dinilai sesuai guna meningkatkan hasil belajar biologi yang diharapkan adalah
model pembelajaran Problem Based Learning.
Problem Based Learning (PBL) merupakan model pembelajaran dengan
menggunakan pendekatan saintifik/ilmiah yang berpusat pada siswa, dimana
siswa dapat mengadakan pengamatan, mengintegrasi antara teori dan praktek, dan
aplikasi atau penerapan pengetahuan, pengembangan keterampilan (Simmons,
2008). Ackay (2009), mengemukakan bahwa PBL membuat siswa lebih aktif
dalam belajar, sebab mereka lebih mempunyai wewenang dan tanggungjawab
untuk melakukan pengamatan dan keberhasilan pengamatan tersebut. Guru hanya
bertindak sebagai fasilitator, sementara tanggungjawab berada pada siswa seperti
tanggungjawab mengatur diri sendiri pada waktu belajar (Savery, 2006).
Pembelajaran melalui model pembelajaran tipe Problem Based Learning
merupakan suatu rangkaian pendekatan kegiatan belajar yang diharapkan dapat
memberdayakan siswa untuk menjadi seorang individu yang mandiri dan mampu
menghadapi setiap permasalahan dalam hidupnya dikemudian hari. Pelaksanaan
pembelajaran dengan model PBL, menuntut siswa terlibat aktif dalam mengikuti
proses pembelajaran melalui diskusi kelompok. Langkah awal kegiatan
pembelajaran dilaksanakan dengan mengajak siswa untuk memahami situasi yang
diajukan baik oleh guru maupun siswa, yang dimulai dari apa yang telah diketahui
oleh siswa (Rusman, 2010).
Berdasarkan uraian di atas, maka perlu dilakukan suatu penelitian untuk
mengetahui implementasi Model Pembelajaran Problem Based Learning melalui
Penelitian Tindakan Kelas untuk meningkatkan hasil belajar siswa meliputi hasil
belajar sikap, pengetahuan, dan keterampilan.
METODE
Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif. Jenis
penelitian ini adalah Penelitian Tindakan Kelas (PTK) yang memiliki tujuan untuk
memperbaiki pembelajaran di kelas. Model PTK yang digunakan dalam penelitian
ini merujuk kepada Desain PTK Model Kemmis & McTaggart (2007). Penelitian
ini dilaksanakan dalam dua siklus. Pada setiap siklus memiliki 4 tahapan yakni:
(1) perencanaan, (2) pelaksanaan, (3) pengamatan, dan (4) refleksi. Penelitian ini
dilaksanakan di MAN Malang 1 yang berada di Jalan Baiduri Bulan 40 Malang
yakni pada kelas X-D. Subjek penelitian ini adalah 39 siswa kelas X-D MAN
Malang 1 yang terdiri dari 18 siswa laki-laki dan 21 siswi perempuan pada
semester genap Tahun Pelajaran 2013-2014.
Pengumpulan data dilakukan dengan observasi dan tes. Observasi
merupakan kegiatan pengamatan yang dilakukan oleh peneliti, observer, dan guru
untuk mengamati: (1) aktivitas siswa dan guru serta model pembelajaran pada
proses pembelajaran sebelum PTK, (2) hasil belajar siswa meliputi: sikap yang
terbagi menjadi sikap spiritual dan sikap sosial, pengetahuan, dan keterampilan
siswa sebelum diterapkannya PTK, (4) keterlaksanaan pembelajaran dengan
penerapan Model Pembelajaran Problem Based Learning pada saat PTK oleh guru
dan peserta didik, dan (5) hasil belajar siswa meliputi: sikap yang terbagi menjadi
sikap spiritual dan sikap sosial, pengetahuan, dan keterampilan setelah
diterapkannya PTK. Tes dilakukan pada setiap akhir siklus untuk mengetahui hasil
belajar pengetahuan siswa dan sikap spiritual siswa melalui kuisioner terstruktur
terbuka. Tes untuk mengetahui hasil belajar pengetahuan siswa dilakukan dengan
pemberian soal pilihan ganda dan uraian butir soal sesuai indikator yang
digunakan oleh peneliti. Selanjutnya tes untuk mengetahui sikap spiritual siswa
dilakukan dengan pemberian kuisioner terstruktur terbuka yang berisi beberapa
butir soal sesuai indikator dalam sikap spiritual.
Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini meliputi: (1) lembar
observasi wawancara kegiatan pembelajaran, (2) lembar observasi keterlaksanaan
implementasi Model Problem Based Learning, (3) kuisioner terstruktur terbuka,
(4) lembar observasi sikap sosial siswa, (5) tes akhir siklus, dan (6) lembar
observasi keterampilan siswa.
Data yang diperoleh dianalisis dengan teknik analisis deskriptif kualitatif.
Langkah-langkah analisis deskriptif kualitatif terdiri atas: reduksi data, paparan
data, dan penarikan kesimpulan. Analisis data dari penelitian ini dipaparkan
sebagai berikut.
Keterlaksanaan tindakan penerapan Model Problem Based Learning dapat
diukur dengan menggunakan lembar observasi keterlaksanaan pembelajaran oleh
guru. Selanjutnya keterlaksanaan kegiatan belajar pada penerapan Model Problem
Based Learning dapat diukur menggunakan lembar observasi keterlaksanaan
pembelajaran oleh siswa. Tingkat keberhasilan tindakan oleh guru dan kegiatan
belajar oleh siswa dapat dilihat pada Tabel 1 dan Tabel 2 dengan menggunakan
rumus sebagai berikut.
persentase keterlaksanaan tindakan
Data hasil belajar pengetahuan diketahui melalui tes pada setiap akhir
siklus. Data yang diperoleh kemudian dianalisis untuk menentukan persentase
ketuntasan hasil belajar pengetahuan siswa. Taraf keberhasilan hasil belajar
pengetahuan diukur pada persentase ketuntasan hasil belajar pengetahuan siswa.
Data hasil belajar keterampilan diketahui melalui lembar observasi
penilaian keterampilan siswa. Hasil belajar keterampilan yang diukur dalam
penelitian ini meliputi: (1) pengumpulan bahan pengamatan, (2) pengumpulan
data hasil pengamatan, dan (3) penerapan proses klasifikasi. Persentase
keberhasilan hasil belajar keterampilan diukur pada setiap aspek keterampilan dan
rerata berdasarkan semua aspek.
HASIL
Ringkasan data perbandingan keterlaksanaan tindakan oleh guru dan
kegiatan belajar oleh siswa pada implementasi Model Pembelajaran Problem
Based Learning pada siklus I dan II dapat dilihat pada Tabel 4 dan Tabel 5.
Tabel 4 Perbandingan Keterlaksanaan Tindakan Model Pembelajaran Problem Based
Learning Siklus I dan II
Rerata Taraf Keterlaksanaan
Taraf
Tindakan
Pembelajaran (%)
Keberhasilan
Siklus I
93,67
Sangat baik
Siklus II
98,48
Sangat baik
Peningkatan
Meningkat 4,81
Tabel 5 Perbandingan Keterlaksanaan Kegiatan Belajar pada Model Pembelajaran
Problem Based Learning Siklus I dan II
Rerata Taraf Keterlaksanaan
Taraf
Tindakan
Pembelajaran (%)
Keberhasilan
Siklus I
89,97
Sangat baik
Siklus II
99,49
Sangat baik
Peningkatan
Meningkat 9,52
Gambar 1. Grafik Perbandingan Rerata Persentase Hasil Belajar Sikap Spiritual Siswa pada
Pra-penelitian, Siklus I dan Siklus II
Ringkasan data perbandingan hasil belajar sikap sosial siswa pada siklus I
dan II dapat dilihat pada Tabel 6. Rerata persentase hasil belajar sikap sosial pada
Gambar 2. Grafik Perbandingan Rerata Persentase Hasil Belajar Sikap Sosial Siswa pada
Pra-penelitian, Siklus I dan Siklus I
Gambar 3. Grafik Perbandingan Ketuntasan Hasil Belajar Pengetahuan Peserta Didik pada
Pra-penelitian, Siklus I, dan Siklus II
70,51
71,36
69,22
70,36
93,16
88,89
90,59
90,88
Meningkat
Meningkat
Meningkat
Meningkat
Gambar 4. Grafik Perbandingan Rerata Persentase Hasil Belajar Keterampilan Siswa pada
Pra-penelitian, Siklus I dan Siklus II
PEMBAHASAN
Tahap Orientasi Masalah
Tahap pertama dalam PBL yakni tahap orientasi masalah. Tahap orientasi
masalah memfasilitasi siswa untuk meningkatkan kompetensi pengetahuannya
pada ranah C2 yakni memahami, dan meningkatkan kompetensi sikap spiritual
berupa aspek kagum. Tahap ini guru memberikan sebuah fakta yang sesuai dengan
kenyataan kepada siswa sebagai bentuk pemunculan sebuah permasalahan,
selanjutnya siswa dituntut untuk mengenali dan memahami fakta yang disajikan,
sehingga siswa dapat menampakkan kompetensi pengetahuannya pada ranah C2
yaitu memahami. H. S. Barrows dalam (Wianti Aisyah, 2008) sebagai pakar PBL
menyatakan bahwa definisi PBL adalah sebagai sebuah metode pembelajaran
yang didasarkan pada prinsip bahwa masalah (problem) dapat digunakan sebagai
titik awal untuk mendapatkan, mengintergrasikan, atau memahami sebagai ilmu
(knowledge) baru. Dengan demikian, masalah yang ada digunakan sebagai sarana
agar siswa dapat belajar sesuatu yang dapat meningkatkan kompetensi
pengetahuannya dalam tingkatan pemahaman masalah.
Pengenalan masalah yang dilakukan siswa berdasarkan fakta yang
disajikan melalui penjelasan dan gambar struktur morfologi maupun anatomi
hewan, kompetensi yang tampak dalam diri siswa adalah kompetensi sikap
spiritual. Siswa mengagumi keindahan, keagungan, dan kebesaran Ciptaan-Nya
dengan mengucapkan lafadh Alhamdulillah sebagai salah satu wujud rasa syukur.
Fakta pada saat pengamatan siklus I, lafadh spiritual belum tampak diucapkan
oleh siswa sebagai bentuk rasa syukur terhadap ciptaan Allah. Solusi hal tersebut
adalah guru memberikan pengarahan kepada siswa bahwa setiap kali kita melihat
kebesaran, keagungan, dan keindahan ciptaan Allah, marilah kita selalu
mengucapkan Alhamdulillah, Subhanallah sebagai bentuk rasa syukur kita
terhadap ciptaan-Nya.
Tahap selanjutnya yakni tahap organisasi siswa untuk belajar yaitu guru
membimbing setiap kelompok untuk mengambil inti atau pokok permasalahan
yang harus dipecahkan. Tahap organisasi siswa untuk belajar dapat memfasilitasi
siswa untuk meningkatkan kompetensi pengetahuannya pada ranah C2 yaitu
memahami. Masing-masing kelompok dituntut untuk mencermati dan memahami
fakta yang disajikan sebelum mengambil inti atau pokok permasalahan dari
rumusan masalah yang telah dibuat sebelumnya untuk kemudian dipecahkan,
sehingga kemampuan siswa untuk memahami suatu fakta dapat mengalami
peningkatan.
Peningkatan hasil belajar pengetahuan ini juga sesuai dengan keunggulan
dari model pembalajaran berbasis masalah yang dinyatakan oleh Arends dalam
Yatim (2009) yaitu: 1) siswa lebih memahami konsep yang diajarkan sebab
mereka sendiri yang menemukan konsep tersebut, 2) menuntut keterampilan
berfikir tingkat tinggi untuk memecahkan masalah, 3) pengetahuan tertanam
berdasarkan skemata yang dimiliki peserta didik sehingga pembelajaran lebih
bermakna, 4) masalah yang dikaji merupakan masalah yang dihadapi dalam
kehidupan nyata, 5) menjadikan peserta didik lebih mandiri dan lebih dewasa,
termotivasi, mampu memberi aspirasi dan menerima pendapat orang lain,
menanamkan sikap sosial yang positif antar peserta didik, 6) saling berinteraksi,
baik dengan guru maupun teman akan memudahkan peserta didik untuk mencapai
ketuntasan belajar.
Tahap Penyelidikan Kelompok
Tahap ketiga yang dilakukan setelah tahap organisasi masalah adalah tahap
penyelidikan kelompok. Tahap penyelidikan kelompok dapat memfasilitasi
peningkatan hasil belajar siswa pada beberapa ranah kognitif meliputi: 1)
kompetensi pengetahuan ranah C3 (mengaplikasikan), dimana siswa dilatih untuk
mengaplikasikan konsep yang diketahuinya pada saat awal tahap orientasi dan
organisasi masalah dengan melakukan pembuktian melalui kegiatan pengamatan,
2) kompetensi pengetahuan ranah C4 (menganalisis), dimana pada tahap ini siswa
dituntuk untuk membuat analisis yang menunjukkan adanya keterkaitan antara
data pengamatan dengan permasalahan yang disajikan.
Hasil belajar pengetahuan secara keseluruhan siswa meningkat pada siklus
II disebabkan materi ajar yang dipilih lebih dikenal oleh siswa dalam kehidupan
sehari-hari. Materi ajar pada siklus II yaitu materi Kingdom Animalia pada Filum
Arthrophoda, Mollusca, dan Echinodermata yang dinilai lebih mudah dipahami
siswa. Mudahnya pemahaman tersebut disebabkan hewan yang diamati sering dan
mudah ditemukan oleh siswa dalam kehidupan sehari-hari, sehingga siswa dapat
memahami konsep yang dijelaskan dalam teori dengan membandingkan dengan
hewan yang diamati secara langsung dengan mudah tanpa menggunakan awetan
basah maupun kering. Kegiatan pengamatan sebagai bentuk aplikasi dari
pengetahuan pada ranah C3 yakni mengaplikasi, dilakukan dengan menggunakan
bahan amatan secara nyata dapat meningkatkan partisipasi siswa untuk bekerja
secara aktif dalam menemukan konsep materi pembelajaran (Alastair, 2002).
Menurut Sugiyanto (2009) sebuah situasi masalah yang disajikan dalam
model Problem Based Learning harus memenuhi lima kriteria penting, salah
satunya yaitu situasi mestinya autentik. Hal ini berarti bahwa masalahnya harus
dikaitkan dengan pengalaman riil siswa dan bermakna yang dapat memberikan
kemudahan kepada mereka untuk melakukan penyelidikan.
Pernyataan di atas sesuai dengan penelitian yang telah dilakukan oleh
Susanti (2012) yang menunjukkan bahwa model pembelajaran Problem Based
Learning adalah salah satu dari sekian banyak model pembelajaran yang dapat
meningkatkan hasil belajar siswa. Pada model pembelajaran Problem Based
Learning, siswa diberikan permasalahan-permasalahan yang ada disekitar mereka
untuk didiskusikan sehingga pada model pembelajaran ini siswa dituntut lebih
aktif dalam kegiatan pembelajaran atau student center. Dengan memecahkan
permasalahan yang ada di sekitar mereka, menjadikan siswa lebih mudah
memahami materi pembelajaran sehingga hasil belajar dapat meningkat. Hasil
belajar yang dimaksudkan dalam penelitian Susanti adalah hasil belajar pada
aspek kognitif atau pengetahuan siswa.
Hasil belajar yang juga dapat diakses dalam tahap penyelidikan individu
adalah hasil belajar sikap spiritual pada seluruh aspek. Aspek sikap spiritual yang
dimaksud meliputi: aspek kerjasama, visioner, dan peduli, dimana siswa disajikan
beberapa permasalahan yang menuntut siswa untuk melakukan analisis
hubungannya dengan aspek spiritual tersebut. Peningkatan sikap spiritual tersebut
disebabkan adanya kegiatan penganalisisan masalah dalam tahap penyelidikan
kelompok. Siswa bersama kelompoknya akan menganalisis sebuah permasalahan
yang didasari dengan penguasaan materi yang baik pada diri tiap-tiap siswa yang
akan mereka gunakan sebagai bekal.
Penganalisisan masalah menjadikan kemampuan berpikir siswa menjadi
lebih berkembang dari sebelumnya karena siswa dihadapkan pada suatu hal yang
harus mereka pecahkan dengan pemikiran mereka sendiri sehingga proses
pembelajaran di dalam kelas mulai berjalan ke arah student center tidak lagi
teacher center. Siswa mulai menghubungkan segala apa yang mereka temukan di
lingkungan, fakta-fakta yang ada dengan konsep materi yang telah tertanam
dengan baik di dalam benak mereka sendiri. Adanya aktivitas tersebutlah yang
memungkinkan siswa mulai menghubungkan nilai-nilai spiritual dengan materi
yang mereka pelajari di dalam kelas.
Rahmawati (2014), menyatakan bahwa munculnya kesadaran siswa akan
nilai-nilai spiritual tidak dapat muncul secara tiba-tiba, melainkan tetap difasilitasi
oleh guru. Guru memegang peranan penting dalam menanamkan sikap spiritual
kepada siswa di sela-sela bimbingan kelompok saat kegiatan pengamatan, sehingga siswa mulai sadar bahwa dalam kegiatan belajar sehari-hari tetap dituntut
untuk menerapkan nilai spiritual.
Hasil belajar selanjutnya yang dapat diakses dalam tahap penyelidikan
individu adalah hasil belajar sikap sosial pada seluruh aspek. Aspek sikap sosial
pertama adalah aspek jujur. Peningkatan persentase aspek sikap jujur siswa
disebabkan penanaman sikap jujur oleh guru kepada siswa dalam setiap
pertemuan. Suparman (2011), menyatakan bahwa penanaman sikap jujur sejak
dini merupakan faktor utama dalam membiasakan seseorang untuk senantiasa
berperilaku jujur. Salah satu nilai dasar yang perlu ditanamkan dalam
pembentukan perilaku akhlak mulia adalah nilai kejujuran. Dengan demikian
apabila pelajar sejak dini telah memiliki dan mampu menerapkan nilai kejujuran
dalam kehidupan sehari-hari, maka diharapkan untuk jangka waktu kedepan,
pelajar senantiasa mampu berperilaku jujur.
10
11
prosedur, saling mendorong satu sama lain untuk bekerja sama agar terselesaikan
dengan baik dan sesuai dengan harapan, dan pengambilan keputusan bersama.
Hasil belajar sikap sosial selanjutnya dari aspek santun. Peningkatan
persentase sikap santun siswa disebabkan terbiasanya siswa untuk dituntut
bersikap santun dalam berpendapat dalam mengungkapkan pendapat. Dyah
(2009), mengemukakan bahwa pembiasaan sikap santun yang dilakukan secara
terus menerus dapat menyebabkan anak menjadi terbiasa bersikap santun dalam
kehidupan sehari hari baik dalam bergaul dengan keluarga, teman dan lingkungan
sekolah. Anak yang dibiasakan secara terus me-nerus untuk bersikap sopan santun
akan lebih mudah bersosialisasi.
Hasil belajar sikap sosial terakhir adalah aspek percaya diri. Peningkatan
persentase sikap percaya diri siswa disebabkan kesadaran diri siswa dalam
menampilkan kepercayaan dirinya pada saat melakukan kegiatan pengamatan.
Rusman (2010), mengemukakan bahwa model Problem Based Learning
merupakan model pembelajaran yang menggunakan masalah dunia nyata sebagai
konteks bagi siswa untuk belajar percaya diri dan keterampilan pemecahan
masalah serta untuk untuk memperoleh pengetahuan dan konsep yang esensi dari
materi pelajaran. Dengan demikian, model Problem Based Learning dapat
memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengeksplorasi, mengumpulkan dan
menganalisis data sehingga siswa mampu menampilkan sikap percaya diri yang
meliputi: analisis, sintesis, dan evaluasi.
Hasil belajar selanjutnya yang dapat diakses dalam tahap penyelidikan
individu adalah hasil belajar keterampilan pada seluruh aspek. Aspek
keterampilan siswa pertama adalah aspek pengumpulan alat dan bahan amatan.
Peningkatan persentase aspek pengumpulan alat dan bahan amatan disebabkan
prinsip dalam PBL mewajibkan seluruh informasi menjadi tanggung jawab siswa
bukan guru. Sesuai dengan pernyataan Paulina Pannen dkk (2000), bahwa pada
model PBL, sumber informasi diidentifikasi, dikumpulkan, dievaluasi dan
dimanfaatkan oleh peserta didik sendiri, bukan disediakan oleh pendidik.
Hasil belajar keterampilan siswa selanjutnya dari aspek pengamatan dan
pengumpulan data. Peningkatan persentase aspek pengamatan dan pengumpulan
data siswa disebabkan karakteristik dari model PBL yang menuntut adanya
penyelidikan secara autentik. Penyelidikan secara autentik yang dilakukan siswa
meningkatkan keterampilan siswa dalam melakukan pengamatan sesuai dengan
prosedur yang ditetapkan. Penyelidikan secara autentik juga menyebabkan
keterampilan siswa dalam mengumpulkan data berkembang, karena dengan
melakukan kegiatan penyelidikan akan diperoleh berbagai macam data
pengamatan sebagai wujud dari pelaksanaan penyelidikan. Ibrahim dan Nur
(2007), menjelaskan bahwa salah satu karakteristik model PBL adalah adanya
penyelidikan secara autentik. Penyelidikan autentik menuntut siswa harus
melakukan berbagai macam kegiatan, salah satu kegiatan tersebut adalah
mengumpulkan informasi melalui tahap penyelidikan individu.
Hasil belajar keterampilan siswa terakhir adalah aspek proses penerapan
klasifikasi. Peningkatan persentase aspek proses penerapan klasifikasi disebabkan
karakteristik model PBL yang menyajikan suasana belajar dalam kondisi aktif
oleh siswa dalam memecahkan permasalahan, salah satunya dengan penerapan
klasifikasi (Wulandari, 2013). Dalam melakukan pengelompokkan hewan dalam
suatu filum tertentu, siswa dituntut untuk melakukan proses klasifikasi melalui
12
13
mau mematuhi aturan umum tersebut. Anak pun relatif mudah menyesuaikan diri
dengan lingkungan baru, supel, selalu menghargai orang lain, penuh percaya diri,
dan memiliki kehidupan sosial yang baik, dan tumbuh menjadi sosok yang
beradab.
Tahap Analisis dan Evaluasi Proses Pemecahan Masalah
Pelaksanaan tahap pengembangan dan penyajian hasil karya dapat
memfasilitasi siswa dalam mengembangkan beberapa kompetensi meliputi: 1)
kompetensi pengetahuan ranah C2 yakni memahami, dimana pada saat guru
melakukan review, siswa dapat memperoleh konsep-konsep baru yang belum
diketahui sebelumnya pada saat review, sehingga siswa dituntut untuk menyimak
dan memahami penjelasan guru, 2) kompetensi sikap spiritual pada aspek jujur,
tanggungjawab, disiplin, kerjasama, adil, visioner, dan peduli, ketujuh poin dasar
spiritual tersebut dijelaskan oleh guru pada saat review dengan menghubungkan,
memberikan contoh aplikasi dalam kehidupan sehari-hari, 3) kompetensi sikap
sosial pada aspek toleransi saat guru melakukan review dengan memperhatikan
dan mencatat hal yang dinilai penting, aspek santun dalam menyampaikan
pertanyaan menggunakan bahasa yang baku dan sopan, aspek percaya diri dalam
mengajukan pertanyaan dengan sikap optimis bahwa bertanya merupa-kan salah
satu cara memperoleh pengetahuan baru.
Peningkatan persentase sikap spritual siswa pada ketujuh aspek dalam
poin dasar sikap spiritual dalam tahap pengembangan dan penyajian hasil karya
disebabkan adanya pemfasilitasan oleh guru dalam bentuk review. Sesuai dengan
pernyataan Rahmawati (2014), yang menyatakan bahwa munculnya kesadaran
siswa akan nilai-nilai spiritual tidak dapat muncul secara tiba-tiba, melainkan
tetap difasilitasi oleh guru. Peneliti beranggapan bahwa walaupun guru telah
memfasilitasi siswa untuk sadar akan adanya nilai-nilai spiritual dalam materi
yang mereka pelajari, jika model pembelajaran yang diterapkan di dalam kelas
tidak mampu memberdayakan siswa untuk memahami nilai-nilai tersebut maka
siswa hanya akan menyadari saja tanpa ada keterlanjutan yang berarti dan tidak
akan ditemui adanya peningkatan nilai-nilai sikap spiritual pada diri siswa.
Salah satu contoh belum munculnya peningkatan sikap spiritual pada diri
siswa adalah belum ditemuinya bentuk ucapan spiritual seperti Astaghfirullah
ketika menanggapi hal buruk, Subhanallah ketika melihat dan mengagumi keagungan ciptaan Allah, Alhamdulillah ketika menyadari manfaat setiap ciptaan
Allah yang diciptakan di muka bumi, dan sebagainya dalam kuisioner terstruktur
yang difasilitasi oleh guru untuk diisi siswa sebelum model pembelajaran
Problem Based Learning diterapkan, namun sikap spiritual siswa mulai muncul
dan berkembang setelah peneliti mengimplementasikan model Problem Based
Learning, munculnya sikap spiritual tersebut terlihat saat siswa diharuskan untuk
mengisi kuisioner terstruktur yang yang difasilitasi oleh guru untuk diisi siswa
pada akhir siklus I dan II, dalam beberapa jawaban siswa sudah dijumpai adanya
kalimat-kalimat spiritual yang muncul serta berbagai bentuk pemikiran (tafakur)
dalam bentuk amar maruf wa nahi munkar atas adanya nilai spiritual dalam
materi Kingdom Animalia yang mereka pelajari.
14
15