Kedudukan, Kewenangan Dan Tindakan Hukum Pemerintah
Kedudukan, Kewenangan Dan Tindakan Hukum Pemerintah
1 Logemann, Over de Theorie van een Stellig Staatsrecht, Saksama, Jakarta, 1954 hlm. 58 dalam
Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, UII Press, Yogyakarta, 2002, hal. 54.
2
2. N.E. Algra en H.C.J.G. Janssen, Rechtsingang, een Orientatie in he Recht, H.D. Tjeenk Willink
b.v., Groningen, hlm. 175 dalam Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, UII Press, Yogyakarta, 2002,
hal. 54.
3
Bagir Manan, Pengisian Jabatan Presiden Melalui (dengan) Pemilihan Langsung, Makalah,
Bandung, 6 Pebruari 1999, hlm. 1 dalam Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, UII Press, Yogyakarta,
2002, hal. 54.
suatu lingkungan pekerjaan tetap (kring van vaste werkzaamheden) yang diadakan
dan dilakukan guna kepentingan negara. Tiap jabatan adalah suatu lingkungan
pekerjaan tetap yang dihubungkan dengan organisasi sosial tertinggi, yang diberi
nama negara.4
Berdasarkan ajaran hukum keperdataan dikenal istilah subyek hukum, yaitu de
dragger van de richten en plichten atau pendukung hak dan kewajiban, yang terdiri
dari manusia (natuurlijk persoon) dan badan hukum (rechtspersoon). Badan hukum
ini terdiri dari dua bagian yaitu badan hukum privat (privaatrechtspersoon) dan
badan hukum publik (publiekrechtspersoon). Menurut Chidir Ali, ada tiga criteria
untuk menentukan status badan hukum publik yaitu; Pertama, dilihat dari
pendiriannya, badan hukum itu diadakan dengan konstruksi hukum publik yang
didirikan oleh penguasa dengan undang-undang atau peraturan-peraturan lainnya.
Kedua,
Ketiga, badan hukum itu diberi wewenang publik seperti membuat keputusan,
ketetapan atau peraturan yang mengikat umum. Termasuk dalam kategori badan
hukum publik yaitu Negara, Propinsi, Kabupaten dan Kotapraja dan lain-lain.5
1.1. Kedudukan Pemerintah dalam Hukum Publik
Menurut P. Nicolai6 dan kawan-kawan ada beberapa ciri yang yang terdapat pada
jabatan atau organ pemerintahan yaitu sebagai berikut :
1) Organ pemerintahan menjalankan wewenang atas nama dan tanggung jawab
sendiri,
yang
dalam
pengertian
modern,
diletakkan
sebagai
tersebut.
Organ
pemerintah
adalah
pemikul
kewajiban
tanggungjawab.
2) Pelaksanakan wewenang dalam rangka menjaga dan mempertahankan norma
hukum administrasi, organ pemerintahan dapat bertindak sebagai pihak yang
4
E. Utrecht, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, Pustaka Tinta Mas, Surabaya,
1988, hlm. 200.
5
Chidir Ali, Badan Hukum, Alumni, Bandung, 1987, hlm. 62.
6
P. Nicolai, et al., Bestuursrecht, Amsterdam, 1994, hlm.24-26. dalam Ridwan HR, Hukum
Administrasi Negara, UII Press, Yogyakarta, 2002, hal. 55-56..
bertindak atas nama jabatan itu. Menurut E. Utrecht, oleh karena diwakili
pejabat, maka jabatan itu berjalan. Yang menjalankan hak dan kewajiban yang
didukung oleh jabatan ialah pejabat. Jabatan
Steenbeek
memberikan
ilustrasi
sebagai
berikut
Kewenangan
sesuai dengan keberadaan negara yang menganur konsep welfare state, ruang
lingkup kegiatan administrasi negara atau pemerintahan itu sangat luas dan
beragam. Karena itu jabatan-jabatan pemerintahan selaku penyelenggara kegiatan
pemerintahan juga banyak dan beragam pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan
tidak semata-mata dijalankan oleh jabatan pemerintahan yang telah dikenal
secara konvensional, tetapi juga oleh badan-badan swasta. Menurut Philipus M.
Hadjon :Wewenang hukum publik hanya dapat dimiliki oleh penguasa. Dalam
ajaran ini terkandung bahwa setiap orang atau setiap orang atau setiap badan
yang memiliki hukum publik harus dimasukan dalam golongan penguasasesuai
dengan difinisinya. Ini berarti bahwa setiap orang atau badan yang memiliki
wewenang hukum publik dan tidak termasuk dalam daftar nama badan-badan
pemerintahan umum seperti disebutkan dalam UUD (pembuat undang-undang,
pemerintah, menteri, badan-badan Propinsi dan Kotapraja) harus dimasukkan
dalam desentralisasi (fungsional). Bentuk organisasi yang bersifat yuridis tidak
menjadi soal. Badan yang bersangkutan dapat berbentuk suatu badan yang
didirikan oleh undang-undang, tetapi dapat juga badan pemerintahan dari
yayasan/lembaga yang bersifat hukum perdata yang memiliki wewenang hukum
publik.12
Indroharto menyebutkan bahwa ukuran untuk dapat disebut badan atau Pejabat
TUNadalah fungsi yang dilaksanakan, bukan nama sehari-hari, bukan pula
kedudukan structuralnya dalam salah satu lingkungan kekuasaan dalam negara. 13
Selanjutnya Indroharto mengelompokkan organ pmerintahan atau tata usaha
negara itu sebagai berikut :
a. Instansi-instansi resmi pemerintah yang berada di bawah Presiden sebagai
kepala eksekutif;
b. Instansi-instansi dalam lingkungan negara di luar lingkungan kekuasaan
eksekutif yang berdasarkan peraturan perundang-undangan melaksanakan
urusan pemerintahan;
12
Philipus M. Hadjon, et al, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Gadjah Mada Iniversity
Press, Yogyakarta, 1993, hlm. 70.
13
Indroharto, op cit, hlm. 165.
sebagai
Kepala
Pemerintahan
(termasuk
pembantu-
SF. Marbun, Peradilan Administrasi Negara dan Upaya Administrasi di Indonesia, Penerbit
Liberty, Yogyakarta, 1997, hlm 141-142.
dianggap seperti orang dan kepada siapa yang dengan sepenuhnya diberikan
wewenang hukum untuk melakukan tindakan hukum dan secara hukum tampil dan
bertindak dengan harta kekayaan (terpisah) ; badan hukum adalah setiap
perhimpunan yang telah diberi status badan hukum). Menurut Bothlingk, Badan
hukum adalah subyek kewajiban dan kewenangan yang bukan manusia. Sebaggai
subyek hukum yang bukan manusia, perbuatan badan hukum tidak seperti perbuatan
manusia. Lebih lanjut Bothlingk menyatakan bahwa badan hukum adalah
penjelmaan yuridis dari identitas yang dibentuk dari realitas masyarakat , yang dapat
melakukan berbagai tindakan.15
Menurut Chidir Ali, ada beberapa unsur dari badan hukum yaitu sebagai berikut :
1) Perkumpulan orang (organisasi yang teratur);
2) Dapat melakukan perbuatan hukum (rechtshandeling) dalam hubungan-hubungan
hukum (rechtsbetrekking);
3) Adanya harta kekayaan yang terpisah;
4) Mempunyai kepentingan sendiri;
5) Mempunyai pengurus;
6) Mempunyai tujuan tertentu;
7) Mempunyai hak-hak dan kewajiban-kewajiban;
8) Dapat digugat atau menggugat di depan pengadilan.16
Bila berdasarkan hukum peblik negara adalah organisasi jabatan atau kumpulan dari
organ-organ kenegaraan, yang di dalamnya terdapat organ pemerintahan, maka
berdasarkan hukum perdata, negara adalah kumpulan dari badan-badan hukum, yang
di dalamnya terdapat badan (lichaam) pemerintahan. Menurut C.J.N. Verstehen,
Pemerintah dan dalam kedudukannya yang spesifik sebagai pemerintah
menggunakan berbagai ketentuan hukum privat dalam pergaulannya. Kadang-kadang
mereka terlibat dalam lalu lintas pergaulan keperdataan dalam kedudukan yang sama
dengan pihak swasta, tanpa kedudukan spesifiknya sebagai pemerintah dan yang
melindungi kepentingan umum dalam hal terjadi sengketa. Dengan demikian,
pemerintah dapat bertindak sebagai
15
16
(prinsip pemerintahan
berdasarkan undang-undang).
Secara historis, azas pemerintahan berdasarkan undang-undang berasal dari
pemikiran hukum abad 19 yang berjalan seiring dengan keberadaan negara hukum
klasik atau negara hukum liberal
10
pemerintahan, dengan kata lai, azas legalitas dalam gagasan negara hukum liberal
memiliki kedudukan sentral atau sebagai suatu fundamen dari negara hukum.
Asas legalitas berkaitan dengan gagasan demokrasi dan gagasan negara hukum
(het democratish ideal en het rechtsstaatsideaal). Gagasan demokrasi menuntut agar
setiap bentuk undang-undang dan berbagai keputusan mendapatkan persetujuan dari
wakil rakyat dan sebanyak mungkin memperhatikan kepentingan rakyat. Menurut
Ropusseau, undang-undang merupakan personifikasi dari akal sehat manusia, aspirasi
masyarakat, yang pengejawantahannya harus tampak dalam prosedur pembentukan
undang-undang yang melibatkan dan memperoleh persetujuan rakyat. Gagasan negara
hukum menuntut agar penyelenggara kenegaraan dan pemerintahan harus didasarkan
pada undang-undang dan memberikan jaminan terhadap hak-hak dasar rakyat yang
tertuang dalam undang-undang. Azas legalitas menjadi dasar legitimasi tindakan
pemerintahan dan jaminann perlindungan dari hak-hak rakya.
Sjahran Basah, menyatakan bahwa azas legalitas berarti uapaya mewujudkan duet
integral secara harmonis antara paham kedaulatan hukum dan paham kedaulatan
rakyat berdasarkan prinsip monodualistis selaku pilar-pilar yang sifat hakikatnya
konstitutif.18
Menurut Indroharto, penerapan azas legalitas akan menunjang berlakunya
kepastian hukum dan berlakunya kesamaan perlakuan. Kesamaan perlakuan terjadi
karena setiap orang yang berada dalam situasi seperti yang ditentukan dalam suatu
ketentuan undang-undang itu berhak dan berkewajiban untuk berbuat seperti apa yang
ditentukan dalam undang-undang tersebut. Sedankan kepastian hukum akan terjadi
karena suatu peraturan dapat membuat semua tindakan yang akan dilakukan
pemerintah itu dapat diramalkan atau diperkirakan lebih dahulu, dengan melihat
kepada peraturan-peraturan yang berlaku, maka pada azasnya lalu dapat dilihat atau
diharapkan apa yang akan dilakukan oleh aparat pemerintahan yang bersangkutan.
Dengan demikian warga masyarakat lalu dapat menyesuaikan dengan keadaan
tersebut.19
18
Sjahran Basah, Perlindungan Hukum terhadap Sikap Tinndak Administrasi Negara, Alumni,
Bandung, 1992, hlm. 2.
19
Indroharto, op cit, hlm. 83-84.
11
Kepastian hukum disamping keadilan adalah target utama yang hendak dicapai
oleh manusia melalui pelaksanaan hukum. Kenyataanya adalah perdebatan untuk
memperoleh jawaban bagi pertanyaan mengenai apa yagn adil dan apa yang tidak,
semakin lama menjadi semakin kompleks. Hal itu adalah seiring dengan semakin
meningkat dan juga semakin kompleksnya pola kebutuhan hidup manusia serta
semakin terbatasnya sumber daya yang diperlukan untuk memenuhinya. Sementara
itu, penyelenggarakan kepastian hukum banyak tergantung dari sturktur organisasi
penegak hukum serta konsistensi dalam cara kerja dari orang-orang yang
mendukungnya.20
Algra dan Duyyendijk dalam Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Penerbit PT. Citra
Aditya Bakti, Bandung, 1991.
21
12
suatu peraturan dibuat, maka menjadi pasti pulalah nilai yang hendak dilindungi
oleh peraturan tersebut. Oleh karena itu orang tidak perlu lagi memperdebatkan
apakah nilai itu bisa diterima atau tidak.
Sementara kelemahan-kelemahan undang-undang adalah :
1. Kekakuannya. Kelemahan ini sebetulnya segera tampil sehubungan dengan
kehendak perundang-undangan untuk menampilkan kepastian. Apabila kepastian
ini hendak dipenuhi, maka ia harus membayarnya dengan membuat rumusanrumusan yang jelas, terperinci dan tegar dengan risiko menjadi norma-norma
yang kaku.
2. Keinginan perundang-undangan untuk membuat rumusan-rumusan yang bersifat
umum mengandung risiko, bahwa ia mengabaikan dan dengan demikian
memperkosa perbedaan-perbedaan atau cirri-ciri khusus yang tidak dapat
disamaratakan begitu saja. Terutama sekali dalam suasana kehidupan modern
yang cukup kompleks dan spesialitas ini, kita tidak mudah untuk membuat
parampatan-perampatan (generalization).
Menurut Bagir Manan, hukum tertulis memiliki berbagai cacat bawaan (natural defect)
dan cacat buatan (artificial defect). Lebih lanjut disebutkan sebagai berikut : sebagai
ketentuan tertulis (written rule0 atau hukum tertulis (written law), peraturan perundangundangan mempunyai jangkauan yang terbatas, sekadar moment opname dari unsureunsur politik, ekonomi, social, budaya dan hankam yang paling berpengaruh pada saat
pembentukan, karena itu mudah sekali aus (out of date) bila dibandingkan dengan
perubahan masyarakat yang semakin menyepat atau dipercepat (change). Pembentukan
peraturan perundang-undangan khususnya undang-undang dapat dipersamakan sebagai
pertumbuhan deret hitung, sedangkan perubahan masyarakat bertambah seperti deret
ukum. Kelambatan pertumbuhan peraturan perudang-undangan yang merupakan cacat
bawaan ini dapat pula makin diperburuk oleh berbagai bentuk cacat hukum buatan, yang
timbul akibat masuk atau dimasukkannya berbagai kebijakan atau tindakan yang
mengganggu peraturan perundang-undangan sebagai sebuat system.22
22
13
Menurut Bagir Manan, kesulitan yang dihadapi oleh hukum tertulis, yaitu; pertama,
hukum sebagai bagian dari kehidupan masyarakat mencakup semua aspek kehidupan
yang sangat luas dan kompleks, sehingga tidak mungkin seluruhnya dijelmakan dalam
peraturan perundang-undangan; kedua, peraturan perundang-undangan sebagai hukum
tertulis sifatnya statis (pada umumnya), tidak dapat dengan cepat mengikuti gerak
pertumbuhan, perkembangan dan perubahan masyarakat yang harus diembannya. 23
Adanya kelemahan dalam hukum tertulis ini berarti pula adanya kelemahan dalam
penerapan azas legalitas, kerena itu penyelenggaraan kenegaraan dan pemerintahan
dalam suatu negara hukum diperlukan persyaratan lain.
Wewenang Pemerintahan
Meskuipun azas legalitas mengandung kelemahan, namun azas ini tetap menjadi
prinsip utama dalam setiap negara hukum. Azas legalitas merupakan dasar dalam setiap
penyelenggaraan
kenegaraan
dan
pemerintahan.
Dengan
kata
lain,
setiap
23
14
26
15
taati29 paham keabsahan sendiri tidak mengatakan apa pun tentang apa yang menjadi
norma keabsahan. Apakah norma itu adalah keyakinan masyarakat, atau konstitusi negara
atau suatu tuntutan lain, tidak termasuk paham keabsahan. Salah satu ukuran keabsahan
wewenang adalah legalitas. Legalitas menuntut agar wewenang dijalankan sesuai dengan
hukum yang berlaku. Suatu tindakan adalah sah apabila sesuai, tidak sah apabila tidak
sesuai dengan hukum yang berlaku.
Adalah cukup jelas bahwa legalitas tidak mungkin merupakan tolok ukur paling
fundamental bagi keabsahan wewenang politis. Karena legalitas hanya dapat
memperbandingkan suatu tindakan dengan hukum yang berlaku, maka selalu sudah
diandaikan keabsahan hukum. Tetapi bagaimana hukum sendiri dapat dicek legalitasnya ?
Barangkali dengan cara mengecek apakah norma hukum konkrit yang mendasari
penilaian tentang legalitas tindakak kekuasaan tadi ditetapkan sesuai dengan bagian
hukum yang menentukan prosedur pembuatan hukum. Tetapi lalu timbul pertanyaan
apakah bagian hukum yang mengenai cara pembuatan hukum itu sendiri legal atau
sesuai dengan hukum yagn berlaku. Barangkali kita masih dapat mengacu pada undangundang dasar negara itu, tetapi paling lambat di situ kita tidak dapat bertanya terus.
Pendasaran wewenang politik pada legalitas akhirnya merupakan regressus ad infinitum
(mundur tanpa akhir), karena hukum positif yagn mendasari legalitas selalu harus
berdasarkan suatu hukum positif lagi. Dengan lain kata, legitimasi paling fundamental
tidak dapat didasarkan pada penerapan hukum positif.30
Sumber dan cara memperoleh Wewenang Pemerintahan
Seiring dengan pilar utama negara hukum yaitu azas legalitas (legaliteitsbgeginsel
atau het beginsel van wetmatigheid van bestuur), maka berdasarkan prinsip ini tersirat
bahwa wewenang pemerintahan berasal dari peraturan perundang-undangan, artinya
sumber wewenang bagi pemerintah adalah peraturan perundang-undangan.
Menurut H.. van Wijk/Willem Konijnenbelt mendefinisikan sebagai berikut :
a. attributie
Miriam Budiardjo, Aneka Pemikiran Tentang Kuasa dan Wibawa, Sinar Harapan, Jakarta,
1984, hal 15.
30
Franz Magnis Suseno, op cit, hal. 59-60.
16
17
yang diperoleh secara atribusi bersifat asli yang berasal dari peraturan perundangundangan. Dengan kata lain, organ pemerintahan memperoleh kewenangan secara
langsung dari redaksi pasal tertentu dalam suatu peraturan perundang-undangan. Dalam
hal atribusi, penerima wewenang dapat menciptakan wewenang baru atau memperluas
wewenang yang sudah ada, dengan tanggung jawab intern dan ekstern pelaksanaan
wewenang yang diatribusikan sepenuhnya berada pada penerima wewenang (atributaris).
Pada delegasi tidak ada penciptaan wewenang, yang ada hanya pelimpahan wewenang
dari pejabat yang satu kepada pejabat lainnya. Tanggung jawab yuridis tidak lagi berada
pada pemberi delegasi (delegans) tetapi beralih pada penerima delegasi (delegataris).
Sementara pada mandat, penerima manda (mandataris) hanya bertindak untuk dan atas
nama pemberi mandat (mandans), tanggung jawab akhir keputusan yang diambil
mandataris tetap berada pada mandans. Hal ini karena pada dasarnya, penerima mandat
ini bukan pihak lain dari pemberi mandat.
Untuk memudahkan pemahaman perbedaan ini,
Delegasi
No.
Mandat
(beschikkingen) oleh organ pemerintahan, sehingga dikenal ada keputusan atau ketetapan
yang bersifat terikat dan bebas. Indroharto mengatakan bahwa pertama, wewenang
pemerintahan yang bersifat terikat, yakni terjadi apabila peraturan dasarnya menentukan
kapan dan dalam keadaan yang bagaimana wewenang tersebut dapat digunakan atau
peraturan dasarna sedikit banyak menentukan tentang isi dari keputusan yang harus
diambil. Dengan kata lain, terjadi apabila peraturan dasar yang menentukan isi dari
keputusan yang harus diambil secara terinci, maka wewenang pemerintahan semacam itu
merupakan wewenang yang terikat; kedua, wewenang fakultatif, terjadi dalam hal badan
atau pejabat tata usaha negara yang bersangkutan tidak wajib menerapkan wewenangnya
atau sedikit banyak masih ada pilihan, sekalipun pilihan itu hanya dapat dilakukan dalam
hal-hal atau keadaan-keadaan tertentu sebagaimana ditentukan dalam peraturan dasarnya;
ketiga, wewenang bebas, yakni terjadi ketika peraturan dasarnya memberi kebebasan
kepada badan atau pejabat tata usaha negara untuk menentukan sendiri mengenai ini dari
keputusan yang akan dikelarkannya atau peraturan dasarnya memberikan ruang lingkup
kebebasan kepada pejabat tata usaha negara yang bersangkutan.
Menurut Philipus M. Hadjon, dengan mengutip pendapat N.M. Spelt dan J.B.J.M. ten
Berger, membagi kewenangan bebas dalam dua katagori yaitu kebebasan kebijaksanaan
(beleidsvrijheid) dan kebebasan penilaian (beoordelingsvrijheid). Ada kebebasan
kebijaksanaan (wewenang diskresi dalam arti sampai) bila peraturan perundangundangan memberikan wewenang tertentu kepada organ pemerintahan, sedangkan organ
tersebut
bebas
untuk
(tidak)
menggunakannya
meskipun
syarat-syarat
bagi
19
wewenang, sifat dan isi wewenang, maupun pelaksanaan wewenang tunduk pada
batasan-batasan yuridis. Mengenai penyerahan wewenang dan sebaliknya, terdapat
aturan-aturan hukum tertulis dan tidak tertulis. Terlepas dari bagaimana wewenang itu
diperoleh dan apa isi dan sifat wewenang tersebut, yang pasti bahwa wewenang
merupakan factor penting dalam hubungannya dengan masalah pemerintahan, dan
berdasarkan wewenang inilah pemerintah dalam melakukan berbagai tindakan hukum
(rechtshandelingen).
3. Tindakan Pemerintahan
3.1. Pengertian Tindakan Pemerintahan
Pemerintah atau administrasi negara adalah sebagai subyek hukum, sebagai
pedukung hak-hak dan kewajiban-kewajiban. Sebagai subyek hukum, pemerintah
sebagaimana
subyek
hukum
lainnya
melakukan
berbagai
tindakan
hukum
negara,
sehingga
dikenal
istilah
tindakan
hukum
administrasi
31
32
20
21
33
Muchsan, Beberapa Catatan tentang Hukum Administrasi negara dan Peradilan Administrasi
Negara di Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1981, hal. 18-19.
22
administrasi negara ini dapat bersifat dan diatur oleh hukum perdata dan kapan diatur dan
tunduk pada hukum publik.
Indonesia,
Pustaka
Tinta
Mas,
Surabaya, 1988.
Philipus M. Hadjon, et al, Pengantar
Hukum Administrasi Indonesia, Gadjah Mada
Iniversity Press, Yogyakarta.
23