1. Pengantar
Pada dasarnya sasaran kajian ilmu sosial adalah fenomena kehidupan
bermasyarakat. Walaupun demikian dalam perkembangannya, dari objek studi yanng
sama tersebut orang dapat memberikan fokus perhatian yang berbeda dan mempunyai
sudut pandang yang berbeda pula.
Hal yang sama juga berlaku dalam rangka orang akan memahami dan
menjelaskan salah satu fenomena yang disebut sebagai masalah sosial. Rumusan
tentang apa yang disebut masalah sosial, penjelasan tentang bagaimana masalah sosial
terjadi, faktor faktor apa yang terkait dan bagaimana rekomendasi pemecahan
masalahanya dapat berbeda di antara orang yang menggunakan sudut pandang yang
berbeda. Oleh sebab itu, tidak dapat diingkari apabila dalam studi masalah sosial
kemudian dapat dijumpai adanya beberapa perspektif yang masing masing berusaha
menjelaskan masalah sosial dari sudut pandangnya.
2. Perspektif Berdasarkan Teori Fungsional Struktural
a. Tinjauan Singkat Tentang Teori Fungsional Struktural
Beberapa sumber akan digunakan untuk menjelaskan pokok pokok pikiran
teori fungsional struktural ini, diantaranya adalah Ritzer (1980), Poloma (1987)
dan Turner (1986). Teori teori yang dihasilkan dari belakang meja harus diuji
dengan data konkret berdasarkan penelitian empirik. Atas dasar pemikiran
tersebut, maka pokok persoalan sosiologi haruslah merupakan fakta sosial. Untuk
membedakan dengan telaah psikologi, fakta sosial ini harus juga dibedakan
dengan fakta psikologi dianggap sebagai fenomena yang dibawa oleh manusia
sejak lahir, dengan demikian bukan merupakan hasil pergaulan hidup masyarakat.
Secara garis besar fakta sosial yang menjadi pusat perhatian sosiologi terdiri
dari atas dua tipe yaitu struktur sosial dan pranata sosial. Menurut teori fungsional
struktural, struktur sosial dan pranata sosial tersebut berada dalam suatu sistem
sosial yang terdiri atas bagian bagian atau elemen elemen yang saling
berkaitan dan saling menyatu dalam keseimbangan. Asumsi dasarnya adalah
bahwa setiap struktur dalam sistem sosial, fungsional terhadap yang lain,
sebaliknya kalau tidak fungsional maka struktur ini tidak akan ada atau akan
hilang dengan sendirinya. Sesuai dengan filosofinya yang menekankan pada
harmoni dan keberaturan, dalam pandangan teori ini setiap bagian dari sistem
sosial saling komplementer dan terintegrasi. Disamping itu, nilai sosial juga
dianggap sebagai instrumen sistem sosial untuk menjaga keberaturan. Nilai sosial
itu sendiri muncul sebagai hasil dari konsensus, oleh sebab itu dalam masyarakat
yang berbeda dapat memiliki nilai sosial yang berbeda pula. Dalam praktik
kehidupan bermasyarakat nilai sosial tersebut akan menjadi pedoman perilaku dan
pedoman dalam menunaikan peranan sosial setiap unsur dari sistem. Dengan
demikian, pada sisi yang lain nilai sosial akan berperan sebagai instrumen kontrol
sosial terhadap perilaku warga masyarakatnya.
b. Perspektif Patologi Sosial
pembahasan Spencer tentang masyarakat sebagai suatu organisme hidup dapat
diringkas dalam butir berikut ini (Poloma, 1987 : 24) :
1. Masyarakat maupun organisme hidup sama sama mengalami pertumbuhan.
2. Disebabkan oleh pertambahan dalam ukurannya, maka struktur tubuh sosial
(social body) maupun tubu organisme hidup (living body) itu mengalami
pertumbuhan pula. Semakin besar struktur sosial maka semakin banyak pula
bagian bagiannya, seperti halnya dengan sistem biologis yang menjadi
semakin kompleks sementara ia tumbuh menjadi semakin besar.
3. Tiap bagian yang tumbuh di dalam tubuh organisme biologis maupun
organisme sosial mempunyai fungsi dan tujuan tertentu. Mereka tumbuh
menjadi organ yang berbeda dan mempunyai fungsi yang berbeda pula.
4. Baik di dalam sistem organisme maupun sistem sosial, perubahan pada suatu
bagian akan menyebabkan perubahan pada bagian lain dan pada akhirnya juga
perubahan di dalam sistem secara keseluruhan.
5. Bagian bagian tersebut walaupun saling berkaitan merupakan struktur mikro
yang dapat dipelajari secara terpisah.
Bagaimanapun juga analogi human societydengan human body atau
sistem sosial dengan sistem organisme biologis ini juga akan terbawa dalam
rangka menjelaskan berbagai gejala dan fenomena sosial termasuk didalamnya
untuk menjelaskan masalah sosial. Berdasarkan analogi ini, masalah sosial
terjadi apabila individu atau institusi sosial tidak berhasil mengatur dan
menyesuaikan dengan kecepatan perubahan yang terjadi dan oleh karena itu
akan mengganggu atau menghancurkan bekerjanya organisme sosial. Pada
periode awal perkembangan perspektif ini, social pathologist cenderung
kesalahan
sistem
tetapi
kesalahan
individu
dalam
anggota masyarakat. Dilihat dari pandangan ini, treatment tidak lain adalah
usaha untuk menciptakan kembali kondisi yang adjusment baik pada
kehidupan individu maupun kelompok dan masyarakat.
c. Perspektif Disorganisasi Sosial
Dasar pemikiran perspektif ini sebetulnya tidak banyak berbeda
dengan perspektif patologi sosial, karena juga menggunakan analogi
masyarakat atau sistem sosial sebagai human organisme. Perbedaannya,
perspektif ini tidak melihat organism tersebut dalam kondisi, sehat atau sakit,
melainkan lebih melihatnya, sebagai struktur dan fungsi yang organized dan
disorganized atau integrated dan disintegrated.
Dengan demikian dapat pula dikatakan bahwa konsep sentral dari dari
social disorganization adalah social rutes. Dalam kehidupan bermasyarakat,
social rules di satu pihak berfungsi dalam mewujudkan koordinasi diantara
bagian bagian yang berbeda dalam sistem sosial dan di lain pihak berfungsi
mengatur perilaku warga masyarakat. Kondisi kurang atau tidak berfungsinya
social rules mengakibatkan berkurangnya kekuatan mengikat baik bagi
koordinasi antarbagian maupun dalam melakukan kontrol terhadap perilaku
individu. Kenyataan inilah yang mendorong terjadinya disorganisasi sosial.
Dari berbagai pandangan tersebut dapat juga dikatakan, bahwa kondisi
yang disebut social disorganization merupakan kebalikan dari social
sosial yang pesat dalam masyarakat urban, terutama terkait dengan proses
industrialisasi dan urbanisasi. Proses industrialiasasi dan urbanisasi tersebut
membawa dampak pada perubahan yang pesat dalam banyak dimensi terutama
organisasi sosial, kebudayaan dan relasi sosial. Dalam kenyataannya
masyarakat tidak selalu berhasil untuk melakukan penyesuaian terhadap proses
perubahan yang pesat dalam berbagai dimensi tersebut. Bentuk perubahan
dalam organisasi sosial dapat meliputi perubahan dalam skala unit sosial,
kompleksitas masyarakat, birokratisasi dan melemahnya ikatan kekerabatan.
Sementara itu, perubahan kebudayaan yang terjadi dapat berupa sekularisasi,
rasionalitas, heterogenitas dan kehidupan.
Sehubungan dengan pemikiran tersebut, penanganan masalah dapat
berupa reestablishment of consensus melalui kompromi atau dengan jalan
suatu kelompok dengan kekuatan (power) yang dimiliki mempercepat
tammpilnya keseimbangan baru yang diharapkan (Parrilo, 1987: 29).
d. Perspektif Perilaku Menyimpang
Dengan demikian pranata sosial ini merupakan sesuatu faktor yang
ikut menegakkan keberaturan dan keseimbangan dalam sistem sosial, yang
berarti juga menegakkan eksistensi dari sistem itu sendiri. Semua kelompok
sosial membentuk aturan aturan dan usaha menegakkannya, bahkan dalam
situasi tertentu. Aturan aturan sosial membatasi sikap tindakan manusia
sesuai dengan keadaan yang dihadapinya, sehingga ada aturan yang melarang,
memerintahkan dan membolehkan (Soekanto, 1988: 1).
Proses sosialisasi tidak lain adalah proses belajar untuk mempelajari
pranata sosial termasuk di dalamnya nilai dan norma sosial atau aturan
aturan sosial. Adopsi terhadap nilai dan norma sosial tersebut dapat terjadi
melalui proses transfer dari satu pihak ke pihak yang lain termasuk dari
generasi ke generasi, serta dapat juga karena adanya unsur sanksi baik formal
maupun informal dari sementara aturan sosial tertentu yang dapat memaksa
anggota masyarakat untuk mematuhinya.
Perilaku menyimpang dianggap menjadi sumber masalah sosial karena
dapat membahayakan tegaknya sistem sosial. Penggunaan konsep perilaku
menyimpang secara tersirat mengandung makna bahwa ada jalur baku yang
harus ditempuh. Perilaku yang tidak melalui jalur tersebut berarti telah
menyimpang. Oleh karena jalur yang harus dilalui tersebut adalah jalur pranata
sosial maka wajar apabila pranata sosial merupakan tolak ukur yang digunakan
untuk melihat suatu perilaku menyimpang atau tidak.
Dalam
studi
tentang
perilaku
menyimpang
ini
dapat
pula
Adanya dua tipe kelompok ini sebenarnya juga berkaitan dengan dua
sifat kepentingan yang disebut kepentingan laten dan kepentingan manifes
(Poloma, 1987: 136). Kepentingan laten adalah kepentingan yang sebetulnya
melekat pada diri seseorang karena menduduki posisi tertentu, akan tetapi
masih belum disadari. Demikian kepentingan laten tersebut tampil ke
permukaan dan mulai disadari adanya, maka akan berubah menjadi
kepentingan manifes. Dalam beberapa kasus, sering terjadi kelompok semua
berubah menjadi kelompok kepentingan setelah kepentingan laten berubah
menjadi kepentingan manifes (mulai disadari).
Dalam berbagai pembahasan berdasarkan perspektif teori konflik,
konsep konsep kepentingan laten / kepentingan manifes, kelompok semu,
kelompok kepentingan, posisi dan wewenang merupakan unsur unsur dasar
yang dapat menjelaskan bentuk bentuk konflik yang terjadi. Dalam situasi
konflik, golongan yang terlibat khususnya golongan yang dikuasai, melakukan
tindakan tindakan untuk mengadakan perubahan dalam struktur sosial.
Apabila konflik tersebut terjadi secara hebat, maka perubahan yang timbul
akan bersifat radikal. Demikian pula apabila konflik disertai penggunaan
kekerasan, maka perubahan struktural akan semakin cepat.
Dalam hubungan ini dikatakan adanya empat fungsi dari konflik :
1. Sebagai alat untuk memelihara solidaritas
2. Membantu menciptakan ikatan aliansi dengan kelompok lain
3. Mengaktifkan peranan individu yang semula terisolasi
4. Mempunyai fungsi komunikasi
c.
Perspektif Institusional
Hal ini paling tidak dapat dijelaskan dari dua alasan : 1.)
Masyarakatlah yang menimbulkan suatu kondisi yang menyebabkan terjadinya
kerugian fisik dan mental dalam berbagai bagian kehidupan sosial 2.) tindakan
dan kondisi yang melanggar norma dan nilai terjadi dalam lingkungan
masyarakat.
Cacat individual tersebut dapat berupa cacat pembawaan, secara fisik
maupun mental, dapat pula berupa cacat kultural. System blame approach
merupakan pendekatan untuk mencari latar belakang maupun faktor penyebab
masalah sosial dari segi cacat yang ada pada sistem, pada struktur dan
institusi sosial.
Perspektif institusional cenderung melakukan studi masalah sosial dari
pendekatan yang kedua yaitu system blame approach. Ada beberapa alasan
yang dikemukakan oleh para pengikut perspektif ini, sehingga cenderung
melacak latar belakang masalah sosial dari cacat sisitem (Eitzen, 1986: 17).
Pertama, didorong adanya suatu kenyataan bahwa warga masyarakat pada
umumnya, instansi kepolisisan, pangadilan dan bahkan banyak ahli ilmu sosial
cenderung membuat interpretasi tentang masalah sosial dari sudut perspektif
individual. Dengan demikian, dibutuhkan suatu imbangan karena menurut
realitanya masalah sosial juga dapat bersumber dari sistem. Kedua, didasarkan
pada pertimbangan, bahwa pokok persoalan ilmu sosial bukan terletak pada
aspek individu melainkan masyarakat. Ketiga, tidak dapat diingkari bahwa
kerangka institusional dari suatu masyarakat adalah sumber masalah sosial
(masalah rasial, polusi, distribusi pelayanan kesehatan yang tidak merata,
kemiskinan, peperangan dan sebagainya).
Studi masalah sosial menurut perspektif institusional ini akan berusaha
untuk menjawab berbagai pertanyaan sebagai berikut ini. Dengan demikian,
pertanyaan pertanyaan tersebut akan menuntun proses berfikir dalam studi
yang dilakukan.
-
6. Ada pola pola pembatasan dan kebebasan dalam partisipasi sosial devian,
yang berhubungan langsung dengan status, peranan dan pemahaman dirinya
7. Penyimpangan penyimpangan tersebut diindividuasikan berdasarkan
kepekaannya terhadap reaksi masyarakat, oleh karena (a.) pribadi bersifat
dinamik (b.) ada penstrukturan dalam setiap kepribadian yang bekerja sebagai
seperangkat pembatas dimana reaksi sosial berpengaruh
Apabila seseorang mulai menggunakan perilaku devian itu sebagai
usaha untuk mempertahankan diri, alat penyerang atau menyesuaikan diri
terhadap permasalahan yang bersifat overt dan covert yang timbul sebagai
akibat reaksi masyarakat terhadapnya, maka deviasi telah berkembang ke arah
deviasi sekunder. Proses perkembangannya deviasi primer menjadi deviasi
sekunder tersebut dapat digambarkan sebagai berikut :
1. Deviasi primer
2. Reaksi masyarakat berupa hukuman dan sanksi
3. Deviasi primer lebih lanjut
4. Penolakan sosial dan sanksi yang lebih hebat
5. Pengembangan deviasi primer lebih lanjut maungkin disertai perasaan
permusuhan terhadap pihak yang memberi hukuman
6. Toleransi masyarakat mengalami krisis yang menampakkan diri pada
tindakan formal yang memberi label pada tindakan sebagai noda masyarakat
atau community stigmatizing
7. Terjadi deviasi yang lebih kuat sebagai reaksi dari community stigmatizing
tersebut
8. Masyarakat dan pelaku deviasi menerima perilaku tersebut sebagai status
sosial dan si pelaku berusaha menyesuaikan diri terhadap status dan peranan
sosial yang baru tersebut. Pada tahap ini perkembangan perilaku devian sudah
berada dalam kategori deviasi sekunder
5. Hubungan Antar Perspektif
Yang pertama dapat dirumuskan studi masalah sosial yang bersifat
komprehensif dengan memerhatikan berbagai aspek dan dimensi yang terkait,
sehingga diharapkan dapat dihasilkan rekomendasi pemecahan masalah yang
bersifat komprehensif pula. Yang kedua, dapat melakukan penanganan
masalah sosial secara proporsional, dalam pengertian memilih dan
BAB III
PENDEKATAN INDIVIDUAL DAN PENDEKATAN SISTEM
1. Pengantar
Masalah sosial adalah kondisi yang tidak diharapkan, oleh karena dianggap
dapat merugikan kehidupan sosial atau dianggap bertentangan dengan standar sosial
yang telah disepakati. Dalam pendekatan individual masalah sosial atau kondisi yang
dianggap bermasalah lebih dilihat pada level individu sebagai warga masyarakat.
Sudah tentu yang lebih dilihat sebagai masalah perilaku individu. Dalam pendekatan
sistem, yang dianggap bermasalah bukan perilaku orang perorang sebagai individu,
tetapi masyarakat sebagai totalitas, masyarakat sebagai sistem.
Banyak orang beranggapan bahwa masalah sosial terjadi oleh karena ada hal
yang salah atau kurang benar dalam kehidupan masyarakat. Dengan demikian,
mendiagnosis masalah sosial pada dasarnya adalah mencari sumber kesalahan.
Berkaitan dengan hal ini, Eitzen membedakan adanya dua pendekatan yaitu person
blame approach dan system blame approach. Person blame approach sesuai namanya
dalam melakukan diagnosis lebih menempatkan individu sebagai unit analisisnya.
Sebaliknya, system blame approach yang lebih memfokuskan pada sistem sebagai
unit analisis untuk mencari dan menjelaskan sumber masalahnya, akan menemukan
faktor penyebab masalah dari aspek aspek yang berkaitan dengan sistem, struktur
dan institusi sosial.
Upaya pemecahan masalah sosial sangat ditentukan oleh analisis tentang
faktor faktor yang terkait dan menjadi latar belakang serta penyebab masalah
tersebut. Apabila dalam mendiagnosis masalahnya menggunakan person blame
approach, maka pada umumnya dalam pemecahan masalahnya juga akan difokuskan
pada diri si penyandang masalah, yang pada umumnya berupa perbaikan dan
perubahan kondisi atau perilaku yang dianggap bermasalah. System blame approach,
pendekatan ini mempunyai anggapan bahwa sistem dan struktur sosial yang lebih
dominan dalam kehidupan bermasyarakat.
Unit analisis pada tahap treatment pada umumnya mengikuti unit analisis
dalam melakukan diagnosis. Tahap identifikasi dapat menggunakan pendekatan
individual atau pendekatan sistem, demikian juga dalam diagnosis dan treatment
dapat dibedakan dalam pendekatan individual dan sistem pula.
Kajian masalah sosial dapat dibedakan dalam empat variasi. Variasi pertama
adalah studi masalah sosial yang melihat permasalahannya ada pada kondisi atau
perilaku individu, dan dalam mendiagnosis masalahnya pun dilihat dari hal hal yang
melatar belakangi individu sebagai penyandang masalah. Dalam variasi kedua,
masalah juga dilihat pada level individu atau perilaku individu, akan tetapi dalam
mendiagnosis masalah lebih memfokuskan pada sistem sebagai sumber masalah.
Variasi ketiga, yang dilihat bermasalah adalah sistemnya, akan tetapi sumber
masalahnya dicari pada level individu yang merupakan bagian dari sistem dan
merupakan aktor utama yang membentuk sistem tersebut. Pada variasi keempat, baik
identifikasi masalah maupun diagnosis dan treatment difokuskan pada level sistem.
b. Pandangan Biologis
Beberapa bentuk pengkajian yang dapat ditemukan dalam perbendaharaan
studi masalah sosial seperti physiognomi (studi tentang karakter manusia yang
dapat berupa kelainan biologis, kelainan psikis yang bersifat herediter dan dapat
pula karena sebab sebab lain yang menimpa individu seperti penyakit,
kecelakaan dan sebagainya.
Elliot dan Merrill (1951: 45) membahas sebagai gejala individual atau
personal disorganization sebagai bentuk lain dari gejala social disorganization.
Bentuk yang pertama, merupakan disorganisasi pada level individual khususnya
dilihat dari kepribadiannya, sedangkan bentuk yang kedua merupakan
disorganisasi pada level masyarakat. Kauffman (1989: 6), dalam dua dimensi
yaitu externalizing (dalam bentuk perilaku agresif dan perilaku yang lain yang
punya sasaran orang lain) dan interalizing (dalam bentuk tindakan menarik diri
dari lingkungan sosialnya atau isolasi). Perbedaan dalam stratifikasi sosial terjadi
karena :
1. Kemampuan mental diwariskan
2. Sukses dalam pekerjaan dan memperoleh pendapatan tergantung dari
kemampuan mental. Klasifikasi sosial berdasarkan perbedaan kemampuan
individual ini terjadi melalui proses seleksi
Kebijakan penanganan masalah sosial (Eitzer, 1986: 167) :
1. Pandangan Jensen dan Hernstein ini merupakan contoh klasik pemahaman
masalah sosial yang mencari sumber masalah atau sumber kesalahan
dari si penyandang masalah
2. Mengukuhkan anggapan bahwa kemiskinan merupakan sesuatu yang tak
terhindarkan sekaligus merupakan penguatan survival of the fittest sebagai
ideologi kapitalis
3. Memberikan keabsahan bahwa test IQ merupakan ukuran yang punya
legitimasi sebagai sarana untuk melihat tingkat inteligensi seseorang.
4. Pendapat tersebut juga memberikan alasan pembenar bagi terjadinya
ketidakmerataan dalam proses belajar mengajar
5. Tesis ini juga mendorong pembuat keputusan atau perumus kebijakan
untuk menangani efeknya daripada menangani sumber penyebab dari
dalam sistem dan struktur sosialnya sendiri
d. Pandangan Sosialisasi
Sosialisasi merupakan proses terintegrasinya individu ke dalam
kehidupan bermasyarakat, atau dengan perkataan lain merupakan proses
d. Pandangan Labelling
Adanya perbedaan interpretasi antara individu dan masyarakat tentang
batas batas perilaku yang diperbolehkan dan yang dilarang (Lemert, 1951:
yang
maladjusted
akan
dapat
mendorong
proses
pada sistem ini juga dapat dilihat dari proses sosialisasi individu. Kondisi
kurangnya conform terhadap norma kelompok disebut deviasi sedangkan
individu yang melakukannya disebut deviant.
Menurut Lemert (1951: 36), bahwa deviasi yang dilakukan seseorang
dilihat dari pengaruhnya terhadap orang lain dan masyarakat pada
umumnya dapat dibedakan menjadi tiga yaitu :
1. Seseorang yang tingkah lakunya menjadi masalah bagi oang lain, tetapi
tidak untuk dirinya sendiri
2. Seseorang yang tingkah lakunya menjadi masalah bagi diri sendiri
tetapi tidak untuk orang lain
3. Seseorang yang tingkah lakunya menjadi masalah baik untuk orang
lain maupun bagi dirinya sendiri
Ahli sosiologi mengatakan bahwa person adalah individu yang
memiliki status tertentu dalam kehidupan sosialnya. Dipandang dari
kehidupan, penunaian peranan sosial yang benar bagi setiap anggota
masyarakat akan mendukung terwujudnya kondisi kehidupan yang
organize. Sebaliknya, kondisi kehidupan sosial yang disorganize dapat
berawal dari banyaknya anggota masyarakat yang tidak menjalankan
peranannya secara baik dan benar.
c. Deviasi Sistematik
Deviasi dapat bersifat organis, fisiologis, psikis, antar personal dan
kultural. Lemert (1951: 18) membagi deviasi dalam tiga bentuk : deviasi
individual, deviasi situasional dan deviasi sistematik.
Deviasi sistematik pada dasarnya adalah suatu sistem tingkah laku
yang disertai organisasi sosial khusus, status, peranan, nilai, norma dan
moral tertentu yang kesemuanya berbeda dengan situasi pada umumnya.
Dipandang dari kacamata masyarakat makro, munculnya deviasi sistematik
tersebut jelas akan merupakan masalah karena aan menambah potensi
konflik dan dikotomi masyarakat yang bersangkutan
c. Konflik Nilai
Masyarakat terdiri dari kelompok yang saling berinteraksi dan masing
masing dapat mempunyai kepentingan dan nilai yang beda. Dalam
pandangan ini, masalah sosial dilihat dari pendekatan group centered
(Weinberg, 1981: 89), yang beranggapan bahwa masalah sosial
disebabkan oleh individu yang immoral atau disebabkan oleh kurangnya
koordinasi dan regulasi, melainkan lebih disebabkan oleh konflik alamiah
di antara berbagai segmen dalam masyarakat.
Apabila hal yang sama dirasakan oleh sejumlah orang dan saling
terjadi komunikasi, akan menimbulkan kegelisahan sosial. Kondisi
semacam itu biasanya menimbulkan tiga karakteristik :
1. Merasakan adanya desakan untuk bertindak tetapi tidak tahu harus
berbuat apa
2. Adanya perasaan menggelilitik yang berupa kecemasan yang tidak
menentu
d. Kelemahan Kultural
Kebudayaan merupakan tata kelakuan, kelakuan dan hasil
kelakuan manusia, masyarakat merupakan jaringan kelompok
kelompok manusia yang memangku kebudayaan. Berdasarkan
hipotesis, masyarakat miskin dinyatakan mempunyai nilai dan gaya
hidup tertentu yang kemudian akan memengaruhi kemampuan
antisipasinya terhadap
berbagai
perkembangan
dan perubahan
lingkungan kehidupannya.
Subkultur merupakan suatu alternatif bagi kelompok miskin
sebagai hasil adaptasi dengan kondisi kemiskinan yang disandangnya.
Susanto (1984: 113) mengatakan, apabila situasi kemiskinan terlalu
lama mencekam suatu kelompok, maka akan terbentuk suatu budaya
kemiskinan sebagai subkultur.
Sarwono (1987: 73-81) melihat berbagai peristiwa yang dapat
dianggap merupakan simton simton masalah sosial seperti berbagai
kecelakaan , aksi pengeroyokan, masalah bromocorah (residivis)
sebagai akibat dari kemacetan sistem. Kemacetan sistem tersebut
disebabkan oleh dua hal penting yaitu :
1. Terlalu pesatnya perkembangan teknologi dan bertambahnya
kebutuhan disegala bidang
2. Sikap manusia yang mengawasi dan melaksanakan setiap sistem itu
yang tidak sesuai dengan tuntutan sistem itu sendiri