Anda di halaman 1dari 14

44

ARGUMENTUM, Vol. 12 No. 1, Desember 2012

PENYELESAIAN SENGKETA AKIBAT


DITERBITKANNYA SERTIFIKAT TANAH
BERDASARKAN AKTA YANG DIBUAT OLEH
P.P.A.T.
Sudjatmiko
- Fakultas Hukum Universitas Lumajang Jl. Musi No. 12 Lumajang
Email: golkar.lmj@gmail.com
ABSTRAK
Bila terjadi sengketa dalam praktek peralihan hak atas tanah
berdasarkan akta PPAT maka peradilan yang berwenang
mengadili adalah Peradilan Umum (PN/PT) dan Peradilan
Tata Usaha Negara (PTUN). Penyelesaian hukum sengketa
yang timbul akibat diterbitkannya serifikat atas tanah
berdasarkan akta PPAT, yang dilakukan melalui Peradilan
Umum akan memutuskan mengenai sah tidaknya perjanjian
yang dibuat atas dasar Pasal 1320 KUHPerdata, sedangkan
bila dilakukan melalui PTUN maka yang akan diputuskan
adalah mengenai sah tidaknya sertifikat yang dibuat oleh
PPAT, yaitu harus sesuai dengan persyaratan yang berlaku
dan bukti-bukti yang kuat.
Kata kunci : Peralihan Hak Tanah, PPAT, Sertifikat.
A. PENDAHULUAN
Tanah sangat erat hubungannya dengan manusia, bukan
hanya untuk tempat berdomisili namun juga hingga akhir hayat
manusia juga memerlukannya. Jumlah luas tanah yang dapat
dimiliki oleh manusia sangat terbatas sedangkan jumlah manusia
yang memerlukannya terus bertambah. Dengan keadaan yang
demikian maka tidak mengherankan jika persoalan yang berkaitan
dengan tanah semakin meningkat, seperti terjadinya kejahatan atas
tanah, dalam bentuk terbitnya sertifikat asli tapi palsu.
R. Sembiring Meliala, dalam sebuah Simposium Dewan
Pimpinan Pusat (DPP) Partai Golkar di Jakarta menyatakan:
Bahwa keadaan itu tadi ditambah dengan berbagai faktor
obyektif lainnya, seperti beratnya kehidupan ekonomi pada
masyarakat lapisan menengah dan bahkan telah melahirkan
berbagai bentuk penyimpangan seperti misalnya pencelaan

45
ARGUMENTUM, Vol. 12 No. 1, Desember 2012
dan juga apa yang disebut sebagai mafia tanah, terdapat
kesan bahwa pemerintahpun kewalahan mengatasi bentukbentuk mafia tanah tersebut. Keberadaan mafia tanah
sebenarnya tidak dapat dilepaskan dari adanya keterlibatan
oknum pemerintah atau petugas, dan adanya oknum itulah
yang memungkinkan lahirnya sertifikat palsu atau asli tapi
palsu (aspal).1 1)
Dalam sistem peralihan hak atau pemberian hak baru atas
tanah maka harus dilakukan melalui seorang Pejabat Pembuat Akta
Tanah atau yang disebut PPAT. Menurut ketentuan yang ada PPAT
adalah satu-satunya instrumen yang berhak membuat akta peralihan
atau pemberian hak baru atas tanah. Pekerjaannya itu tidak dapat
dikuasakan atau dialihkan kepada wakilnya ataupun penggantinya.
Kewenangan dari PPAT berdasarkan Pasal 2 ayat (1)
Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan
Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah adalah melaksanakan
sebagian kegiatan pendaftaran tanah dengan membuat akta sebagai
bukti telah dilakukan perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas
tanah atau hak milik atas satuan rumah susun, yang akan dijadikan
dasar pendaftaran perubahan data yang diakibatkan oleh perbuatan
hukum itu.
PPAT diharapkan tidak mudah terpengaruh oleh kehendak
pihak-pihak yang sengaja bermaksud mendapat keuntungan besar
dengan tidak meneliti surat-surat tanah, identitas pemilik asalnya,
dan sebagainya, yang hal itu akan menimbulkan kesulitan di
kemudian hari bahkan akan terjadi sengketa hukum atas tanah yang
bersangkutan.
Sengketa hak atas tanah dapat diperiksa, disidangkan dan
diputuskan oleh hakim di Pengadilan Negeri (PN) atau Pengadilan
Tata Usaha Negara (PTUN), tergantung pada subyek hukumnya.
Pengadilan Negeri selaku peradilan umum berwenang mengadili
keabsahan perbuatan hukum tentang peralihan haknya, sedangkan
PTUN mengadili tentang keabsahan serifikat hak atas tanahnya.
Oleh karena itu bisa jadi timbul putusan yang berbeda bahkan
mungkin bertolak belakang, yakni Peradilan Umum menyatakan
tidak sahnya suatu perbuatan hukum yang mengalihkan hak tetapi
putusan PTUN mentatakan sahnya sertifikat. Atau bisa juga terjadi
sebaliknya, yakni putusan Peradilan Umum menyatakan sahnya
1
R. Sembiring Meliala, Upaya Mengenali Tanah, Makalah Simposium
Bidang Pertanahan yang Diselenggarakan DPP Patai Golkar, Jakarta, 1990, hlm.
13.

46

ARGUMENTUM, Vol. 12 No. 1, Desember 2012

suatu perbuatan hukum yang mengalihkan hak tetapi putusan PTUN


menyatakan tidak sahnya suatu sertifikat atas tanah dimaksud.
Terkadang tidak semua PPAT mampu menguraikan secara
tepat dan benar mengenai batas-batas tanah, sejarah kepemilikan
hak atas tanah dan sebaginya, sehingga mengakibatkan adanya
kecacatan dalam pembuatan akta tanahnya. Kecacatan tersebut pada
akhirnya berdampak pada hasil pembuatan sertfikat hak atas
tanahnya, yakni memungkinkan adanya keberatan-keberatan dari
pihak yang merasa dirugikan dengan diajukannya gugatan ke
lembaga peradilan. Dalam hal ini Badan pertanaha Nadional hanya
bertindak sebagai lembaga pencatat sehingga menerima apapun
yang tersurat di dalam akata tanah yang dibuat oleh PPAT.
B. PERMASALAHAN
Atas dasar uraian diatas maka dapat diidentifikasikan
permasalahan-permasalahan sebagai berikut :
Bagaimanakah kedudukan akta Pejabat Pembuat Akta Tanah
(PPAT) sebagai dasar diterbitkannya Sertifikat Atas Tanah oleh
Badan Pertanahan Nasional (BPN) ?
Peradilan manakah yang berwenang mengadili sengketa yang
timbul akibat diterbitkannya Sertifikat atas tanah berdasarkan
akta dari Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) ?
Bagaimanakah penyelesaian yuridis terhadap sengketa yang
timbul akibat diterbitkannya sertifikat atas tanah berdasarkan
akta dari Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) ?
C. METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatf.
Dalam penelitian normatif terhadap permasalahan hukum yang
muncul pada karya ilmiah ini, tema sentralnya adalah mengenai
kemungkinan adanya gugatan pembatalan sertifikat tanah dengan
titik berat yang mempersoalkan kompetensi Lembaga Pradilan
Umum dan Lembaga Peradilan Tata Usaha Negara untuk
memutuskan perkara gugatan pembatalan sertifikat tanah.
Untuk itu sumber bahan hukum yang dipakai adalah bahan
hukum primer dan bahan hukum sekunder. Bahan hukum primer
meliputi norma, kaidah-kaidah, peraturan-peraturan dasar seperti
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan
Kehakiman, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang

ARGUMENTUM, Vol. 12 No. 1, Desember 2012

47

Peradilan Umum, PP Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan


Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah, termasuk pula bahan hukum
yang tidak terkodifikasikan, antara lain Yurisprudensi dan
sebagainya.
Sedangkan bahan hukum sekunder meliputi bahan-bahan
hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum
primer, seperti hasil-hasil penelitian, karya tulis hukum, keteranganketerangan dari pihak-pihak yang berkompeten terhadap hukum,
petunjuk-petunjuk teknis baik yang terbaca lewat tulisan atau
gambar dan lain sebagainya. Jadi dalam penelitian ini tidak hanya
merupakan penelitian terhadap teks hukum semata, tetapi
melibatkan kemampuan analisis ilmiah terhadap bahan hokum
dengan dukungan pemahaman terhadap teori hukum. Sekaligus
pada derajat tertentu juga memerlukan refleksi kefilsafatan yang
diperoleh melalui filsafat hukum.
Pengumpulan bahan hukum dilakukan dengan cara
mengumpulkan dan mempelajari ketentuan-ketentuan hukum yang
berlaku kemudian menggabungkannya dengan teori-teori yang
ditulis oleh para pakar atau para ahli hukum. Setelah dipelajari dan
ditemukan bahan-bahan hukum yang sesuai dengan permasalahan
yang ada maka dilakukan pencatatan bahan-bahan untuk
mempermudah dilakukan penelitian. Selanjutnya terhadap bahanbahan yang telah diperoleh dilakukan pengolahan yaitu dengan cara
mengklasifikasikan atau mengelompokkan bahan-bahan tersebut
sesuai dengan permasalahan yang akan dibahas.
Analisis bahan hukum menggunakan metode diskriptif
analisis, yaitu dengan memahami dan memaparkan peraturanperaturan yang mengatur masalah pertanahan, baik yang
menyangkut pendaftaran hak atas tanah, pembuatan akta tanah,
penerbitan sertifikat tanah dan sebagainya. Selanjutnya terhadap
bahan hukum menyangkut sengketa yang mungkin saja dapat terjadi
dalam tahap pensertifikatan tanah serta dicarikan penyelesaian
hukum terhadap sengketa yang timbul akibat diterbitkannya
sertifikat hak milik atas tanah berdasarkan akta PPAT, secara
sistematis dan terperinci untuk kemudian ditarik suatu kesimpulan.
D. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Untuk mempertahankan haknya atas tanah dari
kemungkinan adanya pengakuan dari pihak lain, maka masyarakat
memerlukan alas hak yang kuat sehingga apabila sewaktu-waktu

48

ARGUMENTUM, Vol. 12 No. 1, Desember 2012

harus dilakukan peralihan hak, baik karena perbuatan hukum yang


bersifat privat ataupun karena kepentingan umum menurut
ketentuan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan
Dasar Pokok-pokok Agraria atau yang lebih dikenal dengan sebutan
UUPA, maka masyarakat yang mempunyai tanah tidak menjadi
dirugikan.
Dalam hal terjadi peralihan hak karena perbuatan hukum
privat maka konsekwensi atas perbuatan itu menjadi tanggungjawab
para pihak itu sendiri, sedangkan jika peralihan hak karena
perbuatan hukum publik maka pemerintah berkewajban membayar
ganti ruginya, sesuai dengan ketentuan yang berlaku, yang pada
umumnya mendasarkan pada Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP) yang
berlaku di wilayah tempat dimana tanah itu berada.
Berkaitan dengan pembayaran sejumlah uang, baik sebagai
beaya pembelian harga tanah ataupun pembayaran ganti rugi oleh
Pemerintah, maka setiap pemegang hak atas tanah sebaiknya
mendaftarkan tanahnya ke Kantor Pertanahan setempat untuk
dijadikan dasar pembuatan akta tanah oleh PPAT, yang selanjutnya
menjadi prasyarat diterbitkannya Sertifikat Tanah oleh Badan
Pertanahan Nasional.
Sasaran pendaftaran tanah adalah bidang-bidang tanah yang
dikuasai dengan sesuatu hak yang dikenal dengan tanah hak atau
persil, kemudian terhadapnya dilakukan langkah-langkah
pengukuran, pemetaan dan diselidiki proses penguasan hak atas
tanahnya pada pemegang haknya. Selanjutnya hasil pendaftaran
tanah berupa peta dan daftar tanah yang memberikan penjelasan
mengenai siapa pemegang haknya, dimana letaknya, berapa luasnya
dan sebagainya, menjadi data kadaster.
Penyelenggaraan pendaftaran tanah diadakan di seluruh
wilayah Republik Indonesia dan termaktub dalam Pasal 19 UUPA,
dan instansi yang berwenang melakukan pendaftaran tanah adalah
Badan Pertanahan Nasional, yang dalam implementasinya di tingkat
Kabupaten/Kota kewenangannnya disubstitusikan kepada Kantor
Pertanahan setempat.
Sistem yang digunakan dalam pendaftaran tanah di
Indonesia adalah Sistem Negatif ditambah dengan bertendens
positif, yang artinya kelemahan sistim negative dikurangi dengan
cara-cara yang sedemikian rupa sehingga kepastian hukum dapat
tercapai.

ARGUMENTUM, Vol. 12 No. 1, Desember 2012

49

Pada Sistem Negatif surat tanda bukti hak itu berlaku


sebagai alat pembuktian yang kuat, berarti keterangan-keterangan
yang tercantum di dalamnya mempunyai kekuatan hukum dan harus
diterima (oleh hakim) sebagai keterangan yang benar, selama dan
sepanjang tidak ada alat pembuktian lain yang membuktikan
sebaliknya. Dalam hal yang demikian maka Pengadilanlah yang
akan memutuskan alat pembuktian mana yang benar, kalau ternyata
bahwa keterangan dari pendaftaran tanalah yang tidak benar maka
diadakan perubahan dan pembetulan seperlunya.2
Hakikat pendaftaran tanah yakni untuk menjamin kepastian
hukum terhadap suatu hak atas tanah hingga teranglah apa yang
dilakukan itu adalah suaatu recht kadaster. Kemudian teknis
pelaksanaan pendaftaran tanah ini diatur tersendiri dalam PP Nomor
10 Tahun 1961 yang selanjutnya disempurnakan dalam PP Nomor
24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, yang berlaku secara
efektif di Indonesia hingga saat ini.
Dampak dari adanya peralihan hak, bagi para pemegang hak
baru yang memperoleh hak atas tanahnya dari peralihan hak maka
pendaftaran peralihan hak diberi arti hukum sesuai dengan asas
hukum yang dianut suatu negara. Ada dua arti menurut Badan
Pertanahan Nasional terkait peralihan hak, yakni pendaftaran tanah
merupakan syarat mutlak bagi peralihan dan pendaftaran tanah juga
merupakan syarat mutlak untuk berlakunya peralihan hak bagi
pihak ketiga.
D.1. Akta Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) sebagai Bukti
Peralihan Hak Dan Dasar Penerbitan Sertifikat Oleh
Badan Pertanahan Nasional
Setiap perjanjian yang bermaksud memindahkan hak atas
tanah harus dibuktikan dengan adanya Akta dari pejabat yang
ditunjuk oleh Menteri Kehakiman, dalam hal ini adalah Pejabat
Pembuat Akta Tanah disingkat PPAT.
Menurut Pasal 1 angka (1) PP Nomor 37 Tahun 1998
tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah, bahwa
yang dimaksud dengan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) adalah
pejabat umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta-akta

Bachtiar Efendi, Kumpulan Tulisan Tentang Hukum Tanah, Alumni,


Jakarta, 1982, h. 45

50

ARGUMENTUM, Vol. 12 No. 1, Desember 2012

otentik mengenai perbuatan hukum tertentu terhadap hak-hak atas


tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun.
Adapun pihak yang dapat diangkat menjadi PPAT adalah :
Notaris
Pegawai Badan Pertanahan Nasional dengan jabatan tertentu
yang lulus ujian yang diadakan oleh Menteri Agraria.
Camat yang menjalankan jabatan sebagai Pejabat pembuat Akta
Tanah, sepanjang di daerah tersebut belum ada Notaris dan
PPAT.3
Kewenangan yang diberikan kepada PPAT didasarkan pada
ketentuan Pasal 2 ayat (1) PP No. 37 Tahun 1998 tentang Peraturan
Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah, yakni melaksanakan sebagian
kegiatan pendaftaran tanah dengan membuat akta sebagai bukti
telah dilakukan perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah
atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Sususn, yang akan dijadikan
dasar pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah yang
diakibatkan oleh perbuatan hukum itu.
Peranan PPAT sangat diperlukan baik dalam penyediaan
tanah maupun di dalam pemutakhiran data penguasaan tanah, oleh
karena itu PPAT itu harus mempunyai kemampuan yang
memungkinkan akta yang dibuatnya mempunyai kekuatan
pembuktian yang kuat dan tidak pula melanggar ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Apabila pada akta
yang dibuat oleh PPAT terdapat kelemahan-kelemahan atau cacat
hukum yang menyangkut kekuatan pembuktiannya, maka hal ini
akan berpengaruh dan menambah kadar ketidakpastian hukum dari
hak-hak yang terdaftar pertama kali.
Mengingat yang diterbitkan adalah bukti hak maka peranan
akta dari PPAT menjadi sangat penting, hal ini berkenaan dengan
adanya akta yang dibuat oleh PPAT maka Badan Pertanahan
Nasional (BPN) selaku organ pemerintah yang berwenang di bidang
pertanahan, akan menerbitkan sertifikat hak atas tanah. Pembuatan
akta PPAT harus dihadiri oleh para pihak yang melakukan
perbuatan hukum bersangkutan atau orang yang dikuasakan olehnya
dengan surat kuasa tertulis sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku. Selama proses pembuatan akta PPAT harus
disaksikan oleh sekurang-kurangnya dua orang saksi yang
memenuhi syarat untuk
3

A.P. Parlindungan, Prof., Dr., S.H., op.cit, h. 35

ARGUMENTUM, Vol. 12 No. 1, Desember 2012

51

bertindak sebagai saksi dalam suatu perbuatan hukum. Setelah akta


selesai dibuat maka PPAT wajib membacakan isi dan tujuan
pembuatan akta tersebut.
Fungsi akta yang dibuat oleh dan dihadapan PPAT adalah
untuk memastikan suatu peristiwa hukum dengan tujuan
menghindarkan adanya sengketa. Oleh sebab itu PPAT dalam
membuat akta harus teliti sehingga segala sesuatu yang dibuktikan
itu dapat diketahui dengan mudah dari akta yang dibuatnya.
Setelah diterbitkannya akta oleh PPAT maka pemegang hak
atas tanah harus segera mendaftarkan tanahnya ke Kantor
Pertanahan setempat melalui seksi Pendaftaran Tanah guna balik
nama. Adapun tujuan balik nama adalah untuk memberikan jaminan
kepastian hak berkenaan dengan adanya kepastian mengenai :
Jenis Hak atas tanahnya ; apakah Hak Milik, Hak Guna
Bangunan, Hak Guna Usaha, Hak Pakai atau Hak Pengelolaaan.
Siapa yang empunya tanahnya ; hal ini penting sekali karena
perbuatan-perbuatan hukum berkenaan dengan tanah tersebut
hanyalah sah jika telah dilakukan si pemilik.
Tanahnya yang dihaki/dipunyai ; menyangkut letaknya, luasnya
dan batas-batasnya, hal ini sangat penting unrtuk pencegahan
terjadinya sengketa dikemudian hari atas tanah yang
bersangkutan.
Hukumnya yang berlaku atas tanah tersebut ; agar lebih
mengetahui wewenang apa saja serta kewajibannya pemegang
hak atas tanah yang bersangkutan.4
Balik nama yang dianut oleh sistem Hukum Agraria
Nasional adalah balik nama yang didasarkan pada hukum adat
sebagaimana yang tersirat dalam Pasal 5 UUPA, diantaranya
adanya ciri tunai atau kontan dalam jual beli tanah, sehingga jual
beli tanah telah sah dan selesai dengan dibuatnya akta. Dan akta
yang dibuat oleh dan dihadapan PPAT tersebut adalah merupakan
bukti bahwa telah terjadi jual beli dalam arti pembeli telah menjadi
pemiliknya serta pendaftaran peralihan hak di Kantor Pertanahan
setempat bukanlah merupakan syarat bagi sahnya transaksi jual beli
tanah yang bersangkutan, melainkan pendaftaran dalam hal ini
hanya berfungsi untuk memperkuat pembuktian terhadap pihak
ketiga atau masyarakat umum.
4

Efendi Perangin-angin, Hukum Agraria di Indonesia, Rajawali,


Jakarta, 1989, h. 7

52

ARGUMENTUM, Vol. 12 No. 1, Desember 2012

Setelah urusan balik nama selesai maka segera Badan


Pertanahan Nasional akan menerbitkan sertifikat dan pemegang
sertifikat yang baru tersebut akan dicatat sebagai pemegang hak
yang baru serta sah menurut hukum. Apabila dalam rentang waktu
kurang lebih satu bulan terhitung sejak dicatatnya pemegang hak
atas tanah yang baru, tidak ada masalah atau hambatan-hambatan
maka benar-benar proses pensertifikatan tanah itu telah selesai atau
tuntas.
Dalam prakteknya tidak semua pemohon Sertifikat Tanah
dapat terlayani secara cepat oleh masing-masing Kantor Pertanahan,
hal ini dikarenakan tidak semua tanah yang dimohonkan tersebut
telah didaftarkan dan mendapat alas hak yang kuat. Kondisi
demkian ini menyebabkan penerbitan sertifikat oleh Badan
Pertanahan Nasional menjadi lebih lama dari kondisi normal karena
terhadap tanah-tanah tersebut masih harus dilampaui beberapa
tahapan pendaftaran tanahnya dulu.
D.2. Potensi Sengketa Yang Timbul Akibat Diterbitkannya
Sertifikat Tanah Berdasarkan Akta Pejabat Pembuat
Akta Tanah (PPAT)
Bachtiar Effendi dalam bukunya menyatakan bahwa agar
penyerahan suatu hak mempunyai kekuatan hukum, akta peralihan
itu harus dibukukan atau diumumkan dalam daftar umum. Bahwa
apa yang tidak diumumkan tidak diakui adanya dan bahwa
publikasi atau pengumuman itu berarti hak itu benar-benar telah
beralih dan dialihkan, begitu juga hak menurut akta itu belum
berarti ia menjadi pemilik yang sah menurut hukum.5
Mengingat akan pentingnya suatu akta yang dibuat sebagai
tanda bukti maka fungsi dari akta tanah adalah untuk memastikan
suatu peristiwa hukum dengan tujuan menghindarkan sengketa.
Oleh karena itu si pembuat akta harus membuat akta sedemikian
rupa agar apa yang ingin dibuktikan itu dapat diketahui dengan
mudah dan jelas dari akta yang dibuatnya, dan jangan sampai isi
akta itu sendiri menimbulkan sengketa karena tidak lengkap dan
tidak jelas rumusan-rumusannya atau tatanan kalimatnya.
Pada umumnya sengketa yang terjadi dalam penerbitan
sertifikat dikarenakan adanya klausul yang dipandang tidak atau
kurang benar oleh pihak tertentu. Dalam hal akta
5

Bachtiar Efendi, Loc.cit.

ARGUMENTUM, Vol. 12 No. 1, Desember 2012

53

itu dibuat oleh dan dihadapan PPAT maka yang akan dipersoalkan
adalah adanya kecacatan yuridis yang mengakibatkan terjadinya
ketidakabsahan pada sertifikat yang dibuat oleh Badan Pertanahan
Nasional, mengingat diterbitkannya sertifikat diawali dengan
pembuatan akta oleh PPAT.
Kecacatan yuridis dapat mungkin terjadi karena faktor
sengaja ataupun tidak sengaja. Dalam hal PPAT telah mengetahui
adanya ketidaksesuaian antara dokumen dengan fakta tetapi masih
juga dilanjutkan pembuatan aktanya, maka yang demikian ini
dikatakan sengaja. Tetapi jika karena PPAT kurang hati-hati atau
kurang teliti pada saat membaca atau memeriksa dokumendokumen yang diajukan oleh pemohon akta sehingga ketika akta
selesai dibuat terlihat adanya ketidaktepatan itu, maka masih dapat
dikatakan tidak sengaja. Hal ini memang berkaitan erat dengan
kemampuan dan kecakapan PPAT itu sendiri dalam menterjeahkan
peristiwa hukum yang dihadapinya.
Hakekatnya pembuatan akta adalah pembuatan perjanjian,
yang menghadapkan dua pihak dalam suatu kepentingan. Di dalam
Pasal 1320 sampai dengan Pasal 1337 KUHPerdata, pada
prinsipnya tersirat ketentuan bahwa suatu persetujuan dapat
mengakibatkan batal apabila mengandung unsur paksaan, penipuan,
kekhilafan, ketidakcakapan si pembuat dan tanpa sebab atau causa
yang halal. Jadi apabila suatu perbuatan hukum dinyatakan tidak
sah maka hal ini akan mengakibatkan dokumen atau surat-surat
bukti tersebut dinyatakan batal demi hukum atau dapat dibatalkan.
Apabila ada kecacatan dalam perjanjian untuk penerbitan
Sertifikat tanah atas dasar akta PPAT yang mengacu pada ketentuan
Pasal 1320 KUHPerdata maka keabsahan dari peralihan hak untuk
penerbitan sertifikat tanah dengan dilandasi akta yang dibuat oleh
PPAT dapat dinyatakan batal. Hal tersebut terjadi karena timbulnya
Sertifikat tanah dilandasi adanya perjanjian yang tidak sah.
Pada kondisi yang demikian seseorang yang mengikatkan
diri dalam perjanjian tersebut apabila merasa dirugikan, dapat
mengajukan gugatan kepada lembaga peradilan yang berwenang.
Begitu juga halnya ketika seseorang tersebut mengetahui adanya
mekanisme tidak benar yang dilakukan oleh Badan Pertanahan
Nasional selama dalam proses penerbitan Sertifikat tanah, maka
yang bersangkutan dapat mengajukan gugatan kepada lembaga
peradilan yang berkompeten menanganinya.

54

ARGUMENTUM, Vol. 12 No. 1, Desember 2012

Dari beberapa kejadian terkait masalah pensertifikatan tanah


yang akhirnya menjadi sengketa, faktanya ada yang harus
diselesaikan di lembaga Peradilan Umum (Pengadilan Negeri
dan/atau Pengadilan Tinggi) serta ada juga yang diselesaikan di
Peradilan Tata Usaha Negara (Pengadilan Tata Usaha Negara
dan/atau Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara), sesuai dengan
pokok yang disengketakan. Disamping itu ada pula sengketa yang
terselesaikan secara damai, artinya masing-masing pihak yang
bersengketa saling dapat menerima keadaan sebelum perkaranya
dilimpahkan ke Pengadilan.
D.3. Kewenangan Lembaga Peradilan Berkaitan Dengan
Sengketa Yang Timbul Akibat Diterbitkannya Sertifikat
Tanah Berdasarkan Akta Pejabat Pembuat Akta Tanah
(PPAT)
Berkaitan dengan penyelesaian yuridis terhadap sengketa
yang timbul akibat diterbitkannya Sertifikat tanah oleh Badan
Pertanahan Nasional atas dasar akta yang dibuat oleh PPAT,
terdapat dua lembaga peradilan yang mempunyai kewenangan
untuk menyelesaikannya, yakni Peradilan Umum dan Peradilan
Tata Usaha Negara. Penerapan kewenangan pada masing-masing
lembaga peradilan tersebut sangat bergantung pada pokok gugatan
yang diajukan oleh seseorang yang merasa dirugikan.
Hukum Acara merupakan kumpulan ketentuan-ketentuan
dengan tujuan untuk memberikan pedoman dalam usaha mencari
kebenaran dan keadilan bila terjadi perkosaan atas suatu ketentuan
hukum dalam hukum materiil, yang ini berarti memberikan kepada
hukum acara suatu hubungan yang mengabdi pada hukum materiil.
Dengan singkat juga dapat dikatakan bahwa hukum acara adalah
peraturan hukum yang mengatur bagaimana caranya menjamin
ditaatinya hukum materiil. Menurut bidangnya masing-masing
maka di Indonesia terdapat hukum acara yang meliputi ketentuanketentuan bagaimana orang harus menyelesaikan masalah dan
mendapatkan keadilan dari hakim apabila kepentingan atau hakhaknya dilanggar orang lain dan sebaliknya bagaimana
mempertahankan kebenarannya apabila dituntut oleh orang lain.6
Hukum formal juga sangat penting demi penyelesaian
perkara di Pengadilan, tanpa adanya hukum formal maka hukum
6

Soeroso, Praktek Hukum Acara Perdata, Sinar Grafika, Jakarta, 1999

ARGUMENTUM, Vol. 12 No. 1, Desember 2012

55

materiil tidak akan dapat dilaksanakan. Jadi dapat dikatakan hukum


formal adalah motornya hukum materiil. Hukum formal adalah
rangkaian peraturan yang memuat bagaimana orang harus bertindak
dimuka pengadilan dan cara bagaimana Pengadilan itu harus
bertindak satu sama lain untuk melaksanakan berjalannya peraturan
hukum perdata.7
Dalam hal seseorang tidak dapat menerima keputusan yang
dibuat oleh PPAT dengan alasan bahwa penetapan tersebut
memiliki kekurangan dari yang disyaratkan pada keabsahan suatu
perjanjian menurut Pasal 1320 KUHPerdata dan mengakibatkan
seseorang tersebut dirugikan maka yang bersangkutan dalam
kapasitas sebagai Penggugat dapat mengajukan gugatan terhadap
PPAT yang dimaksud sebagau Tergugat ke lembaga Peradilan
Umum, dalam hal ini adalah Pengadilan Negeri setempat. Manakala
sengketa dimaksud belum terselesaikan di Pengadilan Negeri maka
Penggugat dapat melanjutkan gugatannya ke Pengadilan Tinggi,
tempat yang bersangkutan berdomisili dalam suatu Propinsi
setempat.
Sementara itu jika yang dipermasalahkan adalah mekanisme
yang tidak benar dari Badan Pertanahan Nasonal yang menyangkut
keabsahan Sertifikat maka Penggugat dapat mengajukan
gugatannya ke Peradilan Tata Usaha Negara, yakni dalam hal ini
Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), yang berkedudukan di
ibukota Propinsi. Sesuai kompetensinya hakim pada Pengadilan
Tata Usaha Negara akan memeriksa dan memutus perkara yang
menghadapkan seseorang pemegang hak atas tanah dalam kapasitas
sebagai pribadi (anggota masyarakat) dengan Badan Pertanahan
Nasional dalam kapasitas sebagai institusi Pemerintah.
E. PENUTUP
E.1. Kesimpulan
Bertitik tolak dari pembahasan tersebut diatas maka dapat
ditarik kesimpulan mengenai hal-hal yang dipertanyakan dalam
rumusan masalah, sebagai berikut :
Kedudukan akta tanah yang dibuat oleh PPAT terkait dengan
penerbitan sertifikat oleh BPN adalah merupakan bukti telah
dilakukannya suatu perbuatan hukum peralihan hak atas tanah,
7

R. Soehadi, Penyelesaian Sengketa Tentang Tanah Sesudah


Berlakunya Undang-Undang Pokok Agraria, Karya Anda, Surabaya, 1998

56

ARGUMENTUM, Vol. 12 No. 1, Desember 2012

yang selanjutnya tanah yang telah dihaki tersebut didaftarkan di


Kantor Pertanahan setempat melalui Seksi Pendaftaran Tanah
dan dengan berdasarkan pada ketentuan PP Nomor 24 Tahun
1997, untuk kemudian setelah melalui mekanisme pendaftaran
tanah maka akan diterbitkan Sertifikat Tanah oleh BPN. Dengan
kata lain akta tanah yang dibuat oleh PPAT berkedudukan
sebagai syarat awal bagi upaya penerbitan Sertifikat Tanah yang
menjadi kompetensi BPN.
Lembaga peradilan yang berwenang mengadili sengketa yang
timbul akibat diterbitkannya sertifikat tanah atas dasar akta yang
dibuat oleh PPAT adalah Peradilan Umum, apabila pokok
gugatannya ditujukan kepada seseorang atau badan hukum
privat yang menjadi para pihak dalam suatu perjanjian yang
pembuatannya berdasar pada Pasal 1320 KUHPerdata, dan atau
Peradilan Tata Usaha Negara, apabila isi gugatannya
mempermasalahkan sikap Badan Pertanahan Nasional yang
kurang atau tidak tepat dalam menetapkan hak atas tanah, yang
hal ini bermula dari adanya kecacatan dalam klausul akta yang
dibuat oleh PPAT sehingga berdampak pada proses penerbitan
sertifikatnya.
Bentuk penyelesaian yuridis terhadap sengketa yang timbul
akibat diterbitkannya sertifikat atas dasar akta dari PPAT, pada
prinsipnya mengacu pada bentuk penyelesaian sengketa
menurut ketentuan Pengadilan Negeri ataupun Pengadilan Tata
Usaha Negara, namun antara Pengadilan anaegeri dengan
Pengadilan Tata Usaha Negara sehingga terkesan ada tumpang
tindih kewenangan.
E.2. Saran-Saran
Beberapa saran berkaitan dengan simpulan dari
permasalahan yang dibahas dalam tulisan ini, adalah sebagai
berikut:
Mengingat kedudukan akta yang dibuat PPAT sangat
berpengaruh terhadap proses pendaftaran tanah dan keabsahan
sertifikat tanah maka sebaiknya Notaris selaku PPAT ataupun
Camat, ketika meruntut sejarah kepemilikan tanah dimaksud
harus teliti dan cermat agar tidak menimbulkan kecacatan
yuridis, bahkan sebaiknya Camat yang akan bertindak sebagai
PPAT mengikuti Diklat PPAT yang diselenggarakan oleh

ARGUMENTUM, Vol. 12 No. 1, Desember 2012

57

Kantor Wilayah Pertanahan Propinsi Jawa Timur, secara berkala


sesuai jadwal yang telah ditentukan.
Oleh karena di Indonesia ada dua lembaga peradilan yang
berwenang mengadili sengketa
berkaitan dengan adanya
kecacatan yuridis pada sertifikat tanah maka seyogyanya
masing-masing lembaga peradilan memeriksa dan memutus
perkara secara arif dan bijaksana, agar tidak terjadi
kebimbangan di masyarakat dalam menilai kinerja institusi
pemerintah, khususnya yang mempunyai kompetensi di bidang
pertanahan dan peradilan.
Sehubungan dengan adanya Seksi Sengketa Perkara dan Konflik
maka sedapat mungkin sengketa yang terjadi diselesaikan secara
persuasif agar tidak sampai memunculkan anggapan adanya
kewenangan yang tumpang tindih atau bahkan saling
bertentangan.
------DAFTAR PUSTAKA

A.P. Parlindungan, 1990, Pendaftaran Tanah di Indonesia, Mandar


Maju, Bandung.
Bachtiar Effendi, 1982, Kumpulan Tulisan Tentang Hukum Tanah,
Penerbit Alumni, Jakarta.
Efendi Perangin, 1994, Hukum Agraria Indonesia Suatu Telaah
Dari Sudut Pandang Praktisi Hukum, Raja Grafindo
Persana, Jakarta.
K. Wantjik Saleh, 1977, Hak Anda Atas Tanah, Ghalia Indonesia,
Jakarta.
Meleyong, L.J., 1995, Metodologi Penelitian Kualitatif, Remaja
Rosda Karya, Bandung.
R.K. Sembiring Meliala, 1990, Upaya Mengenali Permasalahan
Tanah, disampaikan pada Simposium Bidang Pertanahan
DPP Partai Golkar, Jakarta.
R. Soehadi, 1998, Penyelesaian Sengketa Tentang Tanah Sesudah
Berlakunya Undang-Undang Pokok Agraria, Karya Anda,
Surabaya.
Ridwan Halim, 1980, Hukum Agraria Dalam Tanya Jawab, Ghalia
Indonesia, Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai