Anda di halaman 1dari 6

Sentuhan angin yang sejuk nan lembut mendekap.

Jejak kaki terdengar


melangkah menuju kamar mandi dengan pelannya. Sempat kumenoleh dan melihat
bayangan sosok wanita dengan tubuh membungkuk menghidupkan keran air. Tibatiba ponselku menjerit memecahkan gendang telingaku. Seakan menyayat hatiku
yang sedang sunyi bergelimang syahdu. Hampir saja ponselku jadi korban
pembunuhanku kalau aku tak bisa mengendalikan emosiku pagi itu.
Ah ternyata yang kutakutkan tadi ternyata mamaku yang sudah bangun dan
sedang menyiapkan sarapan untukku. Lagi-lagi aku bangun terlambat.
Habib.. cepat bangun terus bergegas ke kampus jangan sampai terlambat!.
seru mamaku.
Namun aku tidak mendengarkan hirauan mama. Toh, selama ini aku juga
tidak pernah masuk kelas. Jadi aku tidak khawatir untuk terlambat pergi ke kampus.
Aku kembali menarik selimut dan kembali memejamkan mata meskipun sinar
matahari mencoba mengusik tidurku.
Tok tok tok...
Habib.. bangun nak..!
Terdengar suara mama mengetuk pintu dan kembali membangunkanku.
Dengan segera wanita separuh baya itu masuk dan mengusap kepalaku dan
membuatku terjaga. Begitu lembutnya wanita yang telah mendidik diriku ini
semenjak kecil. Dengan sedikit kesal aku bergegas bangun ke kamar mandi, mama
tersenyum melihat tingkahku yang sudah menjadi kebiasaan.
Setelah selesai, aku menuju dapur untuk ikut sarapan bersama mama dan
papa. Seperti biasa, mama selalu menyiapkan makanan kesukaanku agar aku tidak
selingkuh ke warung sebelah atau kantin tempat biasanya aku nongkrong bersama
teman-teman.
Aku melihat sosok yang sedang asyik bercanda dengan papa. Kupandangi
wajah mereka itu penuh dengan keceriaan, berbeda saat aku menatap wajah temantemanku. Kelembutan mama dan papa telah menusuk hati banyak orang yang
mengenalnya. Aku telah berbuat dosa kepada mereka. Kenapa aku tidak bisa
membahagiakan mereka? Apa yang telah ku akukan?
Terbaring kumenatap ranting-ranting pohon yang tumbuh menjalar seiring
bergugurannya dedaunan hijau kekuning-kuningan. Tak lama hinggap sepasang
burung merpati di atasnya. Ranting pohon yang sudah sangat tua dan rapuh tidak
mengeluh. Lagi dan lagi semakin banyak burung yang menghinggapinya. Tapi hal itu
tidak menjadi beban. Serapuh apapun raganya tapi jiwa tetap bersemi, begitu juga
tidak bisa bersemi raga di kala jiwa rapuh.

Aku tersadar bahwa apa yang telah papa dan mama lakukan terhadapku
merupakan sebuah pengorbanan yang sangat besar. Tetapi aku terus tenggelam
dalam lautan sengsara.
Pagi itu aku sudah janjian dengan temanku Feri untuk nongkrong di cafe
dekat dengan kampusku. Biasanya kami selalu bolos kuliah dan menghabiskan
waktu di mall, cafe dan tempat-tempat menarik lainnya. Hampir setiap hari aku
berbohong kepada papa dan mama kalau aku tidak pernah absen di kampus.
Muncul dalam benakku kalau aku ingin menghentikan semua ini dan mengikuti apa
yang diperintahkan papa dan mama kepadaku. Aku juga selalu teringat jerih payah
mereka yang menyekolahkanku saat aku menghabiskan uang untuk hal yang tidak
berguna, namun aku tidak bisa menghindari godaan ini.
Aku terdiam saat melihat kedua orang tuaku tersenyum bahagia melihat
semangat dari raut wajaku untuk menuntut ilmu di kampus. Di balik itu, aku merasa
sedih telah mengecewakan kedua malaikatku itu. Aku melangkah menuju kampus
pagi itu dengan hati bergelimang. Dari jauh aku melihat mama dan papa
memandang bangga satu-satunya penerus mereka kelak ini.
Semakin kumelihat mereka semakin hatiku menjerit. Aku tak kuasa
melakukan semua ini kepada papa dan mama. Aku ingin bercerita kepada Feri kalau
aku tidak sanggup mengecewakan mereka. Langkahku semakin cepat sebelum aku
menyesalinya semuanya. Aku ingin belajar seperti halnya teman-teman yang lain.
Aku ingin membanggakan mama dan papa yang telah salah sangka terhadapku.
Tak sadar aku berjalan tanpa memperhatikan banyak kendaraan yang
melintas ke arahku dan kumelihat mobil yang semakin lama semakin dekat seakan
memangsaku.
Bruk....!
Mendadak hitam.
Dan semua yang kulihat menjadi hitam. Aku hanya bisa mendengar suara
ambulance dan banyak orang yang menghampiri. Seluruh tubuhku mati rasa. Aku
tak kuasa menggerakkan seluruh tubuh.
Habib.. anakku....!
Bangun sayang.....
Aku mendengar suara isakan tangis mama.
Lalu aku berusaha membuka mata dan melihat semua apa yang terjadi.
Namun aku bingung semua yang kulihat gelap gulita. Aku hanya mendengar banyak
suara isakan tangis mengelilingi seakan menanti hidupku setelah kematian.

Apa yang terjadi ma? Kenapa mama dan papa menangis? Kenapa lampunya
tidak dinyalakan? tanyaku meminta penjelasan darinya.
Kamu baik-baik saja sayang, kamu masih selalu bersama mama dan papa.
Jawab sahut berusaha menenangkanku.
Aku berusaha mengingat kembali apa yang terjadi sebelum hilang kesadaran,
tapi hasilnya nihil. Aku nyaris tidak bisa mengingat apapun sebelum bangun tadi.
Lalu aku meraba tubuh dan syukur ternyata masih utuh seperti sedia kala. Aku
meminta mama menyalakan lampu agar terang dan bisa melihat papa dan mama.
Tapi aku tersentak kaget ketika mama semakin terisak menangis karena
permintaanku.
Lampunya sudah nyala nak.. mama semakin erat memelukku dan menangis
tersedu-sedu.
Aku langsung paham dengan jawaban mamaku itu. Aku bukan anak kecil lagi
yang harus dijelaskan lebih detail dengan jawaban panjang lebar. Ketika itu juga aku
teringat dengan peristiwa kecelakaan itu.
Akupun terdiam dengan air mata yang mengalir membasahi wajah.
Namun aku heran kenapa aku tidak bisa menggerakkan kedua kaki yang
seakan-akan kaki ini ditindih oleh batu yang sangat besar. Dalam benakku, aku
mulai menebak-nebak.
Apakah aku lumpuh? Apa yang sebenarnya terjadi padaku?
Ternyata dugaanku benar. Kedua kakiku tidak bisa mengerjakan tugasnya
lagi. Begitu juga dengan mataku, selama ini aku tak bisa memanfaatkan nikmat
penglihatanku ini. Aku juga bahkan tidak pernah menjarahkan kaki ini ke tempat
yang diperintahkan oleh kedua malaikatku, malah aku mempergunakannya untuk
menikmati kesenangan dunia semata.
Feri teman akrabku juga ikut menjenguk ketika itu. Namun tidak lama, dia
pulang karena ada urusan penting.
Ya Tuhan.... Aku semakin terisak saat mengingat begitu besarnya kesalahan
terhadap mama dan papa.
Aku bahkan belum sempat meminta maaf kepada mereka. Aku belum sempat
menapaki kaki ini ke dalam kelas untuk membahagiakan orang tua. Kenapa semua
ini terjadi begitu cepat? Kenapa Engkau tidak memberi sedikit kesempatan
kepadaku ya Rabb?
Setelah beberapa bulan di rumah sakit aku kembali pulang ke rumah.
Terakhir aku pergi dari rumah ini aku masih bisa berjalan tegap bahkan bisa melihat
senyuman indah dari pancaran wajah mama dan papa. Tapi sekarang semuanya

telah berubah. Aku hanya bisa duduk di kursi roda yang didorong oleh mama.
Bahkan aku tidak bisa lagi melihat mama dan papa yang selalu membuat hati
tenteram.
Aku terbaring dan terus terbaring setelah beberapa bulan aku menikmati bau
khas rumah sakit itu. Semua yang kulihat hanyalah dalam satu warna, hitam.
Akupun menceritakan semua apa yang telah kulakukan semenjak masih
sehat kepada mama dan papa. Tetapi, mereka tidak memarahiku meskipun tau
mreka sangat kecewa. Namun aku berjanji kepada mereka tidak akan
mengulanginya lagi. Aku ingin mulai belajar meskipun dalam keadaan cacat seperti
ini.
Tidak lama setelah itu papa menyuruh sepupuku, Basri untuk menemaniku
setiap hari saat kuliah. Akupun lega karena papa mengizinkan untuk belajar di
kampus. Aku tidak akan menyia-nyiakan kesempatan yang telah kedua orang tuaku
berikan karena kesempatan tidak datang dua kali.
Pagi itum Basri sudah siap ingin mengantarkanku kuliah. Ia bersedia
menolong orang cacat sepertiku ini. Bahkan teman akrabku sendiri yang selama ini
selalu bersama, tidak pernah mengunjungiku lagi semenjak keadaan ini menimpaku.
Terakhir ia jumpa denganku saat di rumah sakit beberapa bulan yang lalu.
Mengingat hal itu, aku kembali sedih dan menyesal telah bergaul dengan orang
yang salah. Aku telah menduakan orang tuaku. Padahal mereka adalah orang yang
sangat menyayangi dan selalu ada bersamaku dikala suka maupun duka seperti
halnya burung yang hinggap di ranting yang kulihat dulu.
Aku berpikir semua ini sudah terjadi dan tidak bisa diulangi kembali. Meskipun
merasa menyesal terhadap apa yang kulakukan dulu tapi waktunya sudah terlambat.
Aku hanya bisa mengikuti takdir yang diberikan Tuhan saat ini.
Sesampai di kelas, aku duduk bersama teman-teman yang lain. Aku tidak
bisa melihat dosen yang mengajariku di kelas melainkan hanya bisa mendengar dan
menulis. Teman-teman sangat kasihan padaku dan membantu aku ketika hendak
menulis apa yang diterangkan oleh dosen.
Aku merasa kesulitan saat dosen menerangkan dengan menulis di papan
tulis. Terkadang aku juga menulis di tempat yang sama sehingga tulisanku telah
menumpuk-numpuk bagai sampah yang bertumpuk menjulang tinggi.
Percuma aku menulisnya, toh setelah menulis aku juga tidak bisa
membacanya. pikirku
Hanya telingalah satu-satunya alat yang bisa aku pergunakan dalam
menuntut ilmu sekarang. Aku harus merawat sebaik mungkin alat ini demi
membahagiakan kedua orang tuaku.

Hari demi hari berlalu, berbagai carapun telah dilakukan papa demi
kesembuhanku. Hingga saat aku akan dioperasi mata untuk ketiga kalinya aku
menolak.
Pa, lebih baik habib seperti ini tetapi bisa membahagiakan papa dan mama,
daripada punya kaki untuk berjalan, mata untuk melihat tapi malah habib hanya bisa
mengecawakan kalian. aku tak sanggup membendungi air matA saat mengatakan
ini.
Waktu tak pernah bisa mundur. Sekalipun dunia ini dibalikkan oleh Tuhan
tetapi waktu tidak akan pernah bisa kembali. Ya, waktu itu..
Waktu dimana aku tidak memanfaatkannya sekalipun dalam hidupku dikala
bahagia. Waktu dimana aku bisa menghembuskan nafas panjang tanpa memikirkan
arti hidupku yang sesungguhnya. Waktu dimana aku melihat papa dan mama
tersenyum karena salah sangka terhadapku. Bisakah aku dapati kembali waktu yang
seperti itu agar aku bisa mengubah semuanya?
Ya Tuhan....
Begitu hinanya aku di sisimu ya Rabbi..
Wanita separuh baya yang telah mendidikku sejak kecil mencoba
menenangkan aku yang terisak di tempat tidur. Tidak ada sepatah katapun yang
terucap dari bibir MAMA melainkan hanya mengusap dahiku dengan lembut penuh
kasih sayang.
Lalu ia membisikkan telingaku :
Habib... bangun sayang...
Kamu mimpi apa kenapa sampai berkeringat dan berlinang air mata seperti
itu? tanya mama berusaha membangunkanku.
Ayo cepat mandi terus sarapan! Kita hari ini pergi liburan ke puncak bersama
papa kan?
Cepat bergegas gih..! Papa sudah menunggu di bawah.
Aku tidak langsung bergegas, melainkan aku langsung meraba mata dan
kakiku. Ternyata semua ini hanyalah mimpi. Aku sangat bersyukur ternyata apa
yang kualami tadi hanyalah bunga tidurku.
Aku memeluk mama dengan sangat erat.
Ma... maafin semua kesalahan habib ya ma.. habib udah mengecewaka
mama dan papa. Habib mau belajar, enggak main-main lagi. Habib mau
membahagiakan mama sama papa. Maafin habib ya ma...

Lalu mama tertawa terbahak-bahak.


Loh, mama kenapa tertawa? Habib ga bercanda ma, habib serius.
Kamu ngomong apa nak? Kok bangun-bangun nangis minta maaf gitu?
tanya mama sambil tertawa kecil.
Kapan kamu main-main habib anakku? Bukankah selama ini kamu selalu
rajin belajar sehingga kamu bisa meraih IP tertinggi di kampus kemarin? Dan
sekarang mama dan papa mau ajak kamu liburan karena kesuksesanmu. Sudah
sana cepat siap-siap!
Aku merasa malu di depan mama. Dan aku baru sadar kalau aku memang
mahasiswa terbaik di kampus. Semua kisah sedih ku itu hanyalah mimpi. Aku
sangat bersyukur kepada Tuhan masih diberikan kesempatan untuk
membahagiakan kedua orang tua. Aku masih bisa melihat mereka berdua
tersenyum bahagia melihat putra mereka bisa menjadi anak yang dibanggakan. Aku
hembuskan nafas panjang pertanda kisah burukku sudah berakhir.
Mimpi burukku itu cukup menjadi pelajaran untuk lebih bersyukur. Bayangkan
jika kita tidak bisa melakukan apapun yang kita inginkan seperti kisah ceritaku itu,
pasti kita sudah menyalahkan Tuhan. Padahal diri kitalah yang salah karena tidak
pernah mensyukuri nikmat yang telah diberikanNya dengan menggunakan apa yang
kita miliki dengan hal yang bermanfaat.

Anda mungkin juga menyukai