Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Infeksi virus dengue (VD) masih merupakan masalah kesehatan di Indonesia dan
jumlah
kasusnya
tetap
tinggi,
didapatkan
hampir
sepanjang
tahun
dengan
kecenderungan kasus dewasa lebih banyak dari kasus anak-anak (Soedarmo, 1999).
Kejadian perdarahan spontan pada kasus-kasus infeksi VD dewasa yang dirawat
di RS Sanglah cukup tinggi. Pada periode April 2001Maret 2002, dari 1830 kasus
DBD dewasa, perdarahan spontan berupa petekie didapatkan 24%, perdarahan gusi
7,7%, epistaksis 4%, hematemesis 0,81%, perdarahan konjungtiva 0,4% (Risnawan et
al., 2002). Pada penelitian di Thailand, sebanyak 53% dari 35 pasien infeksi VD disertai
dengan manifestasi perdarahan (Watt et al., 2003).
Infeksi VD menyebabkan perubahan yang kompleks dan unik pada berbagai
mekanisme hemostasis dalam tubuh. Kompleks virus-antibodi yang terbentuk pada
infeksi VD diduga berperan memicu terjadinya perubahan kompleks dan unik pada
berbagai mekanisme hemostasis tubuh, yaitu terjadinya kebocoran vaskuler dan
perdarahan (Gatot, 1999). Kebocoran vaskuler dapat dilihat dari nilai hematokrit dan
kadar albumin serum. Aparatus hemostatik terdiri dari pembuluh darah, platelet, dan
faktor-faktorkoagulasi.
Dalam perawatan pasien infeksi VD, pemantauan dilakukan terhadap
kemungkinan terjadinya perdarahan dan syok dengan melihat beberapa parameter
laboratorium yaitu hitung platelet, hematokrit, dan kadar hemoglobin, namun kasuskasus yang dijumpai menunjukkan bahwa perdarahan spontan sering sulit diprediksi.
Tidak semua infeksi VD dengan platelet rendah disertai dengan perdarahan dan
sebaliknya beberapa kasus dengan hitung platelet lebih tinggi mengalami perdarahan
spontan.
BAB 2
TINJAUAN KEPUSTAKAAN
2.2
Virus Dengue
VD termasuk dalam famili Flaviviridae, terdiri dari 4 serotipe. Infeksi oleh satu
serotipe pada manusia memberi imunitas seumur hidup terhadap reinfeksi oleh serotipe
yang sama. VD mempunyai karakteristik yang sama dengan flavivirus lain, genomnya
terdiri RNA rantai tunggal (single stranded), dikelilingi oleh nukleokapsid ikosahedral
dan ditutupi oleh amplop lipid. Diameter virion sekitar 50nm. Genom flavivirus
panjangnya 11kb (kilobase), disusun oleh 3 gen protein struktural yaitu yang mengkode
nukleokapsid atau protein inti (core: C), protein membran (membrane: M), dan protein
amplop (envelope: E), dan 7 gen protein non struktural (NS) (Rothman, 2004). Untuk
menginfeksi sel target, VD menggunakan glikoprotein pada amplop virus, yang
mengandung komponen yang dibutuhkan untuk berikatan dan melakukan fusi dengan
sel target dan juga untuk berinteraksi dengan reseptor di sel target. Sel target primer
yang telah diketahui pada infeksi VD adalah monosit dan makrofag. Kemungkinan sel
target lain adalah sel dendritik dari monosit imatur (immature monocyte-derived
dendritic cells) (Thepparit & Smith, 2004).
Pada manusia, masing-masing serotipe dapat menyebabkan DD dan DBD.
Penelitian di Kuba menunjukkan asosiasi kuat antara infeksi DEN-2 dengan DBD dan
sindrom syok dengue (SSD), tapi studi tahun 1976-1978 di Indonesia, 1980-1982 di
Malaysia, 1989-1990 di Tahiti, dan 1983 di Thailand menunjukkan DEN-3 adalah
serotipe predominan pada pasien dengan penyakit yang berat. Di Meksiko tahun 1984,
Puerto Rico dan El Salvador tahun 1986, DEN-4 paling sering diisolasi dari pasien
DBD (WHO, 1997). Laporan pertama dari studi prospektif terhadap anak berusia 4-9
tahun yang dimulai Oktober 1995 di Kecamatan Gondokusuma Yogyakarta, dari 1837
sampel darah yang dikumpulkan Oktober 1995 dan Oktober 1996, pada awal studi
didapatkan prevalensi DEN 1 = 12%, DEN 2 = 16%, DEN 3 = 2%, DEN 4 = 4%, dan
infeksi dua atau lebih = 22%. Selama periode observasi, angka infeksi dengue primer
DEN 1 = 4,8%, DEN 2 = 7,7%, DEN 3 = 4,2%, DEN 4 = 3,4%, sementara infeksi oleh
dua serotype atau lebih = 6,7%. Angka infeksi sekunder adalah 19%. Sedangkan dari
hasil isolasi virus, DEN-3 adalah serotype yang predominan (Graham et al., 1999).
Penelitian berikutnya di Haiti tahun 1994-1996 pada 185 personel militer USA dengan
infeksi VD didapatkan DEN-1, DEN-2, dan DEN-4 (Halstead et al., 2001), sedangkan
pada wabah di Jeddah bulan Februari 1994-Desember 1999 paling banyak diisolasi
adalah DEN-2 (66,7% dari 207 pasien), disusul DEN-1 (27%), dan DEN-3 (6,3%).
Kasus fatal didapatkan pada infeksi DEN-2 (Fakeeh & Zaki, 2001). Pada wabah di
Palau, Pasifik Barat antara bulan Januari-Juni 1995, 51% serotipe yang diisolasi adalah
DEN-4 (Ashford et al., 2003). Pada epidemi di Merauke bulan April 2001 didapatkan
serotipe DEN-3 (Sukri et al., 2003).
Di Indonesia, serotipe 1, 2, 3, dan 4 telah berhasil diisolasi dari darah penderita.
Dari sebagian besar penderita DBD derajat berat maupun yang meninggal, diisolasi
DEN-3. Selama 17 tahun terakhir serotipe yang mendominasi adalah serotipe DEN-2
dan DEN-3 (Soedarmo, 1999). Fakta yang ada sekarang adalah semua jenis virus dapat
ditemukan pada kasus fatal. Artinya semua serotipe VD dapat saja membuat kematian
(Sutaryo, 1999).
Bila dilihat dari genotipenya, virus yang potensial menyebabkan DBD adalah
genotipe Asia Tenggara, karena mempunyai kemampuan selektif yang menguntungkan
dibandingkan genotipe Amerika, yaitu mampu menimbulkan viremia yang lebih tinggi
pada pejamu. Hal ini memperbesar kemungkinan untuk menginfeksi vektornya
(nyamuk), sehingga transmisi virus yang lebih virulen menjadi lebih tinggi. Pengamatan
ini dapat menjelaskan proses terjadinya epidemi infeksi virus ini (Cologna et al., 2005).
terhadap integritas sel endotel. Dua komponen ini sejak lama sudah diketahui sebagai
satu kesatuan fungsi dalam mempertahankan homeostasis. Bila salah satu cedera akan
berakibat pada yang lain. Platelet dapat dipandang sebagai sel sekretorik yang
mempunyai granula-granula yang mengandung berbagai mediator. Endotel mempunyai
macam-macam reseptor, di samping dapat mengeluarkan bahan-bahan vasoaktif kuat
seperti prostasiklin, platelet activating factor, plasminogen factor, dan interleukin-1.
Gangguan pada endotel akan menimbulkan aktivasi dan agregasi platelet (Sutaryo,
1999).
Studi klinis dan eksperimental pada manusia dan monyet memberi data yang
menghasilkan konsep tentang kemungkinan mekanisme imunopatologik yang
mengakibatkan permeabilitas vaskular dan perdarahan pada infeksi VD. Pada pejamu
dengan imunitas heterolog ternyata replikasi virus tetap terjadi meski ada antibodi yang
crossreactive (Halstead & Orourke, 1977). Pada beberapa studi, infeksi sekunder
nampaknya lebih menyebabkan penyakit yang berat. Hal ini dapat dijelaskan dengan
teori immune enhancement. Infeksi satu jenis serotipe (infeksi primer) memberi
imunitas terhadap infeksi serotipe yang sama (homolog) dan imunitas terhadap serotipe
yang lain bersifat transien. Pada infeksi sekunder, konsentrasi antibodi meningkat lebih
dini dan kadar antibodi spesifik lebih tinggi selama fase lambat viremia yang berarti
berpotensi lebh tinggi membentuk kompleks imun (Rothman, 2000). Aktivasi memory
CTL (cytotoxic T lymphocyte) yang cross reactive pada infeksi sekunder VD
diperkirakan merupakan hal yang penting pada patogenesis DBD. Sekuen peptide
varian virus dari serotype heterolog dapat meningkatkan respon CTL in vivo pada
infeksi sekunder (Zivny et al., 1999)
yang
menyatakan
bahwa
antibodi
crossreactive
yang
bersifat
nonneutralizing dari infeksi virus heterolog yang terjadi sebelumnya berikatan dengan
serotipe virus yang baru melalui reseptor Fc dan meningkatkan infeksi VD pada
monosit. Mekanisme ini memungkinkan lebih banyak jumlah antigen presenting cell
(APC) terinfeksi pada infeksi sekunder yang mengaktivasi limfosit T spesifik terhadap
VD yang terbentuk dari infeksi primer sebelumnya. Kaskade ini memicu pelepasan
sitokin dan mediator kimia yang merusak endotel dan menyebabkan kebocoran plasma
(gambar 1). Penelitian Littaua et al., 1990, mendapatkan Fc gamma RII di samping juga
Fc gamma R1 berperan sebagai mediator antibody-dependent enhancement pada infeksi
VD (Littaua, Kurane & Ennis, 1990).
Mady et al., 2004, meneliti tentang antibodi bispesifik yang secara kimiawi
cross-linking dengan antibodi anti VD dan antibodi spesifik untuk Fc gamma R1 atau Fc
gamma RII dan molekul mikroglobulin beta-2non-FcR, CD15 atau CD33. Penelitian ini
menunjukkan bahwa molekul di permukaan sel selain Fc gamma R dapat memediasi
ADE dan kemungkinan FcgammaR tidak menyediakan sinyal yang unik untuk
meningkatkan infeksi.
Di samping berperan pada patogenesis, respon sel T terhadap VD mungkin
berperan juga pada imunitas protektif. Studi pada 48 orang Vietnam dewasa dengan
infeksi sekunder VD menunjukkan pentingnya peranan NS3 dan sel T yang cross
reactive pada infeksi sekunder tapi respon sel T ini tidak berhubungan secara signifikan
dengan beratnya penyakit secara klinis dan kadar trombosit terendah (Simmons, et al.,
2005). Pada penelitian lain didapatkan selain monosit dan limfosit T, limfosit B juga
berperan pada patogenesis infeksi VD. Seperti pada monosit, pada limfosit B juga
terdapat reseptor Fc sehingga menjadi target antibody enhanced infection. Sel B juga
menghasilkan sitokin antara lain IL-6 dan TNF-, antiplatelet dan autoantibodi terhadap
sel endotel dengan titer yang tinggi khususnya pada pasien DBD dan sindrom syok
dengue (SSD), yang dapat mencetuskan koagulopati dan vaskulopati (Lin et al., 2002).
Adanya antibodi yang bersifat nonneutralizing ini menjadi salah satu penyebab
kesulitan menciptakan vaksin dengue yang efektif karena vaksin dengue yang
diharapkan mampu memberikan perlindungan yang kuat dan jangka panjang terhadap
keempat serotipe VD (vaksin multivalent), yang di sisi lain akan memberikan
kemungkinan sensitisasi untuk terjadinya infeksi yang lebih berat (Green at al., 1993,
Halstead & Deen, 2002, Stephenson, 2005). Beberapa penelitian untuk mengetahui
imunogenisitas, keamanan, reaktogenisitas, telah dicoba dengan kombinasi dosis dari
10
vaksin monovalen keempat strain virus dengue yang dilemahkan yang telah diuji pada
sukarelawan (Edelman et al., 2003), namun sampai saat ini vaksin yang terdaftar dan
dilisensi sebagai anti terhadap virus dengue sampai saat ini belum ada, meskipun vaksin
untuk melawan penyakit yang diakibatkan oleh virus sejenis seperti yellow fever,
Japanese encephalitis, sudah berhasil dibuat (Stephenson, 2005).
Faktor lain yang penting pada patogenesis infeksi VD adalah: 1) genotipe virus
yang virulen dengan replikasi tinggi yang memicu respon imun yang lebih berat,
2) predisposisi genetik untuk terjadinya penyakit yang lebih berat pada populasi
tertentu, 3) faktor risiko lain seperti usia, jenis kelamin. Pada penelitian terhadap 168
anak di Thailand didapatkan beratnya infeksi VD berkorelasi dengan titer viremia yang
tinggi, infeksi VD sekunder dan infeksi oleh DEN-2. Tapi pada penelitian lain ternyata
jumlah virus yang tinggi tidak terbukti berhubungan langsung dengan beratnya infeksi
(Vaughn et al., 2000). Pada infeksi sekunder, sampai saat ini hanya ada sedikit data
eksperimental tentang data derajat peningkatan infeksi yang diakibatkan oleh strain
yang berbeda. Data in vitro tentang strain VD ini sulit untuk diterjemahkan untuk
melakukan pengukuran observasi secara epidemiologis (Ferguson et al., 1999.)
11
penderita yang dapat mengakibatkan terjadinya trombositopenia dan aktivasi faktor XII
(Hageman) menjadi bentuk aktif (XIIa). Selanjutnya faktor XIIa ini akan mengaktifkan
faktor koagulasi lainnya secara berurutan mengikuti suatu kaskade yang akhirnya akan
terbentuk fibrin. Di samping itu, faktor XIIa juga akan mengaktifkan sistem fibrinolisis,
kinin, dan komplemen (gambar 2). Aktivasi sistem-sistem ini menyebabkan terjadi
perdarahan dan kegagalan sirkulasi (Gatot, 1999).
Pada studi kohort pada anak-anak yang dirawat dengan infeksi VD di Thailand
didapatkan hubungan antara skor perdarahan (bleeding score) dengan beratnya sakit
menurut kriteria WHO. Skor perdarahan ditentukan berdasarkan lokasi perdarahan,
yaitu 0: tanpa perdarahan, 1: petekie, 2: epistaksis atau perdarahan ginggiva, 3:
perdarahan gastrointestinal (Krishnamurti, 2001).
Vi-ab
XIIa
Platelet
Pembekuan
Agregasi
TF3
RES
Fibrinolisis
Kinin
Plasmin
Fibrin
Trombositopenia
Komplemen
Anafilatoksin
FDP
Hipoksia
asidosis
Permeabilitas pembuluh
darah
Volume plasma
PERDARAHAN
2.4.1
megakariosit dengan waktu maturasi 4-5 hari dan waktu hidup di sirkulasi 9-10 hari.
12
Cadangan platelet di sumsum tulang terbatas dan dapat dengan cepat berkurang setelah
terjadi kehilangan atau destruksi platelet. Untuk semua usia, hitung platelet berkisar
150.000-450.000/mm3 (Goodnight & Hathaway, 2001).
Fungsi platelet yang normal ditentukan oleh beberapa hal antara lain: 1) jumlah
platelet (>100.000/mm3), 2) metabolisme energi, 3) jumlah dan isi granula yang cukup,
yang akan dilepas jika ada stimuli, 4) protein kationik antara lain trombostenin,
5) reseptor membran dan kepekaan reseptor yang memadai terhadap stimuli, 6) kation
divalent yaitu Mg2+ & Ca2+, 7) kondisi fisik yaitu pH, suhu. (Bick & Murano, 2002).
Secara umum makin rendah hitung platelet, makin tinggi risiko perdarahan (Warkentin
& Kelton, 2003). Waktu perdarahan atau bleeding time (BT) abnormal jika hitung
platelet kurang dari 60.000-70.000/mm3. Pada pasien dengan trombositopenia tanpa
defek platelet fungsional, perdarahan spontan jarang kecuali bila platelet kurang dari
10.000-15.000/mm3 (Frenkel, 2002).
Trombositopenia merupakan salah satu kriteria sederhana yang diajukan oleh
WHO untuk diagnosis klinis penyakit DBD. Jumlah platelet biasanya masih normal
selama 3 hari pertama. Trombositopenia mulai tampak beberapa hari setelah demam,
dan mencapai titik terendah pada fase syok (Gatot, 1999). Pada penelitian di Thailand
terhadap 35 pasien infeksi VD, median hitung platelet adalah 72.000/mm 3 (range
interkuartil 40.000-90.000/mm3) (Watt et al., 2003). Dari 738 kasus DBD yang dirawat
pada bulan Mei 1998 April 1999 di RS Sanglah, rata-rata hitung platelet adalah (90,3
(SD 54,8) x 103/mm3 (Sutarka et al., 2000). Pada penelitian retrospektif bulan Januari
Desember 2000, terhadap 122 kasus DBD di RS Kariadi Semarang, didapatkan rata-rata
platelet saat opname adalah 70.000/mm3. Kadar platelet terendah didapatkan pada hari
13
keempat pada 34% kasus, dan peningkatan menjadi normal pada hari ketujuh
didapatkan pada 50% kasus (Sofro & Budiriyanto, 2001).
Secara umum, pada trombositopenia 3 mekanisme dasar yang bisa terjadi
sendiri-sendiri atau mungkin juga kombinasi adalah: berkurangnya produksi platelet,
perubahan distribusi platelet dan peningkatan destruksi platelet (Frenkel, 2002; Brussel,
2001). Megakariosit merupakan sel ideal untuk invasi dan replikasi bakteri dan virus.
Bila hal ini terjadi maka morfologi megakariosit akan berubah dan mungkin juga
megakariosit akan menurun. Apakah virus dengue juga menekan produksi platelet,
belum diketahui dengan pasti (Frenkel, 2002).
Beberapa peneliti menyatakan bahwa pada pemeriksaan sumsum tulang
penderita DBD pada masa awal demam terdapat hipoplasia sumsum tulang dengan
hambatan pematangan dari semua sistem hemopoesis terutama megakariosit. Setelah itu
pada hari kelima sampai kedelapan perjalanan penyakit, terjadi peningkatan cepat
eritropoiesis dan megakariosit muda. Pada masa konvalesensi sumsum tulang menjadi
hiperseluler yang terutama diisi oleh eritropoiesis dengan pembentukan platelet yang
sangat aktif (Gatot, 1999). Pada studi 11 pasien dengan infeksi VD dilaporkan bahwa
peningkatan trombopoietin yang bersifat antisipasi terhadap trombositopenia tidak
didapatkan pada minggu pertama sakit. Aspirasi sumsum tulang pada minggu kedua
menunjukkan
peningkatan
proporsi
megakariosit
pada
60%
pasien
dengan
trombositopenia berat. Pada saat ini didapatkan kadar trombopoietin meningkat pada
pasien yang diperiksa (Levin, 1996).
Penyebab trombositopenia pada DBD nampaknya belum jelas benar. Sebagian
peneliti menyatakan kemungkinan penyebabnya adalah trombopoesis yang menurun
dan destruksi platelet dalam darah yang meningkat. Peneliti lain menemukan adanya
14
2.4.2
prothrombin yang memanjang, penurunan kadar faktor pembekuan II, V, VII, VIII, IX,
dan X bersama hipofibrinogenemia dan peningkatan produk pemecahan fibrin (FDP
atau fibrin degradation product) (Gatot, 1999). Hal ini telah didapatkan oleh Mitrakul
(1977) pada studi hemostatik dan kinetik platelet pada 61 anak dengan penyakit ini di
mana trombositopenia dan hipofibrinogenemia merupakan 2 defek hemostatik paling
prominen, sedangkan faktor II, V, VII, VIII, IX, X, dan XII rendah (ringan dan
bervariasi), dan fibrin degradation products meningkat ringan sampai sedang.
Peningkatan pembekuan intravaskular merupakan satu faktor yang mungkin
bertanggung jawab meski bukan merupakan satu-satunya.
Pada studi kohort pada anak-anak yang dirawat dengan infeksi VD di Thailand,
sampel darah diambil pada saat demam atau fase akut (S1), setelah demam turun (S2),
15
saat keluar rumah sakit (S3), dan 1 bulan setelah keluar dari rumah sakit (S4), dan
didapatkan aPTT memanjang signifikan pada S1 baik pada DD maupun DBD, kembali
normal pada S4, tidak ada perbedaan signifikan PT pada S1 dan S4. Abnormalitas
koagulopati yang terjadi sama pada DB dan DBD tanpa kolaps sirkulasi, dan beratnya
tidak berhubungan dengan skor perdarahan ataupun kebocoran plasma. Tidak
didapatkan penurunan signifikan pada S1 dibandingkan dengan S4 pada faktor-faktor
koagulasi yaitu faktor VII (jalur ekstrinsik), faktor VIII, IX, XI, XII (jalur intrinsik),
faktor II, V, X (jalur bersama/common pathway). Pada penelitian ini didapatkan
koagulopati hanya akan menyebabkan perdarahan jika ada gangguan integritas jaringan
(antara lain pembedahan, menstruasi), dan pada umumnya terkompensasi baik
(Krishnamurti, 2001).
2.5
2.5.1
Hematokrit
Hematokrit adalah pemeriksaan sederhana untuk menentukan volume sel darah
merah, tapi pada keadaan tertentu tidak mencerminkan ukuran sel darah merah yang
sebenarnya seperti pada dehidrasi karena pemeriksaan ini merupakan pengukuran tidak
langsung. Hasil pengukuran dengan sel darah merah yang dilabel menunjukkan nilai
16
yang lebih rendah 10% dibandingkan dengan hasil kalkulasi dari volume plasma dan
hematokrit dari pembuluh darah perifer. Dengan pemeriksaan elektronik, hematokrit
dikalkulasi dari hitung eritrosit dan MCV dengan rumus: Hct (L/100L) = (RBC
dalam satuan juta per L x MCV dalam fl)/10, dinyatakan dalam persen (Ryan, 2001).
Pada infeksi VD, hemokonsentrasi dengan peningkatan hematokrit 20% atau
lebih merupakan bukti definitif peningkatan permeabilitas vaskular dan kebocoran
plasma. Penilaian hematokrit ini perlu hati-hati karena kadar hematokrit dipengaruhi
oleh pemberian cairan atau perdarahan (WHO, 1997).
2.5.2
Albumin
Albumin adalah salah satu dari 3 protein plasma yang utama, di samping
globulin dan fibrinogen. Pada keadaan normal, kadarnya di dalam plasma sekitar
4,5g/dl. Fungsi utama albumin adalah mempertahankan tekanan osmotik pada membran
kapiler. Tekanan osmotik koloid ini mencegah cairan plasma keluar dari kapiler masuk
ke ruang interstitial. Sejauh ini diketahui bahwa kapiler mempunyai saluran kecil yang
menghubungkan bagian dalam dengan bagian luarnya. Kebanyakan molekul dan ion
yang larut dalam air dapat melewati celah pori-pori ini. Lebar celah pori-pori kapiler
6-7nm. Diameter molekul protein plasma sedikit lebih besar daripada lebar pori-pori itu.
Permeabilitas pori-pori untuk tiap zat ditentukan oleh ukuran diameter molekulnya.
Permeabilitas untuk molekul albumin kurang dari 1/10.000 permeabilitas untuk molekul
air, jadi hampir tidak permeabel terhadap albumin sehingga menimbulkan perbedaan
konsentrasi berarti antara albumin plasma dan albumin cairan interstitial (Guyton,
1982).
Pada infeksi VD, sering dijumpai efusi serosa yang mengandung protein tinggi
(terutama albumin) di pleura dan kavum abdomen, jarang di kavum perikard, tapi
17
dengan mikroskop cahaya tidak didapatkan perubahan pada dinding pembuluh darah
(WHO, 1997).
2.6
Patologi
Hasil otopsi pasien yang mati karena DBD menunjukkan perdarahan, sesuai
dengan urutan frekuensi yaitu di kulit dan jaringan subkutan, mukosa saluran
gastrointestinal, dan di jantung serta hati. Perdarahan subarachnoid atau serebral jarang
dijumpai. Efusi serosa dijumpai di pleura, kavum abdomen, dan kavum perikard.
Kapiler dan venula pada sistem organ yang terkena mungkin menunjukkan perdarahan
ekstravaskuler karena diapedesis dan perdarahan perivaskuler dengan infiltrasi limfosit
dan sel mononuklear. Bukti adanya pembentukan klot intravaskular di pembuluh darah
kecil didapatkan pada perdarahan yang berat (WHO, 1997).
Hepatomegali dan peningkatan kadar enzim hati sering didapatkan meskipun
tidak selalu, bervariasi dari satu epidemi ke epidemi lain. Diperkirakan strain dan/atau
serotipe virus berperan pada terlibatnya hati dan injuri hati lebih berhubungan dengan
faktor virus dibandingkan dengan respon imun. Pada pemeriksaan histopatologi
didapatkan nekrosis midzonal dan councilman bodies (Gubler, 1998). Enzim
hepatoseluler (ALT dan AST) digunakan sebagai parameter pengukuran injuri seluler.
Pada penelitian di Thailand didapatkan AST sebagai prediktor kuat infeksi dengue
khususnya DBD dan dapat dipakai untuk identifikasi dini pasien risiko tinggi. Injuri hati
ini sifatnya transien (Krishnamurti, 2001).
2.7
Diagnosis
18
Simptomatik
Undifferentiated fever
(Viral syndrome)
DD
dengan
perdarahan
tanpa
syok
SSD
Demam Dengue
Gambaran klinis DD sering tergantung pada usia. Pada bayi dan anak-anak
demam sulit dibedakan dengan infeksi virus lain, biasanya dengan rash makulopapular.
Pada anak yang lebih tua dan orang dewasa biasanya dengan gejala ringan, atau pada
penyakit yang klasik ditandai dengan demam tinggi dengan onset mendadak, kadangkadang dengan dua puncak (saddle backed), nyeri kepala yang berat, nyeri di belakang
mata, otot, dan tulang atau sendi, mual, muntah, dan rash. Perdarahan kulit (petekie)
sering. Biasanya dijumpai leukopenia dan trombositopenia. Di beberapa daerah
endemik, DD dapat disertai dengan komplikasi perdarahan seperti epistaksis,
perdarahan gusi, perdarahan gastrointestinal, hematuria, dan menorrhagia (WHO,
1997).
Untuk kepentingan epidemiologi dan pelaporan, kasus DD diklasifikasikan
menjadi probable case, confirmed case, dan reportable case. Disebut probable case bila
didapatkan demam mendadak selama dua hari atau lebih dengan manifestasi klinis nyeri
kepala, nyeri retroorbital, mialgia, atralgia, rash, manifestasi perdarahan, leukopenia,
19
2.7.2
20
petekie di ekstremitas yang biasanya muncul pada awal fase demam. Epistaksis dan
perdarahan ginggiva tidak sering terjadi, perdarahan gastrointestinal biasanya ringan.
Hati teraba pada awal fase demam, tidak berkorelasi dengan beratnya penyakit dan
didapat lebih sering pada pasien syok. Stadium kritis perjalanan penyakit terjadi pada
akhir fase demam 2-7 hari, penurunan suhu yang cepat sering disertai dengan tanda
gangguan sirkulasi. Beberapa pasien membaik spontan atau dengan terapi cairan dan
elektrolit. Beratnya perjalanan penyakit dapat dipengaruhi oleh diagnosis dini dan
penggantian cairan (WHO, 1997). Dengan dasar ini, lama demam di rumah dapat
mempengaruhi beratnya perjalanan penyakit termasuk kemungkinan terjadinya
perdarahan spontan.
Semua kriteria berikut ini harus ada untuk definisi kasus DBD menurut WHO:
-
demam atau riwayat demam akut, selama 2-7 hari, kadang-kadang bifasik
tendensi perdarahan, yang dibuktikan oleh sedikitnya satu dari: tes tourniquet
positif; petekie, ekimosis, atau purpura; perdarahan mukosa, saluran gastrointestinal,
tempat suntikan atau lokasi lain; hematemesis atau melena.
sampai tekanan di antara sistolik dan diastolik selama lima menit. Tes disebut positif
jika timbul petekie 20 atau lebih per area 2,5cm (1 inchi) persegi (WHO, 1997).
21
Pasien yang memburuk menjadi syok terjadi setelah periode demam 2-7 hari,
pada saat atau segera setelah suhu tubuh turun, antara hari ke-3 sampai hari ke-7. Nyeri
abdomen akut sering dikeluhkan sesaat sebelum onset syok. Sindrom syok dengue
(SSD) ditandai oleh nadi cepat, lemah, tekanan nadi sempit (<20mmHg, tidak
tergantung tekanan darah; misalnya 100/90mmHg) atau hipotensi dengan kulit dingin
dan gelisah (WHO, 1997).
Trombositopenia dan hemokonsentrasi adalah temuan yang tetap pada DBD.
Penurunan platelet di bawah 100.000/mm3 biasanya didapatkan antara hari ke-3 dan ke8, dapat terjadi sebelum atau simultan dengan perubahan hematokrit. Peningkatan
hematokrit yang menunjukkan kebocoran plasma selalu ada. Hemokonsentrasi dengan
peningkatan hematokrit 20% atau lebih merupakan bukti definitif peningkatan
permeabilitas vaskular dan kebocoran plasma. Kadar hematokrit dipengaruhi oleh
pemberian cairan atau perdarahan. Sehingga pada penelitian ini data diambil pada saat
penderita masuk rumah sakit, sebelum diberikan infus cairan. Hitung leukosit bervariasi
pada onset sakit, dari leukopeni sampai leukositosis ringan (WHO, 1997).
WHO (1997) memberikan pedoman untuk membantu klinisi menegakkan
diagnosis DBD secara dini idealnya sebelum terjadi syok dan juga menghindari
overdiagnosis, juga menentukan derajat beratnya penyakit, yaitu dengan kriteria klinis
dan kriteria laboratoris (lampiran 1).
2.7.4
Konfirmasi Diagnosis
Tes laboratorium merupakan tes yang penting untuk konfirmasi diagnosis klinis
dari infeksi virus dengue. Ada dua metode dasar yaitu deteksi virus (misalnya isolasi
virus, pembuktian adanya antigen virus yang spesifik atau adanya RNA di dalam
22
jaringan atau serum) dan deteksi antibodi (serologi). Ada lima jenis pemeriksaan
serologi yang dianggap sebagai tes dasar, yaitu: tes HI (hemaglutinasi inhibisi), tes
pengikatan komplemen (complement fixation test), tes netralisasi (neutralization test),
tes MAC-Elisa (IgM capture enzyme-linked immunosorbent assay), tes IgG Elisa
indirek (Gubler, 1998). Tes serologi merupakan jenis tes yang paling sering dilakukan
untuk konfirmasi laboratorium infeksi virus dengue (Wuryadi, 1999). Hasil evaluasi
empat macam metode pemeriksaan untuk mendeteksi IgM anti VD menunjukkan bahwa
sensitivitas PanBio IgM Elisa 85,5%, lebih baik dari sensitivitas PanBio IC (83,9%),
lebih rendah dibandingkan sensitivitas MRL Diagnostics IgM Elisa (98,4%) dan
Integrated Diagnostics IgM dot Elisa (96,8%). Sedangkan spesifisitas dari keempat
metode tersebut semuanya 100% (Branch & Levett, 1999).
Pola respon imun pada manusia ada dua macam yaitu primer dan sekunder
(anamnestik). Innis et al., yang pertama kali mengklasifikasikan infeksi primer dan
sekunder dengan melihat rasio unit antibodi terhadap VD yaitu IgM:IgG. Pada infeksi
primer, rasio IgM:IgG lebih tinggi sedangkan pada infeksi sekunder rasio ini lebih
rendah. Metode ini memberi kontribusi yang besar pada upaya menganalisis status
imunitas pasien dengan infeksi VD. Teknik ini sudah disederhanakan untuk penggunaan
di klinik (Shu & Huang, 2004).
Penderita yang sebelumnya belum pernah terinfeksi flavivirus atau diimunisasi
dengan vaksin flavivirus (misalnya yellow fever, Japanese encephalitis, tick borne
encephalitis) akan memberi respon antibodi primer bila terinfeksi VD. Isotipe
imunoglobulin yang dominan adalah IgM. Pada suatu penelitian di mana infeksi
dikonfirmasi dengan isolasi virus atau pemeriksaan serologi serum berturut-turut, 80%
IgM terdeteksi pada hari ke-5, 99% terdeteksi pada hari ke-10. IgM akan meningkat
23
cepat, mencapai puncak 2 minggu setelah onset, kemudian menurun sampai tidak
terdeteksi setelah 2-3 bulan. IgG anti dengue muncul segera setelah IgM muncul. Pada
infeksi primer kadar IgM anti dengue tinggi dan kadar IgG rendah. Orang yang
mempunyai imunitas terhadap infeksi flavivirus sebelumnya atau imunisasi akan
memberi respon antibodi sekunder (anamnestik), di mana IgG dominan sedangkan IgM
juga muncul dengan kinetika sama seperti infeksi primer tapi pada kadar yang sangat
rendah. IgG terdeteksi pada hari ke-2 setelah sakit, kemudian meningkat cepat,
puncaknya 2 minggu setelah gejala, menurun perlahan selama 3 bulan dan biasanya
bertahan cukup lama (dapat terdeteksi seumur hidup). Infeksi sekunder ditandai oleh
kadar IgM anti dengue yang rendah dan kadar IgG tinggi yang reaktif terhadap
flavivirus (WHO, 1997).
Berdasarkan pada hal di atas, diagnosis serologis dengan pemeriksaan antibodi
IgM dapat dilakukan pada infeksi primer setelah hari ke 5 sakit. Bila saat ini dilakukan
2 jenis pemeriksaan antibodi IgM dan IgG, maka akan didapat hasil antibodi IgM positif
dan IgG negatif. Pada infeksi sekunder bila pemeriksaan serologi dilakukan pada hari
ke-2 sakit, akan didapatkan hasil antibodi IgG positif dan IgM negatif, tapi bila
dilakukan tes serologi pada hari ke 5 sakit akan didapat hasil antibodi IgG positif dan
IgM positif (Loho, 1994).
24
LAPORAN KASUS
I. Identitas
Nama
Umur
: 6 tahun
: Desa Sulanyati
MRS
: 5 Maret 2007
RM
: 21.83.58
II. Heteroanamnesis
KU : Panas badan
Penderita dikeluhkan panas sejak 3 hari yang lalu sebelum masuk RS, panas
tinggi, kemudian naik turun. Hilang dengan obat penurun panas. Kejang ( - ) ,
menggigil ( - ) , berkeringat ( - ) .
Batuk (-)
Mual (- ) .
Muntah (-) .
Pusing (+).
Riwayat pengobatan :
Penderita sewaktu panas diberikan obat penurun panas.
Riwayat penyakit sebelumnya :
25
ASI : 0 1 tahun.
SF : 6 bulan - sekarang.
Riwayat persalinan :
Penderita lahir cukup bulan, secara normal, di Bidan, langsung menangis. BBL :
2900, PBL : 50 cm. Tidak ada kelainan.
Riwayat Imunisasi :
Dikatakan lengkap sesuai umur oleh ibu penderita.
III. Pemeriksaan Fisik
Vital Sign
Kesan Umum
: Tampak lemah.
Kesadaran
: CM.
Nadi
: 100x/menit.
Respirasi
: 24x/menit.
t ax
: 39 C.
: 100/70 mmHg.
BB
: 16,5 kg
BBI
RL
: (+)
26
Status General :
Kepala : N-cephali.
Mata
: anemia (-), ikterus (-), Refleks Pupil +/+ isokor, cowong -/-.
THT
Thorak :
Abdomen :
Distensi (-), Bising Usus (+) N, Hepar dan Lien tidak teraba, Turgor
Normal.
Extremitas : Akral hangat (+), cyanosis (-).
Hasil Laboratorium
DL (Darah Lengkap) :
WBC
: 2,0 k/ul L
RBC
: 4,13 M/dl
HGB
: 11,1 g/dl
HCT
: 35,2 %
PLT
: 73 k/ul L
WIDAL
Px
Hasil
Salmonella thypi O
(-)
Salmonella thypi H
(-)
(- )
(- )
27
(-)
(-)
Infus RL 10 tets/mnt
28
5/3/07
MRS
RL 10 tetes/menit
Paracetamol syr 3x Cth 1,5.
Banyak minum
Pdx :
DL
Mx :
Vital sign
CM- CK
Tanda-tanda perdarahan
A : DHF
6/3/07
Pdx :
DL
Mx :
29
Status general :
Kepala : N-cephali, UUB datar.
Mata
: an -/-, ikt -/-, RP +/+ isokor,
cowong (-).
THT
: NCH (-), cyan (-)
Thorax
: Cor : S1 S2 N reg mur (-)
Po : ves (+), rh -/-, wh -/Abd
: dist (-), BU (+) N
H : tidak teraba
L : tidak teraba
Ext
: hangat (+), cyanosis (-)
Vital sign
CM- CK
Tanda-tanda perdarahan
Terapi dilanjutkan
Hasil DL:
WBC
: 3,2 L
RBC
: 4,65 L
HGB
: 12,7
HCT : 34,8
PLT
: 39 L
A : DHF
7/3/07
Pdx :
DL
Foto thorax
Mx :
Vital sign
CM- CK
Tanda-tanda perdarahan
30
HCT
PLT
: 32,5
: 31 L
A : DHF
8/3/07
Terapi dilanjutkan
Pdx :
DL
Foto thorax
Mx :
Vital sign
CM- CK
Tanda-tanda perdarahan
Hasil DL:
WBC
: 6,3
RBC
: 4,33 L
HGB
: 11,7 L
HCT : 32,6
PLT
: 28 L
A : DHF
9/3/07
Terapi dilanjutkan
Pdx :
DL
31
Nadi : 84x/menit
Resp : 30x/menit
tax : 36,5 C
Status general :
Kepala : N-cephali, UUB datar.
Mata
: an -/-, ikt -/-, RP +/+ isokor,
cowong (-).
THT
: NCH (-), cyan (-)
Thorax
: Cor : S1 S2 N reg mur (-)
Po : ves (+), rh -/-, wh -/Abd
: dist (-), BU (+) N,ascites (+)
H : teraba 1/3-1/3
L : tidak teraba
Ext
: hangat (+), cyanosis (-)
Mx :
Vital sign
CM- CK
Tanda-tanda perdarahan
Hasil DL:
WBC
: 4,7
RBC
: 4,06
HGB
: 11,3
HCT : 35,1
PLT
: 47 L
Hasil rontgen thorax:
Cor: tidak membesar
Pulmo: DD BP paru kanan
- Specific process
A : DHF
10/3/07 S : demam (-), ma/mi (+) baik, BAB/BAK (+) BPL
N.
O:
Status Present :
KU : sedang
Kes : CM
Nadi : 84x/menit
Resp : 30x/menit
tax : 36 C
Status general :
Kepala : N-cephali, UUB datar.
Mata
: an -/-, ikt -/-, RP +/+ isokor,
cowong (-).
THT
: NCH (-), cyan (-)
32
Thorax
Abd
Ext
A : DHF
33
Daftar Rujukan
Ashford, DA, Savage, HM, Hajjeh, RA, McReady, J, Bartholomew, DM, Spiegel, RA,
Voundam, V, Clark, GG & Gubler, DG 2003, Outbreak of dengue fever in Palau,
Western Pacific: Risk factor for infection, Am. J. Trop. Med. Hyg., vol. 69, pp. 135-40.
Bick, RL & Murano, G 2002, Physiology of hemostasis, in RL Bick (ed.), Disorders
of thrombosis and hemostasis, clinical and laboratory practice, 3rd edn, Lippincott
Williams & Wilkins, Philadelphia, p.1-29.
Biran, SI, Saraswati, R, Parwati, T & Kerti, D 2002, Dengue fever/dengue hemorrhagic
fever at Sanglah hospital January 1997 April 2002, correlation with rainfall, in Buku
abstrak Kongres Nasional Petri VIII, Perpari V, PKWI V, Malang, 19-21 Juli 2002, p.
VIII-43. Abstract.
Brussel, JB 2001, Thrombocytopenias, in SH Goodnight & WE Hathaway (ed.),
Disorders of hemostasis and thrombosis, a clinical guide, McGraw-Hill companies,
New York, pp. 76-87.
Cologna, R, Armstrong, PM, & Hesse, RR, 2005, Selection for virulent dengue viruses
occurs in humans and mosquitoes, J. Virol., vol. 79, pp. 853-9.
Dahlan MS, 2004, Seri Statistik: Statistika untuk kedokteran dan kesehatan Uji
hipotesis dengan menggunakan SPSS program 12 jam, PT Arkans Entertainment and
Education in Harmony, Jakarta.
Edelman, R, Wasserman, SS, Bodison, SA, Putnak, RJ, Eckels, KH, Tang, D, Thasan,
sNK, Vaughn, DW, Innis, BL & Sun, W 2003, Phase I trial of 16 formulations of a
tetravalent live-attenuated dengue vaccine, Am. J. Trop. Med. Hyg., vol. 60, pp. 48-60.
Fakeeh, M & Zaki, AM 2001, Virologic and serologic surveillance for dengue fever in
Jeddah, Saudi Arabia, Am. J. Trop. Med. Hyg., vol. 65, pp. 764-7.
Ferguson, N, Anderson, R & Gupta, S, 1999, The effect of antibody-dependent
enhancement on the transmission dynamics and persistence of multiple-strain
pathogens, Proc. Nat,f. Acad. Sci. USA, vol. 96, pp. 790-4.
Frenkel, EP 2002, Thrombocytopenia and thrombocytosis, in RL Bick (ed.), Disorders
of thrombosis and hemostasis, clinical and laboratory practice, 3rd edn, Lippincott
William & Wilkins, Philadephia. p. 91-115
Gatot, D 1999, Perubahan hematologi pada infeksi dengue, in SRH Hadinegoro & HI
Satara (ed.), Demam berdarah dengue, naskah lengkap pelatihan bagi dokter spesialis
anak dan dokter spesialis penyakit dalam dalam tatalaksana kasus DBD, BP FKUI,
Jakarta, pp. 44-54.
Gibbons, RV & Vaughn, DW 2002, Clinical review, dengue: an escalating problem,
BMJ, vol. 324, pp. 1563-6.
34
Graham, RR, Juffrie, M, Tan, R, Hayes, CG, Laksono, I, Maroef, C, Erlin, Sutaryo,
Porter, KR & Halstead, SB, 1999, A prospective seroepidemiologic study on dengue in
children four to nine years of age in Yogyakarta, Indonesia 1. studies in 1995-1996,
Am. J. Trop. Med. Hyg., vol. 6, pp. 412-9.
Green, S, Kurane, I, Edelman, R, Tacket, CO, Eckels, KH, Vaughn, DW, Hoke Jr., CH,
Ennis, FA, 1993, Dengue virus-specific human CD4+ T-lymphocyte responses in a
recipient of an experimental live-attenuated dengue virus type 1 vaccine: bulk culture
proliferation, clonal analysis, and precursor frequency determination, J. Virol., vol. 67,
pp. 5962-7.
Gubler, DJ 1998, Dengue and dengue hemorrhagic fever, Clin. Microbiol. Review,
vol. 11, pp. 480-96.
Halstead, SB 1999, Dengue, in D Armstrong & J Cohen (ed.), Infectious diseases, vol.
2, Mosby, London.
Halstead, SB, Streit, TG, Lafontant, JG, Putuatana, R, Russel, K & Sun, W 2001, Haiti:
absence of dengue hemorrhagic fever despite hyperendemic dengue virus transmission,
Am. J. Trop. Med. Hyg., vol. 65, pp. 180-3.
Krishnamurti, C, Kalayanarooj, S, Cutting, MA, Peat, RA, Rothwell, SW & Reid, TJ
2001, Mechanisms of hemorrhage in dengue without circulatory collapse, Am J Trop
Med Hyg, vol. 65, pp 840-7.
Levine SP, 1999, Thrombocytopenia caused by immunologic platelet destruction, in
GR Lee, J Foerster, J Lukens, F Paraskevas, JP Green, GM Rodgers (ed.), Wintrobes
Clinical Hematology, 10th edn, vol. 1, William & Wilkins, Baltimore, pp 1583-1611.
Loho, T 1994, Peranan IgM anti dengue dalam membantu diagnosis infeksi dengue, in
RHH Nelwan & Sosrosuwihardjo (ed.), Up date ilmu penyakit infeksi, FKUI, Jakarta,
pp. 34- 44.
Mady, BJ, Erbe, DV, Kurane, I, Fanger, MW & Ennis, FA 2004, Antibody-dependent
enhancement of dengue virus infection mediated by bispesific antibodies against cell
surface molecules other than Fc gamma receptors, Postgraduate Medical Journal, vol.
80, pp. 588-601. Abstract.
Mahendra, IB, Parwati, T & Biran, SI 2002, The epidemiologic study of dengue
haemorrhagic fever in adult patient at Sanglah General Hospital, in Buku abstrak
Kongres Nasional Petri VIII, Perpari V, PKWI V, Malang, 19-21 Juli 2002, pp. VIII-46.
Abstract.
Malavige, GN, Fernando, S, Fernando, DJ & Seneviratne, SL, 2004, Dengue viral
infections, viewed 30 September 2005, <http://www.postgradmedj.com>.
35
of
virus
disease,
36
37