Hasil dari hiperosmolaritas adalah perpindahan cairan dari dalam sel ke serum, hal ini
menyebabkan hilangnya cairan dalam urin sehingga terjadi perubahan elektrolit dan dehidrasi
total pada tubuh. Gangguan metabolic lainnya terjadi karena insulin tidak memungkin glukosa
untuk masuk kedalam sel sehingga sel memecah lemak dan protein yang digunakan sebagai
bahan bakar. Proses ini menyebabkan pembentukan keton. Keton menurunkan pH darah dan
konsentrasi bikarbonat dikarenakan ketoasidosis.
Berat ringannya KAD dibagi berdasarkan tingkat asidosisnya:
Dehydration dehidarsi
Rapid, deep, sighing (Kussmaul respiration) nafas cepat dan dalam (pernapasan
kussmaul)
Nausea, vomiting, and abdominal pain mimicking mual, muntah, nyeri abdomen
Progressive obtundation and loss of consciousness penurunan kesadaran
Increased leukocyte count with left shift perubahan peningkatan leukosit
Non-specific elevation of serum amylase tidak spesifik tingginya serum amilase
Fever only when infection is present demam ketika infeksi terjadi
PENATALAKSANAAN
Prinsip-prinsip pengelolaan KAD adalah:
1. Memperbaiki sirkulasi dan perfusi jaringan (resusitasi dan rehidrasi)
2. Penggantian cairan dan garam yang hilang
3. Menekan lipolisis sel lemak dan menekan glukoneogenesis sel hati dengan pemberian
insulin.
4. Mengatasi stress sebagai pencetus KAD
5. Mencegah komplikasi dan mengembalikan keadaan fisiologis normal serta menyadari
pentingnya pemantauan serta penyesuaian pengobatan.
Berikut adalah beberapa tahapan tatalaksana KAD :
Berikut adalah beberapa tahapan tatalaksana KAD :
Penilaian Klinik Awal
1. Pemeriksaan fisik (termasuk berat badan), tekanan darah, tanda asidosis (hiperventilasi),
derajat kesadaran (GCS), dan derajat dehidrasi.
5%
10 %
>10 %
Observasi Klinik
Pemeriksaan dan pencatatan harus dilakukan atas :
3. Total rehidrasi dilakukan 48 jam, bila terdapat hipernatremia (corrected Na) rehidrasi
dilakukan lebih perlahan bisa sampai 72 jam.
4. 50-60% cairan dapat diberikan dalam 12 jam pertama.
5. Sisa kebutuhan cairan diberikan dalam 36 jam berikutnya.
Penggantian Natrium
Penggantian Kalium
Pada saat asidosis terjadi kehilangan Kalium dari dalam tubuh walaupun konsentrasi di
dalam serum masih normal atau meningkat akibat berpindahnya Kalium intraseluler ke
ekstraseluler. Konsentrasi Kalium serum akan segera turun dengan pemberian insulin dan
asidosis teratasi.
1. Pemberian Kalium dapat dimulai bila telah dilakukan pemberian cairan resusitasi, dan
pemberian insulin. Dosis yang diberikan adalah 5 mmol/kg BB/hari atau 40 mmol/L
cairan.
2. Pada keadaan gagal ginjal atau anuria, pemberian Kalium harus ditunda, pemberian
kalium segera dimulai setelah jumlah urine cukup adekuat.
Penggantian Bikarbonat
1. Bikarbonat sebaiknya tidak diberikan pada awal resusitasi.Pemberian bikarbonat hanya
dianjurkan pada KAD yang berat.
2. Adapun alasan keberatan pemberian bikarbonat adalah:
o
o
o
o
o
o
3. Terapi bikarbonat diindikasikan hanya pada asidossis berat (pH < 7,1 dengan bikarbonat
serum < 5 mmol/L) sesudah dilakukan rehidrasi awal, dan pada syok yang persistent.
walaupun demikian komplikasi asidosis laktat dan hiperkalemia yang mengancam tetap
merupakan indikasi pemberian bikarbonat.
3. Jika diperlukan dapat diberikan 1-2 mmol/kg BB dengan pengenceran dalam waktu 1
jam, atau dengan rumus: 1/3 x (defisit basa x KgBB). Cukup diberikan dari kebutuhan.
Pemberian Insulin
1. Insulin hanya dapat diberikan setelah syok teratasi dengan cairan resusitasi.
2. Insulin yang digunakan adalah jenis Short acting/Rapid Insulin (RI).
3. Dalam 60-90 menit awal hidrasi, dapat terjadi penurunan kadar gula darah walaupun
insulin belum diberikan.
4. Dosis yang digunakan adalah 0,1 unit/kg BB/jam atau 0,05 unit/kg BB/jam pada anak < 2
tahun.
5. Pemberian insulin sebaiknya dalam syringe pump dengan pengenceran 0,1 unit/ml atau
bila tidak ada syringe pump dapat dilakukan dengan microburet (50 unit dalam 500 mL
NS), terpisah dari cairan rumatan/hidrasi.
6. Penurunan kadar glukosa darah (KGD) yang diharapkan adalah 70-100 mg/dL/jam.
7. Bila KGD mencapai 200-300 mg/dL, ganti cairan rumatan dengan D5 Salin.
8. Kadar glukosa darah yang diharapkan adalah 150-250 mg/dL (target).
9. Bila KGD < 150 mg/dL atau penurunannya terlalu cepat, ganti cairan dengan D10
Salin.
10. Bila KGD tetap dibawah target turunkan kecepatan insulin.
11. Jangan menghentikan insulin atau mengurangi sampai < 0,05 unit/kg BB/jam.
12. Pemberian insulin kontinyu dan pemberian glukosa tetap diperlukan untuk menghentikan
ketosis dan merangsang anabolisme.
13. Pada saat tidak terjadi perbaikan klinis/laboratoris, lakukan penilaian ulang kondisi
penderita, pemberian insulin, pertimbangkan penyebab kegagalan respon pemberian
insulin.
14. Pada kasus tidak didapatkan jalur IV, berikan insulin secara intramuskuler atau subkutan.
Perfusi jaringan yang jelek akan menghambat absorpsi insulin.
serebri
Latar Belakang.
Ensefalopati hepatikum (EH) merupakan komplikasi penting dalam perjalanan penyakit
sirosis hepatis dan merupakan prediktor mortalitas independen pada pasien dengan acute on
chronic liver failure. Pada kasus yang berat,pasien dapat menjadi koma atau meninggal.
Prevalensi EH pada pasien sirosis hepatis sekitar 30-70%. Faktor predisposisi EH yang
reversibelharus dicari dan ditangani, yang meliputi konstipasi, infeksi, dan perdarahan
gastrointestinal. Antibiotik merupakan pilihan terbaik dalam terapi EH.
Ensefalopati hepatik (EH) merupakan komplikasiyang sering ditemukan pada pasien
sirosis hepar. EH tidak hanya menyebabkan penurunan kualitas hidup, namun juga memberikan
prognosis buruk pada pasien dengan sirosis hepar. EH merupakan kejadian penting dalam
perjalanan penyakit sirosis dan merupakan prediktor mortalitas independen pada pasien dengan
acute on chronic liver failure. Pada kasus yang berat dapat menjadi koma atau meninggal.
Mortalitas sangat tinggi pada EH dengan edema serebral. Mortalitas 1 tahun pada pasien dengan
EH berat di ICU adalah 54%, dengan pemberian dukungan inotropik, dan acute kidney injury
diidentifikasi sebagai prediktor independen pada kematian di ICU dan mortalitas 1 tahun.
Terapeutik terbaru dan strategi terapi telah dikembangkan sejak the American College of
Gastroenterology mengeluarkan guidelines mereka untuk manajemen EH(Fichet et al.,2009). EH
adalah sebuah gangguan pada sistem saraf pusat sebagai akibat insufisiensi hepar, setelah
menyingkirkan penyebab lain, seperti metabolik, infeksi, vaskular intrakranial, atau spaceoccupying lesions. EH merupakan suatu sindrom atau spektrum abnormalitas neuropsikiatri pada
pasien dengan disfungsi hepar, setelah menyingkirkan penyakit otak lainnya. EH ditandai dengan
perubahan personalitas, gangguan intelektual, dan penurunan tingkat kesadaran. EH juga terjadi
pada pasien tanpa sirosis dengan shunt portosistemik spontan atau dibuat dengan bedah(Poh et
al.,2012).
EH yang mendampingi onset akut dari disfungsi sintetik hepatik berat, merupakan ciri
khas fulminant hepatic failure (FHF). Gejalaensefalopati pada FHF dibagi derajatnya memakai
skala yang sama dengan penilaian gejala ensefalopati pada sirosis. Ensefalopati sirosis dan FHF
memiliki banyak kesamaan mekanisme patogenik. Akan tetapi, edema otak lebih berperan pada
ensefalopati FHF daripada ensefalopati sirosis. Edema otak pada FHF merupakan akibat dari
peningkatan permeabilitas blood-brain barrier(BBB), gangguan osmoregulasi otak, dan
peningkatan cerebral blood flow (CBF). Sebaliknya, edema otak jarang dilaporkan pada pasien
dengan sirosis(Detry et al.,2006)
Sumber
;
http://download.portalgaruda.org/article.php?article=122531&val=5502&title=
3. Patofisiologi meningitis menyebabkan edema otak
Meningitis adalah infeksi cairan otak disertai radang yang mengenai piameter (lapisan
dalam selaput otak) dan arakhnoid serta dalam derajat yang lebih ringan mengenai jaringan otak
dan medula spinalis yang superfisial.3Meningitis dibagi menjadi dua golongan berdasarkan
perubahan yang terjadi pada cairan otak yaitu meningitis serosa dan meningitis purulenta.
Meningitis serosa ditandai dengan jumlah sel dan protein yang meninggi disertai cairan
serebrospinal yang jernih. Penyebab yang paling sering dijumpai adalah kuman Tuberculosisdan
virus. Meningitis purulenta atau meningitis bakteri adalah meningitis yang bersifat akut dan
menghasilkan eksudat berupa pus serta bukan disebabkan oleh bakteri spesifik maupun virus.
Meningitis Meningococcus merupakan meningitis purulenta yang paling sering terjadi.
Penularan kuman dapat terjadi secara kontak langsung dengan penderita dan droplet
infection yaitu terkena percikan ludah, dahak, ingus, cairan bersin dan cairan tenggorok
penderita. Saluran nafas merupakan port dentre utama pada penularan penyakit ini. Bakteribakteri ini disebarkan pada orang lain melalui pertukaran udara dari pernafasan dan sekresi
sekresi tenggorokan yang masuk secara hematogen (melalui aliran darah) ke dalam cairan
serebrospinal dan memperbanyak diri didalamnya sehingga menimbulkan peradangan pada
selaput otak dan otak.
Infectious Agent Meningitis
Meningitis dapat disebabkan oleh virus,bakteri, riketsia, jamur, cacing dan protozoa.
Penyebab paling sering adalah virus dan bakteri. Meningitis yang disebabkan oleh bakteri
berakibat lebih fatal dibandingkan meningitis penyebab lain karena mekanisme kerusakan dan
gangguan otak yang disebabkan oleh bakteri maupun produk bakteri lebih berat.
Infectious Agent meningitis purulenta mempunyai kecenderungan pada golongan umur
tertentu, yaitu golongan neonatus paling banyak disebabkan oleh E.Coli,S.beta hemolitikus dan
Listeria monositogenes. Golongan umur dibawah 5 tahun (balita)disebabkan oleh H.influenzae,
Meningococcus dan Pneumococcus. Golongan umur 5-20 tahun disebabkan oleh Haemophilus
influenzae, Neisseria meningitides dan Streptococcus Pneumococcus, dan pada usia dewasa (>20
tahun) disebabkan oleh Meningococcus, Pneumococcus, Stafilocccus, Streptococcus dan
Listeria.
Penyebab meningitis serosa yang paling banyak ditemukan adalah kuman Tuberculosis
dan virus. Meningitis yang disebabkan oleh virus mempunyai prognosis yang lebih baik,
cenderung jinak dan bisa sembuh sendiri. Penyebab meningitis virus yang paling sering
ditemukan yaitu Mumpsvirus, Echovirus, dan Coxsackievirus , sedangkan Herpes simplex
,Herpes zooster, dan enterovirus jarang menjadi penyebab meningitis aseptik(viral).
Meningitis pada umumnya sebagai akibat dari penyebaran penyakit di organ atau
jaringan tubuh yang lain. Virus / bakteri menyebar secara hematogen sampai ke selaput otak,
misalnya pada penyakit Faringitis, Tonsilitis, Pneumonia, Bronchopneumonia dan Endokarditis.
Penyebaran bakteri/virus dapat pula secara perkontinuitatum dari peradangan organ atau jaringan
yang ada di dekat selaput otak, misalnya Abses otak, Otitis Media, Mastoiditis, Trombosis sinus
kavernosus dan Sinusitis. Penyebaran kuman bisa juga terjadi akibat trauma kepala dengan
fraktur terbuka atau komplikasi bedah otak. Invasi kuman-kuman ke dalam ruang subaraknoid
menyebabkan reaksi radang pada pia dan araknoid, CSS (Cairan Serebrospinal) dan system
ventrikulus.
Mula-mula pembuluh darah meningeal yang kecil dan sedang mengalami
hiperemi;dalamwaktu yang sangat singkat terjadi penyebaran sel-sel leukosit polimorfonuklear
ke dalam ruang subarakhnoid, kemudian terbentuk eksudat. Dalam beberapa hari terjadi
pembentukan limfosit dan histiosit dan dalam minggu kedua sel-sel plasma. Eksudat yang
terbentuk terdiri dari dua lapisan, bagian luar mengandung leukosit polimorfonuklear dan fibrin
sedangkan di lapisaan dalam terdapat makrofag.
Proses radang selain pada arteri jugaterjadi pada vena-vena di korteks dan dapat
menyebabkan trombosis, infark otak, edema otak dan degenerasi neuron-neuron. Trombosis serta
organisasi eksudat perineural yang fibrino-purulen menyebabkan kelainan kraniales. Pada
Meningitis yang disebabkan oleh virus, cairan serebrospinal tampak jernih dibandingkan
Meningitis yang disebabkan oleh bakteri.
Sumber : http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/23705/4/Chapter%20II.pdf
4. patofisiologi hiponatremi menyebabkan edema otak
Hiponatremia disebabkan oleh kelebihan cairan maupun deplesi natrium. Deplesi natrium
mungkin terjadi akibat asupan yang tidak adekuat atau kehilangan yang berlebihan.
Hiponatremia dengan osmolalitas plasma normal pemberian cairan iso-osmotik yang
tidak mengandung natrium ke cairan ekstra sel dapat menimbulkan hiponatremia dengan
osmolalitas plasma normal. Termasuk dalam hal ini, keadaan hiperproteinemia dan
hiperlipidemia. Hiponatremia dengan osmolalitas plasma tinggi Pada keadaan osmolalitas
plasma yang tinggi, seperti pada keadaan hiperglikemia berat atau pemberian manitol intravena.
Cairan intrasel akan keluar ke ekstrasel menyebabkan dilusi cairan ekstrasel, dan menyebabkan
hiponatremia. Hiponatremia dengan osmolalitas plasma rendah Terjadi pada keadaan seperti
gagal jantung, sirosis, insufisiensi renal, sindroma nefrotik. Keadaan-keadaan ini terjadi dengan
volume CES yang meningkat. Pada SIADH, volume CES normal dan pada keadaan muntah atau
pada pemakaian diuretik, volume CES menurun. Hiponatremia akut diartikan sebagai kejadian
hiponatremia dalam jangka waktu kurang dari 48 jam. Pada keadaan ini tertjadi perpindahan
cairan dari ekstrasel ke intrasel, termasuk ke sel otak. Hal ini akan menyebabkan terjadinya
edema otak yang mana keadaan ini merupakan keadaan berat yang dapat menyebabkan kejang
dan penurunan kesadaran. Edema otak yang terjadi, dibatasi oleh kranium disekitarnya, yang
mengakibatkan terjadinya hipertensi intrakranial dengan resiko brain injury.
Sumber
hiponatremia.html
http://risjanandi.blogspot.com/2013/03/hipernatremia-dan-