Anda di halaman 1dari 22

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG MASALAH

Berdasarkan tingkat kepadatan penduduk dan laju pertumbuhan penduduk di Indonesia, maka
air limbah grey water di lingkungan rumah tangga untuk masa yang akan datang potensial
menjadi ancaman yang cukup serius terhadap pencemaran lingkungan perairan. Grey water
merupakan bagian dari limbah cair domestik yang proses pengalirannya tidak melalui toilet,
misalnya seperti air bekas mandi, air bekas mencuci pakaian, dan air bekas cucian dapur.
Sebagian besar kandungan yang terdapat pada grey water adalah bahan organik yang mudah
terdegradasi. Sekitar 60 85% dari total volume kebutuhan air bersih akan menjadi limbah cair
domestik (Metcalf and Eddy, 2004). Bagian dari grey water adalah sekitar 75% dari total
volume limbah cair domestik (Eriksson dkk., 2001). [1]

Selain itu limbah rumah tangga (black water dan grey water) juga merupakan salah satu
sumber pencemar terbesar sungai-sungai di Indonesia. Di beberapa wilayah di Indonesia
seperti Jakarta Timur dan Jakarta Utara, air bersih sudah menjadi barang langka. Tidak hanya
di Jakarta, kelangkaan air bersih sekarang ini menjadi salah satu masalah di dunia. Kenaikan
jumlah penduduk membuat kebutuhan air semakin meningkat. Menurut National Water
Company, rata-rata orang di rumah menggunakan sekitar 1600 liter per hari untuk berbagai
kebutuhan. Tiga kebutuhan air terbesar dalam rumah tangga adalah untuk memasak, mandi,
mencuci dan menyiram tanaman. Pengolahan limbah terbaik adalah pengolahan yang
dilakukan dimana limbah dihasilkan. Maka sebaiknya pengolahan limbah ini dilakukan sejak
dari rumah tangga (Natawidha, 2011).

Penanganan grey water di Indonesia saat ini adalah langsung dibuang ke saluran drainase
yang akan berujung ke badan air tanpa pengolahan terlebih dahulu. Kondisi ini tentu akan
menambah beban pencemaran di badan perairan / sungai. Kandungan utama grey water yaitu
nitrogen dan fosfor dalam jumlah yang tinggi akan menyebabkan kemampuan pemulihan
alamiah (self-purification) sungai terlampaui sehingga terjadilah peristiwa eutrofikasi.
Eutrofikasi menyebabkan kandungan oksigen terlarut dalam air berkurang sehingga
membahayakan makhluk hidup yang ada di badan air tersebut.[2]

Pengolahan air limbah menggunakan Wetland merupakan salah satu pilihan pengolahan yang
tepat mengingat karakteristik air limbah grey water dengan beban organik relatif kecil serta
unsur nitrogen dan fosfat yang cukup tinggi. Unsur N serta P pada air limbah ini merupakan
pupuk alami bagi tumbuhan sehingga sistem pengolahan dapat dilaksanakan dengan
teknologi yang sederhana, praktis, mudah dan murah dalam pemeliharaannya. Pengolahan
grey water menggunakan Wetland dengan konsep fitoremediasi ini memanfaatkan simbiosis
mikroorganisme dalam tanah dengan akar tumbuhan yang mengeluarkan oksigen. Bahan
organik yang terdapat dalam air limbah akan dirombak oleh mikroorganisme menjadi
senyawa lebih sederhana dan akan dimanfaatkan oleh tumbuhan sebagai nutrient, sedangkan
sistem perakaran tumbuhan air akan menghasilkan oksigen yang dapat digunakan sebagai
sumber energi/katalis untuk rangkaian proses metabolisme bagi kehidupan mikroorganisme.

Jenis tumbuhan dapat disesuaikan dengan jenis sistem Wetland yang digunakan. Pada sistem
Wetland ini, air tidak menggenang di atas media tanam tetapi air mengalir di bawah media
sehingga memiliki berbagai keuntungan. Salah satu keuntungannya adalah tumbuhan yang
dapat beradaptasi lebih bervariasi sehingga dapat digunakan sebagai taman dengan estetika
yang baik.

1.2 TUJUAN
Adapun tujuan penulis membuat makalah ini adalah untuk :
1. Mengetahui teknologi apa saja yang dapat diterapkan untuk mengolah limbah
2. Mengidentifikasi penerapan konsep Fitoremediasi berdasarkan metode Wetland sebagai
upaya pengolahan limbah yang familiar.

1.3 MANFAAT
Memberikan tambahan pengetahuan dan alternatif sistem pengolahan air limbah utamanya
grey water skala rumah tangga dengan water treatment yang berkonsepkan Fitoremediasi
serta menggunakan metode Wetland.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Limbah dan Limbah Cair (Air Limbah)[3]

Pengertian limbah secara umum adalah sisa dari suatu usaha atau kegiatan manusia baik
berupa padat, cair ataupun gas yang dipandang sudah tidak memiliki nilai ekonomis sehingga
cenderung untuk dibuang. Limbah juga merupakan suatu bahan yang tidak berarti dan tidak
berharga limbah bisa berarti sesuatu yang tidak berguna dan dibuang oleh kebanyakan orang,
mereka menganggapnya sebagai sesuatu yang tidak berguna dan jika dibiarkan terlalu lama
maka akan menyebabkan penyakit atau merugikan. Limbah adalah buangan yang dihasilkan
dari suatu proses produksi, baik dari proses industri maupun domestik (rumah tangga, yang
lebih dikenal sebagai sampah), yang kehadirannya pada suatu saat dan tempat tertentu tidak
dikehendaki lingkungan karena tidak memiliki nilai ekonomis atau bersifat merugikan.
Menurut UU No. 32/2009 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, limbah didefinisikan
sebagai sisa suatu usaha atau kegiatan.

Limbah cair adalah air yang membawa sampah (limbah) dari rumah, bisnis & industri
(Purwadarminta, 1997). Limbah cair juga dapat didefinisikan sebagai kotoran dari
masyarakat & rumah tangga dan juga yang berasal dari industri, air tanah, air permukaan
serta buangan lainnya atau air buangan yang bersifat kotoran umum (Sugiharto, 1987).
Sedangkan Metcalf & Eddy (dalam Sugiharto 1987) mendifinisikan limbah cair sebagai A
combination of the liquid or water carried wastes removed from residences, institutions, and
commercials and industrials establishment, together with such groundwater, surface water,
and stormwater as may be present. Berdasarkan beberapa pengertian tersebut dapat
disimpulkan bahwa limbah cair/air limbah adalah sisa dari hasil usaha dan atau kegiatan yang
berwujud cair.

Secara kimiawi, limbah terdiri dari bahan kimia organik dan anorganik. Dengan konsentrasi
dan kuantitas tertentu, limbah dapat berdampak negatif terhadap lingkungan, terutama bagi
kesehatan manusia, sehingga perlu dilakukan penanganan terhadap limbah. Tingkat bahaya

keracunan yang ditimbulkan oleh limbah tergantung pada jenis dan karakteristik limbah.
Karakteristik limbah yaitu:

1) berukuran mikro,

2) dinamis,

3) berdampak luas (penyebarannya), dan

4) berdampak jangka panjang (antar generasi).

Sedangkan faktor yang mempengaruhi kualitas limbah yaitu :

1) volume limbah,

2) kandungan bahan pencemar, dan

3) frekuensi pembuangan limbah.

2.2 Jenis, Sumber dan karakteristik Air Limbah

a. Jenis air limbah

1) Air sabun (Grey Water)

Air sabun umumnya berasal dari limbah rumah tangga, hasil dari cuci baju, piring atau pel
lantai. Air ini sebenarnya dapat dimanfaatkan untuk menyirami tanaman karena pada kadar
tertentu alam masih memiliki kemampuan untuk mengurai sabun yang pada dasarnya
merupakan rantai karbon yang umum terdapat di alam. Hanya saja perlu diperhatikan jika

sabunnya mengandung bahan berat pembunuh kuman seperti karbol atau mengandung
minyak yang sulit terurai seperti air hasil cuci mobil yang umumnya tercemar oli.

2) Air Tinja/Air limbah padat (Black Water)

Air tinja merupakan air yang tercemar tinja, umumnya berasal dari WC. Volumenya dapat
cair atau padat, umumnya satu orang dewasa menghasilkan 1,5 L air tinja/hari. Air ini
mengandung bakteri coli yang berbahaya bagi kesehatan, oleh sebab itu harus disalurkan
melalui saluran tertutup ke arah pengolahan/penampungan. Air tinja bersama tinjanya
disalurkan ke dalam septic tank. Septic tank dapat berupa 2 atau 3 ruangan yang dibentuk
oleh beton bertulang sederhana. Air yang sudah bersih dari pengolahan ini barulah dapat
disalurkan ke saluran kota atau lebih baik lagi dapat diresapkan ke dalam tanah sebagai bahan
cadangan air tanah.

b. Sumber air limbah

1) Air buangan yang bersumber dari rumah tangga (domestic waste water) adalah air limbah
yang berasal dari pemukiman penduduk. Pada umumnya air limbah ini terdiri dari ekskreta (
tinja dan air seni, air bekas cucian dapur dan kamar mandi dan umumnya terdiri dari bahan
organik).

2) Air buangan dari industri (industrial waste water) adalah air buangan yang berasal dari
berbagai jenis industri akibat proses produksi. Zat-zat yang terkandung di dalamnya sangat
bervariasi, sesuai dengan bahan baku yang dipakai industri antara lain : nitrogen, sulfida,
amoniak, lemak, garam-garam, zat pewarna, mineral logam berat, zat pelarut dan sebagainya.
Oleh karena itu pengelolaan jenis air limbah ini, agar tidak menimbulkan polusi lingkungan
lebih rumit daripada air limbah rumah tangga.

3) Air buangan kotapraja (manucipal wastes water) yaitu air buangan yang berasal dari
perkantoran, perdagangan, hotel, restoran, tempat-tempat umum, tempat ibadah dan

sebagainya. Pada umumnya zat-zat yang terkandung dalam jenis air limbah ini sama dengan
air limbah rumah tangga.

c. Karakteristik air limbah

1) Karakteristik fisik

Sebagian besar terdiri dari bahan-bahan padat dan suspensi, terutama air limbah rumah
tangga biasa berwarna suram seperti larutan sabun, sedikit berbau, kadang-kadang
mengandung sisa-sisa kertas, berwarna bekas cucian beras dan sayur, bagian-bagian tinta dan
sebagainya.

2) Karakteristik kimiawi

Biasanya air buangan ini mengandung campuran zat-zat kimia anorganik yang berasal dari air
bersih serta bermacam-macam zat organik yang berasal dari penguraian tinja, urine dan
sampah-sampah lainnya. Oleh sebab itu pada umumnya bersifat basah pada waktu masih baru
dan cenderung bau asam apabila sudah mulai membusuk.

3) Karakteristik bakteriologis

Kandungan bakteri pathogen serta organisme golongan coli terdapat juta dalam air limbah
tergantung dari mana sumbernya, namun keduanya tidak berperan dalam proses pengolahan
air buangan.

2.3 Teknologi Alternatif Pengolahan Air Limbah


Pemilihan teknologi pengolahan air limbah sebaiknya mengunakan anggapan bahwa air
limbah adalah sumber daya, bukan sesuatu yang harus dibuang. Air limbah harus dipandang
sebagai sumber daya karena didalamnya terdapat 4 komponen, yaitu: air + energi + nutrien +
peluang kerja. Air, yang merupakan komponen utama dari air limbah, bila telah diolah dan
memenuhi standar akan dapat dipergunakan untuk irigasi ataupun usaha perikanan. Zat

organik, yang merupakan polutan dalam air limbah, bila pengolahannya tepat akan dapat
diubah menjadi energi yang dapat dimanfaatkan untuk kebutuhan masyarakat. Nutrien yang
terdapat dalam air limbah juga dapat dimanfaatkan sebagai pupuk untuk lahan pertanian.

Secara umum, terminologi pengolahan air limbah secara alami (natural system) mempunyai
ciri-ciri sebagai berikut:

a) Sistem pengolahan limbah secara alami bertujuan untuk memanfaatkan kembali nutrien,
air dan energi yang terdapat pada air limbah.

b) Dalam pengolahan air limbah, yang diutamakan adalah proses penguraian secara anaerobik
karena tidak memerlukan penyediaan oksigen secara mekanis sehinga akan mengurangi biaya
operasional.

c) Apabila menggunakan proses aerobik untuk penguraian zat organik oksigen yang
disediakan berasal dari proses fotosintesis maupun proses re-aerasi alami.

Beberapa metode pengolahan air limbah yang memenuhi terminologi pengolahan air limbah
secara alami yaitu: pengolahan air limbah dengan proses anaerobik, kolam stabilisasi, rawa
buatan dan kolam tumbuhan air.

a. Pengolahan Air Limbah dengan Proses Anaerobik

Meskipun pengolahan air limbah secara anaerobik telah dikenal sejak hampir 2000 tahun
yang lalu di India dan Cina dalam bentuk tangki penguraian untuk limbah kotoran hewan,
proses ini cukup lama diabaikan sebagai salah satu alternatif pengolahan limbah. Hal ini
dikarenakan, proses anaerobik dianggap tidak efisien dan terlalu lambat untuk mengolah air
limbah yang semakin hari semakin bertambah banyak volumenya (Nayono, 2005). Semenjak
terjadinya krisis energi dunia beberapa dekade lalu, pengolahan air limbah secara anaerobik
diusahakan untuk dapat digunakan kembali. Sejak akhir tahun 1960-an, proses pengolahan
limbah secara anaerobik mulai diteliti secara intensif sehingga sekarang dapat
dipertimbangkan sebagai salah satu alternatif pengolahan limbah selain teknologi dengan

proses aerobik yang telah lama dikenal (Hickey et al., 1991). Contoh teknologi pengolahan
limbah secara anaerobik. (a) Upflow anaerobic filter, (b). Downflow anaerobic filter, (c).
Fluid bed, (d). Contact process, dan (e). Upflow anaerobic sludge blanket.

Beberapa penelitian dari berbagai negara melaporkan bahwa pemanfaatan proses anaerobik
untuk pengolahan limbah domestik dan limbah industri mempunyai tingkat keberhasilan yang
cukup tinggi. Karena proses anaerobik berlangsung dengan baik pada suhu sekitar 30 40oC,
maka pada daerah tropis proses anaerobik ini mampu mencapai hasil pengolahan limbah yang
cukup memuaskan. Pengurangan BOD dan COD bisa mencapai 70% sampai 90%. Meskipun
demikian, hasil dari pengolahan anaerobik ini (terutama untuk pengolahan air limbah
industri) masih relatif belum sesuai dengan ketentuan untuk dapat dibuang langsung ke badan
air. Oleh karena itu, pengolahan tambahan masih diperlukan agar kualitas air hasil
pengolahan cukup bagus untuk dapat dibuang langsung ke sungai.

b. Pengolahan Air Limbah dengan Kolam Stabilisasi (Waste Stabilization Ponds)

Kolam stabilisasi didefinisikan sebagai kolam dangkal buatan manusia yang menggunakan
proses fisis dan biologis untuk mengurangi kandungan bahan pencemar yang terdapat pada
air limbah. Proses tersebut antara lain meliputi pengendapan partikel padat, penguraian zat
organik, pengurangan nutrien (P dan N) serta pengurangan organisme patogenik seperti
bakteri, telur cacing dan virus (Polprasert, 1996; Pena-Varon and Mara, 2004).

Kolam stabilisasi ini cukup banyak digunakan oleh negara-negara berkembang karena biaya
pembuatan dan pemeliharaannya murah serta lahan yang tersedia masih cukup banyak.
Prinsip dasar dari kolam stabilisasi adalah (Veenstra, 2000):

a) Menyeimbangkan dan menjaga fluktuasi beban organik dan beban hidrolis limbah air,

b) Mengendapkan partikel padatan dari air limbah di kolam pertama,

c) Memanfaatkan proses fotosintesis yang dilakukan oleh algae sebagai sumber utama
oksigen,

d) Proses penguraian zat organik secara biologis yang dilakukan oleh mikroorganisme (baik
secara aerobik maupun anaerobik), dan

e) Pengurangan organisme patogenik melalui beberapa proses interaktif antara alga dan
bakteria.

Kolam stabilisasi dapat diklasifikasikan berdasarkan pada proses biologis yang utama pada
kolam tersebut, pola pembebanan hidrolis atau tingkat pengolahan yang diinginkan.
Berdasarkan pada hal tersebut, kolam stabilisasi dapat digolongkankan menjadi: kolam
anaerobik, kolam fakultatif dan kolam pematangan (Polprasert, 1996).

a) Kolam anaerobik (anaerobic ponds). Kolam anaerobik didesain agar partikel padat yang
dapat terurai secara biologis dapat mengendap dan diuraikan melalui proses anaerobik.
Kolam ini biasanya mempunyai kedalaman 3 sampai 5 meter dengan masa tinggal hidrolis
(hydraulic retention time) antara 1 sampai 20 hari.

b) Kolam fakultatif (facultative ponds). Kolam fakultatif biasanya mempunyai kedalaman


berkisar 1 sampai 2 meter dengan proses penguraian secara aerobik dibagian atas dan
penguraian secara anaerobik di lapisan bawahnya. Jenis kolam ini mempunyai masa tinggal
hidrolis antara 5 sampai 30 hari. Penggunaan kolam fakultatif bertujuan untuk
menyeimbangkan input oksigen dari proses fotosintesis alga dengan pemakaian oksigen yang
digunakan untuk penguraian zat organik.

c) Kolam pematangan (maturation ponds). Kolam pematangan adalah kolam dangkal dengan
kedalaman hanya 1 sampai 1,5 meter. Hal ini ditujukan agar keseluruhan kolam tersebut
dapat ditumbuhi oleh alga sehingga oksigen yang dihasilkan selama proses fotosintesis dapat
dipergunakan untuk proses penguraian secara aerobik. Kolam ini digunakan untuk
memperbaiki kualitas air yang dihasilkan oleh pengolahan di kolam fakultatif dan untuk
mengurangi jumlah organisme patogenik. Sebagai upaya untuk mendapatkan kualitas air
limbah hasil olahan yang lebih baik, kolam anaerobik, kolam fakultatif dan kolam
pematangan dapat dikombinasikan dalam beberapa cara.

c. Pengolahan Air Limbah dengan Kolam Tumbuhan air (Macrophyte ponds)

Kolam tumbuhan air (makrofita= yaitu tumbuhan air yang relatif berukuran lebih besar
daripada alga) adalah sejenis kolam pematangan yang memanfaatkan tumbuhan air yang
terapung ataupun mengambang di dalam air. Tumbuhan air yang dipergunakan pada sistem
pengolahan ini mampu menyerap nutrien anorganik (terutama P dan N) dalam jumlah yang
relatif besar (Pescod, 1992; Krner et al., 2003). Selain itu, sistem ini juga mampu untuk
mengurangi kandungan logam berat yang terdapat pada air limbah (Polprasert, 1996;
Espinosa-Quinones et al., 2005).

Cara kerja dari kolam tumbuhan air ini utamanya didasarkan pada simbiosis mutualisme
antara tumbuhan air dan bakteri pengurai bahan pencemar yang terdapat di dalam air. Bakteri
aerobik dan fakultatif yang akan menguraikan kandungan bahan pencemar organik
menggunakan oksigen yang diproduksi oleh proses fotosintesis tumbuhan air. Sedangkan,
produk sampingan dari proses penguraian yang dilakukan oleh bakteria yaitu karbondioksida
dan amonium akan dimanfaatkan tumbuhan air dalam proses fotosintesis tersebut.

d. Pengolahan Air Limbah dengan Rawa Buatan (Constructed Wetlands)

Menurut US-EPA (1988), yang dimaksud dengan rawa adalah suatu daerah yang terendam
oleh air permukaan atau air tanah dalam suatu periode tertentu yang memungkinkan
terjadinya kondisi jenuh air pada tanah tersebut. Rawa buatan biasanya mempunyai
kedalaman sekitar 0,6 meter berbentuk memanjang seperti kanal sempit. Dikarenakan prinsip
dasar pengolahan air limbah dengan rawa buatan ini sama dengan prinsip kolam tumbuhan
air, maka rawa buatan ini harus ditanami dengan tumbuhan yang relatif toleran terhadap air
seperti ekor kucing (Typha spp), bulrush (Scirpus spp) atau reed (Phragmites communis).

Tidak seperti rawa alami, rawa buatan untuk pengolahan air limbah dapat dibuat hampir
dimana saja meskipun dengan lahan yang terbatas. Rawa buatan juga mempunyai kapasitas
dan kemampuan pengolahan air limbah yang lebih bagus dibandingkan dengan rawa alami
karena bagian dasar dari rawa buatan ini biasanya dibuat dengan konstruksi khusus dan dapat

diatur pembebanan hidrolisnya (Polprasert et al., 2001; Crites et al., 2006). Rawa buatan
dapat diklasifikasikan menjadi dua jenis, yaitu rawa buatan yang air limbahnya mengalir di
permukaannya (free water surface system) dan rawa buatan yang air limbahnya mengalir di
bawah permukaan rawa (subsurface flow system= SF).

Kemampuan rawa buatan untuk pengolahan air limbah, terutama di daerah tropis, sangat
tinggi. Pengurangan BOD dengan menggunakan proses ini bisa mencapai 65% sampai 85%.
Padatan tersuspensi dapat dikurangi sebanyak 90%, sedangkan pengurangan nutrien (nitrogen
dan fosfor) dapat mencapai 85% serta pengurangan organisme patogen mencapai 99,5%
(Polprasert et al., 2001; Crites et al., 2006).

4.Program usaha

Latar belakang diadakan pelatihan PPLH adalah untuk pemberdayaan masyarakat,


pendidikan dan menambah pengalaman. Selain itu para peserta yang mengikuti pelatihan
untuk diaplikasikan dalam lingkungan nyata.

2.2 Objek Observasi

4.3.1 Solar Water Heater (Penghangat Air Tenaga Sinar Matahari)

Berbentuk pyramid memungkinkan menerima sinar matahari pada semua sisinya sehingga
tidak usah mengggeser dan mengikuti sudut datangnya matahari. Sistem penghemat air ini
menggunakan prinsip efek rumah kaca, yaitu panas yang sudah masuk sulit untuk keluar,
sehingga makin lama suhu yang ada di dalam semakin panas, semua dicat hitam agar dapat
menyerap panas. Lebih efektif dan bahan sebaiknya dari bahan yang bersifat penghantar
panas yang baik.

4.3.2 Solar Cell

Listrik tenaga surya terjadi ketika sinar matahari menumbuk sebuah sel surya yang dapat
mengubah energi cahaya menjadi energi listrik. Sel surya bekerja berdasarkan prinsip
photoelektrik, karena itu disebut photovotaic atau solar sel.

4.3.3 Solar Box Cooker

Sinar matahari juga dapat dimanfaatkan untuk memasak, yaitu sebuah reflektor dengan daya
tangkap sinar matahari ekstra yang juga akan berfungsi sebagai penutup/jendela solar box.

4.3.4 Water Treatment

Salah satu untuk membersihkan air tercemar tanpa bahan kimia, sehingga tidak ada dampak
lain terhadap lingkungan sekitar akibat proses. Keuntungan dari sistem ini lebih murah dari
pengolahan lain tidak memerlukan energi untuk prosesnya.

4.3.5 Solar Ternal Dryer

Alat pengering menggunakan sinar matahari berbentuk piramida memungkinkan menerima


sinar matahari pada semua sisinya sehingga tidak perlu menggeser mengikuti sudut
datangnya sinar matahari, suhunya tidak boleh melebihi 600C dan dibuat fentilasi untuk
memudahkan sirkulasi udara.

4.3.6 Biogas

Gas yang berasal dari kotoran hewan yang sudah melalui beberapa proses seperti
pengendapan, penguapan. Uapnya ditampung di sebuah tabung dan gas tersebut bisa
digunakan untuk memasak, karena biogas itu setara dengan gas LPG.

4.3.7 Tanaman obat keluarga

BAB V
ANALISIS DAN PEMBAHASAN

5.1 Konsep Fitoremediasi


Konsep mengolah air limbah dengan menggunakan media tanaman atau lebih populer disebut
Fitoremediasi telah lama dikenal oleh manusia, bahkan digunakan juga untuk mengolah
limbah berbahaya (B3) atau untuk limbah radioaktif. Beberapa majalah dan jurnal ilmiah di
beberapa negara telah pula membahas dengan detail bagaimana proses remediasi ini dapat
menolong manusia untuk memecahkan problem lingkungannya. Phyto asal kata
Yunani/greek phyton yang berarti tumbuhan/tanaman (plant), remediation asal kata Latin
remediare (to remedy) yaitu memperbaiki/ menyembuhkan atau membersihkan sesuatu. Jadi
Fitoremediasi (phytoremediation) merupakan suatu sistem dimana tanaman tertentu yang
bekerjasama dengan microorganisme dalam media (tanah, koral dan air) dapat mengubah zat
kontaminan (pencemar/polutan) menjadi kurang atau tidak berbahaya bahkan menjadi bahan
yang berguna secara ekonomi.

Proses dalam sistem ini berlangsung secara alami dengan enam tahap proses secara serial
yang dilakukan tumbuhan terhadap zat kontaminan/pencemar yang berada disekitarnya yaitu
antara lain :
1. Phytoacumulation (phytoextraction) yaitu proses tumbuhan menarik zat kontaminan dari
media sehingga berakumulasi disekitar akar tumbuhan, proses ini disebut juga
Hyperacumulation.
2. Rhizofiltration (rhizo= akar) adalah proses adsorpsi atau pengendapan zat oleh akar untuk
menempel pada akar. Proses ini telah dibuktikan dengan percobaan menanam bunga matahari
pada kolam mengandung zat radio aktif di Chernobyl Ukraina.
3. Phytostabilization yaitu penempelan zat-zat kontaminan tertentu pada akar yang tidak
mungkin terserap ke dalam batang tumbuhan. Zat-zat tersebut menempel erat (stabil) pada
akar sehingga tidak akan terbawa oleh aliran air dalam media.
4. Rhyzodegradetion disebut juga enhenced rhezosphere biodegradation, atau plented-assisted
bioremidiation degradation, yaitu penguraian zat-zat kontaminan oleh aktivitas microba yang
berada di sekitar akar tumbuhan. Misalnya ragi, fungi dan bacteri.
5. Phytodegradation (phyto transformation) yaitu proses yang dilakukan tumbuhan untuk
menguraikan zat kontaminan yang mempunyai rantai molekul yang kompleks menjadi bahan
yang tidak berbahaya dengan dengan susunan molekul yang lebih sederhana yang dapat
berguna bagi pertumbuhan tumbuhan itu sendiri. Proses ini dapat berlangsung pada daun,
batang, akar atau di luar sekitar akar dengan bantuan enzym yang dikeluarkan oleh tumbuhan

itu sendiri. Beberapa tumbuhan mengeluarkan enzym berupa bahan kimia yang mempercepat
proses degradasi.
6. Phytovolatization yaitu proses menarik dan transpirasi zat contaminan oleh tumbuhan
dalam bentuk yang telah menjadi larutan terurai sebagai bahan yang tidak berbahaya lagi
untuk selanjutnya diuapkan ke atmosfir. Beberapa tumbuhan dapat menguapkan air 200
sampai dengan 1000 liter perhari.

5.2 Jenis tanaman yang digunakan dalam Fitoremediasi


Jenis-jenis tanaman yang sering digunakan dalam Fitoremediasi adalah Anturium
Merah/Kuning, Alamanda Kuning/Ungu, Akar Wangi, Bambu Air, Cana Presiden
Merah/Kuning/Putih, Dahlia, Dracenia Merah/Hijau, Heleconia Kuning/Merah, Jaka, Keladi
Loreng/Sente/Hitam, Kenyeri Merah/Putih, Lotus Kuning/Merah, Onje Merah, Pacing
Merah/Putih, Padi-padian, Papirus, Pisang Mas, Ponaderia, Sempol Merah/Putih, Spider Lili,
dan lain-lain.

5.3 Aplikasi di Lapangan


Beberapa penerapan lapangan dengan konsep Fitoremediasi yang cukup berhasil diantaranya
:
Menghilangkan logam berat yang mencemari tanah dan air tanah, seperti yang dilakukan di
New Zealand, lokasi : Opotiki, Bay of Plenty. Membersihkan tanah yang tercemar Cadmium
(Cd oleh penggunaan pesticida) dengan menanam pohon poplar.
Pengolahan limbah domestik dengan konsep Fitoremediasi dengan metode Wetland, seperti
yang diterapkan di beberapa tempat di Bali dengan sebutan Waste Water Garden (WWG)
atau terkenal dengan taman seperti yang terlihat di Kantor Camat Kuta, Sunrise School, dan
Kantor Gubernur Bali. Wetland ini berupa kolam dari pasangan batu kemudian diisi media
koral setinggi 80 cm yang ditanami tumbuhan air (Hydrophyte) selanjutnya dialirkan air
limbah (grey water dan effluent dari septictank). Air harus dijaga berada pada ketinggian 7
cm atau 10 cm dibawah permukaan koral agar terhindar dari bau dan lalat/ serangga lainnya.
Membersihkan tanah dan air tanah yang mengandung bahan peledak (TNT, RDX dan
amunisi militer) di Tennese, USA dengan menggunakan metode Wetland yaitu kolam yang
diberi media koral yang ditanami tumbuhan air dan kemudian dialirkan air yang tercemar
bahan peledak tersebut. Tumbuhan yang digunakan seperti: Sagopond (Potomogeton
pectinatus), Water stargas (Hetrathera), Elodea (Elodea Canadensis) dan lain-lain.

Untuk menghindari kloging (mampet) pada lapisan koral maka air limbah sebelum masuk
unit Wetland ini harus dilewatkan unit pengendap partikel discret. Berdasarkan hasil test
laboratorium terhadap influent dan effluent diperoleh hasil evaluasi kinerja unit tersebut
dengan effisiensi removal sebagai berikut: BOD 80 s/d 90 % , COD 86 s/d 96 %, TSS 75 s/d
95 %, Total N 50 s/d 70 %, Total P 70 s/d 90 % , Bakteri coliform 99 %.

Terdapat 27 spesies tumbuhan yang digunakan untuk Taman Bali ini diantaranya Keladi,
Pisang, Lotus, Cana, Dahlia, Akar Wangi, Bambu Air, Padi-padian, Papirus, Alamanda dan
tanaman air lainnya. Pemeliharaan sistem ini sangat kecil yang umumnya hanya menyiangi
daun-daun tumbuhan yang layu/kering, dengan demikian maintainance cost sangat rendah.
Menurut penjelasan dari pihak Sunrise School Bali yang telah dua tahun menggunakan sistem
ini belum pernah terjadi cloging pada lapisan koral dengan void ratio hanya 40% untuk
ukuran koral hanya 5 mm s/d 10 mm.Pada dasarnya proses yang terjadi pada Wetland ini
sangat alami artinya microorganisme dan tanaman membentuk ecosystem sendiri untuk
berhadapan dengan jenis polutan yang masuk, jadi tingkat adaptasi/akomodasi terhadap zat
dan kadar pencemararan sangat baik, berbeda dengan misalnya fakultatif pond proses akan
rusak (invalid) jika ada B 3 yang masuk atau jika beban pencemaran meningkat lebih dari
20% akan terbentuk algae bloom. Namun penerapan yang digunakan umumnya terbatas pada
skala kecil yaitu untuk perkantoran, sekolah dan komunal sekala RW, hal ini terjadi karena
luas lahan yang dibutuhkan perkapitanya lebih tinggi dibanding sistem konvensional
umumnya. Meskipun dibandingkan dengan sistem stabilization pond kebutuhan lahan jauh
lebih luas.

5.4 Wetland/ Lahan Basah[4]


Salah satu dari fitoremediasi adalah metode wetland atau penggunaan lahan basah untuk
untuk proses pembersihan logam berat atau senyawa-senyawa berbahaya menjadi tidak
berbahaya. Metode wetland ini secara umum dibagi menjadi dua kategori, yaitu:

1.) Subsurface Flow Systems


Subsurface flow systems atau sistem aliran bawah tanah. Subsurface flow systems didesain
untuk aliran bawah tanah melalui media permeabel, menjaga air diolah dibawah permukaan,
selain itu menghindari berkembangnya bau dan gangguan masalah lainnya. Sistem ini juga

sebagai root-zone systems, rock-reed-filters, dan vegetated submergedbed systems. Media


yang digunakan biasanya tanah, pasir, gravel, dan pecahan batu/kerikil.

2.) Free Water Surface Systems


Sistem aliran permukaan didesain untuk mensimulasikan lahan basah alami, dengan aliran air
melewati permukaan tanah pada genangan yang dangkal. Vegetasi sering terdiri dari tanaman
marsh, seperti cattail dan reeds. Kedua tipe tersebut biasanya berada di lembah atau terusan
baik secara alami terbentuk atau yang sengaja dibuat. Wetland memiliki efisiensi
penghilangan suspensi padat pada kolom air yang cukup besar. Materi-materi yang
tersuspensi di kolom air dapat terdiri dari banyak macam kontaminan, seperti nutrien, logam
berat, atau ikatan fisika atau kimia.

Salah satu cara yang digunakan adalah fitostabilisasi. Fitostabilisasi adalah penghentian
kontaminan di tanah melalui absorpsi dan akumulasi oleh akar, adsorpsi ke dalam akar di
daerah akar dari tanaman. Selain itu digunakan untuk menjaga migrasi/perpindahan
kontaminan melalui angin, erosi air, dan dispersi tanah. Fitostabilisasi terjadi melalui
akumulasi kontaminan pada jaringan tanaman dan di tanah sekitar akar karena perubahan
kimia dari kontaminan, yang menjadi tidak larut dan berhenti di komponen tanah. Bahan
kontaminan yang tidak dapat larut biasanya tidak berbahaya. Fitostabilisasi juga mengacu
pada pembangunan/ pengembangan tanaman penutup pada permukaan air dari tanah atau
sedimen yang terkontaminasi.

5.5 Manfaat dan Fungsi Wetland


Wetland memiliki berbagai fungsi dan kegunaan yaitu :
1.)Organic Carbon (BOD) Removal
2.)Nitrogen Removal
3.)Phosphorus Removal
4.)Trace Metals Removal
5.)Removal of Toxic Organic Compounds

Fungsi ekologi :
1.)Tempat makan dan habitat kehidupan liar

2.)Peningkatan kualitas air


3.)Perlindungan terhadap banjir
4.)Kontrol abration garis pantai
5.)Untuk rekreasi

5.6 Keuntungan Dan Kelemahan Wetland


Keuntungan:
1. Mengurangi pergerasiko dari bahan kontaminan anorganik tanpa menghilangkan bahan
tersebut dari lokasi mereka.

2. Jika dibandingkan teknik lain seperti Excavation atau penggalian, yang teknik ini lebih
murah

3. Menambah kesuburan tanah

Kelemahan
Akibat bahan kontaminan yang tertinggal di tempat, tempat/daerah tersebut harus terus
dimonitoring untuk memastikan kondisi kestabilan lingkungan. Jika bahan konsentrasi
pencemar meningkat, efek racun dapat menghambat pertumbuhan tanaman tersebut. Jika
menggunakan aditif/penyubur tanah, maka harus diterapkan secara periodik untuk menjaga
kefektifan dari proses fitoremediasi.

5.4 Konsep Perencanaan Wetland[5]


Beberapa ketentuan yang diperlukan untuk membuat sistem ini yaitu:
Unit Wetland harus didahului dengan bak pengendap untuk menghindari cloging pada media
koral oleh partikel-partikel besar.
Konstruksi berupa bak/kolam dari pasangan batu kedap dengan kedalaman 1 m.
Kolam dilengkapi pipa inlet dan pipa berlubang untuk outlet

Kolam diisi dengan media koral (batu pecah atau kerikil) diameter 5 mm s/d 10 mm,
setinggi/setebal 80 cm.
Ditanami tumbuhan air dicampur beberapa jenis berjarak cukup rapat, dengan melubangi
lapisan media koral sedalam 40 cm untuk dudukan tumbuhan.
Dialirkan air limbah setebal 70 cm dengan mengatur level (ketinggian) outlet yang
memungkinkan media selalu tergenang air 10 cm dibawah permukaan koral.
Desain luas berdasarkan Beban BOD yang masuk per hari dibagi dengan Loading rate pada
umumnya. Untuk Amerika Utara = 32.10 kg BOD/Ha per hari. Untuk daerah tropis kira-kira
= 40 kg BOD/Ha per hari .

CONTOH PERHITUNGAN:

Misalnya Kantor/Hotel/bangunan gedung lain dengan pegawai/pengunjung sejumlah 1000


orang. Maka perhitungan untuk membuat Wetland ini adalah :

Pemakaian air rata-rata 10 liter/pegawai/hari dengan BOD rata-rata = 250 mg/l


Beban BOD = 101/orang/hari x 1000 orang x 250 mg/l = 2.5 kg/hari
Kebutuhan bak pengendap sekaligus bak anaerobik 2500 g : 250 g/m3 = 10 m3, Jika
kedalaman kolam 2.5 m maka luas kolam anerobik = 4m2
Kebutuhan Wetland. Efisiensi anaerobik untuk Td = (10 m3 : 10,000 l/hari) satu hari atau 60
%. Jadi BOD influen ke Wetland = 40 % x 250 mg/l = 100 mg/l. Beban BOD yang masuk =
10000 l/hari x 100 mg/l = 1 kg/hari. Loading rate = 40 kg/Ha/hari, maka luas kolam yang
diperlukan = 1 kg/hari : 40 kg/Ha/hari = 250 m2
Dibutuhkan lahan kira-kira 260 m2. Kedalaman kolam Wetland = 1 m, tebal media koral 80
cm, kedalaman air 70 cm.

BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

Fitoremediasi cukup efektif dan murah untuk menangani pencemaran terhadap lingkungan
oleh logam berat dan B3 sehingga dapat digunakan untuk remediasi TPA dengan menanam

tumbuhan pada lapisan penutup terakhir TPA dan menggunakan sistem Wetland bagi kolam
leachit.
Sistem pengolahan limbah dengan Wetland disarankan hanya untuk skala lingkungan
maksimum 2000 orang dan perkantoran atau gedung-gedung sekolah karena kebutuhan
lahannya cukup tinggi antara 1.25 m2/capita s/d 2.5 m2/capita dibanding fakultatif pond
hanya 0.2 s/d 0.5 m2/capita atau hanya 1/5 dari kebutuhan.
Biaya investasi sangat relatif terhadap ketersedian lahan, dengan demikian untuk skala kecil
sangat ekonomis bila lahan dapat disediakan.
Biaya O & P sangat rendah karena pemeliharaan hanya sambilan untuk pembersihan daun
tumbuhan.
Untuk skala rumah tangga sistem ini dapat dianggap pengganti bidang resapan.

DAFTAR PUSTAKA

[1] Ratna Widya Danista. 2010. Penggunaan Bambu Air (Equisetum Hyemale) Dan Bambu
Rejeki (Dracaena Sanderiana) Untuk Penyisihan Nitrogen Dan Fosfor Pada Grey Water
Dengan Sistem Constructed Wetland. Paper, (online), (http://digilib.its.ac.id/public/ITSpaper-19610-3307100067-Paper.pdf diakses 12 November 2012).

[2] http://digilib.its.ac.id/public/ITS-Undergraduate-19609-3307100067-Chapter1.pdf diakses


tanggal 12 November 2012

[3] Kebijakan Diklat Kesehatan Lingkungan Dalam Program. Pembuatan saluran Air Limbah
Sederhana.

Modul,

(online),

(http://bapelkescikarang.or.id/bapelkescikarang/images/stories/KurmodTTG/pengolahanairli
mbah/mi4b%20modul%20pembuatan%20spal%20sederhana.pdf,
2012).

diakses

12

November

[4] Satoto E Nayono . Metode Pengolahan Air Limbah Alternatif Untuk Negara

Berkembang.

Paper,

(http://eprints.uny.ac.id/1160/1/Alternatif_pengolahan_limbah.pdf

(online)
diakses

tanggal

12

November 2012)

[5] Ditjen Tata Perkotaan Dan Tata Perdesaan. 2003. Fitoremediasi. (http://digilibampl.net/file/pdf/fitoremediasi.pdf diakses 12 November 2012).

Anda mungkin juga menyukai