Anda di halaman 1dari 27

Presentasi Kasus Persiapan

Nyeri Kepala

Disusun Oleh:
Reiva Wishdarilla MD

0906639865

Samuel Raymond RW

0906639915

Wahyu Permatasari

0906639972

Mario Markus Nugraha

0906639801

MODUL PRAKTIK KLINIK NEUROLOGI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS INDONESIA
DESEMBER 2012

BAB I
ILUSTRASI KASUS

Anamnesis dilakukan pada tanggal 30 November 2012


Identitas
Nama

: Nn. N

TTL

: 13 Agustus 1985

Usia

: 27 tahun

Pekerjaan

: Karyawan pabrik

Status

: Belum menikah

Agama

: Islam

Suku

: Jakarta

Keluhan Utama
Sakit kepala yang memberat sejak 3 bulan sebelum masuk rumah sakit

Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien mengeluh sakit kepala yang semakin memberat sejak 3 bulan yang lalu. Nyeri kepala dirasakan
hilang timbul. Sakit kepala awalnya tidak terlalu berat (VAS = 2), dengan durasi 1 kali sehari selama
2 jam. Semakin lama sakit kepala semakin berat dan semakin sering. Sampai sekitar satu bulan smrs,
sakit kepala sangat berat (VAS = 9), terjadi 3 kali sehari, dengan durasi 2 jam dan sangat mengganggu
aktivitas. Lokasi sakit kepala di sebelah kiri, yang kadang berpindah ke bagian depan. Nyeri kepala
seperti ditekan dan ditusuk-tusuk. Nyeri kepala timbul tidak dipengaruhi oleh aktivitas. Nyeri kepala
tidak lebih berat bila di tempat silau atau keadaan bising. Mual muntah disangkal.

Enam minggu smrs, pasien mengeluh demam yang naik turun namun tidak terlalu tinggi. Pasien juga
mengeluhkan batuk, dahak jarang, keringat malam positif, batuk darah disangkal, mual muntah
disangkal, lemas positif, penurunan berat badan sebesar 12 kg dalam 2 bulan terakhir. Orang tua
pasien juga mengatakan pasien sering bingung dan melamun.

Empat minggu smrs, pasien mengalami kejang ketika mau ke WC. Kejang kaku, langsung pada
seluruh tubuh, tidak mencong ke salah satu sisi, tidak sadar, dan terjadi dengan durasi sekitar 3 menit.
Pasien baru sadar sekitar 1 jam kemudian. Setelah kejang, pasien tidak dapat BAK dan BAB, dan kaki
lemas tidak dapat berdiri. Pasien merasakan kelemahan pada kedua kaki, dan tangan kanan. Pasien
juga merasakan baal dan dan kesemutan pada keempat ekstremitas. Pasien juga mengalami bicara
pelo. Pasien juga mengeluh nyeri pada pinggang. Pandangan ganda disangkal, gangguan pendengaran
disnagkal, berdenging disangkal, gangguan penciuman disangkal, kesulitan menelan disangkal.

Kemudian pasien dirawat di RSUD Bekasi sekitar 4 minggu. Dipasang selang kateter, pasien dapat
BAK. Selama perawatan pasien tidak lagi mengalami kejang. Saat perawatan, pasien mengalami
kesulitan mengutarakan sesuatu namun sebenarnya mengerti apa yang dikatakan orang lain. Pasien
diberikan obat untuk paru yang membuat kencing berwarna merah. Dokter mengatakan bahwa pasien
mengalami bisul di otak dan akan dilakukan MRI. Kemudian pasien dirujuk di RSCM.

Saat datang ke RSCM, pasien masih mengeluhkan lemah pada kedua kaki. Kesemutan pada keempat
ekstremitas.

Riwayat Penyakit Dahulu


Pasien tidak pernah mengalami sakit seperti ini sebelumnya. Pasien belum pernah menggunakan Obat
Anti Tuberkulosis sebelumnya. Hipertensi disangkal, DM disangkal, Stroke disangkal.

Riwayat Penyakit Keluarga


Keluarga pasien tidak pernah mengalami sakit seperti ini sebelumnya. Riwayat sakit TB pada
keluarga disangkal, hipertensi disangkal, DM disangkal, stroke disangkal.

Riwayat Sosial
Pasien bekerja sebagai karyawan pabrik di daerah dekat dengan rumah pasien.

Pemeriksaan Fisik
Status Generalis
Keadaan Umum

: Tampak sakit sedang

Kesadaran

: Kompos mentis

Tekanan Darah

: Kanan : 124/76 mmHg

Frekuensi Nadi

: 99x/menit, isi cukup, teratur

Napas

: 18x/menit, abdominotorakal, dalam, teratur

Suhu

: 36,40C

Kulit

: Coklat, tidak tampak ada bekas luka

Mata

: Normal

Kepala

: Normocephal, tampak benjolan difus leher depan dan belakang sebelah kiri,

Kiri: 128/78 mmHg

serta benjolan seukuran koin di dahi sebelah kanan


Rambut

: Rambut hitam, kuat, persebaran merata

Wajah

: Simetris

Mulut

: oral hygiene baik

Leher

: terdapat benjolan di sebelah leher kiri, KGB tidak membesar

Jantung

: Bunyi jantung 1 dan 2 normal, gallop negatif, murmur negatif

Paru

: Bunyi nafas vesikuler, rhonki negatif/negatif, wheezing negatif/negatif

Abdomen

: Datar, lemas, nyeri tekan negatif, bising usus + normal, nyeri ketok CVA
negatif/negatif

Punggung

: deformitas negatif

Ekstremitas

: Akral hangat, edema negatif/negatif

Status Neurologis
Skala Koma Glasgow

: E4

M6

V5

Pupil
Ukuran

: 3 mm/3 mm

Bentuk

: Bulat/Bulat

Refleks Cahaya Langsung

: +/+

Refleks Cahaya Konsensual

: +/+

Konvergensi

: +/+

Isokorik

: Ya

Tanda Rangsang Meningeal


Kaku Kuduk

: negatif

Bruzinsky I

: negatif

Bruzinsky II

: negatif

Laseque

: > 70o / > 70o, Nyeri negatif/negatif

Kernique

: > 135o / > 135o, Nyeri negatif/negatif

Saraf Kranialis
I.

N. I

: Anosmia bilateral

II.

N. II

III.

Visus

: > 6/60

Lapang Pandang

: Sama dengan pemeriksa

Warna

: Baik / Baik

N. III, IV, dan VI

/ >6/60

Kelopak Mata

: Normal

Kedudukan Bola Mata

: Normal

Gerak Bola Mata

N. III : normal/normal
N. IV : normal/normal
N. VI : normal/normal

IV.

V.

VI.

N. V
Sensoris

: Normal

Motorik

: Normal

Refleks Kornea

: Normal

N. VII
Motorik otot wajah

: Normal

Kelenjar air mata

: Normal

Kelenjar liur

: Normal

Pengecapan lidah

: Normal

Sensorik retro auricular

: Normal

N. VIII
Cochlearis
Tes berbisik/gesekan

: +/+, Kanan = Kiri

Rhinne

: Konduksi tulang dan udara normal

Webber

: Tidak ada lateralisasi

Schwabach

: Sama dengan pemeriksa

Tinnitus

: Tidak ada

Vestibularis
Romberg Test

: Normal

Romberg Test dipertajam

: Normal

Nistagmus

: Normal

Fukuda Test

: Normal

Tandem Gait Test

: Normal

VII. N. IX, X

VIII.

XI.

Arkus faring

: Normal

Uvula

: Normal

Tes Menelan

: Normal

Refleks Muntah

: Normal

Disfonia

: Normal (riwayat disfonia sebelumnya)

N. XI
M. Trapezius

: Normal

M. Sternocleidomastoideus

: Normal

N. XII
Saat lidah istirahat

: Normal

Saat lidah dijulurkan

: Normal

Kekuatan otot lidah

: Normal

Disarthria

: Tidak ada

Motorik
Ekstremitas atas :
Tonus : eutoni/eutoni
Trofi

: atrofi negatif/atrofi negatif

Kekuatan

-Lengan atas

: +5/+5

-Lengan bawah

: +5/+5

-Pergelangan tangan

: +5/+5

-Jari tangan

: +5/+5

Ekstremitas bawah :
Tonus : eutoni/eutoni
Trofi

: atrofi negatif/atrofi negatif

Kekuatan

-Tungkai atas

: +4/+4

-Tungkai bawah

: +4/+4

-Pergelangan kaki

: +4/+4

-Jari kaki

: +4/+4

Refleks Fisiologis :
Biceps

: +2/+2

Triceps

: +2/+2

Patella

: +2/+2

Achilles

: +2/+2

Refleks Patologis
Hoffman-tromer

: negatif/negatif

Babinsky

: negatif/negatif

Chaddock

: negatif/negatif

Schaeffer

: negatif/negatif

Oppenheim

: negatif/negatif

Gordon

: negatif/negatif

Mendel Bechterew

: negatif/negatif

Rosollimo

: negatif/negatif

Patrick

: negatif/negatif

Kontra Patrick

: negatif/positif (ada pengapuran)

Sensorik :
Eksteroseptif
Raba

: normal

Nyeri : normal
Suhu

: normal

Propioseptif
Sikap

: normal

Getar/Vibrasi

: normal

Posisi

: normal

Koordinasi
Disdiadokinesis

: normal

Pass-pointing test

: normal

Knee-to-heel test

: normal

Fungsi Luhur:
Berbicara

: baik

Orientasi waktu

: baik

Orientasi orang

: baik

Orientasi tempat

: baik

Nilai MMSE = 30

CT Scan

Diagnosis
1. Meningoensefalitis susp TB
2. Spondilitis TB

Rencana Terapi
1. Pemeriksaan CSS
2. Rifampisin 1 x 450 mg
3. INH 1 x 450 mg
4. Pirazinamid 1 x 1000 mg

5. Etambutol 1 x 1000 mg
6. B6 3 x 10 mg p.o.
7. Tramadol 3 x 450 mg p.o. k/p

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1.

Nyeri Kepala
Nyeri pada kepala dan wajah diakibatkan oleh iritasi pada struktur struktur sensitif yang berada di
daerah tersebut, diantaranya pembuluh darah, bagian basal dari duramater dan piamater; sinus
venosus; komponen sensorik nervus kranial; dan struktur ekstrakranial. Otak sendiri tidak memiliki
kepekaan terhadap stimulus nyeri.

Berikut adalah pendekatan yang dilakukan terhadap pasien dengan keluhan nyeri kepala.

Tabel 2.1. Anamnesis Nyeri Kepala1

Dari etiologinya, nyeri kepala dapat diklasifikasikan sebagai berikut (Headache Classification
Committee of the International Headache Society):

Tabel 2.2. Klasifikasi Nyeri Kepala1


2.1.1.

Nyeri Kepala Sekunder


Nyeri kepala sekunder merupakan nyeri kepala yang disebabkan oleh suatu etiologi (disease entity)
dengan nyeri kepala sebagai manifestasinya. Nyeri kepala sekunder yang paling sering ditemui
adalah: (1) Nyeri kepala karena penyakit vaskular organik; (2) Nyeri kepala karena massa
intrakranial; (3) Nyeri kepala karena gangguan sirkulasi CSF; (4) Nyeri kepala spondilogenik; (5)
Psikogenik; (6) Nyeri kepala non-neurologis; dan (7) Neuralgia wajah serta nyeri wajah atipikal.

2.1.1.1. Nyeri Kepala pada Penyakit Vaskular Organik


2.1.1.1.1.

Oklusi Arteri Kranial. Etiologi ini jarang menyebabkan nyeri kepala, namun nyeri
kepala yang terjadi biasanya cukup hebat. Oklusi carotid biasanya menyebabkan nyeri
kepala orbital, sedangkan oklusi basilar akan menyebabkan nyeri difus nyang melingkari
kepala. Diseksi spontan dari arteri karotis interna dapat membuat nyeri yang luar biasa
hebat pada satu sisi wajah. Sedangkan diseksi pada arteri vertebral dapat membuat nyeri
pada satu sisi leher dan bagian oksipital kepala.

2.1.1.1.2.

Perdarahan Subarakhnoid. Sembilan puluh persen pasien dengan SAH datang dengan
keluhan nyeri kepala hebat; sebagian besar diantaranya mengeluhkan nyeri kepala
ekstrem yang paling menyakitkan dan belum pernah dialami sebelumnya (thunderclap
headache) yang persisten. Pada setengah dari kasus, nyeri kepala dimulai dari bagian
oksipital dan dengna cepat menyebar secara holosefalik. Pada kejadian ini, sering terjadi
penurunan kognitif.

2.1.1.1.3.

Hipertensi. Pada orang dengan hipertensi kronik atau hipertensi kritis, nyeri kepala yang
biasa mereka alami biasanya menyerupai TTH. Nyeri ini biasanya muncul di pagi hari
dan persisten selama seharian penuh dengan intensitas sedang secara difus. Dengan
hipertensi dan papilledema, diagnosis banding dari gangguan ini adalah peningkatan TIK.
Bedanya, pasien yang mengalami peningkatan TIK biasanya juga datang dengan defisit
neurologis defisit.

2.1.1.1.4.

Arteritis. Kondisi ini sering disebut juga sebagai Sindroma Horton, Giant-Cel Arteritis,
atau Arteritis Kranial. Mekanisme autoimun pada penderitanya menyerang tunika media
dan lapisan elastis dari arteri, iasanya dialami pasien dengan usia >50 tahun. Keluhan
utama nyeri kepala sangat hebat; biasanya bilateral, pada pelipis atau dahi, dengan
klaudikasio intermiten pada rahang saat mengunyah. Kualitasnya adalah berdenyut dan
nyeri terus-menerus, dengan arteri temporal yang menebal. Gejala lainnya adalah
kelelahan, anoreksia, kehilangan berat badan, keringat malam, demam subfebris, dan
polimialgia rematika.

2.1.1.2. Nyeri Spondilogenik dan Migrain Servikal


Perubahan patologis pada medulla spinalis servikal dapat menyebabkan nyeri yang menjalar ke
kepala. Perubahan degenerative atau post traumatic pada segmen servikal ketiga teratas dapat
menyebabkan nyeri oksipital. Nyeri kepala spondilogenik hanya boleh didiagnosis apabila tanda
radikuler atau vegetatif nyeri sudah jelas, terdapat gangguan atau trauma servikal, serta nyeri khas
spondilogenik (unilateral leher, radiasi ke oksipital hingga regio frontal).

2.1.1.3. Nyeri Kepala Karena Peningkatan Tekanan Intrakranial


Nyeri kepala dapat menjadi gejala yang muncul di awal atau pertengahan onset. Nyeri biasanya
awalnya ringan sehingga tidak terlalu dikeluhkan, namun pada banyak kasus dapat bertambah berat,
dengan kualitas berdenyut, diiringi dengan muntah proyektil, defisit neurologis, serta gangguan
kesadaran. Lokasi paling sering adalah di oksipital.

Nyeri terjadi secara hebat saat berbaring (nyeri postural), pada pagi hari atau saat pasien baru bangun
dari tidur, karena tidur membuat penurunan laju respirasi yang berakibat pada kenaikan kadar CO2,
menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah termasuk pembuluh darah otak yang meningkatkan
tekanan intrakranial. Fenomena ini jugalah yang membuat pasien seringkali mengeluhkan terbangun
tengah malam karena nyeri. Nyeri juga bertambah saat maneuver mengejan, batuk, atau bersin
(Valsava). Diagnosis dari gangguan ini terletak pada deteksi adanya gejala fokal, defisit neurologis
seperti gangguan kesadaran, papilledema, dan SOL yang menjadi agen kausatif (tumor, hematoma,
abses, dll). Pada presentasi gejala seperti ini, scanning otak secara radiologis sangatlah
direkomendasikan.

Nyeri kepala tak hanya diakibatkan oleh peningkatan TIK, tapi juga penurunan. Gejala yang terjadi
adalah kebalikannya; pasien merasa lega saat berbaring, namun nyeri kembali saat posisi tubuh
ditegakkan. Penyebabnya bisa karena pasca pungsi lumbal (kebocoran CSF pada teka terjadi secara
persisten), atau terjadi secara spontan, karena kebocoran pada selubung nervus torakal setelah batuk.
Nyeri juga mereda dengan istirahat dan kafein.

2.1.1.4. Nyeri Kepala Karena Obstruksi Aliran Serebrospinal


Mirip dengan nyeri kepala TIK namun terjadi secara lebih episodic (dengan attack atau serangan
hebat yang berlangsung tiba-tiba memberat). Penyebab paling sering adalah kista koloid atau tumor
lainnya pada ventrikel ketiga.

2.1.1.5. Nyeri Kepala Karena Penyebab Non-neurologis


Dapat disebabkan oleh penyakit okular (nyeri periorbital yang semakin menurun seiring dengan
berjalannya hari), seperti glaukoma. Pada glaukoma akut, dapat terjadi nyeri kepala frontal mendadak
dengan muntah, bradikardia, dan gangguan visus. Penyebab lainnya adalah sistem telinga, hidung, dan
tenggorokan; yaitu sinusitis, otitis kronik, serta massa di THT.

2.1.1.6. Nyeri Kepala Psikogenik


Faktor psikologis dikatakan berperan beesar dalam munculnya tension headache (tidak sama dengan
TTH). Keluhan yang dilaporkan baisanya nyeri seperti kontraksi spasmodil pada regio oksipital, yang
memberat saat terdapatnya stressor mental. Gejala ini sulit dibedakan dengan neuralgia oksipital.

2.1.1.7. Drug-Induced Headache


Penggunaan analgesia yang rutin dan kronik dapat menimbulkan nyeri kepala yang difus dan
persisten. Kejadian ini meningkat apabila analgesik yang digunakan dalam satu hari lebih dari 1
macam, atau penggunaan lebih dari 6 bulan, serta penggunaannya pada nyeri kepala terdahulu dan
bukan pada pasien dengan nyeri di tempat lain tanpa ada nyeri kepala.

2.1.1.8. Neuralgia
2.1.1.8.1.

Neuralgia Trigeminal (Tic Douloreux)

Kondisi ini diakibatkan oleh adanya konduksi aberan dari impuls saraf somatosensori ke nosiseptif
pada nervus trigeminal pada lokasi di mana terjadi kerusakan lokal di selubung myelin. Lesi myelin
ini sendiri berkontribusi terhadap stress mekanik neuralgia, walaupun mekanismenya masih belum
diketahui dengan jelas.Neuralgia ini juga dapat disebabkan oleh sklerosis multipel, iskemia pontin,
serta lesi massa pada nervus trigeminal.
Rasa nyeri biasanya menjalar pada regio yang dipersarafi oleh nervus trigeminus pertama dan kedua
(maksila dan mandibula). Oleh karena itu, yang khas pada penyakit ini adalah biasanya pasien
mengunjungi dokter gigi terlebih dahulu. Rasa sakitnya selalu unilateral, dan selalu di tempat yang
sama. Nyeri yang terasa adalah lightning-like atau lancinating dengan durasi beberapa detik, dengan
intensitas sangat hebat. Serangan ini dapat diprovokasi dengan gerakan mengunyah atau menekan titik
tertentu di wajah atau mulutnya (berbeda-beda tiap individu).

2.1.1.8.2.

Neuralgia Aurikulotemporal

Rasa nyeri pada depan telinga dan pelipis, akrena penyakit yang melibatkan kelenjar parotid, dan
merusak bagian intraparotid dari nervus tersebut. Mengunyah dan stimuli gustatory, seperti makanan
yang panas atau pedas, akan menimbulkan nyeri yang membakar serta berkeringat pada sepanjang
inervasi (depan telinga).

2.1.1.8.3.

Neuralgia Nasosiliar

Kondisi ini jarang terjadi. Penyebabnya adalah gangguan fungsional dari ganglion silier. Ciri-cirinya
adalah nyeri yang bersifat episodic atau terus-menerus pada regio hidung dan canthus dalam, serta
eritema dahi, pembengkakan mukosa hidung, hingga injeksi konjungtiva dan lakrimasi.

Singkatnya, diagnosis dari nyeri kepala dan wajah dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Tabel 2.3. Diagnosis Banding Nyeri Kepala1

2.2.

Meningoensefalitis TB
Meningoensefalitis tuberkulosis adalah peradangan pada meningen dan otak yang disebabkan oleh
Mikobakterium tuberkulosis (TB). Penderita dengan meningoensefalitis dapat menunjukkan
kombinasi gejala meningitis dan ensefalitis.

2.2.1.

Epidemiologi

Sebelum era antibiotik, penyakit susunan saraf pusat (SSP) karena TB sering ditemukan terutama
pada anak-anak. Ditemukan 1000 anak dengan TB aktif di kota New York diantara tahun 1930
sampai tahun 1940. Hampir 15% diantaranya menderita meningitis TB dan meninggal. Setelah perang
dunia kedua, terutama pada negara berkembang, terdapat prevalensi yang luas infeksi TB. Pada awal
tahun 2003, WHO memperkirakan terdapat sekitar 1/3 penduduk dunia menderita TB aktif dan 70.000
diantaranya meningitis TB.

2.2.2.

Etiologi dan Patogenesis

Infeksi TB pada SSP disebabkan oleh Mikobakterium tuberkulosis, bakteri obligat aerob yang secara
alamiah reservoirnya manusia. Organisme ini tumbuh perlahan, membutuhkan waktu sekitar 15
sampai 20 jam untuk berkembang biak dan menyebar. Seperti semua jenis infeksi TB, infeksi SSP
dimulai dari inhalasi partikel infektif. Tiap droplet mengandung beberapa organisme yang dapat
mencapai alveoli dan bereplikasi dalam makrofag yang ada dalam ruang alveolar dan makrofag dari
sirkulasi. Pada 2 4 minggu pertama tak ada respons imun untuk menghambat replikasi mikobakteri,
maka basil akan menyebar ke seluruh tubuh menembus paru, hepar, lien, sumsum tulang. Sekitar 2
sampai 4 minggu kemudian akan dibentuk respons imun diperantarai sel yang akan menghancurkan
makrofag yang mengandung basil TB dengan bantuan limfokin. Kumpulan organisme yang telah
dibunuh, limfosit, dan sel sel yang mengelilingnya membentuk suatu fokus perkejuan. Fokus ini akan
diresorpsi oleh makrofag disekitarnya dan meninggalkan bekas infeksi. Bila fokus terlalu besar maka
akan dibentuk kapsul fibrosa yang akan mengelilingi fokus tersebut, namun mikorobakteria yang
masih hidup didalamnya dapat mengalami reaktivasi kembali. Jika pertahanan tubuh rendah maka
fokus tersebut akan semakin membesar dan encer karena terjadi proliferasi mikrobakterium. Pada
penderita dengan daya tahan tubuh lemah, fokus infeksi primer tersebut akan mudah ruptur dan
menyebabkan TB ekstra paru yang dapat menjadi TB milier dan dapat menyerang meningen.

2.2.3.

Patofisiologi

Meningitis TB tak hanya mengenai meningen tapi juga parenkim dan vaskularisasi otak. Bentuk
patologis primernya adalah tuberkel subarakhnoid yang berisi eksudat gelatinous. Pada ventrikel
lateral seringkali eksudat menyelubungi pleksus koroidalis. Secara mikroskopik, eksudat tersebut
merupakan kumpulan dari sel polimorfonuklear (PMN), leukosit, sel darah merah, makrofag, limfosit
diantara benang benang fibrin. Selain itu peradangan juga mengenai pembuluh darah sekitarnya,
pembuluh darah ikut meradang dan lapisan intima pembuluh darah akan mengalami degenerasi
fibrinoid hialin. Hal ini merangsang terjadinya proliferasi sel sel subendotel yang berakhir pada
tersumbatnya lumen pembuluh darah dan menyebabkan infark serebral karena iskemia. Gangguan
sirkulasi cairan serebrospinal (CSS) mengakibatkan hidrosefalus obstruktif (karena eksudat yang
menyumbat akuaduktus spinalis atau foramen luschka, ditambah lagi dengan edema yang terjadi pada

parenkim otak yang akan semakin menyumbat. Adanya eksudat, vaskulitis, dan hidrosefalus
merupakan karakteristik dari menigoensefalitis yang disebabkan oleh TB. Efek yang ditimbulkan dari
kemoterapi meningoensefalitis memiliki peran yang sangat penting karena akan menekan angka
kematian dan kecacatan. Setelah 2 tahun, eksudat akan berubah menjadi jaringan ikat hialin dan
lapisan intima akan mengalami fibrosis.

2.2.4.

Manifestasi Klinis

Stadium meningitis TB telah diperkenalkan sejak tahun 1947 dan sejak itu banyak kalangan yang
menerapkannya untuk penanganan awal sekaligus menentukan prognosis. Penderita dengan stadium
pertama hanya memiliki manifestasi klinis yang tidak khas karena tanpa disertai dengan gejala dan
tanda neurologis. Sedangkan penderita dengan stadium kedua (intermediet) telah menunjukkan gejala
iritasi meningeal disertai dengan kelumpuhan saraf kranial namun tak ada defek kerusakan lain serta
tidak ada penurunan kesadaran. Pada stadium tiga, penderita mengalami kerusakan neurologis yang
besar, stupor, dan koma. Penyakit ini lebih samar pada penderita dewasa, anamnesis tentang riwayat
pernah mengalami penyakit TB biasanya jarang. Lamanya gejala biasanya tidak berhubungan dengan
derajat klinis. Sakit kepala biasanya menonjol pada penderita dewasa, perubahan tingkah laku seperti
apatis, bingung sering ditemukan. Kejang biasanya tak terjadi pada tahap awal penyakit, hanya pada
10% sampai 15% pasien.

2.2.5.

Diagnosis

Dari gejala klinis biasanya penderita mengalami panas tinggi dan sakit kepala yang hebat yang diikuti
dengan mual dan muntah. Gejala ensefalitis adalah demam, sakit kepala, muntah, penglihatan sensitif
terhadap cahaya, kaku kuduk dan punggung, pusing, cara berjalan tak stabil, iritabilitas kehilangan
kesadaran, kurang berespons, kejang, kelemahan otot, demensia berat mendadak dan kehilangan
memori juga dapat ditemukan. Jika gejala dan tanda (kaku kuduk, tanda kernig dan tanda laseque)
ditemukan maka dianjurkan untuk pemeriksaan Computer Tomography beserta pungsi lumbal (bila
tidak ada tanda edema otak). Kemungkinan ensefalitis harus dipikirkan pada penderita dengan panas
dan disertai dengan perubahan status mental, gejala neurologis fokal dan pola kebiasaan yang tiba tiba
menjadi abnormal. Dilihat dari patologinya, inflamasi akut pada pia arahnoid menyebabkan pelebaran
ruangan subarakhnoid karena eksudat yang dihasilkan dari inflamasi tersebut. Selanjutnya saat
korteks subpia dan jaringan ependim yang menyelimuti ventrikel juga ikut meradang maka akan
menyebabkan terjadinya serebritis dan atau ventrikulitis. Pembuluh darah yang terpapar dengan
dengan eksudat inflamasi subarakhnoid mengalami spasme dan atau trombosis yang selanjutnya akan
menyebabkan iskemia dan akhirnya infark. Pada CT scan kepala penderita dengan meningitis kronik
yang berat akan ditemukan gambaran hiperdensitas ruangan subarakhnoid yang lebih terlihat pada
fisura hemisfer serebri. Selanjutnya gambaran CT tanpa kontras akan menunjukkan peningkatan
densitas pada sisterna basalis dan fisura hemisfer serebri, serta menghilangnya kecembungan sulkus.

Pada pemeriksaan foto roentgen dada, jarang ditemukan pembesaran hilus, adenopati dan bayangan
inflitrat. Gambaran radiologi dapat berkisar dari bayangan samar pada apeks sampai adanya
kalsifikasi. Tes tuberkulin tidak bermanfaat pada penderita dewasa karena jarang menunjukkan hasil
yang positif, sekitar 35% sampai 60% penderita meningitis TB tidak bereaksi pada tes tuberkulin,
faktor yang dapat menjelaskan hal tersebut adalah karena adanya malnutrisi, imunosupresi, debilitasi,
dan imunosupresi umum karena penyakit sistemik.

Telah diketahui bahwa pemeriksaan CSS memiliki peran yang sangat penting dalam menegakkan
diagnosis meningoensefalitis. Pungsi lumbal tidak perlu dilakukan bila penderita dengan meningitis
bakterialis beresons baik terhadap pengobatan. Pungsi lumbal dilakukan dengan cara menusukkan
jarum ke dalam kanalis spinalis. Dinamakan pungsi lumbal karena jarum memasuki daerah lumbal
(tulang punggung bagian bawah). Dalam pemeriksaan serebrospinal. Dalam pemeriksaan biokimia
dan sitologi maka CSS pada penderita dengan meningoensefalitis akan ditemukan cairan yang jernih
dan agak pekat, jaringan protein akan terlihat setelah proses pengendapan. CSS hemoragik dapat
ditemukan pada meningitis TB yang mengalami vaskulitis. Adanya gambaran yang khas yang disebut
dengan pelikel , yakni hasil dari tingginya konsentrasi fibrinogen dalam cairan disertai dengan sel
sel proinflamatori. Tekanan pembuka pada waktu memasukkan jarum spinal meningkat sampai 50%,
pada meningitis TB kadar glukosa dalam CSS rendah namun mengandung protein yang tinggi nilai
glukosa mendekati 40 mg/dl., protein dapat berkisar antara 150-200 mg/dl.

2.2.6.

Tata Laksana

Prinsip penanganan meningitis TB mirip dengan penanganan TB lain dengan syarat obat harus dapat
mencapai sawar darah otak dengan konsentrasi yang cukup untuk mengeliminasi basil intraselular
maupun ekstraselular. Untuk dapat menembus cairan serebrospinal maka tergantung pada tingkat
kelarutannya dalam lemak, ukuran molekul, kemampuan berikatan dengan protein, dan keadaan
meningitisnya. Keterlambatan dalam pemberian terapi pada penderita dengan meningitis bakterial
dapat menyebabkan morbiditas dan mortalitas. Selain itu perlu dilakukan pengawasan terhadap
toksisitas obat selama terapi (pengawasan terhadap hitung jenis darah dan fungsi hati dan ginjal).
Penderita yang dicurigai meningitis pada gambaran CT scan kepala sebelum dilakukan pungsi lumbal
sebaiknya dilakukan pemeriksan kultur CSS dan pemberian terapi antibiotik dan kortikosteroid.
Panduat obat antituberkulosis dapat diberikan selama 9 12 bulan, panduan tersebut adalah 2RHZE /
7-10 RH. Pemberian kortikosteroid dengan dosis 0,5 mg/kgBB/hari selama 3 6 minggu untuk
menurunkan gejala sisa neurologis.

2.2.7.

Komplikasi

Komplikasi meningoensefalitis terdiri dari komplikasi akut, intermediet dan kronis. Komplikasi akut
meliputi edema otak, hipertensi intrakranial, SIADH (syndrome of Inappropriate Antidiuretic
Hormone Release), Kejang, ventrikulitis. meningkatnya tekanan intrakrania (TIK). Patofisiologi dari
TIK rumit dan melibatkan banyak peran molekul proinflamatorik. Edema intersisial merupakan akibat
sekunder dari obstruksi aliran serebrospinal seperti pada hidrosefalus, edema sitotoksik
(pembengkakan elemen selular otak) disebabkan oleh pelepasan toksin bakteri dan neutrofil, dan
edema vasogenik (peningkatan permeabilitas sawar darah otak). 4 Komplikasi intermediet terdiri atas
efusi subdural, demam, abses otak, hidrosefalus. Sedangkan komplikasi kronik adalah memburuknya
fungsi kognitif, ketulian, kecacatan motorik.

2.3.

Spondilitis Tuberkulosis

Spondilitis tuberkulosis merupakan peradangan granulomatosa yang bersifak kronik destruktif yang
disebabkan oleh infeksi kuman Mycobacterium tuberculosis. Penyakit ini disebut juga Penyakit Pott
(bila disertai paraplegia atau defisit neurologis). Spondilitis ini paling sering ditemukan pada vertebra
T8-L3 dan paling jarang pada vertebra C1-2. Spondilitis tuberkulosis biasanya mengenai korpus
vertebra, jarang arkus vertebra.
Spondilitis tuberkulosa merupakan 50% dari seluruh tuberkulosis tulang dan sendi. Pada negara yang
sedang berkembang, sekitar 60% kasus terjadi pada usia dibawah usia 20 tahun sedangkan pada
negara maju, lebih sering mengenai pada usia yang lebih tua. Meskipun perbandingan antara pria dan
wanita hampir sama, namun biasanya pria lebih sering terkena dibanding wanita yaitu 1,5:2,1.
Spondilitis korpus vertebra dibagi menjadi 3 bentuk, yaitu bentuk sentral, paradiskus, dan anterior.
Pada bentuk sentral, destruksi awal terletak di sentral korpus vertebra. Bentuk paradiskus terletak di
bagian korpus vertebra yang bersebelahan dengan diskus intervertebral. Pada bentuk anterior, lokus
awal terletak di bagian anterior korpus vertebra dan merupakan penjalaran per kontinuatum dari
vertebra di atasnya.

2.3.1.

Patogenesis

Infeksi tuberkulosis merupakan infeksi granulomatosa yang spesifik, dengan karakteristik destruksi
tulang progresif lambat (osteolisis lokal) pada bagian anterior korpus vertebra yang disertai dengan
osteoporosis setempat.

Penyebaran tuberkulosis biasanya terjadi karena kelenjar hilus yang mengalami perkijuan memecah
dan basil tuberkulosis masuk kedalam pembuluh darah. Infeksi bermula pada korpus vertebra dengan
terbentukya ruangan yang berisi bahan perkijuan, dikelilingi jaringan fibrosis dan tulang yang atrofi.
Proses infeksi kadang disertai pembentukan banyak cairan yang nantinya mengalami nekrosis.
Nekrosis ini bisa menghasilkan massa seperti keju (limfadenitis kaseosa) yang mencegah

pembentukan tulang dan membuat tulang menjadi avaskuler sehingga timbul tuberculous sequstra.
Jaringan granulasi tuberkulosis masuk ke dalam korteks korpus vertebra membentuk abses
paravertebra yang meluas hingga ke beberapa vertebra, ke atas, ke bawah, ligamen longitudinal
anterior dan posterior.

Pada vertebra, kerusakan terjadi pada korteks epifisis, diskus intervertebralis dan vertebra sekitarnya.
Kerusakan pada bagian depan korpus akan menyebabkan kompresi vertebra sehingga terjadi kifosis
yang dikenal sebagai gibbus. Pada bentuk sentral akan terjadi osteoporosis dan destruksi hingga dapat
terjadi kompresi vertebra. Bentuk paradiskal yang disertai destruksi korpus vertebra yang
bersebelahan dengan diskus akan mengakibatkan iskemia sehingga terjadi nekrosis diskus, yang pada
foto Rontgen akan tampak gambaran penyempitan diskus intervertebra. Bila proses terus berlanjut,
akan terjadi osteoporosis dan penyebaran ke seluruh korpus vertebra sehingga timbul kompresi
vertebra. Proses ini bisa menyerang lebih dari satu korpus vertebra. Jaringan granulasi tuberkulosis
dapat pula menembus korteks korpus vertebra, yang akan membentuk abses paravertebra yang dapat
menyebar dari satu vertebra ke vertebra lainnya. Diskus intervertebra yang avaskular relatif resisten
terhadap infeksi tuberkulosis, namun diskus yang berdekatan dengan tempat infeksi dapat menyempit
karena dehidrasi atau yang lebih sering karena dirusak oleh jaringan granulasi.

Selain merusak vertebra, abses dapat menembus ligamentum dan berekspansi ke berbagai arah di
sepanjang garis ligamen yang lemah. Di vertebra lumbal, abses akan turun ke bawah melalui sela
aponeurosis otot psoas dan nanahnya akan dikeluarkan melalui fasia otot psoas sehingga terbentuk
abses psoas. Abses dapat turun ke regio inguinal dan teraba sebagai benjolan. Abses dingin di daerah
torakal dapat menembus rongga pleura sampai terjadi abses pleura, atau ke paru bila parunya
melengket pada pleura. Di daerah servikal, abses dapat menembus dan berkumpul di antara vertebra
dan faring.

Abses dapat pula berkumpul dan mendesak ke arah belakang sehingga menekan medula spinalis dan
mengakibatkan paraplegia Pott yang disebut paraplegia awal. Paraplegia awal selain karena tekanan
abses dapat juga disebabkan oleh kerusakan medula spinalis akibat gangguan vaskuler. Namun
keadaan ini sangat jarang ditemukan pada tuberkulosis karena merupakan proses kronik sehingga
telah membentuk pembuluh darah kolateral. Paraplegia dapat juga disebabkan oleh tuberkulosis pada
medula spinalis.

2.3.2.

Manifestasi Klinis

Secara klinik gejala spondilitis tuberkulosis hampir sama dengan gejala tuberkulosis pada umumnya,
yaitu badan lemah/lesu, nafsu makan berkurang, berat badan menurun, suhu sedikit meningkat
(subfebril) terutama pada malam hari. Pasien biasanya anak-anak, dengan keluhan utama berupa nyeri

punggung atau nyeri pinggang bawah. Pada umumnya nyeri meningkat pada malam hari, makin lama
makin berat, terutama pada pergerakan. Pada pemeriksaan fisik tulang belakang dapat ditemukan
kifosis (gibbus), abses retroperitoneal atau abses inguinal. Selain itu, dapat ditemukan gangguan
medula spinalis berupa paresis dan gangguan sensibilitas.

Gejala awal paraplegia pada tuberkulosis tulang belakang dimulai dengan keluhan kaki terasa kaku
atau lemah, atau penurunan koordinasi tungkai. Proses ini dimulai dengan penurunan daya kontraksi
otot tungkai dan peningkatan tonusnya. Kemudian terjadi spasme otot fleksor dan akhirnya
kontraktur. Pada permulaan, paraplegi terjadi karena udem sekitar abses paraspinal, tetapi akhirnya
karena kompresi. Karena tekanan timbul terutama dari depan, gangguan pada paraplegia ini umumnya
terbatas pada traktus motorik. Paraplegia kebanyakan ditemukan di daerah torakal dan bukan lumbal,
karena kanalis lumbalis agak longgar dan kauda ekuina tidak mudah tertekan.

Berdasarkan defisit neurologisnya, Frankel mengklasifikasikan spondilitis tuberkulosis menjadi


beberapa tipe, yaitu:
Frankel A (complete paraplegia)
Frankel B (preserved sensation)
Frankel C (useless motor)
Frankel D (useful motor)
Frankel E (normal)

2.3.3.

Diagnosis

Pada pemeriksaan darah tepi didapatkan laju endap darah meningkat, sedangkan kadar hemoglobin
rendah. Pemeriksaan imunologi dengan uji tuberkulin dapat membantu menegakkan diagnosis. Untuk
melakukan pemeriksaan bakteriologis, dapat dilakukan pungsi abses atau dari debris yang didapat
melalui pembedahan.
Diagnsosis dapat dipastikan dengan aspirasi pus paravertebra, yaitu dengan melakukan pemeriksaan
mikroskopik untuk menemukan basil tuberkulosis serta ditanam di media agar (guinea pig).
Sensitivitas basil tuberkulosis terhadap obat-obat antituberkulosis harus diperiksa. Jaringan yang
diperoleh baik melalui biopsi tertutup atau biopsi terbuka saat pembedahan dapat menunjukkan
gambaran histologi infeksi tuberkulosis yang khas, termasuk histiosit dan giant cells.
Pada pemeriksaan rontgen stadium awal ditemukan lesi osteolitik pada pars anterior korpus vertebra,
osteoporosis regional dan penyempitan diskus intervertebralis. Sementara pada stadium lanjut
ditemukan destruksi pars anterior korpus vertebra yang menyebar ke vertebra dan gambaran bayangan
otot psoas yang melebar karena adanya abses psoas ataupun bayangan paravertebra karena
terbentuknya abses paravertebra.

Pada CT Scan dan MRI, gambaran di atas akan tampak lebih jelas. CT scan dapat memberi gambaran
tulang secara lebih detail dari lesi irreguler, sklerosis, kolaps diskus dan gangguan sirkumferensi
tulang. CT Scan juga dapat mendeteksi lebih awal serta lebih efektif untuk menegaskan bentuk dan
kalsifikasi dari abses jaringan lunak. MRI baik untuk mengevaluasi infeksi diskus intervertebra dan
osteomielitis tulang belakang, menunjukkan adanya penekanan saraf, serta membedakan spondilitis
tuberkulosis dari spondilitis piogenik dari gambaran absesnya.

2.3.4.

Tata Laksana

Tujuan penatalaksanaan tuberkulosis pada vertebra ini adalah untuk menghilangkan kuman penyebab
dan mencegah deformitas dan komplikasi paraplegi. Terapi konservatif berupa istirahat serta diet
tinggi kalori dan protein. Tuberkulostatik diberikan untuk mengatasi sumber infeksinya. Pemberian
tuberkulostatik dilakukan sebelum, sewaktu, dan sesudah pembedahan untuk mencegah kekambuhan.
Selain itu, perlu dilakukan upaya pencegahan untuk menghindari dekubitus serta kesulitan miksi dan
defekasi.
Tindakan pembedahan dilakukan setelah 3 minggu pemberian tuberkulostatik. Terapi bedah dilakukan
untuk menghilangkan pus dan sequestra, serta untuk menggabungkan segmen-segmen vertebra yang
terkena, terutama bagian anterior dengan menggunakan autogenous bone grafts. Biasanya dilakukan
bedah kostotransversektomi, berupa debrideman dan penggantian korpus vertebra yang rusak dengan
tulang spongiosa atau kortikospongiosa. Tulang ini sekaligus berfungsi menjembatani vertebra yang
sehat, yaitu di atas dan di bawah yang terkena tuberkulosis. Pada paraplegia, terapi ini dilakukan
untuk dekompresi medula spinalis. Disamping itu, akhir-akhir ini dilakukan tindakan stabilisasi
posterior tulang belakang untuk koreksi deformitas.
Di negara dimana fasilitas pembedahan masih kurang, dapat dilakukan terapi alternatif dengan
kemoterapi antituberkulosis jangka panjang dikombinasikan dengan spinal brace atau cast.

2.3.5.

Komplikasi

Komplikasi yang paling serius dari spondilitis tuberkulosis adalah paraplegia (paraplegia Pott), yang
dapat terjadi di awal atau akhir perjalanan penyakit. Paraplegia of active disease muncul lebih cepat,
terjadi karena penekanan ekstradural (pus, sequestra, sequestrated intervertebral disc) atau
keterlibatan langsung medulla spinalis oleh jaringan granulasi. Paraplegia of healed disease selalu
muncul lebih lambat, terjadi karena perluasan tulang yang mempengaruhi kanalis spinalis atau fibrosis
jaringan granulasi. Mielografi atau MRI dapat membantu membedakan paraplegia tipe tekanan (dapat
diatasi dengan pembedahan) dengan paraplegia karena invasi ke dura dan medulla spinalis.
Paraplegia yang terjadi karena penekanan selama perjalanan penyakit tuberkulosis sendiri relatif
merupakan suatu kegawatan yang harus diatasi dengan pembedahan dekompresi medula spinalis dan
akar-akar saraf.

Komplikasi yang lebih jarang adalah ruptur abses paravertebra torakal kedalam pleura yang
menyebabkan empiema tuberkulosis. Di regio lumbal, abses dapat masuk ke otot iliopsoas dan
menyebar sebagai abses psoas, yang merupakan salah satu contoh abses dingin.

BAB III
DISKUSI

Pasien datang dengan keluhan nyeri kepala. Onset nyeri kepala 3 bulan yang lalu dan bertambah
berat.selain itu, frekuensi nyeri kepala pasien juga bertambah sering. Dapat dikatakan bahwa nyeri
kepala pasien bersifat kronik, progresif. Hal ini berbeda dengan karakteristik nyeri kepala primer yang
cenderung memiliki intensitas dan frekuensi yang menetap. Selain itu, keluhan juga disertai dengan
defisit neurologik berupa:
1. Kejang
2. Kelemahan ekstremitas
3. Rasa baal dan kesemutan
4. Kesulitan BAK dan BAB
Hal ini memperkuat bukti untuk nyeri kepala sekunder.

Nyeri kepala yang bersifat kronik progresif, dapat diduga merupakan suatu kelainan infeksi atau
neoplasma. Keluhan lain berupa demam dan riwayat batuk, serta riwayat pengobatan OAT
sebelumnya mengarahkan diagnosis pasien kearah infeksi. Apabila pasien dicurigai mengalami
infeksi intrakranial, maka pasien dilakukan pemeriksaan HIV. Pada pasien, test HIV adalah
nonreaktif. Dan pada hasil CT scan menujukan lesi nonfokal. Sehingga diagnosis mengarah kepada
penyakit meningoensefalitis TB, meningobakterial, ensefalitis HSV.

Infeksi TB yang dialami pasien mengarahkan pasien mengalami meningoensefalitis dengan suspect
TB. Pada stadium awal penyakit, manifestasi iritasi meningeal biasanya tidak ditemukan. Gejala yang
paling menonjol biasanya sakit kepala, perubahan tingkah laku seperti bungung dan apatis, dan
beberapa pasien mengalami kejang. Gejala lain pada pasien yang mendukung kearah ensefalitis
adalah demam, cara berjalan yang tidak stabil, kejang, kelemahan otot. Pasien memiliki riwayat
kelemahan sisi kanan. Sehingga kemungkinan terdapat lesi pada hemisfer kiri.

Saat ini kaki kanan dan kiri mengalami kelemahan yang didugaterjadi pada medula spinalis. Pada
pasien dengan riwayat TB, diduga lesi pada vertebra disebabkan oleh spondilitis TB. Hasil CT scan
vertebra menunjukan lesi di T12 L3. Hal ini sesuai dengan predileksi spondilitis, yaitu sering
ditemukan pada vertebra T8-L3. Spondilitis TB sering mengenai korpus vertebra.

Diagnosis Klinis

: nyeri kepala, meningoensefalitis suspek TB, Spodilitis TB

Diagnosis Topis

: Hemisfer kiri, vertebra torakalis 12 lumbal 3

Diagnosis Patologis

: Lesi perkijuan

Diagnosis Etiologis

: infeksi TB

BAB IV
DAFTAR PUSTAKA

1. Mumenthaler M, Mattle H, editor. Neurology. 4th Ed. Philadelphia: Thiemer Publishing; 2004. (84162)
2. Wilkinson, Lennox G. Essential Neurology. 4th Ed. New York: Blackwell Publishing; 2007. (213-20)
3. Ropper AH, Brown RH. Adam and Victors Principles of Neurology. 8th Ed. San Fransisco: McGrawHill Companies; 2008.
4. Mansjoer, A. Meningitis Tuberkulosis. Dalam : Kapita Selekta Kedokteran. Edisi ketiga. Jakarta:
Media Aesculapius Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2000. h.11
5. Tunkel, A. Practice Guidelines for the Management of Bacterial Meningitis. Clinical Infectious
Disease. Infectious Disease Society of America. Phyladelpia. 2004.
6. Ravighone M, OBrien R. Tuberculosis. Dalam : Harrisons Principles of Internal Medicine Edisi 16.
New York: McGraw-Hill. 1998. h. 1004 1014.
7. Linssen WHJP, Gabreels FJM, Wevers RA. Infective acute transverse myelopathy. Report of two
cases. Neuropediatrics 1991;22:107-9.
8. Kalita J, Misra U.K: Neurophysiological studies in acute transverse myelitis. J-Neurol. 2000 Dec;
247(12): 943-8.
9. Altrocchi P.H. Acute transverse myelopathy. Arch Neurol.1963:9;111-9.

Anda mungkin juga menyukai