Wrap Up Sk3 Reaksi Obat b1
Wrap Up Sk3 Reaksi Obat b1
Seorang perempuan berusia 25 tahun, dirujuk ke UGD RS dengan keluhan sesak napas sejjak 1
hari yang lalu. Keluhan ini disertai gatal-gatal, kulit merah dan melepuh di tubuhnya setelah
minum obat dari Puskesmas. Pemeriksaan fisik didapatkan : keadaan umum: tampak sakit
sedang, kesadaran: compos mentis. Pemeriksaan fisik: tanda-tanda vital: tekanan darah: 100/70
mmHg; denyut nadi: 100x/menit; frekuensi nafas: 30x/menit; suhu: 36,5 C
THT : sesak napas Jackson derajat II-III
Regio Thorax :
Inspeksi
Palpasi
: SF kanan = kiri
Perkusi
: sonor
Auskultasi
Status dermatologis :
Lokasi I
: mata
Ujud kelainan kulit : vesikel, bula berbagai ukuran, lesi target (+), erosi
Lokasi III
: bibir
KATA-KATA SULIT
1.
2.
3.
4.
PERTANYAAN
1. Apa obat yang memberikan efek samping seperti skenario?
2. Mengapa pasien mengalami sesak napas dan gatal-gatal?
3. Kenapa mata merah dan mengeluarkan sekret?
4. Apa diagnosi pasien?
5. Kenapa terjadi bullae?
6. Apa yang menyebabkan krusta hemoragi?
7. Mengapa obat dapat menyebabkan penyakit seperti di skenario?
8. Apa komplikasi yang ditimbulkan?
9. Mengapa tubuhnya bisa melepuh?
10. Apa saja faktor yang menyebabkan keadaan ini?
11. Mengapa timbul cekungan di suprasternal?
12. Sebutkan derajat sesak napas Jackson?
13. Apa yang menyebakan terjadinya lesi target?
14. Mengapa krusta hemoragi timbul di bibir?
15. Apa tindakan yang harus dilakukan pada pasien ini?
JAWABAN
1. Penisilin, streptomisin, tetrasiklin, sulfonamide, analgetik, jamu
2. Terjadi reaksi hipersensitivitas tipe 3 dan 4
Reaksi hipersensitivitas proses imunitas melepaskan mediator inflamasi: (Kalor,
rubor, tumor, dolor bullae dan fungsiolesa kulit, mukosa bibir :krusta hemoragi,
mata, laring : sesak napas) gatal, vasospasme.
3. No.2
4. Berdasarkan status dermatologis Steven Johnson Syndrome
Sesak napas obstruksi laring
5. No.2
6. No.2
7. Karena kemampuan tubuh mengenal antigen berbeda-beda
8. Mata : jaringan parut di kornea
9. No.2
10. Virus,bakteri, makanan, sinar UV
11. Kompensasi dari sesak napas
12. I : sesak, stridor, tanpa sianosis
II: I lebih berat, retraksi supra dan infraklavikula, sianosis ringan
HIPOTESIS
Manusia memiliki antigen berbeda-beda
Limfosit T
Mengaktifkan sel T
Menghancurkan sel
reaksi inflamasi :
Laring : sesak napas Obstruksi laring
mata : merah, secret
bibir : krusta hemoragi
Kulit : bula, vesikel, lesi target
SASARAN BELAJAR
LO I Memahami dan Menjelaskan Sindroma Steven Johnson
1.1 Definisi
1.2 Etiologi
1.3 Patofisologi
1.4 Manifestasi Klinis
1.5 Diagnosis dan diagnosis banding
1.6 Tatalaksana
1.7 Komplikasi
1.8 Prognosis
LO II Memahami dan Menjelaskan Obstruksi Laring
2.1 Definisi
2.2 Etiologi
2.3 Klasifikasi
2.4 Patofisologi
2.5 Manifestasi Klinis
2.6 Diagnosis dan diagnosis banding
2.7 Tatalaksana
2.8 Prognosis
No
1.
2.
Etiologi
Idiopatik
Keterangan
Banyak kasus Sindrom Stevens-Johnson
yang tidak diketahui secara pasti etiologinya,
diduga sebesar 50% etiologi Sindrom
Stevens-Johnson adalah idiopatik.
Erupsi alergi obat Kebanyakan pasien memiliki riwayat
secara sistemik
menggunakan
obat-obatan
sebelum
timbulnya gejala-gejala Sindrom StevensJohnson. Erupsi alergi obat secara sistemik
adalah reaksi pada kulit atau daerah
mukokutan yang terjadi sebagai akibat
pemberian obat.
a. Antibiotik
Golongan penisilin dan semisintetiknya,
tetrasiklin,
sulfonamid,
sefalosporin,
eritromisin, vankomisin.
b.
Antikonvuls Barbiturat,
fenitoin,
hidantoin,
an
karbamazepin, fenobarbital
c. Antiinflamasi
Oksikam, parasetamol, derivat salisilat,
pirazolon
d. Antirematik
Alopurinol
e. Antituberkulosis
f. Antiretroviral
g. Antihiperglikemi
h. Kortikosteroid
i. Antihelmintik
j. Amebisid
k. Antiepilepsi
l. Antimalaria
3.
Bahan-bahan kimia
4.
Infeksi
a.Infeksi virus
b.
Infeksi
Referensi
Cawson,
1994;
Laskaris,
2000;
Parillo, et al., 2005.
Mansjoer,
2000.
dkk.,
Roujeau,
1995;
Noel, et al., 2000;
Rose, 2005.
Roujeau,
1995;
Lagayan, 2005.
Villar, et al., 2001;
Rose, 2005.
Ghislain
and
Roujeau, 2005
Rifampisin
Fritsch and Sidoroff,
2000.
Nevirapin
Fagot, et al., 2001.
Sulfonilurea
Roujeau, et al.,
1995.
Glukokortikoid
Roujeau, et al.,
1995.
Mebendazol
Tong Chen, et al.,
2003.
Metronidazol
Tong Chen, et al.,
2003.
Lamotrigin
Shuen Lam, et al.,
2004
Kinin, meflokuin, klorokuin
Mansjoer,
dkk.,
2000
perak nitrit, trikloretilen, nikel, air raksa, Smelik,
2005;
arsenik, 9-bromofluoren, trinitrotuen dan Lagayan, 2005.
formaldehid
Herpes
Simpleks,
HIV,
Coxsakie,
orthomyxovirus, paramyxovirus, hepatitis B,
Lymphogranuloma
venereum
(LGV),
Rickettsia sp, variola, Epstein-bar dan
enterovirus
Mycoplasma pneumonia, Streptokokus beta
bakteri
c.Infeksi jamur
5.
d.
Infeksi
protozoa
Neoplasma
6.
Reaksi
pascavaksinasi
7.
Penyakit kolagen
8.
Faktor lain
1.3 PATOFIOLOGI
Smelik,
2002;
Lagayan,
2005;
Parillo, et al., 2005).
Chopra, et al., 2004;
Smelik, 2005; Rose,
2005; Parillo, 2005.
Lagayan,
2005;
Parillo, et al., 2005.
Ghislain
and
Roujeau, 2005.
sinar X, sinar matahari, cuaca, keadaan Mansjoer,
dkk.,
kehamilan, kontaktan, terapi radiasi dan 2000.
alergi makanan
Patogenesis SSJ sampai saat ini belum jelas walaupun sering dihubungkan dengan
reaksi hipersensitivitas tipe III (reaksi kompleks imun) yang disebabkan oleh kompleks
soluble dari antigen atau metabolitnya dengan antibodi IgM dan IgG dan reaksi
hipersensitivitas lambat (delayed-type hypersensitivity reactions, tipe IV) adalah reaksi
yang dimediasi oleh limfosit T yang spesifik.
Patogenesisnya belum jelas, disangka disebabkan oleh reaksi hipersensitif tipe III dan
IV. Reaksi tipe III dan IV. Reaksi tipe III terjadi akibat terbentuknya komplek antigen
antibody yang mikro presitipasi sehingga terjadi aktifitas sistem komplemen.
Akibatnya terjadi akumulasi neutrofil yang kemudian melepaskan leozim dan
menyebab kerusakan jaringan pada organ sasaran ( target- organ ). Reaksi
hipersensitifitas tipe IV terjadi akibat limfosit T yang tersintesisasi berkontak kembali
dengan antigen yang sama kemudian limtokin dilepaskan sebagai reaksi radang.
Reaksi hipersensitif tipe III
- Hal ini terjadi sewaktu komplek antigen antibody yang bersikulasi dalam darah
mengendap didalam pembuluh darah atau jaringan sebelah bitir.
- Antibiotik tidak ditujukan kepada jaringan tersebut, tetapi terperangkap dalam
jaringan kapilernya.
- Pada beberapa kasus antigen asing dapat melekat ke jaringan menyebabkan
terbentuknya komplek antigen antibodi ditempat tersebut. Reaksi tipe ini
mengaktifkan komplemen dan degranulasi sel mast sehingga terjadi kerusakan
jaringan atau kapiler ditempat terjadinya reaksi tersebut.
- Neutrofil tertarik ke daerah tersebut dan mulai memtagositosis sel-sel yang rusak
sehingga terjadi pelepasan enzim-enzim sel, serta penimbunan sisa sel. Hal ini
menyebabkan siklus peradangan berlanjut.
Reaksi hipersensitif tipe IV
Pada reaksi ini diperantarai oleh sel T, terjadi pengaktifan sel T. Penghasil limfokin atau
sitotoksik atau suatu antigen sehingga terjadi penghancuran sel-sel yang bersangkutan.
Reaksi yang diperantarai oleh sel ini bersifat lambat ( delayed ) memerlukan waktu 14
jam sampai 27 jam untuk terbentuknya.
dimasukkan dalam daftar obat yang dapat menyebabkan SSJ.Sampai dengan setengah
dari total kasus, tidak ada etiologi spesifik yangtelah diidentifikasi.
SSJ sering dihubungkan dengan reaksi hipersensitivitas tipe II (sitolitik) dan reaksi
hipersensitifitas tipe III (kompleks imun) menurut Coomb dan Gel.Gejala klinis atau
gejala reaksi bergantung kepada sel sasaran (target cell). Sasaran utama SSJ dan NET
ialah pada kulit berupa destruksikeratinosit. Pada alergi obat akan terjadi aktivitas sel T,
termasuk CD4 dan CD8, IL-5 meningkat, juga sitokin-sitokin lain. CD4 terutama
terdapat didermis, CD8 di epidermis. Keratinosit epidermis mengekspresikan ICAM1,ICAM-2 dan MHC-II. Sel langerhans tidak ada atau sedikit.TNF alfa meningkat di
epidermis. Oleh karena proses hipersensitivitas, maka terjadikerusakan kulit sehingga
terjadi (Carroll, 2001) :
1) Kegagalan fungsi kulit yang menyebabkan kehilangan cairan
2) Stres hormonal diikuti peningkatan resisitensi terhadap insulin,hiperglikemia dan
glukosuriat3.
3) Kegagalan termoregulasi4.
4) Kegagalan fungsi imun
5) Infeksi
Hapten atau karier tersebut dapat berupa faktor penyebab (misalnya virus, partikel obat
atau metabolitnya) atau produk yang timbul akibataktivitas faktor penyebab tersebut
(struktur sel atau jaringan sel yang rusak dan terbebas akibat infeksi, inflamasi, atau
proses metabolik).Kompleks imun beredar dapat mengendap di daerah kulit dan
mukosa, serta menimbulkan kerusakan jaringan akibat aktivasi komplemen dan reaksi
inflamasi yang terjadi.Kerusakan jaringan dapat pula terjadi akibat aktivitas sel T
sertamediator yang dihasilkannya.Kerusakan jaringan yang terlihat sebagai kelainan
klinis lokal di kulit dan mukosa dapat pula disertai gejala sistemik akibat aktivitas
mediator serta produk inflamasi lainnya.
Berdasarkan hasil penelitianSteven J Parrillo, DO, FACOEP,FACEP Adjunct Professor,
School of Health and Science, PhiladelphiaUniversity, secara patologis, nekrosis sel
menyebabkan pemisahan antara epidermis dan dermis. Reseptor nekrosis sel, Fas, dan
ligannya, FasL, telah dihubungkan dengan proses seperti TNF-alfa. Peneliti telah
menemukan peningkatan kadar FasL pada pasien dengan SSJ/NET sebelum
pelepasankulit atau inset dari lesi mukosa. Beberapa peneliti lain menghubungkan
sitokin inflamatori pada patogenesis.Terdapat juga bukti kuat mengenai predisposisi
genetik pada reaksi kutaneus berat dari efek samping obat seperti SSJ. FDA dan Health
Canadamenyarankan screening terhadap antigen leukosit manusia, HLA-B*1502,pada
pasien etnis Asia Tenggara sebelum memulai terapi dengankarbamazepin. Antigen
lainnya, HLA-B*5801, memberikan reaksi yang berhubungan dengan
allopurinol.Screening sebelum terapi belum tersedia.(Ilyas, 2004).
1.4 MANIFESTASI KLINIS
SSJ dan TEN biasanya mulai dengan gejala prodromal berkisar antara1-14 hari berupa
demam, malaise, batuk, coryza, sakit menelan, nyeri dada,muntah, pegal otot dan atralgia
yang sangat bervariasi dalam derajat berat dankombinasi gejala tersebut. Kemudian pasien
mengalami ruam datar berwarna merah pada muka dan batang tubuh, sering kali kemudian
meluas ke seluruh tubuh dengan pola yang tidak rata. Daerah ruam membesar dan
meluas,sering membentuk lepuh pada tengahnya. Kulit lepuh sangat longgar, dan mudah
dilepas bila digosok.Secara khas, proses penyakit dimulai dengan infeksi nonspesifik saluran
napas atas.Keadaan umumnya bervariasi dari ringan sampai berat.Pada yang berat kesadaran
nya menurun, bisa sampai koma. Mulainya penyakit akut dapat disertai gejala prodromal
sekitar 1-14 hari berupa demam tinggi, nyeri kepala,batuk, pilek,dan nyeri tenggorok. Pada
SSJ ini terlihat trias kelainan berupa kelainan kulit, kelainan selaput lendir di orifisium dan
kelainan mata.
Lesi mukokutaneus berkembang cepat. Kelompok lesi yangberkembang akan bertahan dari
2-4 minggu. Lesi tersebut bersifat nonpruritik. Riwayat demam atau perburukan lokal harus
dipikirkan ke arahsuperinfeksi, demam dilaporkan terjadi sampai 85% dari seluruh
kasus.Gejala pada membran mukosa oral dapat cukup berat sehingga pasientidak dapat
makan dan minum. Pasien dengan gejala genitourinari dapatmemberi keluhan
disuria.Riwayat penyakit SSJ atau eritema multiformedapat ditemukan.Rekurensi dapat
terjadi apabila agen yang menyebabkan tidak tereliminasi atau pasien mengalami pajanan
kembali.
Sindrom ini jarang dijumpai pada usia 3 tahun ke bawah karena imunitas belum begitu
berkembang, bisa ringan sampai berat. Pada yang berat kesadarannya menurun, pasien dapat
soporous sampai koma. Pada SSJ ini terlihat trias kelainan berupa : kelainan kulit, kelainan
selaput
lendir
di
orivisium,
dan
kelainan
mata.
Gejala klinik dimulai dengan :
1) Sindroma prodromal yang non spesifik dan reaksi konstitusional berupa meningkatnya
suhu tubuh, sakit kepala, batuk, sakit tenggorokan, nyeri dada, mialgi, diare, muntah dan
artalgia. sehingga penderita berobat. Dalam keadaan ini, sering penderita mendapat
pengobatan antibiotik, dan anti inflamasi, sehingga menyebabkan kesukaran dalam
mengidentifikasi obat penyebab SJS . Gejala prodormal ini dapat berlangsung selama dua
minggu dan bervariasi dari ringan sampai berat. Pada keadaan ringan kesadaran pasien baik,
sedangkan dalam keadaan yang berat gejala-gejala menjadi lebih hebat, sehingga kesadaran
pasien menurun bahkan sampai koma.
2) Kelainan Kulit
Gejala kulit tampak berupa macula eritematus yang menyerupai morbiliform rash.
Terdiri atas eritema, vesikel dan bula.Vesikel dan bula meluas sehingga terjadi erosi yang
luas.Dapat terjadi juga purpura.Pada bentuk yang berat kelainannya generalisata.Lesi kulit
pada Sindrom Stevens-Johnson dapat timbul sebagai gejala awal atau dapat juga terjadi
sesudah gejala klinis di bagian tubuh lainnya. Lesi pada kulit umumnya bersifat asimetri dan
ukuran lesi bervariasi dari kecil sampai besar. Mula - mula pasien mengalami ruam
datarberwarna merah (eritrema) atau erupsi yang bersifat multiformis (menyerupai morbili)
pada muka dan batang tubuh, kemudian meluas ke seluruh tubuh dengan pola yang tidak rata
secara cepat dan biasanya mencapai maksimal dalam waktu empat hari, bahkan seringkali
hanya dalam hitungan jam. Daerah ruam membesar dan meluas, sering membentuk lepuh
pada tengahnya (vesikel dan bula).Kulit lepuh sangat longgar, dan mudah dilepas bila
digosok.vesikel dan bula yang kemudian pecah menjadi erosi, ekskoriasi, menjadi ulkus
yang ditutupi pseudomembran atau eksudat bening. Pseudomembran akan terlepas
meninggalkan ulkus nekrosis, dan apabila terdapat perdarahan akan menjadi krusta yang
umumnya berwarna coklat gelap sampai kehitaman, Variasi lain dari lesi kulit berupa
purpura, urtikaria dan edema. Selain itu, adanya erupsi kulit dapat juga menimbulkan rasa
gatal dan rasa terbakar, Pada kasus yang sedang, lesi timbul pada permukaan ekstensor
badan, dorsal tangan dan kaki sedangkan pada kasus yang berat lesi menyebar luas pada
wajah, dada dan seluruh tubuh. Secara khas, proses penyakit dimulai dengan infeksi
nonspesifik saluran napas atas.
Gambar . Kelainan kulit terdiri atas eritema, vesicle, dan bula, serta erosi
balanitis dan vulvovaginitis. Balanitis adalah inflamasi pada glans penis. Uretritis merupakan
peradangan pada uretra dengan gejala klasik berupa sekret uretra, peradangan meatus, rasa
terbakar, gatal, dan sering buang air kecil. Vulvovaginitis adalah peradangan pada vagina
yang biasanya melibatkan vulva dengan gejala-gejala berupa bertambahnya cairan vagina,
iritasi vulva, gatal, bau yang tidak sedap, rasa tidak nyaman, dangangguan buang air kecil.
Sindrom Stevens-Johnson dapat pula menyerang anal berupa peradangan anal atau inflamed
anal.
4) Kelainan Mata
Kelainan mata merupakan 80% diantara semua kasus yang tersering ialah konjungtivitis
kataralis. Yang paling sering adalah konjungtivitis kataralis. Selain itu juga dapat berupa
konjungtivitis purulen, perdarahan, simblefaron, ulkus kornea, iritis, iridosiklitis
Selain konjungtivitis, kelopak mata seringkali menunjukkan erupsi yang merata dengan
krusta hemoragik pada garis tepi mata. Penderita Sindrom Stevens-Johnson yang parah,
kelainan mata dapat berkembang menjadi konjungtivitis purulen, photophobia,
panophtalmintis, deformitas kelopak mata, uveitis anterior, iritis, simblefaron, iridosiklitis
serta sindrom mata kering
Komplikasi lainnya dapat juga mengenai kornea berupa sikatriks kornea, ulserasi kornea,dan
kekeruhan kornea. Bila kelainan mata ini tidak segera diatasi maka dapat menyebabkan
kebutaan.
konjungtivitis
Berdasarkan gejala gejala klinis sindrom steven jonson diatas, maka ada baiknya jika kita
dapat mengenal gejala- gejala awal Syndrome stevens jhonson, sehingga dapat segera
Diagnosis ditujukan terhadap manifestasi yang sesuai dengan trias kelainan kulit, mukosa,
mata, serta hubungannya dengan faktor penyebab yang secara klinis terdapat lesi berbentuk
target, iris atau mata sapi, kelainan pada mukosa, demam.
Selain itu didukung pemeriksaan laboratorium antara lain pemeriksaan darah tepi,
pemeriksaan imunologik, biakan kuman serta uji resistensi dari darah dan tempat lesi, serta
pemeriksaan histopatologik biopsi kulit.
Anemia dapat dijumpai pada kasus berat dengan perdarahan, leukosit biasanya normal atau
sedikit meninggi, terdapat peningkatan eosinofil.Kadar IgG dan IgM dapat meninggi, C3
dan C4 normal atau sedikit menurun dan dapat dideteksi adanya kompleks imun
beredar.Biopsi kulit direncanakan bila lesi klasik tak ada.Imunoflurosesensi direk bisa
membantu diagnosa kasus-kasus atipik.
Pemeriksaan penunjang SJS
1) Pemeriksaan laboratorium :
a) Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang dapat membantu dokter
dalamdiagnose selain pemeriksaan biopsy.
b) Pemeriksaan darah lengkap dapat menunjukkan kadar sel darah putih
yangnormal atau leukositosis non spesifik, penurunan tajam kadar sel darah
putihdapat mengindikasikan kemungkinan infeksi bacterial berat.
c) Imunofluoresensi banyak membantu membedakan sindrom Steven
Johnsondengan panyakit kulit dengan lepuh subepidermal lainnya.
d) Menentukan fungsi ginjal dan mengevaluasi adanya darah dalam urin.
e) Pemeriksaan elektrolit.
f) Kultur darah, urine, dan luka, diindikasikan ketika dicurigai terjadi infeksi.
g) Pemeriksaan bronchoscopy, esophagogastro duodenoscopy (EGD), dan
kolonoskopi dapat dilakukan. (Adithan, 2006).
2) Imaging studies :
Chest radiography untuk mengindikasikan adanya pneumonitis.
Pemeriksaan Radiologi:
Foto rontgen thorak dapat menunjukkan adanya pneumonitis ketika dicurigai secara
klinis.Akan tetapi foto rontgen rutin biasa tidak diindikasikan.
3) Pemeriksaan histopatologi dan imunohistokimia dapat mendukung ditegakkannya
diagnose. Biopsi kulit merupakan pemeriksaan definitif tetapi pemeriksaan ini
bukan merupakan prosedur ruang gawat darurat.
a. Spesimen biopsi kulit memperlihatkan bahwa bula terletak subepidermal.
b. Nekrosis sel epidermal dapat dilihat.
c. Area perivaskular diinfiltrasi oleh limfosit.
1.5.2 DIAGNOSIS BANDING
Ada 2 penyakit yang sangat mirip dengan sindroma Steven Johnson :
1) Toxic Epidermolysis Necroticans.
Sindroma steven johnson sangat dekat dengan TEN. SJS dengan bula lebih dari 30%
disebut TEN.
sel target
sistem kekebalan tubuh, yang meningkatkan risiko infeksi gawat, terutama pada ODHA
dengan sistem kekebalan yang sudah lemah.
Perawatan sindrom Stevens-Johnson didasarkan atas tingkat keparahan penyakit dan
perawatan secara umum meliputi :
1) Rawat Inap
Penderita sindrom Stevens-Johnson yang mengalami masa kritis akibat
ketidakseimbangan cairan atau elektrolit tubuh, kesadaran penderita menurun, serta
keadaan umum yang buruk, maka rawat inap di rumah sakit sangat diperlukan. Rawat
inap bertujuan agar dokter dapat memantau dan mengontrol setiap hari keadaan
penderita (Mansjoer, dkk., 2000; Hamzah, 2002; Perdoski, 2003).
2) Preparat Kortikosteroid
Penggunaan preparat kortikosteroid merupakan tindakan life saving.
Kortikosteroid yang biasa digunakan berupa deksametason secara intravena dengan
dosis permulaan 4-6 x 5 mg sehari. Masa kritis biasanya dapat segera diatasi dalam 2-3
hari, dan apabila keadaan umum membaik dan tidak timbul lesi baru, sedangkan lesi
lama mengalami involusi, maka dosis segera diturunkan 5 mg secara cepat setiap hari.
Setelah dosis mencapai 5 mg sehari kemudian diganti dengan tablet kortikosteroid,
misalnya prednison, yang diberikan dengan dosis 20 mg sehari, kemudian diturunkan
menjadi 10 mg pada hari berikutnya selanjutnya pemberian obat dihentikan. Lama
pengobatan preparat kortikosteroid kira-kira berlangsung selama 10 hari. Penurunan
dosis kortikosteroid sistemik harus dilakukan oleh setiap dokter karena kortikosteroid
mempunyai efek samping yang besar bagi penderita (Hamzah, 2002).
Penggunaan preparat kortikosteroid harus di bawah pengawasan seorang ahli,
mengingat kortikosteroid memiliki efek samping berupa supresi daya tahan tubuh dan
menekan aktivitas korteks adrenal. Kortikosteroid hanya mengurangi gejala,
memperpendek durasi penyakit, dan tidak menyembuhkan penyakit secara total (Scopp,
1973).
3) Infus
Hal yang perlu diperhatikan pada penderita adalah mengatur keseimbangan
cairan atau elektrolit tubuh, karena penderita sukar atau tidak dapat menelan makanan
atau minuman akibat adanya lesi oral dan tenggorokan serta kesadaran penderita yang
menurun.Infus yang diberikan berupa glukosa 5% dan larutan Darrow. (Mansjoer, dkk.,
2000; Hamzah, 2002).
Terapi cairan dan elektrolit, serta kalori dan protein secara parenteral.Pengaturan
keseimbangan cairan/elektrolit dan nutrisi penting karena pasien sukar atau tidak dapat
menelan akibat lesi dimulut dan tenggorokan serta kesadaran dapat menurun.Untuk itu
dapat diberikan infus misalnya glukosa 5 % dan larutan Darrow. Bila terapi tidak
memberi perbaikan dalam 2-3 hari, maka dapat diberikan transfusi darah sebanyak 300
cc selama 2 hari berturut-turut, terutama pada kasus yang disertai purpura yang luas.
Pada kasus dengan purpura yang luas dapat pula ditambahkan vitamin C 500 mg atau
1000 mg intravena sehari dan hemostatik.
4) Obat Anabolik
Obat anabolik diberikan untuk menetralkan efek katabolik akibat penggunaan
preparat kortikosteroid. Obat anabolik yang sering digunakan seperti nandrolon
5)
6)
7)
8)
9)
fenilpropionat dengan dosis 25-50 mg untuk dewasa dan dosis untuk anak tergantung
berat badan (Mansjoer, dkk., 2000).
KCl
Penderita yang menggunakan kortikosteroid umumnya mengalami penurunan
kalium atau hipokalemia, maka diberikan KCl dengan dosis 3 x 500 mg sehari peroral
(Mansjoer, dkk., 2000; Hamzah, 2002; Perdoski, 2003).
Adenocorticotropichormon (ACTH)
Penderita perlu diberikan ACTH untuk menghindari terjadinya supresi korteks
kelenjar adrenal akibat pemberian kortikosteroid.ACTH yang diberikan berupa ACTH
sintetik dengan dosis 1 mg (Siregar, 1996).
Agen Hemostatik
Agen hemostatik terutama diberikan pada penderita disertai purpura yang luas.Agen
hemostatik yang sering digunakan adalah vitamin K (Siregar, 1996).
Diet
Diet rendah garam dan tinggi protein merupakan pola diet yang dianjurkan kepada
penderita.Akibat penggunaan preparat kortikosteroid dalam jangka waktu lama,
penderita mangalami retensi natrium dan kehilangan protein, dengan diet rendah garam
dan tinggi protein diharapkan konsentrasi garam dan protein penderita dapat kembali
normal.Penderita selain menjalani diet rendah garam dan tinggi protein, dapat juga
diberikan makanan yang lunak atau cair, terutama pada penderita yang sukar menelan
(Hamzah, 2002).
Vitamin
Vitamin yang diberikan berupa vitamin B kompleks dan vitamin C. Vitamin B
kompleks diduga dapat memperpendek durasi penyakit. Vitamin C diberikan dengan
dosis 500 mg atau 1000 mg sehari ditujukan terutama pada penderita dengan kasus
purpura yang luas sehingga pemberian vitamin dapat membantu mengurangi
permeabilitas kapiler (Hamzah, 2003).
1.7 KOMPLIKASI
Sindrom Steven Johnson sering menimbulkan komplikasi, antara lain sebagai berikut:
a. Oftalmologi ulserasi kornea, uveitis anterior, panophthalmitis, kebutaan
b. Gastroenterologi -Esophageal strictures
c. Genitourinaria nekrosis tubular ginjal, gagal ginjal,penile scarring , stenosis vagina
d. Pulmonari pneumonia
e. Kutaneus timbulnya jaringan parut dan kerusakan kulit permanen, infeksi
kulitsekunder
f. Infeksi sitemik, sepsis
g. Kehilangan cairan tubuh, shock
1.8 PROGNOSIS
a. Bila tindakan penanganan yang cepat dan tepat, prognosis cukup baik
b. Bila terdapat purpura yang luas dan leukopenia prognosis nya buruk
c. Bronkopneumonia prognosis juga buruk
d. Pada kasus yang tidak berat, prognosisnya baik
e. Lesi individual biasanya sembuh dalam 1-2 minggu, kecali terdapat infeksi sekunder.
Sebagian besar pasien sembuh tanpa adanya sekuele.
6. Paralisis laring
Tiap lesi sepanjang perjalanan nervus rekuren laryngeal dapat menimbulkanparalisis
laring.Pada paralisis korda vokalis bilateral, suara tidak terlalu terpengaruh.Akan tetapi rima
glotis tidak cukup lebar untuk kegiatan yang mengerahkan tenaga.Pasienbahkan mengalami
sesak nafas saat istirahat.Sehingga pasien memerlukantrakeostomi guna mengurangi
obstruksi jalan nafas.Paralisis korda vokalis unilateralpada anak memiliki cirri
tambahan.Karena ukuran glotis yang kecil, maka paralisisunilateral pada anak dapat
membahayakan jalan nafas, sehingga secara klinismengakibatkan stridor. Sementara itu pada
paralisis lengkap, lesi saraf vagus di atas saraf laringeus superior bilateral, dimana efek lesi
serupa dengan paralisis saraf rekurens,namun lebih cendrung untuk mengalami aspirasi
2.3 KLASIFIKASI
Jackson membagi sumbatan laring yang progressif dalam 4 stadium dengan tanda dan gejala:
Stadium 1.
Cekungan tampak pada waktu inspirasi di suprasternal
Stridor pada waktu inspirasi
Pasien masih tampak tenang
Stadium 2
Cekungan pada waktu inspirasi didaerah suprasternal maikn dalam
Cekungan di daerah epigastrium
Stridor terdengar pada waktu inspirasi
Pasien mulai tampak gelisah.
Stadium 3
Cekungan selain di suprasternal, epigastrium juga terdapat di infraklvikula dan diselasela iga.
Stridor terdengar pada waktu inspirasi dan ekspirasi
Pasien sangat gelisah dan dispnea.
Stadium 4
Cekungan cekungan diatas bertambah jelas,pasien sangat gelisah, tampak sangat
ketakutan dan sianosis.
Pasien dapat kehabisan tenaga,pusat perafasan paralitik karena hiperkapnea.
Pasien lemah dan tertidur,akhirnya mninggal karena asfiksia.
2.4 PATOFISIOLOGI
2.4.1 Trauma
Trauma laring dapat menyebabkan edema dan hematoma di plika ariepiglotika dan plika
ventrikularis, oleh karena jaringan submukosa di daerah ini mudah membengkak. Selain itu
mukosa faring dan laring mudah robek, yang akan diikuti dengan terbentuknya emfisema
subkutis di daerah leher. Infeksi sekunder melalui robekan ini dapat menyebabkan selulitis,
abses, atau fistel.
Tulang rawan laring dan persendiannya dapat mengalami fraktur dan dislokasi.Kerusakan
pada perikondrium dapat menyebabkan hematoma, nekrosis tulang rawan, dan
perikondritis yang mengakibatkan penyempitan lumen laring dan trakea. Robekan mukosa
yang tidak dijahit dengan baik, yang diikuti oleh infeksi sekunder, dapat menimbulkan
terbentuknya jaringan granulasi, fibrosis, dan akhirnya stenosis
2.4.2 Laringitis Akut
PANCAROB
A
MALNUTRIS
I
IMUN
VIRUS, BAKTERI
MUKUS/SEKRET
INFLAMA
SI
OBSTRUKSI
BATUK
IRITASI
LARYNG
INFLAMASI
KALOR
DOLOR
TUMOR
RUBOR
NYERI
EDEMA
HIPEREMIS
PITA SUARA
TERTEKAN
SUARA
Laringitis akut merupakan inflamasi dari mukosa laring dan pita suara yang berlangsung
kurang dari 3 minggu. Parainfluenza virus, yang merupakan penyebab terbanyak dari
laringitis, masuk melalui inhalasi dan menginfeksi sel dari epitelium saluran nafas lokal
yang bersilia, ditandai dengan edema dari lamina propria,submukosa, dan adventitia,
diikuti dengan infitrasi selular dengan histosit, limfosit, sel plasma dan lekosit
polimorfonuklear (PMN). Terjadi pembengkakan dan kemerahan dari saluran nafas yang
terlibat, kebanyakan ditemukan pada dinding lateral dari trakea dibawah pita suara. Karena
trakea subglotis dikelilingi oleh kartilago krikoid, maka pembengkakan terjadi pada lumen
saluran nafas dalam, menjadikannya sempit, bahkan sampai hanya sebuah celah. Membran
pelindung plika vokalis biasanya merah dan membengkak.Puncak terendah pada pasien
dengan laringitis berasal dari penebalan yang tidak beraturan sepanjang seluruh plika
vokalis.Beberapa penulis percaya bahwa plika vokalis mengeras daripada menebal.
Pengobatan konservatif seperti yang disebutkan sebelumnya biasanya cukup mengatasi
inflamsi laring dan mengembalikan aktivitas vibrasi plika vokalis.1
Hampir semua penyebab inflamasi ini adalah virus.Invasi bakteri mungkin
sekunder.Laringitis biasanya disertai rinitis atau nasofaringitis.Awitan infeksi mungkin
berkaitan dengan pemajanan terhadap perubahan suhu mendadak, defisiensi diet,
malnutrisi, dan tidak ada immunitas.Laringitis umum terjadi pada musim dingin dan mudah
ditularkan. Ini terjadi seiring dengan menurunnya daya tahan tubuh dari host serta
prevalensi virus yang meningkat. Laringitis ini biasanya didahului oleh faringitis dan
infeksi saluran nafas bagian atas lainnya. Hal ini akan mengakibatkan iritasi mukosa
saluran nafas atas dan merangsang kelenjar mucus untuk memproduksi mucus secara
berlebihan sehingga menyumbat saluran nafas. Kondisi tersebut akan merangsang
terjadinya batuk hebat yang bisa menyebabkan iritasi pada laring. Dan memacu terjadinya
inflamasi pada laring tersebut. Inflamasi ini akan menyebabkan nyeri akibat pengeluaran
mediator kimia darah yang jika berlebihan akan merangsangpeningkatan suhu tubuh.
2. Trauma
Terdapatnya salah satu manifestasi klinik di atas merupakan dasar perkiraan adanya trauma yang
berat dan merupakan indikasi untuk melakukan pemeriksaan laringoskopi tak langsung,
laringoskopi langsung dan bronkoskopi untuk menentukan adanya edema, hematoma, mukosa
dan tulang rawan yang bergeser dan paralisis pita suara.Rontgen foto leher dan dada harus
dilakukan untuk mendeteksi adanya fraktur laring dan trauma trakea.Diagnosis luka terbuka di
laring dapat ditegakkan dengan adanya gelembung-gelembung udara pada daerah luka, oleh
karena udara yang keluar dari trakea.Berbeda dengan luka terbuka, diagnosis luka tertutup pada
laring lebih sulit. Diagnosis ini penting untuk menentukan sikap selanjutnya, apakah perlu
dilakukan eksplorasi atau cukup dengan pengobatan konservatif dan observasi saja
3. Laringitis Akut
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.
Pada pemeriksaan fisik, dapat ditemukan suara yang serak, coryza, faring yang meradang dan
frekuensi pernafasan dan denyut jantung yang meningkat, disertai pernafasan cuping hidung,
retraksi suprasternal, infrasternal dan intercostal serta stridor yang terus menerus, dan anak bisa
sampai megap-megap (air hunger). Bila terjadi sumbatan total jalan nafas maka akan didapatkan
hipoksia dan saturasi oksigen yang rendah. Bila hipoksia terjadi, anak akan menjadi gelisah dan
tidak dapat beristirahat, atau dapat menjadi penurunan kesadaran atau sianosis. Dan kegelisahan
dan tangisan dari anak dapat memperburuk stridor akibat dari penekanan dinamik dari saluran
nafas yang tersumbat.Dari penelitian didapatkan bahwa frekuensi pernafasan merupakan
petunjuk yang paling baik untuk keadaan hipoksemia.Pada auskultasi suara pernafasan dapat
normal tanpa suara tambahan kecuali perambatan dari stridor.Kadang-kadang dapat ditemukan
mengi yang menandakan penyempitan yang parah, bronkitis, atau kemungkinan asma yang
sudah ada sebelumnya.
Pemeriksaan dengan laringoskop direk atau indirek dapat membantu menegakkan diagnosis.
Dari pemeriksaan ini plika vokalis berwarna merah dan tampak edema terutama dibagian atas
dan bawah glotis
Laringitis akut, gambaran ini mengambarkan laring wanita 53 tahun, dengan gejala utama serak
dan suara terengah-engah.Catatan daerah-daerah eritem dan mukosa normal yang bergantian
pada plika vokalis.Juga ditandai irregularitas pada kontur lipatam-lipatan vocal (dikutip dari
kepustakaan.
Sebetulnya pemeriksaan rontagen leher tidak berperan dalam penentuan diagnosis, tetapi dapat
ditemukan gambaran staplle sign (penyempitan dari supraglotis) Foto rontgen leher AP
bisatampak pembengkakan jaringan subglotis (Steeple sign). Tanda ini ditemukan pada 50%
kasus pada foto AP dan penyempitan subglotis pada foto lateral, walaupun kadang gambaran
tersebut tidak didapatkan. Pemeriksaan laboratorium tidak diperlukan, kecuali didapatkan
eksudat di orofaring atau plika suara, pemeriksaan kultur dapat dilakukan.Dari darah didapatkan
lekositosis ringan dan limfositosis.
Sungkup laring (LMA, laryngeal mask airway) ialah alat jalan napas berbentuk sendok
terdiri dari pipa besar berlubang ujung menyerupai sendok yang pinggirnya dapat
dikembang-kempiskan seperti balon pada pipa trakea. Tangkai LMA dapat berupa pipa keras
dari polivinil atau lembek dengan spiral untuk menjaga supaya tetap paten.
PERASAT HEIMLICH
Dengan perasat Heimlich, dilakukan pada penekanan paru. Caranya ialah, bila pasien masih
dapat berdiri, maka penolong dapat berdiri di belakang pasien, kepalan tangan penolong
diletakkan di atas prossesus xifoid, sedangkan tangan kirinya diletakkan diatasnya.
Kemudian dilakukan penekanan ke belakang dan keatas ke arah paru pasien beberapa kali,
sehingga benda asing akan terlempar ke luar mulut.
Bila pasien sudah berbaring karena pingsan, maka penolong bersetumpu pada lututnya di
kedua sisi pasien, kepalan diletakkan di bawah prosesus xifoid, kemudian dilakukan
penekanan ke bawah dan ke arah paru pasien beberapa kali, sehingga benda asing akan
terdorong melalui mulut. Pada tindakan ini posisi muka pasien harus lurus, leher jangan
ditekuk ke samping, supaya jalan napas merupakan garis lurus.
Komplikasi perasat Heimich ialah kemungkinan terjadinya ruptur lambung atau hati dan
fraktur iga. Oleh karena itu pada anak sebaiknya cara menolongnya tidak dengan
menggunakan kepalan tangan, tetapi cukup dengan menggunakan dua buah jari kiri dan
kanan.
INTUBASI ENDOTRAKEA
Intubasi endotrakea adalah
1. untuk mengatasi sumbatan saluran napas bagian atas,
2. membantu ventilasi,
3. memudahkan mengisap sekret dari tarktus trakeo-bronkial,
4. mencegah aspirasi sekret yang ada di rongga mulut atau yang berasal dari lambung.
Intubasi endotrakea merupakan cara yang paling cepat untuk memperbaik jalan napas. Dapat
dilakukan secara transnasal atau transoral.
Pipa endotrakea yang dibuat dari bahan polyvinilchloride dengan balon (cuff) pada ujungnya
yang dapat diisi dengan udara, diperkenalkan oleh Magill pertama kali tahun 1964, dan
sampai sekarang sering dipakai untuk intubasi. Ukuran pipa endotrakea ini harus sesuai
dengan ukuran trakea pasien dan umumnya untuk orang dewasa dipakai yang diameter
dalamnya 7-8,5 mm. Pipa endotrakea yang dimasukkan melalui hidung dapat dipertahankan
untuk beberapa hari. Secara umum dapat dikatakan bahwa intubasi endotrakea jangan
melebihi 6 hari dan untuk selanjutnya sebaiknya dilakukan trakeostomi.
TRAKEOSTOMI
Trakeostomi adalah tindakan membuat lubang pada dinding depan/anterior trakea untuk
bernapas.
Menurut letak stoma, trakeostomi dibedakan menjadi 1) trakeostomi letak tinggi, yaitu di
cincin trakea 2-3 dan 2) trakeostomi letak rendah, setinggi cincin trakea 4-5. Berdasar letak
tinggi dan rendah kira-kira setinggi ismus kelenjar tiroid, bila melakukan trakeostomi
sebaiknya letak tinggi karena:
Letak trakea lebih superfisial
Dekat dengan bangunan pedoman yaitu kartilago tiroid atau krikoid
Kanul tidak mudah lepas dan bila lepas mudah dikembalikan
Ismus atau timus pada anak tidak terganggu
Aman, karena jauh dari pembuluh darah besar.
Sedangkan menurut waktu dilakukan tindakan maka trakeostomi dibagi dalam 1) trakeostomi
darurat dan segera dengan persiapan sarana yang kurang dan 2) trakeostomi berencana
(persiapan sarana cukup) dan dapat dilakukan secara baik (lege artis).
Indikasi Trakeostomi
1. Mengatasi obstruksi laring
2. Mengurangi ruang rugi (dead air space) di saluran napas bagian atas seperti daerah
rongga mulut, sekitar lidah dan faring. Dengan adanya stoma maka seluruh oksigen yang
dihirupnya akan masuk ke dalam paru, tidak ada yang tertinggal di ruang rugi itu. Hal ini
berguna pada pasien dengan kerusakan paru, yang kapasitas vitalnya berkurang.
3. Mempermudah pengisapan sekret dari bronkus pada pasien yang tidak dapat
mengeluarkan sekret secara fisiologik, misalnya pada pasien dalam koma.
4. Untuk memasang respirator (alat bantu pernapasan)
5. Untuk mengambil benda asing dari subglotik, apabila tidak mempunyai fasilitas
bronkoskopi.
KRIKOTIROTOMI
Krikotirotomi merupakan tindakan penyelamat pada pasien dalam keadaan gawat napas.
Dengan cara membelah membran krikotiroid. Tindakan ini harus dikerjakan cepat walaupun
persiapannya darurat.
Indikasi Krikotirotomi
Indikasi krikotirotomi antara lain ialah:
1. Perlengkapan dan alat-alat intubasi endotrakea atau trakeostomi tidak memadai untuk
mengatasi obstruksi jalan napas yang berat.
2. Kebutuhan untuk mempertahankan jalan napas dilakukan oleh tenaga yang tidak terlatih
medis.
3. Keperluan untuk mempertahankan jalan napas pada obstruksi laring karena tumor,
sehingga seluruh bagian krikotiroid akan ikut dikeluarkan pada saat operasi definitif.
2.8 PROGNOSIS
Prognosis untuk penderita laringitis akut ini umumnya baik dan pemulihannya selama satu
minggu. Namun pada anak khususnya pada usia 1-3 tahun penyakit ini dapat menyebabkan
udem laring dan udem subglotis sehingga dapat menimbulkan obstruksi jalan nafas dan bila
hal ini terjadi dapat dilakukan pemasangan endotrakeal atau trakeostomiaik
DAFTAR PUSTAKA