Anda di halaman 1dari 15

IMPLEMENTASI MODEL PEMBELAJARAN

PROBLEM BASED LEARNING UNTUK MENINGKATKAN HASIL


BELAJAR SIKAP, PENGETAHUAN, DAN KETERAMPILAN
SISWA KELAS X-D MAN MALANG 1
Rizki Armando Putra1, Sri Endah Indriwati2, Nuning Wulandari2
1
Program Studi Pendidikan Biologi, FMIPA,
E-mail: rizkiarmandoputra@yahoo.co.id
2
Jurusan Biologi, FMIPA, Universitas Negeri Malang,
Jl. Semarang No. 5 Malang, Indonesia

Abstract: This research was conducted to determine the implementation of


Problem Based Learning Model to improve learning outcomes attitude,
knowledge, and skill of X-D grade students in MAN Malang 1. Data were
obtained by observation and test lesson implementation observation sheets
comprises action of teacher and learning of students, students affective observation
sheets, students psycomotor observation sheets, open-structured questionnaire, and
end test cycle with data analyzed by qualitative descriptive analysis method. The
results show implementation of Problem Based Learning model can improve
learning outcomes attitude, knowledge, and skill students.
Keywords: Problem Based Learning Model, Learning Outcomes Attitude,
Knowledge, and Skill
Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui implementasi model
pembelajaran Problem Based Learning untuk meningkatkan hasil belajar sikap,
pengetahuan, dan keterampilan siswa kelas X-D MAN Malang 1. Pengumpulan
data dilakukan melalui observasi dan tes menggunakan lembar observasi
keterlaksanaan pembelajaran meliputi tindakan oleh guru dan kegiatan belajar oleh
siswa, lembar observasi sikap sosial siswa, lembar observasi keterampilan siswa,
kuisinoer terstruktur terbuka, dan soal tes akhir siklus dengan analisis data berupa
analisis deskriptif kualitatif. Hasil penelitian ini menunjukkan penerapan model
pembelajaran Problem Based Learning dapat meningkatkan hasil belajar sikap,
pengetahuan, dan keterampilan siswa.
Kata kunci: Model Pembelajaran Problem Based Learning, Hasil Belajar Sikap,
Pengetahuan, Keterampilan

Biologi merupakan ilmu pengetahuan yang mempelajari makhluk hidup


dan kehidupannya. Objek dari biologi adalah benda-benda alam nyata yang
berupa makhluk hidup (Hakim, 2005). Biologi yang merupakan bagian dari sains
diartikan sebagai cara berpikir dan bertindak di dalam maupun di luar sekolah,
cara penelitian ilmiah, maupun proses kerja ilmiah. Perubahan pengertian biologi
tersebut berimplikasi pada perubahan pengertian pembelajaran biologi. Belajar
biologi adalah belajar bagaimana mempelajari biologi. Pembelajaran biologi
adalah pembelajaran mengenai bagaimana belajar biologi. Pembelajaran biologi
yang dilaksanakan siswa diharapkan memperoleh kecakapan atau keterampilan
untuk mempelajari makhluk hidup beserta kehidupannya, memperoleh kecakapan
atau keterampilan untuk menemukan fakta dan membangun konsep/prinsip
keilmuan biologi, melalui pengamatan langsung terhadap individu-individu atau
sekelompok makhluk hidup beserta kehidupannya (Susanto, 2005).
1

Pembelajaran biologi yang ideal sangat cocok dilaksanakan menggunakan


kurikulum 2013. Kurikulum 2013 menekankan pada dimensi pedagogik modern
dalam pembelajaran, yaitu menggunakan pendekatan yang bersifat ilmiah.
Pendekatan ilmiah (scientific approach) dalam kurikulum 2013 mencakup lima
langkah yang terdapat dalam kerja ilmiah, yaitu mengamati, menanyakan,
mengumpulkan data, mengasosiasikan, dan mengkomunikasikan. Lima langkah
dalam kerja ilmiah tersebut dapat dilaksanakan pada setiap proses kegiatan
pembelajaran menggunakan metode pembelajaran yang sesuai dengan prinsip
pendekatan ilmiah. Berdasarkan kegiatan observasi di lapangan pada tahap prapenelitian tanggal 25 Februari 2014, diketahui bahwa metode pembelajaran yang
digunakan oleh guru masih bersifat konvensional menggunakan ceramah,
diskusi, dan sedikit kegiatan praktikum, dimana metode pembelajaran
konvensional tidak tepat diterapkan dalam Kurikulum 2013.
Temuan kedua hasil observasi pra-penelitian adalah rendahnya hasil belajar
pengetahuan yang diketahui melalui dokumen data nilai tes evaluasi akhir siswa.
Dokumen tersebut menunjukkan terdapat siswa yang tidak tuntas pada 2 KD yang
telah diajarkan yakni Protista dan Fungi. Jumlah siswa yang tidak mencapai
KKM pada kedua materi tersebut berturut-turut sejumlah 15 dan 11 siswa dari 39
siswa atau persentase berturut-turut 38,46% dan 28,20%. Nilai rata-rata yang
diperoleh dinilai belum memenuhi KKM mata pelajaran biologi sebesar 78.
Temuan ketiga menunjukkan rendahnya hasil belajar sikap sosial siswa. Hal ini
diketahui melalui hasil pengamatan aspek sikap spiritual yang menunjukkan
bahwa guru belum menekankan aspek spiritual dalam kegiatan pembelajaran yang
dapat membangun sikap spiritual siswa, misalnya guru belum menghubungkan
materi yang dijelaskan dengan dalil Aqli maupun Naqli. Hasil pengamatan aspek
sikap sosial juga menunjukkan bahwa siswa memiliki kemampuan bersosialisasi
yang kurang, misalnya siswa belum mampu berpartisipasi dalam kegiatan diskusi,
berpendapat, melakukan praktikum secara gotong royong dan menerima pendapat
teman lain yang sesuai dengan sikap ilmiah
Temuan terakhir dari hasil observasi adalah rendahnya hasil belajar
keterampilan. Rendahnya hasil belajar keterampilan siswa diketahui melalui
pengamatan yang dilakukan oleh peneliti pada saat siswa melakukan kegiatan
praktikum di dalam laboratorium. Hasil pengamatan keterampilan siswa pada
aspek persiapan bahan amatan, pengamatan serta pengumpulan data, dan aspek
penerapan proses klasifikasi menunjukkan bahwa siswa memiliki ketrampilan
bekerja yang kurang, misalnya 2 kelompok tidak membawa bahan amatan yang
ditetapkan, 16 orang siswa belum mampu mengoperasikan mikroskop dengan
benar dan 7 siswa belum mampu melakukan pengamatan sesuai dengan prosedur
kerja.
Rendahnya hasil belajar biologi siswa yang meliputi hasil belajar pada
aspek sikap, pengetahuan dan keterampilan yang diketahui melalui hasil observasi
merupakan permasalahan yang perlu diselesaikan dengan solusi alternatif. Solusi
alternatif yang dapat diterapkan untuk meningkatkan hasil belajar biologi siswa
dapat dilakukan dengan pemilihan model pembelajaran yang dapat menuntut
siswa terlibat aktif dalam mengikuti proses pembelajaran, dalam mengemukakan
ide dan pendapat, serta dalam membangun pengetahuan yang didapatnya melalui
prinsip kerja ilmiah seperti pada Kurikulum 2013. Model pembelajaran yang

dinilai sesuai guna meningkatkan hasil belajar biologi yang diharapkan adalah
model pembelajaran Problem Based Learning.
Problem Based Learning (PBL) merupakan model pembelajaran dengan
menggunakan pendekatan saintifik/ilmiah yang berpusat pada siswa, dimana
siswa dapat mengadakan pengamatan, mengintegrasi antara teori dan praktek, dan
aplikasi atau penerapan pengetahuan, pengembangan keterampilan (Simmons,
2008). Ackay (2009), mengemukakan bahwa PBL membuat siswa lebih aktif
dalam belajar, sebab mereka lebih mempunyai wewenang dan tanggungjawab
untuk melakukan pengamatan dan keberhasilan pengamatan tersebut. Guru hanya
bertindak sebagai fasilitator, sementara tanggungjawab berada pada siswa seperti
tanggungjawab mengatur diri sendiri pada waktu belajar (Savery, 2006).
Pembelajaran melalui model pembelajaran tipe Problem Based Learning
merupakan suatu rangkaian pendekatan kegiatan belajar yang diharapkan dapat
memberdayakan siswa untuk menjadi seorang individu yang mandiri dan mampu
menghadapi setiap permasalahan dalam hidupnya dikemudian hari. Pelaksanaan
pembelajaran dengan model PBL, menuntut siswa terlibat aktif dalam mengikuti
proses pembelajaran melalui diskusi kelompok. Langkah awal kegiatan
pembelajaran dilaksanakan dengan mengajak siswa untuk memahami situasi yang
diajukan baik oleh guru maupun siswa, yang dimulai dari apa yang telah diketahui
oleh siswa (Rusman, 2010).
Berdasarkan uraian di atas, maka perlu dilakukan suatu penelitian untuk
mengetahui implementasi Model Pembelajaran Problem Based Learning melalui
Penelitian Tindakan Kelas untuk meningkatkan hasil belajar siswa meliputi hasil
belajar sikap, pengetahuan, dan keterampilan.
METODE
Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif. Jenis
penelitian ini adalah Penelitian Tindakan Kelas (PTK) yang memiliki tujuan untuk
memperbaiki pembelajaran di kelas. Model PTK yang digunakan dalam penelitian
ini merujuk kepada Desain PTK Model Kemmis & McTaggart (2007). Penelitian
ini dilaksanakan dalam dua siklus. Pada setiap siklus memiliki 4 tahapan yakni:
(1) perencanaan, (2) pelaksanaan, (3) pengamatan, dan (4) refleksi. Penelitian ini
dilaksanakan di MAN Malang 1 yang berada di Jalan Baiduri Bulan 40 Malang
yakni pada kelas X-D. Subjek penelitian ini adalah 39 siswa kelas X-D MAN
Malang 1 yang terdiri dari 18 siswa laki-laki dan 21 siswi perempuan pada
semester genap Tahun Pelajaran 2013-2014.
Pengumpulan data dilakukan dengan observasi dan tes. Observasi
merupakan kegiatan pengamatan yang dilakukan oleh peneliti, observer, dan guru
untuk mengamati: (1) aktivitas siswa dan guru serta model pembelajaran pada
proses pembelajaran sebelum PTK, (2) hasil belajar siswa meliputi: sikap yang
terbagi menjadi sikap spiritual dan sikap sosial, pengetahuan, dan keterampilan
siswa sebelum diterapkannya PTK, (4) keterlaksanaan pembelajaran dengan
penerapan Model Pembelajaran Problem Based Learning pada saat PTK oleh guru
dan peserta didik, dan (5) hasil belajar siswa meliputi: sikap yang terbagi menjadi
sikap spiritual dan sikap sosial, pengetahuan, dan keterampilan setelah
diterapkannya PTK. Tes dilakukan pada setiap akhir siklus untuk mengetahui hasil
belajar pengetahuan siswa dan sikap spiritual siswa melalui kuisioner terstruktur
terbuka. Tes untuk mengetahui hasil belajar pengetahuan siswa dilakukan dengan

pemberian soal pilihan ganda dan uraian butir soal sesuai indikator yang
digunakan oleh peneliti. Selanjutnya tes untuk mengetahui sikap spiritual siswa
dilakukan dengan pemberian kuisioner terstruktur terbuka yang berisi beberapa
butir soal sesuai indikator dalam sikap spiritual.
Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini meliputi: (1) lembar
observasi wawancara kegiatan pembelajaran, (2) lembar observasi keterlaksanaan
implementasi Model Problem Based Learning, (3) kuisioner terstruktur terbuka,
(4) lembar observasi sikap sosial siswa, (5) tes akhir siklus, dan (6) lembar
observasi keterampilan siswa.
Data yang diperoleh dianalisis dengan teknik analisis deskriptif kualitatif.
Langkah-langkah analisis deskriptif kualitatif terdiri atas: reduksi data, paparan
data, dan penarikan kesimpulan. Analisis data dari penelitian ini dipaparkan
sebagai berikut.
Keterlaksanaan tindakan penerapan Model Problem Based Learning dapat
diukur dengan menggunakan lembar observasi keterlaksanaan pembelajaran oleh
guru. Selanjutnya keterlaksanaan kegiatan belajar pada penerapan Model Problem
Based Learning dapat diukur menggunakan lembar observasi keterlaksanaan
pembelajaran oleh siswa. Tingkat keberhasilan tindakan oleh guru dan kegiatan
belajar oleh siswa dapat dilihat pada Tabel 1 dan Tabel 2 dengan menggunakan
rumus sebagai berikut.
persentase keterlaksanaan tindakan

= indikator yang muncul x 100%


seluruh indikator
persentase keterlaksanaan kegiatan belajar = indikator yang muncul
x 100%
seluruh indikator
Tabel 1 Persentase Keberhasilan Tindakan
Taraf Keterlaksanaan Tindakan
Taraf Keberhasilan
Dimodifikasi
dari:
85100
Sangat baik
Kementerian
Pendidikan
8084
Baik
Nasional Universitas Negeri
7579
Cukup
Malang (2013: 62)
7074
Kurang
069
Gagal
Tabel
2
Persentase
Keberhasilan Kegiatan Belajar
Taraf Keterlaksanaan Tindakan
Taraf Keberhasilan
Dimodifikasi
dari:
85100
Sangat baik
Kementerian
Pendidikan
8084
Baik
Nasional Universitas Negeri
7579
Cukup
Malang (2013: 62)
7074
Kurang
069
Gagal

Data hasil belajar sikap spiritual diketahui melalui tes menggunakan


kuisioner terstruktur terbuka pada setiap akhir siklus. Hasil belajar sikap spiritual
yang diukur dalam penelitian ini meliputi 7 aspek dasar sikap spiritual yakni: (1)
jujur, (2) disiplin, (3) adil, (4) tanggung jawab, (5) kerja sama, (6) peduli, dan (7)
visioner. Persentase keberhasilan hasil belajar sikap spiritual diukur pada rerata
keseluruhan aspek sikap spiritual.
Data hasil belajar sikap sosial diketahui melalui lembar observasi penilaian
sikap sosial siswa. Hasil belajar sikap sosial yang diukur dalam penelitian ini
mengacu pada 7 sikap sosial berdasarkan Kurikulum 2013 meliputi: (1) jujur, (2)
disiplin, (3) tanggung jawab, (4) toleransi, (5) santun, (6) gotong royong, dan (7)
percaya diri. Persentase keberhasilan hasil belajar sikap sosial diukur pada setiap
aspek sikap sosial dan rerata berdasarkan semua aspek.

Data hasil belajar pengetahuan diketahui melalui tes pada setiap akhir
siklus. Data yang diperoleh kemudian dianalisis untuk menentukan persentase
ketuntasan hasil belajar pengetahuan siswa. Taraf keberhasilan hasil belajar
pengetahuan diukur pada persentase ketuntasan hasil belajar pengetahuan siswa.
Data hasil belajar keterampilan diketahui melalui lembar observasi
penilaian keterampilan siswa. Hasil belajar keterampilan yang diukur dalam
penelitian ini meliputi: (1) pengumpulan bahan pengamatan, (2) pengumpulan
data hasil pengamatan, dan (3) penerapan proses klasifikasi. Persentase
keberhasilan hasil belajar keterampilan diukur pada setiap aspek keterampilan dan
rerata berdasarkan semua aspek.
HASIL
Ringkasan data perbandingan keterlaksanaan tindakan oleh guru dan
kegiatan belajar oleh siswa pada implementasi Model Pembelajaran Problem
Based Learning pada siklus I dan II dapat dilihat pada Tabel 4 dan Tabel 5.
Tabel 4 Perbandingan Keterlaksanaan Tindakan Model Pembelajaran Problem Based
Learning Siklus I dan II
Rerata Taraf Keterlaksanaan
Taraf
Tindakan
Pembelajaran (%)
Keberhasilan
Siklus I
93,67
Sangat baik
Siklus II
98,48
Sangat baik
Peningkatan
Meningkat 4,81
Tabel 5 Perbandingan Keterlaksanaan Kegiatan Belajar pada Model Pembelajaran
Problem Based Learning Siklus I dan II
Rerata Taraf Keterlaksanaan
Taraf
Tindakan
Pembelajaran (%)
Keberhasilan
Siklus I
89,97
Sangat baik
Siklus II
99,49
Sangat baik
Peningkatan
Meningkat 9,52

Persentase ketuntasan hasil belajar sikap spiritual pada pra-penelitian,


siklus I, dan siklus II secara berturut-turut adalah 52,61 %; 68,10%; dan 87,92%
sehingga peningkatan persentase ketuntasan hasil belajar sikap spiritual secara
berturut-turut sebesar 15,49% dan 19,19% serta dapat dilihat pada Gambar 1
berikut.

Gambar 1. Grafik Perbandingan Rerata Persentase Hasil Belajar Sikap Spiritual Siswa pada
Pra-penelitian, Siklus I dan Siklus II

Ringkasan data perbandingan hasil belajar sikap sosial siswa pada siklus I
dan II dapat dilihat pada Tabel 6. Rerata persentase hasil belajar sikap sosial pada

pra-penelitian, siklus I, dan siklus II secara berturut-turut dapat dilihat pada


Gambar 2.
Tabel 6. Perbandingan Persentase Hasil Belajar Sikap Sosial Siswa Siklus I dan II
Siklus I
Siklus II
Aspek Sikap Sosial
Keterangan
(%)
(%)
Jujur
67,56
83,20
Meningkat
Disiplin
69,16
84,35
Meningkat
Tanggung jawab
68,78
82,69
Meningkat
Toleransi
73,27
82,56
Meningkat
Gotong royong
72,94
81,79
Meningkat
Santun
68,84
86,15
Meningkat
Percaya diri
67,53
84,23
Meningkat

Gambar 2. Grafik Perbandingan Rerata Persentase Hasil Belajar Sikap Sosial Siswa pada
Pra-penelitian, Siklus I dan Siklus I

Persentase ketuntasan hasil belajar pengetahuan siswa pada pra-penelitian,


siklus I, dan siklus II secara berturut-turut adalah 47,83%; 56,69%; dan 94,87%
sehingga peningkatan persentase ketuntasan hasil belajar pengetahuan secara
berturut-turut sebesar 8,86% dan 38,18% dan dapat dilihat pada Gambar 3 berikut.

Gambar 3. Grafik Perbandingan Ketuntasan Hasil Belajar Pengetahuan Peserta Didik pada
Pra-penelitian, Siklus I, dan Siklus II

Ringkasan data perbandingan hasil belajar keterampilan peserta didik pada


siklus I dan II dapat dilihat pada Tabel 7. Rerata persentase hasil belajar
keterampilan pada pra-penelitian, siklus I, dan siklus II dapat dilihat pada Gambar
4.
Tabel 7. Perbandingan Persentase Hasil Belajar Keterampilan Siswa Siklus I dan II
Aspek Keterampilan
Siklus I (%)
Siklus II (%)
Keterangan

Persiapan bahan amatan


Pengamatan dan pengumpulan data
Penerapan proses klasifikasi
Rerata

70,51
71,36
69,22
70,36

93,16
88,89
90,59
90,88

Meningkat
Meningkat
Meningkat
Meningkat

Gambar 4. Grafik Perbandingan Rerata Persentase Hasil Belajar Keterampilan Siswa pada
Pra-penelitian, Siklus I dan Siklus II

PEMBAHASAN
Tahap Orientasi Masalah
Tahap pertama dalam PBL yakni tahap orientasi masalah. Tahap orientasi
masalah memfasilitasi siswa untuk meningkatkan kompetensi pengetahuannya
pada ranah C2 yakni memahami, dan meningkatkan kompetensi sikap spiritual
berupa aspek kagum. Tahap ini guru memberikan sebuah fakta yang sesuai dengan
kenyataan kepada siswa sebagai bentuk pemunculan sebuah permasalahan,
selanjutnya siswa dituntut untuk mengenali dan memahami fakta yang disajikan,
sehingga siswa dapat menampakkan kompetensi pengetahuannya pada ranah C2
yaitu memahami. H. S. Barrows dalam (Wianti Aisyah, 2008) sebagai pakar PBL
menyatakan bahwa definisi PBL adalah sebagai sebuah metode pembelajaran
yang didasarkan pada prinsip bahwa masalah (problem) dapat digunakan sebagai
titik awal untuk mendapatkan, mengintergrasikan, atau memahami sebagai ilmu
(knowledge) baru. Dengan demikian, masalah yang ada digunakan sebagai sarana
agar siswa dapat belajar sesuatu yang dapat meningkatkan kompetensi
pengetahuannya dalam tingkatan pemahaman masalah.
Pengenalan masalah yang dilakukan siswa berdasarkan fakta yang
disajikan melalui penjelasan dan gambar struktur morfologi maupun anatomi
hewan, kompetensi yang tampak dalam diri siswa adalah kompetensi sikap
spiritual. Siswa mengagumi keindahan, keagungan, dan kebesaran Ciptaan-Nya
dengan mengucapkan lafadh Alhamdulillah sebagai salah satu wujud rasa syukur.
Fakta pada saat pengamatan siklus I, lafadh spiritual belum tampak diucapkan
oleh siswa sebagai bentuk rasa syukur terhadap ciptaan Allah. Solusi hal tersebut
adalah guru memberikan pengarahan kepada siswa bahwa setiap kali kita melihat
kebesaran, keagungan, dan keindahan ciptaan Allah, marilah kita selalu
mengucapkan Alhamdulillah, Subhanallah sebagai bentuk rasa syukur kita
terhadap ciptaan-Nya.

Tahap Organisasi Masalah

Tahap selanjutnya yakni tahap organisasi siswa untuk belajar yaitu guru
membimbing setiap kelompok untuk mengambil inti atau pokok permasalahan
yang harus dipecahkan. Tahap organisasi siswa untuk belajar dapat memfasilitasi
siswa untuk meningkatkan kompetensi pengetahuannya pada ranah C2 yaitu
memahami. Masing-masing kelompok dituntut untuk mencermati dan memahami
fakta yang disajikan sebelum mengambil inti atau pokok permasalahan dari
rumusan masalah yang telah dibuat sebelumnya untuk kemudian dipecahkan,
sehingga kemampuan siswa untuk memahami suatu fakta dapat mengalami
peningkatan.
Peningkatan hasil belajar pengetahuan ini juga sesuai dengan keunggulan
dari model pembalajaran berbasis masalah yang dinyatakan oleh Arends dalam
Yatim (2009) yaitu: 1) siswa lebih memahami konsep yang diajarkan sebab
mereka sendiri yang menemukan konsep tersebut, 2) menuntut keterampilan
berfikir tingkat tinggi untuk memecahkan masalah, 3) pengetahuan tertanam
berdasarkan skemata yang dimiliki peserta didik sehingga pembelajaran lebih
bermakna, 4) masalah yang dikaji merupakan masalah yang dihadapi dalam
kehidupan nyata, 5) menjadikan peserta didik lebih mandiri dan lebih dewasa,
termotivasi, mampu memberi aspirasi dan menerima pendapat orang lain,
menanamkan sikap sosial yang positif antar peserta didik, 6) saling berinteraksi,
baik dengan guru maupun teman akan memudahkan peserta didik untuk mencapai
ketuntasan belajar.
Tahap Penyelidikan Kelompok
Tahap ketiga yang dilakukan setelah tahap organisasi masalah adalah tahap
penyelidikan kelompok. Tahap penyelidikan kelompok dapat memfasilitasi
peningkatan hasil belajar siswa pada beberapa ranah kognitif meliputi: 1)
kompetensi pengetahuan ranah C3 (mengaplikasikan), dimana siswa dilatih untuk
mengaplikasikan konsep yang diketahuinya pada saat awal tahap orientasi dan
organisasi masalah dengan melakukan pembuktian melalui kegiatan pengamatan,
2) kompetensi pengetahuan ranah C4 (menganalisis), dimana pada tahap ini siswa
dituntuk untuk membuat analisis yang menunjukkan adanya keterkaitan antara
data pengamatan dengan permasalahan yang disajikan.
Hasil belajar pengetahuan secara keseluruhan siswa meningkat pada siklus
II disebabkan materi ajar yang dipilih lebih dikenal oleh siswa dalam kehidupan
sehari-hari. Materi ajar pada siklus II yaitu materi Kingdom Animalia pada Filum
Arthrophoda, Mollusca, dan Echinodermata yang dinilai lebih mudah dipahami
siswa. Mudahnya pemahaman tersebut disebabkan hewan yang diamati sering dan
mudah ditemukan oleh siswa dalam kehidupan sehari-hari, sehingga siswa dapat
memahami konsep yang dijelaskan dalam teori dengan membandingkan dengan
hewan yang diamati secara langsung dengan mudah tanpa menggunakan awetan
basah maupun kering. Kegiatan pengamatan sebagai bentuk aplikasi dari
pengetahuan pada ranah C3 yakni mengaplikasi, dilakukan dengan menggunakan
bahan amatan secara nyata dapat meningkatkan partisipasi siswa untuk bekerja
secara aktif dalam menemukan konsep materi pembelajaran (Alastair, 2002).
Menurut Sugiyanto (2009) sebuah situasi masalah yang disajikan dalam
model Problem Based Learning harus memenuhi lima kriteria penting, salah
satunya yaitu situasi mestinya autentik. Hal ini berarti bahwa masalahnya harus

dikaitkan dengan pengalaman riil siswa dan bermakna yang dapat memberikan
kemudahan kepada mereka untuk melakukan penyelidikan.
Pernyataan di atas sesuai dengan penelitian yang telah dilakukan oleh
Susanti (2012) yang menunjukkan bahwa model pembelajaran Problem Based
Learning adalah salah satu dari sekian banyak model pembelajaran yang dapat
meningkatkan hasil belajar siswa. Pada model pembelajaran Problem Based
Learning, siswa diberikan permasalahan-permasalahan yang ada disekitar mereka
untuk didiskusikan sehingga pada model pembelajaran ini siswa dituntut lebih
aktif dalam kegiatan pembelajaran atau student center. Dengan memecahkan
permasalahan yang ada di sekitar mereka, menjadikan siswa lebih mudah
memahami materi pembelajaran sehingga hasil belajar dapat meningkat. Hasil
belajar yang dimaksudkan dalam penelitian Susanti adalah hasil belajar pada
aspek kognitif atau pengetahuan siswa.
Hasil belajar yang juga dapat diakses dalam tahap penyelidikan individu
adalah hasil belajar sikap spiritual pada seluruh aspek. Aspek sikap spiritual yang
dimaksud meliputi: aspek kerjasama, visioner, dan peduli, dimana siswa disajikan
beberapa permasalahan yang menuntut siswa untuk melakukan analisis
hubungannya dengan aspek spiritual tersebut. Peningkatan sikap spiritual tersebut
disebabkan adanya kegiatan penganalisisan masalah dalam tahap penyelidikan
kelompok. Siswa bersama kelompoknya akan menganalisis sebuah permasalahan
yang didasari dengan penguasaan materi yang baik pada diri tiap-tiap siswa yang
akan mereka gunakan sebagai bekal.
Penganalisisan masalah menjadikan kemampuan berpikir siswa menjadi
lebih berkembang dari sebelumnya karena siswa dihadapkan pada suatu hal yang
harus mereka pecahkan dengan pemikiran mereka sendiri sehingga proses
pembelajaran di dalam kelas mulai berjalan ke arah student center tidak lagi
teacher center. Siswa mulai menghubungkan segala apa yang mereka temukan di
lingkungan, fakta-fakta yang ada dengan konsep materi yang telah tertanam
dengan baik di dalam benak mereka sendiri. Adanya aktivitas tersebutlah yang
memungkinkan siswa mulai menghubungkan nilai-nilai spiritual dengan materi
yang mereka pelajari di dalam kelas.
Rahmawati (2014), menyatakan bahwa munculnya kesadaran siswa akan
nilai-nilai spiritual tidak dapat muncul secara tiba-tiba, melainkan tetap difasilitasi
oleh guru. Guru memegang peranan penting dalam menanamkan sikap spiritual
kepada siswa di sela-sela bimbingan kelompok saat kegiatan pengamatan, sehingga siswa mulai sadar bahwa dalam kegiatan belajar sehari-hari tetap dituntut
untuk menerapkan nilai spiritual.
Hasil belajar selanjutnya yang dapat diakses dalam tahap penyelidikan
individu adalah hasil belajar sikap sosial pada seluruh aspek. Aspek sikap sosial
pertama adalah aspek jujur. Peningkatan persentase aspek sikap jujur siswa
disebabkan penanaman sikap jujur oleh guru kepada siswa dalam setiap
pertemuan. Suparman (2011), menyatakan bahwa penanaman sikap jujur sejak
dini merupakan faktor utama dalam membiasakan seseorang untuk senantiasa
berperilaku jujur. Salah satu nilai dasar yang perlu ditanamkan dalam
pembentukan perilaku akhlak mulia adalah nilai kejujuran. Dengan demikian
apabila pelajar sejak dini telah memiliki dan mampu menerapkan nilai kejujuran
dalam kehidupan sehari-hari, maka diharapkan untuk jangka waktu kedepan,
pelajar senantiasa mampu berperilaku jujur.

10

Hasil belajar sikap sosial selanjutnya dari aspek sikap disiplin.


Peningkatan persentase aspek sikap disiplin siswa disebabkan siswa sudah mulai
terbiasa dengan aturan atau ketentuan yang telah ditetapkan oleh guru dari
beberapa pertemuan yang dilakukan. Kebiasaan merupakan faktor utama dalam
meningkatkan sikap disiplin siswa, sesuai dengan pernyataan Ostiana bahwa
rendahnya sikap disiplin anak disebabkan karena anak belum terbiasa dengan
aturan atau kebiasaan yang dilakukan di rumah maupun di lingkungan masyarakat
yang sangat mempengaruhi terbentuknya perilaku disiplin anak.
Peningkatan prosentase aspek disiplin siswa juga disebabkan usaha yang
dilakukan oleh guru dalam memberikan pengawasan, pembinaan secara berlanjut
pada setiap pertemuan, dan peringatan tegas jika terdapat siswa yang tidak
disiplin. Usaha tersebut dilakukan guru agar siswa terbiasa menerapkan sikap
disiplin di dalam kelas. Pernyataan yang senada diungkapkan Fivi (2014), bahwa
sikap disiplin akan terwujud melalui pembinaan sejak dini, sejak usia muda
dimulai dari lingkungan keluarga, melalui pendidikan yang tertanam sejak usia
muda yang se-makin lama semakin menyatu dalam dirinya dengan bertambahnya
usia.
Hasil belajar sikap sosial selanjutnya dari aspek tanggungjawab.
Peningkatan persentase sikap tanggung jawab siswa disebabkan adanya aktivitas
kegiatan percobaan dalm kelompok pada tahap ketiga dalam sintaks model
Problem Based Learning yakni penyelidikan kelompok. Darma (2007),
menyatakan bahwa model Problem Based Learning menunutut siswa bekerja
secara aktif dan bertanggung jawab dalam menjawab masalah-masalah yang
diberikan dengan cara berdiskusi aktif dengan teman sejawat dan melakukan
percobaan-percobaan.
Problem Based Learning yang terintegrasi dengan adanya kerja kelompok
pada jumlah siswa yang banyak sangat cocok digunakan untuk meningkatkan
komunikasi belajar di dalam kelas (Yusuf, dkk 2011). Peningkatan komunikasi
yang terjadi dapat mendukung karakter tanggung jawab yang harus dilakukan
siswa dalam mempertanggungjawabkan materi pembelajaran dalam kerja
kelompok yang dilakukannya.
Hasil belajar sikap sosial selanjutnya dari aspek toleransi. Peningkatan
persentase sikap toleransi siswa disebabkan usaha guru dalam menanamkan sikap
toleransi kepada siswa daalm pembelajaran. Usaha tersebut tampak pada awal
kegiatan pendahuluan, guru membagi siswa menjadi 6 kelompok, dimana masingmasing kelompok terdapat perbedaan jenis kelamin siswa, kemampuan akademik,
ras, suku, dan latar belakang kehidupan. Perbedaan tersebut bertujuan agar
terbentuk sikap toleransi siswa pada awal pembelajaran, dimana masing-masing
siswa dapat menerima siswa dalam kelompoknya tanpa memandang perbedaan
yang ada.
Hasil belajar sikap sosial selanjutnya dari aspek gotong royong.
Peningkatan persentase sikap gotong royong siswa disebabkan guru selalu
menanamkan sikap gotong royong pada saat melakukan bimbingan di setiap
kelompok yang melakukan pengamatan. Guru memberikan arahan bahwa dengan
melakukan kegiatan pengamatan secara bersama-sama dan bergotong royong akan
lebih cepat terselesaikan daripada dilakukan secara individu. Sikap gotong royong
yang dapat diterapkan adalah dengan melakukan pembagian tugas sesuai dengan

11

prosedur, saling mendorong satu sama lain untuk bekerja sama agar terselesaikan
dengan baik dan sesuai dengan harapan, dan pengambilan keputusan bersama.
Hasil belajar sikap sosial selanjutnya dari aspek santun. Peningkatan
persentase sikap santun siswa disebabkan terbiasanya siswa untuk dituntut
bersikap santun dalam berpendapat dalam mengungkapkan pendapat. Dyah
(2009), mengemukakan bahwa pembiasaan sikap santun yang dilakukan secara
terus menerus dapat menyebabkan anak menjadi terbiasa bersikap santun dalam
kehidupan sehari hari baik dalam bergaul dengan keluarga, teman dan lingkungan
sekolah. Anak yang dibiasakan secara terus me-nerus untuk bersikap sopan santun
akan lebih mudah bersosialisasi.
Hasil belajar sikap sosial terakhir adalah aspek percaya diri. Peningkatan
persentase sikap percaya diri siswa disebabkan kesadaran diri siswa dalam
menampilkan kepercayaan dirinya pada saat melakukan kegiatan pengamatan.
Rusman (2010), mengemukakan bahwa model Problem Based Learning
merupakan model pembelajaran yang menggunakan masalah dunia nyata sebagai
konteks bagi siswa untuk belajar percaya diri dan keterampilan pemecahan
masalah serta untuk untuk memperoleh pengetahuan dan konsep yang esensi dari
materi pelajaran. Dengan demikian, model Problem Based Learning dapat
memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengeksplorasi, mengumpulkan dan
menganalisis data sehingga siswa mampu menampilkan sikap percaya diri yang
meliputi: analisis, sintesis, dan evaluasi.
Hasil belajar selanjutnya yang dapat diakses dalam tahap penyelidikan
individu adalah hasil belajar keterampilan pada seluruh aspek. Aspek
keterampilan siswa pertama adalah aspek pengumpulan alat dan bahan amatan.
Peningkatan persentase aspek pengumpulan alat dan bahan amatan disebabkan
prinsip dalam PBL mewajibkan seluruh informasi menjadi tanggung jawab siswa
bukan guru. Sesuai dengan pernyataan Paulina Pannen dkk (2000), bahwa pada
model PBL, sumber informasi diidentifikasi, dikumpulkan, dievaluasi dan
dimanfaatkan oleh peserta didik sendiri, bukan disediakan oleh pendidik.
Hasil belajar keterampilan siswa selanjutnya dari aspek pengamatan dan
pengumpulan data. Peningkatan persentase aspek pengamatan dan pengumpulan
data siswa disebabkan karakteristik dari model PBL yang menuntut adanya
penyelidikan secara autentik. Penyelidikan secara autentik yang dilakukan siswa
meningkatkan keterampilan siswa dalam melakukan pengamatan sesuai dengan
prosedur yang ditetapkan. Penyelidikan secara autentik juga menyebabkan
keterampilan siswa dalam mengumpulkan data berkembang, karena dengan
melakukan kegiatan penyelidikan akan diperoleh berbagai macam data
pengamatan sebagai wujud dari pelaksanaan penyelidikan. Ibrahim dan Nur
(2007), menjelaskan bahwa salah satu karakteristik model PBL adalah adanya
penyelidikan secara autentik. Penyelidikan autentik menuntut siswa harus
melakukan berbagai macam kegiatan, salah satu kegiatan tersebut adalah
mengumpulkan informasi melalui tahap penyelidikan individu.
Hasil belajar keterampilan siswa terakhir adalah aspek proses penerapan
klasifikasi. Peningkatan persentase aspek proses penerapan klasifikasi disebabkan
karakteristik model PBL yang menyajikan suasana belajar dalam kondisi aktif
oleh siswa dalam memecahkan permasalahan, salah satunya dengan penerapan
klasifikasi (Wulandari, 2013). Dalam melakukan pengelompokkan hewan dalam
suatu filum tertentu, siswa dituntut untuk melakukan proses klasifikasi melalui

12

tahap tahap metode ilmiah dalam penglasifikasian yakni mendeskripsikan,


menemukan persamaan dan perbedaan, dan menetapkan klasifikasi. Penerapan
proses klasifikasi yang sesuai dengan tahapan dalam metode ilmiah menyebabkan
keterampilan siswa dalam melakukan pengelompokkan menjadi lebih
berkembang.
Akinbobola dan Afolbi (2010) menjelaskan bahwa model Problem Based
Learning merupakan salah satu contoh model pembelajaran yang bersifat
kontruktivisme, dimana di dalam kelas konstruktivisme, guru memfasilitasi dan
memberikan siswa dengan pengalaman yang memungkinkan mereka untuk menggunakan keterampilan ilmu proses seperti melakukan klasifikasi makhluk hidup.
Tahap Pengembangan dan Penyajian Hasil Karya
Pelaksanaan tahap pengembangan dan penyajian hasil karya dapat
memfasilitasi siswa dalam meningkatkan hasil belajar pada beberapa kompetensi
meliputi: 1) kompetensi pengetahuan ranah C2 yakni memahami, dimana pada
saat kelompok melakukan presentasi, siswa lainnya mendengarkan, mencermati,
dan memahami sebagai pengetahuan baru yang didapatkannya, 2) kompetensi
sikap sosial aspek jujur, dimana setiap kelompok dituntut mempresentasikan data
pengamatan dan hasil analisis dengan jujur dan apa adanya, 3) kompetensi sikap
sosial santun, toleransi, dan percaya diri, dimana dalam jalannya diskusi
presentasi, siswa dituntut untuk mempresentasikan, menyampaikan pendapat
dengan bahasa yang baku, santun, tidak menyinggung perasaan, dan rasa percaya
diri yang tinggi.
Peningkatan persentase sikap gotong royong siswa dalam tahap
pengembangan dan penyajian hasil karya disebabkan kesadaran dalam diri masing
-masing siswa dalam mempresentasikan hasil pengamatan yang diperoleh secara
bersama-sama tanpa ada unsur individualitas yakni menguasai hasil pengamatan
untuk dipresentasikan oleh diri sendiri. Legimin (2011), menyatakan bahwa sifat
kebersamaan gotong royong juga tercermin dalam mekanisme pengambilan
keputusan yang dilakukan pula secara musyawarah dan mufakat. Agar gotong
royong selalu terjaga supaya tidak luntur diperlukan suatu usaha dan kesadaran
pada diri sendiri karena dengan gotong royong akan tercipta rasa kesatuan dan
persatuan di dalam kehidupan.
Peningkatan persentase sikap toleransi siswa dalam tahap pengembangan
dan penyajian hasil karya disebabkan usaha guru dalam menanamkan sikap
toleransi seperti menghagai pendapat teman, memperhatikan sajian presentasi
yang dijelaskan kelompok presentator dengan cara tidak bermain, berbincang
dengan teman lainnya. Dalam literatur agama islam, toleransi disebut sebagai
tasamuh, yang artinya sifat atau sikap menghargai, membiarkan, membolehkan
pendirian atau pandangan orang lain yang bertentangan dengan pandangan kita
(Syamsul Maarif, 2005:14)
Peningkatan persentase sikap santun siswa dalam tahap pengembangan
dan penyajian hasil karya disebabkan siswa sudah mulai terbiasa dalam
membudayakan sikap santun, termasuk dalam santun saat mengemukakan saran,
tanggapan, dan pendapat atas hasil pengamatan yang dipresentasikan oleh
temannya. Atan (2000), menyatakan bahwa anak yang dibiasakan secara terus
menerus untuk bersikap sopan santun akan lebih mudah bersosialisasi. Anak
tersebut lebih mudah memahami aturan-aturan yang ada di lingkungannya dan

13

mau mematuhi aturan umum tersebut. Anak pun relatif mudah menyesuaikan diri
dengan lingkungan baru, supel, selalu menghargai orang lain, penuh percaya diri,
dan memiliki kehidupan sosial yang baik, dan tumbuh menjadi sosok yang
beradab.
Tahap Analisis dan Evaluasi Proses Pemecahan Masalah
Pelaksanaan tahap pengembangan dan penyajian hasil karya dapat
memfasilitasi siswa dalam mengembangkan beberapa kompetensi meliputi: 1)
kompetensi pengetahuan ranah C2 yakni memahami, dimana pada saat guru
melakukan review, siswa dapat memperoleh konsep-konsep baru yang belum
diketahui sebelumnya pada saat review, sehingga siswa dituntut untuk menyimak
dan memahami penjelasan guru, 2) kompetensi sikap spiritual pada aspek jujur,
tanggungjawab, disiplin, kerjasama, adil, visioner, dan peduli, ketujuh poin dasar
spiritual tersebut dijelaskan oleh guru pada saat review dengan menghubungkan,
memberikan contoh aplikasi dalam kehidupan sehari-hari, 3) kompetensi sikap
sosial pada aspek toleransi saat guru melakukan review dengan memperhatikan
dan mencatat hal yang dinilai penting, aspek santun dalam menyampaikan
pertanyaan menggunakan bahasa yang baku dan sopan, aspek percaya diri dalam
mengajukan pertanyaan dengan sikap optimis bahwa bertanya merupa-kan salah
satu cara memperoleh pengetahuan baru.
Peningkatan persentase sikap spritual siswa pada ketujuh aspek dalam
poin dasar sikap spiritual dalam tahap pengembangan dan penyajian hasil karya
disebabkan adanya pemfasilitasan oleh guru dalam bentuk review. Sesuai dengan
pernyataan Rahmawati (2014), yang menyatakan bahwa munculnya kesadaran
siswa akan nilai-nilai spiritual tidak dapat muncul secara tiba-tiba, melainkan
tetap difasilitasi oleh guru. Peneliti beranggapan bahwa walaupun guru telah
memfasilitasi siswa untuk sadar akan adanya nilai-nilai spiritual dalam materi
yang mereka pelajari, jika model pembelajaran yang diterapkan di dalam kelas
tidak mampu memberdayakan siswa untuk memahami nilai-nilai tersebut maka
siswa hanya akan menyadari saja tanpa ada keterlanjutan yang berarti dan tidak
akan ditemui adanya peningkatan nilai-nilai sikap spiritual pada diri siswa.
Salah satu contoh belum munculnya peningkatan sikap spiritual pada diri
siswa adalah belum ditemuinya bentuk ucapan spiritual seperti Astaghfirullah
ketika menanggapi hal buruk, Subhanallah ketika melihat dan mengagumi keagungan ciptaan Allah, Alhamdulillah ketika menyadari manfaat setiap ciptaan
Allah yang diciptakan di muka bumi, dan sebagainya dalam kuisioner terstruktur
yang difasilitasi oleh guru untuk diisi siswa sebelum model pembelajaran
Problem Based Learning diterapkan, namun sikap spiritual siswa mulai muncul
dan berkembang setelah peneliti mengimplementasikan model Problem Based
Learning, munculnya sikap spiritual tersebut terlihat saat siswa diharuskan untuk
mengisi kuisioner terstruktur yang yang difasilitasi oleh guru untuk diisi siswa
pada akhir siklus I dan II, dalam beberapa jawaban siswa sudah dijumpai adanya
kalimat-kalimat spiritual yang muncul serta berbagai bentuk pemikiran (tafakur)
dalam bentuk amar maruf wa nahi munkar atas adanya nilai spiritual dalam
materi Kingdom Animalia yang mereka pelajari.

14

KESIMPULAN DAN SARAN


Kesimpulan
Berdasarkan uraian penelitian, maka kesimpulan yang diperoleh dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut.dapat disimpulkan sebagai berikut: (1a)
Implementasi model pembelajaran Problem Based Learning dapat meningkatkan
hasil belajar sikap spiritual siswa kelas X-D MAN Malang 1. Persentase hasil
belajar sikap spiritual siswa pada siklus I sebesar 68,10% mengalami peningkatan
sebesar 19,82%, sehingga menjadi 87,92% pada siklus II. (1b) Implementasi
model pembelajaran Problem Based Learning dapat meningkatkan hasil belajar
sikap sosial siswa kelas X-D MAN Malang 1. Persentase hasil belajar sikap sosial
siswa pada siklus I sebesar 69,72% mengalami peningkatan sebesar 13,83%,
sehingga menjadi 83,55% pada siklus II., (2) Implementasi model pembelajaran
Problem Based Learning dapat meningkatkan hasil belajar pengetahuan siswa
kelas X-D MAN Malang 1. Persentase hasil belajar pengetahuan siswa pada siklus
I sebesar 56,69% mengalami peningkatan sebesar 38,18%, sehingga menjadi
94,87% pada siklus II.; dan (3) Implementasi model pembelajaran Problem Based
Learning dapat meningkatkan hasil belajar keterampilan siswa kelas X-D MAN
Malang 1. Persentase hasil belajar keteram-pilan siswa pada siklus I sebesar
70,36% mengalami peningkatan sebesar 20,52%, sehingga menjadi 90,88% pada
siklus II..
Saran
Saran pada penelitian ini merupakan saran dari peneliti berkaitan dengan
penerapan model Problem Based Learning dalam pembelajaran. Saran yang dapat
peneliti berikan yaitu sebagai berikut: (1) Penilain hasil belajar sikap spiritual
siswa sebaiknya dilakukan menggunakan kuisinoer terstruktur terbuka, karena
masing-masing aspek spiritual lebih mudah dilakukan penilaian secara konsep
melalui tafakkur melalui cerminan amar maruf wa nahi munkar tidak secara
subjektif pada masing-masing siswa menggunakan lembar observasi yang sulit
dilakukan penilaian pada masing-masing siswa untuk memunculkan aspek
spiritual. Digunakan kuisinoer terstruktur terbuka dalam penilaian sikap spiritual,
karena bertujuan untuk meng-akomodasi pendapat siswa secara bebas dalam
menampilkan aspek sikap spiritual yang dinilai; (2) Penilaian hasil belajar sikap
sosial siswa yang dinilai berdasarkan hasil observasi menggunakan lembar
observasi sikap sosial, sebaiknya diamati oleh banyak observer atau minimal
sesuai dengan jumlah kelompok belajar. Hal ini bertujuan agar data sikap sosial
yang diperoleh lebih komperehensif; dan (3) Pemilihan materi ajar sebaiknya
disesuaikan dengan kenyataan yang sering ditemui siswa dalam kehidupan seharihari yang membangun pengalaman siswa secara riil. Pengalaman riil siswa dapat
memberikan kemudahan siswa untuk memahami konsep dan keterampilan siswa
dalam melakukan penyelidikan.
DAFTAR RUJUKAN
Akinbobola, A. O. & Afolabi, F. 2010. Constructivist Practices Through Guided
Discovery Approach: the Effect on Students Cognitive Achievement in

15

Nigerian Senior Secondary School Physics. Eurasian Journal Physic


Chemistry Education. Vol. 2(1): 1625.
Alastair, D McPhee. 2002. Problem Based Learning in Initial Teacher Education:
Taking the Agenda. Journal of Educational Enquiry. Vol. 3 (1): 6078.
Atan, H, Sulaiman, F, dan Idrus, R. 2005. The Effectiveness of Problem Based
Learning in the Web Based Environment for the Delivery of an
Undergraduate Physics Course. International Education Journal. Vol. 6(4):
430-437.
Aisyah, Wianti. 2008. Pembelajaran melalui Metode Problem Based Learning
dalam Upaya Meningkatkan Mutu Pendidikan. Skripsi tidak diterbitkan.
Universitas Padjajaran.
Arends, Richard. I. (2008). Belajar untuk Mengajar. Edisi ke Tujuh Alih Bahasa
oleh Helly Prayitno dan Sri Mulyantani Prayitnodari Judul Learning to
Teach. Seventh Edition. Yogyakarta : Penerbit Pustaka Pelajar.
Darma, K. 2007. Pengaruh Model Pembelajaran Konstruktivisme terhadap
Prestasi Belajar Matematika Terapan pada Mahasiswa Politeknik Negeri
Bali. Laporan Penelitian. Politeknik Negeri Bali.
Paulina Pannen. 2005. Pembelajaran Orang Dewasa. Edisi Revisi. PAU-PPAI
Universitas Terbuka, Jakarta
Rahmawati, N.S.E.T.P. 2014. Pengaruh Pembelajaran Project Based Learning
dan Problem Based Learning untuk Meningkatkan Kompetensi Spiritual,
Sikap, dan Pengetahuan pada Siswa Berkemampuan Akademik Berbeda XI
IPA MAN Malang I. Skripsi tidak diterbitkan. Malang: UM
Rusman. (2012). Model-model Pembelajaran Mengembangkan Profesional Guru.
Jakarta : Raja Grafindo Persada.
Savery, John R. 2006. Overview of Problem Based Learning: Definitions and
Distinctions. Interdisciplinary Journal of Problem Based Learning. Vol.
1(1):12
Syamsul Maarif (2005), Pendidikan Pluralisme di Indonesia, Jogjakarta:logung
Pustaka.
Wulandari, B dan Surjono, H.D. 2013. Pengaruh Problem Based Learning
terhadap Hasil Belajar Ditinjau Dari Motivasi Belajar PLC di SMK. Jurnal
Pendidikan Vokasi. Vol.3 (2): 178-191
Yusuf, Syamsu dkk. 2011. Perkembangan Peserta Didik. Jakarta: Grafindo
Persada.

Anda mungkin juga menyukai