSTAKA
Kuntowijoyo, Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi, Bandung: Mizan, 1991, h. 338.
Kazuo Shimugaki, Kiri Islam, Antara Modernisme dan Postmodernisme: Telaah Kritis atas
Pemikiran Hassan Hanafi, Yogyakarta: LKiS, 1993, h. 6.
M. Dawam Rahadjo, 1997, Ensiklopedi al-Quran Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep
Kunci, Jakarta: Paramadina
Nashir Haedar. 2000. REVITALISASI GERAKAN MUHAMMADIYAH. Yogyakarta: BIGRAF
Publishing
Junaidi Muaizin : Revitalisasi
Ideologi
Muhammadiyah.Diakses
dari
http://junaidimuadzin.wordpress.com/2009/11/26/revitalisasi-ideologi-muhammadiyah/ pada
tanggal 22 November 2014 Pukul 19.00 WIB
Akhmad Rofiq : Amal Usaha Muhammadiyah Kedudukan dan Fungsinya. Diakses dari
http://www.academia.edu/5481656/Amal_Usaha_Muhammadiyah_Kedudukan_dan_Fungsin
ya pada tanggal 22 November 2014 Pukul 19.20 WIB
12