Anda di halaman 1dari 41

TUGAS KELOMPOK KETAHANAN DAN KEAMANAN PANGAN LANJUT

DOSEN : DR. IR. RAHMADANIH, M.SI.

KETAHANAN PANGAN WILAYAH/REGIONAL

KELOMPOK I
RATNAWATI

P1803213001

ADE IRMAYANTI HANDAYANI

P1803213002

NURUL AFIAH

P1803213003

FAHMI HAFID

P1803213004

KONSENTRASI GIZI
MAGISTER KESEHATAN MASYARAKAT
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2014

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Ketahanan pangan merupakan salah satu prioritas dalam pembangunan
nasional. Tiga alasan utama yang melandasi pentingnya ketahanan pangan
yaitu: 1) akses atas pangan yang cukup baik jumlah maupun mutunya, beragam
dan bergizi bagi setiap orang merupakan salah satu pemenuhan hak asasi
manusia; 2) konsumsi pangan dan gizi yang cukup merupakan basis bagi
pembentukan sumber daya manusia untuk dapat hidup sehat, aktif dan
produktif; dan 3) ketahanan pangan merupakan basis bagi ketahanan ekonomi
dan ketahanan nasional suatu negara yang berdaulat.
Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang paling utama dan
pemenuhannya merupakan bagian dari hak asasi manusia yang dijamin di
dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai
komponen dasar untuk mewujudkan sumber daya manusia yang berkualitas.
Berdasarkan Undang-Undang tentang Pangan yang telah disahkan melalui
sidang pleno Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia pada tanggal 18
Oktober 2012, pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati
produk pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan, dan peternakan, baik
yang diolah maupun tidak diolah yang diperuntukkan sebagai makanan atau
minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan Pangan, bahan
baku Pangan, dan bahan lainnya yang digunakan dalam proses penyiapan,
pengolahan, dan pembuatan makanan dan minuman. Ketersediaan pangan
ditentukan oleh 3 aspek pokok yaitu produksi (kuantitas), distribusi
(aksesibilitas), dan konsumsi (bergizi dan aman). Secara teori dan konsep,
ketahanan pangan yang kuat berbeda dengan kedaulatan pangan yang kuat.
Sebagian besar negara di dunia menganut konsep ketahanan pangan
sebagaimana konsep ini dianut dan menjadi acuan lembaga internasioanl
termasuk PBB dan FAO. Faktanya tidak ada negara yang bisa memenuhi
semua kebutuhan pangan dari dalam negeri atau memproduksinya sendiri,

kemudian selebihnya akan diekspor ke negara yang membutuhkannya. Yang


ada adalah sebuah negara yang mengekspor jenis pangan tertentu, baik nabati
maupun hewani ke negara lain sekaligus juga mengimpor kebutuhan sebagian
kebutuhan pangannya dari negara lain.
Indeks ketahanan pangan Indonesia tahun 2012, jauh di bawah negaranegara tetangga seperti Malaysia dan Thailand. Berdasarkan rilis Oxfam, untuk
Asia Tenggara, dari tujuh negara, Indonesia pada urutan kelima. Peringkat
pertama, Malaysia, disusul Thailand, Vietnam, dan Fhilipina. Indonesia di atas
Myanmar bn Kamboja dengan kategori moderat. Di tingkat global, Indonesia
pada peringkat 65 dari 105 negara. Oxfam mencatat, alih fungsi lahan terjadi
110.000 hektar per tahun. Jika luas lahan baku tahun 2002 seluas 7.748.840
hektar, 2011 lahan baku tinggal 6.758.840 hektar. Pada 2014, lahan baku
diperkirakan tersisa 6.428.840 hektar.
Indonesia rawan krisis pangan karena berbagai macam persoalan,
terutama eksploitasi dan dominasi sumber daya alam (SDA) oleh perusahaanperusahaan ekstraktif, seperti sawit dan tambang. Keadaan ini, mengakibatkan
kekacauan iklim dan degradasi ekologis. Selain itu adanya liberalisasi sistem
perdagangan pangan, dan marjinalisasi penghasil pangan skala kecil. Lalu,
kebijakan pangan membahayakan, dan ketidakstabilan harga pangan.

1.2 Tujuan
Berdasarkan dari latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka
penulisan makalah ini bertujuan untuk:
1. Memahami Konsep Ketahanan Pangan
2. Memahami Komponen Ketahanan Pangan
3. Memahami Tantangan Untuk Mencapai Ketahanan Pangan
4. Memahami Sistem Ketahanan Pangan Di Indonesia
5. Memahami Konsep Kerawanan Pangan
6. Memahami Penanganan Kerawanan Pangan Wilayah
7. Memahami Contoh-contoh Studi Kasus Terkait Ketahanan Pangan

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Konsep Ketahanan Pangan


Pangan merupakan kebutuhan manusia yang paling azasi, sehingga
ketersediaan pangan bagi masyarakat harus selalu terjamin. Manusia dengan
segala kemampuannya selalu berusaha mencukupi kebutuhannya dengan
berbagai cara. Ketahanan pangan merupakan kondisi terpenuhinya pangan
bagi rumah tangga yang tercermin dari ketersediaan pangan yang cukup, baik
jumlah maupun mutunya, aman, merata, dan terjangkau.
Pada World Food Summit (1996) didefinisikan Ketahanan Pangan
sebagai, Ketahanan Pangan terjadi apabila semua orang secara terus
menerus baik secara fisik, sosial, dan ekonomi mempunyai akses untuk
pangan yang memadai/cukup, bergizi, dan aman yang memenuhi kebutuhan
pangan mereka dan pilihan makanan untuk hidup aktif dan sehat. Sedangkan
berdasarkan Undang-Undang Pangan No. 18 Tahun 2012 Ketahanan
Pangan adalah kondisi terpenuhinya Pangan bagi negara sampai dengan
perseorangan, yang tercermin dari tersedianya Pangan yang cukup, baik
jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata, dan terjangkau
serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat,
untuk dapat hidup sehat, aktif, dan produktif secara berkelanjutan.
Konsep ketahanan pangan dapat diterapkan untuk menyatakan situasi
pangan pada berbagai tingkatan yaitu tingkat global, nasional, regional, dan
tingkat rumah tangga serta individu yang merupakan suatu rangkaian sistem
hirarkis. Hal ini menunjukkan bahwa konsep ketahanan pangan sangat luas
dan beragam serta merupakan permasalahan yang kompleks. Namun
demikian, dari luas dan beragamnya konsep ketahanan pangan tersebut
intinya bertujuan untuk mewujudkan terjaminnya ketersediaan pangan bagi
umat manusia.
Persediaan pangan yang cukup secara nasional ternyata tidak menjamin
adanya ketahanan pangan tingkat regional maupun rumah tangga/individu

(Saliem dkk, 2001). Sawit dan Ariani (1997) mengemukakan bahwa


penentu ketahanan pangan di tingkat nasional, regional dan lokal dapat
dilihat dari tingkat produksi, permintaan, persediaan dan perdagangan
pangan. Sementara itu penentu utama di tingkat rumah tangga adalah akses
(fisik dan ekonomi) terhadap pangan, ketersediaan pangan dan resiko
yang terkait dengan akses serta ketersediaan pangan tersebut

2.2 Komponen Ketahanan Pangan


World Health Organization (WHO) mendefinisikan tiga komponen
utama ketahanan pangan, yaitu ketersediaan pangan, akses pangan, dan
pemanfaatan pangan. Ketersediaan pangan adalah kemampuan memiliki
sejumlah pangan yang cukup untuk kebutuhan dasar. Akses pangan adalah
kemampuan memiliki sumber daya, secara ekonomi maupun fisik, untuk
mendapatkan bahan pangan bernutrisi. Pemanfaatan pangan adalah
kemampuan dalam memanfaatkan bahan pangan dengan benar dan tepat
secara proporsional. FAO menambahkan komponen keempat, yaitu kestabilan
dari ketiga komponen tersebut dalam kurun waktu yang panjang (FAO,
2006).
1.

Ketersediaan

Ketersediaan pangan berhubungan dengan suplai pangan melalui


produksi, distribusi, dan pertukaran (Gregory et al, 2005). Produksi
pangan ditentukan oleh berbagai jenis faktor, termasuk kepemilikan
lahan dan penggunaannya; jenis dan manajemen tanah; pemilihan,
pemuliaan,

dan

manajemen

tanaman

pertanian;

pemuliaan

dan

manajemen hewan ternak; dan pemanenan (FAO, 1997). Produksi


tanaman pertanian dapat dipengaruhi oleh perubahan temperatur dan
curah hujan. Pemanfaatan lahan, air, dan energi untuk menumbuhkan
bahan

pangan

seringkali

berkompetisi

dengan

kebutuhan

lain.

Pemanfaatan lahan untuk pertanian dapat berubah menjadi pemukiman


atau hilang akibat desertifikasi, salinisasi, dan erosi tanah karena praktek
pertanian yang tidak lestari (Godfray et al, 2010).
Produksi tanaman pertanian bukanlah suatu kebutuhan yang
mutlak

bagi

suatu

negara

untuk

mencapai

ketahanan

pangan. Jepang dan Singapura menjadi contoh bagaimana sebuah Negara


yang tidak memiliki sumber daya alam untuk memproduksi bahan
pangan namun mampu mencapai ketahanan pangan (Tweeten, 1999)
Distribusi

pangan melibatkan

penyimpanan,

pemprosesan,

transportasi, pengemasan, dan pemasaran bahan pangan. Infrastruktur


rantai pasokan dan teknologi penyimpanan pangan juga dapat
mempengaruhi jumlah bahan pangan yang hilang selama distribusi.
Infrastruktur transportasi yang tidak memadai dapat menyebabkan
peningkatan harga hingga ke pasar global. Produksi pangan per kapita
dunia sudah melebihi konsumsi per kapita, namun di berbagai tempat
masih ditemukan kerawanan pangan karena distribusi bahan pangan telah
menjadi penghalang utama dalam mencapai ketahanan pangan

2.

Akses
Akses terhadap bahan pangan mengacu kepada kemampuan
membeli dan besarnya alokasi bahan pangan, juga faktor selera pada
suatu individu dan rumah tangga (Gregory et al, 2005). PBB menyatakan
bahwa penyebab kelaparan dan malnutrisi seringkali bukan disebabkan
oleh kelangkaan bahan pangan namun ketidakmampuan mengakses
bahan pangan karena kemiskinan (PBB, 1999). Kemiskinan membatasi
akses terhadap bahan pangan dan juga meningkatkan kerentanan suatu
individu atau rumah tangga terhadap peningkatan harga bahan

pangan. Kemampuan akses bergantung pada besarnya pendapatan suatu


rumah tangga untuk membeli bahan pangan, atau kepemilikan lahan
untuk menumbuhkan makanan untuk dirinya sendiri. Rumah tangga
dengan sumber daya yang cukup dapat mengatasi ketidakstabilan panen
dan kelangkaan pangan setempat serta mampu mempertahankan akses
kepada bahan pangan (Tweeten, 1999).

Terdapat dua perbedaan mengenai akses kepada bahan pangan. (1)


Akses langsung, yaitu rumah tangga memproduksi bahan pangan sendiri,
(2) akses ekonomi, yaitu rumah tangga membeli bahan pangan yang
diproduksi di tempat lain (FAO, 1997). Lokasi dapat mempengaruhi
akses kepada bahan pangan dan jenis akses yang digunakan pada rumah
tangga tersebut. Meski demikian, kemampuan akses kepada suatu bahan
pangan tidak selalu menyebabkan seseorang membeli bahan pangan
tersebut karena ada faktor selera dan budaya. Demografi dan tingkat
edukasi suatu anggota rumah tangga juga gender menentukan keinginan
memiih bahan pangan yang diinginkannya sehingga juga mempengaruhi
jenis pangan yang akan dibeli.
3.

Pemanfaatan/Penyerapan Pangan

Ketika bahan pangan sudah didapatkan, maka berbagai faktor


mempengaruhi jumlah dan kualitas pangan yang dijangkau oleh anggota
keluarga. Bahan pangan yang dimakan harus aman dan memenuhi
kebutuhan fisiologis suatu individu (Ecker & Breisenger, 2012).
Keamanan pangan mempengaruhi pemanfaatan pangan dan dapat
dipengaruhi oleh cara penyiapan, pemrosesan, dan kemampuan memasak
di suatu komunitas atau rumah tangga (Gregory, 2005). Akses kepada
fasilitas kesehatan juga mempengaruhi pemanfaatan pangan karena
kesehatan suatu individu mempengaruhi bagaimana suatu makanan
dicerna. Misal keberadaan parasit di dalam usus dapat mengurangi
kemampuan tubuh mendapatkan nutrisi tertentu sehingga mengurangi
kualitas

pemanfaatan

pangan

oleh

individu. Kualitas sanitasi juga

mempengaruhi keberadaan dan persebaran penyakit yang dapat


mempengaruhi pemanfaatan pangan sehingga edukasi mengenai nutrisi
dan penyiapan bahan pangan dapat mempengaruhi kualitas pemanfaatan
pangan (Tweeten, 1999)
4.

Stabilitas
Stabilitas pangan mengacu pada kemampuan suatu individu dalam
mendapatkan bahan pangan sepanjang waktu tertentu. Kerawanan
pangan dapat berlangsung secara transisi, musiman, ataupun kronis
(permanen) (Gregory, 2005). Pada ketahanan pangan transisi, pangan
kemungkinan tidak tersedia pada suatu periode waktu tertentu. Bencana
alam dan kekeringan mampu menyebabkan kegagalan panen dan
mempengaruhi ketersediaan pangan pada tingkat produksi (Ecker &
Breisinger, 2012). Konflik sipil juga dapat mempengaruhi akses kepada
bahan pangan. Ketidakstabilan di pasar menyebabkan peningkatan harga
pangan sehingga juga menyebabkan kerawanan pangan. Faktor lain
misalnya hilangnya tenaga kerja atau produktivitas yang disebabkan oleh
wabah penyakit. Musim tanam mempengaruhi stabilitas secara musiman
karena bahan pangan hanya ada pada musim tertentu saja. Kerawanan
pangan permanen atau kronis bersifat jangka panjang dan persisten.

Indikator kerawanan pangan kronis sebenarnya tercakup ke dalam


3 (tiga) dimensi rawan pangan, yakni ; (1) Masalah Kesehatan, (2)
Masalah Ketersediaan pangan, dan (3) Masalah kemiskinan. Sementara
indikator kerawanan pangan transient, menggambarkan aspek pengaruh
dari lingkungan alam dan iklim meliputi; (a) Persentase daerah yang
tidak berhutan, (b) Persentase Puso, (c) Daerah rawan longsor, dan (d)
Fluktuasi atau penyimpangan curah hujan. Disamping itu, permasalahan
dominan bagi daerah rawan pangan juga menyangkut antara lain, (1)
Aspek ketersediaan pangan, meliputi ; konsumsi normatif perkapita
terhadap ratio ketersediaan bersih (netto) padi, jagung, ubi jalar dan ubi
kayu, (2) Akses terhadap ketersediaan pangan dan mata pencaharian
meliputi ; persentase penduduk yang hidup dibawah garis kemiskinan,
termasuk persentase desa yang tidak memiliki akses jalan penghubung
yang memadai, dan persentase penduduk tanpa akses jaringan listrik, (3)
Aspek kesehatan dan gizi, meliputi ; angka harapan hidup sejak lahir (life
expectancy at birth), berat badan balita dibawah standar, angka kematian
bayi (infant mortality rate) jumlah penduduk tanpa air bersih, persentase
penduduk yang tinggal lebih dari 5 km dari Puskesmas, (4) Masalah
sarana meliputi ; ketiadaan akses jalan, ketersediaan akses listrik,
ketiadaan akses sumber air bersih, dan (5) Masalah pendidikan, terutama
jumlah

penduduk

perempuan

yang

buta

aksara

(lihat:

Pramoedyo,H.,dkk.,2010)
Oleh karena itu berbagai program pembangunan ketahanan pangan
dan gizi pada tingkat Kabupaten/Kota perlu lebih diarahkan untuk
mendukung sekaligus memfasilitasi peningkatan produksi, ketersediaan
pangan, distribusi dan aksesibilitas pangan serta perbaikan tingkat
konsumsi pangan melalui 8 (delapan) upaya sebagai berikut: (1)
pemanfaatan potensi dan keragaman sumber daya lokal secara efisien
melalui pemanfaatan teknologi lokal yang spesifik; (2) pengembangan
sarana dan prasarana yang mendukung produksi pangan;(3) peningkatan
pelayanan,

penyuluhan

dan

pendampingan

ketahanan

pangan

masyarakat; (4) pengembangan perdagangan pangan regional dan antara


daerah ; (5) pengembangan lumbung pangan dan cadangan pangan ; (6)
peningkatan kualitas konsumsi pangan melalui upaya diversifikasi
konsumsi pangan; (7) revitalisasi kewaspadaan pangan dan gizi sebagai
sistem pemantauan secara dini kondisi rawan pangan serta, (8)
memfasilitasi permasalahan lain yang terkait dengan penanganan
kelompok masyarakat rawan pangan (Pramoedyo, H.,2002)

2.3 Tantangan Untuk Mencapai Ketahanan Pangan


1. Degradasi lahan
Pertanian intensif mendorong terjadinya penurunan kesuburan tanah dan
penurunan hasil. Diperkirakan 40% dari lahan pertanian di dunia
terdegradasi secara serius. Di Afrika, jika kecenderungan degradasi tanah
terus terjadi, maka benua itu hanya mampu memberi makan seperempat
penduduknya saja di tahun 2025 (Anonim, 2011)
2. Hama dan penyakit
Hama dan penyakit mampu mempengaruhi produksi budi daya
tanaman dan peternakan sehingga memiliki dampak bagi ketersediaan
bahan pangan. Contoh penyakit tanamanUg99, salah satu tipe
penyakit karat batang pada gandum dapat menyebabkan kehilangan hasil
pertanian hingga 100%. Penyakit ini telah ada di berbagai negara di
Afrika dan Timur Tengah. Terganggunya produksi pangan di wilayah ini
diperkirakan mampu mempengaruhi ketahanan pangan global.
3. Krisis air global
Berbagai negara di dunia telah melakukan importasi gandum yang
disebabkan oleh terjadinya defisit air, dan kemungkinan akan terjadi pada
negara besar seperti China dan India. Tinggi muka air tanah terus
menurun di beberapa negara dikarenakan pemompaan yang berlebihan.
China dan India telah mengalaminya, dan negara tetangga mereka
(Pakistan, Afghanistan, dan Iran) telah terpengaruh hal tersebut. Hal ini
akan memicukelangkaan air dan menurunkan produksi tanaman pangan

Ketika produksi tanaman pangan menurun, harga akan meningkat karena


populasi terus bertambah. Pakistan saat ini masih mampu memenuhi
kebutuhan pangan di dalam negerinya, namun dengan peningkatan
populasi 4 juta jiwa per tahun, Pakistan kemungkinan akan melirik pasar
dunia dalam memenuhi kebutuhan pangannya, sama seperti negara
lainnya yang telah mengalami defisit air seperti Afghanistan, Ajlazair,
Mesir, Iran, Meksiko, dan Pakistan (Anonim, 2002)
Investasi jutaan dolar yang dimulai pada tahun 1990an oleh Bank
Dunia telah mereklamasi padang pasir dan mengubah lembah Icayang
kering di Peru menjadi pensuplai asparagus dunia. Namun tinggi muka
air tanah terus menurun karena digunakan sebagai irigasi secara terus
menerus. Sebuah laporan di tahun 2010 menyimpulkan bahwa industri
ini tidak bersifat lestari. Mengubah arah aliran airsungai Ica ke lahan
asparagus juga telah menyebabkan kelangkaan air bagi masyarakat
pribumi yang hidup sebagai penggembala hewan ternak
4. Perebutan lahan
Kepemilikan lahan lintas batas negara semakin meningkat.
Perusahaan Korea Utara Daewoo Logistics telah mengamankan satu
bidang lahan yang luas di Madagascar untuk mebudidayakan jagung dan
tanaman

pertanian

lainnya

untuk

produksi biofuel.

Libya

telah

mengamankan 250 ribu hektar lahan di Ukraina dan sebagai gantinya


Ukraina mendapatkan akses ke sumber gas alam di Libya. China telah
memulai eksplorasi lahan di sejumlah tempat di Asia Tenggara. Negara
di semenanjung Arab telah mencari lahan di Sudan, Ethiopia, Ukraina,
Kazakhstan, Pakistan, Kamboja, dan Thailand. Qatar berencana
menyewa lahan di sepanjang panyai di Kenya untuk menumbuhkan
sayuran dan buah, dan sebagai gantinya akan membangun pelabuhan
besar dekat Lamu, pulau di samudra Hindia yang menjadi tujuan wisata.
5. Perubahan iklim
Fenomena

cuaca

seperti kekeringan dan banjir diperkirakan

yang
akan

ekstrim
meningkat

karena

perubahan iklim terjadi. Kejadian ini akan memiliki dampak di sektor


pertanian. Diperkirakan pada tahun 2040, hampir seluruh kawasan sungai
Nil akan menjadi padang pasir di mana aktivitas budi daya tidak
dimungkinkan karena keterbatasan air. Dampak dari cuaca ekstrem
mencakup perubahan produktivitas, gaya hidup, pendapatan ekonomi,
infrastruktur, dan pasar. Ketahanan pangan di masa depan akan terkait
dengan kemampuan adaptasi budi daya bercocok tanam masyarakat
terhadap

perubahan

iklim.

Di Honduras,

perempuan

Garifuna

membantuk meningkatkan ketahanan pangan lokal dengan menanam


tanaman umbi tradisional sambil membangun metode konservasi tanah,
melakukan pelatihan pertanian organik dan menciptakan pasar petani
Garifuna. Enam belas kota telah bekerja sama membangun bank
benih dan peralatan pertanian. Upaya untuk membudidayakan spesies
pohon buah liar di sepanjang pantai membantu mencegah erositanah.
Semua dampak dari perubahan iklim ini berpotensi mengurangi
hasil pertanian dan peningkatan harga pangan akan terjadi. Diperkirakan
setiap peningkatan 2.5% harga pangan, jumlah manusia yang kelaparan
akan meningkat 1%. Berubahnya periode dan musim tanam akan terjadi
secara drastis dikarenakan perubahan temperatur dan kelembaban tanah.

2.4 Sistem Ketahanan Pangan Di Indonesia


Sistem ketahanan pangan di Indonesia secara komprehensif meliputi
empat sub-sistem, yaitu:
1.

Ketersediaan pangan dalam jumlah dan jenis yang cukup untuk


seluruh penduduk,

2.

Distribusi pangan yang lancar dan merata,

3.

Konsumsi pangan setiap individu yang memenuhi kecukupan gizi


seimbang, yang berdampak pada;

4.

Status gizi masyarakat .


Dengan demikian, sistem ketahanan pangan dan gizi tidak hanya

menyangkut soal produksi, distribusi, dan penyediaan pangan ditingkat

makro (nasional dan regional), tetapi juga menyangkut aspek mikro,


yaitu akses pangan di tingkat rumah tangga dan individu serta status
gizi anggota rumah tangga, terutama anak dan ibu hamil dari rumah tangga
miskin. Meskipun secara konseptual pengertian ketahanan pangan meliputi
aspek mikro, namun dalam pelaksanaan sehari-hari masih sering ditekankan
pada aspek makro yaitu ketersediaan pangan. Agar aspek mikro tidak
terabaikan, maka dalam dokumen ini digunakan istilah ketahanan pangan dan
gizi.

Gambar 4. Sistem Ketahanan Pangan di Indonesia

Konsep ketahanan pangan yang sempit meninjau sistem ketahanan


pangan dari aspek masukan yaitu produksi dan penyediaan pangan.Seperti

banyak diketahui, baik secara

nasional

maupun

global,

ketersediaan

pangan yang melimpah melebihi kebutuhan pangan penduduk tidak


menjamin bahwa seluruh penduduk terbebas dari kelaparan dan gizi
kurang. Konsep ketahanan pangan yang luas bertolak pada tujuan akhir dari
ketahanan pangan yaitu tingkat kesejahteraan manusia. Oleh karena itu,
sasaran

pertama

Millenium

tercapainya produksi atau

Development

penyediaan

Goals(MGDs)

pangan,

tetapi

bukanlah

menurunkan

kemiskinan dan kelaparan sebagai indikator kesejahteraan masyarakat.


MDGs menggunakan pendekatan dampak bukan masukan.
United Nation Development Programme (UNDP) sebagai lembaga
PBB yang berkompeten memantau pelaksanaan MDGs telah menetapkan dua
ukuran kelaparan, yaitu jumlah konsumsi energi (kalori) rata-rata anggota
rumah tangga di bawah kebutuhan hidup sehat dan proporsi anak balita
yang menderita gizi kurang. Ukuran tersebut menunjukkan bahwa MDGs
lebih menekankan dampak daripada masukan. Oleh karena itu, analisis
situasi ketahanan pangan harus dimulai dari evaluasi status gizi masyarakat
diikuti dengan tingkat konsumsi, persediaan dan produksi pangan; bukan
sebaliknya.
Status gizi masyarakat yang baik ditunjukkan oleh keadaan tidak
adanya masyarakat yang menderita kelaparan dan gizi kurang. Keadaan
ini secara tidak langsung menggambarkan akses pangan dan pelayanan
sosial yang merata dan cukup baik. Sebaliknya, produksi dan persediaan
pangan yang melebihi kebutuhannya, tidak menjamin masyarakat terbebas
dari kelaparan dan gizi kurang. Tujuan dari ketahanan pangan
diorentasikan

untuk

peningkatan kualitas

pencapaian pemenuhan

sumberdaya manusia,

dan

hak

atas

harus
pangan,

ketahanan pangan

nasional. Berjalannya sistem ketahanan pangan tersebut sangat tergantung


pada dari adanya kebijakan dan kinerja sektor ekonomi, sosial dan politik.
Kebijakan pemerintah

dalam aspek ekonomi, sosial maupun politik

sangat berpengaruh terhadap ketahanan pangan.

2.5 Konsep Kerawanan Pangan


Kerawanan pangan dapat diartikan sebagai kondisi suatu daerah,
masyarakat atau rumah tangga yang tingkat ketersediaan dan keamanan
pangannya tidak cukup untuk memenuhi standar kebutuhan fisiologis bagi
pertumbuhan dan kesehatan sebagian besar masyarakat (Anonim, 2001).
Keadaan rawan pangan dapat dilihat dari kondisi daerah/wilayah atau rumah
tangga yang terganggu ketersediaan pangannya, dan kondisi lain pada
masyarakat atau keluarga yang terganggu kemampuan aksesnya terhadap
pangan tersebut (Pramoedyo,H.,dkk,2010)
Disamping itu, kerawanan pangan juga dapat dilihat dari sisi produksi,
konsumsi dan distribusi. Aspek produksi rawan pangan adalah suatu kondisi
dimana kemampuan produksi pangan masyarakat, tidak seimbang dengan
upaya pemenuhan kebutuhan akan pangan di daerah itu. Dalam hal ini aspek
produksi hanya dilihat dari sisi kemampuan produksinya saja, bukan dari sisi
ketersediaan, karena faktor ketersediaan ini bisa dipenuhi oleh adanya
pasokan antar wilayah. Aspek konsumsi berkait dengan ketidakmampuan
sebagian masyarakat untuk membeli pangan karena daya beli masyarakat
sangat rendah (akibat kemiskinan). Aspek distribusi ini menyangkut ketidak
seimbangan supply dalam memenuhi demand masyarakat, sehingga terjadi
kelangkaan pangan pada suatu tempat, waktu, jumlah dan harga yang
memadai. Bahan pangan dalam konteks ini tidak hanya berarti beras sebagai
sumber pangan utama bagi konsumen, tetapi dapat meliputi berbagai sumber
pangan, sebagai hasil diversifikasi pangan sesuai dengan kebiasaan/ budaya
masyarakat setempat.
Peristiwa adanya kerawanan pangan ini dapat bersifat kronis (cronical)
maupun sementara dan mendadak (transient). Kronis adalah keadaan
kekurangan pangan yang berkelanjutan yang terjadi sepanjang waktu yang
dapat disebabkan oleh keterbatasan sumber daya alam (SDA) dan
keterbatasan

kemampuan

sumber

daya

manusia

(SDM),

sehingga

menyebabkan kondisi masyarakat menjadi miskin. Kerawanan pangan yang


bersifat sementara akibat kejadian yang mendadak (transient) disebabkan oleh

kondisi yang tidak terduga, seperti bencana alam,banjir, tanah longsong,


kerusuhan, musim yang menyimpang, konflik sosial, dan sebagainya (lihat
juga; Pramoedyo,H.,dkk.,2010) Keadaan kerawanan pangan baik yang
bersifat kronis maupun transien harus dapat dideteksi sedini mungkin dan
segera dapat diketahui penyebab terjadinya kerawanan pangan, sehingga
dapat diantisipasi langkah-langkah kegiatan pemberdayaan di daerah yang
terindikasi mengalami rawan pangan.

Pengukuran Konsep Rawan Pangan


Agar penangganan masalah kerawanan pangan di daerah dapat lebih terfokus,
perlu adanya indikator dan peta kerawanan pangan sebagai alat (tool)
pemantauan dan analisis rawan pangan, dalam memberi informasi kepada
pihak pengambil kebijakan di daerah, agar mampu menyusun perencanaan
yang lebih baik dan tepat sasaran, efektif, dan efisien dalam mengatasi
permasalahan kerawanan pangan baik yang sifatnya transient maupun kronis
(Pramoedyo,H.,dkk.,2010). Analisis komponen utama (principal component
analysis) dalam pemetaan kerawanan pangan secara nasional menggunakan
10 indikator yang dianggap berpengaruh sangat besar terhadap terjadinya
kerawanan pangan (memiliki pengaruh yang signifikan). Kesepuluh indikator
yang tercakup di dalam 3 aspek/ dimensi ketahanan pangan tersebut adalah :
1.

Dimensi Ketersediaan pangan (Food Availability)

Kebutuhan konsumsi normatif terhadap ketersediaan serealia


(Consumtion to Net Cereal Avaibility Ratio);

2.

Indikator akses terhadap pangan (Food Access)

Persentase penduduk yang hidup dibawah garis kemiskinan


(Population Below Poverty Line);

Persentase keluarga yang tidak dapat mengakses listrik (Access to


Electricity);

Persentase infrastruktur jalan yang bisa dilalui oleh kendaraan roda


empat (Villages with connectivity);

3.

Indikator penyerapan pangan (Utilization)

Angka kematian bayi waktu lahir (Infant Mortality Rate)

Umur harapan hidup anak usia 1 tahun (life expectancy)

Persentase anak yang kurang gizi (Childern under weight)

Persentase Penduduk yang dapat mengakses air bersih (Access to


safe drinking water)

Persentase penduduk yang tinggal >5 km dari puskesmas (Access to


Puskesmas);

Persentase wanita yang buta huruf (Female Illiteracy)

Berdasarkan indikator indikator kerawanan pangan maka dapat disajikan


dalam peta kerawanan pangan. Peta Kerawanan Pangan Indonesia (nasional
per kabupaten) merupakan peta tematik yang menunjukan adanya kerawanan
pangan di suatu daerah yang diindikasikan oleh 10 indikator dan
dikelompokkan ke dalam 3 dimensi ketahanan pangan yaitu: Dimensi
ketersediaan pangan (Food available) dimensi akses (Food Access), dan
penyerapan pangan (Food Consumtion, Health, and Nutrition) Ketiga dimensi
tersebut memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap terjadinya kerawanan
pangan yang bersifat kronis (cronic food insecurity) yang memerlukan
penanganan jangka panjang (Pramoedyo,H.,dkk.,2010)
Sedangkan untuk kerawanan pangan yang bersifat transient (transient food
security) terjadi akibat adanya bencana alam, yaitu pada daerah yang rentan
terhadap bencana alam dan memerlukan penanganan jangka pendek.
Kerentanan pangan (Food Vulneralbility) yang berakibat terjadinya
kerawanan pangan dan antara lain dipengaruhi oleh persentase area tak
berhutan, persentase area yang terkena puso, persentase wilayah yang rawan
terhadap banjir dan tanah longsor, serta fluktuasi curah hujan.

2.6 Penanganan Kerawanan Pangan Wilayah


Saat ini telah ada program Sistem Kewaspaaan Pangan dan Gizi
(SKPG) yang dirumuskan tiap tahunnya untuk meningkatkan kewaspadaan
dan pemantauan untuk mencegah terjadinya kerawanan pangan di tingkat

regional/daerah.SKPG

merupakan

serangkaian

proses

untuk

mengantisipasi kejadian rawan pangan dan gizi melalui pengumpulan,


pemrosesan, penyimpanan, analisis, dan penyebaran informasi situasi pangan
dan gizi. Penerapan SKPG sampai saat ini masih perlu sebagaimana
dinyatakan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang
Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah
Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten dan Kota, dimana sebagian
aspek-aspek

penanganan kerawanan pangan merupakan urusan daerah.

Kegiatan SKPG terdiri dari analisis data situasi pangan dan gizi bulanan dan
tahunan serta penyebaran informasi. Data bulanan dan tahunan tersebut
menginformasikan tentang 3 (tiga) aspek utama yaitu ketersediaan, akses,
dan pemanfaatan pangan yang menjadi dasar untuk menganalisis situasi
pangan dan gizi di suatu daerah. Hasil SKPG ini digunakan sebagai dasar
pelaksanaan

investigasi

untuk menentukan tingkat kedalaman kejadian

kerawanan pangan dan gizi di lapangan serta intervensi dalam rangka


mewujudkan ketahanan pangan masyarakat. Dalam melaksanakan SKPG,
pemerintah,

pemerintah

provinsi,

dan pemerintah kabupaten/kota

membentuk Kelompok Kerja (Pokja) Pangan dan Gizi yang berada di bawah
koordinasi Dewan Ketahanan Pangan.

Hasil analisis SKPG oleh

Pokja

Pangan dan Gizi Provinsi dan Kabupaten/Kota dilaporkan kepada


pimpinan daerah masing-masing untuk penentuan langkah-langkah intervensi
dan untuk perumusan kebijakan program pada tahun berikutnya. Hal ini
dipertegas juga oleh Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2007 tentang
Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (LPPD) kepada pemerintah
bahwa kepala daerah wajib melaporkan situasi ketahanan pangan di
daerah sebagai bagian dari LPPD. Selanjutnya diperkuat dengan Peraturan
Menteri Pertanian Nomor 65/Permentan/OT.140/12/2010 tentang Sistem
Pelayanan Minimal (SPM) bidang ketahanan pangan di provinsi dan
kabupaten/kota bahwa target capaian penanganan daerah rawan pangan
sampai pada tahun 2015 sebesar 60 persen.Penanganan kerawanan pangan
sebelum, pada saat, maupun sesudah terjadinya kejadian perlu dilakukan

penanganan secara cepat dan tepat. Penanganan yang terlambat, akan


dapat memicu terjadinya kerawanan pangan yang berkepanjangan dan
dalam periode yang lama akan menjadi kerawanan pangan kronis.
Selain SKPG, terdapat pula Rencana strategis (Renstra) Badan
Ketahanan Pangan. Strategi
melaksanakan
diarahkan

Badan

Ketahanan

pembangunan ketahanan

untuk

mencapai

tujuan

Pangan

dalam

pangan

tahun

2010-2014

dan sasaran

dalam

pemantapan

ketahanan pangan masyarakat dengan mengacu Revisi Rencana Strategis


Badan Ketahanan Pangan Tahun 2010 2014

pada

peningkatan

diversifikasi pangan (salah satu target utama pembangunan pertanian)


dan Lima Prinsip Roma (Five Rome Principles for Sustainable Global
Food Security) yang dihasilkan melalui KTT Pangan tahun 2009, yaitu:
(1) Memberikan dukungan dan bantuan internasional kepada negara
berkembang untuk menerapkan program-program nasional yang bertujuan
untuk membangunan sektor pertanian dan mencapai ketahanan pangan;
(2) Meningkatkan koordinasi dan kerjasama di tingkat nasional, regional
dan internasional dengan seluruh pemangku kepentingan terkait dengan
sektor

pertanian

dan

ketahanan

pangan;

(3)

Menerapkan

strategi

comprehensive twin-track approach untuk ketahanan pangan dengan: (a)


segera mengambil langkah-langkah jangka pendek untuk membantu
kelompok rentan, dan (b) menerapkan kebijakan jangka menengah dan
panjang untuk mencapai pembangunan berkelanjutan di sektor pertanian,
mencapai ketahanan pangan, dan mengatasi akar permasalahan dari
masalah kelaparan dan kemiskinan; (4) Sepakat untuk meningkatkan
effiensi,

koordinasi,

dan effektivitas badan-badan multilateral yang

menangani pertanian dan ketahanan pangan; (5) Meningkatkan investasi dan


pendanaan untuk sektor pertanian dan ketahanan pangan, termasuk dengan
menempatkan sektor pertanian sebagai prioritas dalam anggaran belanja
negara.

Memperhatikan target peningkatan diversifikasi pangan dan Lima


Prinsip KTT Pangan Roma tahun 2009 tersebut di atas, maka strategi
yang akan ditempuh Badan Ketahanan Pangan 2010-2014 yaitu :
1.

Melaksanakan

koordinasi

secara

sinergis

dalam

penyusunan

kebijakan ketersediaan, distribusi, konsumsi pangan, dan keamanan


pangan segar;
2.

Mendorong
pangan,

pengembangan

cadangan

pangan,

sistem

distribusi

penganekaragaman konsumsi dan pengawasan keamanan

pangan segar;
3.

Mendorong peranserta swasta, masyarakat umum, dan kelembagaan


masyarakat lainnya dalam ketersediaan, distribusi, konsumsi, dan
pengawasan keamanan pangan segar;

4. Menyelenggarakan program aksi pemberdayaan masyarakat dalam


memecahkan permasalahan ketahanan pangan masyarakat;
5. Medorong sinkronisasi pembiayaan program aksi antara APBN,
APBD dan dana masyarakat;
6. Memecahkan

permasalahan

strategis

ketahanan

pangan

melalui

koordinasi Dewan Ketahanan Pangan.


Strategi Badan Ketahanan Pangan tahun 2010-2014 tersebut,
diimplementasikan

melalui:

penanganan kerawanan
distribusi,

dan

stabilisasi harga

(a)

pemantapan

akses

pangan;

dan

cadangan

ketersediaan
(b)

pangan,

pemantapan

pangan;

(c)

sistem

percepatan

penganekaragaman konsumsi pangan beragam, bergizi seimbang dan


aman; (d) penajaman keamanan pangan segar; dan (e) penguatan
kelembagaan

dan

manajemen

ketahanan pangan pemerintah dan

masyarakat.
Langkah

operasional

yang

ditempuh

dalam

mengakomodasi

strategi diatas adalah sebagai berikut :


1. Pemantapan ketersediaan pangan, penanganan kerawanan pangan dan
akses pangan, melalui :

a. Mendorong kemandirian pangan melalui swasembada pangan


untuk komoditas strategis (beras, jagung, kedelai, gula dan daging
sapi);
b. Meningkatkan keragaman produksi pangan berdasarkan potensi
sumberdaya lokal/wilayah;
c. Revitalisasi Sistem Kewaspadaan Pangan Gizi (SKPG);
d. Memberdayakan masyarakat di daerah rawan pangan;
e. Meningkatkan akses pangan di tingkat wilayah dan rumahtangga.
2. Pemantapan distribusi, stabilisasi harga dan cadangan pangan, melalui :
a. Mendorong pembentukan cadangan pangan pokok pemerintah
daerah (Provinsi, kabupaten/kota, desa) dan cadangan pangan
masyarakat;
b. Mengembangkan

Penguatan

Lembaga

Distribusi

Pangan

Masyarakat (Penguatan LDPM) di daerah sentra produksi padi dan


jagung;
c. Memantau stabilisasi pasokan dan harga komoditas pangan, serta
daya beli masyarakat.
3. Percepatan penganekaragaman konsumsi pangan beragam, bergizi
seimbang dan aman, melalui :
a. Sosialisasi, promosi dan edukasi budaya pangan beragam, bergizi
seimbang dan aman;
b. Optimalisasi pemanfaatan lahan pekarangan;
c. Menumbuhkan dan mengembangkan industri pangan berbasis
tepung-tepungan berbahan baku lokal (non beras, non terigu);
d. Melakukan kemitraan dengan Perguruan Tinggi, Asosiasi, dan
Lembaga Swadaya Masyarakat;
e. Pengawasan keamanan pangan segar.
4. Penguatan kelembagaan dan manajemen ketahanan pangan, dilakukan
melalui :
a. Koordinasi program pembangunan ketahanan pangan lintas sektor;
b. Peningkatan motivasi dan partisipasi masyarakat;

c. Koordinasi

evaluasi

dan

pengendalian

pencapaian

kondisi

ketahanan pangan;
d. Peningkatan pelayanan perkantoran dan perlengkapan terhadap
program diversifikasi dan ketahanan pangan masyarakat
e. Pengembangan pemberdayaan masyarakat ketahanan pangan;
f. Efektivitas peran dan fungsi Dewan Ketahanan Pangan.

2.7 Studi Kasus :


Pendahuluan
Ketahanan pangan merupakan hal yang penting dan strategis.
Berdasarkan pengalaman di banyak negara, menunjukkan bahwa tidak ada
satu negara pun yang dapat melaksanakan pembangunan secara mantap
sebelum mampu mewujudkan ketahanan pangan terlebih dahulu. Belum
tercapainya kecukupan pangan di tingkat individu dapat menimbulkan
kerawanan pangan. Kerawanan pangan dapat disebabkan ketidakmampuan
dalam memperoleh pangan yang cukup, yang terjadi karena ketidakstabilan
harga, ketidakstabilan pendapatan rumah tangga, serta ketidakstabilan
produksi pangan di wilayah tertentu.
Memantapkan ketahanan pangan masyarakat merupakan prioritas
utama dalam pembangunan karena pangan merupakan kebutuhan yang paling
dasar bagi sumber daya manusia suatu bangsa. Dalam era otonomi daerah,
masyarakat perlu dilibatkan agar dapat menumbuhkembangkan dan sekaligus
memelihara tradisi, baik secara individu maupun secara kelompok, untuk
mencadangkan pangannya. Upaya tersebut antara lain dilakukan dengan jalan
sosialisasi yang bersifat memberikan suatu pemahaman agar terbentuk suatu
persepsi tertentu, misalnya, pemahaman bahwa mengandalkan sepenuhnya
pemenuhan pangan pokok lewat pasar bebas adalah riskan, karena masalah
pangan bisa muncul kapan saja. Dapat pula dengan upaya melakukan
program aksi pemberdayaan yang bersifat sebagai stimulan seperti program
revitalisasi lumbung pangan masyarakat.

Kerawanan pangan dan kemiskinan hingga kini masih menjadi


masalah utama di Indonesia. Kerawanan pangan mempunyai korelasi positif
dan erat kaitannya dengan kemiskinan. Meskipun jumlah penduduk miskin
telah menurun dibanding sebelum krisis ekonomi tahun 1998, berdasarkan
data BPS Tahun 2007, jumlah penduduk miskin di Indonesia mencapai 37,17
juta (16,58%), Sedangkan jumlah penduduk miskin diakibatkan oleh
kerentanan rawan pangan tahun 2007 sebesar 31,81 juta jiwa (14,19%).
Berdasarkan data tersebut maka fokus pembangunan pada saat ini
masih diarahkan pada penanganan masalah kerawanan pangan dan
kemiskinan yang berada di pedesaan/perkotaan dengan jalan meningkatkan
ketahanan pangan.
Contoh Kasus
1. Urgensi Lumbung Pangan Di Jawa
(Khudori, Republika. Sabtu, 29 Juli 2006)
Memasuki musim kemarau, biasanya bulan Juni atau Juli, sejumlah
daerah sentra produksi pertanian di Jawa mengalami kekeringan. Petani
yang menanam padi pada musim tanam gadu (musim ke dua) mulai ketarketir. Hal ini disebabkan karena tanaman padi memerlukan air yang
banyak (diperlukan 1.900 liter hingga 5.000 liter air untuk produksi satu
kilogram padi). Pasokan air yang kurang selama fase vegetatif akan
membuat pertumbuhan padi terganggu yang pada gilirannya akan
memperburuk hasil panen. Untuk menghindari risiko itu, petani bisa sertamerta diminta mengganti tanaman padi dengan tanaman palawija yang
tidak memerlukan banyak air. Jenis tanaman itu mudah rusak, harganya
fluktuatif, dan relatif tak ada jaminan. Berbeda dengan padi. Pada
gilirannya, kekeringan akan menurunkan hasil panen, bahkan membuat
panen puso, dan akan mengancam target produksi padi nasional tahun
2006 yang dicanangkan pemerintah: 54,75 juta ton.

2. LANGSA- Sedikitnya 5000 hektar lahan sawah milik warga di


Kecamatan Langsa Timur mengalami kekeringan. Akibatnya panen
padi warga untuk tahun ini di kecamatan tersebut mengalamai gagal
panen.

KEKERINGAN- Para petani di Desa Alur Merbau sedang memperlihatkan


hasil panen mereka yang gagal akibat sawahnya kekeringan, Senin (30/3).
Foto:

Bahtiar

Husin/Metro

Aceh.

Sumber:

www.jpnn.com/index.php%3Fmib%3Db...%
Adapun 5000 areal sawah tersebut berada di Desa Alue Merbau,
Desa Bukit Metuah, Desa Senebok Antara, Desa Alur Pinang dan Desa
Matang Cengai. Menurut petani Desa Alue Merbau, kekeringan itu terjadi
akibat cuaca panas beberapa pekan terakhir ini. Selain itu juga kerena tidak
berfungsinya saluran irigasi yang berada di desa tersebut, Sudah tiga bulan
lahan pertanian tidak diairi, karena tanggul saluran irigasi yang berada di
lokasi yang biasanya mengaliri air ke lahan sawah telah jebol.
Ancaman Keringnya sawah diawali saat terjadinya jebolnya
tanggul saluran irigasi yang selama ini mengairi sawah. Sejak saat itu air
tidak lagi dapat mengalir ke sawah, sehingga lahan tanaman padi
mengalami kekeringan dan hasil panen menurun drastis.
Biasanya dengan luas lahan yang ada, dapat dihasilkan padi hingga
2,8 ton, namun panen kali ini hasilnya hanya 1 ton saja karena padi banyak
yang mati dan hampa. Akibat gagal panen itu sebagian petani mulai patah

semangat dan enggan untuk menanam padi lagi di lahan tersebut. Areal
persawahan mulai ditinggalkan, karena modal yang dikeluarkan dengan
hasil tidak berimbang (usaha taninya merugi).
Dari sudut pandang perspektif pertanian, kekeringan jauh lebih
berbahaya daripada banjir, terutama karena periode waktunya. Banjir
sampai batas tertentu, masih dapat dikendalikan dan kejadiannya
berlangsung dalam waktu pendek, apalagi jika drainase baik. Di pihak lain,
kekeringan membuat kebutuhan air tanaman dan makhluk hidup lain
menjadi sangat terbatas, itu pun periodenya sangat panjang. Kekeringan
bisa mengancam daerah mana saja, sehingga berdampak lebih luas dan
lama. Oleh karena itu, mengurangi dampak tekanan dari kekeringan jadi
penting. Secara historis, Indonesia telah berulangkali mengalami peristiwa
kekeringan yang serius. Sayangnya, berbagai peristiwa tersebut kurang
terdokumentasikan dengan baik. Salah satu kasus kekeringan yang
mengesankan terjadi pada awal 1970-an yang menimpa daerah-daerah
gudang beras penting di Indonesia, seperti Kabupaten Karawang, Jabar.
Akibatnya insiden kelaparan meluas di tengah masyarakat, terutama
menimpa mereka yang vulnerable dan berpendapatan rendah.

3. Puluhan Hektar Sawah Kekeringan (Kampung Kaceot, Desa


Tunggakjati, Kecamatan Karawang Barat)
Puluhan kektar lahan sawah di Kampung Kaceot, Desa
Tunggakjati, Kecamatan Karawang Barat, mengalami keterlambatan suplai
air. Akibatnya, selain kekeringan juga penggarapan lahan menggunakan
alat traktor sulit dilakukan. Padahal, sistem penggunaan traktor memiliki
batas waktu tertentu. Para petani menderita kerugian waktu dan terancam
lambat panen. Seharusnya mereka sudah mulai tanam benih / bibit padi
satu bulan yang lalu. Namun, kini belum dapat dilakukan karena tanah
sawah belum diolah.
Berdasarkan pemantauan, kondisi air di saluran irigasi induk dan
sekunder mengalir cukup lancar. Keterlambatan suplai air ke lahan sawah

diakibatkan oleh adanya kerusakan tanggul saluran irigasi. Sehingga air di


saluran irigasi sekunder terbuang dan akibatnya jumlah pasokan air ke
saluran tersier yang menuju ke lahan sawah tidak mencukupi.

BUTUH AIR: Petani di Kampung Kaceot, Desa Tunggakjati,


Kecamatan Karawang Barat, terpaksa memacul lahan kering karena
keterlambatan

suplai

air.

Sumber:

radarkarawang.blogspot.com/2009_...ive.html

Akibat kerusakan tanggul tersebut, air irigasi tidak dapat memasuki


saluran tersier sesuai dengan kebutuhan untuk mengairi puluhan hektar
sawah. Oleh karena itu, selain lambat tanam dipastikan musim penenan
berikutnya dikhawatirkan juga terhambat. Padahal, hasil panen yang akan
datang merupakan andalan pencaharian setelah hasil panenan kemarin
habis untuk modal usahatani. Secara terpisah, penyedia jasa traktor
menyesalkan keterlambatan suplai air untuk puluhan hektare sawah di
daerah kerjanya. Sehingga pengolahan tanah belum dapat dilakukan sesuai
dengan jadwal sewa kerja traktor yang seharusnya sudah selesai dilakukan.
Hal seperti ini sangat berpengaruh besar petani dan usahataninya.
Berbagai dampak merugikan akibat kekeringan itu menyadarkan kita bila
negara ini belum memiliki sistem ketahanan pangan (food security) yang
bisa diandalkan. Kelaparan terjadi selain karena kemiskinan juga karena
masyarakat tidak memiliki sistem penyangga ketersediaan pangan untuk

menghadapi berbagai situasi sulit. Bulog, lumbung pangan modern sebagai


ujung tombak ketahanan pangan, sering tidak berdaya meskipun sudah
banyak sumberdaya, dana, waktu, dan fasilitas dicurahkan untuk
membentuk cadangan pangan nasional.
Pada situasi dimana kebijakan publik tidak dapat diandalkan, maka
masyarakat harus melibatkan diri secara aktif dalam pembentukan
cadangan pangan. Dengan segala keterbatasan yang ada, masyarakat harus
mampu membangun tatanan kelembagaan cadangan pangan untuk
mengamankan diri sendiri, keluarga, dan komunitasnya dari kekurangan
pangan kronis. Dalam konteks demikian, gagasan untuk menghidupkan
kembali lumbung desa sebagai institusi ketahanan pangan tradisional yang
telah dikelola masyarakat desa secara turun-temurun menjadi amat
relevan.

4. Sawah Kering, Puso Terbayang


(INILAH.COM, Bandar Lampung)
Lampung merupakan salah satu lumbung pangan nasional. Tetapi
seringkali daerah ini terancam oleh bahaya kekeringan. Meluasnya
kekeringan akibat kemarau dapat menyebabkan 1.754 hektare sawah
terancam puso atau gagal panen.
Fenomena

kekeringan

di

Lampung

dapat

mengakibatkan

menurunnya produksi padi, hasil panen petani dapat berkurang sekitar


3.000 ton. Jika tidak segera dapat diatasi, kondisi kekeringan jelas
merisaukan. Bukan hanya bagi petani dan penduduk setempat, tetapi juga
dalam skala nasional.
Data di Dinas Pertanian dan Tanaman Pangan Provinsi Lampung
menunjukkan, hingga 15 Juli 2008 bencana kekeringan tertinggi terjadi di
Kabupaten Lampung Tengah. Di kabupaten ini, 1.213 hektare sawah puso.
Di Lampung Selatan, 423 hektare juga dilanda kekeringan. Kekeringan
terendah terjadi di Lampung Utara. Areal persawahan yang kering tercatat
hanya 1 hektare.

Dari 1.754 hektare sawah yang kekeringan, 1.093

hektare di antaranya masuk kategori ringan, 459 hektare kategori sedang,


dan 202 hektare kategori parah.
Sebenarnya lahan yang ditimpa kekeringan hanya 0,5% dari total
lahan pertanian di di wilayah Lampung. Tetapi hal seperti ini harus segera
diatasi. Sawah yang kekeringan dengan kategori ringan akan kehilangan
produksi padi 20%, kategori sedang 50%, dan kategori parah 75%. Dalam
kondisi normal, setiap hektare sawah mampu menghasilkan padi 4,5-6 ton
Untuk membantu mengatasi masalah kekeringan ini, Dinas
Pertanian dan Tanaman Pangan membantu petani dengan memberikan
benih padi.

Saat kemarau seperti ini, tidak efektif membantu petani

dengan pengadaan sumur bor untuk mengairi sawahnya. Sebab, air sumur
bor pun kering di saat musim kemarau. Oleh karena itu bantuan bagi
petani berupa benih padi untuk musim tanam berikutnya.

Sumber: www.inilah.com/berita_print.php%...%3D40695
Jika bencana kekeringan terus meluas, pasti bakal ikut memicu
lonjakan harga pangan nasional. Harga beras sebagai bahan pangan pokok
orang Indonesia bisa merambat naik. Problem lain di luar kekeringan
adalah lahan pertanian tanaman pangan dari hari ke hari semakin
berkurang sebagai akibat darui berbagaui bentuk konversi lahan pertanian.
Sebagian petani akan mengubah pola pengelolaan lahannya mengarah
kepada tanaman non-pangan, misalnya aneka tanaman perkebunan yang
lebih tahan kekeringan.

5. Masalah Rawan Pangan Di Kabupaten Tuban Sebagai Prioritas


Kedua Daerah Rawan Pangan Di Provinsi Jawa Timur 2012
Terjadinya kasus rawan pangan dan gizi buruk di beberapa daerah di
Indonesia menunjukkan, bahwa masalah ketahanan pangan bukanlah
masalah yang sederhana,atau dapat disederhanakan dan oleh karenanya
dapat diatasi dalam program sesaat. Masalah ketahanan pangan merupakan
masalah yang rumit, karena tidak hanya menyangkut persoalan produksi
dan distribusi hasil pertanian dan ekonomi semata, tetapi jauh lebih
kompleks dari itu. Secara teoritis, krisis pangan nasional yang terjadi
dewasa ini, bersumber dari tiga hal pokok. Pertama, persoalan suply and
demand. Artinya, tingkat ketersediaan pangan tidak sebanding dengan laju
permintaan pangan, kedua, kebijakan lintas pangan, seringkali tidak
sinergis dan tidak menyentuh akar persoalan, ketiga; sumber daya manusia
di sektor tradisional memiliki ciri produktivitas yang rendah. Ketiga faktor
ini masih dibenturkan lagi oleh ketidak tersedianya dukungan teknologi
yang terjangkau bagi sebagian masyarakat serta budaya kreatif inovatif
dalam menghadapi keterbatasan SDA.Masalah ketahanan pangan,
memiliki dimensi tersendiri yang dapat dilihat dari tingkat keamanan
pangan, keaneka ragaman pangan dan kualitas pangan itu sendiri. Pangan
sebagai kebutuhan pokok terpenting bagi masyarakat, memiliki keterkaitan
secara langsung maupun tidak langsung dengan kondisi kesehatan,
kecerdasan dan pada akhirnya berpengaruh pula pada produktivitas sumber
daya manusia. Di samping itu pemenuhan akan kebutuhan pangan bagi
seluruh penduduk Indonesia, merupakan pilar bagi pembangunan ekonomi
dan sektor lainnya, serta merupakan wahana untuk memenuhi hak azasi
setiap insan, akan kebutuhan pangan yang layak.
Informasi yang dirilis oleh Dewan Ketahanan Pangan Provinsi Jawa
Timur tahun 2007, menyatakan, bahwa berdasarkan kajian yang telah
dilakukannya, terdapat beberapa Kabupaten yang mengalami situasi rawan
pangan di Jawa Timur yang terbagi ke dalam kawasan prioritas pertama
antara lain ; Kabupaten Situbondo. Prioritas kedua ; meliputi Kabupaten

Tuban, Lamongan, Bojonegoro, Malang, Kabupaten di Madura, Nganjuk,


Blitar, Pasuruan, Probolinggo, Lumajang, Bondowoso dan Kabupaten
Jember. Adapun daerah yang masuk prioritas ketiga, empat, lima dan
enam, meliputi ; Kabupaten Gresik, Sidoarjo, Mojokerto, Madiun,
Magetan, Ponorogo, Kediri, Tulungagung Trenggalek dan Kabupaten
Banyuwangi (Dewan Ketahanan Pangan Provinsi Jawa Timur, 2007)
Untuk mengetahui lebih jelas dan rinci tetntang tingkat kerawanan
pangan di masing masing desa dapat memperhatikan penjelasan dibawah
ini :
1. Desa Kasiman
Tingkat kerawanan pangan di desa Kasiman Kabupaten Tuban prioritas
penanganan kerawanan

pangannya tergolong mendesak (0,67).

Sehingga diperlukan penanganan yang sangat lebih intensif untuk


masyarakat di desa Kasiman terutama dalam hal kondisi ketersediaan
pangan yang tingkat rawan pangannya tergolong agak banyak. Semakin
tinggi tingkat rawan pangannya, maka semakin mendesak pula untuk
segera ditangani.
2. Desa Sumberarum
Tingkat kerawanan pangan di desa Sumberarum Kabupaten Tuban
prioritas penanganan kerawanan pangannya tergolong agak mendesak
(0,55). Oleh sebab itu diperlukan penanganan yang cukup intensif agar
dapat mengalami perubahan menjadi lebih baik. Penanganan dilakukan
terutama berkaitan dengan ketersediaan konsumsi (beras, jagung, ubi
jalur) yang tingkat kerawanan pangannya tergolong tinggi.
3. Desa Margomulyo
Tingkat kerawanan pangan di desa Margomulyo Kecamatan Kerek
Kabupaten

Tuban

prioritas

penanganan

kerawanan

pangannya

tergolong tidak mendesak (0,27). Semua itu dipengaruhi oleh kondisi


dan letak geografis yang berada di dekat Kecamatan Kerek. Di desa
Margomulyo banyak sekali beberapa fasilitas lebih maju dibandingkan
dengan desa yang lain, sehingga sangat menunguntungkan t masyarakat

karena lebih mudah mengakses segala fasilitas yang telah disediakan.


Meskipun begitu penanganan yang diberikan juga harus tetap baik agar
tidak mengalami kemunduran, bahkan kalau bisa lebih ditingkatkan
agar dapat mengalami kemajuan.
4. Desa Temayang
Tingkat kerawanan pangan di desa Temayang Kecamatan Kerek
Kabupaten

Tuban

prioritas

penanganan

kerawanan

pangannya

tergolong agak mendesak (0,58). Oleh sebab itu diperlukan penanganan


yang cukup intensif agar dapat mengalami perubahan menjadi lebih
baik. Penanganan dilakukan terutama berkaitan dengan ketersediaan
konsumsi (beras, jagung, ubi jalur) yang tingkat kerawanan pangannya
tergolong tinggi. Semakin tinggi kondisi rawan pangannya maka
semakin mendesak pula penanganannya.
5. Desa Tenggger Wetan
Tingkat kerawanan pangan di desa Tengger Wetan Kabupaten Tuban
prioritas penanganan kerawanan pangannya tergolong agak mendesak
(0,51). Oleh sebab itu diperlukan penanganan yang cukup intensif dan
dilakukan dengan sunguh sungguh agar dapat mengalami perubahan
yang menjadi lebih baik. Penanganan ini sangat dibutuhkan oleh
masyarakat agar dapat mengalami kondisi yang lebih sejahtera serta
lebih mudah mengakses segala fasilitas.

6.

NTB surplus tapi masih tetap Rawan Pangan


Surplus

produksi

adalah

jumlah

produksi

melebihi

bila

dibandingkan dengan kebutuhan, NTB sering mengalami surplus


produksi beras, tapi secara bersamaan juga mengalami rawan pangan
atau bahkan gizi buruk. mengapa demikian?
Produksi

yang

surplus

tidak

serta

merta

menunjukkan

ketersediaan yang surplus pula. Karena ketrersediaan itu dipengaruhi


pula oleh jumlah stok,jumlah komoditas yang masuk ataupun keluar

dari wilayah NTB. Jadi jangan terlena hanya dengan Surplus produksi
saja, tapi kita perlu lihat sisi yang lain agar dapat dilihat secara utuh.
Kata Surplus sudah jelas dipahami oleh setiap orang

sebagai

sesuatu yang berlebih, dan memang benar sesuai dengan maknanya bahwa
surplus itu adalah berlebih. Maka bila kita kerucutkan yang surplus itu
adalah produksi bahan pangan khususnya beras, maka daerah tersebut
terkesan makmur dan harga komoditas pangan seperti beras pasti murah
atau paling tidak harganya terjangkau oleh masyarakatnya.
Nusa Tenggara Barat, cukup lama menyandang predikat sebagai
provinsi yang mengalami surplus beras, yang ditunjukkan dengan analisis
prognosa yaitu dengan membandingkan antara jumlah produksi dengan
kebutuhan baik untuk kebutuhan bibit, pakan ternak dan konsumsi
masyarakat dan susut hasi, bahkan predikat yang cukup prestisius pernah
dicapai oleh provinsi NTB yaitu berswasembada pangan pada tahun 1984,
dengan keberhasilan GORAnya sehingga pada waktu itu NTB dikenal
dengan BUMI GORA.
Sehingga kita ssering tidak menyangka sebagai daerah yang surplus,
NTB juga secara bersamaan mengalami kasus gizi buruk dan busung lapar.
Sesuai difinisinya bahwa ketahanan pangan itu adalah suatu kondis
terpenuhinya pangan yang cukup sampai dengan tingkat rumah tangga
baik jumlah maupun mutunya secara berkelanjutan dengan harga yang
terjangkau. Kalau kita cermati kalimat itu,paling tidak ada tiga aspek yang
selanjutnya menjadi sub sistem ketahanan pangan itu yaitu ketersediaan,
distribusi dan konsumsi. Hal itu menunjukkan bahwa ketahanan pangan itu
tidak dapat terwujud apabila hanya melihat atau melaksanakan salah satu
aspek saja atau berhasil pada salah satu sub sistem saja, tetapi harus dilihat
dan diupayakan secara utuh ketiga aspek itu. Jadi harus ada sinergi
diantara stake holders yang terkait dengan ketiga sub sistem tersebut.
Sub sistem yang pertama adalah ketersediaan yang dipengaruhi oleh
beberapa

variabel

seperti

produksi,ekspor/impor

dan

juga

stok,

imprastruktur serta transportasi mengapa demikian..? karena ketersediaan

tidak hanya ditentukan oleh propduksi semata,tetapi ditentukan juga oleh


jumlah stok, imprastruktur, transportasi serta mobilitas bahan pangan
(ekspor/impor). Hal yang disebutkan terakhir ini sering kali tidak
diperoleh data yang valid, karena cukup banyak bahan pangan (beras)
yang keluar wilayah NTB yang tidak tercatat, atau kita masih menghitung
surplus termasuk produksi yang sudah dikuasai oleh pengusahapengusaha yang kita belum tahu peruntukannya apakah untuk wilayah
NTB atau bukan.

Hal itulah menjadi salah satu penyebab bahwa

terjadinya kerawanan pangan disaat kita mengklaim surplus. Hal yang


kedua adalah masalah distribusi yang kurang merata bahkan tidak merata
antara wilayah sentra dan non sentra yang antara lain yang disebabkan
oleh rendahnya daya dukung infastruktur baik jalan dan transportasi, yang
juga akan berpengaruh pada tingginya biaya yang bermuara pada harga
komoditas yang tinggi, yang secara langsung menyebabkan melemahnya
aksesibilitas masyarakat terhadap pangan itu sendiri.
Sub sistem selanjutnya adalah konsumsi. Sub sistem ini
memberikan kontribusi yang cukup besar pada keberlanjutan ketahanan
pangan itu. NTB merupakan daerah pengkonsumsi beras tertinggi secara
nasional yaitu sekitar 123kg/kapita pertahun, diatas tingkat konsumsi beras
nasional yaitu 102,82 kg/perkapita/tahun.
Kalau sudah dapat difahami bahwa ketahanan pangan itu akan dapat
diwujudkanhanya dengan melakukan sinergi diantara kita baik pemerintah
maupun masyarakat,maka sekarangkalah kita mulai melakukan koordinasi
dan sinergi agar ketahanan pangan itu dapat diwujudkan di daerah kita
tercinta ini. Kita mulai dengan hal-hal yang kecil dan dari diri kita sendiri,
jangan berharap kita memperoleh yang besar dengan mengabaikan hal
yang kecil. Yang kami maksudkan hal /kebiasaan yang kecil tetapi akan
berimplikasi besar dan luas, misalnya kita menyatakan atau mebiasakan
diri kalau kita belum makan nasi kita belum merasa belum makan. Hal
lain juga tidak kalah pentingnya adalah Makanan pokok kita

adalah Beras, dan ada anggapan sebagian orang apabila dirumah sudah
ada beras, dia merasa tenang.
Pada hal yang pertama, walaupun kita telah mengkonsumsi
makanan selain beras telah dapat memenuhi asupan gizi yang cukup, kita
akan berupaya makan nasi yang bersumber dari beras. Apabila hal itu
terjadi, akan meningkatkan konsumsi beras perkapita yang akan
berpengaruh langsung pada ketersediaan beras kita yang akan berpengaruh
juga pada kondisi ketahanan pangan. Apabila hal yang kedua terjadi, maka
akan

melemahkan

animo

masyarakat

untuk

melakukan

upaya

penganekaragaman pangan,sedangkan pemenuhan kebutuhan karbohidrat


bukan hanya dapat dipenuhi hanya dari beras tetapi dapat dari bahan
pangan lainnya seperti singkong,talas, ubi jalar dan banyak lagi yang
lainnya. Bahkan akan melemahkan peran bahan pangan selain beras itu
untuk mensubstitusi beras. Akan cenderung diposisikan sebagai bahan
makanan selingan, makanan kudapan dan yang lebih parah lagi
menganggap bahwa bahan pangan selain beras itu adalah makanan bagi
kalangan yang tidak mampu.
Selanjutnya hal yang ketiga, tersirat pemahaman yang menjadi titik
sentral adalah beras, yang mungkin turunan pemahaman bahwa makanan
pokok kita adalah beras sehingga apabila sudah ada beras akan merasa
lebih tenang. Seharusnya apabila tidak ada beras, masing ada
singkong,talas,ubi jalar dan juga yang lainnya, toh bukan hanya beras
sebagai sumber pemenuhan karbohidrat.
Sebagai upaya penanggulangan sekaligus pencegahan Badan
Ketahanan Pangan Provinsi NTB melakukan upaya untuk memperoleh
data dan informasi yang lebih mendekati tentang jumlah bahan pangan
utamanya gabah dan beras yang keluar dari Nusa Tenggara Barat dengan
melakukan rapat koordinasi dengan para pihak yang terkait seperti Dinas
Perhubungan Komonikasi dan Informasi Provinsi NTB, Karantina
Pertanian, Dinas Pertanian, Kepolisian dan stakeholders terkait lainnya.
Pada koordinasi itu telah ada kesepahaman bahwa perlu upaya yang

sistematis dan berkelanjutan untuk memantau dan mengevaluasi jumlah


komoditas pangan khususnya beras yang keluar dari NTB baik secara legal
maupun illegal. Dengan demikian akan diperoleh data dan informasi yang
riil dan benar terkait jenis dan jumlah bahan pangan yang keluar dari
wilayah NTB. Yang selanjutnya dapat dipakai sebagai acuan atau referensi
dalam menyusun perencanaan dan pelaksanaan program dalam bidang
ketahanan pangan.
Upaya itu akan dapat membuahkan hasil apabila diantara kita
baik lingkup pemerintah dan juga masyarakat memegang komitmen
secara konsisten bersinergi dengan baik dan melaksanakan tugas dan
fungsinya secara bersungguh-sungguh dan transparan. Yang penting
diingat produksi tinggi itu weajib kita upayakan, tetapi ketersediaan
yang cukup dan berkelanjutan wajib pula kita upayakan dan itu akan
terwujud bila kita dapat bersinergi dengan baik.

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Ketahanan pangan merupakan kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah
tangga yang tercermin dari ketersediaan pangan yang cukup, baik jumlah
maupun mutunya, aman, merata, dan terjangkau. Tiga komponen utama
ketahanan pangan menurut WHO, yaitu ketersediaan pangan, akses pangan,
dan pemanfaatan pangan. Tantangan untuk mencapai ketahanan pangan yakni
degradasi lahan, hama dan penyakit, krisis air global, perebutan lahan,
perubahan iklim, Kebijakan pemerintah
maupun politik

dalam aspek ekonomi, sosial

sangat berpengaruh terhadap ketahanan pangan.

Peristiwa adanya kerawanan pangan ini dapat bersifat kronis (cronical)


maupun sementara dan mendadak (transient). Kronis adalah keadaan
kekurangan pangan yang berkelanjutan yang terjadi sepanjang waktu yang
dapat disebabkan oleh keterbatasan sumber daya alam (SDA) dan
keterbatasan

kemampuan

sumber

daya

manusia

(SDM),

sehingga

menyebabkan kondisi masyarakat menjadi miskin. Kerawanan pangan yang


bersifat sementara akibat kejadian yang mendadak (transient) disebabkan oleh
kondisi yang tidak terduga, seperti bencana alam,banjir, tanah longsong,
kerusuhan, musim yang menyimpang, konflik sosial, dsb. Keadaan
kerawanan pangan harus dapat dideteksi sedini mungkin dan segera dapat
diketahui penyebab terjadinya kerawanan pangan, sehingga dapat diantisipasi
langkah-langkah kegiatan pemberdayaan di daerah yang terindikasi
mengalami rawan pangan.
Saat ini telah ada program Sistem Kewaspaaan Pangan dan Gizi
(SKPG) yang dirumuskan tiap tahunnya untuk meningkatkan kewaspadaan
dan pemantauan untuk mencegah terjadinya kerawanan pangan di tingkat
regional/daerah. SKPG

merupakan

serangkaian

proses

untuk

mengantisipasi kejadian rawan pangan dan gizi melalui pengumpulan,

pemrosesan, penyimpanan, analisis, dan penyebaran informasi situasi pangan


dan gizi.
Fokus pembangunan pada saat ini masih diarahkan pada penanganan
masalah

kerawanan

pangan

dan

kemiskinan

yang

berada

di

pedesaan/perkotaan dengan jalan meningkatkan ketahanan pangan.

3.2 Saran
Kerawanan pangan mempunyai korelasi positif dan erat kaitannya
dengan kemiskinan. Pada situasi dimana kebijakan publik tidak dapat
diandalkan, maka masyarakat harus melibatkan diri secara aktif dalam
pembentukan cadangan pangan. Dengan segala keterbatasan yang ada,
masyarakat harus mampu membangun tatanan kelembagaan cadangan pangan
untuk mengamankan diri sendiri, keluarga, dan komunitasnya dari
kekurangan pangan kronis. Dalam konteks demikian, gagasan untuk
menghidupkan kembali lumbung desa sebagai institusi ketahanan pangan
tradisional yang telah dikelola masyarakat desa secara turun-temurun menjadi
amat relevan.
Ketahanan pangan akan dapat diwujudkan dengan melakukan sinergi
diantara kita baik pemerintah maupun masyarakat, mulai dengan hal-hal yang
kecil dan dari diri kita sendiri, jangan berharap kita memperoleh yang besar
dengan mengabaikan hal yang kecil.

DAFTAR PUSTAKA
Anonim. - . "Africa may be able to feed only 25% of its population by 2025".
News.mongabay.com. Diakses 16 Maret 2014
.
Anonim. ^ "The Food Bubble Economy". I-sis.org.uk. April 12, 2002. Diakses 16
Maret 2014.
Anonim, 2001.Rencana Strategis dan Program Kerja Pemantapan Ketahanan
Tahun 2001-2004. Badan Bimas Ketahanan Pangan Departemen
Pertanian Jakarta.
Anonim, 2003. Pedoman Umum Penanggulangan Pencegahan Masalah Pangan.
Badan Bimas Ketahanan Pangan Departemen Pertanian Jakarta.
Anonim, 2003. Peta Kerawanan Pangan Indonesia. Badan Bimas Ketahanan
Pangan Departemen Pertanian Jakarta.
Ariani, M, H.P. Saliem, S.H. Suhartini, Wahida dan H. Supriadi. 2000. Analisis
Kebijaksanaan Ketahanan Pangan Rumah Tangga Berpendapatan
Rendah. Laporan Hasil Penelitian. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi
Pertanian. Badan Litbang Pertanian. Departemen Pertanian.
BKP.

2010. Renstra 2010-2014 Ketahanan Pangan. Tersedia di


bkp.pertanian.go.id tinymcpuk gambar file Renstra KP.pdf. Diakses
tanggal 18 Maret 2014

BKP. 2013. Petunjuk Pelaksanaan Kewaspadaan Pangan dan Gizi 2013. Tersedia
di
bkp.deptan.go.id/.../file/Petunjuk_Pelaksanaan_SKPG Tahun
.pd
f. Diakses tanggal 18 Maret 2014
Ecker and Breisinger.2012. The Food Security System. Washington, D.D.:
International Food Policy Research Institute. hlm. 114.
FAO. 1997. "The food system and factors affecting household food security and
nutrition". Agriculture, food and nutrition for Africa: a resource book
for teachers of agriculture. Rome: Agriculture and Consumer
Protection Department. Diakses 16 Maret 2014.
FAO. Agricultural and Development Economics Division (June 2006). Food
Security (2). Diakses 17 Maret 2014
Godfray, H. C. J.; Beddington, J. R.; Crute, I. R.; Haddad, L.; Lawrence, D.;
Muir, J. F.; Pretty, J.; Robinson, S.; Thomas, S. M.; Toulmin, C. (28

January 2010). "Food Security: The Challenge of Feeding 9 Billion


People". Science 327 (5967): 812818. doi:10.1126/science.1185383
Gregory, P. J.; Ingram, J. S. I.; Brklacich, M. (29 November 2005). "Climate
change and food security".Philosophical Transactions of the Royal
Society B: Biological Sciences 360 (1463): 21392148.
Hanani,

Nuhfil.
Ketahanan
Pangan.
Tersedia
di
https://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd
=1&cad=rja&uact=8&ved=0CCYQFjAA&url=http%3A%2F%2Fnuhfil
.lecture.ub.ac.id%2Ffiles%2F2009%2F03%2F2-pengertian-ketahananpangan-2.pdf&ei=w2wmU4bEPMTwiAeKtoEY&usg=AFQjCNFRq-x9qfyLbYveWSyhiK-1dojJg. Diakses tanggal 16 Maret 2014

Handewi

R. 2004. Identifikasi Wilayah Rawan Pangan di


D.I.Yogyakartya. I CASERD WORKING PAPER No. 36.

Propinsi

Kasryno, Faisal, 2000. Menempatkan Pertanian Sebagai Basis Ekonomi


Indonesia : Memantapkan Ketahanan Pangan dan Mengurangi
Kemiskinan. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian Badan Litbang
Pertanian. Prosiding Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi VII 2000.
Jakarta.
Rachman, Handewi P.S., 2003. Sistim Jaringan Deteksi Dini Wilayah Rawan
Pangan Dalam Upaya Pemantapan Ketahanan Pangan. Bogor : Pusat
Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Departemen
Pertanian..
Saliem,H.P.; E.M. Lokollo; T.B. Purwantini; M. Ariani dan Y. Marisa.
2001. Analisis Ketahanan Pangan Tingkat Rumah tangga dan
Regional. Laporan Hasil Penelitian Puslitbang Sosek Pertanian.
Bogor.
Sawit , H dan M. Ariani. 1997. Konsep dan Kebijaksanaan Ketahanan
Pangan. Makalah Pembanding pada Pra-WKNPG VI, Bulog, Jakarta.
26-27 Juni
Sumedi dan Supadi. 2004. Kemiskinan di Indonesia : Suatu Fenomena Ekonomi.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Badan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian.
Tweeten, Luther (1999). "The Economics of Global Food Security". Review of
Agricultural Economics 21 (2): 473488. Diakses 17 Maret 2014.
Undang-Undang Pangan Nomor 18 Tahun 2012

United Nations Committee on Economic, Social, and Cultural Rights (1999). The
right to adequate food. Geneva: United Nations.
Wibowo, R. 2000. Pertanian dan Pangan. Bunga Rampai Pemikiran Menuju
Ketahanan Pangan. Jakarta: Puslibang Sinar Harapan.

Anda mungkin juga menyukai