Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH TUGAS

EPIDEMIOLOGI UMUM DAN ORAL


CROSS SECTIONAL DAN CONTOH

Disusun Oleh :
LISA PRIHASTARI (1406505140)

PROGRAM MAGISTER ILMU KESEHATAN GIGI KOMUNITAS


FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI
UNIVERSITAS INDONESIA
2014

STUDI CROSS SECTIONAL

A. PENGERTIAN
Studi cross sectional adalah studi epidemiologi yang mempelajari
prevalensi, distribusi, maupun hubungan penyakit dan paparan dengan
cara mengamati status paparan, penyakit, atau karakteristik secara
serentak pada individu dari populasi pada satu waktu. Beberapa literatur
epidemiologi menyebut studi cross sectional sebagai studi prevalensi.
Teknik survey paling sering digunakan dalam studi cross sectional
(potong lintang). Studi cross sectional tidak menggunakan metode klinis
atau desain eksperimental. Studi ini memberikan gambaran penyakit,
kesehatan, medis, dan fenomena psikososial yang terjadi pada satu kurun
waktu. Kerangka waktu pada kurun waktu didasarakan pada kecepatan
dan efisiensi pengumpulan data. Studi cross sectional dapat
mengumpulkan informasi yang sama dengan studi longitudinal yaitu
dengan cara menetapkan sampel populasi yang menyerupai sampel studi
longitudinal.
Studi ini dapat mengkaji satu atau beberapa variable sekaligus pada
waktu yang sama. Asosiasi dan hubungan antar variable dapat dengan
mudah di evaluasi dalam studi ini. Adapun tujuan dari studi cross sectional
sebagai berikut :
untuk mengetahui masalah kesehatan masyarakat di suatu wilayah
untuk mengetahui prevalensi penyakit tertentu di suatu daerah
Mengetahui hubungan antara faktor risiko dan frekuensi penyakit
untuk memperkirakan adanya hubungan sebab akibat bila penyakit
itu mengalami perubahan yang jelas dan tetap
untuk memperoleh hipotesis spesifik yang akan diuji melalui
penelitian analitis
Pada studi cross sectional, subyek penelitian diklasifikasikan menjadi
subyek yang terkena dan tidak terkena kelainan atau sakit dan tidak sakit
serta terpapar dan tidak terpapar oleh faktor yang kemudian akan diteliti
pada waktu yang bersamaan. Kemudian dilakukan pengukuran
prevalensinya membandingkan antara mereka yang terpapar dan tidak
terpapar faktor yang diteliti terhadap kelainan yang diteliti. Jika dijabarkan
dalam bentuk tabel maka sebagai berikut :

SAKIT (DISEASE SEHAT


+)
(DISEASE -)
TERPAPAR
(EXPOSURE +)
TIDAK
TERPAPAR
(EXPOSURE -)
TOTAL

TOTAL

(A+B)

(C+D)

Maka kemungkinan yang dapat terjadi dari tabel hubungan penyakit dan
paparan pada studi cross sectional diatas adalah :
1. D+E+ yaitu terdapat subyek yang mengalami kelainan atau penyakit
dan terkena paparan yang diteliti
2. D+E-,yaitu terdapat subyek yang mengalami kelainan atau penyakit,
namun tidak terkena paparan yang diteliti
3. D-E+, yaitu subyek tidak mengalami kelainan atau penyakit, meskipun
ia terkena paparan
4. D-E-, yaitu subyek tidak mengalami kelaian atau penyakit dan juga
tidak terkena paparan
Dari studi cross sectional ini dapat menjawab pertanyaan seberapa
sering atau suatu kelainan ditemukan dan apakah paparan (exposure)
dan disease saling berhubungan atau tidak. Meskipun untuk mengukur
ada tidaknya hubungan atau asosiasi ini tidak mudah karena peneliti
harus mengetahui dan memastikan apakah faktor paparan mendahului
atau mengikuti akibat. Cross sectional juga tidak dapat digunakan
untuk mengetahui nilai insidens penyakit dan informasi apakah
penyebab mendahului akibat. Analisis pada studi cross sectional adalah
dengan membandingkan point prevalens antara kelompok exposed dan
unexposed. Analisis ini mengasumsikan bahwa data berasal dari case
control study dan mengikuti kaidah analisis dalam case control. Jika
dari data diketahui exposure mendahului penyebab, maka data dari
cross sectional dapat diberlakukan seperti data ayang didapat dari
cohort studi.
B. Kelebihan dan Kekurangan Studi Cross Sectional
Sebelum peneliti memilih untuk menggunakan studi cross sectional, ia
harus memahami terlebih dahulu kelebihan dan kekurangan studi
penelitian ini.
Kelebihan studi Cross sectional adalah sebagai berikut :
1. Lebih murah dan mudah/praktis untuk dilaksanakan
2. Hasil segera diperoleh
3. Dapat menjelaskan hubungan antara fenomena kesehatan yang diteliti
dengan faktor-faktor terkait (terutama karakteristik yang menetap)
4. Merupakan studi awal dari suatu rancangan studi kasus-kontrol
maupun kohort
5. Dapat mempelajari beberapa eksposure dan outcome pada waktu yang
bersamaan
6. Mendapat nilai prevalensi dan perkiraan relative prevalensi

7. Jika berdasarkan sampel dari populasi umum, tingkat generalisasi hasil


sangat baik. Terutama survey Cross sectional yang dilakukan National
Centre for Health Statistics / BPS di Indonesia.
8. Temporal inference problem dapat dihindari jika karakteristik yang
tidak berubah seperti misal sifat genetik menjadi fokus dari penelitian
.
9. Memiliki satu kelebihan pokok, yaitu bahwa studi didasarkan pada
sampel populasi utama yang ada (alami) dan tidak bergantung pada
individu yang mengajukan diri untuk mendapatkan perlakuan medis
10.Tidak memaksa subjek mengalami faktor yang bersifat
merugikan
kesehatan (faktor risiko) , dan tidak ada subjek yang kehilangan
kesempatan memperoleh terapi yang diperkirakan bermanfaat.
11. Agar dapat menggambarkan karakter populasi dengan akurat, maka
subjek pada studi Cross Sectional harus diambil dengan prosedur
pengambilan sampel sedemikian rupa (acak) sehingga diperoleh
sampel yang representatif /mewakili populasi sasaran.
Adapun Kekurangan studi Cross sectional adalah sebagai berikut :
1. Hanya kasus prevalens dan/atau yang tidak terkena dampak tertentu
yang diteliti
2. Tidak cocok untuk kasus yang jarang terjadi
3. Membutuhkan skema sampling yang terencana baik sehingga dapat
memberikan kesempatan yang sama kepada setiap orang untuk
terpilih
4. Pengukuran prevalens exposure dan hubungannya dengan prevalens
penyakit dalam cross-sectional studies tidak dapat menjelaskan
temporal sequence antara exposure dan penyakit.
5. Tidak tepat digunakan untuk menganalisis hubungan kausal eksposure
dan penyakit.
6. Tidak dapat dijelaskan, mana yang lebih dulu, exposure atau disease.
Hal ini terjadi jika exposure yang diteliti memiliki karakteristik yang
dapat berubah seperti tempat tinggal, atau kebiasaan seperti
merokok.
7. Tidak dapat menentukan temporal sequence antara exposure dan
disease jika exposure merupakan karakteristik yang dapat berubah
8. Kelemahan lain dari cross-sectional adalah studi ini mengidentifikasi
proporsi yang tinggi dari kasus yang sering dengan durasi lama.
Orang yang cepat meninggal segera setelah didiagnosa atau cepat
sembuh sulit kecil kemungkinannya untuk diidentifikasi sebagai
disease. Hal ini akan menyebabkan bias hasil jika lama penyakit
/durasi penyakit dihubungkan dengan exposure yang diteliti.
9. Tidak bisa mendapatkan estimasi insidens rate dan relative risk
C. Jenis-Jenis Studi Cross Sectional
1. Studi Cross-Sectional Deskriptif
Yaitu jenis studi Cross sectional yang bertujuan meneliti prevalensi
penyakit, atau Paparan atau keduanya. Prevalensi adalah suatu
Proporsi Kasus (Individu-individu Berpenyakit) atau jumlah kasus
penyakit, orang yang terinfeksi, atau kondisi, yang ada pada satu
waktu tertentu, dihubungkan dengan besar populasi dariman kasus itu

berasal, misalnya jumlah kasus campak dalam sebuah populasi pada


awal juli. Jika insidens memasukkan jumlah kasus baru sementara
prevalensi tidak. Pengukuran yang digunakan menggunakan Point
Prevalence (Pengukuran satu saat).
Point Prevalence adalah jumlah kasus individu yang mengalami
penyakit, kondisi, atau kesakitan pada satu titik waktu yang speseifik.
Point Prevalence mengukur keberadaan suatu penyakit, kondisi pada
satu titik waktu yang singkat. Rumusnya adalah sebagai berikut :
Point Prevalensi = Jumlah Kasus penyakit yang ada X 1000
Populasi Total

Contoh : Prevalensi SARIAWAN diantara Kel.Terpapar (ORTHODONTI)


dan Kel. Tak Terpapar (Tidak ORTHODONTI)

Perawatan
orthodonti
Orthodonti
(EXPOSURE +)
TIDAK
orthodonti
(EXPOSURE -)
TOTAL

Sariawan
(DISEASE +)

Tidak sariawan
(DISEASE -)

TOTAL

50

200

250

50

700

750

100

900

1000

Prevalens 1
= a / (a+b) = 50 / 250
= 20%
adalah proporsi SARIAWAN diantara orang-orang yang dirawat
orthodonti
Prevalens 2
= c / (c+d) = 50 / 750
= 6,7%
adalah proporsi SARIAWAN diantara orang-orang yang tidak dirawat
ortho
2. Studi Cross-Sectional Analitik

Yaitu studi cross sectional yang bertujuan untuk melakukan


operbandingan perbedaan-perbedaan penyakit antara kelompok
terpapar dan kelompk tidak terpapar. Selain itu juga dapat digunakan
untuk meneliti hubungan antara paparan dan penyakit. Serta
membandingkan proporsi orang2 terpapar mengalami penyakit (a/
(a+b)) dengan proporsi orang2 tidak terpapar yg mengalami penyakit (
c/(c+d))
prevalence kelompok terpapar
(Po) = a/ a+b
Prevalence kelompok tidak terpapar
(P1) = c/ c+d
Rasio Prevalence = Po / P1
D. LANGKAH-LANGKAH MELAKSANAKAN STUDI CROSS SECTIONAL
1. Membuat Rumusan Masalah dan Tujuan Penelitian
Langkah pertama yang harus dilkakukan oleh peneliti saat melakukan
studi cross sectional adalah menentukan masalah kesehetan yang akan
diteliti, kemudian mencari faktor-faktor apa saja yang mendukung dan
mempengaruhi masalah tersebut, mengklarifikasi hubungan antara
faktor-faktor tersebut dengan masalah kesehatan selanjutnya
menetapkan tujuan-tujuan penelitian.
2. Memilih populasi dan sampel
Target dari studi cross sectional pada umumnya berupa suatu populasi
atau komunitas. Populasi dibagi menjadi dua macam, yaitu populasi
target, adalah populasi yang dibatasi kriteria klinis dan demografis,
yang kedua populasi terjangkau, adalah populasi target yang dibatasi
tempat dan waktu . Adapun suatu sampel populasi harus memiliki
kriteria untuk menjadi sasaran penelitian, ada dua macam criteria
sampel yaitu kriteria inklusi dan kriteria eksklusi.
Kriteria inklusi adalah sejumlah kriteria untuk mendapatkan populasi
target yang mudah dijangkau dan sesuai dengan tujuan penelitian,
misalnya
1) karakteristik klinis (diagnostik, prognostik)
2) karakteristik demografik (usia, seks)
3) karakteristik geografi (lokasi)
4) karakteristik waktu (lama penelitian)
Sedangkan kriteria eksklusi adalah sejumlah kriteria sampel yang tidak
dapat diikut sertakan dalam penelitian, misalnya
1) Kontraindikasi untuk pengukuran
2) Masalah etik (bayi, anak, dll)
3) Perlakuan khusus (lansia, dll)
4) Tidak bersedia berpartisipasi

Adapun beberapa literatur menambahkan kriteria lain yaitu kriteria


drop-out yaitu sampel yang Tidak dapat melanjutkan penelitian karena:
1) meninggal dunia, pulang paksa, tidak dapat dihubungi atau menolak
melanjutkan penelitian
2) mengalami perburukan fungsi organ tubuh atau ada komplikasi lain
3) tidak kooperatif selama penelitian
Untuk metode sampling dalam studi
menggunakan rumus sebagai berikut :

cross

sectional

dapat

Rumus besar sampel sebagai berikut :

di mana

= besar sampel minimum

Z1-/2

= nilai distribusi normal baku (tabel Z) pada tertentu

Z1-

= nilai distribusi normal baku (tabel Z) pada tertentu

P1

= perkiraan proporsi pada populasi 1

P2

= perkiraan proporsi pada populasi 2

= (P1 + P2)/2

Untuk mengetahui proporsi kelainan di populasi:


{ (Z1- )2 * p * (1-p)} / d2
Untuk mengetahui rerata parameter variabel di populasi:
{ (Z1-)2 * 2} / d2
Untuk membandingkan proporsi kelompok subyek dengan
populasinya:
{ (Z1- ) * V(p0*q0) + (Z1-) * V(p1*q1)} / (p1 p0)
Untuk membandingkan rerata parameter variabel kelompok
subyek dengan populasinya:
d2 (Z1- + Z1-)2 / (x - )2
Untuk membandingkan proporsi kelompok subyek dengan
kelompok subyek lain:
Z1- V(2*p*q) + Z1- V(p1*q1+ p2*q2) / (p1 p2)2

Untuk membandingkan rerata parameter variabel kelompok


subyek dengan kelompok subyek ain:
2 2 (Z1- + Z1-)2 / (1 2)2
Untuk mengetahui korelasi antara dua parameter variabel:
{ (Z

+ Z) / (0,5 ln [(1+r) / (1-r)])} 2

3. Membuat instrumen penelitian (validitas data)


Pada tahap ini yan harus dilakukan adalah memberikan definisi
operasional penelitian, meskipun hal ini terlihat sederhana, namun
definisi operasional sangat penting untuk mengetahui parameter apa
yang harus diteliti dan bagaimana proses pengukuran variablevariabelnya. Definisi operasional dibuat selengkap dan sejelas mungkin
sehingga tidak muncul makna yang ambigu. Variabel adalah variasi
karakteristik yang akan diteliti, sedangkan parameter adalah nilai atau
ukuran variabel yang dapat dinyatakan sebagai data dengan skala
numerik atau kategori. Indikator adalah kriteria atau batasan tertentu
dari nilai variabel untuk mengoperasionalkan suatu variabel (definisi
operasional).
Untuk pemilihan instrument penelitian ada beberapa hal yang harus
diperhatikan
yaitu validitas
dan feasibilitas/kesesuaian
yang
menyangkut biaya, peralatan, dan metode. Metode penelitian harus
dilakukan dengan akurat dengan memperhitungkan sensitivitas dan
spesifisitas dan harus presisi yaitu dengan memperhatikan reliabilitas,
reprodusibilitas, dan repeatabilitas.
4. Pengumpulan data (response rate & quality control)
Pada tahap pengumpulan data, respon rate dan kontrol kualitas data
(quality control ) sangat penting untuk dilakukan. Respon rate adalah
penghitungan partisipan yaitu dari sejumlah subyek yang diundang
berapa yang berpartisipasi dalam penelitian, dan apakah telah
memenuhi teknik perhitungan sampel yang dilakukan pada tahap
sebelumnya.
Sedangkan kontrol kualitas data (quality control ) sangat penting untuk
menghasilkan hasil penelitian yang dapat diterima secara ilmiah.
Kontrol kualitas data ini dapat dilakukan dengan cara

5. Analisis data
Analisis data dilakukan dengan menggunakan prevalence dan Asosiasi.
Analisis hubungan atau perbedaan prevalens antar kelompok yang
diteliti dilakukan setelah dilakukan validasi dan pengelompokan data.
Analisis ini dapat berupa suatu uji hipotesis ataupun analisis untuk

memperoleh resiko relatif. Yang dimaksud dengan resiko relative pada


studi cross-sectional adalah perbandingan antara prevalens penyakit
(efek) padakelompok dengan resiko, dengan prevalens efek pada
kelompok tanpa resiko. Pada studi cross sectional ini, resiko relative
yang diperoleh bukan resiko relatif murni. Resiko relatif yang murni
hanya
dapat
diperoleh
dengan
penelitian
kohort,
dengan
membandingkan insidens penyakit pada kelompok dengan resiko
dengan insidens penyakit pada kelompok tanpa resiko. Estimasi resiko
relatif dinyatakan dengan rasio prevalens (RP), yakni perbandingan
antara jumlah subyek dengan penyakit (lama dan baru) pada satu saat
dengan seluruh subyek yang ada.
Rasio prevalens harus selalu disertai dengan interval kepercayaan
(confidence interval) yang dikehendaki, missal interval kepercayaan
95%. Interval kepercayaan menunjukkan rentang rasio prevalens yang
diperoleh pada populasi terjangkau bila sampling dilakukan berulangulang dengan cara yang sama. Cara penghitungan interval
kepercayaan untuk rasio prevalens dapat menggunakan dengan
program statistika.
Untuk analisis prevalensi yang harus diperhatikan adalah data-data
dianalisis secara deskriptif untuk mendapatkan angka prevalensi.
Sedangkan untuk analisis asosiasi maka pemilihan uji statistik
tergantung pada:
1) jumlah variabel yang diteliti
2) skala variabel
3) cara pengambilan sampel
4) distribusi sampel
Interpretasi hasil
1. Bila Nilai rasio prevalens = 1 berarti variable yang diduga sebagai
faktor resiko tidak ada pengaruhnya dalam terjadinya efek, atau
dengan kata lain ia bersifat netral. Mialnya semula diduga pemakaian
kontrasepsi oral pada awal kehamilan merupakan faktor resiko untuk
terjadinya penyakit jantung bawaan pada bayi yang akan dilahirkan.
Apabila ternyata pada akhir penelitin ditemukan rasio prevalensnya=1,
maka hal tersebut berarti bahwa pemakaian obat kontrasepsi oral oleh
ibu pada awal kehamilan bukan merupakan faktor resiko untuk
terjadinya penyakit jantung bawaan pada bayi yang kemudian
dilahirkan
2. Bila rasio pevalens > 1 dan rentang interval kepercayaan tidak
mencakup angka 1, berarti variable tersebut merupakan faktor resiko
untuk timbulnya penyakit. Misalnya rasio prevalens pemakaian KB
suntik pada ibu memberikan ASI eksklusif terhadap kejadian kurang
gizi pada anak = 2. Ini berarti bahwa KB suntik merupakan resiko untuk
terjadinya defisiensi gizi pada bayi, yakni bayi yang ibunya akseptor KB
suntik mempunyai resiko menderita defisiensi gizi 2 kali lebih besar
ketimbang bayi yang ibunya bukan pemakai KB suntik.

3. Bila nilai rasio prevalens < 1 dan rentang interval kepercayaan tidak
mencakup angka 1, berarti faktor yang diteliti merupakan faktor
protektif, bukan faktor resiko. Misalnya rasio prevalens pemakaian ASI
untuk terjadinya diare pada bayi adalah 0,3 berarti ASI justru
merupakan faktor pencegah diare pada bayi, yakni bayi yang minum
ASI memiliki resiko untuk menderita diare 0,3 kali apabila dibandingkan
dengan bayi yang tidak minum ASI.
4. Bila nilai interval kepercayaan rasio prevalens mencakup angka 1,
maka berarti pada populasi yang diwakili oleh sampel tersebut masih
mungkin nilai rasio prevalensnya= 1. Ini berarti bahwa dari data yang
ada belum dapat disimpulkan bahwa faktor yang dikaji benar-benar
merupakan faktor resiko atau faktor protektif.
Contoh :
Rasio prevalens (RP) sebesar3, dengan interval kepercayaan 95% 1,4
sampai 6,8 menunjukkan bahwa dalam populasi yang diwakili oleh
sampel yang diteliti, kita percaya 95% bahwa rasio pevalensnya
terletak antara 1,4 sampai 6,8 (selalu lebih dari 1). Namun suatu RP
sebesar 3 dengan interval kepercayaan 95% antara 0,8 sampai 7,
menunjukkan bahwa variable bebas yang diteliti belum tentu
merupakan faktor resiko, sebab di dalam populasi yang diwakili oleh
sampel, 95% nilai RP-nya terletak di antara 0,8 dan 7, jadi mencakup
nilai 1. RP =1 menunjukkan bahwa variable yang diteliti bersifat netral
hal yang sama juga berlaku untuk faktor protektif (RP kurang dari 1);
apabila nilai interval kepercayaan selalu kurang dari 1 berarti benar
bahwa dalam populasi variable independen tersebut merupakan faktor
protektif. Namun apabila rentang interval kepercayaan mencakup
angka 1, faktor yang diteliti tersebut belum tentu merupakan faktor
protektif.
Studi Cross sectional dengan beberapa Faktor Resiko
Tidak jarang peneliti ingin memperoleh peran beberapa faktor resiko
untuk terjadinya sesuatu penyakit sekaligus, atau data yang
dikumpulkan tidak dapat menyingkirkan adanya faktor-faktor lain yang
mungkin merupakan faktor perancu (confounding factor). Untuk data
ini dapat dilakukan dengan analisis multavariat. Dua jenis analisis
multivariate yang sering digunakan adalah regresi multiple dan regresi
logistik.

DAFTAR PUSTAKA
1. McMahon B, Pugh TF. 1970.Epidemiology: Principles and Methods.
Boston: Little Brown and Company.
2. Last, J.M. 2001. A dictionary of epidemiology ,4th edition. New York :
Oxford University Press
3. Buck C, Llopis A, Njera E, Terris M . 1998. The Challenge of
Epidemiology: Issues and Selected Readings, Scientific Publication
No. 505. Washington, DC : Pan American Health Organization
4. Susser M, Ezra Susser. 1996. Choosing a future for epidemiology: II.
From black box to Chinese boxes and eco-epidemiology. Am J Public
Health, 86: 674-677
5. Strevens,
M.
2011.
Scientific
explanation.
http://www.strevens.org/research/simplexuality/Expln.pdf.
diakses
Agustus 2011
6. Slattery, ML. The Science and art of molecular epidemiology. J
Epidemiol Community Health 2002; 56: 728-729.
7. Timmreck, C Thomas. 2004. Epidemiologi suatu pengantar edisi ke2. Jakarta : EGC
8. Nazir, Moh.,ph.D.
Indonesia.

2003.

Metode

penelitian.

Jakarta

Ghalia

CONTOH PENELITIAN STUDI CROSS


SECTIONAL
JUDUL :
EFEKTIVITAS INDEKS PUFA SEBAGAI ALAT SKRINING EARLY
CHILDHOOD CARIES (ECC) OLEH KADER POSYANDU DI
KABUPATEN SIJUNJUNG SUMATERA BARAT
PENELITI :
ARYMBI PUJIASTUTY/ MAGISTER FKG UI 2012
DESAIN PENELITIAN :
Uji Diagnostik dengan Pendekatan Cross Sectional
POPULASI PENELITIAN
Populasi Target : Anak Usia dibawah atau sama dengan 71 bulan
(<6th)
KRITERIA SUBJEK PENELITIAN
Kriteria Inklusi :
Anak usia 3-6th (36-71 bulan), Hadir di Posyandu saat penelitian,
berdomisili tetap dikabupaten Sijunjung
Kriteria Eksklusi : orang tua tidak bersedia menandatangani inform
consent, anak tidak mau diperiksa intra oral, anak rewel atau
menangis
BESAR SAMPEL PENELITIAN
n = Z2Sen (1-sen)
-----------------------------d2P

Diperoleh sampel sebanyak 121 anak, untuk mengantisipasi drop


out mk sampel ditambah 10% sehingga total mjd 133 anak

CARA PENGAMBILAN SAMPEL


Menggunakan Metode Purposive Sampling pd pemilihan lokasi
penelitian
Random sampling utk pemilihan sampel anak dg cara
menggunakan angka acak (Random Number)
ALUR PENELITIAN
Studi pendahuluan Izin penelitian+posko Pen+rekruitmen
kader Pelatihan dan kalibrasi Rekruitmen sampel Informed
consent Oral examination Pencatatan +pengumpulan data
Analisis datalaporan
CARA KERJA PENELITIAN
Penelitian Pendahuluan gambaran prevalensi ECC dan pufa
pemeriksaan def-t dan pufa pd anak 3-6 th dg Total sampling
Rekruitmen kader dg Kriteria Pelatihan Kader dg modul indeks
PUFA/pufa slama 2 hr latihan deteksi pufadiperoleh
kesepakatan intra examineruji kalibrasi dg 7 anak sbg sampel utk
menyamakan kemampuan deteksi smp mencapai nilai kappa
0,8.32 siap uji lapangan
Rekruitmen sampel 6 posyandu terintegrasi PAUD kab Sijunjung
SumBar Informed consent ditandatangani ortu
Sampel diperiksa 2 kali yaitu pertama oleh kader yg telah dilatih
dan kedua oleh peneliti sebagai reference stnadart ditmp terpisah
dg cara blinding
Pencatatan dan pengumpulan data data dianalisis dg uji Kappa
uji diagnostik dg tabel 2x2 untuk ilai sensitivitas dan spesivisitas,
NRP(nilai Ramala positif) dan NRN, RKN (rasio kemungkinan
positif), akurasi Analisis jg dg ROC (Receiver Operating
Characteristic) yg menghasilkan nilai Area under the Curve serta
titik potong (Cut off Point)
IDENTIFIKASI VARIABEL
Variabel BEBAS : Penilaian ECC dg Indeks PUFA/pufa oleh kader
posyandu dan dokter gigi (Reference Standart)
Variabel TERIKAT : Efektivitas Penilaian ECC dengan indeks
PUFA/pufa oleh kader Posyandu
ANALISIS
FAKTOR
CONFOUNDING
YANG
MEMPENGARUHI
VALIDITAS INTERNAL DAN EKSTERNAL PENELITIAN
Validitas Internal : kesahihan penelitian yang menyangkut sejauh
mana perubahan yang diamati dalam suatu penelitian benar-benar
hanya terjadi karena perlakuan yang di berikan dan bukan pengaruh
factor lain (variabel luar)
Hal-hal yang mempengaruhi Validitas internal

1. History :semua kader yang dipilih harus dipastikan bahwa


sebelumnya mereka belum pernah melakukan pelatihan skrining ECC
dengan indeks PUFA, sehingga tingkat pengetahuan mereka berada
dilevel yang sama. Namun ternyata pada penelitian ini diketahui
tingkat pendidikan kader berbeda-beda ada yang memiliki pendidkan
terakhir SLTP dan ada yang SLTA, maka peneliti memberikan kriteria
pendidikan minimal adalah SLTA
2. Testing : Prosedur pelatihan skrining yang rumit memungkinkan para
kader kesulitan untuk memahami dan mempraktekan, karenanya
peneliti melakukan pelatihan selama 2 hari, dan dengan terus-menerus
melakukan pengulangan latihan deteksi vaiabel p, u, f, dan a sampai
diperoleh kesepakatan intra-examiner. Dan untuk kesepakatan interexaminer masing-masing kader posyandu dilakukan uji kalibrasi.
3. Instrumentation : Agar tidak terjadi perbedaan hasil ukur, peneliti
menggunakan alat bantu yang sama dalam skrining yaitu senter
kepala (Head-Light) dan kaca mulut.
4. Regression to the Mean
5. Selection to bias : agar tidak terjadi perubahan cirri-ciri dan sifat-sifat
dalam suatu populasi penelitian, atau populasi bersifat homogen maka
penelitian melakukan teknik purposive sampling (non-probability)
untuk pemilihan lokasi penelitian dan Posyandu-PAUD tempat populasi
terjagkau berada, juga berdasarkan pertimbangan studi pendahuluan
yang dilakukan oleh peneliti.
6. Maturation : Dalam hal ini peneliti harus memastikan bahwa kader
yang diberi pelatihan atau sampel penelitian tidak akan mengalami
perubahan biologis yang dapat menganggu jalannya penelitian,
misalnya umur mereka rata-rata sama karena kader yang umumnya
lebih muda umurnya (20-30) lebih mudah memahami materi dan lebih
cepat mengingat dibandingkan kader yang umurnya lebih tua (35
keatas).
7. Attrition/Mortalitas : Untuk menghindari terjadinya perubahan
penelitian akibat sampel yang drop out maka peneliti telah
mengantisipasi ketika perhitungan besar sampel dengan menambah
sampel sebanyak 10% dari hasil awal perhitungan
Validitas Eksternal : kesahihan penelitian yang menyangkut
pertanyaan,
sejauh
mana
hasil
suatu
penelitian
dapat
digeneralisasikan pada populasi induk (asal sampel) penelitian diambil
Faktor-faktor yang mempengaruhi Validitas Eksternal Dalam Penelitian
ini :
1. Examiner Bias : sering muncul bila keakraban kader, sampel dan
peneliti mempengaruhi hasil penelitian sehingga dalam penelitian
ini pada saat pemeriksaan oleh peneliti sebagai reference standar
dilakukan teknik blinding (tersamar) dengan pengaturan meja agar
tidak terjad examiner bias
2. Interaksi Seleksi dan Perlakuan : Yaitu akibat yang muncul bila
subjek tidak dipilih secara acak karena seleksi subjek
mempengaruhi validitas internal. Dalam Penelitian ini untuk
meningkatkan validitas internal peneliti sengaja melakukan teknik
non random (non Probability) yang akan berdampak pada validitas
eksternal seleksi dan menurunnya level generalisasi hasil
penelitian. Namun pada pemilihan sampel subyek yaitu anak yang

diperiksa, peneliti telah menggunakan teknik simple random


sampling.

Anda mungkin juga menyukai