Anda di halaman 1dari 21

LAPORAN PRAKTIKUM

IMUNOLOGI IKAN

SISTEM IMUN PADA UDANG WINDU (Penaeus monodon)

NAMA
NIM
KELOMPOK
ASISTEN

: NURUL FADHILLAH AZIS


: L221 12 103
: III (TIGA)
: GUSMI FEBRIANA

LABORATORIUM PARASIT DAN PENYAKIT IKAN


PROGRAM STUDI BUDIDAYA PERAIRAN
JURUSAN PERIKANAN
FAKULTAS ILMU KELAUTAN DAN PERIKANAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2014

I. PENDAHULUAN

Latar Belakang
Imunologi adalah ilmu yang mempelajari tentang kekebalan tubuh. Imunologi
berasal dari kata imun yang berarti kebal dan logos yang berarti ilmu. Imunitas
adalah perlindungan dari penyakit, khususnya penyakit infeksi. Sel-sel dan molekulmolekul yang terlibat didalam perlindungan membentuk sistem imun. Sedangkan
respon untuk menyambut agen asing disebut respon imun (Febrianti, 2014).
Udang windu merupakan salah satu komoditas unggulan perikanan, namun
ketersediaannya di Indonesia untuk memenuhi komoditas unggulan ekspor non
migas dari perikanan masih belum dapat mencapai target yang diharapkan
(Mahasri, 2008 dalam Nurul, 2012). Salah satu upaya untuk meningkatkan produksi
budidaya udang windu salah satunya adalah meningkatkan daya tahan tubuh udang
melalui pemberian immunostimulan. Pemberian immunostimulan bagi ikan maupun
udang biasanya diberikan sebelum terjangkit penyakit, cara pemberiannya dapat
melalui penyuntikan, pakan (oral), dan perendaman (immersi), namun pemberian
melalui pakan dinilai paling praktis karena tidak menyebabkan stress bagi
ikan/udang. Ketepatan dosis juga merupakan tolak ukur keberhasilan pemberian
immunostimulan, pada dosis yang tinggi dapat menekan mekanisme pertahanan
tubuh dan pada dosis rendah tidak efektif (Anderson, 1992 dalam Nurul, 2012).
Ketepatan

lama

pemberian

immunostimulan

juga

sangat

penting

untuk

menghasilkan respon imunitas optimal sebab pemberian imunostimulan dalam


waktu yang berkepanjangan dapat menekan resistensi ikan dan udang terhadap
penyakit dan pertumbuhan (Li dan Galtin, 2006 dalam Nurul, 2012).
Adapun beberapa penyakit yang sering menyerang udang windu yaitu bintik
putih (adanya bintik putih di cangkang), bintik hitam (adanya bintik hitam di
karapaks), kotoran putih/mencret (adanya kotoran putih di daerah pojok tambak dan

penurunan nafsu makan), insang merah (adanya warna merah pada insang udang),
dan nekrosis (adanya kerusakan/luka yang berwarna hitam pada alat tubuh,
terutama pada ekor) (Polengs, 2011).
Mekanisme pertahanan tubuh krustasea sebagian besar bergantung pada
sel-sel darah dan proses hemolim (Maynard, 1960 dalam Syahailatua, 2009).
Hemosit merupakan faktor yang sangat penting dalam sistem pertahanan seluler
yang bersifat non spesifik. Smith et al. (2003) menyebutkan bahwa hemosit
menyimpan immune reactive (seperti peroxinectin, antibacterial peptide, dan clotting
components) dalam tubuh udang, sehingga kenaikan jumlah total hemosit (THC)
merupakan salah satu indikator peningkatan daya tahan tubuh udang. Kemampuan
hemosit dalam aktivitas fagositosis yang dapat meningkat pada kejadian infeksi,
sehingga menunjukkan pertahanan tubuh yang bersifat seluler. Adanya infeksi
tersebut akan merangsang sistem pertahanan non spesifik seluler untuk menangkal
serangan penyakit. Meningkatnya ketahanan tubuh udang juga dapat diketahui dari
meningkatnya aktivitas fagositosis (AF) sel-sel hemosit. Fagositosis merupakan
mekanisme pertahanan non spesifik yang secara umum dapat melindungi adanya
serangan patogen (Fontaine dan Lightner, 1974 dalam Syahailatua, 2009).
Karakteristik

yang

digunakan

untuk

mengetahui

pengaruh

penambahan

immunostimulan pada udang adalah jumlah total hemosit, differensial hemosit, dan
aktifitas fagositosis (Kajita et al., 1990). Upaya dalam meningkatkan pertahanan
tubuh udang dapat menggunakan immunostimulan yaitu berasal dari dinding sel
bakteri

dan

jamur

seperti

-glukan,

lipopolisakarida

dan

peptidoglikan

(Syahailatula, 2009 dalam Nurul, 2012).


Berdasarkan uraian di atas, untuk mengetahui dan melihat haemosit pada
udang windu serta mengetahui sel-sel yang bekerja lebih perlu dilakukan praktikum
mengenai sistem imun pada udang windu untuk membandingkan teori yang ada
dengan praktik yang dilakukan.

Tujuan Dan Kegunaan


Tujuan dari praktikum ini adalah untuk mengetahui haemosit pada udang
windu (Penaeus monodon).
Kegunaan praktikum ini agar mahasiswa dapat mengetahui sel-sel yang
bekerja pada sistem imun udang windu (Penaeus monodon).

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Deskripsi dan Klasifikasi

Gambar Udang Windu (Penaeus monodon)

Klasifikasi Udang Windu (Penaeus monodon)

Domain: Eukaryota

Kingdom: Animalia
Subkingdom: Bilateria

Branch: Protostomia

Infrakingdom: Ecdysozoa

Superphylum: Panarthropoda

Phylum: Arthropoda

Subphylum: Pancrustacea

Infraphylum: Crustaceomorpha

Superclass: Crustacea

Epiclass: Eucrustacea

Subclass: Eumalacostraca

Superorder: Eucarida

Order: Decapoda

Suborder: Dendrobranchiata

Superfamily: Penaeoidea

Family: Penaeidae

Genus: Penaeus

Specific name: monodon - Fabricius

Scientific name: - Penaeus


monodon Fabricius (www.zipcodezoo.com)

Morfologi
Udang windu adalah suatu binatang laut yang memiliki kulit agak keras, dan

dibesarkan dalam budidaya secara luas untuk makanan. Tubuh udang dibagi
kedalam tiga bagian, yaitu: 1) kepala-dada (Cephalothorax) yang tertutup oleh satu
kelopak yang disebut karapks, 2) badan (abdomen), dan 3) ekor. Pada kepala
terdapat lima ruas dan delapan ruas dibagian dada, masing-masing ruas mempunyai
sepasang anggota badan yang memiliki fungsi tersendiri. Bagian dada terdapat
sepasang anggota badan yang disebut pereopoda, bagian ujungnya berjepit yang
berfungsi sebagai penangkap makanan. Bagian perut (abdomen) terdapat lima
pasang kaki renang (pleopoda) yang tumbuh dari setiap ruas badan tersebut. Di
belakang badan terdapat satu ruas lagi yang beranggotakan dua pasang ekor kipas
(uropoda) yang berfungsi sebagai kemudi saat udang sedang berenang. Udang
windu mempunyai ciri-ciri : 1) kulit tebal dan keras, 2) warna hijau kebiruan dengan
garis melintang lebih gelap, 3) ada juga yang berwarna kemerahan dengan garis
melintang berwarna kecoklatan (Digilib, 2014).

Habitat dan Siklus Hidup


Habitat udang windu muda (stadia yuwana) adalah daerah pantai berair

payau yang banyak ditumbuhi oleh pepohonan bakau yang berlumpur dengan
campuran pasir yang subur. Menjelang dewasa udang yuwana akan berpindah
kearah laut dalam (Digilib, 2014).
Siklus hidup Udang Windu (Penaeus monodon) menurut Wyban dan
Sweeney (1991) dalam Nugroho (2011) adalah udang betina bertelur naupli
protozoea mysis postlarva juvenil udang dewasa (Gambar2).

Gambar 2. Siklus hidup Udang Windu (Penaeus monodon) (Wyban dan


Sweeney, 1991 dalam Nugroho, 2011) Keterangan: 1. Udang betina
bertelur; 2. Telur; 3. Naupli; 4. Zoea; 5. Mysis; 6. Post larva; 7. Juvenil (Wyban,
dan Sweeney, 1991 dalam Nugroho, 2011).

Telur yang yang telah dibuahi akan menetas dalam waktu 12 sampai 15 jam
dan berkembang menjadi larva (Martosudarmo dan Ranoemihardjo 1979 dalam
Nugroho, 2011). Larva masih memiliki cadangan makanan dalam tubuh berupa
kuning telur. Stadia zoea terdiri dari tiga substadia yang berlangsung selama enam
hari dan mengalami alih bentuk tiga kali. Stadia mysis dicirikan oleh bentuk larva
yang mulai menyerupai udang dewasa. Pleopod dan telson mulai berkembang dan
larva bergerak mundur. Selanjutnya stadia mysis mengalami alih bentuk menjadi
postlarva. Selama lima hari pertama stadia postlarva udang bersifat plaktonis, dan
pada postlarva-VI udang mulai merayap di dasar (Rahmatun dan Ahmad, 1989
dalam Nugroho, 2011).
B. Sistem Imun

Sistem imun secara umum


Sistem imun adalah semua mekanisme yang digunakan tubuh untuk

mempertahankan keutuhan tubuh, sebagai perlindungan terhadap bahaya yang


dapat ditimbulkan berbagai bahan dalam lingkungan hidup (Freakz, 2012).

Secara umum sistem imun manusia terbagi dalam dua, yaitu : alamiah dan
adaptif (spesifik). Sistem imun alamiah terentang luas, mulai dari air mata, air liur,
keringat (dengan pHnya yang rendah/asam), bulu hidung, kulit, selaput lendir,
laktoferin dan asam neuraminik (pada air susu ibu), sampai asam lambung termasuk
di dalamnya. Secara lebih mendetail di dalam cairan tubuh seperti air mata atau
darah terdapat komponen sistem imun alamiah yang antara lain terdiri dari fasa cair
seperti IgA (Imunoglobulin A), Interferon, Komplemen, Lisozim, ataupun c-reactive
protein (CRP). Sementara fasa seluler terdiri dari sel-sel pemangsa (fagosit) seperti
sel darah putih (polymorpho nuclear/PMN), sel-sel mono nuklear (monosit atau
makrofag), sel pembunuh alamiah (Natural Killer), dan sel-sel dendritik. Sedangkan
pada sistem imun adaptif terdapat sistem dan struktur fungsi yang lebih kompleks
dan beragam. Sistem imun adaptif terdiri dari sub sistem seluler yaitu keluarga sel
limfosit T (T penolong dan T sitotoksik) dan keluarga sel mono nuklear (berinti
tunggal). Sub sistem kedua adalah sub sistem humoral, yang terdiri dari kelompok
protein globulin terlarut yaitu: Imunoglobulin G, A, M, D, dan E. Imunoglobulin
dihasilkan oleh sel limfosit B melalui suatu proses aktivasi khusus, bergantung
kepada karakteristik antigen yang dihadapi. Secara berkesinambunangan dalam
jalinan koordinasi yang harmonis, sistem imun baik yang alamiah maupun adapatif
senantiasa bahu-membahu menjaga keselarasan interaksi antara sistem tubuh
manusia dengan media hidupnya (ekosistem) (Freakz, 2012).
Keberadaan mikroba patogen dapat menimbulkan dampak-dampak yang
tidak diharapkan akan memicu sistem imun untuk melakukan tindakan dengan
urutan mekanisme sebagai berikut : introduksi, persuasi, dan represi (Freakz, 2012).
Meskipun komplemen dapat diasosiasikan sesuai artinya, yaitu pelengkap,
namun sesungguhnya fungsinya amatlah vital. Faktor komplemen bertugas untuk
menganalisa masalah untuk selanjutnya mengenalkannya kepada imunoglobulin,

untuk selanjutnya akan diolah dandipecah-pecah menjadi bagian-bagian molekul


yang tidak berbahaya bagi tubuh. Setelah itu limfosit T bekerja dengan memakan
mikroba patogen. Sel limfosit terdiri dari dua spesies besar, yaitu limfosit T dan B.
Bila limfosit B kelak akan bermetamorfosa menjadi sel plasma dan selanjutnya akan
menghasilkan imunoglobulin (G,A,M,D,E), maka sel T akan menjadi divisi T helper,
T sitotoksik, dan T supresor (Freakz, 2012).
Dalam kondisi yang berat akan terjadi beberapa proses berikut : sel limfosit T
akan meminimalisasi efek patogenik dari mikroba patogen dengan cara bekerjasama
dengan antibodi untuk mengenali dan merubah antigen dari mikroba patogen
menjadi serpihan asam amino melalui sebuah mekanisme yang disebut Antibody
Dependent Cell Cytotoxicity (ADCC). Selain itu sel limfosit T bersama dengan sel NK
(Natural Killer) dan sel-sel dendritik dapat bertindak langsung secara represif untuk
menghentikan kegiatan mikroba patogen yang destruktif melalui aktivitas kimiawi
zat yang disebut perforin. Dalam beberapa kondisi khusus, sel limfosit T dapat
memperoleh bantuan dari sel makrofag yang berperan sebagai Antigen Presenting
Cell (APC) alias sel penyaji antigen. Sedangkan Sel limfosit B bertugas untuk
membangun sistem manajemen komunikasi terpadu di wilayah cairan tubuh
(imunitas humoral). Bila ada antigen dari unsur asing yang masuk, maka sel limfosit
B akan merespon dengan cara membentuk sel plasma yang spesifik untuk
menghasilkan molekul imunoglobulin yang sesuai dengan karakteristik antigen dari
unsur asing tersebut (Freakz, 2012).

Sistem imun pada udang windu (Penaeus monodon)


Udang windu merupakan salah satu komoditas unggulan perikanan, namun

ketersediaannya di Indonesia untuk memenuhi komoditas unggulan ekspor non


migas dari perikanan masih belum dapat mencapai target yang diharapkan
(Mahasri, 2008 dalam Nurul, 2012). Salah satu upaya untuk meningkatkan produksi

budidaya udang windu salah satunya adalah meningkatkan daya tahan tubuh udang
melalui pemberian immunostimulan. Pemberian immunostimulan bagi ikan maupun
udang biasanya diberikan sebelum terjangkit penyakit, cara pemberiannya dapat
melalui penyuntikan, pakan (oral), dan perendaman (immersi), namun pemberian
melalui pakan dinilai paling praktis karena tidak menyebabkan stress bagi
ikan/udang. Ketepatan dosis juga merupakan tolak ukur keberhasilan pemberian
immunostimulan, pada dosis yang tinggi dapat menekan mekanisme pertahanan
tubuh dan pada dosis rendah tidak efektif (Anderson, 1992 dalam Nurul, 2012).
Ketepatan

lama

pemberian

immunostimulan

juga

sangat

penting

untuk

menghasilkan respon imunitas optimal sebab pemberian imunostimulan dalam


waktu yang berkepanjangan dapat menekan resistensi ikan dan udang terhadap
penyakit dan pertumbuhan (Li dan Galtin, 2006 dalam Nurul, 2012).
Adapun beberapa penyakit yang sering menyerang udang windu yaitu bintik
putih (adanya bintik putih di cangkang), bintik hitam (adanya bintik hitam di
karapaks), kotoran putih/mencret (adanya kotoran putih di daerah pojok tambak dan
penurunan nafsu makan), insang merah (adanya warna merah pada insang udang),
dan nekrosis (adanya kerusakan/luka yang berwarna hitam pada alat tubuh,
terutama pada ekor) (Polengs, 2011).
Mekanisme pertahanan tubuh krustasea sebagian besar bergantung pada
sel-sel darah dan proses hemolim (Maynard, 1960 dalam Syahailatua, 2009).
Hemosit merupakan faktor yang sangat penting dalam sistem pertahanan seluler
yang bersifat non spesifik. Smith et al. (2003) menyebutkan bahwa hemosit
menyimpan immune reactive (seperti peroxinectin, antibacterial peptide, dan clotting
components) dalam tubuh udang, sehingga kenaikan jumlah total hemosit (THC)
merupakan salah satu indikator peningkatan daya tahan tubuh udang. Kemampuan
hemosit dalam aktivitas fagositosis yang dapat meningkat pada kejadian infeksi,
sehingga menunjukkan pertahanan tubuh yang bersifat seluler. Adanya infeksi

tersebut akan merangsang sistem pertahanan non spesifik seluler untuk menangkal
serangan penyakit. Meningkatnya ketahanan tubuh udang juga dapat diketahui dari
meningkatnya aktivitas fagositosis (AF) sel-sel hemosit. Fagositosis merupakan
mekanisme pertahanan non spesifik yang secara umum dapat melindungi adanya
serangan patogen (Fontaine dan Lightner, 1974 dalam Syahailatua, 2009).
Karakteristik

yang

digunakan

untuk

mengetahui

pengaruh

penambahan

immunostimulan pada udang adalah jumlah total hemosit, differensial hemosit, dan
aktifitas fagositosis (Kajita et al., 1990). Upaya dalam meningkatkan pertahanan
tubuh udang dapat menggunakan immunostimulan yaitu berasal dari dinding sel
bakteri

dan

jamur

seperti

-glukan,

(Syahailatula, 2009 dalam Nurul, 2012).

lipopolisakarida

dan

peptidoglikan

III. METODELOGI PRAKTIKUM

Waktu dan Tempat


Praktikum Sistem Imun Pada Udang Windu (Penaeus monodon) ini
dilaksanakan pada hari Rabu, tanggal 26 November 2014, pada pukul 14.00 15.30
WITA, bertempat di Laboratorium Parasit dan Penyakit Ikan, Fakultas Ilmu Kelautan
dan Perikanan, Jurusan Perikanan, Universitas Hasanuddin, Makassar.
Alat dan Bahan
Alat dan bahan yang digunakan dalam praktikum Sistem Imun Pada Udang
Windu (Penaeus monodon), antara lain:
Tabel 1. Alat yang digunakan dalam praktikum Sistem Imun Pada Udang Windu
(Penaeus monodon) serta fungsinya.
No.
Alat
Kegunaan
1. Alat tulis
Menulis hasil dan pembahasan.
2. Spoit 1 mL
Mengambil darah pada udang.
3. Objek glass
Tempat diletakkannya darah udang.
4. Baskom
Tempat penyimpanan udang.
5. Pipet tetes
Mengambil larutan.
6. Mikroskop
Melihat sel.
Tabel 2. Bahan yang digunakan dalam praktikum Sistem Imun Pada Udang Windu
(Penaeus monodon) serta fungsinya.
No.
Bahan
Kegunaan
1.
Udang Windu (Penaeus Bahan pengamatan.
monodon)
2
Larutan gymesa
Larutan pewarnaan.
3.
EDTA
Anti koagulan darah.

Prosedur Kerja
Prosedur kerja praktikum Sistem Imun Pada Udang Windu (Penaeus
monodon) adalah sebagai berikut :

Memasukkan sampel pada wadah baskom.

Menyediakan jarum spoit 1 mL.

Mengambil larutan EDTA sebanyak 0,1 mL.

Menyuntikkan udang dibagian kaki renang kelima untuk mendapatkan cairan


haemolifnya.

Meletakkan cairan haemolif pada objek glass.

Menambahkan larutan gymesa sebanyak 1 tetes.

Mengeringkan objek glass.

Mencuci objek glass dibawah air mengalir.

Mengeringkan lagi, kemudian mengamati di bawah mikroskop.

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil
Teknik Pewarnaan
Teknik Pewarnaan sel darah merah pada Ikan Nila maka bentuk sel darah
merah Ikan Nila terlihat pada Gambar 2 dan 3

1
2

Keterangan :

1. Membran sel
2. Sitoplasma

Gambar 2. Sel darah merah ikan nila (Oreochromis niloticus) setelah diberi
pewarnaan eousin

1
2
3

Keterangan :

1. Membran sel
2. Inti sel
3. Sitoplasma

Gambar 3. Bentuk sel darah merah (eritrosit) ikan nila (Oreochromis niloticus)
setelah diberi pewarnaan hematoxylin.

Teknik Pemisahan Sel Darah dan Plasma Darah


Dari hasil percobaan yang dilakukan mengenai pemisahan sel darah dan
plasma darah diperoleh hasil sebagai berikut :
Diketahui : panjang gumpalan darah
Panjang total gumpalan darah
ersentase

umpalan ara

= 1 cm
= 1,5 cm

anjan
umpalan ara
anjan otal umpalan ara

Tabel 3. Hasil pengamatan hematrosit ikan Nila


No.
Pengukuran
1 Panjang total darah
2 Panjang gumpalan darah
3 Persentase gumpalan darah

Hasil
1,5 cm
1cm
67

Teknik Menghitung Jumlah Total Eritrosit


Dari hasil pengamatan yang dilakukan, maka jumlah sel darah merah ikan
Nila (Oreochomis niloticus) yaitu 7 sel dimana jumlah total eritrosit tersebut dihitung
dengan menggunakan rumus yaitu :
Eritrosit

= N x 104sel/mL
= 7 x 104sel/mL
Pembahasan

Teknik Pewarnaan
Darah pada berbagai hewan vertebrata memerlukan sistem sirkulasi yang
terdiri atas kapiler-kapiler dan jantung sebagai pemompa aliran darah agar dapat
berfungsi sebagaimana mestinya, dapat diketahui bahwa pengambilan darah pada
hewan dapat melalui kapiler darah atau jantung (Adinegara, 2012). Dari teori
tersebut, maka pada pengambilan sampel darah pada ikan Nila (Oreochromis
niloticus) pada bagian insang atau di sekitar jantung.

Pada Gambar 2 dapat dilihat bahwa keadaan sel darah merah ikan Nila
(Oreochromis niloticus) setelah di celupkan ke dalam eosin adalah eritrosit masih
berwarna merah berbentuk lonjong. Ikan sebagaimana vertebrata lain, memiliki sel
darah merah (eritrosit) berinti dengan bentuk dan ukuran bervariasi antara satu
dengan yang lainnya (Fujaya, 2008). Gambar tersebut diatas menunjukan bentuk sel
darah yang diambil dari darah ikan Nila (Oreochromis niloticus) dan diamati dibawah
mikroskop. Pada percobaan ini kita menggunakan eosin dan hematoxylin sebagai
zat pewarna, karena eosin dapat mewarnai plasma darah sehingga kita dapat
melihat bentuk dari plasma tersebut. Eosin dapat mewarnai plasma darah karena
adanya perbedaan sifat keasaman antara plasma dengan eosin dimana plasma
darah bersifat basa sementara plasma darah bersifat asam.
Pada Gambar 3, setelah dicelupkan pada hematoxylin jelas tampak pada
pengamatan inti sel berwarna biru kehijauan sedangkan membran sel masih
berwarna merah dan berbentuk lonjong. Pada gambar di atas diperlihatkan bahwa
setelah dicelupkan pada hematoxylin jelas tampak pada pengamatan inti sel
berwarna biru sedangkan membran sel masih berwarna merah dan berbentuk
lonjong. Dimana hematoxylin digunakan untuk melihat inti plasma karena
hematoxylin dapat mewarnai inti plasma darah. Hematoxylin dapat mewarnai inti
plasma karena hematoxylin bersifat basa sementara inti sel bersifat asam.
Teknik Pemisahan Sel Darah dan Plasma Darah
Fungsi utama dari sel-sel darah merah, yang juga dikenal sebagai eritrosit
adalah mengangkut hemoglobin, dan seterusnya mengangkut oksigen dari paruparu ke jaringan. Selain mengangkut hemoglobin, sel-sel darah merah juga
mempunyai

fungsi

lain.

Contohnya,

ia

mengandung

banyak

sekali

karbonikanhidrase, yang mengkatalisis reaksi antara karbon dioksida dan air,


sehingga meningkatkan kecepatan reaksi bolak-balik ini beberapa ribu kali lipat.

Cepatnya reaksi ini membuat air dalam darah bereaksi dengan banyak sekali karbon
dioksida, dan dengan demikian mengangkutnya dari jaringan menuju paru-paru
dalam bentuk ion bikarbonat (HCO3-). Hemoglobin yang terdapat sel dalam sel juga
merupakan dapur asam-basa (seperti juga pada kebanyakan protein), sehingga sel
darah merah bertanggung jawab untuk sebagian besar daya pendapatan seluruh
darah. Setelah sel darah pada ikan nila dipisahkan dengan plasma darah
(sentrifugasi) yang diletakkan pada mikrohematokrit dan dilakukan pengukuran,
maka diperoleh data bahwa panjang total darah yaitu 1 cm, panjang gumpalan darah
yaitu 1,5 cm serta persentase gumpalan darah yaitu mencapai 67 (Fujaya, 2008).
Apabila ikan terkena penyakit atau nafsu makannya menurun, maka nilai
hematokrit darahnya menjadi tidak normal, jika nilai hematokrit rendah maka jumlah
eritrosit pun rendah (Alamanda dkk., 2006). Berdasarkan dari hasil pengamatan di
ketahui bahwa ikan nila di dapatkan hasil persentase gumpalan darah sebanyak 67
ini berarti ikan Nila dalam keadaan sehat karena persentase gumpalan darahnya
lebih besar dari standar volume gumpalan darah yang di tentukan.

Teknik Menghitung Jumlah Total Eritrosit


Hemoglobin

dalam

darah

merupakan

alat

transportasi

oksigen,

karbondioksida dan makanan (Anderson dan Siwicki, 1993). Kemampuan


mengangkut ini bergantung pada jumlah hemoglobin, jika kadar hemoglobin
meningkat maka asupan makanan dan oksigen dalam darah dapat diedarkan ke
seluruh jaringan tubuh ikan yang pada akhirnya akan menunjang kehidupan dan
pertumbuhan ikan. Menurunnya kadar hemoglobin darah dapat dijadikan petunjuk
mengenai rendahnya kandungan protein pakan, defisiensi vitamin atau ikan
mendapat infeksi (Anderson & Siwicki, 1993 dalam Siregar, 2009). Besar kecilnya
(HB) yang terkandung eritrosit menunjukan kapasitas pengangkutan oksigen oleh
darah (Hastuti, 2010).

Total eritrosit yang diperoleh dari darah ikan nila adalah 70.000 sel/mm3.
Jumlah eritrosit normal adalah 20.000-3.000.000 sel/mm3. Hal ini menunjukkan
bahwa darah Ikan Nila yang digunakan sebagai bahan praktikum masih dalam taraf
normal. Jumlah eritrosit dipengaruhi oleh jenis kelamin, umur, kondisi tubuh, variasi
harian, dan keadaan stress pada ikan yang menyerang (Adinegara, 2012).

V. KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan
Berdasarkan hasil percobaan yang telah dilakukan di laboratorium fisiologi
hewan air, maka dapat disimpulkan bahwa:
1. Sel darah merah (eritrosit) pada ikan Nila berbentuk oval dan berinti dengan
membran sel dan membran inti yang nampak terlihat dan bergerigi. Plasma
berwarna merah dan inti sel berwarna biru tua.
2. Persentase gumpalan darah yaitu 67, sehingga dapat disimpulkan ikan
dalam keadaan sehat.
3. Jumlah total eritrosit yang didapatkan adalah 70.000 sel/mL, sehingga dapat
dikatakan bahwa ikan tersebut dalam keadaan normal.

Saran
Laboratorium
Kalau bisa, laboratorium dapat dilengkapi dengan alat kebersihan agar tidak
kesulitan lagi saat membersihkan laboratorium serta peralatan praktikum yang
diperbarui.
Praktikum
Sebaiknya praktikum benar-benar di lakukan sesuai prosedur dan melengkapi alat
dan bahan tepat waktu sesuai jadwal praktikum.
Asisten
Andi Masriah, S.pi :
Pertahankan ketegasan dan kedisiplinannya kakak.
Yusrifaat Amran :
Kakak iyus tolong banyak bicara dan lebih aktif lagi terhadap praktikan.

Mulkan Arsyuddin:
Kakak Mulkan pertahankan kebaikan dan keramahannya.

DAFTAR PUSTAKA

Adinegara, A. 2012. Hematologi. Universitas Jenderal Soedirman. Purwokerto.


Amirudin, A. 2012. Modul Reproduksi Ikan Nila (Oreochromis niloticus). Universitas
Negeri Yogyakarta.Yogyakarta.
Alamanda, I. E., .N S. Handajani dan A. Budiharjo. 2006. Penggunaan Metode
Hematologi dan Pengamatan Endoparasit Darah untuk Penetapan
Kesehatan Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus) di Kolam Budidaya Desa
Mangkubumen Boyolali. Jurnal Biodiversitas Vol. 8, No. 1, 34-38
Burhanuddin, A. I. 2008. Peningkatan Pengetahuan Konsepsi Sistematika Dan
Pemahaman System Organ Ikan Yang Berbasis SCL Pada Mata kuliah
Ikhtiologi. Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan. Universitas Hasanuddin.
Makassar.
Fujaya, Y. 2008. Fisiologi Ikan. PT. Rineka Cipta. Jakarta.
Hastuti, S, dan Subandiyono. 2010. Performa Hematologis Ikan Lele Dumbo (Clarias
gariepinus) Dan Kualitas Air Media Pada Sistim Budidaya Dengan
Penerapan Kolam Biofiltrasi. Jurnal Saintek Perikanan Vol. 6, No. 2, 2011, 1
5
Herlina. 2008. Hematologi Ikan. Jurnal Info Karikan Vol. 5 No.1, 27-30
Noercholis, A., M. A. Muslim dan Maftuch. 2013. Ekstraksi Fitur Roundness untuk
Menghitung Jumlah Leukosit dalam Citra Sel Darah Ikan. Jurnal EECCIS Vol.
7, No. 1, Juni 2013.
Siregar, .Y. I dan Adelina. 2009. Pengaruh Vitamin C terhadap Peningkatan
Hemoglobin (Hb) Darah dan Kelulushidupan Benih Ikan Kerapu Bebek
(Cromileptes altivelis). Jurnal Natur Indonesia 12(1), Oktober 2009: 75-81
Zipcodezoo.com. Diakses pada tanggal 12 Maret 2014 pukul 19.30 WITA di
Makassar.

Anda mungkin juga menyukai