Anda di halaman 1dari 3

SABTU, 26 FEBRUARI 2011

Sejarah Kraton Yogyakarta


Kraton Yogyakarta dibangun tahun 1756 Masehi atau tahun Jawa 1682 oleh Pangeran
Mangkubumi Sukowati yang kemudian bergelar Sri Sultan Hamengku Buwono I. Setelah
melalui perjuangan panjang antara 1747-1755 yang berakhir dengan Perjanjian Gianti.
Karaton, Keraton atau Kraton, berasal dari kata ka-ratu-an, yang berarti tempat tinggal
ratu/raja. Sedang arti lebih luas, diuraikan secara sederhana, bahwa seluruh struktur dan
bangunan wilayah Kraton mengandung arti berkaitan dengan pandangan hidup Jawa yang
essensial, yakni Sangkan Paraning Dumadi (dari mana asalnya manusia dan kemana akhirnya
manusia setelah mati).
Garis besarnya, wilayah Kraton memanjang 5 km ke arah selatan hingga Krapyak dan 2 km
ke utara berakhir di Tugu. Pada garis ini terdapat garis linier dualisme terbalik, sehingga
bisa dibaca secara simbolik filosofis. Dari arah selatan ke utara, sebagai lahirnya manusia
dari tempat tinggi ke alam fana, dan sebaliknya sebagai proses kembalinya manusia ke sisi
Dumadi (Tuhan dalam pandangan Jawa). Sedangkan Kraton sebagai jasmani dengan raja
sebagai lambang jiwa sejati yang hadir ke dalam badan jasmani.
Kraton menuju Tugu juga diartikan sebagai jalan hidup yang penuh godaan. Pasar
Beringharjo melambangkan godaan wanita. Sedangkan godaan akan kekuasaan dilambangkan
lewat Gedung Kepatihan. Keduanya terletak di sebelah kanan. Jalan lurus itu sendiri sebagai
lambing manusia yang dekat dengan Pencipta (Sankan Paraning Dumadi).
Secara sederhana, Tugu perlambangan Lingga (laki-laki) dan Krapyak sebagaiYoni
(perempuan). Dan Kraton sebagai jasmani yang berasal dari keduanya.
Sebelum menempati Kraton Yogyakarta yang ada saat ini, Sri Sultan Hamengku Buwono I
atau Sri Sultan Hemengku Buwono Senopati Ingalogo Ngabdulrahman Sayidin Panotogomo
Kalifatullah tinggal di Ambar Ketawang Gamping, Sleman. Lima kilometer di sebelah barat
Kraton Yogyakarta.
Dari Ambar Ketawang Ngarso Dalem menentukan ibukota Kerajaan Mataram di Desa
Pacetokan. Sebuah wilayah yang diapit dua sungai yaitu sungai Winongo dan Code. Lokasi ini
berada dalam satu garis imajiner Laut Selatan, Krapyak, Kraton, dan Gunung Merapi.
Bangunan Kraton Yogyakarta sedikitnya terdiri tujuh bangsal. Masing-masing bangsal
dibatasi dengan regol atau pintu masuk. Keenam regol adalah Regol Brojonolo, Sri Manganti,
Danapratopo, Kemagangan, Gadungmlati, dan Kemandungan.
Kraton diapit dua alun-alun yaitu Alun-alun Utara dan Alun-alun Selatan. Masing-masing
alun-alun berukurang kurang lebih 100100 meter. Sedangkan secara keseluruhan Kraton

Yogyakarta berdiri di atas tanah 1,5 km persegi.


Bangunan inti kraton dibentengi dengan tembok ganda setinggi 3,5 meter berbentuk bujur
sangkar (1.000 x 1.000 meter). Sehingga untuk memasukinya harus melewati pintu gerbang
yang disebut plengkung. Ada lima pintu gerbang yaitu Plengkung Tarunasura atau Plengkung
Wijilan di sebelah Timur Laut kraton. Plengkung Jogosuro atau Plengkung Ngasem di
sebelah Barat Daya. Plengkung Joyoboyo atau Plengkung Tamansari di sebelah Barat.
Plengkung Nirboyo atau Plengkung Gading di sebelah Selatan. Plengkung Tambakboyo atau
Plengkung Gondomanan di sebelah Timur.
Dalam benteng, khususnya yang berada di sebelah selatan dilengkapi jalan kecil yang
berfungsi untuk mobilisasi prajurit dan persenjataan. Keempat sudut benteng dibuat
bastion yang dilengkapi dengan lubang kecil yang berfungsi untuk mengintai musuh.
Penjaga benteng diserahkan pada prajurit kraton di antaranya, Prajurit Jogokaryo, Prajurit
Mantrijero, dan Prajurit Bugis. Prajurit Jogokaryo mempunyai bendera Papasan dan tinggal
di Kampung Jogokaryan. Prajurit Mantrijero dilengkapi dengan Bendera Kesatuan
Purnomosidi dan tinggal di Kampung Mantrijeron. Prajurit Bugis yang berbendera Kesatuan
Wulandari tinggal di Kampung Bugisan.
Makna Tata Ruang Kraton Yogyakarta
Setelah diguncang gempa tahun 1867, Kraton mengalami kerusakan berat. Pada masa HB
VII tahun 1889, bangunan tersebut dipugar. Meski tata letaknya masih dipertahankan,
namun bentuk bangunan diubah seperti yang terlihat sekarang
Tugu dan Bangsal Manguntur Tangkil atau Bangsal Kencana (tempat singgasana raja),
terletak dalam garis lurus, ini mengandung arti, ketika Sultan duduk di singgasananya dan
memandang ke arah Tugu, maka beliau akan selalu mengingat rakyatnya (manunggaling
kawula gusti).
Tatanan Kraton sama seperti Kraton Dinasti Mataram pada umumnya. Bangsal Kencana yang
menjadi tempat raja memerintah, menyatu dengan Bangsal Prabayeksa sebagai tempat
menyimpan senjata-senjata pusaka Kraton (di ruangan ini terdapat lampu minyak Kyai Wiji,
yang selalu dijaga abdi dalem agar tidak padam), berfungsi sebagai pusat. Bangsal tersebut
dilingkupi oleh pelataran Kedhaton, sehingga untuk mencapai pusat, harus melewati halaman
yang berlapis-lapis menyerupai rangkaian bewa (ombak) di atas lautan.
Tatanan spasial Kraton ini sangat mirip dengan konstelasi gunung dan dataran Jambu Dwipa,
yang dipandang sebagai benua pusatnya jagad raya.
Dari utara ke selatan area Kraton berturut-turut terdapat Alun-Alun Utara, Siti Hinggil

Utara, Kemandhungan Utara, Srimanganti, Kedhaton, Kemagangan, Kemandhungan Selatan,


Siti Hinggil Selatan dan Alun-Alun Selatan (pelataran yang terlindung dinding tinggi).
Sedangkan pintu yang harus dilalui untuk sampai ke masing-masing tempat berjumlah
sembilan, disebut Regol. Dari utara terdapat gerbang, pangurukan, tarub agung, brajanala,
srimanganti, kemagangan, gadhung mlati, kemandhungan dan gading.
Brongtodiningrat memandang penting bilangan ini, sebagai bilangan tertinggi yang
menggambarkan kesempurnaan. Hal ini terkait dengan sembilan lubang dalam diri manusia
yang lazim disebut babahan hawa sanga.
Kesakralan setiap bangunan Kraton, diindikasikan dari frekuensi serta intensitas kegiatan
Sultan pada tempat tersebut.
Alun-Alun, Pagelaran, dan Siti Hinggil, pada tempat ini Sultan hanya hadir tiga kali dalam
setahun, yakni pada saat Pisowan Ageng Grebeg Maulud, Sawal dan Besar. Serta
kesempatan yang sangat insidental yang sangat khusus misal pada saat penobatan Sultan
dan Penobatan Putra Mahkota atau Pangeran Adipati Anom.
Kraton Yogyakarta memanglah bangunan tua, pernah rusak dan dipugar. Dilihat sekilas
seperti bangunan Kraton umumnya. Tetapi bila kita mendalami Kraton Yogyakarta, yang
merupakan contoh terbesar dan terindah dengan makna simbolis, sebuah filosofi kehidupan,
hakikat seorang manusia, bagaimana alam bekerja dan manusia menjalani hidupnya dan
berbagai perlambangan eksistensi kehidupan terpendam di dalamnya.
Raja-raja Yogyakarta yang Pernah Berdiam di Kraton
Masa pemerintahan Kraton Yogyakarta Sri Sultan Hamengku Buwono I (GRM Sujono)
memerintah tahun 1755-1792. Sri Sultan Hamengku Buwono II (GRM Sundoro) memerintah
tahun 1792-1812. Sri Sultan Hamengku Buwono III (GRM Surojo) memimpin tahun 18121814.
Sri Sultan Hamengku Buwono IV (GRM Ibnu Djarot) memerintah tahun 1814-1823. Sri
Sultan Hamengku Buwono V (GRM Gathot Menol) memerintah tahun 1823-1855. Sri Sultan
Hamengku Buwono VI (GRM Mustojo) memerintah tahun 1855-1877. Sri Sultan Hamengku
Buwono VII (GRM Murtedjo) memerintah tahun 1877-1921.
Sri Sultan Hamengku Buwono VIII (GRM Sudjadi) memerintah tahun 1921-1939. Sri Sultan
Hamengku Buwono IX (GRM Dorojatun) memimpin tahun 1940-1988. Sri Sultan Hamengku
Buwono X (GRM Hardjuno Darpito) memimpin tahun 1989 sekarang.

Anda mungkin juga menyukai