Anda di halaman 1dari 7

IPTEK ILMIAH POPULER

FENOMENA TERMOLUMINESENSI
SEBAGAI PERUNUT DALAM
KECELAKAAN RADIASI
M. Thoyib Thamrin, Mukhlis Akhadi dan Dyah D. Kusumawati
Puslitbang Keselamatan Radiasi dan Biomedika Nuklir BATAN

Jl. Cinere Pasar Jumat, Jakarta 12440

PO Box 7043 JKSKL Jakarta 12070

PENDAHULUAN
Masalah budaya keselamatan pada suatu
instalasi nuklir, termasuk di dalamnya adalah
sumber-sumber untuk irradiasi dalam kegiatan
industri, selalu mendapatkan perhatian yang serius
karena kecelakaan pada instalasi ini dapat
berdampak sangat fatal terhadap kesehatan
manusia. Budaya keselamatan ini dikembangkan
berdasarkan banyaknya pengalaman maupun
kenyataan bahwa penyebab terjadinya kecelakaan
dan pemaparan radiasi yang tidak dikehendaki
umumnya disebabkan oleh kesalahan manusia
(human error) termasuk keteledoran [1].
Secara garis besar, pemanfaatan teknik nuklir
dapat dikelompokkan menjadi dua kegiatan utama,
yaitu pemanfaatan dalam bidang energi dan di luar
bidang energi. Untuk pemanfaatan di luar bidang
energi, teknik nuklir telah diaplikasikan dalam
berbagai bidang kegiatan, salah satunya adalah
untuk keperluan irradiasi dalam bidang industri
yang melibatkan penggunaan sumber radiasi
dengan aktivitas sangat tinggi [2]. Pemanfaatan
radiasi di bidang ini ternyata memberikan banyak
keuntungan,
sehingga
aplikasinya
terus
menunjukkan peningkatan dari waktu ke waktu [3].
Hingga kini, teknologi irradiasi menggunakan
radiasi gamma maupun berkas elektron dosis tinggi
telah digunakan untuk sterilisasi alat-alat
kedokteran dan sediaan farmasi, polimerisasi
dengan radiasi, vulkanisasi lateks alam dan
sebagainya.
Peluang tejadinya pemaparan radiasi dosis
tinggi dalam kaitannya dengan pemanfaatan radiasi
di bidang industri sebetulnya bisa dikata hampir

tidak ada. Sumber radiasi untuk keperluan ini sudah


dirancang sedemikian rupa, sehingga sangat aman
baik bagi pekerja maupun lingkungan [4]. Namun
karena faktor rendahnya budaya keselamatan,
kecelakaan radiasi yang melibatkan sumber
beraktivitas sangat tinggi pernah beberapa kali
terjadi, seperti kasus kecelakaan di Goiania, Brazil
[5], San Salvador, ibu kota El Salvador [6] dan
Soreq, Israel [7].
Dalam kasus kecelakaan radiasi, para korban
yang menerima paparan radiasi dosis tinggi
umumnya tidak melengkapi diri dengan dosimeter
kecelakaan, sehingga penerimaan dosis radiasinya
sulit diprediksi. Sementara itu, pemantau radiasi
perorangan yang biasanya dikenakan oleh para
pekerja radiasi hanya dirancang untuk pemantauan
radiasi pada kondisi operasi normal [8]. Dosimeter
tersebut tidak akan mampu merekam atau bahkan
menjadi rusak jika terkena paparan radiasi dengan
dosis yang sangat tinggi.
Untuk keperluan dosimetri dalam kasus
kecelakaan radiasi yang melibatkan sumber dengan
aktivitas sangat tinggi, diperlukan dosimeter yang
hanya peka terhadap radiasi dosis tinggi. Ada
beberapa jenis mineral di lingkungan yang dapat
dimanfaatkan sebagai dosimeter perunut untuk
memperkirakan dosis radiasi di tempat terjadinya
kecelakaan radiasi tersebut [9]. Dalam kasus
kecelakaan yang melibatkan penyinaran radiasi
gamma maupun berkas elektron, perunutan dapat
dilakukan dengan memanfaatkan fenomena
termoluminesensi (TL) yang dipancarkan oleh
mineral-mineral tertentu.

Fenomena termoluminesensi sebagai perunut


dalam kecelakaan radiasi (M. Thoyib Thamrin, Mukhlis Akhadi dan Dyah D.K.)

51

IPTEK ILMIAH POPULER

Mineral silikon dioksida (SiO2) merupakan


jenis pasir yang dapat ditemukan di hampir setiap
tempat. Dari penelitian yang telah dilakukan
menunjukkan
bahwa
mineral
itu
dapat
memperlihatkan fenomena TL dan hanya peka
terhadap radiasi gamma dosis tinggi berorde kilo
Gray (kGy) [10]. Oleh sebab itu, mineral ini dapat
dimanfaatkan
sebagai
perunut
untuk
memperkirakan dosis radiasi serta dampak yang
ditimbulkan oleh suatu kasus kecelakaan radiasi.
Dalam makalah ini akan dibahas hal-hal teknis yang
berkaitan dengan upaya pemanfaatan cahaya TL
yang dipancarkan oleh mineral SiO2 untuk
dosimetri radiasi gamma dosis tinggi.

DASAR TEORI
Pancaran cahaya TL dapat terjadi pada
benda padat dengan struktur kristal baik
berupa
bahan
isolator
maupun
semikonduktor [11]. Cahaya TL erat
kaitannya dengan peristiwa luminesensi,
yaitu terjadinya pancaran cahaya dari suatu
benda karena benda itu menyerap energi
foton [12]. Adakalanya proses luminesensi
baru terjadi jika suatu bahan mendapatkan
pemanasan dari luar. Peristiwa inilah yang
menghasilkan pancaran cahaya TL. Bahan
yang mampu memperlihatkan fenomena TL
disebut fosfor, jumlahnya mencapai lebih
dari 2000 jenis mineral alam, mulai dari
bahan kristal dan gelas anorganik, barang
tembikar dan batu api yang digunakan untuk
penanggalan arkheologi, sampai dengan
bahan-bahan organik yang berpendar pada
temperatur rendah, seperti mineral calcit,
dolomite, felspars dan apatite [13].

Bahan fosfor termasuk jenis isolator yang


mempunyai model pita energi terdiri atas pita
valensi, daerah perangkap dan pita konduksi.
Peristiwa interaksi antara radiasi pengion dengan
fosfor menyebabkan adanya elektron-elektron yang
menyerap energi radiasi sehingga elektron tersebut
dapat berpindah ke orbit yang lebih tinggi, dan
bahan berada dalam keadaan tereksitasi [14].
Elektron bebas tadi melompat dari pita valensi ke
pita konduksi dan akhirnya terperangkap dalam
pusat muatan positif atau perangkap elektron.
Loncatan elektron ke pita konduksi meninggalkan
lubang bermuatan positif di pita valensi. Lubang
inipun akhirnya terperangkap di dalam pusat
muatan negatif atau perangkap lubang.

Daerah
konduksi

KETERANGAN :

TL

E
5
Daerah
perangkap

Daerah
valensi

E : perangkap
elektron
H: perangkap
lubang
L : pusat luminesensi
:
z elektron
{: lubang
TL: cahaya termoluminesensi

H
2

Gambar 1: Proses terjadinya fenomena TL

Pancaran cahaya TL dari berbagai


jenis fosfor telah diketahui dan dipelajari sejak
sekitar 200 tahun silam [13]. Namun baru pada
tahun 1905 manusia mengetahui bahwa pancaran
TL tadi disebabkan oleh karena fosfor itu menyerap
energi radiasi. Interaksi antara radiasi pengion
dengan fosfor dapat terjadi melalui proses
fotolistrik, hamburan Compton dan produksi
pasangan [14]. Ketiga peristiwa tersebut dapat
menghasilkan pengionan pada materi sehingga
dihasilkan pasangan ion berupa elektron bebas
52

bermuatan negatif dan ion positif berupa atom atau


molekul kekurangan elektron yang disebut lubang.

Baik pusat muatan positif maupun pusat


muatan negatif dapat terbentuk di dalam kristal
bahan fosfor karena terjadinya kerusakan kisi-kisi
di dalam kristal. Kerusakan kisi-kisi itu disebabkan
antara lain oleh hilangnya atom-atom atau ion-ion
dari bahan, atau karena adanya bahan asing
(pengotor) yang terdapat di dalam kristal [15]. Pada
pita di sekitar terjadinya kerusakan kisi-kisi tersebut
seringkali terbentuk pusat-pusat muatan listrik yang
dapat mengikat muatan listrik tak sejenis lainnya.

Buletin ALARA, Volume 4 (Edisi Khusus), Agustus 2002, 51 57

IPTEK ILMIAH POPULER

Oleh sebab itu, jika ada elektron bebas bergerak


memasuki daerah kerusakan dimana terdapat pusat
muatan positif, maka elektron akan terikat oleh
pusat muatan tersebut. Sebaliknya, ion positif dapat
tertarik memasuki daerah kerusakan kisi-kisi
dimana terdapat pusat muatan negatif.
Pusat-pusat muatan yang cukup kuat
mengikat ion tangkapannya disebut perangkap,
sedang kemampuan perangkap dalam mengikat ion
disebut kedalaman perangkap. Tingkat kedalaman
perangkap ini bergantung pada jenis kerusakan kisikisi yang terjadi. Setiap jenis zat padat dapat
memiliki berbagai macam perangkap.
Ada perangkap-perangkap di dalam kristal
yang tidak stabil secara termik sehingga akan
melepaskan tangkapannya pada suhu lingkungan.
Pada perangkap yang stabil, ion-ion akan tetap
terikat karena tidak mampu melepaskan diri dari
ikatan perangkap. Ion-ion itu baru dapat
melepaskan diri apabila mendapatkan energi yang
cukup dari luar. Cara yang paling umum untuk
memberi energi pada elektron tersebut adalah
dengan memberi pemanasan pada fosfor. Energi
panas tadi akan diserap oleh ion dan diubah menjadi
energi kinetik ion untuk keluar dari ikatan
perangkap. Pada bahan fosfor, elektron dan lubang
yang terlepas dari ikatan perangkap tadi akan
bergabung dengan pasangan semula di pusat
luminesensi. Persitiwa ini akan disertai dengan
pancaran cahaya tampak yang disebut cahaya TL.
Jumlah ion yang terperangkap akan
sebanding dengan jumlah pengionan yang terjadi di
dalam fosfor. Sedang jumlah pengionan ini
sebanding pula dengan jumlah energi atau dosis
radiasi yang diserap fosfor. Energi radiasi yang
diserap fosfor tadi dapat dikeluarkan kembali dalam
bentuk pancaran cahaya TL yang intensitasnya
sebanding dengan jumlah energi radiasi yang
diserap sebelumnya. Sebagian besar batuan
mengandung paling tidak satu jenis mineral yang
dapat memancarkan cahaya TL ketika dipanasi.
Informasi TL tetap tersimpan dengan aman dan
baru akan keluar dalam bentuk pancaran cahaya TL
apabila bahan itu mendapatkan pemanasan dari luar
yang cukup tinggi, antara 200 500 C [16]. Oleh
sebab itu, melalui pemanasan dan pengukuran

intensitas TL, dosis radiasi yang diterima fosfor


dapat diketahui.

PEMANFAATAN FENOMENA TL
Semula pemanfaatan fenomena TL dikaitkan
dengan teknik penanggalan dalam bidang geologi
dan arkheologi [17]. Pada awal tahun 1960-an
muncul beberapa publikasi ilmiah mengenai
penanggalan temuan-temuan arkheologi menggunakan fenomena TL, terutama penanggalan tembikar.
Di Jerman, metode ini telah digunakan untuk
penanggalan tembikar yang ditemukan terkubur di
daerah Lubeck. Melalui pengukuran TL dalam
sampel kwarsa diperkirakan tembikar tersebut
dibuat pada tahun 1244 ( 24 tahun) Masehi.
Penanggalan temuan tembikar kuno yang terkubur
di Lejre, Denmark, juga dilakukan menggunakan
metode TL. Diperkirakan benda tersebut dibuat
pada tahun 1030 ( 25 tahun) Masehi. Tembikar
yang ditemukan di situs Sringaverapura di India
dapat diketahui usianya (diperkirakan dibuat antara
tahun 2660-3015 Sebelum Masehi) setelah
dilakukan
analisa
menggunakan
metode
penanggalan TL [17].
Saat ini pemanfaatan fenomena TL sudah
meluas, antara lain dalam teknik nuklir untuk
pemantauan radiasi [18]. Metode pengukuran
radiasi dengan memanfaatkan fenomena TL
pertama kali diperkenalkan pada tahun 1953.
Namun pada saat itu belum sepenuhnya diketahui
bahwa fenomena TL ini dapat dikembangkan untuk
tujuan pemantauan radiasi. Prinsip dasar dalam
pemanfaatan fenomena TL untuk pemantauan
radiasi adalah bahwa akumulasi dosis radiasi yang
diterima bahan akan sebanding dengan intensitas
pancaran cahaya TL dari bahan itu. Dalam kegiatan
rutin pemantauan dosis radiasi, fenomena TL dapat
dimanfaatkan untuk pemantauan radiasi gamma,
beta maupun neutron. Oleh sebab itu, di pasaran
dapat ditemukan berbagai jenis dosimeter TL yang
dibuat dari berbagai jenis bahan disesuaikan dengan
tujuan penggunaannya.
Ada delapan senyawa organik yang umumnya
dimanfaatkan pancaran cahaya TL nya karena
memiliki karakteristik sesuai dengan yang
dibutuhkan dalam dosimetri radiasi. Dari delapan

Fenomena termoluminesensi sebagai perunut


dalam kecelakaan radiasi (M. Thoyib Thamrin, Mukhlis Akhadi dan Dyah D.K.)

53

IPTEK ILMIAH POPULER

unsur tersebut, empat diantaranya memiliki nomor


atom efektif (Z) yang rendah (setara dengan Z
efektif jaringan tubuh manusia), yaitu : lithium
fluorida (LiF), lithium borat (Li2B4O7), beryllium
oksida (BeO), dan magnesium borat (MgB4O7)
[19]. Sedang empat senyawa lainnya merupakan
material yang tidak ekivalen dengan jaringan tubuh
manusia atau merupakan bahan dengan Z tinggi,
yaitu : calsium sulfat (CaSO4), calsium fluorida
(CaF2), aluminium oksida (Al2O3) dan magnesium
orthosilikat (Mg2SiO4).
Ada
beberapa
keuntungan
dalam
pemanfaatan fenomena TL untuk pemantauan
radiasi, yaitu : mudah dalam pengoperasian,
evaluasi dosis dapat dilakukan lebih cepat
dibanding dosimeter lainnya, mampu memantau
radiasi dengan rentang dosis yang cukup lebar,
dapat dipakai ulang dan tidak peka terhadap faktorfaktor lingkungan [20]. Namun demikian, dosimeter
yang bekerjanya memanfaatkan fenomena TL juga
memiliki kelemahan karena data dosis langsung
hilang setelah proses pembacaan, sehingga tidak
bisa dilakukan pembacaan ulang apabila ditemukan
hal-hal yang meragukan. Untuk kondisi tertentu,
informasi penerimaan dosis dapat diperoleh
kembali/digali dengan memanfaatkan fenomena
phototransfer thermoluminesensi (PTTL) yang
masih tersimpan di dalamnya [19]. Cara yang
paling umum dalam pemanfaatan fenomena ini
adalah dengan menyinari bahan dengan sinar ultra
violet (UV) diteruskan dengan pembacaan
intensitas TL untuk yang kedua kalinya.
Selain untuk pemantauan rutin penerimaan
dosis perorangan para pekerja radiasi, fenomena TL
dapat pula dimanfaatkan sebagai dosimeter
kecelakaan. Jika dalam pemantauan dosis
perorangan tingkat proteksi digunakan fosfor yang
hanya peka terhadap radiasi dosis rendah, maka
dalam kasus kecelakaan digunakan dosimeter yang
mampu memantau radiasi dengan dosis yang sangat
tinggi. Di samping itu, dosimeter yang digunakan
tidak mengalami kerusakan akibat irradiasi dosis
tinggi. Ada jenis fosfor tertentu seperti pasir SiO2
yang hanya peka terhadap radiasi dosis sangat
tinggi berorde kilo Gray (kGy), sehingga cocok
digunakan sebagai dosimeter untuk pemantauan
radiasi dosis sangat tinggi dalam kecelakaan radiasi
[10].
54

Dalam upaya merunut kembali dosis radiasi


yang diterima para korban bom atom di Hiroshima
dan Nagasaki, telah dilakukan suatu penelitian
selama sekitar lima tahun oleh ilmuwan Jepang dan
Amerika Serikat sehingga diperoleh sistim
dosimetri fisika DS86 [21]. Program perhitungan
itu didukung dengan data-data baru hasil
perhitungan dosis radiasi gamma melalui
pengukuran cahaya TL yang diperoleh dari
pengukuran atap-atap genteng serta evaluasi
kembali hasil pengukuran radioaktivitas hasil
aktivasi neutron. Di dalam genteng terdapat bahan
yang dapat memperlihatkan fenomena TL seperti
SiO2 sehingga dapat menyimpan informasi
penerimaan dosis dan dapat dipakai sebagai perunut
untuk mengevaluasi dosis gamma dari ledakan bom
atom tersebut.
Selain dari pasir SiO2, informasi mengenai
dosis radiasi pada suatu kasus kecelakaan dapat
pula diperoleh dari fosfor-fosfor lain yang mampu
memperlihatkan fenomena TL dan ditemukan di
sekitar lokasi kecelakaan. Fosfor-fosfor tersebut
adalah berbagai jenis mineral yang ditemukan
dalam tembikar. Tembikar bukan merupakan bahan
yang homogen baik secara fisik maupun
kepekaannya terhadap radiasi. Pada umumnya,
tembikar tersusun atas matriks tanah liat dengan
diameter kurang dari 10 mikron, yang tertempeli
banyak kwarsa dan sedikit zirkon dengan ukuran
hingga beberapa mm [13]. Tanah liat sendiri hanya
memiliki kepekaan yang sangat rendah terhadap
radiasi, namun kwarsa yang menempel padanya
mempunyai kepekaan TL yang relatif tinggi. Zirkon
yang juga menempel pada tanah liat jumlahnya
sangat sedikit, tetapi mempunyai kepekaan TL yang
relatif tinggi, meskipun cukup bervariasi antara satu
butir dengan butir lainnya.
Butiran-butiran kwarsa dengan diameter
antara 100-150 mikron pada tembikar dapat
dipisahkan dari matrik tanah liat. Dalam butiran
kwarsa praktis tidak mengandung radionuklida
alamiah, sehingga di dalam kwarsa tidak
menyimpan informasi TL dari penyinaran alfa oleh
sumber-sumber alamiah yang terdapat di dalam
matrik tembikar. Karena terbatasnya daya tembus
sinar alfa, maka dosis dari sinar ini hanya
terdeposisi pada permukaan lapisan tipis kwarsa.
Pengelupasan lapisan permukaan kwarsa melalui

Buletin ALARA, Volume 4 (Edisi Khusus), Agustus 2002, 51 57

IPTEK ILMIAH POPULER

etsa kimia asam HF akan menghilangkan informasi


TL dari penyinaran alfa di permukaan kristal [17].
METODE PERHITUNGAN DOSIS
RADIASI
Pengukuran dosis radiasi yang diterima
sampel dosimeter dapat dilakukan dengan cara
membaca intensitas TL melalui pemanasan bahan.
Cahaya TL yang keluar merupakan akibat dari
pemanasan luar, sehingga instrumen sistim
pembaca intensitas TL dirancang agar mampu
memberikan pemanasan pada sampel dosimeter dan
mendeteksi cahaya TL yang dipancarkannya [16].
Sistim pada alat baca yang dipakai untuk deteksi
cahaya TL menggunakan tabung pengganda cahaya
(photomultiplier) dan memiliki puncak kepekaan
terhadap spektrum akhir warna biru cahaya tampak.
Oleh sebab itu, fosfor yang memancarkan cahaya
TL pada daerah warna biru atau ultra violet
memiliki kepekaan yang tinggi terhadap radiasi.
Hasil
bacaan
intensitas
TL
dapat
dikonversikan menjadi dosis radiasi yang diterima
sampel apabila kepekaan sampel terhadap radiasi
diketahui. Kepekaan (S) didifinisikan sebagai
perbandingan antara intensitas TL (ITL) per dosis
radiasi (D) yang diterima bahan, atau secara
matematis dirumuskan dengan :
S = ITL / D

(1)

Penyinaran
di
laboratorium
dapat
dimanfaatkan untuk menentukan kepekaan bahan
terhadap radiasi. Apabila bahan disinari dengan
dosis yang telah diketahui harganya dan intensitas
TL hasil penyinaran dibaca dengan TL-reader,
maka kepekaan kristal terhadap radiasi dapat
dihitung secara langsung menggunakan persamaan
(1). Sebaliknya, dengan mengetahui nilai S suatu
bahan yang diperoleh melalui penelitian di
laboratorium, maka persamaan (1) dapat pula
dipakai untuk menghitung dosis total yang diterima
oleh bahan (D = ITL x S).
Beberapa hal perlu diperhatikan dalam
pemanfaatan fenomena TL untuk pengukuran
radiasi, yaitu : variasi kepekaan fosfor terhadap

radiasi, masalah linieritas hubungan antara dosis


dan respon TL, , pemudaran intensitas TL terhadap
waktu dan serapan diri intensitas TL oleh bahan
fosfor [22].
Variasi kepekaan merupakan hal yang tidak
dapat dihindari, meskipun sampel dosimeter
memiliki spesifikasi bentuk dan ukuran yang sama
serta terbuat dari jenis bahan yang sama pula.
Berbeda jenis fosfor akan berbeda pula
kepekaannya terhadap radiasi. Variasi kepekaan ini
merupakan salah satu sumber penyebab terjadinya
kesalahan dalam evaluasi dosis. Tinggi rendahnya
kesalahan bergantung pada tinggi rendahnya variasi
kepekaan tersebut. Untuk memperkecil kesalahan
akibat ketidak seragaman kepekaan TL ini, maka
bahan fosfor yang dikalibrasi harus sama jenisnya
dengan bahan fosfor yang akan diukur intensitas TL
nya.
Adakalanya bahan dosimeter hanya memiliki
daerah linier pada rentang dosis tertentu. Linieritas
hubungan antara D dan ITL perlu diketahui
mengingat semua jenis bahan dosimeter
mempunyai titik jenuh yang mengakibatkan
kenaikan penerimaan dosis tidak diimbangi secara
proporsional dengan kenaikan respon yang terbaca
dari dosimeter. Apabila hubungan antara dosis dan
respon TL tidak linier, maka perhitungan dosis
radiasi hanya dapat dilakukan menggunakan kurva
kalibrasi yang menunjukkan hubungan antara dosis
dan respon TL. Jika hubungan antara keduanya
cukup linier, maka evaluasi dosis dapat dilakukan
menggunakan faktor kalibrasi (FK) yang
didifinisikan sebagai seperkepekaan, atau secara
matematis dirumuskan dengan :
FK = 1/S = D / ITL

(2)

Kesalahan hasil evaluasi juga dapat


disebabkan oleh pemudaran. Peristiwa pemudaran
akan mengakibatkan terjadinya pengurangan hasil
bacaan intensitas TL sehingga hasil evaluasi dosis
yang diperoleh lebih rendah dibandingkan dengan
dosis sebenarnya yang diterima fosfor. Untuk
menghindari kesalahan akibat pemudaran ini, maka
dalam perhitungan dosis perlu disertakan koreksi
pemudaran yang dirumuskan dengan :

Fenomena termoluminesensi sebagai perunut


dalam kecelakaan radiasi (M. Thoyib Thamrin, Mukhlis Akhadi dan Dyah D.K.)

55

IPTEK ILMIAH POPULER

D = Dh / (1 f)

(3)

Dengan D adalah dosis sebenarnya yang diterima


fosfor, Dh adalah dosis hasil perhitungan dan f
adalah faktor pemudaran intensitas TL.
Informasi penerimaan dosis radiasi oleh
fosfor diperoleh melalui pengukuran cahaya tampak
yang berdaya tembus sangat rendah, sedang
fosfornya sendiri umumnya berupa zat padat yang
tidak bening. Karena itu, informasi TL sangat
mudah terserap oleh materi fosfornya sendiri.
Peristiwa ini lazim disebut sebagai serapan diri
intensitas TL. Terjadinya serapan diri pada fosfor
merupakan masalah tersendiri yang perlu
mendapatkan perhatian. Bertambah tebalnya sampel
dosimeter berarti bertambah tebal pula medium
yang harus diterobos oleh cahaya TL untuk
mencapai sistim pencacah. Hal ini berarti semakin
besar pula kemungkinan terserapnya cahaya TL
oleh bahan dosimeter. Jadi faktor geometri fosfor
juga akan berpengaruh terhadap hasil bacaan
intensitas TL. Kesalahan dalam pengukuran
intensitas TL akan berakibat pada kesalahan
perhitungan dosis yang diterima fosfor. Oleh sebab
itu, bentuk geometri dari fosfor yang dikalibrasi
harus sama dengan bentuk fosfor yang diukur
intensitas TL nya.

KESIMPULAN
Ada
banyak
bahan
fosfor
yang
memperlihatkan fenomena TL dan dapat ditemukan
di lingkungan. Sinyal TL akan tetap tersimpan
secara aman di dalam fosfor dan baru akan
dikeluarkan apabila fosfor mendapatkan pemanasan
yang tinggi dari luar. Di antara bahan-bahan
tersebut ada yang hanya peka terhadap radiasi
dengan dosis sangat tinggi. Bahan itu dapat
dimanfaatkan sebagai dosimeter kecelakaan untuk
mengevaluasi dosis radiasi pada suatu kasus
kecelakaan nuklir yang mengakibatkan terjadinya
penyinaran radiasi dengan dosis yang sangat tinggi,
sekaligus
untuk
memperkirakan
dampak
radiologisnya.
Kecelakaan
radiasi
merupakan
suatu
peristiwa yang sangat tidak diharapkan. Oleh sebab
itu, setiap sumber untuk keperluan irradiasi sudah
56

didisain sedemikian rupa sehingga kasus


kecelakaan yang mengakibatkan penyinaran radiasi
dosis tinggi hampir tidak ada. Meskipun demikian,
sekecil apapun peluang terjadinya kecelakaan
radiasi semacam itu perlu juga diantisipasi. Salah
satunya adalah dengan mempelajari karakteristik
thermoluminesensi berbagai jenis fosfor yang ada di
lingkungan di sekitar instalasi nuklir. Dengan
adanya data karakteristik TL itu, fasfor-fosfor yang
ada di sekitar instalasi nuklir dapat langsung
digunakan sebagai dosimeter perunut yang dapat
memberikan informasi berharga jika terjadi
kebocoran radiasi dosis tinggi.

DAFTAR PUSTAKA
1. IAEA SS NO. 75-INSAG-4, Safety Culture, A
Report by the International Nuclear Safety
Advisory Group, IAEA, Vienna (1991).
2. CLARKE, R.H., Development in the Work of
the International Commission on Radiological
Protection of Inportance for Radiation
Protection, 1996 International Congress on
Radiation Protection (Proceedings, Vol. 1),
Vienna, Austria (1996), pp. 49-56.
3. EYRE, B.L., Industrial Application of
Radiation, Radiat. Prot. Dosim., Vol 68 (1/2),
Nuclear Technology Publishing (1996), pp. 6372.
4. ALLISY, A., THOMAS, R.H. and JACOB, P.,
The ICRU Programme in Radiation Protection
Past, Present and Future, 1996 International
Congress
on
Radiation
Protection
(Proceedings, Vol. 1), Vienna, Austria (1996),
pp. 59-66.
5. NENOT, J.C., Radiation Accidents, Radiat.
Prot. Dosim., Vol 68 (1/2), Nuclear Technology
Publishing (1996), pp. 111-118.
6. INTERNATIONAL
ATOMIC
ENERGY
AGENCY, The Radiological Accident in San
Salvador, IAEA, Vienna (1990).
7. INTERNATIONAL
ATOMIC
ENERGY
AGENCY, The Radiological Accident in Soreq,
IAEA, Vienna (1993).

Buletin ALARA, Volume 4 (Edisi Khusus), Agustus 2002, 51 57

IPTEK ILMIAH POPULER

8. SCOTT, B., The Determination and


Optimization of Multiple Measurements for
Activity Calculation, 1996 International
Congress
on
Radiation
Protection
(Proceedings, Vol. 2), Vienna, Austria (1996),
pp. 545-547.
9. FURETTA, C., TL Materials and Their
Properties, Personnal Thermoluminescence
Dosimetry (Ed. : M. Oberhover), Report EUR
16 277 EN, Luxembourg (1995) pp. 365-374.
10. THAMRIN, M.T. dan AKHADI, M.,
Karakteristik Thermoluminesensi Dosimeter
SiO2, Risalah Pertemuan Ilmiah Penelitian dan
Pengembangan Aplikasi Isotop dan Radiasi,
P3TIR-BATAN, Jakarta (23-24 Pebruari 1999)
Hal. 209-214.
11. PASHCHENKO, L.P., a Simple Calibration
Method for Thermoluminescence Detectors
Used in Envirenmental Measurements, 1996
International Congress on Radiation Protection
(Proceedings, Vol. 2), Vienna, Austria (1996),
pp. 551-553.
12. DELGADO,
A.,
Basic
Concepts
of
Thermoluminescence, Personnal Thermoluminescence Dosimetry (Ed. : M. Oberhover),
Report EUR 16 277 EN, Luxembourg (1995)
pp. 47-69.
13. McKINLAY, Thermoluminescence Dosimetry,
Medical Physics Handbooks 5, Adam Hilger
Ltd., Bristol, Norwich NR 6 6SA (1981).
14. DEME, S., OSVAY, M., APATHY, I. and
FEHER, I., Comparison of Calibration and In
Situ Evaluation of Envirenmental TL
Desemeters, 1996 International Congress on
Radiation Protection (Proceedings, Vol. 2),
Vienna, Austria (1996), pp. 567-569.
15. NIETO, J.A., Luminescence Dosimetry :
Theory and Application, Derechos Reselvados,
Mexico D.F. (1990).

Dosimetry, Radiat. Prot. Dosim., Vol 54 (3/4),


Nuclear Technology Publishing (1994), pp.
353-356.
17. MEJDAHL, V. and WINTLE, A.G.,
Thermoluminescence
applied
to
Age
Determination in Archeology and Geology,
Thermoluminescence and Thermoluminescent
Dosimetry (volume III), (Ed. : Yigal S.
Horowitz), CRC Press Inc., Boca raton, Florida
(1983) pp. 133-190.
18. SCHARMANN, A., Thermoluminescence
Dosimetry Historical Review, Status Quo and
Perspective, Personnal Thermoluminescence
Dosimetry (Ed. : M. Oberhover), Report EUR
16 277 EN, Luxembourg (1995) pp. 1-19.
19. MAHESS, K.., WENG, P.S. and FURETTA,
C., Thermoluminescence in Solids and Its
Applications, Nuclear Technology Publishing
(1989).
20. BACIU, F., BACIU, A., POPESCU, L. and
GEORGESCU, M., Emergency Planning for the
Romanian CANDU Reactor of Cernavoda, the
Environmental Approach, 1996 International
Congress
on
Radiation
Protection
(Proceedings, Vol. 2), Vienna, Austria (1996),
pp. 625-626.
21. WIDODO, S. dan AKHADI, M., Sistem
Dosimetri 1986 (DS86) Untuk Para Korban
Bom Atom dan Masalahnya, Prosiding
Presentasi Ilmiah Keselamatan Radiasi dan
Lingkungan VI, PSPKR-BATAN, Jakarta (2-3
September 1998) Hal. 76-85.
22. CARRE, A.L.
and
BOUNCIER,
T.,
Envirenmental Measurements Around French
Nuclear Power Plant, 1996 International
Congress
on
Radiation
Protection
(Proceedings, Vol. 2), Vienna, Austria (1996),
pp. 602-603.

16. AKSELROD, M.S., ODEGOV, A.L. and


DURHAM, J.S., Aluminium Oxide Exoelectron

Fenomena termoluminesensi sebagai perunut


dalam kecelakaan radiasi (M. Thoyib Thamrin, Mukhlis Akhadi dan Dyah D.K.)

57

Anda mungkin juga menyukai