Anda di halaman 1dari 8

DEGRADASI JENIS VEGETASI BAWAH PADA EKOTON PADANG

PENGGEMBALAAN SADENGAN, TAMAN NASIONAL ALAS PURWO


Evanti Arosyani, Prihadi Santoso
Jurusan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Universitas Padjadjaran

ABSTRAK
Padang penggembalaan Sadengan adalah ekosistem sekunder di Taman Nasional Alas Purwo,
berfungsi sebagai daya dukung habitat bagi hewan yang dilindungi [banteng (Bos javanicus) dan
rusa (Cervus timorensis)] mengalami permasalahan penyempitan luas berupa invasi dari encengenceng (Casia tora) dan krinyu (Eupatorium odoratum). Untuk mengetahui perkembangan dari
ekosistem tersebut, dilakukan suatu analisis vegetasi terhadap degradasi jenis yang terjadi pada
tumbuhan bawah dengan metode point intercept di daerah ekoton padang penggembalaan
Sadengan. Tiga buah line transek sepanjang 20 meter yang menembus garis ekoton, diletakkan di
tiga daerah ekoton yang berbeda. Teridentifikasi sebanyak 21 jenis tumbuhan bawah yang berada
di ketiga daerah tersebut, dengan 3 jenis yang dapat diamati degradasinya, yaitu dua jenis
tumbuhan pakan hewan (Andropogon aciculatus dan Cynodon dactilon) dan Sida acuta.
Berdasarkan hasil penelitian dengan analisis data yang didapat berupa penghitungan INP,
Andropogon aciculatus dan Cynodon dactilon mengalami degradasi jenis dari wilayah utaratimur-selatan dengan nilai INP sebesar Andropogon aciculatus ( 84.1 ; 34.7 ; 21.7 ) dan Cynodon
dactilon ( 59.3 ; 36.7 ;14.4 ). Sedangkan untuk Sida acuta mengalami degradasi jenis dengan arah
sebaliknya yaitu selatan-timur-utara dengan nilai INP sebesar (7.9 ; 5,2 ; 4,9).
Kata Kunci : Degradasi, Invasi, Padang Penggembalaan, Point intercept, vegetasi bawah
PENDAHULUAN
Padang penggembalaan Sadengan merupakan formasi ekosistem savana yang ada di
Taman Nasional Alas Purwo. Fungsi dari ekosistem tersebut sebagai habitat dan sumber makanan
primer (daya dukung habitat) bagi mamalia besar herbivora seperti banteng (Bos javanicus),
kijang (Muntiacus muntjak) dan rusa (Cervus timorensis). Selain hewan herbivora, hewan lainnya
seperti burung, serangga dan hewan predator pun bergantung pada ekosistem ini.
Savana merupakan daerah terbuka yang dominan ditumbuhi oleh vegetasi tumbuhan
bawah (Rumput). Ekosistem ini ada pada strata rendah ditumbuhi oleh tumbuhan herbaceous
terutama rumput C4 dan secara nyata rumput-rumputan ini membentuk asosiasi bersama dengan
komponen pohon dan semak belukar. Savana secara tradisional digunakan sebagai kawasan
perladangan, padang penggembalaan dan hutan (Arrijani, 2006).
Daya dukung habitat yang merupakan fungsi dari Sadengan ini diperuntukkan khusus
untuk satwa yang dilindungi seperti banteng (Bos javanicus) dan rusa (Cervus timorensis).

Berdasarkan IUCN (2003) status banteng masuk dalam kategori terancam punah, sedangkan
untuk rusa berdasarkan IUCN (2008) berstatus rentan.
Padang penggembalaan Sadengan memiliki peran begitu penting. Tetapi hanya mewakili
0,1 % luas dari total keseluruhan luas TNAP. Padang penggembalaan ini mengalami
penyempitan luas, dikarenakan adanya invasi dari gulma seperti Eupatorium odoratum dan
Cassia tora.
Tujuan
Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk :
1. Mengetahui degradasi dari jenis tumbuhan bawah yang ada di padang penggembalaan
Sadengan, Alas Purwo.
2. Mengetahui pola perubahan jenis yang menyusun tanaman bawah di sepanjang garis
daerah tersebut.
3. Mengetahui kondisi padang penggembalaan Sadengan menurut hasil analisis vegetasi
serta saran pengelolaan yang harus dilakukan.
METODE PENELITIAN
Tempat dan Waktu
Penelitian dilakukan di padang penggembalaan Sadengan, Taman Nasional Alas Purwo selama
tiga hari berturut-turut terhitung sejak tanggal 5-7 Mei 2014.
Alat
Alat yang digunakan adalah alat point intercept yang terdiri dari rangka besi sepanjang satu meter
dengan sepuluh lubang berjarak 10 cm antar lubang dan lidi besi, meteran, patok, rapia, gunting,
alat tulis, soil tester, termohigrometer, GPS (Global Positioning System), lux meter, dan kamera.
Metode
Pengambilan data dilakukan dengan metode point intercept dengan tiga line transek sepanjang 20
meter di tiga daerah ekoton berbeda yaitu utara, timur dan selatan Sadengan. Line transek
tersebut dibuat tegak lurus dengan garis ekoton. Sebanyak 600 titik dari ketiga transek akan
didata.
Kemudian data dianalisis untuk melihat nilai frekuensi, kerapatan dan dominansi. Indeks Nilai
Penting dari setiap jenis pun akan diketahui. Selain itu Indeks keanekaragaman Shannon wiener
dan kesamaan Sorensen pun dihitung untuk melengkapi data.

Hasil dan Pembahasan


Hasil
Tabel 1 Hasil analisis data vegetasi bawah di ketiga daerah ekoton, Sadengan
Transek
N
O

Nama Spesies

Famili

II

III

FR

KR

DR

IN
P

FR

KR

DR

IN
P

FR

KR

DR

IN
P

21,2
8

30,3
3

32,4
8

84,
1

10,
9

7,5

16,
3

34,
7

6,7

7,1

7,9

21,
7

Andropogon aciculatus

Poaceae

Arundinella setosa

Poaceae

2,2

0,9

0,4

3,6

26,
7

35,
7

27,
1

89,
5

Axonopus paspalum

Poaceae

4,3

1,9

4,5

10,
7

3,3

2,4

1,3

7,0

Brachiaria mutica

Poaceae

2,2

0,9

0,9

4,0

Casia tora

Fabaceae

2,2

0,9

6,0

9,1

10,
0

7,1

10,
0

27,
2

Centella asiatica

Mackinlayacea
e

6,5

5,7

4,8

17,
0

16,
7

14,
3

10,
5

41,
4

Commelinaceae*

Commelinacea
e

13,
0

7,5

13,
9

34,
5

Cyperus rotundus

Poaceae

17,
4

9,4

9,8

36,
7

Cynodon dactylon

Poaceae

2,2

0,9

1,5

4,6

3,3

2,4

8,7

14,
4

10

Eclipta alba*

Asteraceae

2,2

0,9

0,3

3,4

11

Elephantophus scaber

Asteraceae

2,2

26,
4

8,4

36,
9

12

Euphatorium odoratum

Asteraceae

6,7

4,8

7,0

18,
4

13

Gmelina asiatica

Lamiaceae

2,13

0,82

5,39

8,3

2,2

0,9

13,
4

16,
5

14

Hydrocotyle
cilothorpoides

Araliaceae

25,5
3

23,7
7

10,9
0

60,
2

15,
2

27,
4

7,5

50,
1

15

Kyllinga monocephala

Cyperaceae

6,5

3,8

5,4

15,
7

16

Phillanthes urinaria

Phyllantaceae

2,13

0,82

4,46

7,4

3,3

2,4

1,7

7,5

17

Sida acuta

Malvaceae

2,13

0,82

2,00

4,9

3,3

2,4

2,2

7,9

18

Fimbristylis miliacea

19

16,
7

19,
0

17,
5

53,
2

3,3

2,4

6,1

11,8

23,4
0

23,4
0

22,9
5

20,4
9

12,9
8

31,7
9

59,
3

75,
7

2,2

0,9

2,1

5,2

Cyperaceae

6,5

2,8

3,4

12,
8

Hyptis sp

Lamiaceae

2,2

0,9

1,5

4,6

20

Synedrella nodiflora

Asteraceae

100

100

100

300

21

Syzygium javanicum

Myrtaceae

Tabel 2 Analisis data dari ketiga spesies di daerah ekoton sadengan untuk perbandingan, sebagai
bukti terjadinya degradasi
Spesies

Andropogon
aciculatus

Cynodon dactilon

Sida acuta

Transek

FR
(%)

KR
(%)

DR
(%)

INP

21,28

30,33

32,48

84,1

II

10,9

7,5

16,3

34,7

III

6,7

7,1

7,9

21,7

23,40

22,95

12,98

59,3

II

17,4

9,4

9,8

36,7

III

3,3

2,4

8,7

14,4

2,13

0,82

2,00

4,9

II

2,2

0,9

2,1

5,2

III

3,3

2,4

2,2

7,9

Pembahasan
Padang penggembalaan Sadengan, Taman Nasional Alas Purwo merupakan Padang
penggembalaan sekunder atau ekosistem buatan yang diperuntukkan dalam peningkatan daya
dukung habitat mamalia herbivora guna menjaga populasinya. Pembukaan hutan dilakukan pada
tahun 1978 dengan pembabatan dan pembakaran vegetasi sebelumnya (yang merupakan hutan
industri). Luas wilayah keseluruhan dari padang penggembalaan ini 84,22 Ha (Nugroho, 2008).
Setiap tahun, luas wilayah Sadengan menurun akibat invasi dari krinyuh (Eupathorium
odaratum) dan enceng-enceng (Cassia tora) yang memiliki daya hidup yang tinggi. Yang apabila
dibiarkan, maka habitat bagi mamalia herbivora akan semakin berkurang pula.
Terdata sebanyak 21 spesies dari sebelas famili vegetasi bawah yang berada di daerah
ekoton Sadengan. Hasil penghitungan indeks keanekaragaman Shannon wiener menyimpulkan
bahwa pada transek I memiliki keanekaragaman yang rendah dengan nilai 1,48 , serta
keanekaragaman yang sedang pada transek II (2,13) dan III (1,93).
Daerah utara memiliki keberagaman jenis yang lebih sedikit dibanding daerah lainnya,
terdapat tujuh spesies vegetasi bawah yang terdata di wilayah ini. Dari 200 titik yang didata,
sebanyak 122 titik ditempati oleh vegetasi bawah. Hal tersebut menunjukan bahwa transek I
dipadati oleh vegetasi bawah.
Andropogon aciculatus memiliki nilai INP yang paling tinggi sebesar 84,1. Artinya
spesies tersebut memiliki arti yang penting di daerah tersebut. Andropogon aciculatus merupakan
golongan vegetasi bawah dari famili poaceae yang merupakan salah satu jenis pakan banteng.
Dengan kenyataan demikian, maka dapat dikatakan bahwa daerah utara tidak memiliki invasi
yang besar.
Tumbuhan invasi adalah tumbuhan yang tumbuh pesat di suatu area sehingga dapat
menutupi dan memenuhi ruang tumbuh bagi tanaman inti yang seharusnya tumbuh di area

tersebut. Seperti halnya padang penggembalaan yang terinvasi oleh Cassia tora dan
Chromolaena odorata. Tumbuhan inti dari ekosistem ini tentunya adalah tanaman jenis vegetasi
bawah yang termasuk pakan bagi banteng dan rusa yang memiliki palatabilitas yang tinggi.
Apabila ruang ekosistem tersebut didominasi oleh tumbuhan lain, maka dapat dikatakan
tumbuhan lain tersebut menginvasi ekosistem padang penggembalaan.
Di bagian timur Sadengan terdata sebanyak 17 spesies. Di daerah ini terdapat tumbuhan
gulma Cassia tora yang menginvasi dan memiliki nilai INP sebesar 9,1 . Walaupun nilainya
kecil, namun penanganan terhadap tumbuhan jenis ini perlu dilakukan secara intensif
dikarenakan enceng-enceng (Casia tora) merupakan salah satu gulma yang paling sulit
diberantas. Tumbuhan ini memiliki umur yang pendek hanya satu tahun, berbunga pada bulan
Mei dan buah masak pada bulan Oktober-November. Setelahnya biji mulai lepas dari buah dan
jatuh ke tanah menunggu hujan untuk tumbuh subur. Tumbuhan ini sangat menyukai daerah
terbuka dan kering seperti area Sadengan. Bijinya memiliki masa dormansi yang cukup tinggi
sehingga meskipun telah dilakukan pembabatan, biji berpeluang bersemai kembali (Nugroho,
2008).
Andropogon aciculatus yang merupakan pakan banteng dan rusa mengalami penurunan
INP pada daerah timur yaitu sebesar 34,7. Hal tersebut dikarenakan nilai keanekaragaman di
daerah ini lebih besar dibandingkan di daerah utara. Sehingga keberadaan Andropogon aciculatus
dari segi frekuensi, kerapatan dan dominansinya pun terdesak oleh jenis lainnya yang
mengakibatkan nilai INP menjadi lebih rendah.
Sedangkan untuk nilai INP tertinggi di daerah timur dimiliki oleh jenis Hydrocotyle
cilothorpoides dengan besar 50,1. Tumbuhan ini merupakan tumbuhan herba yang memiliki
kerapatan tertinggi sebesar 27,4%.
Di bagian selatan yang merupakan transek III terdata sebanyak sebelas spesies. Vegetasi
bawah pada daerah ini hanya menempati 42 titik dari 200 titik pada transek. Hal tersebut
menunjukan bahwa lahan di daerah selatan kosong atau tidak banyak ditutupi oleh vegetasi
bawah. Pada transek ini pun terdata anakan dari jenis vegetasi berkayu dari famili myrtaceae
yaitu species Syzygium javanicum. Menandakan bahwa penyebaran anakan pohon semakin
meluas, yang tidak menutupi kemungkinan akan mempersempit daerah padang penggembalaan.
Arundinella setosa memiliki nilai INP yang tertinggi pada daerah selatan sebesar 89,5.
Hal ini dikarenakan nilai dari frekuensi relatifnya (26,7%), kerapatan relatif (35,7%) maupun
dominansi relatifnya (27,1%) pun tinggi dibandingkan jenis yang lain. Arundinella setosa atau
lamuran merupakan jenis vegetasi bawah yang termasuk pada jenis pakan banteng dan rusa yang
memiliki nilai palatibilitas dan gizi yang baik. Bahkan jenis vegetasi bawah ini merupakan bibit
awal dalam pembukaan lahan yang dijadikan padang penggembalaan Sadengan.
Selain itu, ditemukan Eupatorium odoratum pada transek ke III dengan nilai INP sebesar
18,4. Keadaan dengan nilai INP sebesar itu tidak terlalu menginvasi daerah selatan. Krinyu atau
Eupatorium odoratum memang dikenal sebagai tumbuhan yang menginvasi dan mendominasi
padang gembalaan alam dan lahan terbuka di wilayah lahan kering Indonesia dan dianggap

sebagai gulma, termasuk di daerah padang penggembalaan Sadengan. Sifatnya yang invasif tersebut
dikarenakan krinyu memiliki biji yang sangat kecil dan mudah tertiup angin. Kecepatannya dalam
adaptasi vegetatif pun cukup menyulitkan dalam pemberantasan krinyu (Nugroho, 2008).
Telah banyak penelitian yang mencoba melihat seberapa besar pengaruh konsumsi hewan
dalam memakan krinyu (Eupatorium odoratum). Ternyata hasil dari penelitian tersebut
menyatakan bahwa konsumsi hewan terhadap krinyu tidak menimbulkan pengaruh negatif
terhadap konsumsi, daya cerna, fermentasi rumen dan profil metabolit plasma (Mulik, 2009).
Karena tingkat palatabilitasnya yang rendah Eupatorium odoratum ini tidak dimanfaatkan sebagi
pakan oleh kebanyakan hewan, termasuk banteng dan rusa yang merupakan fokus hewan bagi
dibukanya lahan Sadengan ini.
Banteng dan rusa merupakan satwa liar yang menyukai tipe habitat yang lebih terbuka
dan satwa ini lebih bersifat pemakan rumput (grazer) daripada pemakan daun dan semak
(browser) (Alikodra, 1983 dalam Garsetiasih,2012) dan (Masyud, 2008). Oleh karena itu
Eupatorium odoratum yang merupakan semak mempengaruhi nilai palatabilitasnya yang rendah.
Terdapat tiga jenis yang dapat diamati degredasinya disepanjang garis ekoton, yaitu jenis
Andropogon aciculatus, Cynodon dactilon dan Sida acuta. Ketiga jenis ini hadir pada setiap
transek, sehingga dapat dikatakan bahwa kehadirannya konstan di sepanjang garis ekoton.
Sedangkan untuk ke 19 jenis lainnya, tidak terdata dengan konstan di setiap transek, sehingga
degredasi pun tidak dapat dilihat secara tepat.
Degradasi yang terjadi pada jenis Andropogon aciculatus dan Cynodon dactilon
disepanjang garis ekoton, dari utara ke selatan semakin besar, dapat dilihat dari nilai analisis
datanya yang berkurang. Untuk frekuensi dari daerah utara ke selatan Andropogon aciculatus
(21,28% ; 10,9% ; 6,7%), dominansi (32,48% ; 16.3% ; 7,9%) dan kerapatan (30,33% ; 7,5% ;
7,1 %). Sedangkan untuk Cynodon dactilon terjadi degradasi dengan nilai frekuensi dari utara ke
selatan sebesar ( 23,40% ; 14,4% ; 3,3% ), dominansi dialami oleh jenis ini dari selatan ke timur
dan utara.
Berdasarkan hasil tersebut terlihat bahwa daerah selatan memiliki kelimpahan jenis pakan
yang rendah. Rehabilitas untuk jenis pakan berupa penanaman direkomendasikan untuk daerah
selatan terlebih dahulu.
Untuk pola degradasi kemunculan jenis yang dilihat di setiap transek, terlihat bahwa tidak
ada pola teratur. Hal tersebut berdasarkan perbandingan keanekaragaman dan pola jenis dengan
kemunculannya di ketiga transek. Kemunculan Andropogon aciculatus di setiap transek, tidak
diiringi kemunculan jenis spesies lain yang tetap.
Hasil penghitungan indeks kesamaan Sorensen menunjukan bahwa daerah utara (transek
I) dengan selatan (transek III) memiliki kesamaan yang lebih kecil, sedangkan daerah timur
dibaningkan keduanya memiliki nilai yang sama besar. Hal tersebut menunjukan bahwa
komposisi jenis yang menyusun daerah utara dan selatan sangat berbeda sedangkan daerah timur

tampak seperti transisi dari daerah utara dan selatan (jenis di daerah timur memiliki kemiripan
yang besar pada kedua daerah yang lainnya).
PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian, terdapat tiga jenis vegetasi bawah yang dapat dilihat
degradasinya dari 21 jenis yang ditemukan, yaitu Andropogon aciculatus, Cynodon dactilon dan
Sida acuta. Degradasi yang terjadi pada jenis pakan banteng dan rusa (Andropogon aciculatus
dan Cynodon dactilon) semakin besar dari arah daerah utara ke selatan, dilihat dari nilai INP
yang berangsur menurun dari utara-timur-selatan yaitu untuk Andropogon aciculatus ( 84.1 ; 34.7
; 21.7 ) dan Cynodon dactilon ( 59.3 ; 36.7 ;14.4 ). Sedangkan untuk Sida acuta mengalami
degradasi dengan arah yang berkebalikan dengan kedua jenis tadi, yaitu dari selatan-timur-utara
dengan nilai INP sebesar (7.9 ; 5,2 ; 4,9).
Tidak terlihat adanya pola perubahan jenis yang teratur secara tegak lurus garis ekoton
pada wilayah Sadengan. Tetapi keadaan umum ekoton seperti berkurangnya kerapatan,
dominansi dan frekuensi dari vegetasi bawah semakin berkurang ke daerah hutan.
Berdasarkan hasil analisis vegetasi, kondisi padang penggembalaan Sadengan memiliki
keadaan vegetasi bawah yang berbeda di setiap daerah ekotonnya. Wilayah utara merupakan
wilayah ekoton yang memiliki invasi paling rendah, karena INP terbesar dimiliki oleh jenis
Andropogon aciculatus yang termasuk jenis pakan banteng dan rusa. Sedangkan wilayah timur
yang memiliki invasi terbesar, dikarenakan ditemukannya spesies Cassia tora dengan INP
sebesar 9,1 dan dengan INP tertinggi dimiliki oleh jenis Hydrocotyle cilothorpoides sebesar 50,1.
Secara keseluruhan dapat dikatakan bahwa padang penggembalaan Sadengan tergolong rendah
dari invasi tumbuhan pengganggu berdasarkan masih mendominasinya nilai INP yang tinggi dari
jenis pakan rusa dan banteng yang berada di ketiga wilayah ekoton Sadengan.
Saran
Direkomendasikan metode yang lebih tepat untuk penelitian selanjunya dalam melihat
degradasi jenis vegetasi bawah. Metode akan lebih tepat apabila ukuran garis transek
diperpanjang dan plot diperbanyak, serta penghitungan (analisis data) dilakukan per plot dalam
transek, agar terlihat perubahan frekuensi, kerapatan dan dominansi dari setiap jenis di sepanjang
garis transek tersebut.
Berdasarkan hasil penelitian, disarankan kepada pihak TNAP apabila akan dilakukan
pembinaan atau pengelolaan padang penggembalaan Sadengan didahulukan di bagian Timur
Sadengan untuk penebasan invasi gulma dikarenakan besarnya invasi di daerah tersebut dan
rehabilitas jenis pakan di bagian selatan Sadengan dikarenakan nilai INP untuk jenis pakan
banteng dan rusa yang rendah di daerah tersebut (dilihat dari degradasi yang dialami).

UCAPAN TERIMA KASIH


Terimakasih kepada pihak Taman Nasional Alas Purwo yang telah mendukung dalam
pelaksanaan penelitian ini.
PUSTAKA
Arrijani, S. D.; E. Guhardja.; I. Qayim. 2006. Analisis Vegetasi Hulu DAS Cianjur Taman
Nasional Gunung Gede-Pangrango. J. Biodiversitas. 147153.
Garsetiasih, R., et al. 2012. Potensi dan Produktivitas Habitat Pakan Banteng (bos javanicus
Dalton 1832) di Padang Perumputan Pringtali dan Kebun Pantai Bandealit Taman
Nasional Meru Betiri Jawa Timur. Penelitian Hutan dan Konservasi Alam. Vol 9 (2) ;
113-123
Masyud, B., Kusuma, I. H., Rachmandani, Y. 2008. Potensi Vegetasi Pakan dan Efektivitas
Perbaikan Habitat Rusa Timor (Cervus timorensis, de Blainville 1822) di Tanjung Pasir
Taman Nasional Bali Barat. Media Konservasi. Vol. 13 ( 2) 59 64 59
Mullik, Marthen L., et al. 2013. Uji Respon Pertumbuhan Ternak Sapi Dan Kualitas Daging
Akibat Penggunaan Gulma Chromolaena Odorata Sebagai Sumber Protein Murah Dalam
Pakan Penggemukan Mendukung MP3EI Di Koridor V.Prosiding2013. (756-765).
ristek.go.id
Nugroho, B.,Margo., Murdyatmaka, W. 2008. Rencana Pengelolaan feeding ground Sadengan.
Departemen Kehutanan, Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam,
Balai Taman Nasional Alas Purwo.

Anda mungkin juga menyukai