Kusta atau Morbus Hansen adalah penyakit menular, menahun yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium leprae. M. leprae secara primer menyerang saraf tepi dan secara sekunder menyerang kulit serta organ-organ lain. Indonesia sebagai penyumbang kusta nomor tiga di dunia dengan angka insidensi pada tahun 2010 masih lebih dari 7,22 per 10.000 penduduk. Manifestasi klinisnya sangat bervariasi, mulai dari lesi tunggal sampai dengan timbulnya kerusakan pada saraf, tulang, mata, dan organ vital lainnya. Pada sebagian besar kasus diagnosis ditegakkan berdasarkan pemeriksaan klinis, pemeriksaan bakteriologis dan histopatologis. Menurut WHO tipe kusta dibagi dua berdasarkan jumlah lesi dan pemeriksaan Bakteri Tahan Asam (BTA) yaitu tipe PB (Pausi Basiler) dan MB (Multi Basiler) (Amirudin, Hakim & Darwis 2003, h.12; Kemenkes 2011, h. 55). Kusta merupakan penyakit yang ditakuti karena dapat menimbulkan kerusakan permanen dan deformitas sehingga menimbulkan masalah sosial maupun ekonomi. Deformitas dan kecacatan akibat dari penyakit kusta sekitar 25% dan penderita yang mengalami impairment dapat berkembang menjadi deformitas dan kecacatan (Atul dkk. 2000; Werdiningsih 2003, vol.15, h.149). Menurut WHO (1980) batasan istilah dalam kecacatan kusta yaitu impairment (adanya abnormalitas struktur dan atau fungsi yang bersifat anatomis maupun fisiologis), disability (keterbatasan dan ketidakmampuan untuk melakukan fungsi
normalnya), dan handicap (kemunduran pada seorang individu akibat impairment
atau disability yang berdampak pada kehidupan sosial, ekonomi, dan budaya). Terjadinya cacat tergantung dari fungsi serta saraf mana yang rusak. Diduga kecacatan akibat penyakit kusta dapat terjadi lewat dua proses. Pertama melalui infiltrasi langsung M. leprae ke susunan saraf tepi dan organ dan yang kedua melalui reaksi kusta. Sebagian besar melalui proses infiltrasi langsung, yaitu M. leprae masuk melaui kulit tubuh yang tidak intak. Setelah itu basil akan menuju sel target yaitu Sel Schwann. Sel ini berfungsi sebagai demielinisasi dan fungsi fagositosisnya sedikit. Kemampuan hidup M. leprae ini tergantung imunitas seluler tubuh. Pada kusta tipe Lepromatosa lepromatosa (MB) mempunyai imunitas seluler yang rendah mengakibatkan makrofag pada sel Schwann gagal memfagositosis sehingga basil aktif bermutiplikasi dan menyebabkan kerusakan jaringan dan gangguan regenerasi sel saraf. Pada tipe kusta Tuberkuloid tuberkuloid (PB) mempunyai imunitas seluler yang tinggi sehingga makrofag berhasil memfagositosis basil. Setelah itu makrofag menjadi sel epiteloid yang tidak aktif dan dapat bersatu membentuk sel datia Langhans (Amirudin, Hakim & Darwis 2003, h. 13; Wisnu dan Gudadi 2003, h.85 ). Walaupun program pengobatan Multi Drug Therapy (MDT) telah sukses di banyak penjuru dunia, akan tetapi masalah kecacatan akibat kusta masih tetap tinggi. Pada beberapa daerah sebagian penderita mengalami impairment saat teridentifikasi dan memulai MDT. Hanya sebagian kecil yang mengalami impairment saat pengobatan berlangsung (Werdiningsih 2003, vol.15, h.149). WHO mengklasifikasikan kecacatan kusta menjadi tiga tingkat (0, 1, 2) berdasarkan evaluasi sensorik dan motorik pada tangan, kaki dan mata. Dengan klasifikasi ini diharapkan bisa merencanakan program yang sesuai, sebagai
indikator untuk melakukan program eliminasi dan untuk mencegah kecacatan
pada tiap individu (Depkes RI 2006, h. 96). Tingginya kecacatan merupakan tolak ukur yang relevan dalam penanganan kusta. Apabila angka kecacatan masih tinggi, penemuan kasus secara aktif harus dilakukan dan diperlukan edukasi pada masyarakat untuk mendapatkan pengobatan sedini mungkin sebelum terjadi kecacatan. Di Indonesia pada kurun waktu 2002-2010 terjadi kecenderungan peningkatan proporsi cacat tingkat 2. Proporsi cacat tingkat 2 pada tahun 2010 sebesar 10,71%. Angka ini di atas target indikator program, yaitu sebesar 5% (Kemenkes RI 2011, h. 73 ; WHO 2011). Dari uraian data di atas menunjukkan ada peningkatan jumlah penderita kusta dan angka kecacatan tiap tahunnya. Kabupaten Lamongan menduduki peringkat tiga terbesar di Jawa Timur dengan 718 kasus pada tahun 2010. Jumlah kasus terbanyak pada tahun 2010-2011 terdapat di Kecamatan Brondong. Berdasarkan data ini penulis merasa perlu melakukan penelitian di Puskesmas Brondong, Kecamatan Brondong, Kabupaten Lamongan sebagai evaluasi untuk menekan angka kejadian dan morbiditas akibat kusta, salah satunya dengan meninjau hubungan tipe kusta dengan tingkat kecacatan pada penderita kusta (Dinkes Lamongan 2010, 2011) 1.2 Rumusan Masalah Apakah terdapat hubungan tipe kusta dengan tingkat kecacatan pada penderita kusta di Puskesmas Brondong, Kabupaten Lamongan periode 1 Januari 2010 31 Desember 2011? 1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum Untuk mengetahui hubungan tipe kusta dengan tingkat kecacatan pada penderita kusta di Puskesmas Brondong, Kabupaten Lamongan.
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui angka kejadian kasus baru penderita kusta di Puskesmas Brondong, Kabupaten Lamongan periode 1 Januari 2010 31 Desember 2011. 2. Untuk mengetahui angka kecacatan penderita kusta tipe PB di Puskesmas Brondong, Kabupaten Lamongan periode 1 Januari 2010 31 Desember 2011. 3. Untuk mengetahui angka kecacatan penderita kusta tipe MB di Puskesmas Brondong, Kabupaten Lamongan periode 1 Januari 2010 31 Desember 2011. 1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat Klinis 1. Dapat memberi pengetahuan kepada kepada praktisi kesehatan sehingga dapat mendeteksi dan menangani penderita kusta dengan benar. 2. Dapat mengurangi angka kejadian kusta. 3. Dapat memperbaiki rencana kesehatan dalam menekan angka kejadian dan kecacatan pada penderita kusta. 1.4.2 Manfaaat Akademis 1. Menambah wawasan dan khasanah ilmu pengetahuan kedokteran. 2. Sebagai tambahan pustaka dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang pemberantasan penyakit kusta. 3. Sebagai dasar untuk melakukan penelitian selanjutnya yang berkaitan dengan hubungan antara tipe kusta dan tingkat kecacatan pada penderita kusta. 1.4.3 Manfaat Bagi Masyarakat Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi bagi masyarakat, sehingga dapat membantu penderita dan masyarakat dalam mengenal secara dini terjadinya kecacatan untuk segera memperoleh penanganan medis.