Teori Path Goal II
Teori Path Goal II
Teori path-goal atau Houses path goal theory dikembangkan oleh Robert J. House
dan berakar pada teori harapan (Ia dipengaruhi oleh model teori yang dikembangkan Victor
Vroom dan juga Martin G. Evans).
Teori ini didasarkan pada premis bahwa persepsi karyawan tentang harapan antara
usaha dan kinerja sangat dipengaruhi oleh perilaku seorang pemimpin. Para pemimpin
membantu bawahan terhadap pemenuhan akan penghargaan dengan memperjelas tujuan
dan menghilangkan hambatan kinerja. Pemimpin melakukannya dengan memberikan
informasi, dukungan, dan sumber daya lainnya yang dibutuhkan oleh karyawan untuk
menyelesaikan tugas. Dengan kata lain kepuasan atas kebutuhan mereka bergantung atas
kinerja efektif, dan arahan, bimbingan, pelatihan, dan dukungan yang diperlukan.
Teori
path-goal
menganut
pandangan
kepemimpinan
sebagai
pelayan.
3. Kepempimpinan partisipatif
Pemimpin yang percaya pengambilan keputusan dalam kelompok dan berbagi
informasi dengan bawahan. Dia berkonsultasi bawahannya mengenai keputusan
penting berkaitan dengan pekerjaan, tujuan tugas, dan cara untuk menyelesaikan
tujuan.
4. Kepemimpinan berorientasi prestasi
Pemimpin menetapkan tujuan yang menantang dan mendorong karyawan untuk
mencapai kinerja terbaik mereka. Pemimpin percaya bahwa karyawan cukup
bertanggung jawab untuk mencapai tujuan yang menantang. Gaya ini sama dengan
pandangan teori penetapan tujuan.
Kontingensi (ketidakpastian)
Menurut teori ini, empat gaya kepemimpinan diatas tidak saling excusive dan pemimpin
mampu memilih lebih dari satu jenis gaya cocok untuk situasi tertentu. Tipe perilaku
kepemimpinan yang berbeda dapat dipraktekkan oleh orang yang sama di situasi yang
berbeda. Lebih lanjut teori ini menyatakan bahwa hubungan antara gaya pemimpin dan
efektivitas tergantung pada variabel-variabel dua faktor ketidakpastian yaitu: (1)
karakteristik karyawan dan (2) karakteristik lingkungan kerja.
a) Karakteristik karyawan
Ini termasuk faktor-faktor seperti kebutuhan karyawan, lokus kontrol, pengalaman,
kemampuan dirasakan, kepuasan, keinginan untuk meninggalkan organisasi, dan
kecemasan. Misalnya, jika pengikut memiliki ketidakmampuan tinggi, maka gaya
kepemimpinan direktif mungkin tidak diperlukan, melainkan pendekatan suportif
yang lebih mengena. Jadi karakteristik karyawan sangat menentukan bagaimana
karyawan bereaksi terhadap perilaku pemimpin serta sejauh mana mereka melihat
perilaku pemimpin tersebut sebagai sumber langsung dan potensial untuk
memuaskan kebutuhan mereka.