Anda di halaman 1dari 11

TUGAS PARASITOLOGI

KELOMPOK 4
Ascaris lumbricoides

Nama Kelompok :
1. Ida Ayu Ratih Dwi Nugraha Putri

(1208505001)

2. Sonia Rahmi Nachia

(1208505004)

3. Zul Aini

(1208505006)

4. Anabel Dewanta Surachmat

(1208505008)

5. Claudia Primadewi

(1208505038)

JURUSAN FARMASI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS UDAYANA
2013

BAB I
PENDAHULUAN

Menurut WHO (1985), terdapat sepuluh infeksi parasit yang penting di dunia, yaitu
infeksi oleh Ascaris lumbricoides, Plasmodium sp., Trichuris trichiura, ameba, filarial,
Schistosoma sp., Giardia lamblia, Trypanosoma sp., serta Leishmania sp. Nyata sekali di sini,
sebagian besar dari penyakit parasit yang diisyaratkan oleh WHO di atas merupakan parasitparasit yang banyak ditemukan dan menimbulkan masalah kesehatan masyarakat Indonesia
(Natadisastra dan Agoes, 2009).
Ascaris lumbricoides tersebar di seluruh dunia, lebih banyak ditemukan di daerah
beriklim panas dan lembab. Di beberapa daerah tropis derajat infeksi dapat mencapai 100% dari
penduduk. Pada umumnya lebih banyak ditemukan pada anak-anak berusia 5-10 tahun sebagai
host yang juga menunjukkan beban cacing yang lebih tinggi (Haryanti, 1993).
Ascaris lumbricodes merupakan parasit dengan prevalensi tertinggi di Asia sebesar 73%.
Diperkiraan di seluruh dunia terdapat 1,3 miliar juta orang yang terinfeksi Ascaris. Di Indonesia,
prevalensi askariasis tinggi, terutama pada anak dengan prevalensi antara 60-90%. Tingginya
prevalensi askariasis terkait dengan kondisi sosio-ekonomi yang buruk. Semakin buruk hygiene
dan sanitasi, semakin mudah terkena infeksi Ascaris (Puspita, 2009).
Cacing betina dewasa mempunyai bentuk tubuh posterior yang membulat (conical),
berwarna putih kemerah-merahan dan mempunyai ekor lurus tidak melengkung. Cacing betina
mempunyai panjang 22 - 35 cm dan memiliki lebar 3 - 6 mm. Sementara cacing jantan dewasa
mempunyai ukuran lebih kecil, dengan panjangnya 12 - 13 cm dan lebarnya 2 - 4 mm, juga
mempunyai warna yang sama dengan cacing betina, tetapi mempunyai ekor yang melengkung ke
arah ventral. Kepalanya mempunyai tiga bibir pada ujung anterior (bagian depan) dan
mempunyai gigi-gigi kecil atau dentikel pada pinggirnya, bibirnya dapat ditutup atau
dipanjangkan untuk memasukkan makanan (Soedarto, 1995).

BAB II
ISI

Siklus Hidup
Hospes definitif Ascaris lumbricoides hanya manusia dan tidak memiliki hospes
perantara, penyakit yang disebabkan disebut askariasis.
Siklus hidup Ascaris Lumbricoides

1. Cacing dewasa berada di usus halus mengalami fertilisasi, di mana seekor cacing betina

mampu mengeluarkan 200.000 250.000 butir telur setiap harinya, yang akan keluar
bersama feses,
2. Telur tersebut ada yang fertil dan ada yang infertil. Telur yang infertil bisa tertelan

namun tidak menyebabkan infeksi.


3. Sedangkan telur yang fertil memerlukan waktu 3 4 minggu untuk tumbuh menjadi

bentuk infektif dalam lingkungan yang sesuai.

4. Bentuk infektif akan tertelan,


5. Bentuk infektif yang tertelan oleh manusia akan menetas menjadi larva.
6. Larvanya menembus dinding usus halus menuju pembuluh darah atau saluran limfe, lalu

dialirkan kejantung, kemudian mengikuti aliran darah ke paru.


7. Larva di paru menembus dinding pembuluh darah, lalu dinding alveolus, masuk rongga

alveolus, kemudian naik ke trakea melalui bronkiolus dan bronkus. Dari trakea larva ini
menuju ke faring, sehingga menimbulkan rangsangan pada faring. Penderita batuk karena
rangsangan ini dan larva akan tertelan ke dalam esophagus, lalu menuju usus halus. Di
usus halus berubah menjadi cacing dewasa. Sejak telur matang tertelan sampai cacing
dewasa bertelur diperlukan waktu kurang lebih 2 (dua) bulan. Umur cacing dewasa kirakira satu tahun.
Askaris ketika memasuki tubuh dapat bertahan dalam kondisi pH lambung yang ekstrim
disebabkan karena askaris memiliki kutikula yang tebal dan resisten membungkus seluruh tubuh,
memiliki pelindung yang melawan aksi dari enzim pencernaan dan antitoksin dari host. Askaris
juga mensekresikan anti enzim yang melindunginya dari enzim pencernaan. Parasit
memproduksi telur dalam jumlah yang besar untuk menjamin kelangsungan hidupnya.
Pembungkus yang resisten yang dimiliki cacing ini melindungi zigot dan embrio dari faktor
lingkungan yang kurang baik (pH lambung), sehingga dapat bertahan (Kotpal, 2010)
Gejala Klinis
Kelainan-kelainan yang terjadi pada tubuh penderita terjadi akibat pengaruh migrasi larva
dan adanya cacing dewasa. Kurang lebih 85% kasus askariasis tidak menunjukan gejala klinis
(asimtomatik), tetapi dengan jumlah cacing yang cukup besar (hyperinfeksi) beberapa individu
dengan keluhan rasa terganggu di abdomen bagian atas dengan intensitas bervariasi (Soedarto,
1991). Biasanya infeksi yang melibatkan 1 hingga 10 ekor cacing sering tidak diketahui oleh
penderita sehingga pada pemeriksaan feses rutin atau langsung dijumpai adanya cacing dewasa
pada feses. Gejala klinis yang ditimbulkan disebabkan oleh migrasi larva dan cacing dewasa
(Brown, 1975).
Pada awal migrasi larva melalui paru-paru pada umumnya tidak menimbulkan gejala
klinis, namun pada infeksi berat dapat menyebabkan pneumonitis. Larva askaris dapat
menimbulkan reaksi hipersensitif pulmonum, reaksi inflamasi dan pada individu yang sensitif
dapat menyebabakan gejala seperti asma misalnya batuk, demam, dan sesak nafas. Reaksi

jaringan karena migrasi larva yakni inflamasi eosinofilik, granuloma pada jaringan dan
hipersensitifitas local menyebabkan peningkatan sekresi mucus, inflamasi bronkiolar dan eksudat
serosa. Gejala alergi lainnya seperti urtikaria kemerahan di kulit (skin rash), nyeri pada mata dan
insomnia karena reaksi alergi terhadap ekskresi dan sekresi metabolik cacing dewasa (Ideham B
dan Pusarawati S, 2007).
Pada infeksi intestinal cacing dewasa menimbulkan gejala klinis lainnya. Gejala klinis
yang sering timbul, gangguan abdominal, nausea, anoreksia dan diare. Komplikasi serius akibat
migrasi cacing dewasa ke pencernaan lebih atas akan menyebabkan muntah (cacing keluar lewat
mulut atau hidung) atau keluar lewat rectum. Migrasi larva dapat terjadi sebagai akibat
rangsangan panas (38,90C). Sejumlah cacing dapat membentuk bolus (massa) yang dapat
menyebabkan obstruksi intestinal secara parsial atau komplet dan menimbulkan rasa sakit pada
abdomen, muntah dan kadang-kadang massa dapat di raba. Migrasi cacing ke kandung empedu,
menyebabkan kolik biliare dan kolangitis. Migrasi pada saluran pankreas menyebabkan
pankreatitis. Apendisitis dapat disebabkan askaris yang bermigrasi ke dalam saluran apendiks..
Encephalitis dan meningitis ketika cacing tersebut telah memasuki otak. Peritionitis ketika
cacing tersebut menembus usus dan sampai kerongga peritoneum (Soedarto, 1991).Pada anak di
bawah umur 5 tahun menyebabkan gangguan nutrisi berat. Gangguan absorpsi karbohidrat dapat
kembali normal setelah cacing dieleminasi (Ideham B dan Pusarawati S, 2007). Telah dibuktikan
bahawa 20 ekor cacing dewasa mengkonsumsi 2,8g karbohidrat dan 0,7g protein per hari.
Sehubungan itu, pada infeksi berat yang melibatkan ratusan ekor cacing bisa menunjukkan efek
signifikan pada status gizi penderita (Brown, 1975).

Diagnosis
Pada fase migrasi diagnosis larva dapat ditetapkan dari penemuan larva pada sediaan
sputum atau kumbah lambung. Selama fase intestinal diagnosis dapat ditetapkan dari penemuan
cacing dewasa atau telur. Cacing betina Ascaris mengeluarkan telur secara konstan, telur dapat
dihitung untuk memperkirakan jumlah cacing dewasa yang menginfeksi. Cacing dewasa Ascaris
dapat keluar melalui anus atau mulut karena sudah tua atau karena reaksi tubuh hospes.
Sedangkan telur (fertile dan unfertile) dapat ditemukan pada pemeriksaan tinja. (Ideham dan
Pusarawati, 2007)

Pemeriksaan telur cacing dalam tinja dapat dilakukan dengan 2 cara yaitu dengan sediaan
langsung (sediaan basah) dan sediaan tidak langsung (konsentrasi). (Kotpal R. L., 2010)
a. Pemeriksaan tinja secara langsung (sediaan basah)
1) Pemeriksaan makroskopis meliputi :
Warna tinja

: kuning, putih, hijau atau hitam.

Bau tinja

: amis, busuk atau khas.

Konsentrasi tinja

: padat, lembek atau cair.

Adanya lendir, darah, jaringan patogen, sisa makanan yang belum dicerna atau sisa bahan
pengobatan zat besi, minyak, magnesium, barium dan lain-lain.
2) Pemeriksaan mikroskopis
Prinsip : untuk mengetahui telur cacing pada tinja secara langsung dengan menggunakan
larutan eosin 2% (dengan menggunakan kaca penutup) dan pemeriksaan dilakukan di
bawah mikroskop.
b. Pemeriksaan tinja secara tidak langsung ( konsentrasi )
1) Metode sedimentasi atau pengendapan
Prinsip : Dengan adanya gaya sentrifugal dapat memisahkan antara suspensi dan
supernatannya sehingga telur cacing dapat terendapkan.
2) Metode flotasi
Flotasi adalah suatu metode yang dirancang untuk memisahkan telur cacing dari
organisme protozoa melalui perbedaan berat jenis,
3) Cara Sentrifugasi
Fungsi sentrifugasi adalah untuk memisahkan antara suspensi dan supernatan sehingga
telur cacing akan mengendap. Sentrifugasi dikatakan positif apabila dalam sediaan
ditemukan telur Ascaris lumbricoides, sedangkan sentrifugasi dikatakan negatif apabila
dalam sediaan tidak ditemukan telur cacing dan cacing Ascaris lumbricoides.
Selain itu, pemeriksaan Ultrasonografi (USG) dan Endoskopi juga dapat dilakukan yang
bermanfaat untuk mendiagnosa komplikasi ascariasis termasuk obstruksi usus dan hepatoiliary
ascariasis pankreas. Cacing tunggal, bundel cacing, atau penampilan pseudotumor-seperti,
segmen tubuh individu cacing dapat dilihat (Jeffrey Bethony et al, 2006).

Treatment
Adapun obat yang sekarang ini dipakai dalam pengobatan adalah :
1.

Mebendazol
Obat ini adalah obat cacing berspektrum luas dengan toleransi hospes yang baik. Sediaan

100 mg tablet kunyah. Diberikan satu tablet (100 mg) dua kali sehari selama tiga hari atau 500
mg sekali. Mekanisme kerja menghambat pembentukan mikrotubulus cacing sehingga terjadi
penurunan glukosa yang berakibat imobilisasi dan matinya cacing secara perlahan-lahan.
Dikontraindikasikan untuk wanita hamil dan penderita hipersensitivitas. Penelitian menunjukkan
adanya efek teratogenik pada tikus hamil, tapi pada manusia angka keguguran secara umum
tidak meningkat. Efek samping diare, mual, muntah, neutropenia, nyeri perut (Theodorus, 1987)
2.

Pirantel Pamoat.
Sediaan sirup 60 ml 50 mg/ml pirantel basa, tablet 125 mg dan 250 mg. Dosis tunggal

sebesar 11 mg/kg (maksimal 1 g). Mekanisme kerjanya berdasarkan pelumpuhan cacing dengan
jalan menghambat penerusan impuls neuromuskuler (seperti piperazin). Lalu parasitnya
dikeluarkan oleh peristaltik usus tanpa memerlukan laksans. Resorpsinya dari usus ringan; 50%
zat diekskresikan dalam keadaan utuh bersama metabolitnya melalui tinja dan lebih kurang 7%
dikeluarkan melalui air seni. Obat ini tidak dianjurkan untuk wanita hamil maupun anak-anak di
bawah usia 2 tahun. Efek sampingnya ringan dan berupa gangguan saluran cerna dan terkadang
sakit kepala. Obat ini mempunyai keunggulan karena efektif terhadap cacing kremi dan cacing
tambang (Theodorus, 1987).
3.

Piperazin sitrat
Obat ini dipakai secara luas, karena murah dan efektif. Piperazin sitrat tersedia dalam

bentuk tablet 250 mg dan sirop 500 mg/ml. Dosis dewasa pada askariasis adalah 3,5 g sekali
sehari. Dosis pada anak 75 mg/kgBB (maksimum 3,5 g) sekali sehari. Obat diberikan 2 hari
berturut-turut. Piperazin menyebabkan blokade respon otot cacing terhadap asetilkolin sehinggga
terjadi paralisis dan cacing mudah dikeluarkan oleh peristaltik usus. Cacing biasanya keluar 1-3
hari setelah pengobatan dan tidak diperlukan pencahar untuk mengeluarkan cacing itu. Cacing
yang telah terkena obat dapat menjadi normal kembali bila ditaruh dalam larutan garam pada
suhu 37C. Tidak dianjurkan untuk penderita dengan gangguan fungsi ginjal dan hati serta
penderita epilepsi. Piperazin memiliki batas keamanan yang lebar. Pada dosis terapi umumnya
tidak menyebabkan efek samping, kecuali kadang-kadang nausea, vomitus, diare, dan alergi.

Efek samping lainnya adalah gangguan saluran cerna, gangguan neurologic seperti kejang, gejala
susunan syaraf pusat seperti berjalan tidak tetap (unsteadiness) dan vertigo. (Theodorus, 1987)
4. Albendazole
Obat ini tersedia dalam sediaan Helben (PT. MECOSIN INDONESIA) dalam bentuk kaplet
400mg, suspense 200 mg per 5 mL dan Albendazole (INDOFARMA) dalam bentuk kaplet
mengandung 400 mg. Untuk dewasa dan anak-anak dipakai 1 kaplet atau 10 mL suspensi yang
mengandung 400 mg diberikan sebagai dosis tunggal. Albendazole merupakan antihelmintik
yang termasuk

golongan Benzimidazole. Secara farmakologi Benzimidazole bekerja

mengganggu biokimia dari nematoda. Albendazole menghambat mitochondrial fumarate


reductase sehingga menurunkan NADH, mengikat -tubulin sehingga menghambat kerja
polimerisasi, dan menghambat sintesis mikrotubulus sehingga mengurangi pengambilan glukosa
secara ireversible. Dengan dihambatnya pengambilan glukosa, akan mengganggu berbagai
stadium perkembangannya. Akibatnya, cadangan glikogen menjadi habis sehingga terjadi
penurunan produksi ATP dan mencapai tahap dimana kadar energi yang inadekuat menyebabkan
parasit tidak dapat hidup. Albendazole sebaiknya tidak diberikan pada anak usia dibawah 2
tahun, wanita hamil dan menyusui. Efek samping obat ini adalah gangguan saluran pencernaan,
sakit kepala, dizziness, lemas, dan insomnia dapat terjadi pada beberapa kasus (Yunus, 2008)
5. Levamisol hidroklorida
Obat ini tersedia dalam bentuk:
1. Ketrak : oral solution 40 mg per 5 mL, tablet 40 mg
2. Soalaskil : tablet 30 mg, 150 mg
3. Ergamisol : tablet 50 mg
Untuk dewasa dosisnya 150 mg levamisol sebagai dosis tunggal dan untuk anak-anak 2,5
mg/kg levamisol sebagai dosis tunggal. Mekanisme kerjanya adalah melalui stimulasi automic
ganglia (nicotinic reseptor) dari cacing. Jika terekspos obat, cacing immature dan dewasa
menunjukkan kontraksi spastic yang diikuti paralisis tonic. Pemberian obat ini harus dicegah
pada pasien yang alergi obat. Efek samping obat ini antara lain nausea, vomiting, abdominal pain
dan sakit kepala, kerusakan ginjal, vasculitis, dan photosensitivity (Rasmaliah, 2006).

Penutup
Ascaris lumbricoides tersebar di seluruh dunia, lebih banyak ditemukan di daerah
beriklim panas dan lembab. Di beberapa daerah tropis derajat infeksi dapat mencapai 100% dari
penduduk. Pada umumnya lebih banyak ditemukan pada anak-anak berusia 5-10 tahun sebagai
host yang juga menunjukkan beban cacing yang lebih tinggi. Ascaris lumbricodes merupakan
parasit dengan prevalensi tertinggi di Asia sebesar 73%. Diperkiraan di seluruh dunia terdapat
1,3 miliar juta orang yang terinfeksi Ascaris. Di Indonesia, prevalensi askariasis tinggi, terutama
pada anak dengan prevalensi antara 60-90%.
Cacing betina dewasa mempunyai bentuk tubuh posterior yang membulat (conical),
berwarna putih kemerah-merahan dan mempunyai ekor lurus tidak melengkung. Cacing betina
mempunyai panjang 22 - 35 cm dan memiliki lebar 3 - 6 mm. Sementara cacing jantan dewasa
mempunyai ukuran lebih kecil, dengan panjangnya 12 - 13 cm dan lebarnya 2 - 4 mm, juga
mempunyai warna yang sama dengan cacing betina, tetapi mempunyai ekor yang melengkung
kearah ventral. Kepalanya mempunyai tiga bibir pada ujung anterior (bagian depan) dan
mempunyai gigi-gigi kecil atau dentikel pada pinggirnya, bibirnya dapat ditutup atau
dipanjangkan untuk memasukkan makanan
Hospes definitif Ascaris lumbricoides hanya manusia dan tidak memiliki hospes
perantara. Cacing dewasa yang berada di usus halus mengalami fertilisasi menghasilkan telur
yang akan keluar bersama feses menjadi telur yang fertil dan infertil. Telur fertil akan menjadi
infektif, tertelan oleh manusia, menetas menjadi larva. Larvanya menembus dinding usus halus
menuju pembuluh darah atau saluran limfe, lalu dialirkan ke jantung, kemudian mengikuti aliran
darah, menembus dinding pembuluh darah, lalu dinding alveolus, masuk rongga alveolus,
kemudian naik ke trakea melalui bronkiolus dan bronkus. Dari trakea larva ini menuju ke faring,
larva akan tertelan ke dalam esophagus, lalu menuju usus halus. Di usus halus berubah manjadi
cacing dewasa.
Pada awal migrasi larva melalui paru-paru pada umumnya tidak menimbulkan gejala
klinis, namun pada infeksi berat dapat menyebabkan pneumonitis. Larva askaris dapat
menimbulkan reaksi hipersensitif pulmonum, reaksi inflamasi dan pada individu yang sensitif
dapat menyebabkan gejala seperti asma misalnya batuk, demam, dan sesak nafas. Reaksi
jaringan karena migrasi larva yakni inflamasi eosinofilik, granuloma pada jaringan dan
hipersensitifitas local menyebabakan peningkatan sekresi mucus, inflamasi bronkiolar dan

eksudat serosa. Gejala alergi lainnya seperti urtikaria kemerahan di kulit (skin rash), nyeri pada
mata dan insomnia karena reaksi alergi terhadap ekskresi dan sekresi metabolik cacing dewasa.
Cacing dewasa Ascaris dapat keluar melalui anus atau mulut karena sudah tua atau
karena reaksi tubuh hospes. Sedangkan telur (fertile dan unfertile) dapat ditemukan pada
pemeriksaan tinja. Pemeriksaan telur cacing dalam tinja dapat dilakukan dengan 2 cara yaitu
dengan sediaan langsung (sediaan basah ) dan sediaan tidak langsung (konsentrasi). Selain itu,
pemeriksaan Ultrasonografi (USG) dan Endoskopi juga dapat dilakukan yang bermanfaat untuk
mendiagnosa komplikasi ascariasis termasuk obstruksi usus dan hepatoiliary ascariasis pankreas.
Cacing tunggal, bundel cacing, atau penampilan pseudotumor-seperti, segmen tubuh individu
cacing dapat dilihat.
Adapun obat yang bisa digunakan sebagai pengobatan askariasis adalah mebendazol,
pirantel pamoat, piperazin sitrat, albendazole, dan levamisol hidriklorida. Mekanisme kerja dari
obat-obatan ini beragam. Salah satunya dengan menghambat pembentukan mikrotubulus cacing
sehingga terjadi penurunan glukosa yang berakibat imobilisasi dan matinya cacing secara
perlahan-lahan (mebendazol dan albendazole). Mekanisme kerja obat yang lain adalah
pelumpuhan cacing dengan jalan menghambat penerusan impuls neuromuskuler (pirantel pamoat
dan piperazin sitrat). Levamisol hidroklorida bekerja dengan mekanisme stimulasi automic
ganglia (nicotinic reseptor) dari cacing.

DAFTAR PUSTAKA
Behrman, dkk. 2000. Ilmu Kesehatan Anak Nelson Vol. II Edisi 15. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC.
Bethony J, Brooker S, Albonico M. 2006. Soil Transmitted Helminth Infections: Ascariasis,
Trichuriasis, and Hookworm. Lancet 2006; 367: 15211532.
Grier, J. Brown. The Number of Alternatives for Optimum Test Reliability.Journal of
Educational Measurement.Vol. 12, No. 2 (Summer 1975).
Haryanti, E. 1993. Helmitologi Kedokteran. Medan: Bagian Parasitologi Fakultas Kedokteran
USU.
Ideham, B. dan Pusarawati, S. 2007. Helmintologi Kedokteran. Surabaya : Airlangga
University Press.
Kotpal R. L. 2010. Modern Text Book of Zoology: Invertebrates. Rastogi Publicaton. New Delhi.
Natadisastra, Djaenudin dan Ridad Agoes. 2009. Parasitologi Kedokteran: Ditinjau dari Organ
Tubuh yang Diserang. Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.
Puspita, Anna. 2009. Prevalensi Cacing Ascaris lumbricoides, Cacing Tambang, dan Trichuris
trichiura setelah Lima Tahun Program Eliminasi Filariasis di Desa Mainang, Alor,
Nusa Tenggara Timur.
Rasmaliah. 2006. Askariasis sebagai Penyakit Cacing yang Perlu Diingat Kembali. Universitas
Sumatera Utara. Medan. Hal 202-205
Soedarto, 1991, Helmintologi Kedokteran, EGC, Surabaya.
Soedarto. 1995. Helmitologi Kedokteran Edisi Kedua. EGC: Jakarta.
Theodorus, d.r. 1987. Penuntun Praktis Peresepan Obat. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran
EGC
Tjay, Tan Hoan. 2007. Obat-obat Penting Khasiat, Penggunaan, dan Efek-efek sampingnya.
Jakarta: PT. Elex Media Komputindo.
Yunus, Rusdi. 2008. Keefektifan Albendazole Pemberian Sekali Sehari Selama 1-2 dan 3 Hari
Dalam Menanggulangi Infeksi Trichuris trichiura Pada Anak Sekolah Dasar di
Kecamatan Medan Tembung. Universitas Sumatera Utara: Medan

Anda mungkin juga menyukai