Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
PENDAHULUAN
adalah
kandungan
sehingga
bahan aktifnya
mampu
yang
mencegah
dan
karena
itu
perlu
dikembangkan
sediaan
formulasi
krim
tipe
tabir
m/a.
surya
Bentuk
surfaktan
nonionic
tinggi.
dan digunakan
dalam
Span 80 merupakan
konsentrasi
1-10%.
zat
pengemulsi
hidrofilik.
Tween
80
merupakan
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
mencegah
atau
megobati
penyakit
ritketsia
karena
7-
panjang gelombang 250 270 nm, akan timbul eritema yang sangat
ringan, yang menghilang dalam beberapa hari tanpa menimbulkan warna
kecoklatan (Ditjen POM, 1985).
Panjang gelombang sinar ultraviolet dapat dibagi menjadi 3 bagian :
1. Ultraviolet A (UV A) yaitu sinar dengan panjang gelombang antara 400
315 nm dengan efektivitas tetinggi pada 340 nm, dapat menyebabkan
warna coklat pada kulit tanpa menimbulkan kemerahan dalam bentuk
leuko yang terdapat pada lapisan atas.
2. Ultraviolet B (UV B) yaitu sinar dengan panjang gelombang antara 315
280 nm dengan efektivitas tertinggi pada 297,6 nm, merupakan
daerah eritemogenik, dapat menimbulkan sengatan surya dan terjadi
reaksi pembentukan melanin awal.
3. Ultraviolet C (UV C) yaitu sinar dengan panjang gelombang di bawah
280 nm, dapat merusak jaringan kulit, tetapi sebagian besar telah
tersaring oleh lapisan ozon dalam atmosfer (Ditjen POM, 1985).
Secara alami kulit sudah berusaha melindungi dirinya beserta
organ-organ di bawahnya dari bahaya sinar UV matahari, antara lain
dengan membentuk butir-butir pigmen kulit (melanin) yang sedikit banyak
memantulkan kembali sinar matahari. Jika kulit terpapar sinar matahari,
misalnya ketika seseorang brjemur, maka timbul dua tipe reaksi melanin :
1. Penambahan melanin dengan cepat ke permukaan kulit.
2. Pembentukan tambahan melanin baru.
sejenis
yang
sering
dimasukkan
dalam
dasar
bedak
sebagai
tabir
spektrofotometri terhadap
surya.
Pengujian
kadar, kepekatan
daya
absorpsi
larutan, dan
secara
panjang
ada yang menggunakan beberapa macam tabir surya dalam satu sediaan
kosmetika (Wasitaatmadja, 1997).
Kemampuan menahan sinar ultraviolet dari tabir surya dinilai dalam
faktor proteksi sinar (Sun Protecting Factor/SPF) yaitu perbandingan
antara dosis minimal yang diperlukan untuk menimbulkan eritema pada
kulit yang diolesi oleh tabir surya dengan yang tidak. Nilai SPF ini berkisar
antara 0 sampai 100 (Wasitaatmadja, 1997). Sediaan tabir surya
dikatakan dapat memberikan perlindungan apabila memiliki nilai SPF 2 8
(Shaat, 1990).
Pathak membagi tingkat kemampuan tabir surya sebagai berikut :
1. Minimal, bila SPF antara 2-4, contoh salisilat, antranilat.
2. Sedang, bila SPF antara 4-6, contoh sinamat, bensofenon.
3. Ekstra, bila SPF antara 6-8, contoh derivate PABA.
4. Maksimal, bila SPF antara 8-15, contoh PABA.
5. Ultra, bila SPF lebih dari 15, contoh kombinasi PABA, non-PABA dan
fisik. (Wasitaatmadja, 1997)
Penentuan nilai SPF dapat ditentukan secara in vitro dengan
menggunakan spektrofotometer (Petro, 1981). Metode SPF merupakan
metode resmi Amerika Serikat. FDA (Food Drug Administration)
mensyaratkan produk tabir surya harus mencantumkan nilai SPF-nya,
untuk memberikan arahan pada konsumen mengenai kekuatan relatif dari
produk tersebut (Shaat, 1990). Jika suatu body lotion mengandung SPF
15 berarti krim tersebut akan meneruskan sinar matahari seperlima belas
Bahan
dasar
keembaban kulit.
harus
dapat
mempertahankan
kelembutan
dan
pembuat lunak, dinilai kilau mutiara sediaan ini menjadi cemerlang. Krim
stearat bereaksi alkali lemak (pH 7,2 sampai 8,4). Akan tetapi reaksi
alkalinya tidak boleh berlebihan. Sebab alkalisasi kulit
sehat akan
susu dan sebagainya yang mengandung asam. Sejauh ini dikenal lima
jenis AHA, yaitu glycolic (asam glikolat), lactic (asam laktat), citric (asam
sitrat) serta malic dan tartaric (Anonim, 2001).
AHA sering disebut sebagai zat anti-penuaan dan mampu
mengelupas kulit mati tanpa digosok, mengurangi keriput, dan membuat
kulit lebih segar. Zat ini juga melembabkan kulit di bawahnya dan
merangsang terbentuknya sel-sel baru (Indarti, 2005). AHA berkerja
dengan cara meluruhkan (mengelupaskan) lapisan paling luar pada kulit
yang terdiri dari tumpukan sel-sel kulit mati. Hal ini dikenal dengan istilah
proses eksfoliasi. Efek dari proses ini adalah terlihat lebih segar dan
kenyal. Selain itu, hilangnya tumpukkan sel kulit mati ini mengakibatkan
berkurangnya penyumbatan pada pori-pori kulit, sehingga memperkecil
timbulnya jerawat serta memudahkan tersebrapnya bahanperawatan kulit
lainnya. Manfaat lain adalah meningkatkan tampilan tekstur kulit sehingga
kulit tampak lebih haluys (yang disebabkan karena bahan AHA ini
mempercepat terjadinya peluruhan sel kulit mati yang terjadi secara
alami). Juga penggunaan produk AHA membuat kulit wajah tampak lebih
cerah (Anonim, 2001).
Jika kulit banyak terkena sinar matahari, maka penggunaan AHA
dapat secara perlahan-lahan menghilangkan sebagian tanda dari
kerusakan kulit tersebut, sehingga yang terlihat adalah warna kulit lebih
rata karena menipisnya bercak-bercak noda kulit akibat sengatan matahari
tersebut (Anonim, 2001).
Sampai kini belum ada hasil penelitian yang mengindikasikan
adanya efek samping penggunaan AHA. Hanya pada beberapa orang,
timbul efek seperti gatal dan raa panas pada kulit setelah menggunakan
produk AHA. Hal ini terjadi pada umumnya orang yang memang peka atau
alergi terhadap bahan AHA (Anonim, 2001).
Kulit yang tidak terlindungi oleh lapisan asam (acid barrier)
cenderung menjadi besar, karena permukaan lapisan tanduk menjadi
tidak rata. Tidak adanya lapisan asam memungkinkan pertumbuhan
kuman-kuman secara tidak terhambat. Sehingga kemungkinan terjadinya
infeksi melalui kulit menjadi lebih besar. Hal ini disebabkan karena
penguapan melalui lapisan tanduk tanpa lapisan asam menjadi lebih
mudah, maka terjadi dehidrasi dengan akibat bahwa sifat lembut dan sifat
kenyal lapisan tanduk dan bagian epidermis lebih dalam berkurang.
(Rostamailis, 2005).
Daerah beriklim tropis seperti di Indonesia mendapatkan sinar
matahari yang intensitasnya 20% lebih besar dibandingkan daerah lain.
Dengan demikian, efek negatif yang ditimbulkan sinar UV pada kulit juga
lebih besar. Beberapa efek negatif yang dapat timbul akibat sinar UV
antara lain sunburn (terbakar matahari), pigmentasi, inflamasi kulit,
penuaan kulit, sampai dengan penyakit kanker kulit Harry, 1982). Untuk
memperoleh perlindungan secara total terhadap sinar ultraviolet maka
dilakukan kombinasi dari bahan tabir surya. Diketahui bahwa kombinasi
bahan tabir matahari Oksibenson sebagai anti UV-A, dan Padimate0
sebagai anti UV-B dengan komposisi (3:7) %bib adalah yang paling
optimal. Tabir surya yang bersifat broad spectrum (tabir surya kombinasi
yang menyerap UV-A dan UV-B) memiliki keuntungan berupa rendahnya
tingkat fotosensitisasi (Widianingsih dan Lumintang, 2002; Shaath, 1990;
Bare! 2001).
Seiring dengan perkembangan zaman dan semakin banyaknya
orang yang beranggapan bahwa cantik identik dengan kulit putih maka
saat ini banyak dikembangkan produk kosmetika yang tidak hanya
memiliki satu fungsi saja dan sudah menjadi tren di negara tropis untuk
menggunakan kosmetika pencerah kulit yang dikombinasikan dengan
tabir surya agar kulit nampak lebih cerah, bersih dan cantik namun tetap
terlindung dari paparan sinar matahari (Zulkamain,2003).
Sinar matahari memberikan banyak sekali manfaat bagi kehidupan.
Di samping efek yang menguntungkan tersebut, sinar matahari juga
mempunyai efek yang sangat merugikanbagi kulit, terutama spektrum
sinar ultravioletnya yang dapat menyebabkan eritema (kemerahan) pada
PREFORMULASI
Kencur
Kaempferia galanga aromanya khas dengan rasa yang pahit bila
dikonsumsi mentah-mentah menjadikan tanaman ini kebanyakan dijadikan
bumbu dasar yang dapat digunakan pada beberapa jenis masakan seperti
nasi goreng dan lain-lain. Namun tahukah kamu bahwa kencur memiliki
banyak manfaat untuk mengobati berbagai macam penyakit seperti
radang lambung, radang anak telinga, influenza pada bayi, masuk angin,
sakit kepala, batuk, menghilangkan darah kotor, diare, memperlancar
haid, mata pegal, keseleo, dan kelelahan.
Radiasi matahari yang berlebihan dapat menyebabkan gangguan
pada kulit, baik berupa eritema, pigmentasi, dan menyebabkan gangguan
pada kulit. Keadaan tersebut dapat dicegah dengan menggunakan produk
tabir surya yang mengandung zat aktif protektor tunggal maupun
campuran yang dapat mencegah transmisi sinar matahari terutama
terhadap sinar ultra violet pada daerah panjang gelombang 200-400 nm.
Meskipun secara alamiah kulit manusia sudah memiliki sistem
perlindungan radiasi matahari tersebut, tetapi tidak cukup efektif bila
kontak berlebihan, sehingga diperlukan perlindungan tambahan. Dalam
bidang kosmetika sebagai perlindungan tambahan digunakan senyawa
tabir surya. Namun kenyataannya senyawa tabir surya yang terbuat dari
bahan sintesis seringkali memberikan dampak negatif pada kulit, terutama
iritasi yang berlanjut ke arah infeksi.
FORMULASI
Formula Krim Tabir Surya ( 100 gram )
Formula
Formula
Formula
Kelompok 1
Kelompok 2
Kelompok 3
Ekstrak
daun
1,5%
Asam stearat 10 %
Cera alba 2%
Cera alba 2%
Cera alba 2%
Vaselin album 8%
Vaselin album 8%
Vaselin album 8%
Adeps lanae 1%
Adeps lanae 1%
Adeps lanae 1%
BHA 0,01%
BHA 0,01%
BHA 0,01%
BHT 0,02%
BHT 0,02%
BHT 0,02%
TEA 1,2%
TEA 1,2%
TEA 1,2%
Propilen glikol 7%
Propilen glikol 7%
Propilen glikol 7%
Parfum qs
Parfum qs
Parfum qs
Formula
Formula
Kelompok 4
Kelompok 5
Kelompok 6
Ekstrak kencur 2%
Ekstrak kencur 2%
Ekstrak kencur 3%
Na CMC 3%
Na CMC 2%
Gelatin 5%
Propilen glikol 5%
Propilen glikol 5%
Gilserin 2%
Nipagin 0,2%
Nipagin 0,2%
Nipagin 0,2%
Parfum qs
Parfum qs
Parfum qs
Air ad 100%
Air ad 100%
Air ad 100%
PROSEDUR KERJA
a.
1. Daun singkong dan kencur dicuci sampai bersih dengan air mengalir..
2. Setelah itu ditiriskan sambil dilakukan sortasi basah.
3. Bahan-bahan yang telah disortasi basah, dirajang untuk memperkecil
ukuran partikel.
4. Daun singkong dan kencur yang telah dirajang dimasukkan ke dalam
erlenmeyer, kemudian ditambahkan etanol 96% sampai bahan
terendam semua.
b.
1. Fase minyak (asam stearat, cera alba, vaselin album, adeps lanae,
propil paraben, BHA, dan BHT) dilebur diatas penangas air pada suhu
70 0C sampai semua bahan lebur.
2. Pada saat yang bersamaan, fase air (aquades) dipanaskan pada suhu
50
ditambahkan
metil
paraben
hingga
larut,
kemudian
c.
untuk
pengolesan
dan
kekerasan
sediaan
pH
menggunakan
alat
pH
stick.
pH
stick
2,5
menyatu,
cm 2.
kedua p l a t
ditekan
dengan
ditempelkan
beban
sampai
pelepasan
80
plat
gr
24 dan 72 jam untuk kulit tidak terluka dan untuk kulit terluka
eksperimen juga dilakukan selama 24 dan 72 jam pada tikus yang
sama. Hewan uji dibagi menjadi 5 kelompok, 4 kelompok untuk
peringkat dosis menggunakan kencur cream, dan 1 kelompok untuk
kontrol normal. Analisis hasil dilakukan secara kualitatif yaitu
pengamatan gejala toksik berupa iritasi primer pada kulit normal dan
kulit yang dilukai, dan analisis kuantitatif berupa perhitungan indeks
iritasi primer.
B. PERSENTASE TRANSMISI PIGMENTASI
Nilai serapan (A) yang diperoleh dari 3 replikasi dihitung nilai
transmisinya (T), nilai transmisi pigmentasi (Tp) di hitung dengan cara
mengalikan nilai transmisi
= - log T
= Inv log A
Tp
= T x Fp
Ket : A = absorban
T = Transmitan
Te = Transmisi eritema
Fp = Faktor efektifitas pigmentasi
x (dpa-b)
Aa
= Absorbansi pada a nm
Ab
= Absorbansi pada b nm
Log SPF =
x Fp
Keterangan :
n = terbesar (dengan A 0,05 untuk ekstrak dan A 0,01
untuk sediaan
1 = terkecil 290 nm
n-1 = interval aktivitas eritemogenik
Fp = Faktor pengenceran (Fp = 1 untuk ekstrak, Fp = 5 untuk
sediaan)
DAFTAR PUSTAKA
1. Anief, Muhammad. 1997. Ilmu Meracik Obat. Yogyakarta : UGM
press
2. Anief, Muhammad. 1993. Farmaseutika Dasar. Yogyakarta : UGM
press.
3. Ansel, Howard.1989. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi, Edisi
IV. Jakarta : UI press.
4. Harjasaputra, Purwanto, dkk. 2002. Data Obat di Indonesia.
Jakarta : Grafidian Medipress.
5. Panitia Farmakope Indonesia. 1978. Farmakope Indonesia. Edisi
III. Jakarta : Depatemen Kesehatan RI.
6. Panitia Farmakope Indonesia. 1995. Farmakope Indonesia. Edisi
IV. Jakarta : Departemen Kesehatan RI.
7. Reynold, James E F. 1982. Martindale The Extra
Pharmacopoeia. Twenty Eight edition. London : The
Pharmaseutical Press.
8. Waide, Ainley, and Waller, Paul J. 1994. Handbook of
Pharmaseutical Exipients. Second edition. Washington :
American Pharmaseutical Association
9. Depkes RI. 1993. Kodeks Komestika Indonesia Edisi 2. Jakarta