Anda di halaman 1dari 7

Antara takdir dan kata sial, siapa yang tahu.

****
Selamat bergabung di firma kami.
Kalimat itu terus terngiang-ngiang di kepala Rena bahkan sampai jam makan siang tiba.
Ini hari pertamanya menginjakkan kaki di sebuah firma konstruksi ternama di Indonesia. Tapi

suatu kebetulan juga, ia merasakan firasat yang buruk ketika menginjakkan kakinya di gedung
perkantoran berjudul The Evander Building ini.
Bangunan ini hanya terdiri dari sepuluh lantai. Lantai satu sampai tiga digunakan oleh
salah satu anak cabang dari Evander Group yang bergerak dibidang humaniora dan sosial.
Lantai empat dan lima tempat para pecandu komputer, tentu saja salah satu anak perusahaan
yang mengembangkan berbagai macam software dan aplikasi komputer.

Kemudian lantai enam sampai delapan dikhususkan sebagai ruangan staff perencana
dari firma konstruksi. Disinilah Rena berada. Di lantai delapan, dengan meja gambar besar di
tengah ruangan. Diisi oleh bilik-bilik kecil di sisi sisinya.

Tapi ia tidak termasuk dalam salah satu bilik itu. Rena memiliki ruangan sendiri yang
terpisah. Karena ia datang bukan karena ia melamar pekerjaan. Ia datang jauh jauh dari
Inggris sebagai perancang senior.

Miss Leander. Panggil sebuah suara yang pemiliknya langsung saja memunculkan

kepalanya dibalik pintu.

Anda di panggil Pak Evander menghadap. Segera ke lantai atas. Dia adalah Pak Ferry,
kepala HRD yang pagi tadi mengantar Rena berkeliling gedung ini dan menjelaskan berbagai
macam aturan main tender.

Rena mengernyit bingung, ini masih hari pertamanya, serius masih hari pertamanya. Dan
kenapa ia harus bertemu salah satu makhluk berkepala Evander?
Seharusnya tadi pagi beliau menemui anda dahulu sebelum anda mulai bekerja, tapi
karena ada sedikit masalah, jadi beliau baru bisa hadir di kantor saat ini. Ucap Pak Ferry

dengan nada maklum. Seolah-olah dunia sudah mengetahui bahwa pimpinannya suka datang
dan pergi sesuka hati. Persis jelangkung. Oh, ya. Rena memang tahu bahwa keluarga Evander
semuanya adalah jelangkung hina.

Belum sempat Rena mengeluhkan hal-hal lainnya. Ia dan Pak Ferry telah tiba di depan
sebuah pintu kayu besar. Yang kalau Rena ingin mendeskripsikannya dengan berlebihan, maka
Rena akan mengatakan bahwa tiap incinya diplitur dengan sepenuh hati.
Masuk. Ujar sebuah suara ketika Pak Ferry mengetuk pintu.
Pak Ferry memandang Rena sebentar kemudian mendorong pintu itu terbuka sambil
tersenyum ramah. Ia langsung berjalan, tidak memperdulikan kerutan bingung di dahi Rena
melihat senyumnya.
Begitu memasuki ruangan yang dikatakan sebagai ruang bos itu mau tak mau Rena tidak
bisa menahan decakannya melihat interior yang begitu menggoda. Khas laki-laki. Dan terasa
begitu kuat. Namun juga membuat seluruh bulu roma Rena berdiri ngeri.
Ya, selera bosnya memang berbeda dari yang lain. Salah satu sisi dinding ini di cat
dengan warna merah darah. Sebuah lukisan di letakkan di tengah tengah dinding itu. Jika
kalian berpikir itu adalah lukisan gunung dan sawah, maka kalian salah luar biasa. Itu adalah

lukisan yang menggambarkan sosok wanita bergaun putih dengan bercak darah di sekitar
perut sampai ke juntaian gaun itu. Menunduk menyeramkan tanpa memperlihatkan
wajahnya.

Miss Leander panggil Pak Ferry karena melihat Rena yang hanya terpaku di depan
pintu. Panggilan itu membuat Rena mengalihkan tatapannya dan menatap Pak Ferry yang
sedang melotot ke arahnya.

Ah..sorry. gumam Rena kemudian ia menghampiri meja besar yang ada di ruangan itu.
Dengan sebuah kursi yang diduduki oleh seorang pria. Siapa lagi kalau bukan kepala Evander.
Rena penasaran, bagian dari keluarga Evander mana lagi yang akan menghancurkan hidupnya
kali ini.
Lelaki itu sama sekali tidak tertarik untuk meninggalkan tumpukan kertas di atas

mejanya barang sebentar saja untuk melirik kehadiran Rena dan Pak Ferry.

Pak. Pak Ferry memanggil dengan hati-hati.


Sebentar pria itu mengangkat tangannya, menyuruh kedua orang itu untuk

menunggu sedangkan keningnya semakin berkerut membaca lembaran yang ada di atas
mejanya.
Berbeda dengan lelaki yang kini tampak serius dengan pekerjaannya, atau Pak Ferry yang

berdiri dengan tenang, jantung Rena sudah kebat-kebit akan suatu ancaman yang amat sangat
ia takuti ketika menerima tawaran dari firma kosntruksi yang dibawahi oleh keluarga Evander.
Tanpa sadar, tangannya mulai berkeringat dingin. Suhu ruangan terasa mencekiknya
dalam suatu hawa yang begitu menyesakkan. Rasa gugup dan sedikit ketakutan menyelinap
perlahan ke hatinya. Membuat matanya tak lepas dari tindak-tanduk pria yang duduk di balik
meja di hadapannya ini.

Bagaimana ia membalik kertas, bagaimana tangannya yang menggenggam bulpoint


mencoret disana sini, bagaimana ia meletakkan bulpoint itu, bagaimana ia menyingkirkan
berkas-berkas yang baru saja ia baca, dan bagaimana ia mendongakkan kepalanya, menatap
lurus tepat pada Rena yang berdiri kaku. Tidak siap dengan tatapan itu.

That honey-like eyes. Bisik Rena dalam hati saat mata itu seolah-olah menembus dirinya.

Membawanya terbang kembali ke masa tujuh tahun lalu. Perlahan, Rena menyembunyikan

kedua telapak tangannya yang bergetar di balik punggungnya. Berdiri setegak mungkin yang
bisa ia lakukan, meskipun rasanya kakinya sudah berubah menjadi lelehan lilin.

Ah, Miss Leander. Pria itu menumpukan kedua sikunya di meja, kemudian memangku
dagu di atas jemarinya yang sedang bertaut. Mengamati Rena.
Selamat siang. Sapa Rena dengan lirih. Saking lirihnya sampai-sampai ia berpikir
bahwa ia hanya berbisik tadi. Tentu saja, Rena memaksakan senyum terukir di bibirnya.
Pria itu menaikkan sebelah alisnya dan menarik senyum tipis. Our sexies architect. Ia

memandang penampilan Rena dari atas sampai bawah. Membuat si empunya merinding tidak
nyaman dan berusaha maksimal untuk tidak menggarukkan kukunya di mulut kurang ajar
pria ini.

Maaf aku nggak sempat menyambut kedatanganmu pagi ini. Pria itu merilekskan
badannya dengan bersandar ke punggung kursi. Lagi-lagi dengan matanya yang menatap

tajam pada Rena ia berkata, You look beautiful with that pastel. Ia menunjuk blus berwarna
creamy yang dikenakan Rena sambil mengerling.

Pak Ferry, terima kasih sudah mengantar Miss Leander. Anda bisa kembali.
Bukan tersipu-sipu mendengar godaan dari bosnya ini, wajah Rena semakin memucat
tidak suka.
Pak Ferry mengangguk dan berjalan meninggalkan Rena yang masih terguncang itu
sambil menepuk pundaknya ringan untuk memberi semangat. Sedangkan seseorang yang
masih duduk santai di hadapan Rena, menarik senyum kecil.
Selamat datang di Indonesia.
Seolah-olah belum cukup membuat Rena jengah, pria itu terus menerus mengucapkan
selamat datang. Yang jelas-jelas tidak disukai oleh Rena.
Silahkan duduk, aku benar-benar ingin mengobrol banyak dengan arsitek luar biasa
sepertimu. Ia berdiri dan melangkahkan kakinya menuju deretan sofa putih yang ada di sisi
ruangan lainnya.
Rena hanya diam dan mengikuti. Mulut dan rahangnya mengatup rapat, seakan-akan
jika ia mengeluarkan suara sedikit saja, pertahanannya akan hancur. Tapi pertahanan dari
apa? Saat ini ia bukanlah Rena yang lemah yang akan diam saja apabila di intimidasi. Rena

yang sekarang adalah Rena yang mampu mengangkat wajahnya tinggi-tinggi, karena ditilik
dari segi pendidikan dan nama keluarga, ia memiliki lebih dari cukup.
Dan ia duduk disini dengan perasaan gelisah bahwa ia akan kalah lagi. Dalam lubuk
hatinya, ia sadar bahwa ia masih memiliki rasa takut yang asing pada keturunan Evander.
Kapan kamu sampai di Indonesia? Tanya pria itu sebagai pembuka obrolan mereka

setelah keduanya sama-sama duduk berhadapan.


Kemarin sore.

Jawaban Rena terlalu singkat, padat, dan begitu jelas. Pernyataan yang jelas bahwa ia tak
berniat untuk mengobrol.
Bagaimana menurutmu gedung ini?
Lumayan.
Ruanganmu?
Bagus.
Sudah bertemu sama Riza? Dia sekretarismu disini. Aku yakin seorang arsitek hebat

sepertimu harus memiliki asisten.

Rena hanya tersenyum dan mengangguk. Merasa risih dengan pertanyaan-pertanyaan


yang di ajukan oleh bosnya ini. Tapi setidaknya ia mencoba menjawab. Meskipun singkat. Dan
meskipun ia tahu pria di hadapannya tidak suka dengan jawaban yang diberikan olehnya.

Pria itu menarik senyum miring dan berkata, Sebegitu nggak inginnya kamu menjawab
pertanyaanku?
Ada hening yang lama setelah pertanyaan itu meluncur dari mulut bosnya. Rena juga
hanya terpaku menatap mata coklat yang pastinya belum melepaskan tatapan itu darinya.
Bukan seperti itu. Jawab Rena. Dan bahkan jika seorang bayi yang mendengarnya, ia

akan tahu kalau Rena sedang mengelak.

Rasa gugup segera menyelinap masuk, ia kembali menautkan jemarinya gelisah. Tidak

berani lagi menatap langsung pada mata itu. Ia mendadak merasakan dorongan yang begitu
kuat untuk berlari pergi.
Ada apa Rena?
Pertanyaan itu di ucapkan dengan nada rendah dan penuh makna dalam setiap
pelafalannya, seolah-olah sedang berusaha mempermaikan jantung Rena yang kini berdegub
dua kali lebih cepat.

Maaf atas ketidaksopanan saya, Ada beberapa hal yang membutuhkan kehadiran saya
dibawah. Jika berkenan saya mohon-
Sama seperti Rena yang sudah kalah dengan rasa takutnya. Mata pria di hadapan gadis
itu menggelap mengerikan. Ia berdiri dalam satu kedipan mata dan turut serta membawa Rena
berdiri, mencengkram pundak mungilnya dengan kencang.
Kamu pikir, aku tak tau siapa kamu?! tukas pria itu kejam. Bibirnya bergetar akan
amarah yang tiba-tiba saja melingkupi seluruh matanya. Kamu pikir aku lupa? Ia

mendengus, semakin mencengkram pundak Rena. Seringainya membuat seluruh getaran


dalam diri Rena membuncah. Tahu bahwa ini saatnya ia berlari pergi.
Pria itu menundukkan wajahnya ke lekukan leher Rena, Aku menemukanmu. Bisiknya.

Ku pastikan kamu tak bisa kabur kemanapun, meski ada nama Leander yang menjagamu.

Perkataan sadis pria ini sukses membuat Rena mengkakukan badannya. Dan ketika
tangan itu melepaskannya. Tanpa berpaling lagi Rena berlari menyelamatkan seluruh
hidupnya yang pernah hancur.

Oh ya, namaku Zaky Evander kalau kalau kamu lupa.


Tidak! Rena tak ingin mendengarnya. Ia hanya berlari kesetanan dan membanting pintu.

Tidak berani menengok barang sedetik. Karena ia tahu, monster itu tengah tersenyum dibalik
punggungnya.
****

Namanya Zaky Evander. Pria yang masih duduk di balik mejanya itu tampak penuh

amarah. Rahangnya mengatup kencang, tangannya mencengkram pinggiran meja. Pikirannya


melayang kemana-mana.
Aku akan memberikan proyek ini padamu asalkan perancangnya Miss. Leander.

Ia sudah mendapatkan Rena di firmanya. Ia hanya perlu mengirim wanita itu kepada si
tua bangka Roundhood, dan boom! Andjaya Construction terkalahkan. Evander Construction
akan menjadi raja.

Ah, memikirkan Rena membuat kepalanya sakit. Sangat-sangat sakit. Mengingat sejarah
buruk keluarga Leander dan Evander. Ia yakin ada suatu yang aneh ketika keturunan Leander
mau menerima tawarannya. Meskipun begitu, Zaky tak ingin ayahnya yang serba benci pada
Leander mengganggunya.
Ini adalah kesempatan untuk memperbaiki hubungan dua keluarga yang saling
membenci ini.
Itulah yang Zaky pikirkan. Namun ia tak bisa memungkiri kegilaan yang telah ia lakukan

tadi. Entah apa yang telah diperintahkan dirinya, ia langsung bertindak kasar begitu pada
Rena. Ia harus meminta maaf. Secepatnya.
Tapi mendadak seringainya muncul kembali. Senyuman mematikan yang membuat

semua orang mengambil langkah menjauh.

Oh ya, tentu saja aku harus meminta maaf.


****

Anda mungkin juga menyukai