Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

Ketimpangan Pembangunan Ekonomi Daerah (Jawa Tengah)

Tugas disusun untuk melengkapi tugas Mata Kuliah


Ekonomi Regional
Disusun Ole :
1. Ardita Dewi Yulianti Hasan

(7111412004)

2. Rifky Yudi Setiawan

(7111412020)

3. Lutfie Juliarizka Mustofa

(7111412029)

4. Muhammad Andi Hakim

(7111412031)

5. Khilma Fauzia Husna

(7111412040)

6. Adnan Muhammad Feisal

(7111412052)

JURUSAN EKONOMI PEMBANGUNAN


FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2014

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, karena
atas rahmat dan karuniannya kami dapat menyelesaikan makalah dengan tepat
waktu. Berikut ini kami menyusun sebuah makalah yang membahas tentang
KETIMPANGAN

PEMBANGUNAN

EKONOMI

DAERAH

(JAWA

TENGAH) yang menurut kami dapat memberikan manfaat besar bagi kita untuk
mempelajari makalah ini.
Makalah ini di dalamnya membahas tentang ketimpangan pembangunan
ekonomi di jawa tengah dan cara mengatasinya.
Melalui kata pengantar ini kami terlebih dahulu memohon maaf
dan permakluman bila mana isi makalah ini ada kekurangan dan ada tulisan yang
kami buat kurang tepat atau menyinggung perasaan pembaca semua, kami mohon
maaf yang sebesar-besarnya.
Dengan ini kami mengucapkan terima kasih dan semoga allah SWT
memberkahi makalah ini sehingga dapat memberikan manfaat.

Semarang, 29 September 2014

Penulis

BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang

Ketimpangan, pemerataan, dan infrastruktur sebenarnya telah


dikenal cukup lama di Indonesia, misalnya melatarbelakangi program
padat karya berbagai pembangunan infrastruktur, seperti dalam program
alam program perbaikan kampung seperti jalan, pos kamling, jalan,
sungai, irigasi dan lain-lain, berbagai program jaring pengaman sosial,
pembangunan jaringan infrastruktur di pedesaan, seperti jalan, irigasi,
listrik, telepon, pelayanan kesehatan dan pendidikan. Ketimpangan yang
paling lazim dibicarakan adalah ketimpangan ekonomi. Ketimpangan
ekonomi sering digunakan sebagai indikator perbedaan pendapatan per
kapita rata-rata, antar kelompok tingkat pendapatan, antar kelompok
lapangan kerja, dan atau antar wilayah. Pendapatan per kapita rata-rata
suatu daerah dapat disederhanakan menjadi Produk Domestik Regional
Bruto dibagi dengan jumlah penduduk. Cara lain yang bisa digunakan
adalah dengan mendasarkan kepada pendapatan personal yang didekati
dengan pendekatan konsumsi. Kesimpulan dari penelitian yang dilakukan
oleh UNSFIR, yang menyatakan bahwa perbedaan yang mencolok antara
kekayaan daerah dengan kesejahteraan masyarakatnya pada daerah-daerah
yang kaya sumber daya alam tersebut telah menumbuhkan kesadaran
kolektif masyarakat terhadap sesuatu yang seharusnya dinikmati, yang
disebut aspirasi terhadap ketidakmerataan (inequality). Aspirasi ini
mencerminkan adanya rasa ketidak-adilan yang muncul bila tingkat
kesejahteraan masyarakat di daerah yang kaya sama atau bahkan lebih
rendah dari masyarakat Indonesia pada umumnya. Namun perlu juga
diperhatikan nasib daerah-daerah yang secara absolut memang miskin
sumber daya alam dan sumber daya lainnya (tenaga kerja yang trampil,
teknologi, modal/investasi) sehingga pemerintah daerah juga low profile
terkesan nerimo tetapi penduduk daerah-daerah tersebut semestinya
mendapat perhatian lebih besar.

Ketimpangan ekonomi antar daerah secara absolut maupun


ketimpangan relatif antara potensi dan tingkat kesejahteraan tersebut dapat
menimbulkan masalah

dalam hubungan antar daerah. Falsafah

pembangunan ekonomi yang dianut pemerintah jelas tidak bermaksud


membatasi arus modal (bahkan yang terbang ke luar negeri saja hampir
tidak dibatasi). Arus modal mempunyai logika sendiri untuk berakumulasi
di lokasi-lokasi yang mempunyai prospek return atau tingkat pertumbuhan
yang lebih tinggi, dan tingkat risiko yang lebih rendah. Sehingga tidak
dapat dihindari jika arus modal lebih terkonsentrasi di daerah-daerah kaya
sumber daya alam dan kota-kota besar yang prasarana dan sarananya lebih
lengkap. Di sisi lain gelombang pencari kerja juga mengalir mengejar
kesempatan ke kota-kota besar, ke daerah-daerah yang kaya potensi. Hal
ini menjadi masalah kepadatan penduduk bagi daerah yang menerima
pencari kerja dari daerah-daerah miskin ke kota-kota besar. Oleh karena di
kota-kota besar tersebut relatif banyak golongan ekonomi lemah dari
penduduk asli ataupun dari daerah-daerah lain dapat mengakibatkan saling
berebut tempat dan peluang antar kelompok daerah asal. Untuk itulah
diperlukan

pembangunan

daerah

yang

merupakan

bagian

dari

pembangunan nasional.
Guna meningkatkan pembangunan nasional harus didukung
dengan pembangunan daerah yang dilaksanakan secara serasi dan terpadu
dalam rangka mewujudkan keserasian dan keseimbangan Pembangunan
Nasional. Pembangunan pada hakekatnya merupakan upaya terencana dan
terprogram yang dilakukan secara terus menerus untuk menciptakan
masyarakat yang lebih baik. Pembangunan dapat dilakukan melalui
pendekatan wilayah (pembangunan wilayah) atau pendekatan sektoral
(pembangunan daerah). Pembangunan daerah lebih menekankan pada
pendekatan daerah secara administrasi dan pendekatan sektoral, yang
diarahkan

untuk

pertumbuhan

lebih

antar

yangpelaksanaannya

mengembangkan

daerah,
disesuaikan

antar

dan

menserasikan

perkotaan,

dengan

prioritas

laju

antar perdesaan
daerah

serta

pengembangan daerah seoptimal mungkin dengan memperhatikan dampak


pembangunan.

2. Rumusan Masalah

1. Apa yg dimaksud ketimpangan pembangunan ekonomi?


2. Apa penyebab terjadinya ketimpangan pembangunan ekonomi?
3. Bagaimana Ukuran Ketimpangan Pembangunan Antar Wilayah?
4. Seberapa besar tingkat ketimpangan pembangunan ekonomi di
Provinsi Jawa Tengah 2009-2011
5. Bagaimana pola dan struktur pertumbuhan ekonomi di Jawa Tengah?
6. Apa saja sektor-sektor unggulan yg dapat menunjang pembangunan
dan pertumbuhan di Jawa Tengah?
7. Solusi apa yg dapat mengatasi ketimpangan pembangunan ekonomi di
Jawa Tengah?

3. Tujuan

1. Memberikan

pengertian

tentang

apa

yang

dimaksud

dengan

ketimpangan pembangunan ekonomi.


2. Mengetahui penyebab terjadinya ketimpangan pembangunan ekonomi.
3. Mengetahui Ukuran Ketimpangan Pembangunan Antar Wilayah
4. Menganalisis besarnya tingkat ketimpangan pembangunan ekonomi di
provinsi Jawa Tengah tahun 2009-20121
5. Mengetahui pola dan struktur pertumbuhan ekonomi di Jawa Tengah.
6. Mengetahui solusi apa yang akan diterapkan jika terjadi ketimpangan
pembangunan ekonomi.
7. Mengetahui sektor-sektor unggulan yang menunjang pembangunan
dan pertumbuhan di jawa tengah.

1
2

BAB II

LANDASAN TEORI

2.1 Pengertian Ketimpangan

2.2 Pengertian Pembangunan Ekonomi Daerah

Pembangunan ekonomi daerah adalah suatu proses dimana pemerintah


daerah dan seluruh komponen masyarakat mengelola berbagai sumber daya
yang ada dan membentuk suatu pola kemitraan untuk menciptakan suatu
lapangan pekerjaan baru dan merangsang perkembangan kegiatan ekonomi
dalam daerah tersebut (Lincolin Arsyad, 1999 ; Blakely E.J, 1989).

2.3 Pengertian Ketimpangan Pembangunan Ekonomi Daerah


3

Secara teoritis, permasalahan ketimpangan pembangunan antar


wilayah mula mula dimunculkan oleh Douglas C. North dalam analisisnya
tentang Teori Pertumbuhan Neo Klasik. Dalam teori tersebut dimunculkan
sebuah prediksi tentang hubungan antara tingkat pembangunan ekonomi
nasional suatu Negara dengan ketimpangan pembangunan antar wilayah.

Menurut hipotesis tersebut pada permulaan proses pembangunan suatu


Negara, ketimpangan pembangunan antar wilayah cenderung meningkat. Bila
proses pembangunan terus berlanjut, maka secara berangsur angsur
ketimpangan pembangunan antar wilayah tersebut akan menurun. Berdasarkan
hipotesis ini, dapat ditarik suatu kesimpulan sementara bahwa pada negara
negara sedang berkembang umumnya ketimpangan pembangunan antar
wilayah cenderung lebih tinggi, sedangkan pada Negara maju ketimpangan
tersebut akan menjadi lebih rendah.

Pada waktu proses pembangunan baru dimulai di Negara sedang


berkembang, kesempatan dan peluang pembangunan yang ada umumnya
dimanfaatkan oleh daerah daerah yang kondisi pembangunan sudah lebih
baik. Sedangkan daerah daerah yang masih sangat terbelakang tidak mampu
memanfaatkan peluang ini karena keterbatasan prasarana dan sarana serta
rendahnya kualitas sumber daya manusia. Hambatan ini tidak saja disebabkan

oleh factor ekonomi, tetapi juga oleh factor social budaya sehingga akibatnya
ketimpangan pembangunan antar wilayah cenderung meningkat karena
pertumbuhan ekonomi cenderung lebih cepat di daerah dengan kondisinya
lebih baik, sedangkan daerah yang terbelakang tidak banyak mengalami
kemajuan. Keadaan yang berbeda terjadi di Negara yang sudah maju dimana
kondisi daerah umumnya sudah dalam kondisi yang lebih baik dari segi
prasarana dan sarana serta kualitas sumber daya manusia.
6

Kebenaran hipotesis neo klasik ini kemudian diuji kebenarannya


oleh Jefrey G. Williamson pada tahun 1966 melalui suatu studi tentang
ketimpangan pembangunan antar wilayah pada Negara maju dan Negara
sedang berkembang dengan menggunakan data time series dan cross section.
Ini berarti bahwa proses pembangunan suatu Negara tidak otomatis dapat
menurunkan ketimpangan pembangunan antar wilayah, tetapi pada tahap
permulaan justru terjadi hal yang sebaliknya.

Fakta empiric ini selanjutnya menunjukkan pula bahwa peningkatan


ketimpangan pembangunan yang terjadi di negara negara sedang
berkembang sebenarnya bukanlah karena kesalahan pemerintah atau
masyarakatnya, tetapi hal tersebut terjadi secara alamiah (natural) di semua
Negara.

1.
2.

BAB III

PEMBAHASAN
3.

3.1 Pengertian Ketimpangan Pembangunan Ekonomi Daerah


Ketimpangan ini pada awalnya disebabkan oleh adanya perbedaan
kandungan sumber daya alam dan perbedaan kondisi demografi yang terdapat
pada masing masing wilayah. Akibat dari perbedaan ini, kemampuan suatu
daerah untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan mendorong proses
pembangunan juga menjadi berbeda.
Terjadinya ketimpangan pembangunan antar wilayah ini selanjutnya
membawa implikasi terhadap tingkat kesejahteraan masyarakat pada wilayah
bersangkutan. Biasanya implikasi ini ditimbulkan adalah dalam bentuk
kecemburuan dan ketidakpuasan masyarakat yang dapat pula berlanjut dengan
implikasi politik dan ketentraman masyarakat. Karena itu, aspek ketimpangan
pembangunan ekonomi antar wilayah ini perlu ditanggulangi melalui
formulasi kebijakan pembangunan wilayah yang dilakukan oleh pemerintah
daerah.
3.2 Faktor Penyebab Ketimpangan Pembangunan Daerah
Beberapa faktor utama yang menyebabkan terjadinya ketimpangan antar
wilayah menurut Sjafrizal (2012) yaitu :

1. Perbedaan kandungan sumber daya alam


Perbedaan kandungan sumber daya alam akan mempengaruhi
kegiatan produksi pada daerah bersangkutan. Daerah dengan
kandungan sumber daya alam cukup tinggi akan dapat memproduksi
barang-barang tertentu dengan biaya relatif murah dibandingkan
dengan daerah lain yang mempunyai kandungan sumber daya alam
lebih rendah. Kondisi ini mendorong pertumbuhan ekonomi daerah
bersangkutan menjadi lebih cepat. Sedangkan daerah lain yang
mempunyai kandungan sumber daya alam lebih kecil hanya akan dapat
memproduksi barang-barang dengan biaya produksi lebih tinggi
sehingga daya saingnya menjadi lemah. Kondisi tersebut menyebabkan

daerah bersangkutan cenderung mempunyai pertumbuhan ekonomi


yang lebih lambat.
2. Perbedaan kondisi demografis
Perbedaan
pertumbuhan

kondisi
dan

demografis

struktur

meliputi

perbedaan

tingkat

kependudukan,

perbedaan

tingkat

pendidikan dan kesehatan, perbedaan kondisi ketenagakerjaan dan


perbedaan dalam tingkah laku dan kebiasaan serta etos kerja yang
dimiliki masyarakat daerah bersangkutan. Kondisi demografis akan
berpengaruh terhadap produktivitas kerja masyarakat setempat. Daerah
dengan kondisi demografis yang baik akan cenderung mempunyai
produktivitas kerja yang lebih tinggi sehingga hal ini akan mendorong
peningkatan investasi yang selanjutnya akan meningkatkan penyediaan
lapangan kerja dan pertumbuhan ekonomi daerah tersebut.
3. Kurang lancarnya mobilitas barang dan jasa
Mobilitas barang dan jasa meliputi kegiatan perdagangan antar
daerah dan migrasi baik yang disponsori pemerintah (transmigrasi)
atau migrasi spontan. Alasannya adalah apabila mobilitas kurang
lancar maka kelebihan produksi suatu daerah tidak dapat di jual ke
daerah lain yang membutuhkan. Akibatnya adalah ketimpangan
pembangunan antar wilayah akan cenderung tinggi, sehingga daerah
terbelakang sulit mendorong proses pembangunannya.
4. Konsentrasi kegiatan ekonomi wilayah
Pertumbuhan ekonomi akan cenderung lebih cepat pada suatu
daerah dimana konsentrasi kegiatan ekonominya cukup besar. Kondisi
inilah yang selanjutnya akan mendorong proses pembangunan daerah
melalui

peningkatan

penyediaan

lapangan

kerja

dan

tingkat

pendapatan masyarakat.
5. Alokasi dana pembangunan antar wilayah
Alokasi dana ini bisa berasal dari pemerintah maupun swasta. Pada
sistem pemerintahan otonomi maka dana pemerintah akan lebih
banyak dialokasikan ke daerah sehingga ketimpangan pembangunan
antar wilayah akan cenderung lebih rendah. Untuk investasi swasta

lebih banyak ditentukan oleh kekuatan pasar. Dimana keuntungan


lokasi yang dimiliki oleh suatu daerah merupakan kekuatan yang
berperan banyak dalam menark investasi swasta. Keuntungan lokasi
ditentukan oleh biaya transpor baik bahan baku dan hasil produksi
yang harus dikeluarkan pengusaha, perbedaan upah buruh, konsentrasi
pasar, tingkat persaingan usaha dan sewa tanah. Oleh karena itu
investai

akan

cenderung

lebih

banyak

di

daerah

perkotaan

dibandingkan dengan daerah pedesaan.


3.3 Ukuran Ketimpangan Pembangunan Antar Wilayah
Ukuran ketimpangan pembangunan antar wilayah yang mula
mula dilakukan adalam Williamson Index yang digunakan dalam studi
Jefrey G. Williamson pada tahun 1966. Istilah Williamson Index muncul
sebagai penghargaan kepada pengguna awal indeks tersebut dalam
mengukur ketimpangan pembangunan antar wilayah. Walaupun indeks ini
mempunyai beberapa kelemahan, yaitu antara lain sensitive terhadap
definisi wilayah yang digunakan dalam perhitungan, namun demikian
indeks ini lazim digunakan dalam mengukur ketimpangan pembangunan
antar wilayah.
Berbeda dengan Gini Rasio yang lazim digunakan dalam
mengukur distribusi pendapatan antar golongan masyarakat, Wiiliamson
Index menggunakan produk Domestik Regional Bruto (PDRB) per kapita
sebagai data dasar. Karena yang diperbandingkan adalah tingkat
pembangunan antar wilayah dan bukan tingkat distribusi pendapatan antar
kelompok masyarakat. Dengan demikian formulasi Indeks Williamson ini
secara statistic dapat ditampilkan dengan formula sebagai berikut :
Vw = ni = 1 (yi y)2 (fi / n)

0 < Vw < 1

Dimana :
yi

= PDRB Per kapita daerah i

= PDRB per kapita rata rata seluruh daerah

fi

= Jumlah penduduk daerah i

= Jumlah penduduk seluruh daerah.

Subskrip w digunakan karena formulasi yang dipakai adalah secara


tertimbang (weighted) agar indeks tersebut menjadi lebih stabil dan dapat
dibandingkan dengan Negara atau daerah lainnya. Sedangkan pengertian
indeks ini adalah sebagai berikut : bila Vw mendekati 1 berarti sangat
timpang dan bila Vw mendekati nol berarti sangat merata.
Indeks lainnya juga lazim digunakan adalah dalam mengukur
ketimpangan antar wilayah adalah Theil Index sebagaimana digunakan
oleh Akita dan Alisyahbana (2002) dalam studinya yang dilakukan di
Indonesia. Data yang diperluakn untuk mengukur indeks ini adalah sama
dengan yang diperlukan untuk menghitung Williamson Index yaitu PDRB
per kapita dan jumlah penduduk untuk setiap wilayah. Formulasi Theil
Index (Td) tersebut adalah sebagai berikut :
Td = ni = j nj = 1 {yij / Y} log [{yij / Y} / {nij / N}]
Dimana :
yij

= PDRB per kapita kabupaten i di provinsi j

Y = Jumlah PDRB per kapita seluruh provinsi j


n

= Jumlah penduduk kabupaten i di provinsi j

N = Jumlah penduduk seluruh kabupaten


Penggunaan Theil Index sebagai ukuran ketimpangan ekonomi
antar wilayah mempunyai kelebihan tertentu. Pertama, indeks ini dapat
menghitung ketimpangan dalam daerah dan antar daerah secara sekaligus,
sehingga

cakupan

analisis

menjadi

lebih

luas.

Kedua,

dengan

menggunakan indeks ini dapat pula dihitungan kontribusi (dalam


persentase) masing masing daerah terhadap ketimpangan pembangunan
wilayah secara keseluruhan sehingga dapat memberikan implikasi
kebijakan yang cukup penting.

3.4 Besarnya tingkat ketimpangan pembangunan ekonomi di provinsi Jawa


Tengah tahun 2009-2011
Jika dilihat perbandingan nilai PDRB Atas Dasar Harga Berlaku
(ADHB) dengan migas 2011 Kabupaten kota diprovinsi Jawa Tengah

menunjukan adanya kesenjangan pendapatan yang cukup tinggi, dimana


PDRB tertinggi mencapai 102.483 miliar rupiah (kabupaten Cilacap) dan
PDRB terendah sebesar 1.091 miliar rupiah (Kota Tegal).

Tabel PDRB Kabupaten/Kota Jawa Tengah

Kabupaten/Kota

2009

2010

2011

Kab. Cilacap

85.147

93.076

102.483

Kab. Banyumas

9.190

10.336

11.495

Kab. Purbalingga

5.162

5.770

6.522

Kab. Banjarnegara

6.024

6.701

7.446

Kab. Kebumen

5.855

6.484

7.208

Kab. Purworejo

5.850

6.647

7.143

Kab. Wonosobo

3.584

3.927

4.323

Kab. Magelang

7.151

8.022

8.771

Kab. Boyolali

7.143

8.102

9.028

Kab. Klaten

10.369

11.272

12.187

Kab. Sukoharjo

8.921

9.912

11.005

Kab. Wonogiri

5.734

6.734

7.174

Kab. Karanganyar

8.378

9.224

10.288

Kab. Sragen

5.871

6.695

7.580

Kab. Grobogan

5.765

6.500

7.141

Kab. Blora

3.994

4.472

4.869

Kab. Rembang

4.454

4.970

5.440

Kab. Pati

8.387

9.386

10.456

Kab. Kudus

28.947

31.463

33.830

Kab. Jepara

8.206

9.118

10.120

Kab. Demak

5.334

5.933

6.517

Kab. Semarang

10.069

11.072

12.335

Kab. Temanggung

4.503

5.069

5.604

Kab. Kendal

9.556

10.779

12.123

Kab. Batang

4.685

5.269

5.865

Kab. Pekalongan

6.436

7.321

8.033

Kab. Pemalang

7.171

7.961

8.860

Kab. Tegal

7.129

7.936

8.798

Kab. Brebes

12.533

14.630

16.427

Kota Magelang

1.863

2.105

2.323

Kota Surakarta

8.881

9.941

10.993

Kota Salatiga

1.661

1.849

2.032

Kota Semarang

38.465

43.398

48.461

Kota Pekalongan

3.477

3.804

1.091

Kota Tegal

2.388

2.635

2.847

3.5 Solusi Mengatasi Ketimpangan Pembangunan Ekonomi Daerah


3.5.1

Mendorong percepatan pembangunan dan pertumbuhan wilayah-wilayah


strategis dan cepat tumbuh sehingga dapat mengembangkan wilayahwilayah

tertinggal

di

sekitarnya

dalam

suatu

sistem

wilayah

pengembangan ekonomi yang sinergis, tanpa mempertimbangkan batas


wilayah administrasi, tetapi lebih ditekankan pada pertimbangan
keterkaitan mata-rantai proses industri dan distribusi. Upaya ini dapat

dilakukan melalui pengembangan produk unggulan daerah, serta


mendorong terwujudnya koordinasi, sinkronisasi, keterpaduan dan
kerjasama antarsektor, antarpemerintah, dunia usaha, dan masyarakat
dalam mendukung peluang berusaha dan investasi di daerah;
3.5.2

Meningkatkan keberpihakan pemerintah untuk mengembangkan wilayahwilayah tertinggal dan terpencil sehingga wilayah-wilayah tersebut dapat
tumbuh dan berkembang secara lebih cepat dan dapat mengejar
ketertinggalan

pembangunannya

dengan

daerah

lain.

Pendekatan

pembangunan yang perlu dilakukan selain dengan pemberdayaan


masyarakat secara langsung melalui skema dana alokasi khusus, public
service

obligation (PSO), universal

service

obligation (USO)

dan

keperintisan, perlu pula dilakukan penguatan keterkaitan kegiatan ekonomi


dengan wilayah-wilayah cepat tumbuh dan strategis dalam satu sistem
wilayah pengembangan ekonomi;
3.5.3

Mengembangkan wilayah-wilayah perbatasan dengan mengubah arah


kebijakan pembangunan yang selama ini cenderung berorientasi inward
looking menjadi outward looking, sehingga kawasan tersebut dapat
dimanfaatkan sebagai pintu gerbang aktivitas ekonomi dan perdagangan
dengan negara tetangga. Pendekatan pembangunan yang dilakukan selain
menggunakan pendekatan yang bersifat keamanan (security approach),
juga diperlukan pendekatan kesejahteraan (prosperity approach);

3.5.4

Menyeimbangan pertumbuhan pembangunan antarkota-kota metropolitan,


besar, menengah, dan kecil secara hirarkis dalam suatu sistem
pembangunan perkotaan nasional. Oleh karena itu perlu dilakukan
peningkatan keterkaitan kegiatan ekonomi (forward and backward
linkages) sejak tahap awal mata rantai industri, tahap proses produksi
antara, tahap akhir produksi (final process), sampai tahap konsumsi (final
demand) di masing-masing kota sesuai dengan hirarkinya. Hal ini perlu
didukung, antara lain, peningkatan aksesibilitas dan mobilitas orang,
barang dan jasa antarkota-kota tersebut, antara lain melalui penyelesaian
dan peningkatan pembangunan trans Kalimantan, trans Sulawesi;

3.5.5

Meningkatkan percepatan pembangunan kota-kota kecil dan menengah,


terutama di luar Pulau Jawa, sehingga diharapkan dapat menjalankan
perannya sebagai motor penggerak pembangunan wilayah-wilayah di
sekitarnya,

maupun

dalam

melayani

kebutuhan

warga

kotanya.

Pendekatan pembangunan yang perlu dilakukan, antara lain, memenuhi


kebutuhan pelayanan dasar perkotaan seseuai dengan tipologi kota
masing-masing;
3.5.6

Mendorong peningkatan keterkaitan kegiatan ekonomi di wilayah


perkotaan dengan kegiatan ekonomi di wilayah perdesaan secara sinergis
(hasil produksi wilayah perdesaan merupakan backward linkages dari
kegiatan ekonomi di wilayah perkotaan) dalam suatu sistem wilayah
pengembangan ekonomi;

3.5.7

Mengendalikan pertumbuhan kota-kota besar dan metropolitan dalam


suatu sistem wilayah pembangunan metropolitan yang compact, nyaman,
efisien dalam pengelolaan, serta mempertimbangkan pembangunan yang
berkelanjutan;

3.5.8

Mengoperasionalisasikan Rencana Tata Ruang sesuai dengan hirarki


perencanaan (RTRW-Nasional, RTRW-Pulau, RTRW-Provinsi, RTRWKabupaten/Kota) sebagai acuan koordinasi dan sinkronisasi pembangunan
antar sektor dan antar wilayah; dan

3.5.9

Merumuskan sistem pengelolaan tanah yang efisien, efektif, serta


melaksanakan penegakan hukum terhadap hak atas tanah dengan
menerapkan prinsip-prinsip keadilan, transparansi, dan demokrasi.

3.6 Sektor-Sektor

Unggulan

pertumbuhan di jawa tengah.

yang

menunjang

pembangunan

dan

BAB IV
PENUTUP
4.1. Kesimpulan
Guna meningkatkan pembangunan nasional harus didukung dengan
pembangunan daerah yang dilaksanakan secara serasi dan terpadu dalam rangka
mewujudkan

keserasian

dan

keseimbangan

Pembangunan

Nasional.

Pembangunan pada hakekatnya merupakan upaya terencana dan terprogram yang


dilakukan secara terus menerus untuk menciptakan masyarakat yang lebih baik.
Pembangunan dapat dilakukan melalui pendekatan wilayah (pembangunan
wilayah) atau pendekatan sektoral (pembangunan daerah).
Dalam pembangunan daerah tidak boleh terjadi adanya ketidakadilan
antara satu daerah dengan daerah lain, karena akan menimbulkan Ketimpangan,
dimana ketimpangan ekonomi antar daerah secara absolut maupun ketimpangan
relatif antara potensi dan tingkat kesejahteraan tersebut dapat menimbulkan
masalah

dalam

hubungan

antar

daerah

yang

menyebabkan

konflik

berkepanjangan.
Untuk menguranggi ketimpangan tersebut perlu diperhatikan nasib daerahdaerah yang secara absolut memang miskin sumber daya alam dan sumber daya
lainnya (tenaga kerja yang trampil, teknologi, modal/investasi) agar dareah miskin
ini bisa menjadi setara dengan daerah daerah lainnya.

Anda mungkin juga menyukai