45
ARGUMENTUM, Vol. 12 No. 1, Desember 2012
dan juga apa yang disebut sebagai mafia tanah, terdapat
kesan bahwa pemerintahpun kewalahan mengatasi bentukbentuk mafia tanah tersebut. Keberadaan mafia tanah
sebenarnya tidak dapat dilepaskan dari adanya keterlibatan
oknum pemerintah atau petugas, dan adanya oknum itulah
yang memungkinkan lahirnya sertifikat palsu atau asli tapi
palsu (aspal).1 1)
Dalam sistem peralihan hak atau pemberian hak baru atas
tanah maka harus dilakukan melalui seorang Pejabat Pembuat Akta
Tanah atau yang disebut PPAT. Menurut ketentuan yang ada PPAT
adalah satu-satunya instrumen yang berhak membuat akta peralihan
atau pemberian hak baru atas tanah. Pekerjaannya itu tidak dapat
dikuasakan atau dialihkan kepada wakilnya ataupun penggantinya.
Kewenangan dari PPAT berdasarkan Pasal 2 ayat (1)
Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan
Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah adalah melaksanakan
sebagian kegiatan pendaftaran tanah dengan membuat akta sebagai
bukti telah dilakukan perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas
tanah atau hak milik atas satuan rumah susun, yang akan dijadikan
dasar pendaftaran perubahan data yang diakibatkan oleh perbuatan
hukum itu.
PPAT diharapkan tidak mudah terpengaruh oleh kehendak
pihak-pihak yang sengaja bermaksud mendapat keuntungan besar
dengan tidak meneliti surat-surat tanah, identitas pemilik asalnya,
dan sebagainya, yang hal itu akan menimbulkan kesulitan di
kemudian hari bahkan akan terjadi sengketa hukum atas tanah yang
bersangkutan.
Sengketa hak atas tanah dapat diperiksa, disidangkan dan
diputuskan oleh hakim di Pengadilan Negeri (PN) atau Pengadilan
Tata Usaha Negara (PTUN), tergantung pada subyek hukumnya.
Pengadilan Negeri selaku peradilan umum berwenang mengadili
keabsahan perbuatan hukum tentang peralihan haknya, sedangkan
PTUN mengadili tentang keabsahan serifikat hak atas tanahnya.
Oleh karena itu bisa jadi timbul putusan yang berbeda bahkan
mungkin bertolak belakang, yakni Peradilan Umum menyatakan
tidak sahnya suatu perbuatan hukum yang mengalihkan hak tetapi
putusan PTUN mentatakan sahnya sertifikat. Atau bisa juga terjadi
sebaliknya, yakni putusan Peradilan Umum menyatakan sahnya
1
R. Sembiring Meliala, Upaya Mengenali Tanah, Makalah Simposium
Bidang Pertanahan yang Diselenggarakan DPP Patai Golkar, Jakarta, 1990, hlm.
13.
46
47
48
49
50
51
52
53
itu dibuat oleh dan dihadapan PPAT maka yang akan dipersoalkan
adalah adanya kecacatan yuridis yang mengakibatkan terjadinya
ketidakabsahan pada sertifikat yang dibuat oleh Badan Pertanahan
Nasional, mengingat diterbitkannya sertifikat diawali dengan
pembuatan akta oleh PPAT.
Kecacatan yuridis dapat mungkin terjadi karena faktor
sengaja ataupun tidak sengaja. Dalam hal PPAT telah mengetahui
adanya ketidaksesuaian antara dokumen dengan fakta tetapi masih
juga dilanjutkan pembuatan aktanya, maka yang demikian ini
dikatakan sengaja. Tetapi jika karena PPAT kurang hati-hati atau
kurang teliti pada saat membaca atau memeriksa dokumendokumen yang diajukan oleh pemohon akta sehingga ketika akta
selesai dibuat terlihat adanya ketidaktepatan itu, maka masih dapat
dikatakan tidak sengaja. Hal ini memang berkaitan erat dengan
kemampuan dan kecakapan PPAT itu sendiri dalam menterjeahkan
peristiwa hukum yang dihadapinya.
Hakekatnya pembuatan akta adalah pembuatan perjanjian,
yang menghadapkan dua pihak dalam suatu kepentingan. Di dalam
Pasal 1320 sampai dengan Pasal 1337 KUHPerdata, pada
prinsipnya tersirat ketentuan bahwa suatu persetujuan dapat
mengakibatkan batal apabila mengandung unsur paksaan, penipuan,
kekhilafan, ketidakcakapan si pembuat dan tanpa sebab atau causa
yang halal. Jadi apabila suatu perbuatan hukum dinyatakan tidak
sah maka hal ini akan mengakibatkan dokumen atau surat-surat
bukti tersebut dinyatakan batal demi hukum atau dapat dibatalkan.
Apabila ada kecacatan dalam perjanjian untuk penerbitan
Sertifikat tanah atas dasar akta PPAT yang mengacu pada ketentuan
Pasal 1320 KUHPerdata maka keabsahan dari peralihan hak untuk
penerbitan sertifikat tanah dengan dilandasi akta yang dibuat oleh
PPAT dapat dinyatakan batal. Hal tersebut terjadi karena timbulnya
Sertifikat tanah dilandasi adanya perjanjian yang tidak sah.
Pada kondisi yang demikian seseorang yang mengikatkan
diri dalam perjanjian tersebut apabila merasa dirugikan, dapat
mengajukan gugatan kepada lembaga peradilan yang berwenang.
Begitu juga halnya ketika seseorang tersebut mengetahui adanya
mekanisme tidak benar yang dilakukan oleh Badan Pertanahan
Nasional selama dalam proses penerbitan Sertifikat tanah, maka
yang bersangkutan dapat mengajukan gugatan kepada lembaga
peradilan yang berkompeten menanganinya.
54
55
56
57