Anda di halaman 1dari 24

1

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Reformasi di bidang kepegawaian yang merupakan konsekuensi dari


perubahan di bidang politik, ekonomi dan sosial yang begitu cepat terjadi sejak
paruh pertama tahun 1998 ditandai dengan berlakunya Undang-undang Nomor 43
Tahun 1999 tentang Pokok-pokok Kepegawaian. Peraturan perundang-undangan
yang merupakan perubahan dan penyempurnaan dari Undang-undang Nomor 8
Tahun 1974 dengan pokok bahasan yang sama tersebut, kemudian diikuti dengan
berbagai peraturan pelaksanaannya, baik yang berupa Peraturan Pemerintah (PP)
maupun Keputusan Presiden (Keppres), untuk menjamin terlaksananya Undangundang Nomor 43 Tahun 1999 ini secara baik dan terarah.
Pegawai Negeri Sipil merupakan unsur utama sumber daya manusia yang
mempunyai

peranan

yang

menentukan

keberhasilan

penyelenggaraan

pemerintahan dan pembangunan. Pegawai Negeri Sipil berkedudukan sebagai


unsur aparatur negara, bertugas memberikan pelayanan kepada masyarakat secara
profesional, jujur, adil, dan merata dalam penyelenggaraan tugas negara,
pemerintahan dan pembangunan. Pada dasarnya Pegawai Negeri Sipil (PNS) di
negara manapun mempunyai tiga peran yang serupa. Pertama, sebagai pelaksana
peraturan dan perundangan yang telah ditetapkan pemerintah. Kedua, melakukan
fungsi manajemen pelayanan publik. Ukuran yang dipakai untuk mengevaluasi
peran ini adalah seberapa jauh masyarakat puas atas pelayanan yang diberikan
PNS. Apabila tujuan utama otonomi daerah adalah mendekatkan pelayanan
kepada masyarakat, sehingga desentralisasi dan otonomi terpusat pada pemerintah
kabupaten dan pemerintah kota, maka PNS pada daerah-daerah tersebut mengerti
benar keinginan dan harapan masyarakat setempat. Ketiga, PNS harus mampu
mengelola pemerintahan. Artinya pelayanan pada pemerintah merupakan fungsi
utama PNS.

Setiap kebijakan yang diambil pemerintah harus dapat dimengerti dan


dipahami oleh setiap PNS sehingga dapat dilaksanakan dan disosialisasikan sesuai
dengan tujuan kebijakan tersebut. Untuk itu terkait dengan peran seorang PNS
yang pertama agar PNS mampu mengemban tugas ini, netralitas PNS sangat
diperlukan. Dalam kedudukan dan tugas tersebut, Pegawai Negeri Sipil harus
netral dari pengaruh semua golongan dan partai politik serta tidak diskriminatif
dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Upaya menjaga netralitas dari
pengaruh partai politik dan untuk menjamin keutuhan, kekompakan, dan
persatuan agar Pegawai Negeri Sipil dapat memusatkan segala perhatian, pikiran,
dan tenaganya pada tugas yang dibebankan kepadanya.
Upaya untuk menetralkan peran PNS ini juga muncul karena pengalaman
masa lalu saat orde baru dimana PNS menjadi PNS dijadikan alat politik untuk
mempertahankan kekuasaan, sehingga pada masa Reformasi ditakutkan PNS juga
mengalami hal yang sama yaitu dijadikan sebagai alat politik. Dampak dari
ketidaknetralan PNS juga sangat signifikan, diantaranya peran dan fungsi PNS
sebagai alat pemersatu, pelayan, penyelenggara pemerintahan tidak ber-jalan,
adanya Diskriminasi pelayanan, Pengkotak-kotakan PNS, Konflik kepentingan ,
dan PNS menjadi tidak profesional lagi.
Untuk mengatur hal tersebut, maka pemerintah mengeluarkan Peraturan
Pemerintah Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Pegawai Negeri Sipil yang Menjadi
Anggota Partai Politik, Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 1999 Tentang
Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Pegawai
Negeri Sipil yang Menjadi Anggota Partai Politik ( Perubahan pada Pasal 7, 8,
dan 9), dan juga Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2004 tentang larangan
Pegawai Negeri Sipil Menjadi Anggota Partai Politik. Lahirnya Peraturan
pemerintah ini didasarkan pada ketentuan Pasal 3 Undang-undang Nomor 8
Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian sebagaimana telah diubah dengan
Undang-undang Nomor 43 Tahun 1999, bahwa Pegawai Negeri sebagai unsur
aparatur negara harus netral dari pengaruh semua golongan dan partai Politik,
tidak diskriminatif dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat, dan dilarang
menjadi Anggota dan atau Pengurus Partai Politik, selain itu Pegawai Negeri yang

menjadi Anggota dan atau Pengurus Partai PoIitik harus diberhentikan sebagai
Pegawai Negeri, baik dengan hormat atau tidak dengan hormat, sehingga
mengacu dengan kedua hal tersebut pemerintah memandang perlunya mengatur
Larangan Pegawi Negeri Sipil Menjadi Anggota Partai Politik dengan Peraturan
Pemerintah.

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Definisi Pegawai Negeri Sipil (PNS)

Menurut Undang-undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Pokok-pokok


kepegawaian, Pegawai Negeri adalah setiap warga negara Republik Indonesia
yang telah memenuhi syarat yang ditentukan, diangkat oleh pejabat yang
berwenang dan diserahi tugas dalam suatu jabatan negeri, atau diserahi tugas
negara lainnya, dan digaji berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.

2.2 Dasar Hukum Mengenai Keanggotaan PNS dalam Partai Politik

Dasar hukum mengenai keanggotaan PNS dalam Partai Politik telah diatur
secara legal didalam Undang-Undang maupun didalam Peraturan-peraturan
pemerintah lainnya. Berikut adalah beberapa pengaturan mengenai keanggotaan
PNS dari partai politik, yaitu :
1. Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Pegawai Negeri Sipil
yang Menjadi Anggota Partai Politik.
2. Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 1999 Tentang Perubahan Atas
Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Pegawai Negeri Sipil
yang Menjadi Anggota Partai Politik ( Perubahan pada Pasal 7, 8, dan 9).
3. Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2004 tentang Larangan Pegawai
Negeri Sipil Menjadi Anggota Partai Politik.

Beberapa peraturan tambahan terkait dengan keanggotaan Pegawai Negeri Sipil


(PNS) dalam Partai Politik, diantaranya :
1. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 Tentang Pemilu Anggota DPR,
DPD, dan DPRD. Terdapat pada Pasal 84 (3,4 dan 5) yang berkaitan

dengan PNS dan Kampanye serta Pasal 273 yang mengatur tentang sanksi
pidana terhadap pelanggaran Pasal 84.
2. Undang-Undang

Nomor

43

Tahun

1999

tentang

Pokok-Pokok

Kepegawaian. Terdapat pada Pasal 3 (1-3) antara lain : (1) PNS harus
Profesional, (2) PNS harus Netral dan tidak diskriminatif, (3) PNS
dilarang menjadi anggota atau pengurus Parpol.
3. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah,
dalam Pasal 59 (5) huruf g antara lain menyatakan pasangan calon Kepala
Daerah dan Wakil Kepala Daerah yg berasal dari PNS harus
mengundurkan diri dari jabatan negeri.
4. Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980 tentang Peraturan Disiplin
Pegawai Negeri Sipil.
5. Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1979 tentang Pemberhentian
Pegawai Negeri Sipil.
6. Peraturan Kepala Badan Kepegawaian Negara No. 10 Tahun 2005
Tentang PNS yang menjadi Calon Kepala Daerah/ Wakil Kepala Daerah
7. Surat Edaran MENPAN No. SE/08.A/M.PAN/5/2005 yang mengatur
tentang Netralitas PNS dalam Pemilihan Kepala Daerah.

2.3 Keanggotaan PNS dalam Partai Politik

Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Pegawai


Negeri Sipil yang Menjadi Anggota Partai Politik, Pegawai Negeri Sipil (PNS)
adalah unsur aparatur negara, abdi negara, dan abdi masyarakat yang dengan
penuh kesetiaan dan ketaatan kepada pancasila, UUD 1945, Negara, dan
Pemerintah menyelenggarakan tugas pemerintahan dan pembangunan. Dengan
kedudukannya tersebut, PNS harus bersikap netral dan menghindari penggunaan
fasilitas negara untuk golongan tertentu. Selain itu PNS dalam menyelenggarakan
tugas pemerintahan dan pembangunan tidak diskriminatif khususnya dalam
memberikan pelayanan kepada masyarakat. Guna menjamin hal tersebut, Pegawai
Negeri Sipil yang menjadi anggota dan atau pengurus partai politik harus tunduk

kepada ketentuan sebagaimana yang telah diatur dalam peraturan pemerintah ini.
Pegawai Negeri Sipil juga berhak menggunakan hak pilih dalam pemilihan
umum.
Beberapa aturan terkait dengan keanggotaan Pegawai Negeri Sipil dalam
Partai Politik yang terdapat didalam Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2004
tentang Larangan Pegawai Negeri Sipil Menjadi Anggota Partai Politik yaitu :
a. Pegawai Negeri Sipil dilarang menjadi anggota dan atau pengurus partai
politik.
b. Pegawai Negeri Sipil yang menjadi anggota dan atau pengurus partai
politik diberhentikan sebagai Pegawai Negeri Sipil.
c. Pegawai Negeri Sipil yang akan menjadi anggota dan atau pengurus partai
politik wajib mengundurkan diri sebagai Pegawai Negeri Sipil.
Pengunduran diri diajukan secara tertulis kepada Pejabat pembinaan
Kepegawaian dan tembusannya disampaikan kepada :
a) Atasan langsung Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan
serendah-rendahnya pejabat struktural eselon IV. Atasan tersebut
wajib menyampaikan pertimbangan kepada Pejabat Pembina
Kepegawaian selambat-lambatnya dalam waktu sepuluh hari kerja
setelah diterimanya tembusan pengunduran diri.
b) Pejabat yang bertanggung jawab di bidang kepegawaian instansi
yang bersangkutan.
c) Pejabat yang bertanggung jawab di bidang keuangan instansi yang
bersangkutan.
Pejabat Pembina Kepegawaian wajib mengambil keputusan dalam waktu
selambat-lambatnya

10

(sepuluh)

hari

kerja

pertimbangan dari atasan langsung Pegawai

sejak

diterimanya

Negeri Sipil

yang

bersangkutan. Apabila sampai dengan jangka waktu 10 (sepuluh) hari


kerja sejak atasan langsung menerima surat pengunduran diri tidak
memberikan pertimbangan kepada Pejabat Pembina Kepegawaian, maka

selambat-lambatnya 20 hari kerja sejak diterimanya surat pengunduran diri


keputusan pemberhentian dapat ditetapkan tanpa pertimbangan atasan
Langsung Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan. Apabila setelah
tenggang waktu yang diberikan tersebut, Pejabat Pembina Kepegawaian
tidak mengambil keputusan maka usul pengunduran diri Pegawai Negeri
Sipil tersebut dianggap dikabulkan. Pejabat Pembina Kepegawaian
tersebut sudah harus menetapkan keputusan pemberhentian Pegawai
Negeri Sipil yang bersangkutan selambat-lambatnya dalam tenggang
waktu 30 hari sejak dianggap dikabulkan.
d.

PNS yang mengundurkan diri tersebut diberhentikan dengan hormat


sebagai PNS.

e. Pemberhentian tersebut berlaku terhitung mulai akhir bulan mengajukan


pengunduran diri.
Pemberhentian PNS yang mengajukan pengunduran diri ditangguhkan jika :
a. Masih dalam pemeriksaan pejabat yang berwenang karena diduga
melakukan pelanggaran disiplin PNS yang dapat dijatuhi hukuman disiplin
berupa pemberhentian tidak dengan hormat sebagai PNS. Pengangguhan
ini dilakukan sampai dengan adanya keputusan yang mempunyai kekuatan
hukum yang tetap.
b. Sedang

mengajukan

upaya

banding

administratif

kepada

Badan

Pertimbangan Kepegawaian karena dijatuhi hukuman disiplin berupa


pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri atau
pemberhentian tidak dengan hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil.
Penangguhan ini dilakukan untuk paling lama enam bulan.
c. Mempunyai tanggung jawab kedinasan yang dalam waktu singkat tidak
dapat dialihkan kepada PNS lainnya.
Pemberhentian Pegawai Negeri Sipil yang mengundurkan diri
ditetapkan oleh pejabat yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan. Dalam hal pemberhentian PNS yang pengunduran

dirinya ditangguhkan, Pejabat Pembina Kepegawaian yang bersangkutan


harus memberikan alasan secara tertulis. Pejabat pembina kepegawaian dapat
mendelegasikan wewenangnya atau memberi kuasa kepada pejabat lain di
lingkungannya serendah-rendahnya pejabat struktural eselon II untuk
menangguhkan

pemberhentian

pemberhentian

sebagai

Pegawai

Pegawai

Negeri

Negeri
Sipil

Sipil.
atau

Keputusan
penangguhan

pemberhentian tersebut disampaikan kepada Pegawai Negeri Sipil yang


bersangkutan dan pejabat lain yang berkepentingan.
Pegawai Negeri Sipil yang menjadi anggota dan/atau pengurus partai
politik tanpa mengundurkan diri sebagai Pegawai Negeri Sipil, maka
diberhentikan
Pemberhentian

tidak

dengan

tersebut

hormat

berlaku

sebagai

terhitung

Pegawai

mulai

akhir

Negeri

Sipil.

bulan

yang

bersangkutan menjadi anggota dan/atau pengurus partai politik. Pegawai


negeri

Sipil

yang

yang

mengundurkan

diri

dan

ditangguhkan

pemberhentiannya tetapi tetap menjadi anggota dan/atau pengurus partai


politik, diberhentikan tidak dengan hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil
terhitung mulai kahir bulan yang bersangkutan menjadi anggota dan/atau
pengurus partai politik. Ketentuan-ketentuan yang terdapat didalam Peraturan
Pemerintah Nomor 37 Tahun 2004 ini berlaku juga bagi Pegawai Negeri Sipil
yang akan menjadi calon anggota Dewan Perwakilan Daerah. Pegawai Negeri
Sipil yang diberhentikan dengan hormat atau tidak dengan hormat berdasarkan
peraturan pemerintah ini diberikan hak-haknya sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ketentuan teknis yang
diperlukan bagi pelaksanaan peraturan pemerintah ini diatur lebih lanjut oleh
Kepala Badan Kepegawaian Negara.
Beberapa ketentuan peralihan yang terdapat didalam Peraturan Pemerintah
Nomor 37 Tahun 2004 yaitu
a. Pegawai Negeri Sipil yang sejak berlakunya peraturan pemerintah
Nomor 5 Tahun 1999 tentang Pegawai Negeri Sipil yang menjadi

anggota partai politik sebagaimana telah diubah dengan peraturan


pemerintah Nomor 12 Tahun 1999 sampai dengan berlakunya UU
Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas UU Nomor 8 Tahun
1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian telah menjadi anggota dan
atau pengurus partai politik, sudah mengajukan permohonan berhenti
tetapi

belum

diberhentikan

sebagai

Pegawai

Negeri

Sipil,

diberhentikan dengan hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil terhitung


mulai akhir bulan April tahun 2000 dan diberikan hak-hak
kepegawaian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku. Pegawai Negeri Sipil yang diberhentikan tersebut tidak
berkewajiban untuk mengembalikan penghasilan yang terlanjur
diterimanya.
b. Pegawai Negeri Sipil yang sejak berlakunya PP Nomor 5 tahun 1999
tentang Pegawai Negeri Sipil yang menjadi anggota partai politik
sebagaimana telah diubah dengan PP Nomor 12 Tahun 1999 sampai
dengan berlakunya UU Nomor 43 tahun 1999 tentang perubahan atas
UU Nomor 8 tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian telah
menjadi anggota dan atau pengurus partai politik tidak mengajukan
permohonan berhenti sebagai Pegawai Negeri Sipil, diberhentikan
tidak dengan hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil terhitung akhir
bulan yang bersangkutan menjadi dan atau pengurus partai politik dan
diberikan hak-hak kepegawaian sesuai dengan peraturan perundangundangan. Pegawai Negeri Sipil yang diberhentikan tidak dengan
hormat ini berkewajiban untuk mengembalikan penghasilan yang
terlanjur diterimanya.
c. Pegawai Negeri Sipil yang sejak berlakunya UU Nomor 43 Tahun
1999 tentang perubahan atas UU Nomor 8 Tahun 1974 tentang pokokpokok kepegawaian sampai dengan berlakunya peraturan pemerintah
ini telah menjadi anggota dan atau pengurus partai politik sudah
mengajukan permohonan berhenti tetapi belum diberhentikan sebagai
pegawai negeri sipil, diberhentikan dengan hormat sebagai Pegawai

10

Negeri Sipil terhitung mulai akhir bulan yang bersangkutan menjadi


anggota dan atau pengurus partai politik dan diberikan hak-hak
kepegawaian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
d. Pegawai Negeri Sipil yang sejak berlakunya UU Nomor 43 Tahun
1999 tentang perubahan atas UU Nomor 8 tahun 1974 tentang PokokPokok Kepegawaian sampai dengan berlakunya peraturan pemerintah
ini, telah menjadi anggota dan atau pengurus partai politik belum
pernah mengajukan permohonan berhenti sebagai Pegawai Negeri
Sipil diberhentikan tidak dengan hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil
terhitung mulai akhir bulan yang bersangkutan menjadi anggota dan
atau pengurus partai politik dan diberikan hak-hak kepegawaiannya
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dalam menjalankan tugasnya sebagai aparatur negara, abdi negara, dan
abdi masyarakat yang dengan penuh kesetiaan dan ketaatan kepada pancasila,
UUD 1945, Negara, dan Pemerintah menyelenggarakan tugas pemerintahan dan
pembangunan, Pegawai Negeri Sipil harus netral dari pengaruh semua golongan
dan partai politik serta tidak diskriminatif dalam memberikan pelayanan kepada
masyarakat. Upaya menjaga netralitas dari pengaruh partai politik dan untuk
menjamin keutuhan, kekompakan, dan persatuan agar Pegawai Negeri Sipil dapat
memusatkan segala perhatian, pikiran, dan tenaganya pada tugas yang dibebankan
kepadanya. Netralitas PNS sebenarnya telah merupakan tekad dari Pemerintah
semenjak dimulainya era reformasi dengan dikeluarkannya PP Nomor 5 Tahun
1999 yang disempurnakan dengan PP No 12 tahun 1999 yang antara lain memuat
tentang larangan terhadap PNS

untuk menjadi pengurus dan anggota partai

politik. Materi ini dimuat pula pada UU Nomor 43 tahun 1999 tentang Pokokpokok Kepegawaian. Larangan tentang keanggotaan PNS dalam partai politik
dalam Undang-Undang ini terdapat didalam pasal 3, yang berbunyi : (1) Pegawai
Negeri berkedudukan sebagai unsur aparatur negara yang bertugas untuk
memberikan pelayanan kepada masyarakat secara profesional, jujur, adil, dan

11

merata dalam penyelenggaraan tugas negara, pemerintahan, dan pembangunan.


(2) Dalam kedudukan dan tugas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Pegawai
Negeri harus netral dari pengaruh semua golongan dan partai politik serta tidak
diskriminatif dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Dan di pasal (3)
menyatakan bahwa untuk menjamin netralitas pegawai Negeri sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2), Pegawai Negeri dilarang menjadi anggota dan/atau
pengurus partai politik.
Didalam UU No.32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah juga
terdapat ketentuan mengenai keanggotaan PNS dalam partai politik, dalam hal ini
khususnya mengenai pencalonan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah.
Dalam Pasal 59 ayat 5 huruf (g) disebutkan bahwa ... surat pernyataan
mengundurkan diri dari jabatan negeri bagi calon yang berasal dari Pegawai
Negeri Sipil ... Dari pernyataan pada pasal 5 huruf (g) tersebut tertera jelas bahwa
jika seorang PNS yang ingin mencalonkan diri sebagai Kepala daerah dan Wakil
kepala daerah maka dia harus mengundurkan diri dari jabatannya sebagai seorang
pegawai negeri.
Dalam pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah, Menteri PAN telah
mengeluarkan Surat Edaran no.SE/08.A.M.PAN/5/2005, antara lain disebutkan
PNS dilarang terlibat dalam kegiatan untuk mensukseskan salah seorang calon
Kepala Daerah, seperti kampanye, menggunakan fasilitas jabatan untuk
kepentingan salah seorang calon dan membuat keputusan yang menguntungkan
salah seorang calon.
Selanjutnya pada Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang
Disiplin Pegawai Negeri Sipil, masalah netralitas Pegawai Negeri Sipil sudah di
atur dalam Pasal 4 angka 12, 13, 14, dan 15, dimana setiap Pegawai Negeri Sipil
dilarang memberikan dukungan kepada calon Presiden/Wakil Presiden, Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, atau Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah dengan cara seperti :
a. Ikut serta sebagai pelaksana kampanye.

12

b. Menjadi peserta kampanye dengan menggunakan atribut partai atau atribut


PNS.
c. Sebagai peserta kampanye dengan mengerahkan PNS lain.
d. Sebagai peserta kampanye dengan menggunakan fasilitas negara.

PNS juga dilarang memberikan dukungan kepada calon Presiden/Wakil Presiden


dengan cara:
a. Membuat keputusan dan/atau tindakan yang menguntungkan atau
merugikan salah satu pasangan calon selama masa kampanye; dan/atau
b. Mengadakan kegiatan yang mengarah kepada keberpihakan terhadap
pasangan calon yang menjadi peserta pemilu sebelum, selama, dan
sesudah masa kampanye meliputi pertemuan, ajakan, himbauan, seruan,
atau pemberian barang kepada PNS dalam lingkungan unit kerjanya,
anggota keluarga, dan masyarakat;
c. Memberikan dukungan kepada calon anggota Dewan Perwakilan Daerah
atau calon Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dengan cara memberikan
surat dukungan disertai foto kopi Kartu Tanda Penduduk atau Surat
Keterangan Tanda Penduduk sesuai peraturan kerundangundangan; dan
Memberikan dukungan kepada calon Kepala Daerah/Wakil Kepala
Daerah, dengan cara :
a) Terlibat dalam kegiatan kampanye untuk mendukung calon Kepala
Daerah/Wakil Kepala Daerah;
b) Menggunakan fasilitas yang terkait dengan jabatan dalam kegiatan
kampanye;
c) embuat keputusan dan/atau tindakan yang menguntungkan atau
merugikan salah satu pasangan calon selama masa kampanye;
dan/atau
d) Mengadakan kegiatan yang mengarah kepada keberpihakan
terhadap pasangan calon yang menjadi peserta pemilu sebelum,
selama, dan sesudah masa kampanye meliputi pertemuan, ajakan,

13

himbauan, seruan, atau pemberian barang kepada PNS dalam


lingkungan unit kerjanya, anggota keluarga, dan masyarakat.

Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai


Negeri Sipil, juga telah mengatur dengan tegas dan jelas sanksi hukuman disiplin
bagi Pegawai Negeri Sipil yang melanggar netralitas, yakni penjatuhan hukuman
disiplin sedang ( di atur pada Pasal 12, angka 6, 7, 8, dan 9), dan penjatuhan
hukuman disiplin berat (di atur pada Pasal 13, angka 11, 12, dan 13).
Perbuatan atau tindakan yang dapat dikategorikan melanggar netralitas dan
dapat dijatuhi hukuman disiplin sedang, sebagaimana di atur dalam Pasal 12
Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri
Sipil, adalah :
a. Memberikan dukungan kepada calon Presiden/Wakil Presiden, Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, atau Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah dengan cara ikut serta sebagai pelaksana kampanye,
menjadi peserta kampanye dengan menggunakan atribut partai atau atribut
PNS, sebagai peserta kampanye dengan mengerahkan PNS lain,
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 angka 12 huruf a, huruf b, dan huruf
c;
b. Memberikan dukungan kepada calon Presiden/Wakil Presiden dengan cara
mengadakan kegiatan yang mengarah kepada keberpihakan terhadap
pasangan calon yang menjadi peserta pemilu sebelum, selama, dan
sesudah masa kampanye meliputi pertemuan, ajakan, himbauan, seruan,
atau pemberian barang kepada PNS dalam lingkungan unit kerjanya,
anggota keluarga, dan masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
angka 13 huruf b;
c. Memberikan dukungan kepada calon anggota Dewan Perwakilan Daerah
atau calon Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dengan cara memberikan
surat dukungan disertai foto kopi Kartu Tanda Penduduk atau Surat
Keterangan Tanda Penduduk sesuai peraturan perundang-undangan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 angka 14; dan

14

d. Memberikan dukungan kepada calon Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah


dengan cara terlibat dalam kegiatan kampanye untuk mendukung calon
Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah serta mengadakan kegiatan yang
mengarah kepada keberpihakan terhadap pasangan calon yang menjadi
peserta pemilu sebelum, selama, dan sesudah masa kampanye meliputi
pertemuan, ajakan, himbauan, seruan, atau pemberian barang kepada PNS
dalam lingkungan unit kerjanya, anggota keluarga, dan masyarakat
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 angka 15 huruf a dan huruf d.

Selanjutnya perbuatan atau tindakan yang dapat dikategorikan melanggar


netralitas dan dapat dijatuhi hukuman disiplin berat, sebagaimana di atur dalam
Pasal 13 Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai
Negeri Sipil, adalah :
a. Memberikan dukungan kepada calon Presiden/Wakil Presiden, Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, atau Dewan Perwakilan
Rakyat

Daerah dengan cara sebagai

peserta kampanye dengan

menggunakan fasilitas negara, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4


angka 12 huruf d;
b. Memberikan dukungan

kepada calon Presiden/Wakil Presiden dengan

cara membuat keputusan dan/atau tindakan yang menguntungkan atau


merugikan salah satu pasangan calon selama masa kampanye sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 angka 13 huruf a; dan
c. Memberikan dukungan kepada calon Kepala Daerah/Wakil Kepala
Daerah, dengan cara menggunakan fasilitas yang terkait dengan jabatan
dalam kegiatan kampanye dan/atau membuat keputusan dan/atau tindakan
yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon selama
masa kampanye sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 angka 15 huruf b
dan huruf c.
Sanksi hukuman disiplin bagi Pegawai Negeri Sipil yang melanggar
netralitas (Pasal 12, angka 6, 7, 8, dan 9) , yakni penjatuhan hukuman disiplin
sedang, berupa :

15

a. Penundaan kenaikan gaji berkala selama 1 (satu) tahun.


b. Penundaan kenaikan pangkat selama 1(satu) tahun, dan
c. Penurunan pangkat setingkat lebih rendah selama 1 (satu) tahun.

Sedangkan sanksi hukuman disiplin bagi Pegawai Negeri Sipil yang


melanggar netralitas ( Pasal 13, angka 11, 12, dan 13), yakni penjatuhan
hukuman disiplin berat, berupa :
a. Penurunan pangkat setingkat lebih rendah selama 3 (tiga) tahun;
b. Pemindahan dalam rangka penurunan jabatan setingkat lebih rendah;
c. Pembebasan dari jabatan;
d. Pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri sebagai PNS,
dan
e. Pemberhentian tidak dengan hormat sebagai PNS.

2.4 Permasalahan dalam Pelaksanaan Peraturan Pemerintah tentang


Keanggotaan PNS dalam Partai Politik

2.4.1 Contoh Permasalahan I


PNS Jadi Pengurus Partai, PBB Bantul Gagal Verifikasi Faktual
KPU Daerah Kabupaten Bantul, DIY telah menyelesaikan verifikasi
faktual partai calon peserta pemilu 2014 mendatang dengan digelarnya sidang
pleno di Kantor KPUD Bantul. Dalam sidang pleno yang dihadiri oleh semua
komisioner KPUD Bantul 6 partai dinyatakan tidak lolos atau gagal dalam
verifikasi faktual.
Keenam partai yang gagal tersebut di antaranya Partai Bulan Bintang
(PBB), Partai Demokrasi Pembaharuan (PDP), Partai Hati Nurani Rakyat
(Hanura), Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI), Partai Kedaulatan
Bangsa Indonesia Baru (PKBIB) serta Partai Peduli Rakyat Nasional (PPRN).
Partai-partai ini terganjal pemegang Kartu Tanda Anggota (KTA) yang tidak

16

mengakui sebagai anggota parpol serta keterwakilan perempuan kurang dari 30


persen.Tak hanya itu, PBB bahkan dinyatakan gagal verifikasi setelah ada temuan
keterlibatan Pegawai Negri Sipil (PNS) sebagai pengurus partai. Namun saat
verifikasi faktual pada tanggal 9 Desember 2012 yang lalu, ditemukan adanya
PNS aktif yang menjadi salah satu pengurus partai. Panitia Pengawas Pemilu
(Panwaslu) Kabupaten Bantul juga telah melakukan verifikasi terjadap PNS aktif
yang diketahui namanya Supriyono adalah benar-benar PNS aktif.
Lebih

lanjut

Panwaslu

juga

telah

melakukan

kroscek

ke kantor Dinas Pendidikan Dasar (Dikdas) untuk memperoleh kepastian.


Pihak Dikdas membenarkan status PNS Supriyono dibuktikan dengan SK
PNS. Hal tersebut menyimpang karena sesuai dengan Undang-Undang no 43
tahun 1999, PNS yang menjadi pengurus parpol, terlebih dahulu harus
mengundurkan diri dari jabatannya. Bahkan salah satu pengurus PBB
membenarkan adanya pengurus yang berstatus PNS pada verifikasi tahap pertama.
Meski demikian, PNS tersebut sudah mengundurkan diri pada 13 Desember lalu
dibuktikan dengan surat keputusan penggantian pengurus yang sudah diserahkan
ke KPUD. KPUD Bantul padahal juga telah menegaskan akan batas tahap
perbaikan pada 17 November hingga 3 Desember. Surat yang disampaikan diluar
tanggal tersebut tidak termasuk dalam verifikasi. PBB pun tetap dinyatakan gagal
dalam

verifikasi

bersama

partai

lain,

yang

berkasnya

akan

diserahkan ke KPU Provinsi kemudian ke KPU Pusat.


2.4.2 Contoh Permasalahan II
Sanksi Tegas PNS Terlibat Politik
Provinsi Maluku dalam tahun 2010 ini akan diwarnai dengan pesta
demokrasi pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah pada empat
kabupaten yaitu, Kabupaten Kepulauan Aru, Kabupaten Maluku Barat Daya
(MBD), Kabupaten Buru Selatan (Bursel) dan Kabupaten Seram Bagian Timur
(SBT).

17

Konstelasi politik dalam proses pilkada 2010 di Maluku semakin memanas,


sejumlah kandidat di kabupaten tersebut telah menyatakan siap mencalonkan diri
menjadi bupati dan wakil bupati. Tak tanggung-tanggung dukungkan pun mulai
bergulir, bukan saja ditujukan kepada incumbent yang dinilai masih memiliki
power untuk kembali memimpin, tetapi juga kandidat yang lainnya. Dalam
mengsukseskan pesta demokrasi Pilkada, semua elemen masyarakat haruslah
terlibat, termasuk pegawai negeri sipil (PNS) untuk memilih bupati dan wakil
bupati yang layak dan pantas memimpin roda pemerintahan selama lima tahun
kedepan Kenetralitas PNS harus tetap dijaga sehingga tidak akan mudah dinodai
oleh kepentingan-kepentingan politik tertentu yang dapat menjerumuskan pejabat
atau PNS dalam lingkup pemerintahan.
Lembaga Pemantau Kebijakan Publik (LPKP) Kabupaten Maluku Tengah
(Malteng) menemukan, ada pejabat/PNS di lingkup Pemerintahan Kabupaten
Malteng yang terlibat dalam politik pada pemilihan kepala daerah di Kabupaten
Seram Bagian Barat (SBB)
Ketua LPKP Kabupaten Malteng, Alan Tampary meminta, agar Bupati
Malteng, Abdullah Tuasikal menertibkan pejabat atau PNS yang berada dilingkup
Pemerintahan Kabupaten Malteng yang terindikasi dalam perhelatan politik di
Kabupaten Seram Bagaian Barat (SBB) yang akan berlansung pada tahun 2011
nanti.
Indikasi yang ditemukan LPKP Kabupaten Malteng sangatlah beralasan,
karena menyangkut dengan suksesi politik yang akan berlangsung di Kabupaten
SBB yang akan berlangsung tahun 2011 nanti, maupun pada kabupaten-kabupaten
yang lainnya di Maluku yang akan melaksanakan pilkada dalam tahun 2010 ini.
Sanksi tegas mesti diberikan oleh kepala daerah baik gubernur, bupati dan
walikota terhadap PNS yang terlibat partai politik, guna menghindari agar fasilitas
Negara tidak digunakan dalam proses politik tersebut, dan tidak menjaring PNS
lainnya untuk memberikan dukungan. Jika seorang PNS terlibat langsung dalam

18

sebuah partai politik yaitu menjadi Juru kampanye salah satu Partai Politik,
memakai atribut salah satu Partai Politik, atau secara terang-terangan mendukung
salah satu Partai Politik, maka harus dikenakan sanksi tegas yang cukup berat,
yakni dipecat dari PNS sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980
tentang Kepegawaian serta Peraturan Pemerintah (PP) No. 37 Tahun 2004 tentang
Larangan PNS menjadi anggota Partai Politik
Larangan pejabat atau PNS tidak boleh terlibat dalam politik atau partai
politik harus menjadi catatan perhatian dari kepala daerah baik gubernur/bupati
dan walikota. Pengawasan itu mesti terus ditingkatkan, sehingga PNS yang
terbukti terlibat memberikan dukungan pada calon kepala daerah tertentu dalam
proses pilkada harus langsung diberikan sanksi mulai dari teguran sampai pada
tingkat pemecatan.
Untuk menemukan adanya PNS terlibat dalam perhelatan politik tersebut,
maka kita mengharapkan lembaga-lembaga pemantauan pilkada maupun
masyarakat untuk berperan aktif sekaligus memberikan laporan langsung kepada
pimpinan kepala daerah baik gubernur, bupati maupun walikota, agar dapat
mengambil tindakan, sehingga citra PNS tidak menjadi luntur. Publik menunggu
langkah tegas itu dari gubernur, bupati dan walikota.
2.4.3 Analisis Terhadap Permasalahan
Dari kedua contoh kasus diatas dapat dilihat bahwa pelaksanaan kebijakan
mengenai larangan keanggotaan PNS dalam Partai Politik yang telah diatur dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2004 belum terlaksana dengan baik. Hal
ini karena masih banyaknya para PNS yang terlibat didalam partai politik, baik
dengan menjadi anggota maupun pengurus Partai Politik. Ketidaknetralan posisi
PNS ini tentunya akan membuat kinerja PNS menjadi tidak optimal karena
terpecah antara kepentingan golongan tertentu dengan keharusannya untuk
melaksanakan tugas dan kewajibannya yang sesungguhnya sebagai seorang abdi
negara dan abdi masyarakat. Kecolongan akan banyaknya PNS yang terlibat

19

didalam partai politik ini tidak lain dikarenakan kecerobohan serta kurang
maksimalnya lembaga-lembaga yang ditunjuk oleh pemerintah untuk mengawasi
dan menangani masalah ini. Kedepannya pengawasan terhadap PNS perlu
ditingkatkan agar tidak terdapat lagi PNS yang memiliki kedudukan ganda, yaitu
sebagai anggota dan atau pengurus partai politik dengan kedudukan aslinya
sebagai seorang PNS. PNS sejatinya harus bersikap netral dan menghindari
penggunaan fasilitas negara untuk golongan tertentu. Selain itu PNS dalam
menyelenggarakan tugas pemerintahan dan pembangunan juga tidak diskriminatif
khususnya dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat.

20

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Pegawai Negeri Sipil atau yang akrab disebut dengan PNS adalah unsur
aparatur negara, abdi negara, dan abdi masyarakat yang dengan penuh kesetiaan
dan ketaatan kepada pancasila, UUD 1945, Negara, dan Pemerintah
menyelenggarakan tugas pemerintahan dan pembangunan. Dengan kedudukannya
tersebut, PNS harus bersikap netral dan menghindari penggunaan fasilitas negara
untuk golongan tertentu. Selain itu PNS dalam menyelenggarakan tugas
pemerintahan

dan

pembangunan

tidak

diskriminatif

khususnya

dalam

memberikan pelayanan kepada masyarakat. Oleh karena itu, PNS dilarang untuk
menjadi anggota dan atau pengurus partai politik. Berbagai peraturan pun telah
dikeluarkan oleh pemerintah untuk mengatur masalah larangan keanggotaan PNS
dalam partai politik.
Namun pada kenyataannya masih banyak PNS yang mengindahkan
peraturan mengenai larangan menjadi anggota dan atau pengurus partai politik ini.
Sulitnya menjaga netralitas PNS dari partai politik ini disebabkan oleh beberapa
faktor. Faktor internalnya adalah yang menyangkut PNS sendiri berupa: Pertama,
kebiasaan bahkan sudah menjadi bakat seseorang untuk selalu ingin terlibat dalam
kegiatan kegiatan politik praktis, kemungkinan karena terlalu lama berkecimpung
di organisasi politik ataupun memang telah merupakan pendirian yang dianutnya.
Kedua, kurang percaya diri, kemungkinan karena tidak memiliki kemampuan baik
dari segi pengetahuan ataupun keterampilan yang dimilikinya, artinya tidak
profesional. Ketiga, ambisi yang besar untuk memperoleh jabatan tertentu,
sehingga diharapkan dengan pemihakan ini akan diperoleh imbalan berupa jabatan
yang akan diduduki. Keempat, solidaritas yang kurang sesama PNS, sehingga

21

masing masing PNS menyelamatkan diri masing-masing, yang dikenal dengan


istilah SDM (selamatkan diri masing masing), ataupun juga terdapat dendam
di antara PNS. Kelima, primodialisme berupa hubungan kekeluargaan,
kedaerahan, kepentingan materi, kesukuan dan sejenisnya.
Penyebab atau faktor eksternalnya yaitu diluar diri PNS, berupa: Pertama,
kebiasaaan atau kebijakan masa lalu yang cukup lama mempengaruhi pemikiran
bahkan sikap dari PNS, yaitu adanya istilah monoloyalitas pada kelompok
tertentu, bahkan kepada orang tertentu. Kedua, terdapat provokasi bahkan
ancaman kepada PNS oleh pimpinan ataupun orang-orang yang ditugaskan
pimpinan untuk mengajak PNS agar memihak. Ketiga, janji janji yang
dilemparkan atau yang diutarakan oleh seseorang atau sekelompok orang kepada
PNS. Keempat, masih lemahnya pengawasan dari yang berwenang terhadap yang
melakukan pelanggaran aturan tentang netralitas ini, dan kurang tegasnya
pelaksanaan sanksi terhadap pelanggaran yang dilakukan. Kelima, pemanfaatan
peraturan perundangan oleh pejabat pembina kepegawaian untuk menggunakan
PNS bagi kepentingan pribadi atau kelompoknya.
3.2 Saran
Salah satu gagasan untuk menciptakan peran PNS modern dalam
fungsinya yang ideal adalah PNS yang netral. Netral berarti menempatkan posisi
PNS pada wilayah yang seharusnya, yakni sebagai alat negara yang menjalankan
tugas kenegaraan. Karena pada dasarnya pegawai negeri yang mendapat upah
secara tetap dan dijamin kesejahteraannya oleh negara sudah semestinya berada
dalam sistem administrasi ke tata negaraan belaka.

Pengabdian yang harus

diberikan oleh PNS pun bukan kepada partai politik atau golongan tertentu,
melainkan kepada masyarakat secara keseluruhan. Menahan diri untuk tetap netral
dan mengabdi secara professional, serta berkarir secara alamiah, membuat PNS
tidak lagi dihantui rasa was-was dalam meniti karier dan tidak terbawa arus
pusaran politik sesaat.

22

Netralitas PNS menjadi penting karena semakin banyaknya pejabat negara


mulai dari presiden, menteri, gubernur, bupati, walikota, yang berasal dari partai
politik. Kondisi ini akan membawa implikasi serius terhadap netralitas birokrat.
PNS dituntut bertindak profesional antara menjaga netralitas dalam memberikan
pelayanan sekaligus tetap menjunjung loyalitas terhadap atasan, meskipun beda
warna politiknya. Sehingga PNS tidak mudah terbawa arus pusaran politik atau
terkooptasi oleh kepentingan politik atasannya.
Untuk mengatasi masalah-masalah mengenai PNS yang tidak sepenuhnya
bersikap netral, maka langkah yang mungkin dapat ditempuh dalam rangka
memelihara dan mempertahankan Netralitas PNS tersebut diantaranya seperti
pengawasan yang lebih ketat terhadap ketentuan mengenai netralitas PNS ini,
sekaligus pemberian sanksi yang tegas, adil dan tidak diskriminatif bukan hanya
bagi PNS, tapi juga bagi mereka/orang yang mempengaruhi PNS untuk tidak
berbuat netral. Selain itu pemerintah juga perlu membuat peraturan tertulis
mengenai hal tersebut lebih lengkap dan detail lagi mengenai ketentuan larangan
keanggotaan seorang Pegawai Negeri Sipil dalam Partai Politik.
Guna mewujudkan apa yang dikemukakan diatas memang diperlukan
kerja keras dan perobahan pola pikir (mind set) dan kesatuan tindakan sejak dari
pusat dan daerah baik legislatif maupun eksekutif termasuk para elit pemerintahan
dan politik. Tentunya juga para PNS haruslah merobah pola pikir dan perilaku
yang selalu menggantungkan diri kepada seseorang atau kelompok tertentu
bahkan tidak percaya diri, kepada yang mandiri dan professional.

23

DAFTAR PUSTAKA
Administrator,

2010.

Larangan

Menjadi

Anggota

Partai.

Sumber

http://www.bkn.go.id/in/peraturan/pedoman/larangan-menjadi-anggotapartai.html. Diakses tanggal 3 Januari 2013


Administrator, 2011. Bentuk-bentuk penghargaan dan sanksi bagi PNS. Sumber
http://www.bkn.go.id/attachments/1753_Penghargaan%20dan%20Sanksi%20PNS
.pdf. Diakses tanggal 3 Januari 2013
Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Pegawai Negeri Sipil yang
Menjadi Anggota Partai Politik.

Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 1999 Tentang Perubahan Atas Peraturan


Pemerintah Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Pegawai Negeri Sipil yang Menjadi
Anggota Partai Politik ( Perubahan pada Pasal 7, 8, dan 9).

Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2004 tentang Larangan Pegawai Negeri


Sipil Menjadi Anggota Partai Politik.

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 Tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan
DPRD.

Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian.


Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980 tentang Peraturan Disiplin Pegawai
Negeri Sipil.

Surat Edaran MENPAN No. SE/08.A/M.PAN/5/2005 yang mengatur tentang


Netralitas PNS dalam Pemilihan Kepala Daerah.

24

Anda mungkin juga menyukai