Anda di halaman 1dari 23

KEDUDUKAN, KEWENANGAN

DAN TINDAKAN HUKUM PEMERINTAH


I.

Kedudukan Hukum Pemerintah


Kenyataan sehari-hari menunjukkan bahwa pemerintah di samping melaksanakan
kegiatan dalam bidang hukum publik, juga sering kali terlibat dalam lapangan
keperdataan. Dalam pergaulan hukum, pemerintah sering tampil dengan twee
petten, dengan dua kepala, sebagai wakil dari jabatan (ambt) yang tunduk pada
hukum publik dan wakil dari badan hukum (rechtspersoon) yang tunduk pada hukum
privat. Untuk mengetahui kapan negara terlibat dalam pergaulan publik dan kapan
terlibat dalam pergaulan hukum keperdataan, pertama yang harus dilakukan adalah
melihat lembaga yang diwakili pemerintah, dalam hal ini negara. Untuk mengetahui
kedudukan hukum negara ini, mau tidak mau harus melibatkan pembagian dua jenis
hukum tersebut.
Dalam perspektif hukum publik, negara adalah organisasi jabatan. Menurut
Logemann : Dalam bentuk kenyataan sosialnya, negara adalah organisasi yang
berkenaan dengan berbagai fungsi. Yang dimaksud dengan fungsi adalah lingkungan
kerja yang terperinci dalam hubungannya secara keseluruhan. Fungsi-fungsi ini
dinamakan jabatan. Negara adalah organisasi jabatan..1 Jabatan adalah suatu
lembaga dengan lingkup pekerjaan sendiri yang dibentuk untuk waktu lama dan
kepadanya diberikan tugas dan wewenang.2
Menurut Bagir Manan, jabatan adalah lingkungan pekerjaan tetap yang berisi
fungsi-fungsi tertentu yang secara keseluruhan mencerminkan tujuan dan tata kerja
suatu organisasi. Negara berisi berbagai jabatan atau lingkungan kerja tetap dengan
berbagai fungsi untuk mencapai tujuan negara.3 Dengan kata lain, jabatan adalah

1 Logemann, Over de Theorie van een Stellig Staatsrecht, Saksama, Jakarta, 1954 hlm. 58 dalam
Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, UII Press, Yogyakarta, 2002, hal. 54.
2
2. N.E. Algra en H.C.J.G. Janssen, Rechtsingang, een Orientatie in he Recht, H.D. Tjeenk Willink
b.v., Groningen, hlm. 175 dalam Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, UII Press, Yogyakarta, 2002,
hal. 54.
3

Bagir Manan, Pengisian Jabatan Presiden Melalui (dengan) Pemilihan Langsung, Makalah,
Bandung, 6 Pebruari 1999, hlm. 1 dalam Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, UII Press, Yogyakarta,
2002, hal. 54.

suatu lingkungan pekerjaan tetap (kring van vaste werkzaamheden) yang diadakan
dan dilakukan guna kepentingan negara. Tiap jabatan adalah suatu lingkungan
pekerjaan tetap yang dihubungkan dengan organisasi sosial tertinggi, yang diberi
nama negara.4
Berdasarkan ajaran hukum keperdataan dikenal istilah subyek hukum, yaitu de
dragger van de richten en plichten atau pendukung hak dan kewajiban, yang terdiri
dari manusia (natuurlijk persoon) dan badan hukum (rechtspersoon). Badan hukum
ini terdiri dari dua bagian yaitu badan hukum privat (privaatrechtspersoon) dan
badan hukum publik (publiekrechtspersoon). Menurut Chidir Ali, ada tiga criteria
untuk menentukan status badan hukum publik yaitu; Pertama, dilihat dari
pendiriannya, badan hukum itu diadakan dengan konstruksi hukum publik yang
didirikan oleh penguasa dengan undang-undang atau peraturan-peraturan lainnya.
Kedua,

lingkungan kerjanya yaitu melaksanakan perbuatan-perbuatan publik;

Ketiga, badan hukum itu diberi wewenang publik seperti membuat keputusan,
ketetapan atau peraturan yang mengikat umum. Termasuk dalam kategori badan
hukum publik yaitu Negara, Propinsi, Kabupaten dan Kotapraja dan lain-lain.5
1.1. Kedudukan Pemerintah dalam Hukum Publik
Menurut P. Nicolai6 dan kawan-kawan ada beberapa ciri yang yang terdapat pada
jabatan atau organ pemerintahan yaitu sebagai berikut :
1) Organ pemerintahan menjalankan wewenang atas nama dan tanggung jawab
sendiri,

yang

dalam

pengertian

modern,

diletakkan

sebagai

pertanggungjawab-an politik dan kepegawaian atau sebagai tanggung jawab


pemerintah sendiri di hadapan hakim dalam drangka melaksanakan
wewenang

tersebut.

Organ

pemerintah

adalah

pemikul

kewajiban

tanggungjawab.
2) Pelaksanakan wewenang dalam rangka menjaga dan mempertahankan norma
hukum administrasi, organ pemerintahan dapat bertindak sebagai pihak yang
4
E. Utrecht, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, Pustaka Tinta Mas, Surabaya,
1988, hlm. 200.
5
Chidir Ali, Badan Hukum, Alumni, Bandung, 1987, hlm. 62.
6
P. Nicolai, et al., Bestuursrecht, Amsterdam, 1994, hlm.24-26. dalam Ridwan HR, Hukum
Administrasi Negara, UII Press, Yogyakarta, 2002, hal. 55-56..

mempertahankan diri (pihak tergugat) dalam proses peradilan, yaitu dalam


hal ada keberatan, banding, atau perlawanan.
3) Di samping sebagai pihak yang mempertahankan diri (tergugat) organ
pemerintahan juga dapat tampil menjadi pihak yang tidak puas (terhadap
pihak lawan), artinya sebagai penggugat.
4) Pada prinsipnya organ pemerintahan tidak memiliki harta kekayaan sendiri.
Organ pemerintahan merupakan bagian (alat) dari badan hukum menurut
hukum privatr dengan kekayaannya.
Jabatan Bupati atau Walikota adalah organ-organ dari badan umum kabupaten.
Berdasarkan aturan hukum badan umum inilah yang dapat memiliki harta
kekayaan, bukan organ pemerintahannya.
Oleh karena itu, jika ada putusan Hakim yang berupa denda atau uang paksa )
dwangsom) yang dibebankan kepada organ pemerintah atau hukum ganti
kerugian dari kerusakan, maka kewajiban membayar dan ganti kerugian itu
dibebankan kepada badan hukum (sebagai pemegang harta kekayaan).
Meskipun jabatan pemerintahan ini dilekati dengan hak dan kewajiban atau
diberi wewenang untuk melakukan tindakan hukum, namun jabatan tidak dapat
bertindak sendiri. Jabatan dapat melakukan perbuatan hukumm, yang dilakukan
melalui perwakilan

(vertegenwoordiging) yaitu pejabat (ambtsdrager), yang

bertindak atas nama jabatan itu. Menurut E. Utrecht, oleh karena diwakili
pejabat, maka jabatan itu berjalan. Yang menjalankan hak dan kewajiban yang
didukung oleh jabatan ialah pejabat. Jabatan

bertindak dengan perantaraan

pejabatnya. Jabatan walikota berjalan (=menjadi konkret= menjadi bermanfaat


bagi kota) oleh karena diwakili oleh Walikota.7
P. Nicolasi dan kawan-kawan menyebutkan bahwa : Kewenangan yang
diberikan kepada organ pemerintahan harus dijalankan oleh manusia. Tenaga dan
pikiran organ pemerintahan adalah tenaga dan pikiran mereka yang ditunjuk
untuk menjalankan fungsi organ tersebut, yaitu para pejabat. 8 Berdasarkan
7
8

E. Utrecht, loc. Cit, hlm. 202.


Ridwan HR., op cit, hlm.57.

ketentuan hukum, pejabat hanya menjalankan tugas dan wewenang , karena


pejabat tidak memiliki wewenang. Yang memiliki wewenang adalah jabatan.
Logemann mengatakan : Berdasarkan hukum tata negara, jabatanlah yang
dibebani dengan kewajiban, yang wewenang untuk melakukan perbuatan hukum.
Hak dan kewajiban berjalan terus, tidak peduli dengan pergantian pejabat.9
J.G.

Steenbeek

memberikan

ilustrasi

sebagai

berikut

Kewenangan

pemerintahan (hak-hak dan kewajiban-kewajiban) itu melekat pada jabatan. Jika


sbagai contoh Bupati/Walikota memberikan keputusan tertentu, maka
berdasarkan hukum keputusan itu diberikan oleh jabatan Bupati/Walikota, dan
bukan oleh orang yang pada saat itu diberi jabatan yakni Bupati/Walikota).10
Antara jabatan dengan pejabat memiliki hubungan yang erat, namun
diantara keduanya sebenarnya memiliki kedudukan hukum yang berbeda atau
terpisah dan diatur dengan hukum yang berbeda. F.. Bothlingk memberikan
ilustrasi sebagai berikut: Bila tuan P seorang menteri, maka dalam hal ini dapat
diterapkan pendapat yang membedakan antara tuan P selaku pribadi dan tuan P
dalam kualitasnya (sebagai menteri). Kedudukan tuan yang terakhir ini kita
namakan organ . jadi kita mengenal seorang P dengan dua kepribadian; disatu
sisi personifikasi P selaku pribadi (manusia pribadi), dan di sisi lain personifikasi
P dalam kualitasnya selaku (menteri), dan kedudukan terakhir ini merupakan
personifikasi organ).11
Jabatan dan pejabat diatur dan tunduk pada hukum yang berbeda. Jabatan diatur
oleh hukum tata negara dan hukum administrasi negara, sedangkan pejabat diatur
dan tunduk pada hukum kepegawaian. Di samping itu, tampak bahwa pejabat
menampilkan dirinya dalam dua kepribadian yaitu selaku pribadi dan selak
personifikasi dari organ, yang berarti selain diatur dan tunduk pada hukum
kepegawaian juga tunduk pada hukum keperdataan, khusus dalam kapasitasnya
selaku individu atau pribadi (Privepersoon)
1.2. Macam-macam Jabatan Pemerintahan
9

Logemann dalam Ridwan HR, hlm.58.


Ibid.
11
Ibid., hal 58.
10

sesuai dengan keberadaan negara yang menganur konsep welfare state, ruang
lingkup kegiatan administrasi negara atau pemerintahan itu sangat luas dan
beragam. Karena itu jabatan-jabatan pemerintahan selaku penyelenggara kegiatan
pemerintahan juga banyak dan beragam pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan
tidak semata-mata dijalankan oleh jabatan pemerintahan yang telah dikenal
secara konvensional, tetapi juga oleh badan-badan swasta. Menurut Philipus M.
Hadjon :Wewenang hukum publik hanya dapat dimiliki oleh penguasa. Dalam
ajaran ini terkandung bahwa setiap orang atau setiap orang atau setiap badan
yang memiliki hukum publik harus dimasukan dalam golongan penguasasesuai
dengan difinisinya. Ini berarti bahwa setiap orang atau badan yang memiliki
wewenang hukum publik dan tidak termasuk dalam daftar nama badan-badan
pemerintahan umum seperti disebutkan dalam UUD (pembuat undang-undang,
pemerintah, menteri, badan-badan Propinsi dan Kotapraja) harus dimasukkan
dalam desentralisasi (fungsional). Bentuk organisasi yang bersifat yuridis tidak
menjadi soal. Badan yang bersangkutan dapat berbentuk suatu badan yang
didirikan oleh undang-undang, tetapi dapat juga badan pemerintahan dari
yayasan/lembaga yang bersifat hukum perdata yang memiliki wewenang hukum
publik.12
Indroharto menyebutkan bahwa ukuran untuk dapat disebut badan atau Pejabat
TUNadalah fungsi yang dilaksanakan, bukan nama sehari-hari, bukan pula
kedudukan structuralnya dalam salah satu lingkungan kekuasaan dalam negara. 13
Selanjutnya Indroharto mengelompokkan organ pmerintahan atau tata usaha
negara itu sebagai berikut :
a. Instansi-instansi resmi pemerintah yang berada di bawah Presiden sebagai
kepala eksekutif;
b. Instansi-instansi dalam lingkungan negara di luar lingkungan kekuasaan
eksekutif yang berdasarkan peraturan perundang-undangan melaksanakan
urusan pemerintahan;

12

Philipus M. Hadjon, et al, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Gadjah Mada Iniversity
Press, Yogyakarta, 1993, hlm. 70.
13
Indroharto, op cit, hlm. 165.

c. Badan-badan hukum perdata yang didirikan oleh pemerintah dengan maksud


untuk melaksanakan tugas-tugas pemerintahan;
d. Instansi-instansi yang merupakan kerjasama antara pihak pemerintah dengan
pihak swasta yang melaksanakan tugas-tugas pemerintahan;
e. Lembaga-lembaga hukum swasta yang berdasarkan peraturan perundangundangan dan system perizinan melaksanakan tugas pemerintahan.
S.F. Marbun, secara rinci menjelaskan pengertian badan atau Pejabat TUN yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan yakni :
1) Mereka yang termasuk dalam lingkungan eksekutif, yaitu mulai dari
Presiden

sebagai

Kepala

Pemerintahan

(termasuk

pembantu-

pembantunya di Pusat seperti Wakil Presiden, Menteri-menteri dan


Lembaga-lembaga non departemen);
2) Mereka yang menyelenggarakan urusan desentralisasi, yaitu Kepala
Daerah Tingkat I (termasuk Sekretariat DaerahTingkat Idan Dinasdinas Daerah Tingkat I), Kepala

Daerah Tingkat II (termasuk

Sekretariat Daerah Tingkat II dan Dinas-dinas Tingkat II) dan


Pemerintahan Desa;
3) Mereka yang menyelenggarakan urusan dekonsentrasi, seperti
Gubernur (termasuk Sekretariat Wilayah dan Kanwil-kanwil), Bupati
(termasuk Sekretariat Wilayah dan Kandep-kandep), Walikotamdya,
Walikota Administratif, Camat, serta Lurah);
4) Pihak ketiga atau pihak swasta yang mempunyai hubungan istimewa
atau hubungan biasa dengan pemerintah, baik yang diatur atas dasar
hukum publik maupun hukum privat;
5) Pihak ketiga atau swasta yang memperoleh konsesi atau ijin
(vergunning) dari pemerintah;
6) Pihak ketiga atau swasta yang diberi subsidi oleh pemerintah,
misalnya sekolah-sekolah swasta;
7) Pihak ketiga atau Yayasan-yayasan yang didirikan dan diawasi oleh
pemerintah;

8) Pihak ketiga atau Koperasi yang didirikan dan diawasi oleh


pemerintah;
9) Pihak ketiga atau Bank-bank yang didirikan dan diawasi oleh
pemerintah;
10) Pihak ketiga atau swasta yang bertndak bersama-sama dengan
pemerintah (Persero), seperti BUMN yang memperoleh atribusi
wewenang berdasarkan Pasal 2 PP No. 3 tahun 1983, PLN, Pos dan
Giro, PAM, Telkom, Garuda dan lain-lain.;
11) Ketua Pengadilan Negeri, Ketua Pengadilan Tinggi dan Ketua
Mahkamah Agung serta Panitera dalam lingkungan peradilan;
12) Secretariat pada Lembaga Tertinggi Negara (MPR) dan Lembagalembaga Tinggi Negara (DPR, DPA, BPK, MA) serta Sekretariat pada
DPRD Tingkat I dan DPRD Tingkat II.14
Jabatan pemerintahan dan pejabat mendapatkan tugas dan wewenang berdasarkan
hukum publik, sehingga dalam menjalankan berbagai aktivitasnya tunduk pada
ketentuan hukum publik, khususnya hukum administrasi negara. Begitu pula ketika
timbul persoalan hukum atau sengketa, maka penyelesaiannya didasarkan pada
ketentuan hukum administrasi negara.
1.3. Kedudukan Pemerintah dalam Hukum Privat
Mengulang apa yang telah tertulis diatas, dalam pergaulan hukum, pemerintah sering
tampil dengan twee petten, dengan dua kepala, sebagai wakil dari jabatan (ambt)
yang tunduk pada hukum publik dan wakil dari badan hukum (rechtspersoon) yang
tunduk pada hukum privat. Badan hukum adalah kumpulan orang, yaitu semua yang
di dalam kehidupan masyarakat (dengan beberapa perkecualian) sesuai dengan
ketentuan undang-undang dapat bertindak sebagaimana manusia, yang memiliki hakhak dan kewenangan-kewenangan, seperti kumpulan orang (dalam suatu badan
hukum), perseroan terbatas, perusahaan perkapalan, perhimpunan (sukarela) dan
sebagainya. Dalam ungkapan lain, apa yang dalam pengertian undang-undang
14

SF. Marbun, Peradilan Administrasi Negara dan Upaya Administrasi di Indonesia, Penerbit
Liberty, Yogyakarta, 1997, hlm 141-142.

dianggap seperti orang dan kepada siapa yang dengan sepenuhnya diberikan
wewenang hukum untuk melakukan tindakan hukum dan secara hukum tampil dan
bertindak dengan harta kekayaan (terpisah) ; badan hukum adalah setiap
perhimpunan yang telah diberi status badan hukum). Menurut Bothlingk, Badan
hukum adalah subyek kewajiban dan kewenangan yang bukan manusia. Sebaggai
subyek hukum yang bukan manusia, perbuatan badan hukum tidak seperti perbuatan
manusia. Lebih lanjut Bothlingk menyatakan bahwa badan hukum adalah
penjelmaan yuridis dari identitas yang dibentuk dari realitas masyarakat , yang dapat
melakukan berbagai tindakan.15
Menurut Chidir Ali, ada beberapa unsur dari badan hukum yaitu sebagai berikut :
1) Perkumpulan orang (organisasi yang teratur);
2) Dapat melakukan perbuatan hukum (rechtshandeling) dalam hubungan-hubungan
hukum (rechtsbetrekking);
3) Adanya harta kekayaan yang terpisah;
4) Mempunyai kepentingan sendiri;
5) Mempunyai pengurus;
6) Mempunyai tujuan tertentu;
7) Mempunyai hak-hak dan kewajiban-kewajiban;
8) Dapat digugat atau menggugat di depan pengadilan.16
Bila berdasarkan hukum peblik negara adalah organisasi jabatan atau kumpulan dari
organ-organ kenegaraan, yang di dalamnya terdapat organ pemerintahan, maka
berdasarkan hukum perdata, negara adalah kumpulan dari badan-badan hukum, yang
di dalamnya terdapat badan (lichaam) pemerintahan. Menurut C.J.N. Verstehen,
Pemerintah dan dalam kedudukannya yang spesifik sebagai pemerintah
menggunakan berbagai ketentuan hukum privat dalam pergaulannya. Kadang-kadang
mereka terlibat dalam lalu lintas pergaulan keperdataan dalam kedudukan yang sama
dengan pihak swasta, tanpa kedudukan spesifiknya sebagai pemerintah dan yang
melindungi kepentingan umum dalam hal terjadi sengketa. Dengan demikian,
pemerintah dapat bertindak sebagai
15
16

pemilik tanah dan bangunan. Kita juga

Bothlingk dalam Ridwan HR, op cit, hal. 64.


Chidir Ali, Badan Hukum, Alumni, bandung, 1987, hlm. 21.

menyaksikan pemeintah meminjam uang, membeli mesin-mesin dan peralatan.


Dalam hal ini pemerintah seperti halnya seorang swasta tunduk pada peraturan
hukum keperdataan.17
Ketika pemerintah bertindak dalamm lapangan keperdataan dan tunduk pada
peraturan hukum perdata, pemerintah bertindak sebagai wakil dari badan hukum,
bukan wakil dari jabatan. Oleh karena itu, kedudukan pemerintah dalam pergaulan
hukum keperdataan tidak berbeda dengan seseorang atau badan hukum privat, tidak
memilikikedudukan yang istimewa, dan dapat menjadi pihak dalam sengketa
keperdataan dengan kedudukan yang sama dengan seseorang atau badan hukum
perdata (equality before the law) dalam peradilan umum. Dengan demikian, jika ada
sengketa perdata antara pemerintah dengan perorangan atau badan hukum perdata,
maka pemerintah bisa berada pada penggugat atau sebaliknya dalam posisi tergugat.
Untuk mengetahui kapan pemerintah bertindak sebagai wakil dari jabatan dan
kapan bertindak mewakili badan hukum dapat diperhatikan dari penjelasan sebagai
berikut : organ dan badan hukum dapat dibedakan dengan tegas. Dalam berbagai hal
keduanya tidak sama. Pada wilayah Kabupaten terdapat organ-organ seperti DPRD,
Pemerintah harian, dan Bupati/Walikota. Badan hukumnya adalah badan hukum
Kabupaten. Artinya kita tidak dapat membuat perjanjian dengan DPRD,
Pemerintahan harian dan Bupati/Walikota, tetapi hanya dengan Kabupaten.
Pembuatan keputusan yang bersifat privat bagi Kabupaten dilakukan oleh Dewan,
atau berdasarkan delegasi, oleh Pemerintah harian. Dalam berbagai hal,
Bupati/Walikota bertindak sebagai wakil (dari Kabupaten). Perbedaan antara organ
dengan badan hukum ini sangat penting dalam proses hukum. Dalam hal upaya
administratif atau peradilan administrasi, gugatan ditujukan terhadap organ yang
membuat keputusan tersebut. Organ inilah yang menjadi pihak dalam proses hukum.
Sementara dalam hal keperdataan, badan hukumlah yang menjadi pihak, misalnya
pada Kabupaten, Bupati tampil bertindak (untuk mewakili badan hukum yaitu
Kabupaten).
2. Kewenangan Pemerintah
17

C.J.N. Verstehen dalam Ridwan HR, Op Cit, hlm. 65.

2.1. Azas Lergalitas


Azas legalitas (legaliteitsbeginsel) merupakan salah satu prinsip utama yang
dijadikan sebagai dasar dalam setiap penyelenggaraan pemerintahan dan kenegaraan
di setiap negara hukum terutama bagi negara-negara hukum dalam system kontinental.
Pada mulanya azas legalitas dikenal dalam penarikan pajak oleh negara. Di Inggris
terkenal ungkapan : No taxation without representation (tidak ada pajak tanpa
persetujuan parlemen), di Amerika ada ungkapan : Taxation without representation is
robbery (Pajak tanpa persetujuan parlemen adalah perampokan. Hal ini berarti
penarikan pajak hanya boleh dilakukan setelah adanya undang-undang yang mengatur
pemungutan dan penentuan pajak. Azas ini dinamakan juga dengan kekuasaan
undang-undang (de heerschappij van de wet). Istilah asas legalitas juga dikenal dalam
Hukum Pidana yang berbunyi : nullum delictum sine praevia lege poenali (tidak ada
hukumann tanpa undang-undang. Kemudian azas legalitas ini digunakan dalam
bidang hukum administrasi negara yang memiliki makna, dat het bestuur aan de wet
is ondeworpen, (bahwa pemerintah tunduk kepada undang-undang) atau het
legaliteitsbeginsel houdt in dat alle (algemene) de burgers bindende bepalingen op de
wet moeten berusten (azas legalitas menentukan bahwa semua ketentuan yang
mengikat warga negara harus didasarkan pada undang-undang). Azas legalitas ini
merupakan prinsip negara hukum yang sering dirumuskan secara khas dalam
ungkapan Het beginsel van wetmatigheid van bestuu

(prinsip pemerintahan

berdasarkan undang-undang).
Secara historis, azas pemerintahan berdasarkan undang-undang berasal dari
pemikiran hukum abad 19 yang berjalan seiring dengan keberadaan negara hukum
klasik atau negara hukum liberal

dan dikuasai oleh berkembangnya pemikiran

legalistic-positivistik, terutama pengaruh aliran hukum legisme yang menganggap


hukum hanya apa yang tertulis dalam undang-undang. Paham ini dikenal sebagai
negara hukum formal atau negara penjaga malam. Kekuasaan negara dibatasi
sedemikian rupa sehingga

negara hanya dapat bertindak sepanjang sudah diatur

undang-undang. Terkenal dengan ungkapan the least government is the best


(pemerintah yang paling sedikit adalah yang paling baik). Oleh karena itu undangundang

dijadikan sebagai sendi utama penyelenggaraan kenegaraan dan

10

pemerintahan, dengan kata lai, azas legalitas dalam gagasan negara hukum liberal
memiliki kedudukan sentral atau sebagai suatu fundamen dari negara hukum.
Asas legalitas berkaitan dengan gagasan demokrasi dan gagasan negara hukum
(het democratish ideal en het rechtsstaatsideaal). Gagasan demokrasi menuntut agar
setiap bentuk undang-undang dan berbagai keputusan mendapatkan persetujuan dari
wakil rakyat dan sebanyak mungkin memperhatikan kepentingan rakyat. Menurut
Ropusseau, undang-undang merupakan personifikasi dari akal sehat manusia, aspirasi
masyarakat, yang pengejawantahannya harus tampak dalam prosedur pembentukan
undang-undang yang melibatkan dan memperoleh persetujuan rakyat. Gagasan negara
hukum menuntut agar penyelenggara kenegaraan dan pemerintahan harus didasarkan
pada undang-undang dan memberikan jaminan terhadap hak-hak dasar rakyat yang
tertuang dalam undang-undang. Azas legalitas menjadi dasar legitimasi tindakan
pemerintahan dan jaminann perlindungan dari hak-hak rakya.
Sjahran Basah, menyatakan bahwa azas legalitas berarti uapaya mewujudkan duet
integral secara harmonis antara paham kedaulatan hukum dan paham kedaulatan
rakyat berdasarkan prinsip monodualistis selaku pilar-pilar yang sifat hakikatnya
konstitutif.18
Menurut Indroharto, penerapan azas legalitas akan menunjang berlakunya
kepastian hukum dan berlakunya kesamaan perlakuan. Kesamaan perlakuan terjadi
karena setiap orang yang berada dalam situasi seperti yang ditentukan dalam suatu
ketentuan undang-undang itu berhak dan berkewajiban untuk berbuat seperti apa yang
ditentukan dalam undang-undang tersebut. Sedankan kepastian hukum akan terjadi
karena suatu peraturan dapat membuat semua tindakan yang akan dilakukan
pemerintah itu dapat diramalkan atau diperkirakan lebih dahulu, dengan melihat
kepada peraturan-peraturan yang berlaku, maka pada azasnya lalu dapat dilihat atau
diharapkan apa yang akan dilakukan oleh aparat pemerintahan yang bersangkutan.
Dengan demikian warga masyarakat lalu dapat menyesuaikan dengan keadaan
tersebut.19

18

Sjahran Basah, Perlindungan Hukum terhadap Sikap Tinndak Administrasi Negara, Alumni,
Bandung, 1992, hlm. 2.
19
Indroharto, op cit, hlm. 83-84.

11

Kepastian hukum disamping keadilan adalah target utama yang hendak dicapai
oleh manusia melalui pelaksanaan hukum. Kenyataanya adalah perdebatan untuk
memperoleh jawaban bagi pertanyaan mengenai apa yagn adil dan apa yang tidak,
semakin lama menjadi semakin kompleks. Hal itu adalah seiring dengan semakin
meningkat dan juga semakin kompleksnya pola kebutuhan hidup manusia serta
semakin terbatasnya sumber daya yang diperlukan untuk memenuhinya. Sementara
itu, penyelenggarakan kepastian hukum banyak tergantung dari sturktur organisasi
penegak hukum serta konsistensi dalam cara kerja dari orang-orang yang
mendukungnya.20

H.D. Stout menyatakan azas legalitas dimaksudkan untuk

memberikan jaminan kedudukan hukum warga negara terhadap pemerintah.


Penyelenggaraan kenegaraan dan pemerintahan yang didasarkan pada azas
legalitas, yang berarti didasarkan pada hukum tertulis atau udang-undang, dalam
prakteknya tidak selalu memadai. Hal ini karena hukum tertulis disamping
mengandung kelebihan-kelebihan juga kelemahan-kelemahan.
Adapun kelemahan-kelemahan undang-undang menurut

Algra dan Duyyendijk21

adalah sebagai berikut :


1. Tingkat prediktibilitasnya yang besar. Hal ini berhubungan dengan sifat prospektif
dari perudang-undangan, yaitu yang pengaturannya ditujukan ke masa depan.
Oleh karena itu pula ia harus dapat memenuhi syarat agar orang-orang
mengetahui apa atau tingkah laku apa yang diharapkan dari mereka pada waktu
yang akan datang dan bukan yang sudah lewat. Dengan demikian peraturan
perundang-undangan senantiasa dituntut untuk memberi tahu secara pasti terlebih
dahulu hal-hal yang diharapkan untuk dilakukan atau tidak dilakukan oleh
anggota masyarakat. Azas-azas hukum, seperti azas tidak Berlaku Surut
memberikan jaminan, bahwa kelebihan yang demikian itu dapat dilaksanakan
secara saksama.
2. Kecuali kepastian yang lebih mengarah kepada bentuk formal di atas, perundangundangan juga memberikan kepastian mengenai nilai yang dipertaruhkan. Sekali
20

Budiono Kusumohamidjojo, Ketertiban Yang Adil Problematik Filsafat Hukum, Grasindo,


Jaskara, 1999, hlm. 122.

Algra dan Duyyendijk dalam Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Penerbit PT. Citra
Aditya Bakti, Bandung, 1991.
21

12

suatu peraturan dibuat, maka menjadi pasti pulalah nilai yang hendak dilindungi
oleh peraturan tersebut. Oleh karena itu orang tidak perlu lagi memperdebatkan
apakah nilai itu bisa diterima atau tidak.
Sementara kelemahan-kelemahan undang-undang adalah :
1. Kekakuannya. Kelemahan ini sebetulnya segera tampil sehubungan dengan
kehendak perundang-undangan untuk menampilkan kepastian. Apabila kepastian
ini hendak dipenuhi, maka ia harus membayarnya dengan membuat rumusanrumusan yang jelas, terperinci dan tegar dengan risiko menjadi norma-norma
yang kaku.
2. Keinginan perundang-undangan untuk membuat rumusan-rumusan yang bersifat
umum mengandung risiko, bahwa ia mengabaikan dan dengan demikian
memperkosa perbedaan-perbedaan atau cirri-ciri khusus yang tidak dapat
disamaratakan begitu saja. Terutama sekali dalam suasana kehidupan modern
yang cukup kompleks dan spesialitas ini, kita tidak mudah untuk membuat
parampatan-perampatan (generalization).
Menurut Bagir Manan, hukum tertulis memiliki berbagai cacat bawaan (natural defect)
dan cacat buatan (artificial defect). Lebih lanjut disebutkan sebagai berikut : sebagai
ketentuan tertulis (written rule0 atau hukum tertulis (written law), peraturan perundangundangan mempunyai jangkauan yang terbatas, sekadar moment opname dari unsureunsur politik, ekonomi, social, budaya dan hankam yang paling berpengaruh pada saat
pembentukan, karena itu mudah sekali aus (out of date) bila dibandingkan dengan
perubahan masyarakat yang semakin menyepat atau dipercepat (change). Pembentukan
peraturan perundang-undangan khususnya undang-undang dapat dipersamakan sebagai
pertumbuhan deret hitung, sedangkan perubahan masyarakat bertambah seperti deret
ukum. Kelambatan pertumbuhan peraturan perudang-undangan yang merupakan cacat
bawaan ini dapat pula makin diperburuk oleh berbagai bentuk cacat hukum buatan, yang
timbul akibat masuk atau dimasukkannya berbagai kebijakan atau tindakan yang
mengganggu peraturan perundang-undangan sebagai sebuat system.22
22

Bagir Manan dalam Ridwan HR, op cit, hlm. 70.

13

Menurut Bagir Manan, kesulitan yang dihadapi oleh hukum tertulis, yaitu; pertama,
hukum sebagai bagian dari kehidupan masyarakat mencakup semua aspek kehidupan
yang sangat luas dan kompleks, sehingga tidak mungkin seluruhnya dijelmakan dalam
peraturan perundang-undangan; kedua, peraturan perundang-undangan sebagai hukum
tertulis sifatnya statis (pada umumnya), tidak dapat dengan cepat mengikuti gerak
pertumbuhan, perkembangan dan perubahan masyarakat yang harus diembannya. 23
Adanya kelemahan dalam hukum tertulis ini berarti pula adanya kelemahan dalam
penerapan azas legalitas, kerena itu penyelenggaraan kenegaraan dan pemerintahan
dalam suatu negara hukum diperlukan persyaratan lain.
Wewenang Pemerintahan
Meskuipun azas legalitas mengandung kelemahan, namun azas ini tetap menjadi
prinsip utama dalam setiap negara hukum. Azas legalitas merupakan dasar dalam setiap
penyelenggaraan

kenegaraan

dan

pemerintahan.

Dengan

kata

lain,

setiap

penyelenggaraan kenegaraan dan pemerintahan harus memiliki legitimasi yaitu


kewenangan yang diberikan oleh undang-undang. Dengan demikian substansi azas
legalitas adalah wewenang, yakni kemampuan untuk melakukan tindakan-tindakan
hukum tertentu. Mengenai wewenang ini H.D. Stout mengatakan bahwa wewenang
adalah pengertian yang berasal dari hukum organisasi pemerintahan, yang dapat
dijelaskan sebagai keseluruhan aturan-aturan yang berkenaan dengan perolehan dan
penggunaan wewenang-wewenang pemerintahan oleh subyek hukum publik di dalam
hubungan hukum publik.24 Wewenang adalah kekuasaan yang dilembagakan yaitu
kekuasaan yang tidak hanya de facto menguasai, melainkan juga berhak untuk
menguasai.25 Wewenang adalah kekuasaan yang berhak untuk menuntut ketaatan, jadi
berhak untuk memberikan perintah. Kewenangan pemerintah dalam kaitan ini dianggap
sebagai kemampuan untuk melaksanakan hukum positif, dan dengan begitu, dapat
diciptakan hubungan hukum antara pemerintah dengan warga negara.

23

Bagir Manan dan Kuntana Magnar, Peranan Peraturan Perundang-undangan dalam


Pembinaan Hukum Nasiopnal, Armico, bandung, 1987, hlm. 16.
24
H.D. Stout dalam Ridwan HR, op cit, hlm. 72
25
Franz Magnis Suzeno, Etika Politik prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, Penerbit PT.
Gramedia, Jakarta, 1987, hal. 53.

14

Menurut P. Nicolai :Kemampuan untuk melakukan tindakan hukum tertentu (yaitu


tindakan-tindakan yang dimaksudkan untuk menimbulkan akibat hukum, dan mencakup
mengenai timbul dan lenyapnya akibat hukum tertentu). Hak berisi kebebasan untuk
melakukan atau tidak melakukan tindakan tertentu atau menuntut pihak lain untuk
melakukan tindakan tertentu, sedangkan kewajiban memuat keharusan untuk melakukan
atau tidak melakukan tindakan tertentu.26
Menurut Bagir Manan, wewenang dalam bahasa hukum tidak sama dengan
kekuasaan (macht). Kekuasaan hanya menggambarkan hak untuk berbuat atau tidak
berbuat. Dalam hukum, wewenang sekaligus berarti hak dan kewajiban. Dalam kaitan
dengan otonomi daerah , hak mangandung pengertian kekuasaan untuk mengatur sendiri
dan mengelola sendiri, sedangkan kewajiban secara horizontal berarti kekuasaan untuk
menyelenggarakan pemerintahan sebagaimana mestinya. Vertical berarti kekuasaan untuk
m enjalankan pemerintahan dalam satu tertib ikatan pemerintahan negara secara
keseluruhan.27 Dalam negara hukum, wewenang pemerintahan berasal dari peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Menurut R.J.H.M. Huisman, organ pemerintahan
tidak dapat menganggap bahwa ia memiliki sendiri wewenang pemerintahan.
Kewenangan hanya diberikan oleh undang-undang. Pembuat undang-undang dapat
memberikan wewenang pemerintahan tidak hanya k epada organ pemerintahan, tetapi
juga terhadap para pegawai (misalnya inspektur pajak, inspektur lingkungan, dan
sebagainya) atau terhadap badan khusus (seperti dewan pemilihan umum, pengadilan
khsusu untuk perkara sewa tanahh), atau bahkan terhadap badan hukum privat.28 Atas
dasar pendapat Huisman tersebut, maka timbul pertanyaan apa yang menjadi dasar,
sehingga wewenang dianggap sah atau tidak, apakah hak pihak yang berwenang untuk
menuntut ketaatan mempunyai dasar atau tidak. Keabsahan adalah istilah normative.
Mempertanyakan keabsahan wewenang berarti kita memperbadingkan wewenang dengan
norma: apabila sesuai dengannya, maka wewenang itu sah, apabila tidak, wewenang itu
tidak sah. Dalam hubungan ini perlu ditegaskan bahwa keabsahan itu tidak identik
dengan keyakinan masyarakat bahwa wewenang penguasa adalah wajar dan patut di

26

P. Nicolai dalam Ridwan HR, Op Cit, hal. 73.


Bagir Manan dalam Ridwan HR, Op Cit, hal. 73
28
Ridwan HR, Op Cit, hal. 74
27

15

taati29 paham keabsahan sendiri tidak mengatakan apa pun tentang apa yang menjadi
norma keabsahan. Apakah norma itu adalah keyakinan masyarakat, atau konstitusi negara
atau suatu tuntutan lain, tidak termasuk paham keabsahan. Salah satu ukuran keabsahan
wewenang adalah legalitas. Legalitas menuntut agar wewenang dijalankan sesuai dengan
hukum yang berlaku. Suatu tindakan adalah sah apabila sesuai, tidak sah apabila tidak
sesuai dengan hukum yang berlaku.
Adalah cukup jelas bahwa legalitas tidak mungkin merupakan tolok ukur paling
fundamental bagi keabsahan wewenang politis. Karena legalitas hanya dapat
memperbandingkan suatu tindakan dengan hukum yang berlaku, maka selalu sudah
diandaikan keabsahan hukum. Tetapi bagaimana hukum sendiri dapat dicek legalitasnya ?
Barangkali dengan cara mengecek apakah norma hukum konkrit yang mendasari
penilaian tentang legalitas tindakak kekuasaan tadi ditetapkan sesuai dengan bagian
hukum yang menentukan prosedur pembuatan hukum. Tetapi lalu timbul pertanyaan
apakah bagian hukum yang mengenai cara pembuatan hukum itu sendiri legal atau
sesuai dengan hukum yagn berlaku. Barangkali kita masih dapat mengacu pada undangundang dasar negara itu, tetapi paling lambat di situ kita tidak dapat bertanya terus.
Pendasaran wewenang politik pada legalitas akhirnya merupakan regressus ad infinitum
(mundur tanpa akhir), karena hukum positif yagn mendasari legalitas selalu harus
berdasarkan suatu hukum positif lagi. Dengan lain kata, legitimasi paling fundamental
tidak dapat didasarkan pada penerapan hukum positif.30
Sumber dan cara memperoleh Wewenang Pemerintahan
Seiring dengan pilar utama negara hukum yaitu azas legalitas (legaliteitsbgeginsel
atau het beginsel van wetmatigheid van bestuur), maka berdasarkan prinsip ini tersirat
bahwa wewenang pemerintahan berasal dari peraturan perundang-undangan, artinya
sumber wewenang bagi pemerintah adalah peraturan perundang-undangan.
Menurut H.. van Wijk/Willem Konijnenbelt mendefinisikan sebagai berikut :
a. attributie

(atribusi) adalah pemberian wewenang pemerintahan oleh

pembuat undang-undang kepada organ pemerintahan.


29

Miriam Budiardjo, Aneka Pemikiran Tentang Kuasa dan Wibawa, Sinar Harapan, Jakarta,
1984, hal 15.
30
Franz Magnis Suseno, op cit, hal. 59-60.

16

b. Delegatie (delegasi) adalah pelimpahan wewenang pemerintahan dari satu


organ pemerintahan kepada organ pemerintahan lainnya.
c. Mandaat (mandat) terjadi ketika organ pemerintahan mengizinkan
kewenangannya dijalankan oleh organ lain atas namanya.
Berbeda dengan van Wijk, F.A.M. Stroink dan J.G. Steenbeek menyebutkan bahwa
hanya ada dua cara organ pemerintahan memperoleh wewenang, yaitu atribusi dan
delegasi. Atribusi berkenaan dengan penyerahan suatu wewenang baru, sedangkan
delegasi menyangkut pelimpahan wewenang dari wewenang yang sudah ada (oleh organ
yang telah memperoleh wewenang secara atributif kepada organ lain; jadi delegasi secara
logis selalu didahului oleh atribusi. Sedangkan dalam hal mandat tidak dibicarakan
mengneai penyerahan wewenang, tidak pula pelimpahan wewenang. Dalam hal mandat
tidak terjadi perubahan wewenang apapun (setidak-tidaknya dalam arti yuridis formal).
Hubungan yang ada hanyalah bersifat internal, sebagai contoh Menteri dengan pegawai,
menteri mempunyai kewenangan dan melimpahkan kepada pegawai untuk mengambil
keputusan tertentu atas nama Menteri, sementara secara yuridis wewenang dan
tanggungjawab tetap berada pada organ kementerian. Pegawai memutuskan secara
factual, sedangkan Menteri secara yuridis.
Pengertian atribusi dan delegasi berdasarkan Algemene Bepalingen van Administratief
Recht (ABAR) adalah : atribusi wewenang dikemukakan bilamana undang-undang
(dalam arti material) menyerahkan wewenang tertentu kepada organ tertenu. Dalam hal
delegasi berarti pelimpahan wewenang oleh organ pemerintahan yang telah diberi
wewenang, kepada organ lainnya, yang akan melaksanakan wewenang yang telah
dilimpahkan itu sebagai wewenangnya sendiri.

Sementara dalam Algemene Wet

Bestuursrecht (Awb), mandat berarti pemberian wewenang oleh organ pemerintahan


kepada organ lainnya untuk mengambil keputusan atas namanya, sedangkan delegasi
diartikan sebagai pelimpahan wewenang oleh organ pemerintahan kepada organ lain
untuk mengambil keputusan dengan tanggung jawab sendiri.
Dengan mengetahui sumber dan cara memperoleh wewenang organ pemerintahan ini
penting karena berkenaan dengan pertanggungjawaban yuridis dari penggunaan
wewenang tersebut. Berdasarkan keterangan tersebut diatas, tampak bahwa wewenang

17

yang diperoleh secara atribusi bersifat asli yang berasal dari peraturan perundangundangan. Dengan kata lain, organ pemerintahan memperoleh kewenangan secara
langsung dari redaksi pasal tertentu dalam suatu peraturan perundang-undangan. Dalam
hal atribusi, penerima wewenang dapat menciptakan wewenang baru atau memperluas
wewenang yang sudah ada, dengan tanggung jawab intern dan ekstern pelaksanaan
wewenang yang diatribusikan sepenuhnya berada pada penerima wewenang (atributaris).
Pada delegasi tidak ada penciptaan wewenang, yang ada hanya pelimpahan wewenang
dari pejabat yang satu kepada pejabat lainnya. Tanggung jawab yuridis tidak lagi berada
pada pemberi delegasi (delegans) tetapi beralih pada penerima delegasi (delegataris).
Sementara pada mandat, penerima manda (mandataris) hanya bertindak untuk dan atas
nama pemberi mandat (mandans), tanggung jawab akhir keputusan yang diambil
mandataris tetap berada pada mandans. Hal ini karena pada dasarnya, penerima mandat
ini bukan pihak lain dari pemberi mandat.
Untuk memudahkan pemahaman perbedaan ini,

ada baiknya dibuat perbandingan

melalui tabel seperti dibawah ini :


No.

Delegasi

No.

Mandat

Pelimpahan wewenang (overdracht


van bevoegdheid)
Kewenangan tidak dapat dijalankan
secara insidental oleh organ yang
memiliki wewenang asli (bevoegdheid kan door het oorsprokelijk
bevoegde organ niet incidenteel
uitgofend worden)
Terjadi peralihan tanggung jawab
(ovegang van verantwoordelijkheid)

Perintah untuk melaksanakan (Opdracht tot uitvoering)


Kewenangan dapat sewaktu-waktu
dilaksanakan oleh mandans (bevoegdheid nog incidenteel uitgeofend worden)

Harus berdasarkan undang-undang


(wettelijke basis vereist)

Harus tertulis (moet schriftelijke)

Tidak terjadi peralihan tanggung


jawab (behooud van verantwoordelijkheid)
Tidak harus berdasarkan undangundang (geen wettelijke basis
vereist)
Dapat tertulis, dapat pula tidak
tertulis (kan schriftelijk, mag ook
mondeling)

Dalam kepustakaan terdapat pembagian mengenai sifat wewenang pemerintahan yaitu


yang bersifat terikat, fakultatif dan bebas, terutama dalam kaitannya dengan kewenangan
pembuatan dan penerimaan keputusan-keputusan (besluiten) dan ketetapan-ketatapan
18

(beschikkingen) oleh organ pemerintahan, sehingga dikenal ada keputusan atau ketetapan
yang bersifat terikat dan bebas. Indroharto mengatakan bahwa pertama, wewenang
pemerintahan yang bersifat terikat, yakni terjadi apabila peraturan dasarnya menentukan
kapan dan dalam keadaan yang bagaimana wewenang tersebut dapat digunakan atau
peraturan dasarna sedikit banyak menentukan tentang isi dari keputusan yang harus
diambil. Dengan kata lain, terjadi apabila peraturan dasar yang menentukan isi dari
keputusan yang harus diambil secara terinci, maka wewenang pemerintahan semacam itu
merupakan wewenang yang terikat; kedua, wewenang fakultatif, terjadi dalam hal badan
atau pejabat tata usaha negara yang bersangkutan tidak wajib menerapkan wewenangnya
atau sedikit banyak masih ada pilihan, sekalipun pilihan itu hanya dapat dilakukan dalam
hal-hal atau keadaan-keadaan tertentu sebagaimana ditentukan dalam peraturan dasarnya;
ketiga, wewenang bebas, yakni terjadi ketika peraturan dasarnya memberi kebebasan
kepada badan atau pejabat tata usaha negara untuk menentukan sendiri mengenai ini dari
keputusan yang akan dikelarkannya atau peraturan dasarnya memberikan ruang lingkup
kebebasan kepada pejabat tata usaha negara yang bersangkutan.
Menurut Philipus M. Hadjon, dengan mengutip pendapat N.M. Spelt dan J.B.J.M. ten
Berger, membagi kewenangan bebas dalam dua katagori yaitu kebebasan kebijaksanaan
(beleidsvrijheid) dan kebebasan penilaian (beoordelingsvrijheid). Ada kebebasan
kebijaksanaan (wewenang diskresi dalam arti sampai) bila peraturan perundangundangan memberikan wewenang tertentu kepada organ pemerintahan, sedangkan organ
tersebut

bebas

untuk

(tidak)

menggunakannya

meskipun

syarat-syarat

bagi

penggunaannya secara sah dipenuhi. Adapun kebebasan penilaian (wewenang diskresi


dalam arti yang tidak sesungguhnya) ada, sejauh menurut hukum diserahkan kepada
organ pemerintahan untuk menilai secara mandiri dan eksklusif apakah syarat-syarat bagi
pelaksanaan suatu wewenang secara sah telah dipenuhi. Bedasarkan ini maka dapat
disimpulkan adanya dua jenis kekuasaan bebas atau kekuasaan diskresi yaitu pertama,
kewenangan untuk memutus secara mandiri; kedua, kewenangan interpretasi terhadap
norma-norma tersamar (vege norm)
Meskipun kepada pemerintah diberikan kewenangan bebas, namun dalam suatu
negara hukum pada dasarnya tidak terdapat kebebasan dalam arti yang seluas-luasnya
atau kebebasan tanpa batas, sebab dalam suatu negara hukum, baik penyerahan

19

wewenang, sifat dan isi wewenang, maupun pelaksanaan wewenang tunduk pada
batasan-batasan yuridis. Mengenai penyerahan wewenang dan sebaliknya, terdapat
aturan-aturan hukum tertulis dan tidak tertulis. Terlepas dari bagaimana wewenang itu
diperoleh dan apa isi dan sifat wewenang tersebut, yang pasti bahwa wewenang
merupakan factor penting dalam hubungannya dengan masalah pemerintahan, dan
berdasarkan wewenang inilah pemerintah dalam melakukan berbagai tindakan hukum
(rechtshandelingen).
3. Tindakan Pemerintahan
3.1. Pengertian Tindakan Pemerintahan
Pemerintah atau administrasi negara adalah sebagai subyek hukum, sebagai
pedukung hak-hak dan kewajiban-kewajiban. Sebagai subyek hukum, pemerintah
sebagaimana

subyek

hukum

lainnya

melakukan

berbagai

tindakan

hukum

(rechtshandelingen). Tindakan nyata adalah tindakan-tindakan yang tidak ada


relevansinya dengan hukum dan oleh karenanya tidak menimbulkan akibat-akibat hukum
tindakan hukum menurut R.J.H.M. Huisman yaitu tindakan-tindakan yang berdasarkan
sifatnya dapat menimbulkan akibat hukum tertentu, atau tindakan hukum adalah tindakan
yang dimaksudkan untuk menciptakan hak dan kewajiban. Istilah tindakan hukum ini
semula berasal dari ajaran hukum perdata31, yang kemudian digunakan dalam hukum
administrasi

negara,

sehingga

dikenal

istilah

tindakan

hukum

administrasi

(administratieve rechtshandeling). Menurut H.J.Romeijn, tindakan hukum administrasi


adalah suatu pernyataan kehendak yang muncul dari organ administrasi dalam keadaan
khusus, dimaksudkan untuk menimbulkan akibat hukum dalam bidang hukum
administrasi. Akibat hukum yang lahir dari tindakan hukum adalah akibat-akibat yang
memiliki relevansi dengan hukum, seperti penciptaan hubungan hukum baru, perubahan
atau pengakhiran hubungan hukum yang ada.32 Akibat-akibat hukum itu dapat berupa halhal sebagai berikut :
a. Jika menimbulkan beberapa perubahan hak, kewajiban atau kewenangan yang
ada.

31
32

Ridwan HR, Op Cit, hal 80-81.


Ibid, hal. 81.

20

b. Bilamana menimbulkan perubahan kedudukan hukum bagi seseorang atau obyek


yang ada.
c. Bilamana terdapat hak-hak, kewajiban, kewenangan, ataupun status tertentu yang
ditetapkan.
Bila dikatakan bahwa tindakan hukum pemerintahan itu merupakan pernyataan kehendak
sepihak dari organ pemerintahan dan membawa akibat pada hubungan hukum atau
keadaan hukum yang ada, maka kehendak organ tersebut tidak boleh mengandung cacat
seperti kekhilafan (dwaling), penipuan (bedrog), paksaan (dwang) dan lain-lain yang
menyebabkan akibat-akibat hukum yang tidak sah. Di samping itu, akrena setiap tindakan
hukum itu harus didasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka
dengan sendirinya tindakan tersebut tidak boleh menyimpang atau bertentangan dengan
peraturan yang bersangkutan, yang dapat menyebabkan akibat-akibat hukum yang
muncul itu batal (nietig) atau dapat dibatalkan (nietigbaar).
Rechtshandeling atau tindakan hukum berasal dari ajaran hukum perdata, yang
kemudian digunakan juga dalam hukum administrasi. Begitu digunakan dalam hukum
administrasi negara, sifat tindakan hukum ini mengalami perbedaan. Tindakan hukum
administrasi berbeda sifatnya dengan tindakan hukum perdata, meskipun namanya sama,
terutama karena sifat mengikatnya. Tindakan hukum administrasi dapat mengikat warga
negara tanpa memerlukan persetujuan dari warga negara yang bersangkutan, sementara
dalam tindakan hukum perdata diperlukan persesuaian kehendak antara kedua belah
pihak atas dasar kebebasan kehendak atau diperlukan persetujuan dari pihak yang akan
dikenai tindakan hukum tersebut.
3.2 Unsur-unsur Tindakan Hukum Pemerintahan
tindakan hukum pemerintah adalah tindakan-tindakan yang dilakukan oleh organ
pemerintahan untuk menimbulkan akibat-akibat hukum dalam bidang administrasi
negara. Berdasarkan pengertian ini tampak ada beberapa unsure yang terdapat di
dalamnya. Muchsan menyebutkan unsur-unsur tindakan hukum pemerintahan sebagai
berikut :

21

a. Perbuatan itu dilakukan oleh aparat pemerintah dalam kedudukannya sebagai


penguasa maupun sebagai alat perlengkapan pemerintahan dengan prakarsa dan
tanggung jawab sendiri;
b. Perbuatan tersebut dilaksanakan dalam rangka menjalankan fungsi pemerintahan;
c. Perbuatan tersebut dimaksudkan sebagai sarana untuk menimbulkan akibat
hukum di bidang hukum administrasi;
d. Perbuatan yang bersangkutan dilakukan dalam rangka pemeliharaan kepentingan
negara dan rakyat.33
3.2.2. Macam-macam Tindakan Hukum Pemerintahan
Tindakan hukum yang dilakukan oleh pemerintah dalam menjalankan fungsi
pemerintahannya dapat dibedakan dalam tindakan hukum publik dan tindakan
hukum privat. Tindakan hukum publik berarti tindakan hukum yang dilakukan
tersebut didasarkan pada hukum publik atau yaitu tindakan hukum yang dlakukan
berdasarkan hukum publik, sedangkan tindakan hukum privat adalah tindakan
hukum yang didasarkan pada ketentuan hukum keperdataan.
Kedudukan hukum pemerintah atau administrasi negara yang mewakili dua
institusi, tampil dengan twee petten dan diatur dengan dua bidang hukum yang berbeda
yaitu hukum publik dan hukum privat, akan melahirkan tindakan hukum dengan akibatakibat hukum yang berbeda, yang di dalam praktek agak sukar dibedakan kapan tindakan
hukum diatur oleh hukum publik dan kapan diatur dan tunduk pada hukm perdata,
apalagi dengan adanya kenyataan sebagai akan ternyata di bawah bahwa tindakan hukum
administrasi negara tidak selalu dilakukan oleh organ pemerintahan, tetapi juga oleh
seseorang atau badan hukum perdata dengan persyaratan tertentu. Di samping itu, ada
pula kesukaran lain dalam menentukan garis batas tindakan pemerintah apakah bersifat
publik atau privat, terutama sehubungan dengan adanya dua macam tindakan hukum
publik yaitu yang bersifat murni, sebagai tindakan hukum yang dilaksanakan berdasarkan
kewenangan publik, dan bersifat campuran atau tidak murni antara hukum publik dan
hukum jprivat. Oleh karena itu diperlakukan klarifikasi mengenai kapan tindakan hukum

33

Muchsan, Beberapa Catatan tentang Hukum Administrasi negara dan Peradilan Administrasi
Negara di Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1981, hal. 18-19.

22

administrasi negara ini dapat bersifat dan diatur oleh hukum perdata dan kapan diatur dan
tunduk pada hukum publik.

Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, UII


Press, Yogyakarta, 2002.

E. Utrecht, Pengantar Hukum Administrasi


Negara

Indonesia,

Pustaka

Tinta

Mas,

Surabaya, 1988.
Philipus M. Hadjon, et al, Pengantar
Hukum Administrasi Indonesia, Gadjah Mada
Iniversity Press, Yogyakarta.

23

Anda mungkin juga menyukai