Anda di halaman 1dari 8

Manajemen Stroke Iskemik Akut

Hyper-link
Hipertensi, Hiperglikemia Dan Hiperthermia

Hipertensi
Beberapa pengamatan telah menunjukkan peningkatan spontan tekanan darah dalam 2448 jam pertama setelah serangan stroke dengan penurunan signifikan setelah beberapa hari.
Beberapa mekanisme mungkin bertanggung jawab atas meningkatnya tekanan darah, termasuk
stress, retensi urin, efek cushing karena meningkatnya tekanan intrakranial dan aktivasi simpatik,
jalur rennin-angiotensin dan ACTH-kortisol. Meskipun terdapat peningkatan prevalensi
hipertensi yang menyertai stroke, manajemen optimal belum ditemukan. Beberapa argument
berpendapat untuk menurunkan tekanan darah yang meningkat: resiko transformasi hemorragik,
cerebral edema, serangan stroke dan encelopathy hipertensif. Di lain pihak, mungkin penting
untuk menjaga keadaan hipertensif karena autoregulasi yang rusak dalam otak yang iskemik dan
resiko hipoperfusi serebral dengan menurunnya tekanan darah sistemik.
Tekanan Darah Dan Hasil
Dua studi prospektif menunjukkan hubungan berbentuk U antara tekanan darah sistolik
dan kematian dini serta kematian lambat atau ketergantungan. Baik tekanan darah tinggi atau
tekanan darah rendah merupakan faktor prognostik yang buruk. Di lain pihak, studi GAIN
mendemonstrasikan bahwa mean arterial pressure tidak berkaitan dengan hasil yang buruk.
Namun, variable yang menggambarkan tekanan darah setelah hari pertama memiliki tanda dan
hubungan independen dengan hasil 1 sampai 3 bulan kedepan.

Dalam ulasan sistematik Cochrane, kematian ditemukan sangat berkaitan dengan mean arterial
pressure dan tingginya tekanan darah diastolik.
Tekanan Darah dan Hasilnya pada Pasien Tromboemboli
Beberapa pengamatan, termasuk percobaan NINDS-tPA, menemukan kaitan antara
tekanan darah tinggi saat masuk rumah sakit dan yang berlangsung lama dengan hasil yang
buruk dan kematian. Meskipun dalam satu studi hubungan tersebut tidak ditemukan berkaitan
dengan pasien stroke iskemik yang diwaspadai, pasien stroke dengan ketidaksadaran
menunjukkan tingkat kematian yang lebih tinggi dengan tekanan darah yang meningkat.
Hubungan antara meningkatnya tekanan darah dan rekanalisasi dievaluasi setelah trombolisis
intra-aterial. Studi ini mendemonstrasikan bahwa arah tekanan darah sistolik yang meningkat
setelah stroke iskemik akut berhubungan terbalik dengan tingkat rekanalisasi pembuluh darah.
Ketika rekanalisasi gagal, tekanan darah sistolik tetap meningkat lebih lama daripada ketika
rekanalisasi berhasil.
Mengontrol Tekanan Darah dalam Fase Stroke Akut.
Teori yang mengatakan bahwa peningkatan tekanan darah sistemik mungkin
mengkompensasi penururunan aliran darah otak pada daerah iskemik menuntun pada usaha
untuk meningkatkan tekanan darah sebagai perawatan untuk stroke iskemik akut. Dalam
percobaan pada binatang, hipertensi ringan yang dibuat ditemukan meningkatkan aliran kolateral
dan oksigenasi serta meningkatkan tingkat metabolisme oksigen dalam otak. Beberapa studi
kecil pada manusia telah mempertanyakan ini dan memberikan vasopressor kepada pasien
dengan stroke iskemik. Meskipun adanya peningkatan CBF (cerebral blood flow), konsep ini
diabaikan karena meningkatnya resiko pendarahan dan edema otak. Dalam ulasan sistemik dari

12 publikasi yang relevan termasuk 319 subyek, skala kecil dari percobaan dan hasil yang tidak
konklusif membatasi kesimpulan terhadap hasil, baik manfaat maupun kerugiannya.
Menurut kajian pustaka, tidak ada bukti konklusif yang mendukung penurunan tekanan
darah dalam fase stroke iskemik akut, dan lebih banyak penelitian diperlukan untuk
mengidentifikasi strategi efektif untuk manajemen tekanan darah dalam fase tersebut.
Meskipun adanya kontroversi tentang manajemen tekanan darah dalam fase akut,
manfaat penurunan tekanan darah sebagai pencegahan sekunder dari stroke dikemukakan dengan
baik dan telah didemonstrasikan dalam banyak studi. Namun, dalam kebanyakan studi ini, agen
antihipertensif diberikan beberapa minggu setelah serangan stroke. Hanya sedikit percobaan
dilakukan dalam keadaan akut. Percobaan ACCESS merupakan studi prospektif, dikontrol oleh
placebo, studi acak yang mengevaluasi angiotensin reseptor blocker cadesartan selama minggu
pertama stroke. Meskipun tidak ada perbedaan yang ditemukan pada hasil stroke selama 3 bulan,
secara signifikan penurunan angka kekambuhan kejadian kardiovaskuler dan tingkat kematian
yang lebih rendah setelah 1 tahun didokumentasikan dalam kelompok perawatan.
Pada percobaan baru dan belum dipublikasikan oleh Control of Hypertension and
Hypotension Immediately post stroke (CHHIPS) dari Inggris, peneliti mengacak 179 pasien yang
menderita stroke iskemik atau pendarahan dalam 36 hari sebelumnya dan yang juga memiliki
hipertensi yang di jelaskan sebagai tekanan darah sistolik lebih dari 160mm Hg. Pasien
menerima dosis atau obat antihipertensif lisinopril atau labetalol atau placebo pada dosis yang
ditingkatkan selama 14 hari. Tiga bulan setelah perawatan dimulai, kelompok perawatan aktif
memiliki tingkat kematian yang lebih rendah daripada kelompok placebo.
Menurut literature specific treatment of acute ischaemic stroke, apa yang harus dilakukan
pada peningkatan tekanan darah pada stroke akut masih belum jelas, meningkatkannya,

menurunkannya atau dibiarkan saja. Cenderung untuk membiarkannya saja kecuali terdapat
bukti adanya hipertensi ensefalopati. Biasanya memulai pengobatan hipertensi persisten sekitar
1-2 minggu setelah onset stroke.
Meskipun adanya data yang membingungkan dan tidak jelas, panduan Organisasi Stroke
Eropa (ESO) 2008 merekomendasikan bahwa tekanan darah hingga 200mmHg sistolik atau 110
mmHg diastolic dapat ditoleransi dalam fase akut tanpa intervensi kecuali terdapat komplikasi
kardio. Menurut panduan Amerika, umumnya disetujui bahwa pasien dengan tekanan darah yang
meningkat mungkin diturunkan tekanan darahnya tidak lebih dari 15% selama 24 hari setelah
serangan stroke. Terdapat indikasi untuk merawat tekanan darah jika di atas 220 mmHG sistolik
atau jika rata-rata tekanan darah lebih dari 120 mmHg. Tidak ada data tersedia yang menuntun
pemilihan obat untuk menurunkan tekanan darah dalam kondisi stroke iskemik akut. Obat dan
dosis yang direkomendasikan didasarkan pada konsensus umum. Lebih banyak studi diperlukan
untuk mengidentifikasi strategi optimal dalam manajemen tekanan darah. Beberapa percobaan
klinis yang sedang berlangsung seperti Kemanjuran Nitrit oksida untuk Stroke (ENOS) mungkin
membantu dalam menjawab pertanyaan yang tersisa.

Hipertermia
Studi pada beberapa hewan menunjukkan korelasi peningkatan temperature dengan hasil
yang buruk pada stroke iskemik. Hasil serupa ditemukan pada pengamatan manusia. Studi stroke
Copenhagen, beratnya stroke berkolerasi dengan suhu yang tinggi lebih dari 37,5 C sementara
suhu yang lebih rendah dari 36,5 C dikaitkan dengan hasil yang baik. Studi terbatas lain
mengkorelasikan antara beratnya stroke dengan hipertermia pada 24 jam pertama onset stroke.

Studi pada hewan dan observasi pada manusia ini menimbulkan pertanyaan mengenai
peran hipotermia sebagai terapi untuk stroke akut. Hipotermia telah diperkenalkan lebih dari 50
tahun yang lalu sebagai langkah untuk melindungi otak. Hipotermia ditemukan untuk
memperbaiki prognosis neurologi dan mengurangi mortalitas akibat cardiac arrest karena
fibrilasi ventrikel. Pada sisi lain, pengobatan dengan hipotermia pada suhu 33 C dalam 8 jam
pertama setelah cedera kepala di temukan tidak efektif. Aplikasi lainnya dimana terapi
hipotermia disarankan meliputi ensefalitis akut, hipoksia neonatal, dan hampir tenggelam.
Penggunaan antipiretik, seperti asetaminofen dalam dosis tinggi antara 3.900-6000
mg/hari, hanya menyebabkan penurunan ringan suhu tubuh antara 0,2 0,4 C. Manfaat klinis
penurunan ini kurang bermakna. Penggunaan pendingin eksternal, seperti cooling blankets, cold
infusions dan cold wasting, bertujuan untuk membuat suhu tubuh 33 C dalam 48-72 jam pada
pasien dengan infark arteri serebral media berat yang tidak berhubungan dengan efek samping
berat dan dapat membantu mengontrol peninggian TIK pada space occupaying edema berat.
Penggunaan perangkat pendingin endovascular (endovascular cooling device) yang di masukkan
ke dalam vena cava inferior di evaluasi dalam uji coba secara acak di antara pasien dengan
sirkulasi anterior moderat sampai berat pada daerah stroke iskemik. Meskipun tidak ada
perbedaan yang ditemukan dalam hasil klinis antara kelompok yang diterapi dengan kelompok
acak penerima manajemen medis standar, hasilnya menunjukkan bahwa pendekatan ini layak
dan bahwa hipotermia moderat dapat di induksi pada pasien dengan cepat dan efektif dan
umumnya aman serta ditoleransi pada kebanyakan pasien. Namun, data saat ini tidak mendukung
penggunaan induksi hipotermia untuk pengobatan pasien dengan stroke akut. Kesimpulannya,
meskipun berpotensi terapetik, hipotermia sebagai pengobatan untuk stroke akut telah di teliti
hanya dalam beberapa studi yang sangat kecil. Terapi hipotermia layak pada stroke akut tapi

karena efek samping seperti hipotensi, aritmia jantung dan pneumonia, terapi hipotermia masih
di anggap eksperimen dan bukti manfaatnya dari uji klinis masih diperlukan. Menurut
rekomendasi ESO 2008, pada suhu 37,5 C atau diatasnya penurunan suhu tubuh harus di
sarankan. The American Heart and Stroke Association merekomendasikan bahwa agen
antipiretik harus diberikan pada pasien demam post stroke tetapi keefektifan pengobatan, baik
pada pasien demam atau tidak demam dengan antipiretik tidak jelas terbukti.

Hiperglikemia
Peninggian kadar glukosa memainkan peran yang besar dalam morbiditas mikrovaskular
dan makrovaskular maupun kelainann hematologi. Beberapa proses yang ditemukan terkait
dengan kondisi seperti gangguan aliran pembuluh darah, disrupsi fungsi endothelial, asidosis
intraseluler dan peningkatan aggregasi dan koaguabilitas. Beberapa studi pada hewan
menunjukkan relasi antara stroke iskemik akut dan hiperglikemia. Pada percobaan ini, pemberian
glukosa

pada hewan menghasilkan perburukan pada otak yang iskemik. Seperti yang

disebutkan, 30-40% pasien stroke akut ditemukan memiliki kadar glukosa yang tinggi, sekitar
setengah dari mereka memang menderita diabetes, dan yang lainnya baru di diagnosis atau
menderita stress-induced hyperglycemia.
Peningkatan mortalitas ditemukan pada kelompok diabetic dan stress-induced
hyperglycemia, tipe stroke dan ukuran stroke. Pada uji coba stroke NINNDS tPA, hiperglikemia
di korelasikan dengan penurunan perbaikan neurologi dan resiko transformasi perdarahan pada
reperfusi pasien tromboemboli. Disisi lain, dalam studi NINDS, kadar glukosa tidak
berhubungan dengan perubahan keefektifan dari trombolisis. Semua penemuan ini memberikan
kesan bahwa kadar glukosa merupakan faktor resiko penting dalam morbiditas dan mortalitas

setelah stroke. Namun, tidak jelas apakah hiperglikemia itu sendiri yang mempengaruhi hasil
stroke atau sebagai penanda beratnya keadaan karena aktifasi dari hormone stress seperti kortisol
atau norefinefrin. Diantara penemuan faktor yang berkontribusi pada hiperglikemia post stroke
akut adalah korteks insular yang mana diketahui memainkan peran simpatik, keterlibatan kapsula
interna, peningkatan tekanan darah sistolik dan NIHSS lebih dari 14 point.
Data sebelumnya menimbulkan pertanyaan bagaimana hiperglikemia pasca stroke akut
harus

ditangani.

Terapi

insulin

intensif

diberikan

secara

intravena

dan

bertujuan

mempertahankan kadar glukosa darah 4,5-6,1 mmol/l dalam perawatan intensif dapat
menurunkan mortalitas lebih dari 40%. Hasil serupa di dokumentasikan diantara pasien infark
jantung. Pertanyaannya tetap mengenai aplikasi pada pasien stroke akut. GIST-UK baru-baru ini
menanggapi pertanyaan ini. Penelitian ini di lakukan diantara pasien stroke akut hiperglikemia
yang menerima infuse glukosa-kalium insulin dibandingkan dengan placebo. Pada kelompok
yang di obati, secara signifikan kadar glukosa menurun dan tekanan darah di dokumentasikan;
bagaimanapun tidak ada manfaat klinis yang ditemukan diantara pasien yang diobati. Terdapat
bermacam-macam metode pemberian insulin diantaranya yaitu infus intravena, pengulangan
dosis subkutan dan infus intravena yang terdiri dari insulin dan dekstrosa dengan potassium.
Randomized, multicentre, blinded pilot trial, treatment of hyperglycemia in Ischemic Stroke
(THIS), membandingkan penggunaan pengobatan

agresif dengan insulin intravena terus

menerus, tanpa glukosa atau potassium di dalam insulin solution, dan dengan pemberian insulin
secara subkutan pada pasien stroke akut. Kelompok pengobatan agresif dikaitkan dengan hasil
klinis yang agak lebih baik yang secara statistic tidak signifikan.
Menurut rekomendasi ESO 2008, glukosa darah 180 mg/dl atau lebih adalah indikasi
untuk pengobatan dengan insulin intravena. Menurut guidelines amerika kadar glukosa 140

sampai 185 mg/dl harus diberikan insulin. Meskipun rekomendasi saat ini, pendekatan yang
lebih aggresif disarankan, terutama pada pasien pretrombolisis.
Kesimpulannya, hipertensi, hiperglikemia dan hipertermia adalah kondisi tersering yang
menyertai stroke akut. Ketiganya memiliki dampak besar pada prognosis. Meskipun kekurangan
data konsensus dan manajemen yang optimal, kita harus berhati-hati memantau kondisi ini dan
memperlakukan mereka secara tepat.

Anda mungkin juga menyukai