CRIME DI INDONESIA
Oleh : Dr. Pujiyono, SH, MH
I. PENDAHULUAN
beragam
kemudahan-kemudahan
bertransaksi
Abdul Wahid Dan M Labib. 2005. Kejahatan Mayantara (Ciber Crime). Bandung : PT Refika
Aditama. hal : 34
Abdul Wahid. 2002. Kriminologi dan kejahatan Kontemporer, Lembaga Penerbitan Fak Hukum
Unisma, Malang. hal : 21.
Lihat dalam Neill Barrett. 1997. digitalcrime, poliching the cybernation. Kogan Page ltd, London.
hal : 21. Dan lihat dalam Mark Souka. 1999. Ruang Yang Hilang Pandangan Humanis Tentang
Budaya Cyberspace yang merisaukan, Mizan, Bandung. hal : 55.
Economic Crime adalah setiap perbuatan yang dilakukan oleh orang atau badan hukum, tanpa
menggunakan kekerasan yang bersifat melawan hukum yang pada hakekatnya mengandung unsur
penipuan, memberikan gambaran salah, penggelapan, pengelakan peraturan dan akal-akalan.
Sedangkan menurut Mardjono Reksodiputro, mengatakan bahwa economic crime adalah setiap
perbuatan yang melanggar perundang-undangan dalam bidang perekonomian serta mempunyai
sanksi pidana. Lihat M. Arif Amrullah, Hukum Pidana Ekonomi, materi kuliah program Doktor
Ilmu Hukum Universitas Sebelas Maret, Surakarta, 2009. Lihat pula dalam Agus Rahardjo, Model
Hibrida Hukum Cybercpace, Desertasi Program Doktor Ilmu Hukum, Undip, 2008, h. 6. Lihat
pula
dalam
Dewi
Lestari,
Kejahatan
Komputer
(Cybercrime),
http://www.ikht.net/artikellengkap.php?id=6,
Heru
Sutadi,
Cybercrime,
apa
yang
http://www.sinarharapan.co.id/berita/0304/05/opi01.html.2003.
bisa
diperbuat?,
B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah dimaksudkan untuk menegaskan masalah-masalah
yang akan dikaji sehingga memudahkan dalam pekerjaan serta pencapaian
sasaran. Berdasarkan judul yang dikemukakan diatas maka penulis
merumuskan permasalahan dalam makalah ini sebagai berikut :
Bagaimanakah Eksistensi Hukum Pidana dalam Menanggulangi Kejahatan
Mayantara (cybercrime) di Indonesia ?
Agus Santosa. 2008. Perjalanan Panjang Undang Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang
Informasi dan Transaksi Elektonik. Buletin hukum Perbankan dan kebanksentralan. Volume 6.
Nomor 1. Jakarta : Bank Indonesia. Hal : 26
II. PEMBAHASAN
A. Perkembangan Teknologi Informasi dan Cybercrime
Secara konvensional, dikenal adanya dua jenis kajahatan yaitu
kejahatan kerah biru (blue collar crime) dan kejahatan kerah putih (white
collar crime)8. Kejahatan kerah biru antara lain, seperti perampokan,
pencurian, pembunuhan, penggelapan dan sebagainya, sedangkan kejahatan
kerah putih antara lain seperti kejahatan korporasi, kejahatan birokrasi,
malpraktek, dan sebagainya. Sue Titus Reid mengemukakan bahwa kejahatan
adalah tindakan yang disengaja melanggar hukum pidana yang dilakukan
tanpa adanya suatu pembelaan atau pembenaran yang diakui secara hukum
dan diberi sanksi oleh negara9. Sutherland dalam Soerjono Soekamto
mengemukakan bahwa ciri pokok dari kejahatan adalah merupakan perbuatan
yang merugikan negara dan terhadap perbuatan itu negara bereaksi dengan
memberikan hukuman sebagai upaya pamungkas10. Francis Fukuyama
menjelaskan bahwa ada kaitan yang erat antara modal sosial11 dan kejahatan.
Kejahatan itu muncul atau terjadi karena tiadanya modal sosial12.
Seiring dengan berkembangnya teknologi internet (cyberspace)
menyebabkan munculnya kejahatan yang disebut dengan cybercrime atau
Andi Hamzah, 1989, Aspek-aspek Pidana di Bidang Komputer, Jakarta: Sinar Grafika. Hal. 34
Sue Titus Reid,1979. Crime and Criminology, Hot Rinehart and Winston, New York. Hal : 5.
10
11
Modal sosial adalah sebagai suatu rangkaian proses hubungan antar manusia yang ditopang oleh
jaringan, norma-norma dan kepercayaan sosial. Even Cox, 1995, A. Trully Civil Society, ABC
Books, Sydney, Hal :. 12. Robert D Putnam, menjelaskan bahwa ada tiga unsur modal sosial yaitu
partisipasi dalam satu jaringan, kecenderungan saling tukar kebaikan antar individu dalam satu
kelompok atu antar kelompok dan trus atau rasa percaya diri. (Robert D Putnam, 1993,Making
Democrasy Work, Princenton University Press, Princenton, Hal :82.
12
Francis Fukuyama,2005. Goncangan sosial kodrat manusia dan tata sosial baru, Gramedia
Pustaka Utama, Jakarta, Hal :34.
17
14
Legal
Journal
From
16
Petrus Reinhard Golose, Penegakan Hukum Cyber Crime dalam Sistem Hukum Indonesia dalam
Seminar Pembuktian dan Penanganan Cyber Crime di Indonesia, FHUI, Jakarta, h. 19.
17
Tubagus Rony Rahman Niti Baskara, 2001. Ketika Kejahatan Berdaulat : Sebuah Pendekatan
Kriminologi, Hukum dan Sosiologi, Peradaban, Jakarta. Hal : 53
sudah dikenal. Namun ada juga yang berpandangan bahwa kejahatan melalui
internet memiliki kesamaan bentuk dengan kejahatan yang ada di dunia nyata.
Seperti telah dijelaskan di atas, bahwa secara umum kejahatan
mayantara (cybercrime) dapat dikategorisasikan menjadi dua kelompok.
Pertama, kejahatan biasa yang menggunakan teknologi informasi sebagai alat
bantunya. Dalam kejahatan ini terjadi peningkatan modus dan operandinya
dari semula menggunakan peralatan biasa, sekarang telah memanfaatkan
teknologi informasi. Dampak dari kejahatan biasa yang telah menggunakan
teknologi informasi ternyata cukup serius, terutama jika dilihat dari jangkauan
dan nilai kerugian yang ditimbulkan oleh kejahatan tersebut. Pencurian uang
dengan pembobolan bank atau pembelian barang menggunakan kartu kredit
curian melalui media internet dapat menelan korban di wilayah hukum negara
lain, suatu hal yang jarang terjadi dalam kejahatan konvensional. Kedua,
kejahatan yang muncul setelah adanya internet, di mana sistem komputer
sebagai korbannya. Kejahatan yang menggunakan aplikasi internet adalah
salah satu perkembangan dari kejahatan teknologi informasi. Jenis kejahatan
dalam kelompok ini semakin bertambah seiring dengan kemajuan teknologi
informasi. Contoh dari kejahatan kelompok ini adalah pengrusakan situs
internet, pengiriman virus atau program-program komputer yang tujuannya
merusak sistem kerja komputer18.
Berdasarkan jenis aktifitas yang dilakukannya, cybercrime dapat
digolongkan menjadi beberapa jenis19, antara lain : (1) unauthorized acces,
(2) illegal contents, (3) penyebaran virus secara sengaja, (4) data forgeri, (5)
cyber espionage, (6) sabotage and extortion, (7) cyberstalking, (8) carding,
18
Heru
Sutadi,
Cybercrime,
Apa
yang
bisa
diperbuat
http://www.sinarharapan.co.id/berita/0304/05/bpi.01.html, 2003, diakses 10 Mei 2013
19
James O. Brian, Management Information System, Mc Graw-Hill, 1999, h. 21, Donny Budi Utoyo,
Kajian Sosial Kuminitas Maya Hacker/Craker dalam Jurnal Hukum Teknologi, Volume 2
Nomor 1 Tahun 2005, LKHT FH UI, Depok, h. 48.
?.
(9) cracker, (10) cybersquatting, (11) tiposquatting, (12) hijacking, dan (13)
cyberterorism20.
Berdasarkan motif kejahatan yang dilakukannya, cybercrime dapat
digolongkan menjadi dua jenis21 yaitu (1) cybercrime sebagai tindakan murni
kriminal, dan (2) cybercrime sebagai kejahatan abu-abu22.
20
Unauthorized acces adalah kejahatan yang terjadi ketika seseorang memasuki atau menyusup
kedalam suatu sistem jaringan komputer secara tidak sah, tanpa ijin, atau tanpa sepengetahuan dari
pemilik sistem jaringan komputer yang dimasukkinya. Illegal contents, adalah merupakan
kejahatan yang dilakukan dengan mamasukkan data atau informasi ke Internet tentang suatu hal
yang tidak benar atau tidak etis dan mengganggu ketertiban umum. Penyebaran virus secara
sengaja, pada umumnya dilakukan dengan menggunakan email. Seringkali orang yang sistem
emailnya terkena virus, kemudian virus itu secara sengaja dikirim ketempat lain melalui emailnya.
Data Forgeri adalah kejahatan yang dilakukan dengan tujuan memalsukan data pada dokumen
penting yang ada di internet. Dokumen-dokumen ini biasanya dimiliki oleh institusi atau lembaga
yang memiliki situs berbasis web data base. cyber espionage adalah merupakan kejahatan yang
memanffatkan jaringan internet untuk melakukan kegiatan mata-mata terhadap pihak lain, dengan
mamasuki sistem jaringan komputer pihak sasaran. sabotage and extortion adalah merupakan
jenis kejahatan yang dilakukan dengan membuat gangguan, perusakan, atau penghancuran
terhadap suatu data, program komputer atau sistem jaringan komputer yang terhubung dengan
internet. Cybertalking adalah kejahatan yang dilakukan untuk mengganggu atau melecehkan
seseorang dengan memanfaatkan komputer. Carding adalah kejahatan yang dilakukan untuk
mencuri kartu kredit milik orang lain dan digunakan dalam transaksi perdagangan di internet.
Dalam bahasa Indonesia istilah Carding diterjemahkan sebagai penipuan kartu kredit, yang
diartikan sebagai penggunaan kartu kredit yang dilakukan oleh orang yang tidak seharusnya
menggunakan kartu kredit tersebut untuk melakukan transaksi melalui internet. Cracker adalah
kejahatan dengan cara memanfaatkan kemampuannya untuk hal-hal negatif, misalnya pembajakan
account milik orang lain, pembajakan situs web, probing, menyebar virus, hingga sampai
melumpuhkan target sasaran. Cybersquatting adalah merupakan kejahatan yang dilakukan dengan
mendaftarkan domain nama perusahaan orag lain dan kemudian menjualnya kepada perusahaan,
dengan harga yang lebih mahal. Tiposquatting adalah kejahatan yang membuat domain plesetan
yaitu domain yang mirip dengan nama domain orang lain. Nama tersebut merupakan nama
domain saingan perusahaan. Hijacking adalah Merupakan kejahatan melaukan pembajakan hasil
karya orang lain, yang paling sering terjadi adalah pembajakan perangkat lunak (software), dan
cyberterorism adalah kejahatan yang dilakukan dengan cara mengancam, pemerintah atau warga
negaranya, termasuk cracking ke situs pemerintah atau militer.
21
Setiadi, Penegakan Hukum terhadap Pelaku Tindak Pidana Internet Banking, dalam Jurnal
Hukum Teknologi, Volume nomor 1 Tahun 2005, LKHT FH UI, Depok, Hal :. 20.
22
Kejahatan yang murni merupakan tindakan kriminal adalah kejahatan yang dilakukan karena
motif kriminalitas. Kejahatan jenis ini biasanya menggunakan internet hanya sebagai sarana
kejahatan. Contoh kejahatan semacam ini adalah carding yaitu pencurian nomor kartu kredit milik
orang lain untuk digunakan dalam transaksi perdagangan di internet. Cybercrime sebagai
kejahatan abu-abu adalah cukup sulit menentukan apakah itu merupakan tindak kriminal atau
bukan mengingat motif kegiatannya terkadang bukan untuk kejahatan salah satu contohnya adalah
Probing.
23
ibid
24
Jenis kejahatan againts person sasaran serangannya ditujukkan kepada perseorangan atau individu
yang memiliki sifat atau kriteria tertentu sesuai dengan tujuan penyerangan tersebut, Contoh:
pornografi (membuat, memasang, mendistribusikan, menyebarkan materi berbau cabul serta
mengekspos hal-hal yang tidak pantas), cyberstalking (mengganggu, melecahkan seseorang
dengan memanfaatkan komputer, misalnya dengan menggunakan email; cyber-tressposs
(melanggar area privasi orang lain, misal web hacking, breaking ke PC, probing). Jenis kejahatan
againts property, adalah dilakukan untuk mengganggu atau menyerang hak milik orang lain,
contoh pengaksesan komputer secara tidak sah, (carding, cybersquating, hijacking, data forgery).
Jenis kejahatan againts goverment adalah kejahatan yang dilakukan dengan tujuan khusus
penyerangan terhadap pemerintah, contoh cracking ke situs resmi pemerintah atau situs militer.
25
Lihat dalam Marwan Mas, 2004. Pengantar ilmu Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta, Hal : 80 94.
hukum selain berfungsi sebagai alat politik juga memiliki fungsi sebagai sarana sosial kontrol, a
tool of social engenering, asarana penyelesaian sengketa, pengendalian sosial dan pengintegrasian
sosial.
dipergunakan oleh para penegak hukum maupun oleh mereka yang diatur28.
Persoalan yang timbul diantara hukum, teknologi informasi dan
globalisasi berujung pada satu titik yaitu manusia. Karena berbicara masalah
hukum tidak semata-mata bersifat normatif melainkan membahas persoalan
manusia. Oleh karena itu persoalan hukum yang paling mendasar adalah
persoalan manusia29. Manusia merupakan mahluk yang monodualis yaitu
sebagai mahluk individu dan mahluk sosial30, bahkan oleh Notonagoro
disebutnya sebagai mahluk monopluralis artinya manusia terdiri dari banyak
asas (monodualis-monodualis) yang merupakan satu kesatuan, misalnya jiwa -
26
Lihat Soetandyo Wignyosoebroto, 2008. Hukum dan Masyarakat, Bayu Media Publishing,
Malang, Hal :. 8. bahwa hukum sebagai produk badan legislatif sebenarnya tidak bersifat netral
dalam arti yang sesungguhnya, karena dalam prosesnya penuh muatan aspirasi dan titipan
kepentingan politik. Lihat pula Satjipto Rahardjo, 2004. Sosiologi Hukum, Perkembangan Motode
dan Pilihan Masalah, Universitas Muhammadiyah Press, Surakarta, Hal :. 81. dan Dahlan Thaib,
2004. Jazus Hamid, Nimatul Huda, Teori dan Hukum Konstitusi, PT Raja Grafindo Persada,
Jakarta, hal : 78
27
Baca William J. Chambliss & Robert B. Seidman,1971. Law, Order and Power, Reading, Mas
Adisson Wesly, hal : 12. Baca juga Robert B. Seidman, Law and Development, A. General
Model, dalam Law and Society Review, No VI, 1972. bahwa kekuatan-kekuatan sosial akan
mempengaruhi proses bekerjanya hukum mulai dari tahap pembuatan undang-undang, sehingga
memerlukan waktu yang relatif lama.
28
Baca Lawrence M. Friedman, 2012. The Legal System a Social Science Perspective. Alih bahasa
M. Khozim, Nusa Media, Bandung hal : 13 17. substansi hukum adalah berupa norma-norma
hukum, baik itu peraturan-peraturan, keputusan-keputusan dan sebgainya yang semuanya itu
dipergunakan oleh para penegak hukum oleh mereka yang diatur.
29
Esmi Warasih, 2005, Pranata Hukum Sebuah telaah sosiologi, Semarang: PT. Suryandaru Utama.
Hal: 84
30
Sunoto, 1985. Mengenal Filsafat Pancasila. Pendekatan melalui etika pancasila, Hanindita,
Yogyakarta, hal :. 5.
10
merupakan
alat/sarana
untuk
mengatur
masyarakat
serta memenuhi
Notonagoro,1975. Pancasila Secara Ilmiah Populer, Pancuran Tujuh, Jakarta, hal : 42.
32
33
Purnadi Purbacaraka dan Soejono Soekanto, 1978 Perihal Kaidah Hukum, Alumni, Bandung, hal :
h. 67.
34
William A. Shrode & Dan J.R Voich, 1974. Organication and Manajement Basic System Concept,
Florida State University Press, Tilahassee, hal : 16. lihat pula Satjipto Rahardjo, 1991. Ilmu
Hukum, Alumni, Bandung, hal : 48 49.
11
manusia. Hukum bertujuan untuk mengatur perilaku manusia, akan tetapi tiap
hari kita jumpai kejahatan. Teknologi informasi dikembangkan untuk
membuat hidup manusia lebih mudah berkomunikasi, akan tetapi banjir
informasi yang menyesatkan (pornografi, cybercrime). Dengan globalisasi
berharap meningkatnya kesejahteraan rakyat, akan tetapi banyak rakyat yang
tertindas. Tujuan yang dicapai adalah kekayaan dan kekuasaan35.
Sistem hukum modern yang diterapkan Indonesia saat ini tidak secara
otomatis menjamin keadilan. Hal ini masih sangat tergantung pada bagaimana
penegak hukum menggunakan atau tidak menggunakan hukum. Penggunaan
hukum tersebut tidak berarti melakukan pelanggaran hukum, melainkan
semata-mata menunjukkan hukum dapat digunakan untuk tujuan lain selain
mewujudkan keadilan. Disinilah letak tragedi hukum modern36. Pemikiran
Satjipto Rahardjo dengan hukum progresifnya yang menegaskan bahwa
hukum hendaknya mampu mengikuti perkembangan jaman, mampu
menjawab perubahan jaman dengan segala dasar di dalamnya serta mampu
melayani masyarakat dengan menyandarkan aspek moralitas dari sumber daya
manusia penegak hukum itu sendiri37.
Permasalahannya, bahwa dalam penegakan hukum yang seringkali
dihadapi adalah ketika terkait dengan penyampaian informasi, komunikasi
dan/atau transaksi secara elektronik khususnya dalam hal pembuktian dan hal
yang terkait dengan perbuatan hukum yang dilaksanakan melalui sistem
elektronik (sistem komputer). Dalam hukum kita meskipun masih relatif
sederhana, sebenarnya sudah sejak lama memperluas penafsiran asas dan
normanya ketika menghadapi persoalan kebendaan yang tidak berwujud,
35
Robert Gilpin,1987. The Political Economic of International Relation, Prosedom University Press,
New Jersey, hal : 111-119
36
37
Satjipto Rahardjo, 2006.Membedah Hukum Progresif, PT Kompas Media Nusantara, Jakarta, hal :
x.
12
13
14
15
Modus
dengan
mengetes
sistem
keamanan
server
16
Nama
17
18
Faktor Bukti Elektris. Bukti elektris yang berupa data dan program
dalam komputer mudah dirubah/dimanipulasi, digandakan, dihapus dan
dipindahkan. Oleh karena itu, dikhawatirkan jika diperlukan di persidangan
sudah tidak sesuai lagi dengan kondisi pada saat kejadian, sedangkan dalam
sistem pembuktian di Indonesia alat bukti harus dihadirkan di persidangan.
Faktor Lemahnya Penguasaan Teknologi Informasi dan perangkatnya
bagi Penegak Hukum. Dalam menafsirkan cybercrime, dimungkinkan adanya
penafsiran yang berbeda antara penyidik, penuntut umum dan hakim,
sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum bagi pencari keadilan. Hal ini
dilatarbelakangi oleh masih sedikitnya aparat penegak hukum (penyidik,
penuntut umum dan hakim) yang menguasai seluk beluk teknologi informasi
(internet).
Faktor sarana dan prasarana yang tersedia. Pada umumnya fasilitas
komputer yang dimiliki oleh aparat penegak hukum masih sebatas untuk
keperluan operator, belum dilengkapi sarana yang dapat dipakai untuk
mengakses ke internet. Kondisi yang demikian sangat berpengaruh terhadap
kinerja aparat penegak hukum dalam penegakan hukum Cybercrime. Aparat
penegak hukum perlu informasi yang dapat diakses melalui jaringan internet.
Untuk keperluan ini aparat penegak hukum perlu diberikan pendidikan dan
pelatihan tentang teknologi informasi dan komunikasi.
Faktor sulitnya menghadirkan korban. Cybercrime yang korbannya
berasal dari luar negeri sangat sulit untuk dilakukan pemeriksaan, padahal
dalam hukum acara yang ada harus dilakukan pemeriksaan terhadap korban,
sebagai saksi sesuai dengan sistem pembuktian, karena keterangan saksi
korban ini merupakan salah satu alat bukti yang harus dituangkan dalam berita
acara pemeriksaan. Bagi korban cybercrime yang berasal dari negara lain
yang tidak memiliki hubungan bilateral dengan pemerintah Indonesia sulit
dihadirkan
untuk
diperiksa.
Akibatnya
penyelesaian khasusnya.
19
dapat
menghambat
terhadap
cybercrime
serta
memenuhi
kebutuhan-kebutuhan
konkret
dalam
38
39
Purnadi Purbacaraka dan Soejono Soekanto, 1978. Perihal Kaidah Hukum, Alumni, Bandung, hal
: 67.
20
yang lebih besar yaitu lingkungannya, dan (4) bekerjanya bagian-bagian dari
sistem itu menciptakan sesuatu yang berharga40.
III. PENUTUP
A. Simpulan
40
William A. Shrode & Dan J.R Voich,1974. Organication and Manajement Basic System Concept,
Florida State University Press, Tilahassee, hal : 16. lihat pula Satjipto Rahardjo. op cit
21
B. Saran
1.
2.
3.
penting
dalam
melakukan
assesment
kelayakan
22
DAFTAR PUSTAKA
Lestari,
Kejahatan
Komputer
http://www.ikht.net/artikellengkap.php?id=6,
(Cybercrime),
Esmi Warasih, 2005, Pranata Hukum Sebuah telaah sosiologi, Semarang: PT.
Suryandaru Utama.
Even Cox, A. 1995, Trully Civil Society, Sydney: ABC Books.
Francis Fukuyama, 2005, Goncangan sosial kodrat manusia dan tata sosial baru,
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
23
Heru
Sutadi,
Cybercrime,
apa
yang
bisa
diperbuat?,
http://www.sinarharapan.co.id/berita/0304/05/opi01.html.2003.
Mark Souka, 1999, Ruang Yang Hilang Pandangan Humanis Tentang Budya
Cyberspace yang merisaukan, Bandung: Mizan.
Marwan Mas, 2004, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Ghalia Indonesia.
Neill Barrett, 1997, digitalcrime, policing the cybernation. London: Kogan Page ltd.
Notonagoro, 1975, Pancasila Secara Ilmiah Populer, Jakarta: Pancuran Tujuh.
Petrus Reinhard Golose, Penegakan Hukum Cyber Crime dalam Sistem Hukum
Indonesia dalam Seminar Pembuktian dan Penanganan Cyber Crime di
Indonesia, Jakarta : FHUI
Purnadi Purbacaraka dan Soejono Soekanto, 1978, Perihal Kaidah Hukum, Bandung:
Alumni.
Satjipto Rahardjo, 2004, Sosiologi Hukum, Perkembangan Motode dan Pilihan
Masalah, Surakarta : Universitas Muhammadiyah Press
..........................., 2006, Membedah Hukum Progresif, Jakarta : PT Kompas Media
Nusantara.
............................ 2009. Penegakan Hukum Suatu tinjauan Sosiologis, Yogyakarta :
Genta Publishing.
24
Soerjono
1981,
Sue Titus Reid, 1979, Crime and Criminology, New York : Hot Rinehart and
Winston.
Sunoto, 1985, Mengenal Filsafat Pancasila. Pendekatan melalui etika pancasila,
Yogyakarta: Hanindita.
Sutarman, 2007, Cybercrime modus operandi dan penanggulangannya. Yogyakarta:
LaksBang PRESSindo.
Tubagus Rony Rahman Niti Baskara, 2001, Ketika Kejahatan Berdaulat : Sebuah
Pendekatan Kriminologi, Hukum dan Sosiologi, Jakarta : Peradaban
Robert B. Seidman, 1972, Law and Development, A. General Model, dalam Law and
Society Review, No VI.
Robert D Putnam, 1993, Making Democrasy Work, Princenton, Princenton University
Press.
Robert Gilpin, 1987, The Political Economic of International Relation, New Jersey :
Prosedom University Press.
Setiadi, Penegakan Hukum terhadap Pelaku Tindak Pidana Internet Banking, dalam
Jurnal Hukum Teknologi, Volume nomor 1 Tahun 2005, LKHT FH UI,
Depok.
William J. Chambliss & Robert B. Seidman, 1971, Law, Order and Power, Mas
Adisson Wesly: Reading.
William A. Shrode & Dan J.R Voich, 1974. Organication and Manajement Basic
System Concept, Tilahassee : Florida State University Press
25