Anda di halaman 1dari 13

IQHBAL YUNAS ALFIANSYAH

1102013139
1. Memahami dan menjelaskan eritropoiesis
1.1 Definisi
Eritropoiesis merupakan proses pembentukan sel darah merah. Sel darah merah berfungsi
sebagai pengangkut oksigen ke jaringan dan mengikat CO2 dari jaringan.
(Sumber: http://saripediatri.idai.or.id/pdfile/7-1-6.pdf)
1.2 Proses

Dalam keadaan normal eritropoiesis memerlukan 3 faktor yaitu


(1) stem sel hematopoetik,
(2) sitokin spesifik, growth factor dan hormonal regulator, serta
(3) hematopoietic
yang mempengaruhi micro-environtment yang merupakan stroma pendukung dan interaksi
sel dengan sel yang diikuti proliferasi dan diferensiasi hematopoetik sel stem dan
mempengaruhi erythroid progenitor yang akhirnya menghasilkan sel darah merah yang
matur. Proliferasi dan maturasi ini diatur oleh sitokin termasuk eritropoietin sebagai faktor
yang terpenting dalam mekanisme ini. Bila terjadi hipoksia, nefron ginjal akan merespons
dengan memproduksi eritropoietin. Eritropoietin (EPO) merupakan suatu glikoprotein
hormon dengan berat molekul 30 39 kD yang akan terikat pada reseptor spesifik
progenitor sel darah merah yang selanjutnya memberi sinyal merangsang proliferasi dan
diferensiasi.
Sebaliknya bila terjadi peningkatan volume sel darah merah di atas normal misalnya oleh
karena transfusi, aktivitas eritropoietin di sumsum tulang akan berkurang. Eritropoietin
terutama dihasilkan oleh Peritubular interstitial (endothelial) ginjal ( 90%) dan sisanya (10-

15%) dihasilkan di hati. Produksi EPO akan meningkat pada keadaan anemiaa ataupun
hipoksia jaringan.

(Sumber: J. Jeyaratnam & David Koh, Buku Ajar Praktik Kedokteran Kerja. Penerbit EGC.
& http://saripediatri.idai.or.id/pdfile/7-1-6.pdf )
Siklus Eritropoesis

1. Rubiblast Rubriblast disebut juga pronormoblast atau proeritroblast, merupakan sel


termuda dalam sel eritrosit. Sel ini berinti bulat dengan beberapa anak inti dan
kromatin yang halus. Ukuran sel rubriblast bervariasi 18-25 mikron. Dalam keadaan
normal jumlah rubriblast dalam sumsum tulang adalah kurang dari 1 % dari seluruh
jumlah sel berinti.

2. Prorubrisit
Prorubrisit disebut juga normoblast basofilik atau eritroblast basofilik. Ukuran lebih
kecil dari rubriblast. Jumlahnya dalam keadaan normal 1-4 % dari seluruh sel berinti.
3. Rubrisit Rubrisit disebut juga normoblast polikromatik atau eritroblast polikromatik.
Inti sel ini mengandung kromatin yang kasar dan menebal secara tidak teratur, di
beberapa tempat tampak daerah-daerah piknotik. Pada sel ini sudah tidak terdapat
lagi anak inti, inti sel lebih kecil daripada prorubrisit tetapi sitoplasmanya lebih
banyak, mengandung warna biru karena asam ribonukleat (ribonucleic acid-RNA) 6
dan merah karena hemoglobin. Jumlah sel ini dalam sumsum tulang orang dewasa
normal adalah 10-20 %.
4. Metarubrisit
Sel ini disebut juga normoblast ortokromatik atau eritroblast ortokromatik. Inti sel
ini kecil padat dengan struktur kromatin yang menggumpal. Sitoplasma telah
mengandung lebih banyak hemoglobin sehingga warnanya merah walaupun masih
ada sisa-sisa warna biru dari RNA. Jumlahnya dalah keadaan normal adalah 5-10%.
5. Retikulosit Pada proses maturasi eritrosit, setelah pembentukan hemoglobin dan
penglepasan inti sel, masih diperlukan beberapa hari lagi untuk melepaskan sisa-sisa
RNA. Sebagian proses ini berlangsung di dalam sumsum tulang dan sebagian lagi
dalam darah tepi. Setelah dilepaskan dari sumsum tulang sel normal akan beredar
sebagai retikulosit selama 1-2 hari. Dalam darah normal terdapat 0,5 2,5%
retikulosit.
6. Eritrosit
Eritrosit normal merupakan sel berbentuk cakram bikonkaf dengan ukuran diameter
7-8 mikron dan tebal 1,5- 2,5 mikron. Bagian tengah sel ini lebih tipis daripada
bagian tepi. Dengan pewarnaan Wright, eritrosit akan berwarna kemerah-merahan
karena mengandung hemoglobin. Umur eritrosit adalah sekitar 120 hari dan akan
dihancurkan bila mencapai umurnya oleh limpa.
1.3 Faktor pembentukan eritropoiesis

(Sumber: Dr. Jan Tambayong, Patofisiologi. Penerbit EGC)

1.4 Morfologi eritrosit


Sel datar berbentuk piringan yang mencekung di bagian tengah menggepeng bukan lubang (piringan
bikonkaf, bentuk ini berperan melalui 2 cara :
1. Bentuk bikonkaf menghasilkan luas permukaan yang lebih besar untuk difusi O2 menembus
membrane dibandingkan dengan bentuk sel bulat dengan volume yang sama
2. Tipisnya sel memungkinkan O2 cepat berdifusi antara bagian paling dalam sel dan eksterior
(Sumber: Buku Fisiologi Manusia, Lauralee Sherwood. EGC)
1.5 Kelainan morfologi dalam eritrosit

1.6 Kadar normal


Setiap milliliter darah mengandung sekitar 5 milyar eritrosit, secara rerata, yang secara klinis
sering dilaporkan dalam hitung sel darah merah sebagai 5 juta sel per milliliter kubik
(Sumber: Buku Fisiologi Manusia, Lauralee Sherwood. EGC)
2. Memahami dan menjelaskan anemia
2.1 Definisi
Penurunan kuantitas sel-sel darah merah dalam sirkulasi, abnormalitas kandungan
hemoglobin sel darah merah, atau keduanya.
2.2 Klasifikasi

(Sumber: Buku Saku Patofisiologi Corwin, Elizabeth J. Corwin. Penerbit EGC)


2.3 Etiologi
- Gangguan pembentukan sel darah merah
- Peningkatan kehilangan sel darah merah melalui perdarahan kronis, perdarahan
mendadak, atau lisis (destruksi) sel darah merah yang berlebihan
- Defisiensi vitamin B12 &asam folat
- Penurunan usia eritrosit
(Sumber: Buku Saku Patofisiologi Corwin, Elizabeth J. Corwin. Penerbit EGC)

2.4 Patofisiologi

(Sumber: Buku Saku Patofisiologi Corwin, Elizabeth J. Corwin. Penerbit EGC)


3. Memahami dan menjelaskan anemia defisiensi besi
3.1 Definisi
Cadangan retikuloendotelial (hemosiderin dan ferritin) habis seluruhnya sebelum terjadi
anemia
3.2 Etiologi
Kebutuhan yang meningkat
- Pada bayi dan anak, besi sangat dibutuhkan untuk pertumbuhan
- Pada kehamilan, lebih banyak besi untuk pembentukan eritrosit meningkat 35%,
pemindahan 300 mg besi ke janin dan karena perdarahan saat persalinan
- Pada ibu menyusui, kehilangan besi pada laktasi meningkat

Absorbsi yang terganggu


Pada penderita penyakit saluran pencernaan atau pada pasca gastrectomy
Karsinoma lambung

Kehilangan besi
Menstruasi
Perdarahan saluran cerna dan saluran napas

Menurut Bakta (2006) anemia defisiensi besi dapat disebabkan oleh karena rendahnya
asupan besi, gangguan absorbsi, serta kehilangan besi akibat perdarahan menahun:
1. Kehilangan besi sebagai akibat perdarahan menahun dapat berasal dari:
a. Saluran cerna: akibat dari tukak peptik, pemakaian salisilat atau NSAID, kanker
lambung, divertikulosis, hemoroid, dan infeksi cacing tambang.
b. Saluran genitalia (perempuan): menorrhagia.
c. Saluran kemih: hematuria.

d. Saluran nafas: hemoptisis.


2. Faktor nutrisi, yaitu akibat kurangnya jumlah besi total dalam makanan (asupan yang
kurang) atau kualitas besi (bioavailabilitas) besi yang rendah.
3. Kebutuhan besi meningkat, seperti pada prematuritas, anak dalam masa pertumbuhan,
dan kehamilan.
4. Gangguan absorbsi besi, seperti pada gastrektomi dan kolitis kronik, atau dikonsumsi
bersama kandungan fosfat (sayuran), tanin (teh dan kopi), polyphenol (coklat, teh, dan
kopi), dan kalsium (susu dan produk susu).
(Sumber: http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/21579/4/Chapter%20II.pdf)

3.3 epidemiologi
Prevalensi ADB tinggi pada bayi, hal yang sama juga dijumpai pada
anak usia sekolah dan anak praremaja. Angka kejadian ADB pada anak usia
sekolah (5-8 tahun) di kota sekitar 5,5 %, anak praremaja 2,6% dan remaja 26%. Di Amerika
Serikat sekitar 6% anak berusia 1-2 tahun diketahui kekurangan besi, lebih kurang 9%
remaja wanita kekurangan besi. Sedangkan pada anak laki-laki sekitar 50% cadangan
besinya berkurang saat pubertas. Prevalensi ADB lebih tinggi pada anak kulit hitam
dibanding kulit putih. Keadaan ini mungkin berhubungan dengan status sosial ekonomi anak
kulit hitam yang lebih rendah. Berdasarkan penelitian yang pernah dilakukan di Indonesia
prevalensi ADB pada anak balita sekitar 25-35%.
Dari hasil SKRT tahun 1992 prevalens ADB pada anak balita di indonesia adalah 55,5%.
Pada tahun 2002 prevalensi anemia pada usia 4-5 bulan di Jawa Barat, Jawa Tengah dan
Jawa Timur menunjukkan bahwa 37% bayi memiliki kadar Hb di bawah 10gr/dl sedangkan
untuk kadar Hb di bawah 11gr/dl mencapai angka 71%.
Pauline di Jakarta juga menambahkan selama kurun waktu 2001-2003 tercatat sekitar 2juta
ibu hamil menderita anemia gizi dan 8,1 juta anak menderita anemia.
Selain itu data menunjukkan bahwa bayi dari ibu anemia dengan berat bayi normal memiliki
kecendrungan hampir 2 kali lipat menjadi anemia dibandingkan bayi dengan berat lahir
normal dari ibu yang tidak menderita anemia. Berdasarkan data prevalensi anemia defisiensi
gizi pada ibu hamil di 27 provinsi di Indonesia tahun 1992, Sumatera Barat memiliki
prevalensi terbesar (82,6%) dibandingkan propinsi lain di Indonnesia.
(Sumber: repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/21579/4/Chapter II.pdf)

3.4 Patofisiologi
Perdarahan menahun yang menyebabkan kehilangan besi atau kebutuhan besi yang
meningkat akan dikompensasi tubuh sehingga cadangan besi makin menurun.

Gambar 2.5. Distribusi besi dalam tubuh dewasa


(Sumber: Andrews, N. C., 1999. Disorders of iron metabolism. N Engl J Med; 26: 1986-95).
Jika cadangan besi menurun, keadaan ini disebut keseimbangan zat besi yang negatif, yaitu
tahap deplesi besi (iron depleted state). Keadaan ini ditandai oleh penurunan kadar feritin
serum, peningkatan absorbsi besi dalam usus, serta pengecatan besi dalam sumsum tulang
negatif. Apabila kekurangan besi berlanjut terus maka cadangan besi menjadi kosong sama
sekali, penyediaan besi untuk eritropoesis berkurang sehingga menimbulkan gangguan pada
bentuk eritrosit tetapi anemia secara klinis belum terjadi. Keadaan ini disebut sebagai Iron
deficient erythropoiesis. Pada fase ini kelainan pertama yang dijumpai adalah peningkatan
kadar free protophorphyrin atau zinc protophorphyrin dalam eritrosit. Saturasi transferin
menurun dan kapasitas ikat besi total (total iron binding capacity = TIBC) meningkat, serta
peningkatan reseptor transferin dalam serum. Apabila penurunan jumlah besi terus terjadi
maka eritropoesis semakin terganggu sehingga kadar hemoglobin mulai menurun.
Akibatnya timbul anemia hipokromik mikrositik, disebut sebagai anemia defisiensi besi (iron
deficiency anemia).

3.5 Manifestasi klinis


1. Gejala umum anemia
Gejala umum anemia disebut juga sebagai sindrom anemia (anemic syndrome) dijumpai
pada anemia defisiensi besi apabila kadar hemoglobin kurang dari 7-8 g/dl. Gejala ini berupa
badan lemah, lesu, cepat lelah, mata berkunang-kunang, serta telinga mendenging. Pada
pemeriksaan fisik dijumpai pasien yang pucat, terutama pada konjungtiva dan jaringan di
bawah kuku (Bakta, 2006). Pada umumnya sudah disepakati bahwa bila kadar hemoglobin <
7 gr/dl maka gejala-gejala dan tanda-tanda anemia akan jelas.
2. Gejala khas defisiensi besi
Gejala yang khas dijumpai pada defisiensi besi, tetapi tidak dijumpai pada
anemia jenis lain adalah
a. Koilonychia, yaitu kuku sendok (spoon nail), kuku menjadi rapuh, bergaris-garis
vertikal dan menjadi cekung sehingga mirip sendok.
b. Atrofi papil lidah, yaitu permukaan lidah menjadi licin dan
mengkilap karena papil lidah menghilang.
c. Stomatitis angularis (cheilosis), yaitu adanya keradangan pada sudut mulut sehingga
tampak sebagai bercak berwarna pucat
keputihan.
d. Disfagia, yaitu nyeri menelan karena kerusakan epitel hipofaring.
(Sumber: http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/21579/4/Chapter%20II.pdf)
3.6 Pemeriksaan
Pemeriksaan Laboratorium
1. Hemoglobin (Hb)
Hemoglobin adalah parameter status besi yang memberikan suatu ukuran kuantitatif
tentang beratnya kekurangan zat besi setelah anemia berkembang. Pada pemeriksaan dan
pengawasan Hb dapat dilakukan dengan menggunakan alat sederhana seperti Hb sachli,
yang dilakukan minimal 2 kali selama kehamilan, yaitu trimester I dan III
2. Penentuan indeks eritrosit
Penentuan indeks eritrosit secara tidak langsung dengan flowcytometri atau
menggunakan rumus:
a. Mean Corpusculer Volume (MCV)
MCV adalah volume rata-rata eritrosit, MCV akan menurun apabila kekurangan zat besi
semakin parah, dan pada saat anemia mulai berkembang. MCV merupakan indicator
kekurangan zat besi yang spesiflk setelah thalasemia dan anemia penyakit kronis dis
ingkirkan. Dihitung dengan membagi hematokrit dengan angka sel darah merah. Nilai
normal 70-100 fl, mikrositik < 70 fl dan makrositik >100 fl.
b. Mean Corpuscle Haemoglobin (MCH)
MCH adalah berat hemoglobin rata-rata dalam satu sel darah merah. Dihitung dengan
membagi hemoglobin dengan angka sel darah merah. Nilai normal 27-31 pg, mikrositik
hipokrom < 27 pg dan makrositik > 31pg.

c. Mean Corpuscular Haemoglobin Concentration (MCHC)


MCHC adalah konsentrasi hemoglobin eritrosit rata-rata. Dihitung dengan membagi
hemoglobin dengan hematokrit. Nilai normal 30-35% dan hipokrom < 30%
3. Pemeriksaan Hapusan Darah Perifer
Pemeriksaan hapusan darah perifer dilakukan secara manual. Pemeriksaan menggunakan
pembesaran 100 kali dengan memperhatikan ukuran, bentuk inti, sitoplasma sel darah
merah. Dengan menggunakan flowcytometry hapusan darah dapat dilihat pada kolom
morfology flag.
4. Eritrosit Protoporfirin (EP) EP diukur dengan memakai Haematofluorometer yang hanya
membutuhkan beberapa tetes darah dan pengalaman tekniknya tidak terlalu dibutuhkan. EP
naik pada tahap lanjut kekurangan besi eritropoesis, naik secara perlahan setelah serangan
kekurangan besi terjadi. Keuntungan EP adalah stabilitasnya dalam individu, sedangkan besi
serum dan jenuh transferin rentan terhadap variasi individu yang luas. EP secara luas dipakai
dalam survei populasi walaupun dalam praktik klinis masih jarang.
5. Besi Serum (Serum Iron= SI) Besi serum peka terhadap kekurangan zat besi ringan, serta
menurun setelah cadangan besi habis sebelum tingkat hemoglobin jatuh. Keterbatasan besi
serum karena variasi diurnal yang luas dan spesitifitasnya yang kurang. Besi serum yang
rendah ditemukan setelah kehilangan darah maupun donor, pada kehamilan, infeksi kronis,
syok, pireksia, rhematoid artritis, dan malignansi. Besi serum dipakai kombinasi dengan
parameter lain, dan bukan ukuran mutlak status besi yang spesifik.
6. Serum Transferin (Tf)
Transferin adalah protein tranport besi dan diukur bersama-sama dengan besi serum. Serum
transferin dapat meningkat pada kekurangan besi dan dapat menurun secara keliru pada
peradangan akut, infeksi kronis, penyakit ginjal dan keganasan.
7. Serum Feritin
Serum feritin adalah suatu parameter yang terpercaya dan sensitive untuk menentukan
cadangan besi orang sehat. Serum feritin secara luas dipakai dalam praktek klinik dan
pengamatan populasi. Serum feritin < 12 ug/l sangat spesifik untuk kekurangan zat besi,
yang berarti kehabisan semua cadangan besi, sehingga dapat dianggap sebagai diagnostik
untuk kekurangan zat besi.
B. Pemeriksaan
Sumsum tulang masih dianggap sebagai standar emas untuk penilaian cadangan besi,
walaupun mempunyai beberapa keterbatasan. Pemeriksaan histologis sumsum tulang
dilakukan untuk menilai jumlah hemosiderin dalam sel-sel retikulum. Tanda karakteristik
dari kekurangan zat besi adalah tidak ada besi retikuler. Keterbatasan metode ini seperti
sifat subjektifnya sehingga tergantung keahlian pemeriksa, jumlah struma sumsum yang
memadai dan teknik yang dipergunakan. Pengujian sumsum tulang adalah suatu teknik
invasif, sehingga sedikit dipakai untuk mengevaluasi cadangan besi dalam populasi umum.
(Sumber: repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/21579/4/Chapter II.pdf)

3.7 Diagnosis dan diagnosis banding


Untuk menegakkan diagnosis anemia defisiensi besi harus dilakukan anamnesis dan
pemeriksaan fisik yang teliti disertai pemeriksaan laboratorium yang tepat. Terdapat tiga
tahap diagnosis ADB.
Tahap pertama adalah menentukan adanya anemia dengan mengukur kadar hemoglobin
atau hematokrit. Titik pemilah anemia tergantung kriteria yang dipilih, apakah kriteria WHO
atau kriteria klinik.
Tahap kedua adalah memastikan adanya defisiensi besi,
Tahap ketiga adalah menentukan penyebab dari defisiensi besi yang terjadi.
Feritin serum merupakan indikator yang terbaik untuk menilai interfensi besi dan deplesi
besi. WHO merekomendasikan konsentrasi konsentrasi feritin < 12 ug/l mengindikasikan
deplesi cadangan besi pada anak-anak <5 tahun, dan nilai < 15 ug/l mengindikasikan deplesi
cadangan besi pada umur > 5 tahun. Tetapi feritin merupakan protein fase akut sehingga
nilainya meningkat pada keadaan inflamasi. Pengukuran protein fase akut yang berbeda
dapat membantu menginterpretasi nilai serum feritin, jika konsentrasi protein fase akut ini
meningkat menandakan dijumpai inflamasi.
Anemia adalah keadaan dimana massa eritrosit dan/atau massa hemoglobin yang beredar di
sirkulasi tidak dapat memenuhi fungsinya untuk menyediakan oksigen bagi jaringan tubuh.
Menurut WHO, dikatakan anemia bila:
Laki-laki dewasa hemoglobin < 13 g/dl
Perempuan dewasa tidak hamil hemoglobin < 12 g/dl
Perempuan hamil hemoglobin < 11 g/dl
Anak umur 6-12 tahun hemoglobin < 12 g/dl
Anak umur 6 bulan-6 tahun hemoglobin < 11 g/dl

Diagnosis banding (DD)


Pemeriksaan
Anemia defisiensi
Thalasemia minor
Anemia penyakit
laboratorium
besi
kronik
MCV
Menurun
Menurun
N/Menurun
Fe serum
Menurun
Normal
Menurun
TIBC
Naik
Normal
Menurun
Saturasi transferrin
Menurun
Normal
Menurun
Feritin serum
Menurun
Normal
Naik
(Sumber: repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/21579/4/Chapter II.pdf)

3.8 faktor risiko


Kebutuhan yang meningkat
- Pada bayi dan anak, besi sangat dibutuhkan untuk pertumbuhan
- Pada kehamilan, lebih banyak besi untuk pembentukan eritrosit meningkat 35%,
pemindahan 300 mg besi ke janin dan karena perdarahan saat persalinan

Pada ibu menyusui, kehilangan besi pada laktasi meningkat

Absorbsi yang terganggu


Pada penderita penyakit saluran pencernaan atau pada pasca gastrectomy
Karsinoma lambung

Kehilangan besi
Hemoglobinuria
Hematuria
Menstruasi
Perdarahan saluran cerna dan saluran napas

3.9 Tatalaksana
Pemberian preparat besi peroral
Garam ferous diabsorpsi sekitar 3 kali lebih baik dibandingkan garam feri. Preparat yang tersedia berupa
ferous glukonat, fumarat dan suksinat. Yang sering dipakai adalah ferrous sulfat karena harganya yang
lebih murah. Ferous glukonat, ferous fumarat dan ferous suksinat diabsorpsi sama baiknya. Untuk bayi
tersedia preparat besi berupa tetes (drop).
Pemberian preparat besi parenteral
Pemberian besi secara intramuskular menimbulkan rasa sakit dan harganya mahal. Dapat menyebabkan
limfadenopati regional dan reaksi alergi. Kemampuan untuk menaikkan kadar Hb tidak lebih baik
dibanding peroral. Preparat yang sering dipakai adalah dekstran besi. Larutan ini mengandung 50 mg
besi/ml. Dosis dihitung berdasarkan:
Dosis besi (mg)BB(kg) x kadar Hb yang diinginkan (g/dl) x 2
Hemoglobin A2
Hemoglobin normal diluar periode neonatal adalah hemoglobin A dan dua hemoglobin kecil, yaitu;
hemglobin A2 dan hemoglobin F. Pada orang dewasa, Hemoblobin A2 (HbA2) sekitar 1,5-3,5%
hemoglobin total. Persentase tersebut jauh lebih rendah saat lahir sekitar 0,2-0,3%, dengan kenaikan
tingkat dewasa pada 2 tahun pertama kehidupan, tetapi ada kenaikan yang lambat pada umur tiga
tahun. Pada dewasa normal HbA2 menunjukan distribusi yang normal. Pengurangan sintesis HbA2
dianggap sebagai gangguan yang diperoleh, yaitu sebagai akibat dari kekurangan zat besi atau
terganggunya pengiriman zat besi untuk mengembangkan sel-sel eritrosit
(Sumber: repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/21579/4/Chapter II.pdf)

4. Memahami dan menjelaskan hemoglobin


4.1 Definisi
Hemoglobin merupakan protein yang berperan paling besar dalam transport O2
4.2 Struktur
Hemoglobin memiliki 2 bagian:
1. Bagian globin, suatu protein yang terbentuk dari 4 rantai polipeptida yang berlipat-lipat
2. Gugus heme, empat gugus nonprotein yang mengandung besi
4.3 Fungsi
Berperan kunci dalam transport O2, sekaligus memberi kontribusi signifikan pada transport
CO2 dan kemampuan menyangga Ph
4.4 Peran besi dalam Hb
Karena kandungan besinya maka hemoglobin tampak kemerahan jika berikatan dengan O2
dan keunguan jika mengalami deoksigenasi
4.5 reaksi Hb dan O2 dalam darah
Masing-masing dari keempat atom besi dapat berikatan secara reversible dengan satu
molekul O2; karena itu, setiap molekul hemoglobin dapat mengambil empat penumpang O2
di paru. Karena O2 tidak mudah larut dalam plasma maka 98,5% O2 yang terangkut dalam
darah terikat ke hemoglobin
(Sumber: Buku Fisiologi Manusia, Lauralee Sherwood. EGC)

Anda mungkin juga menyukai