Anda di halaman 1dari 28

TUBERKULOSIS (TBC)

Makalah Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah


Farmakoterapi Terminologi Medik

Disusun Oleh:
1. Dessy aryani, S.Farm

(1061321015)

2. Hanung Rizka Agustin, S.Farm

(1061321034)

3. Ratih Septi, S.Farm

(1061321053)

4. Nuryanti, S.Farm

(1061411074)

5. Reni Kusumaningtyas, S.Farm

(1061411084)

6. Siti Zulaikhah, S.Farm

(1061411094)

7. Vika Emilia, S.Farm

(1061411104)

8. Yoel Gunawan, S.Farm

(1061411114)

9. Nuraini, S.Farm

(1061411124)

PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER


SEKOLAH TINGGI ILMU FARMASI YAYASAN PHARMASI
SEMARANG
2014

BAB I
PENDAHULUAN
Tuberkulosis adalah penyakit menular yang disebabkan oleh kuman
berbentuk batang, Mycobacterium tuberculosis. Kuman ini biasanya menyerang
paru-paru (TB paru), tetapi dapat menyerang organ-organ tubuh lainnya (TB
Ekstra paru). Kuman tersebut masuk tubuh melalui udara pernafasan yang masuk
ke dalam paru, kemudian kuman menyebar dari paru ke bagian tubuh lainnya
melalui sistem peredaran darah, sistem saluran limfe, melalui saluran nafas atau
penyebaran langsung ke tubuh lainnya (Handayani, 2002).
Infeksi TBC terjadi pada saat seseorang menghirup droplet yang
mengandung basil TBC. Basil TBC yang terbawa dalam droplet ini akan masuk
dan terhirup sampai di alveoli paru-paru. Basil TBC yang berada di alveoli paruparu ini kemudian akan bermultiplikasi (memperbanyak diri) (Depkes RI, 2005).
Gejala TB paru adalah batu kronik lebih dari 3 minggu, demam, perununan berat
badan, nafsu makan menurun, rasa letih, berkeringat pada waktu malam, nyeri
dada dan batuk darah (Yunihastuti, 2005).
OAT

(Obat Anti tuberculosis) yang dipakai dalam pengobatan TBC

adalah antibotik dan anti infeksi sintetis untuk membunuh kuman Mycobacterium
tuberculosis. Aktivitas OAT didasarkan atas tiga mekanisme, yaitu aktivitas
membunuh bakteri, aktivitas sterilisasi, dan mencegah resistensi. Jenis obat utama
yang digunakan adalah Rifampisin INH Pirazinamid Streptomisin Etambutol
(DepKes RI, 2005).
Tuberkulosis merupakan suatu penyakit kronik yang salah satu kunci
keberhasilan pengobatannya adalah kepatuhan dari penderita (adherence).
Kemungkinan ketidak patuhan penderita selama pengobatan TB sangatlah besar.
Ketidak patuhan ini dapat terjadi karena beberapa hal, diantaranya adalah
pemakaian obat dalam jangka panjang, jumlah obat yang diminum cukup banyak
serta kurangnya kesadaran dari penderita akan penyakitnya. Oleh karena itu perlu
peran aktif dari tenaga kesehatan sehingga keberhasilan terapinya dapat dicapai
(Depkes RI, 2005).

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1
2.1.1

Tinjauan Tuberkulosis
Tuberkulosis
Tuberkulosis atau biasa disingkat dengan TBC adalah penyakit kronis yang

disebabkan oleh infeksi komplek Mycobacterium tuberculosis yang ditularkan


melalui dahak dari penderita TBC kepada individu lain yang rentan (Ginanjar,
2008). Penyakit TBC dapat menyerang pada siapa saja (baik itu pria, wanita, tua,
muda, kaya ataupun miskin) serta dimana saja. TBC merupakan penyakit infeksi
sistemik yang dapat mengenai hampir semua organ tubuh (DepKes RI, 2005).
2.1.2

Patogenesis Tuberkulosis
TBC disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis, yaitu suatu basil gram

positif, berbentuk batang, yang mempunyai sifat khusus yaitu tahan terhadap asam
pada pewarnaan, sehingga disebut sebagai Basil Tahan Asam (BTA). Hal ini
disebabkan karena sel-sel mikroba diliputi oleh semacam lilin (lipid) dan asam
mycolat (mycolic acid), sehingga tubuhnya sukar ditembus oleh zat-zat warna
(http://Lab-Mikrobiologi.com).
TBC akan terjadi jika perkembangbiakan basil TBC ini sudah tidak dapat
dikendalikan oleh sel imun tubuh, akibatnya bersamaan dengan matinya
makrofag, basil TBC akan menyebar kebagian tubuh lain dan menimbulkan
infeksi TBC dibagian tubuh yang terkena (Anonim, 2013).

Gambar 1. Proses terjadinya TBC di alveoli paru-paru


(Anonim, 2013)

2.1.3 Etiologi Tuberkulosis


Infeksi TB sangat mudah menular melalui udara. Bila seorang dengan TB
yang aktif bersin atau batuk, kuman keluar dan dapat terhirup ke dalam saluran
pernapasan orang yang dekat. Kuman TB juga dapat bertahan di udara selama
beberapa jam, walaupun kuman ini cepat mati kalau kena sinar matahari. Bakteri
TB juga dapat menempel pada permukaan, seperti meja. Jadi bila kita menyentuh
permukaan yang tercemar dengan TB dan terus memakai tangan untuk makan
tanpa cuci tangan, bakteri ini juga dapat masuk ke tubuh kita. TB tidak menular
melalui makanan, air, berhubungan seks, transfusi darah atau pun gigitan nyamuk
/ serangga lain (Green, 2006).
Daya penularan dari seorang penderita ditentukan oleh banyaknya kuman
yang dikeluarkan dari paru-parunya. Semakin tinggi derajat positif hasil
pemeriksaan dahak, semakin menular pula penderita tersebut. Bila hasil
pemeriksaan dahak negatif (tidak terlihat kuman), maka penderita tersebut
dianggap tidak menular.
Secara klinis, TBC dapat terjadi melalui infeksi primer dan paska primer.
Infeksi primer terjadi saat seseorang terkena kuman TBC untuk pertama kalinya,
dan timbul peradangan di alveoli paru-paru. Waktu terjadinya infeksi hingga
pembentukan komplek primer adalah sekitar 4-6 minggu (DepKes RI, 2005).
Pada infeksi primer biasanya berlangsung tanpa gejala serius, hanya timbul
batuk dan nafas berbunyi. Tetapi pada orang-orang dengan sistem imun lemah
dapat timbul radang paru-paru hebat, ciri-cirinya berupa batuk kronik dan bersifat
sangat menular. Infeksi paska primer terjadi setelah beberapa bulan atau tahun
setelah infeksi primer. Ciri khas TBC paska primer adalah kerusakan paru-paru
yang luas (DepKes RI, 2005).
2.1.4

Gejala Tuberkulosis
Gejala penyakit TB dapat dibagi menjadi gejala umum dan gejala khusus

yang timbul sesuai dengan organ yang terlibat. Gambaran secara klinis tidak
terlalu khas terutama pada kasus baru, sehingga cukup sulit untuk menegakkan
diagnosa secara klinik.

1. Gejala sistemik/umum
Gejala sistemik yang bisa ditemui adalah seperti, batuk-batuk selama lebih dari 3
minggu (dapat disertai dengan darah), demam tidak terlalu tinggi yang
berlangsung lama, penurunan nafsu makan dan berat badan dan perasaan tidak
enak (malaise) serta lemah.
2. Gejala khusus
Gejala khusus tergantung dari organ tubuh mana yang terkena. Bila terjadi
sumbatan sebagian bronkus (saluran yang menuju ke paru-paru) akibat penekanan
kelenjar getah bening yang membesar, akan menimbulkan suara (mengi), suara
nafas melemah yang disertai sesak. Kalau ada cairan di rongga pleura
(pembungkus paru-paru), timbul keluhan sakit dada. Bila mengenai tulang, maka
akan terjadi gejala seperti infeksi tulang. Pada anak-anak dapat mengenai otak
(lapisan pembungkus otak) dan disebut sebagai meningitis (radang selaput otak)
dan gejalanya adalah demam tinggi, adanya penurunan kesadaran dan kejangkejang.
Pada pasien anak yang tidak menimbulkan gejala, TBC dapat terdeteksi
jika diketahui adanya kontak dengan pasien TBC dewasa. Kira-kira 30-50% anak
yang kontak dengan penderita TBC paru dewasa memberikan hasil uji tuberkulin
(Tes Mantoux) positif. Pada anak usia 3 bulan5 tahun yang tinggal serumah
dengan penderita TBC paru dewasa dengan BTA positif, dilaporkan 30% anak
terinfeksi berdasarkan pemeriksaan serologi/darah (Werdhani, 2008).
2.1.5 Diagnosis Tuberkulosis
1.

Pemeriksaan dahak
a. S(sewaktu).
b. P(pagi).
c. S(sewaktu).
Pada program TBC nasional, penemuan BTA melalui pemeriksaan dahak

mikroskopis merupakan diagnosis utama. Kriteria sputum BTA positif adalah bila
sekurangkurangnya ditemukan tiga batang kuman BTA pada suatu sediaan.
Dengan kata lain diperlukan 5.000 kuman dalam 1 ml sputum (Ink, 2006).

2.

Pemeriksaan citra paru-paru


a. Pada kondisi primary TBC
Pada citra paru-paru akan tampak sarang kapur dan bayangan garis-garis
halus (DepKes RI, 2006).

Citra primary TBC

Gambar 2. Citra Primary TBC


(emedicine.medscape.com)

b. Pada kondisi post primaryTBC


Pada citra paru-paru akan tampak bayangan bercak-bercak, awan-awan,
dan lubang (kavitas). Sarang-sarang yang terlihat biasanya pada bagian atas
paru-paru (DepKes RI, 2006)

Citra post primary TBC

Gambar 3. Citra Post Primary TBC


(emedicine.medscape.com)

3.

Uji tuberkulin
Uji tuberkulin dilakukan dengan tes Mantoux yakni dengan penyuntikan

intra kutan. Setelah 48-72 jam penyuntikan, diukur diameter melintang dari
indurasi yang terjadi (Tjokronegoro, 2001).
4.

Penyuntikan BCG
Bila dalam penyuntikan BCG terjadi reaksi cepat (dalam 3-7 hari) berupa

kemerahan dan indurasi > 5 mm, maka pasien tersebut telah terinfeksi
Mycobacterium tuberculosis (DepKes RI, 2005).
5.

Pemeriksaan BTA secara mikroskopis langsung


Biasanya dilakukan dari bilasan lambung apabila dahak sulit didapat

(DepKes RI, 2005).

Gambar 4. Alur Diagnosis TBC


(DepKes RI, 2005)

2.1.6 Tipe-tipe Klinis Tuberkulosis


1.

Berdasarkan organ yang diserangnya :


a. TBC paru
1) TBC Paru BTA Positif
Jika sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak Sewaktu Pagi
Sewaktu (SPS) hasilnya BTA positif. Atau dapat juga terjadi, spesimen
dahak SPS hasilnya BTA positif dan citra paru-paru menunjukkan
gambaran TBC aktif.
2) TBC Paru BTA Negatif
Jika pemeriksaan 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negatif dan
citra paru-paru menunjukkan gambaran TBC aktif.
b. TBC Ekstra Paru
1) TBC Ekstra Paru Ringan
Misalnya: TBC kelenjar limpa, pleuritis eksudativa unilateral, tulang
(kecuali tulang belakang), sendi, dan kelenjar adrenal.
2) TBC EkstraParu Berat
Misalnya: meningitis, millier, perikarditis, peritonitis, pleuritis
eksudativa duplex, TBC tulang belakang, TBC usus, TBC saluran
kencing dan alat kelamin.

2.

Berdasarkan riwayat pengobatan penderita:


a. Kasus Baru.
b. Kambuh (Relaps).
c. Pindahan (Transfer In).
d. Lalai (Pengobatan setelah default/drop-out).
e. Gagal.
f. Kronis. (DepKes RI, 2005).

2.2 Tujuan Terapi


Pengobatan TB bertujuan untuk :
1. menyembuhkan pasien
2. mencegah kematian
3. mencegah kekambuhan

4. memutuskan rantai penularan


5. mencegah terjadinya resistensi kuman terhadap OAT
2.2.1

Strategi Terapi

A. Prinsip pengobatan
Pengobatan TB dilakukan dengan prinsip - prinsip sebagai berikut:
1. Obat Anti Tuberkulosis harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa
jenis obat, dalam jumlah cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori
pengobatan.
Jangan gunakan OAT tunggal (monoterapi). Pemakaian OAT-Kombinasi
Dosis Tetap (OAT-KDT) lebih menguntungkan dan sangat dianjurkan.
2. Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan pengawasan
langsung (DOT = Directly Observed Treatment) oleh seorang Pengawas
Menelan Obat (PMO).
3. Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap awal (intensif) dan
lanjutan.
a) Tahap awal (intensif)
-

Pada tahap awal (intensif) pasien mendapat obat setiap hari dan perlu diawasi
secara langsung untuk mencegah terjadinya resistensi obat.

Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya


pasien menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu.

Sebagian besar pasien TB BTA positif menjadi BTA negatif (konversi) dalam
2 bulan.
b) Tahap Lanjutan

Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam
jangka waktu yang lebih lama

Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persisten sehingga


mencegah terjadinya kekambuhan.

2.3 Terapi Tuberkulosis


Pengendalian atau penanggulangan TB yang terbaik adalah mencegah agar
tidak terjadi penularan maupun infeksi. Pencegahan TB pada dasarnya adalah :
1) Mencegah penularan kuman dari penderita yang terinfeksi

2) Menghilangkan atau mengurangi faktor risiko yang menyebabkan terjadinya


penularan.
Pencegahan dilakukan dengan cara mengurangi atau menghilangkan faktor
risiko, yakni pada dasarnya adalah mengupayakan kesehatan perilaku dan
lingkungan, antara lain dengan pengaturan rumah agar memperoleh cahaya
matahari, mengurangi kepadatan anggota keluarga, mengatur kepadatan
penduduk,

menghindari

meludah

sembarangan,

batuk

sembarangan,

mengkonsumsi makanan yang bergizi yang baik dan seimbang.


OAT yang dipakai dalam pengobatan TBC adalah antibotik dan anti
infeksi sintetis untuk membunuh kuman Mycobacterium tuberculosis. Aktivitas
OAT didasarkan atas tiga mekanisme, yaitu aktivitas membunuh bakteri, aktivitas
sterilisasi, dan mencegah resistensi (DepKes RI, 2005).
Regimen pengobatan TBC mempunyai kode standar yang menunjukkan
tahap dan lama pengobatan, jenis obat OAT, cara pemberian (harian atau selang)
dan kombinasi OAT dengan dosis tetap. Contoh: 2HRZE/4H3R3 atau
2HRZES/5HRE.
Kode huruf tersebut adalah akronim dari nama obat yang dipakai, yakni :
H = Isoniazid
R = Rifampisin
Z = Pirazinamid
E = Etambutol
S = Streptomisin
Sedangkan angka yang ada dalam kode menunjukkan waktu atau frekuensi.
Angka 2 didepan seperti pada 2HRZE, artinya digunakan selama 2 bulan, tiap hari
satu kombinasi tersebut, sedangkan untuk angka dibelakang huruf, seperti pada
4H3R3 artinya dipakai 3 kali seminggu (selama 4 bulan).
Sebagai contoh, untuk terapi TBC kategori I dipakai 2HRZE/4H3R3, artinya yaitu
pada tahap awal/intensif (2HRZE), lama pengobatan 2 bulan, masing-masing
OAT (HRZE) diberikan setiap hari. Pada tahap lanjutan (4H3R3), lama
pengobatan 4 bulan, masing masing OAT (HR) diberikan 3 kali seminggu
(DepKes RI, 2005).

2.3.1

Kondisi khusus yang harus diperhatikan

1.

Wanita hamil.

2.

Ibu menyusui dan bayinya.

3.

Wanita penderita TBC pengguna kontrasepsi.

4.

Penderita TBC dengan infeksi HIV/AIDS.

5.

Penderita TBC dengan hepatitis akut.

6.

Penderita TBC dengan penyakit hati kronik.

7.

Penderita TBC dengan gangguan ginjal.

8.

Penderita TBC dengan diabetes mellitus (DepKes RI, 2005).

2.3.2

Obat obat anti tuberkulosis (OAT)

1. Rifampisin
Rifampisin adalah antibiotik derivat semi sintetis dari rifamisin B yang
dihasilkan oleh Streptomyces mediterranei. Rifampisin berkhasiat bakterisid luas
terhadap fase pertumbuhan M.tuberculosis. Mekanisme kerja Rifampisin yaitu
berdasarkan perintangan spesifik dari suatu enzim bakteri RNA-polymerase,
sehingga sintesis RNA bakteri terganggu (Tjay, 2002).
Rifampisin adalah suatu penginduksi yang kuat untuk enzim sitokrom P450. Adanya Rifampisin dapat mengakibatkan turunnya konsentrasi serum obatobatan yang dimetabolisme olehnya. Obat-obatan yang berinteraksi dengan
Rifampisin diantaranya adalah protease inhibitor (misalnya saquinavir dan
ritonavir), antibiotika makrolida, levotiroksin, noretindron, warfarin, siklosporin,
fenitoin, verapamil, diltiazem, digoxin, nortriptilin, alprazolam, diazepam,
midazolam, triazolam dan beberapa obat lainnya (Tjay, 2002).
Efek samping dari penggunaan Rifampisin yaitu mual, muntah, anoreksia,
diare, gangguan fungsi hati, urtikaria, ruam, udem, kelemahan otot, miopati,
warna kemerahan pada urin, saliva dan cairan tubuh lainnya. (DepKes RI, 2006).
Rifampisin tidak boleh digunakan pada keadaan sirosis, insufisiensi hati, pecandu
alkohol, dan pada ibu hamil (Wattymena, 1993). Tetapi jika memang diperlukan,
Rifampisin dapat diberikan pada wanita hamil, namun perlu diperhatikan bahwa

penggunaannya pada minggu-minggu akhir kehamilan dapat menimbulkan


pendarahan postnatal pada ibu dan bayinya, untuk pencegahannya dapat
diberikan fitomenadion (vitamin k). Rifampisin mencapai air susu ibu (ASI),
namun ibu diperbolehkan menyusui bayinya (Tjay, 2002).
Sediaan dasar dari Rifampisin adalah tablet dan kapsul 300 mg, 450 mg, dan
600 mg. Untuk dewasa, dosis yang diberikan adalah 450 mg satu kali sehari, atau
600 mg 23 kali seminggu. Untuk bayi dan anak-anak, umumnya dosis diberikan
berdasarkan berat badan, yaitu 7,5 15 mg per kg berat badan, dan diberikan satu
kali sehari maupun 2-3 kali seminggu. Berdasarkan anjuran Ikatan Dokter Anak
Indonesia, dosis Rifampisin yang diberikan adalah 75 mg untuk anak dengan berat
badan kurang dari 10 kg, 150 mg untuk anak dengan berat badan 1020 kg, dan
300 mg untuk anak dengan berat badan 20 -32 kg (DepKes RI, 2005).

2. Isoniazid (INH)
Isoniazid merupakan derivat dari asam nikotinat. INH berkhasiat
tuberkulostatis paling kuat terhadap M.tuberculosis pada fase dormant dan
bersifat bakterisid terhadap basil yang sedang tumbuh pesat. Mekanisme kerjanya
berdasarkan terganggunya sintesa mycolic acid, yang diperlukan untuk
membangun dinding bakteri (Tjay, 2002).
INH merupakan obat yang digunakan dalam berbagai terapi TBC dan selalu
dalam bentuk multipel terapi dengan Rifampisin dan Pirazinamida. Untuk
profilaksis, digunakan sebagai obat tunggal bagi orang-orang yang berhubungan
dengan pasien TBC terbuka (Tjay, 2002). INH adalah inhibitor kuat untuk enzim
sitokrom P-450, tetapi mempunyai efek minimal pada enzim CYP3A. Pemakaian
INH bersamaan dengan obat-obat tertentu, mengakibatkan menurun atau
meningkatnya konsentrasi obat tersebut dan dapat menimbulkan risiko toksik
(DepKes RI, 2005).
Penggunaan INH bersamaan dengan isofluran, parasetamol, rifampisin dan
karbamazepin, dapat menyebabkan hepatotoksisitas. Sedangkan pada penggunaan
bersamaan dengan antasida dan adsorben, menimbulkan adanya penurunan
absopsi obat-obat tersebut. Penggunaan INH bersamaan dengan sikloserin, akan

menimbulkan peningkatan toksisitas pada susunan saraf pusat. INH juga


berpotensi menghambat metabolisme karbamazepin, etosuksamid, dan diazepam,
serta menyebabkan kenaikan kadar plasma teofilin (DepKes RI, 2005).
Efek samping yang ditimbulkan dari penggunaan obat ini adalah mual,
muntah, neuritis perifer, neuritis optik, kejang, hiperglikemia, dan ginekomastia.
Selain itu dapat timbul hipersensitifitas pada orang-orang tertentu berupa eritema
multiforme, demam, purpura, agranulositosis. Efek samping hepatitis juga dapat
terjadi terutama pada usia lebih dari 35 tahun (DepKes RI, 2006). Untuk
mencegah efek samping INH terutama neuritis, dapat diberikan Vitamin B6
(piridoksin) 10mg per hari (Mutschler, 1991).
Isoniazid merupakan kontraindikasi pada keadaan psikosis, epilepsi, dan
hepatitis akut (Mutschler, 1991). Sediaan dasar Isoniazid adalah tablet dengan
nama generik Isoniazida 100 mg dan 300 mg per tablet dan dengan nama lain
Isoniazida yaitu asam nikotinat hidrazida, isonikotinil hidrazida, atau INH. Untuk
pencegahan, dosis yang digunakan pada pasien dewasa adalah 300 mg satu kali
sehari. Pada anak-anak dosisnya adalah 10 mg per kg berat badan sampai 300 mg,
satu kali sehari.
Dalam kombinasi dengan OAT lainnya, dosis yang dipakai untuk pasien
dewasa adalah 300 mg satu kali sehari, atau 15 mg per kg berat badan sampai
dengan 900 mg, kadang-kadang 2 kali atau 3 kali seminggu. Untuk anak dengan
dosis 10-20 mg per kg berat badan atau 2040 mg per kg berat badan sampai 900
mg, 2 atau 3 kali seminggu (DepKes RI, 2005).

3. Pirazinamida
Analog pirazin dari nikotinamida ini bekerja bakterisid (pada pH 5-6) atau
bakteriostatis,

dengan

spektrum

kerja

sempit

dan

hanya

meliputi

M.tuberculosis.Mekanisme kerjanya berdasarkan pada proses perubahannya


menjadi asam Pirazinamidase yang berasal dari basil TBC. Pada saat pH dalam
makrofag diturunkan, maka kuman yang berada disarang infeksi yang menjadi
asam akan mati. Obat ini khusus digunakan pada fase intensif, pada fase
pemeliharaan hanya digunakan bila terdapat multi resisten (Tjay, 2002).

Efek samping yang dapat ditimbulkan pada penggunaan obat ini adalah
hepatotoksisitas, termasuk demam anoreksia, hepatomegali, ichterus, gagal hati,
mual, muntah, anemia sideroblastik, dan urtikaria. Pengobatan harus segera
dihentikan bila timbul tanda-tanda kerusakan hati (DepKes RI, 2006).
Pirazinamida mutlak tidak dapat diberikan pada penderita dengan gangguan hati
(Wattymena, 1993).
Sediaan dasar dari Pirazinamida adalah Pirazinamid 500 mg per tablet.
Dosis pirazinamid untuk dewasa dan anak adalah 1530 mg per kg berat badan,
satu kali sehari atau 5070 mg per kg berat badan 23 kali seminggu (DepKes RI,
2005).

4. Etambutol
Derivat etilendiamin ini berkhasiat spesifik terhadap M.tuberculosis. Kerja
bakteriostatisnya sama dengan Isoniazid. Tetapi pada dosis terapi, Etambutol
kurang efektif apabila dibandingkan dengan obat-obat primer lainnya. Mekanisme
kerjanya berdasarkan penghambatan sintesa RNA pada kuman yang sedang
membelah, juga menghindarkan terbentuknya mycolic acidpada dinding sel (Tjay,
2002).
Interaksi obat dapat terjadi apabila Etambutol digunakan bersama dengan
garam aluminium seperti dalam obat maag, akibatnya dapat menunda dan
mengurangi absorpsi Etambutol. Jika memang memerlukan adanya garam
alumunium maka sebaiknya penggunaannya bersama Etambutol diberi jarak
beberapa jam (Tjay, 2002).
Efek samping yang dapat timbul dari penggunaan obat ini adalah neuritis
optik, buta warna merah atau hijau, dan neuritis perifer (DepKes RI, 2006).
Reaksi toksik ini akan timbul pada dosis besar (diatas 50mg per kg berat badan
per hari) dan bersifat reversibel apabila pengobatan segera dihentikan, tetapi dapat
menimbulkan kebutaan apabila pemberian Etambutol dilanjutkan (Tjay, 2002).
Etambutol merupakan kontraindikasi terhadap keadaan ginjal yang rusak parah
dan pada penyakit saraf mata (Mutschler, 1991).

Sediaan dasar dari Etambutol adalah tablet dengan nama generik EtambutolHCl 250 mg atau 500 mg per tablet. Untuk dewasa dan anak diatas 13 tahun, dosis
yang diberikan adalah 15-25 mg per kg berat badan, satu kali sehari. Untuk
pengobatan awal diberikan dosis 15 mg per kg berat badan, dan pengobatan
lanjutan 25 mg per kg berat badan. Obat ini tidak diberikan untuk anak dibawah
13 tahun dan bayi (DepKes RI, 2005).

5. Streptomisin
Streptomisin adalah suatu aminoglikosida yang diperoleh dari Streptomyces
griseus. Senyawa ini berkhasiat bakterisid terhadap banyak kuman gram positif
dan gram negatif, termasuk M.tuberculosis. Mekanisme kerjanya berdasarkan
penghambatan sintesa protein kuman dengan jalan pengikatan pada RNA
ribosomal (Tjay, 2002).
Streptomisin berinteraksi dengan kolistin, siklosporin, dan sisplatin yaitu
dengan meningkatkan resiko nefrotoksisitas. Penggunaan Streptomisin bersamaan
dengan kapreomisin, dan vankomisin menyebabkan peningkatan ototoksisitas dan
nefrotoksisitas. Dengan adanya bifosfonat, interaksi yang timbul
peningkatan

risiko

hipokalsemia.

Dengan

diuretika

kuat,

yaitu

Streptomisin

meningkatkan risiko ototoksisitas. Selain itu, Streptomisin melawan efek


parasimpatomimetik dari neostigmen dan piridostigmin (DepKes RI 2005).
Efek samping yang ditimbulkan dari penggunaan Streptomisin adalah
gangguan vestibuler dan pendengaran, nefrotoksisitas, hipomagnesemia pada
pemberian jangka panjang, dan kolitiskarena antibiotik (DepKes RI, 2006).
Kontraindikasi dari Streptomisin adalah pasien dengan penyakit telinga, pasien
dengan fungsi hati yang melemah, dan pada wanita hamil (Dellery,Sir Colin,
1991).
Dosis yang direkomendasikan untuk dewasa adalah 15 mg per kg berat
badan maksimum 1 gram setiap hari, atau 2530 mg per kg berat badan,
maksimum 1,5 gram 23 kali seminggu. Untuk anak, 2040 mg per kg berat
badan maksimum 1 gram satu kali sehari, atau 2530 mg per kg berat badan 23

kali seminggu. Jumlah total pengobatan dengan Streptomisin yaitu tidak lebih dari
120 gram (DepKes RI, 2005).

6. Levofloksasin
Levofloksasin adalah anti bakteri sintetik golongan kuinolon yang
merupakan isomer Ofloksasin. Levofloksasin memiliki efek anti bakteri spektrum
luas. Levofloksasin umum digunakan sebagai OAT sekunder. Mekanisme
kerjanya dengan menghambat sintesis DNA bakteri(Tjay, 2002).
Levofloksasin berinteraksi dengan antasida, dan menyebabkan absorbsinya
berkurang. Efek sampingnya adalah diare, mual, pusing, sakit kepala, keringat
berlebihan, dan dispepsia. Dosis yang direkomendasikan untuk dewasa adalah
500mg-1000mg/hari (Wells. 2006).

BAB III
KASUS DAN PENYELESAIAN

3.1 Kasus
Ny. EA usia 42 th, kurus, keluar dari RS dgn lama rawat inap 5 hari. Anamnesis
pasien sejak awal masuk, batuk keluar darah segar dan mrongkol, demam, kadang
sesak nafas, mual. Diagnosa rawat pasien: TB paru aktif dan DM. Beliau pulang
paksa.
Beliau menebus resepnya di apotek anda

R/ Codein
PCT
Omz

3x
3x1
3x1

Santibi plus

1x2

Rifampicin 300

1x1

Curcuma

3x 1

Neciblok

3x1 C

Metformin

2x1

Evaluasi terapi tsb, apakah ada DRP?


KIE apa yang perlu anda sampaikan kepada beliau, secara detail dan jelas.
3.2 Penyelesaian
1. Subjektif
Pasien : Ny. EA usia 42 th, kurus, keluar dari RS dgn lama rawat inap 5 hari.
Anamnesis pasien sejak awal masuk, batuk keluar darah segar dan mrongkol,
demam, kadang sesak nafas, mual. Diagnosa rawat pasien: TB paru aktif dan DM.
Beliau pulang paksa.
2. Objektif
-

3. Assesment
a. Pasien mengalami batuk keluar darah segar dan merongkol. Batuk Darah
(Haemoptoe) pada TB Paru adalah proses nekrotis, dan jaringan yang mengalami
nekrotis terdapat pada pembuluh darah. Pada tuberkulosis, hemoptoe dapat
disebabkan oleh cavitas aktif atau oleh proses inflamasi tuberkulosis di jaringan
paru.
b. TB paru aktif adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan parenchym paru
tidak termasuk pleura (selaput paru). Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen
dahak SPS hasilnya BTA positif. 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan
foto rontgen dada menunjukkan gambaran tuberkulosis aktif. TB paru aktif dapat
menular ke orang lain.
c. Gejala TB paru adalah batu kronik lebih dari 3 minggu, demam, perununan
berat badan, nafsu makan menurun, rasa letih, berkeringat pada waktu malam,
nyeri dada dan batuk darah.
d. Mual mungkin disebabkan karena pasien mengalami peningkatan asam
lambung, sukralfat digunakan untuk melapisi lambung. Omeprazol tidak
digunakan karena berinteaksi dengan INH meningkatkan efek omeprazol dengan
mempengaruhi enzim metabolisme hati CYP2C19. Kemungkinan interaksi serius
atau mengancam jiwa.
e. Diasumsikan pasien ini baru diketahui menderita TB paru aktif. Dimana pada
pasien baru digunakan pengobatan tahap awal/intensif menggunakan 4 kombinasi
yaitu INH, rifampisin, etambutol, pirazinamid. Perlu penambahan pirazinamid
dengan dosis: untuk dewasa dan anak adalah 1530 mg per kg berat badan satu
kali sehari.
f. Metformin digunakan sebagai antidiabetes. Mekanisme metformin adalah
meningkatkan sensitifitas sel target insulin, menurunkan produksi hepatik
glukosa, menurunkan absorbsi glukosa pada GI, penggunaan metformin efektif
dalam menurunkan HBA1c.
g. Rifampisin dan Santibi plus digunakan sebagai OAT.
h. Curcuma digunakan sebagai penambah nafsu makan karena pada gejala TBC
pasien kehilangan nafsu makan. Selain itu curcuma digunakan sebagai

hepatoprotektor karena adanya Interaksi Rifampisin dan INH dapat meningkatkan


hepatotoksisitas. Untuk mengatasinya, dapat dengan cara memberikan tambahan
vitamin atau obat sebagai hepatoprotektor seperti Curcuma.
i. Paracetamol digunakan untuk mengatasi demam, digunakan jika demam.
j. Codein digunakan untuk antitusiv menekan batuk sampai intensitas batuk
berkurang untuk mempertahankan saluran nafas yang terbuka dan memposisiskan
pasein agar darah tidak masuk ke-paru dengan cara menekan batuk dengan
menggunakan codein.

4. PLAN
Obat
Codein

PCT

OMZ

Santibi plus

Rifampisin 300

Dosis
3x 1/2 tab

3x1

3x1

1x2

1x1

Dosis
seharusnya
Pada batuk 4-6
dd 10-20 mg,
maksimal 120
mg/hari.
3-4 kali sehari 1
tab maksimal 4
g perhari
Dewasa : 20
mg/hari selama
2-4
minggu
Pasien
yang
sukar
disembuhkan
dengan terapi :
40
mg/hari
selama
4-8
minggu
Terapi awal : 1
kali sehari 3
tablet.
Terapi
ulang : 1 kali
sehari 4 tablet.
10 20 mg/kg
BBsehari (maks
600 mg)

Plan
Digunakan

Digunakan jika demam

Tidak digunakan

Digunakan

Digunakan (menanyakan
berat badan pasien)

Curcuma

3x1

Neciblock

3 x1 C

Metformin

2x1

Dewasa 3-4 x
sehari 1 tablet,
untuk
Pencegahan : 1
x sehari 1 tablet
setelah makan.
Orang dewasa :
1000 mg 4 kali
sehari sewaktu
lambung kosong
(1 jam sebelum
makan dan
tidur).
500 mg 2x
sehari bersama
makan

Digunakan

Digunakan

Digunakan

Perlu penambahan pirazinamid dengan dosis: untuk dewasa dan anak


adalah 1530 mg per kg berat badan satu kali sehari (perlu menanyakan
berat badan pasien).

3.3 Evaluasi DRP


Drug Related Problem (DRP)
a. DRP ada indikasi tidak ada obat (butuh obat) : b. DRP tidak ada indikasi ada obat (tidak butuh obat) : c. DRP dosis terlalu tinggi: d. DRP dosis terlalu rendah: Santibi plus pada signa 2 x 1 tapi dosis untuk
Terapi awal : 1 kali sehari 3 tablet. Terapi ulang : 1 kali sehari 4 tablet.
e. DRP efek samping :
Etambutol : Neuritis retrobulbar dengan penurunan ketajaman penglihatan,
skotoma sentralis, buta warna hijau - merah. Hiperurisemi.
INH: neuropati perifer. Kerusakan hati. Gangguan darah. Pellaga
Rifampisin : Warna kemerahan pada cairan tubuh misal air seni.
f. DRP salah obat : g. DRP interaksi obat :

Interaksi antara Rifampisin dan Paracetamol, yaitu yang mengakibatkan


penurunan efek dari Paracetamol. Interaksi ini sifatnya minor (tidak
berbahaya) sehingga masih dapat ditoleransi.

Interaksi antara Rifampisin dan INH. Efek yang terjadi adalah terjadi
peningkatan hepatotoksisitas. Untuk mengatasinya, dapat dengan cara
memberikan tambahan vitamin atau obat sebagai hepatoprotektor seperti
Curcuma,

Interaksi

antara

Rifampisin

dan

Codein,

dengan

efek

peningkatan

metabolisme Codein, penurunan kadar plasma Codein, namun efeknya tidak


signifikan, sehingga masih bisa ditoleransi.
-

Interaksi INH dan parasetamol meningkatkan toksisitas dari parasetamol


dengan mekanisme yang belum diketahui. Interaksi minor dan tidak
signifikan.

Interaksi INH dan Metformin. INH menurunkan efek metformin dengan


mekanisme interaksi tidak spesifik. Interaksi minor dan tidak signifikan.

Interaksi INH dan omeprazol meningkatkan efek omeprazol dengan


mempengaruhi enzim metabolisme hati CYP2C19. Kemungkinan interaksi
serius atau mengancam jiwa . dipantau secara ketat . Gunakan alternatif jika
tersedia .

3.4 KIE
1. KIE penggunaan obat
- Penggunaan rifampisin diminum pada saat perut kosong pagi hari
- Penggunaan santibi plus 2 kali sehari setelah makan pada pagi dan malam hari
- Pirazinamid diminun satu kali sehari setelah makan.
- Penggunaan metformin 2 kali sehari setelah makan
- Parasetamol digunakan jika demam (maksimal 4 g per hari )
- Neciblock digunakan 1 jam sebelum makan
- Codein diminum setelah makan
- Curcuma diminum setelah makan

- OAT (Rifampisin, Santibi plus dan pirazinamid) harus diminum secara teratur ,
pada jam yang sama , tidak boleh terputus dihabiskan sampai pengobatan selesai.
- Diberikan pula konseling kepada keluarga pasien untuk membantu monitoring
kepatuhan pasien dalam pebggunaan obat.
- Jika terlupa minum obat maka penggunaan obat dimulai dari awal, jadi
disarankan agar tidak sampai lupa meminum obat.
2. KIE tentang efek samping obat:
-Rifampisin menyebabkan warna merah pada urine, keringat dan air mata
sehingga pasien tidak perlu panik jika terjadi hal tersebut.
- Karena rifampisin dan INH mempertinggi resiko hepatotoksik maka dijelaskan
kepada pasien untuk segera konsultasi pada dokter dan melakukan cek lab apabila
badan mulai menguning dan urin berwarna gelap.
- Etambutol dapat menyebabkan Neuritis retrobulbar dengan penurunan
ketajaman penglihatan, maka dijelaskan kepada pasien untuk segera konsultasi
pada dokter.
3. KIE untuk mencegah penularan TBC :
- Karena TBC merupakan penyakit menular maka untuk peralatan makan dan
minum pasien harus menggunakan peralatannya sendiri ( tidak berbagi dengan
orang lain ).
- Bila beraktifitas diluar ruangan dianjurkan memakai masker.
- Menutup mulut sewaktu bersin atau batuk
- Tidak meludah disembarang tempat ataujika meludah ditempat yang kena sinar
matahari atau ditempat yang diisi sabun atau karbol/lisol/
- Jemur tempat tidur bekas penderita secara teratur
- Udara ruangan harus bersih bebas dari asap dan memiliki ventilasi yang
memadai,buka jendela lebar-lebaragar agar udara segar dan sianr matahari dapat
masuk.

- Meningkatkan daya tahan tubuh dengan cara mengonsumsi makanan yang


bergizi dan mengandung banyak antioksidan seperti buah apel, stroberi.
4. KIE untuk DM
-Rutin mengontrol kadar gula darah,
-Lakukan cek mata minimal 1 bulan sekali, karena kompliasi dari DM adalah
retinopati selain itu adanya efek samping etambutol yaitu gangguan penglihatan.
-Atur pola makan pada penderita diabetes dengan hindari makanan dan minuman
yang manis, Diet untuk mengatur jumlah asupan makanan Karbohidrat (60-70%) .

TINJAUAN OBAT
No Nama

Komposisi

Dosis

Indikasi

Kontra Indikasi

Efek samping

Codein

Codein 10
mg

Pada batuk 46 dd 10-20


mg,
maksimal
120 mg/hari

Antitusiv,
analgetik
opioid,
narkotika.

Mual, muntah,
konstipasi, dan rasa
mengantuk. Dosis
yang lebih besar
menimbulkan
depresi nafas dan
hipotensi.

Parasetamol

Parasetamol
500 mg

Dewasa 1
Analgetik
tablet 3-4 kali antipiretik
sehari

Depresi nafas
akut,
Alkoholisme
akut, resiko ileus
paralitik,Akut
abdomen,Peningkatan tekanan
cranial atau cidera
kepala
(mengganggu
pernafasan juga
mempengaruhi
respon pupil yang
penting untuk
penilaian
neurologis).
Hipersensitivitas,
Penyakit hati
yang berat

Mual, muntah,
diare, penggunaan
dosis besar dapat
menyebabkan
kerusakan hati.

Omeprazol

Omeprazol
20 mg

Dewasa : 20
mg/hari
selama 2-4
minggu
Pasien yang
sukar
disembuhkan
dengan terapi
: 40 mg/hari
selama 4-8
minggu
Terapi awal :
1 kali sehari
3 tablet.
Terapi ulang
: 1 kali sehari
4 tablet.

Santibi plus

Etambutol
HCl 250
mg,
Isoniazid
100 mg, Vit
B6 6 mg

Rifampisin
300

Tiap kapsul:
mengandun
g
rifampisina
300 mg.

Dewasa:
Terapi
harian: 1020mg / kg /
hari
(maksimum:
600 mg /
hari)

Curcuma

Curcuma
200 mg/tab

Dewasa 3-4 x
sehari 1

Terapi jangka
pendek ulkus
duodenal
&
lambung,
refiuks
esofagitis,
sindroma
ZollingerEllison

Hipersensitifitas
pada omeprazol
atau obat lain
golongan PPI

Tuberkulosis
paru

Pada penderita
dengan gangguan
fungsi ginjal,
epilepsi,
alkoholisme
kronik dan
kerusakan hati.
Neuritis optik.

Membantu
memelihara

Wanita hamil

Gangguan gastritis,
sakit kepala, ruam
kulit, nyeri perut,
diare, mual, muntah
kembung.

Etambutol :
Neuritis retrobulbar
dengan penurunan
ketajaman
penglihatan,
skotoma sentralis,
buta warna hijau merah.
Hiperurisemi.
Isoniazid:
neuropati perifer.
Kerusakan hati.
Gangguan darah.
Pellaga
Pengobatan
Hipersensitif pada Warna merah pd
tuberkulosis
rifampisin
cairan
tubuh,
aktif
dalam
ganguan
GI,
kombinasi
gangguan
SSP,
dengan agen
perubahan
lain
hematologi, roam
kulit,
kelainan
endokrin, anoreksia
Penyakit
kuning/icterus
(kombinasi dengan
INH), hepatotoksik.
-

tablet, untuk
Pencegahan :
1 x sehari 1
tablet setelah
makan.

Neciblok

Tiap 5 ml
mengandun
g Sulkrafat
500 mg

Metformin

Metformin
500 mg/tab

Orang
dewasa :
1000 mg 4
kali sehari
sewaktu
lambung
kosong (1
jam sebelum
makan dan
tidur).
500 mg 2x
sehari
bersama
makan

kesehatan
fungsi hati,
Membantu
memperbaiki
nafsu makan,
Membantu
melancarkan
buang aur
besar
Pengobatan
pendek ulkus
gastrik, ulkus
duodenal,
gastritis
kronik.

DM tipe2

Penderita
yang Konstipasi diare,
hipersensitif
mual gangguan
terhadap
dilambung,
komponen obat pruritus, ruam,
ini.
pusing, mengantuk,
vertigo, nyeri
punggung dan sakit
kepala.

Penderita
Kemahilan dan
laktasi, gangguan
fungsi hati dan
ginjal,
presdiposisi
asidosis laktat

Gangguan lambung
usus, anoreksia,
asidosis laktat,
hipoglikemi,

BAB IV
KESIMPULAN

1. Pasien menderita TB Paru aktif


2. Pengobatan terapi awal pada pasien baru menggunakan 4 kombinasi obat yaitu
INH, Rifampisin, pirazinamid,Etambutol.
3. Pemberian obat yang tidak tepat:OMZ tidak digunakan
4. Obat yang diberikan :
- Codein diberikan 3x1/2 tab
- PCT 3x1 tab digunakan jika demam.
- Santibi plus 2 x1
- Rifampisin 300 1x1
-Curcuma 3 x 1
- Neciblock 3x1 C
- Metformin 2 x 1
- Pirazinamid : dosis 1530 mg per kg berat badan satu kali sehari

BAB V
DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2013. Jumlah Penderita TBC di Indonesia meningkat.Jakarta: Pos


Kota News.
Anonim. 2013. Current Concept of Tuberculosis, New England Journal of
Medicine. Jilid I. (6) : 26-27.
Dellery, Sir Colin. 1991. Therapeutic Drug.Vol II. New York and Madrid:
Churchil Livingstone.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2004. Survey Prevalensi
Tuberkulosis 2004. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2005. Pharmaceutical Care Untuk
Penyakit Tuberkulosis. Jakarta : Departemen Kesehatan Republik
Indonesia.
Departemen

Kesehatan

Republik

Indonesia.2006.

Pedoman

Nasional

Penanggulangan Tuberkulosis. Edisi II. Cetakan Pertama. Jakarta :


Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2008. Informasi Spesialite Obat
(ISO). Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
Dipiro, Joseph, T., et al. 2005.Pharmacotherapy A Pathophyiologic
ApproachSixth Edition.United Sate Of America: McGraw-Hill.
D.G Williams, D.J. Hatch and R.F. Howard, 2001, Codeine phosphate in
paediatric medicine, the departemen of anaesthesia, great ormond street
Hospital for children NHS Trust, London.
Handayani, S. 2002. Respon Imunitas Seluler pada Infeksi Tuberkulosis Paru.
Cermin Dunia Kedokteran.
http://emedicine.medscape.com/citra-primary-TBC.
http://emedicine.medscape.com/citra-postprimary-TBC.

http://labmikrobiologi.com/2012/02/pewarnaan-bakteri-tahan-asam-bta.html.
Januari 2014
Ink. 2006. Tuberculosa Pada Anak. Skripsi.Surabaya : Fakultas Kedokteran
Universitas Wijaya Kusuma Surabaya.
Kelly, E. Dooley, et.al. 2010. Tuberculosis and Diabetes Mellitus;Convergence
of two epidemics. Amerika: National of Health Institute.
Mutschler,

E.

1991.Profilaksis

dan

Terapi

Penyakit

Infeksi

dalam.Diterjemahkan Oleh Widianto, et. al. Edisi V. Jakarta: ITB.


Tjay, T. H dan Rahardja, K. 2002.Obat-Obat Penting.Jakarta : Elex Media
Komputindo Gramedia.
Tjokronegoro, et al. 2001.Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.Jakarta : Balai
Penerbit FKUI.
Wattymena, J.R. 1991.Farmakodinamik dan Terapi Antibiotik. Yogyakarta:
Gama University Press.
Wells, Barbara G, et al. 2006. Pharmacoterapy Handbook 6th Edition.United
State Of America: McGraw-Hill.
Werdhani, Retno Asti. 2002. Patofisiologi Diagnosis dan Klasifikasi
Tuberkulosis.Jakarta : FKUI.

Anda mungkin juga menyukai