Anda di halaman 1dari 15

ARGUMENTUM, Vol. 12 No.

1, Desember 2012

29

KONTROVERSI PENJATUHAN PIDANA DAN RASA


KEADILAN DALAM MASYARAKAT
M. Agus Syaifullah
- Sekolah Tingi Ilmu Hukum (STIH) Jenderal Sudirman Lumajang Jl. Mahakam No. 7 Lumajang
Email: m.agussyaifullah@gmail.co.id
ABSTRAK
Penyebab ketidakpuasan masyarakat terhadap penegakkan hukum
antara lain karena sering terjadi disparitas pemidanaan sehingga
masyarakat merasakan bahwa hukum tidak adil (legal injustice).
Rasa societal justice yang terganggu karena terjadi naik turun
neraca pemidanaan. Neraca pemidanaan ini terjadi karena adanya
pengaruh tawar menawar putusan dengan cara korupsi, kolusi dan
nepotisme membuktikan perbuatan secara melawan hukum yang
sifatnya melawan hukum secara formal bukan sifat melawan hukum
secara materiil, hal ini untuk memberikan kepastian hukum walau
pun mengorbankan keadilan bagi kepentingan masyarakat.
Kata Kunci: Kontroversi, Penjatuhan Pidana, Keadilan

I. PENDAHULUAN
Dunia Hukum Pidana di Indonesia sedang mendapat ujian yang
sangat berat dimana satu demi satu pilar-pilar hukum terlepaskan. Keadilan
kemanfaatan, dan kepastian hukum saling rancu berebut untuk diutamakan.
Eksistensi hukum pidana dipertanyakan dalam kasus Udin, kasus Tommy,
dan kasus Akbar Tanjung. Hal ini berarti bahwa perkara-perkara yang
berada di dalam dark area semakin bertambah dan tidak ada kepastian
hukumnya. Bagaimana supremasi hukum benar-benar dapat ditegakkan?
Aparat penegak hukum semestinya memahami sistem dan hukum
yang berlaku dan tugas aparat itu mengayomi, melayani dan melindungi
serta memberi aman pada masyarakat agar mereka merasa nyaman dalam
melakukan aktivitasnya. Dalam hal ini aparat penegak hukum harus benarbenar memahami ilmu hukum, di luar hukum pidana termasuk ilmu
sosiologi hukum (sociologi recht), karena dengan memahami sosiologi
hukum setidak-tidaknya akan dapat memahami lapisan social dan level
social yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari (Semeru, 2007: 22).
Tercapainya pemidanaan yang patut di mata masyarakat (proper to
sentence) sangat penting dalam penegakan hukum. Hal ini sangat dirasakan
masyarakat dalam beberapa kasus di Indonesia tentang belum ada kepastian
keadilan dalam pemidanaan. Usaha yang diperlukan untuk mencapai

30

ARGUMENTUM, Vol. 12 No. 1, Desember 2012

pemidanaan yang patut adalah dicapainya konsistensi dalam pendekatan


terhadap pemidanaan (consistency of approach to sentencing) yang
merupakan langkah awal menuju konsistensi meniadakan disparitas
sehingga pemidanaan yang patut dapat dicapai.
Pola pemidanaan yang digunakan menentukan proporsi ancaman
pidana terhadap masing-masing perbuatan pidana baik dalam hal pantas,
peringkat maupun jarak kualitatif antara satu perbuatan pidana dengan
perbuatan pidana yang lain. Penjatuhan pidana terhadap perkara-perkara
yang sejenis dan perkara-perkara yang setara bobot pidananya. Perkaraperkara tersebut yang berbeda karena dalam hal pidana Indonesia putusan
hakim memutuskan perkara yang lain, meskipun terhadap perkara yang
sejenis.
Dalam penetapan sanksi pidana secara menyeluruh harus
dirumuskan dengan proporsi dari tiap perbuatan pidana, baik dalam pantas,
peringkat maupun jarak kualitatif antara perbuatan pidana satu dengan yang
lainnya. Proses legislatif sebagai proses politik yang menghasilkan hukum
yang berlaku untuk seluruh rakyat Indonesia, dan sampai saat ini masih
belum memuaskan. Paradigma yang berkembang saat ini bahwa masyarakat
tidak lagi puas terhadap hukum pada umumnya atau proses peradilan pada
khususnya. Menjunjung tinggi martabat hakim dan pengadilan, yang
melaksanakan fungsi hukum sebagai pengayom. Kitapun lebih mendekatkan
pengadilan dengan rakyat (KUHP, 1981:242). Sehingga masyarakat lebih
mengerti dan puas akan tercapainya supremasi hukum.
Tindakan hukum kondisi formal membenarkan adanya perbedaan
pemidanaan antara perkara satu dengan perkara lain yang sejenis, umumnya
perkara muncul dalam realitas hukum yang hidup di masyarakat menjadi
variatif, setiap perkara satu dengan perkara yang lain. Oleh karena itu,
segenap pegawai lembaga peradilan di seluruh Indonesia harus mengikuti
perkembangan demokrasi birokrasi agar tidak menjadi korban
pemberhentian secara tidak terhormat, karena di saat ini badan pengawas
Mahmakah Agung telah berlomba, memandangi urgensi Komisi Yudisial
untuk meningkatkan intensitas kemampuan pengawasan baik melalui jalur
reguler maupun jalur kasus berdasarkan pengaduan publik. Yang
dimaksudkan agar masyarakat mendapatkan rasa keadilan bilamana
dihadapkan oleh sesuatu masalah atau kasus.
II. RUMUSAN MASALAH
Pokok permasalahan dalam penelitian ini adalah:
1. Dalam keadaan apa penjatuhan pidana bertentangan dengan rasa
keadilan dalam masyarakat.
2. Bagaimana upaya penegak hukum dalam menjatuhkan pidana agar
memenuhi rasa keadilan dalam masyarakat?

ARGUMENTUM, Vol. 12 No. 1, Desember 2012

31

III. METODE PENELITIAN


Penelitian hukum ini menggunakan pendekatan yuridis-normatif.
Sedangkan jenis penelitiannya adalah penelitian deskriptif kualitatif.
Dengan demikian jenis data dalam penelitian ini adalah data skunder, yang
berupa bahan-bahan hukum yang terdiri bahan hukum primer, bahan hukum
skunder, dan bahan hukum tertier. Bahan hukum tersebut diperoleh melalui
studi kepustakaan, yakni dengan cara mengumpulkan semua data yang
berkaitan dengan masalah yang diangkat, yang terdapat di dalam
perundang-undangan, literatur-literatur, buku-buku, makalah-makalah,
publikasi ilmiah, dan media massa.
Data skunder yang berupa bahan-bahan hukum tersebut dianalisis
dengan cara content analysis, serta dilakukan komparasi hasil studi kasus
(empiris) dengan hasil studi pustaka melalui pendekatan normatif-empirik
untuk dapat diambil kesimpulan mengenai seberapa jauh aktualisasi atau
efektivitas berlakunya peraturan dengan praktek yang terjadi serta untuk
mereka dinamika perkembangan hukum.
IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Sistem Pemidanaan
Sistem pemidanaan suatu negara dirujuk dari struktur, pengaturan
dan metode pemidanaan yang tertuang dalam folmuleering aturan di dalam
sistem hukum pidana positif. Sejak berlakunya Wetboek van Strafecht atau
kitab Undang-Undang Hukum Pidana di Hindia Belanda pada tahun 1918,
perubahan-perubahan yang dilakukan pada muatan kitab itu tidak terlalu
signifikan. Baru pada awal tahun 1960-an, sebelum diselenggarakannya
seminar Hukum Nasional yang pertama pada tahun 1963, dikembangkannya
wacana untuk melakukan pembaharuan terhadap KUHP.
Konsep terakhir dalam rangka melakukan pembaharuan KUHP
dihasilkan oleh tim perumusan rancangan KUHP (R-KUHP) pada tahun
1993. Rancangan ini tetap memakai KUHP sebagai landasan.
Kecenderungan yang ada pada R-KUHP adalah pandangan konsekuensialis,
falsafah utilitarian menjadi sangat menonjol. Disebutkan pada pasal 50 RKUHP, rumusan tujuan pemidanaan adalah sebagai:
a) pencegahan;
b) pemasyarakatan terpidana;
c) penyelesaian konflik dan pemulihan keseimbangan; dan
d) pembebasan rasa bersalah terpidana.
Perubahan yang lain adalah menyangkut sistematika, penghapusan
perbedaan pelanggaran dan kejahatan, penentuan korporasi sebagai subjek
hukum pidana, penggunaan Double Track System yang menerapkan pidana
dan tindakan sekaligus (Arief, 2005:276). Dan masuknya sejumlah pidana

32

ARGUMENTUM, Vol. 12 No. 1, Desember 2012

dan jenis pidana baru namun sebagaimana halnya berbagai proses


perencanaan Undang-Undang hukum pidana lainnya, kesulitan utama
dijumpai pada saat penentuan jenis dan besaran sanksi pidana terhadap
suatu tindak pidana.
Di dalam KUHP azas-azas yang membatasi berlakunya hukum
pidana adalah sebagai berikut :
1. Azas berlakunya waktu: azas legalitas yang diatur didalam pasal 1 ayat 1
KUHP, berbunyi : Tiada suatu perbuatan boleh dihukum, melainkan
atas kekuatan ketentuan pidana dalam undang-undang yang ada
terdahulu daripada perbuatan itu .
2. Azas berlakunya berdasarkan tempat :
KUHP berlaku berdasarkan tempat diatur dalam pasal 2 sampai dengan
pasal 9 KUHP yang didalamnya didasari azas-azas yaitu :
a. Azas Teritorialiteit (wilayah). Azas ini diatur didalam pasal 2
KUHP: Ketentuan pidana dalam UU hukum pidana Indonesia
berlaku bagi setiap orang yang ada didalam negara Indonesia yang
melakukan suatu perbuatan yang boleh dihukum.
b. Azas Nasionaliteit (kebangsaan). Azas ini dibagi 3 macam yaitu :
1) Azas nasionalitieit aktif atau azas personalitas.
Azas ini diatur dalam pasal 5 KUHP yang menentukan bahwa
berlakunya hukum pidana Indonesia bersandar pada
kewarganegaraan pembuat tindak pidana yang berarti hukum
pidana Indonesia dapat berlaku bagi WNI yang melakukan suatu
perbuatan pidana walau kejahatan tersebut dalam BAB I dan
BAB II pasal 160, pasal 161,pasal 240, pasal 279, pasal 450,
pasal 451 KUHP.
2) Azas Nasionaliteit Pasif/Azas Perlindungan.
Azas ini diatur Pasal 4 ayat 1, 2, dan 3 KUHP yang menentukan
bahwa ketentuan pidana Indonesia berlaku bagi tiap-tiaporang
yang diluar Indonesia melakukan tindak pidana, misalnya :
pemalsuan surat-surat, utang, sertifikat (pasal 263 sampai pasal
276 KUHP).
3) Azas Universaliteit
Azas ini diatur dalam Pasal 4 (4) KUHP dengan tujuan untuk
melindungi kepentingan dunia, bilamana seseorang melakukan
pelanggaran diluar Indonesia maka hukum pidana Indonesia
dapat diberlakukan terhadap yang bersangkutan (pelanggar),
misalnya : kejahatan dalam pasal 438, pasal.444 s/d pasal.446
tentang bajak laut, dll.
Jadi, bilamana terjadi tindak pidana, maka sudah ada aturan yang
mengikat dimana pelaku melakukan pidana di suatu tempat dan di wilayah
hukum Indonesia. Namun, KUHP tidak cukup jelas memberikan pedoman

ARGUMENTUM, Vol. 12 No. 1, Desember 2012

33

pemidanaan. Disebutkan dalam usur perbuatan pidana yang ke-3 di atas


hanyalah keadaan tambahan yang memberatkan pidana, secara acontratio
terdapat pula hal yang meringankan pidana. Hal yang memberatkan maupun
meringankan pidana tersebut tidak cukup rinci, masih diperlukan penafsiran
yang luas dan tidak menyebutkan kualifikasi sehingga dapat
dipertimbangkan pada pokoknya keadaan tersebut lebih memberatkan
ataupun meringankan pidana atau bahkan setimpal.
Kodifikasi hukum pidana Indonesia dipengaruhi oleh WvS
Nederland, pada masa kolonialisasi. Pengaruh itu berupa asas konkordasi.
Setelah Indonesia merdeka kodifikasi hukum pidana masih meninggalkan
masalah dualisme atau pluralisme pemberlakuan hukum yaitu antara
kodifikasi dengan hukum adaptasi dan wilayah berlakunya hanya di wilayah
Republik Indonesia bukan wilayah pendudukan Belanda pasca perang dunia
II. Persoalan hukum pidana itu dipecahkan dengan UU No. 73 Tahun 1958127 yang menyatakan berlakunya UU No. 1 Tahun 1946 untuk seluruh
wilayah Indonesia. Kodifikasi hukum pidana diarahkan menuju kodifikasi
hukum pidana yang bersendikan hukum adat yang hidup di masyarakat
Indonesia dan di lengkapi dengan hukum pidana modern.
Hukum pidana di luar kodifikasi muncul sebagai perkembangan
hukum untuk mengikuti perkembangan yang ada di dalam masyarakat.
Hukum pidana di luar kodifikasi atau disebut juga hukum pidana khusus
mengatur perbuatan pidana beserta ancaman di mana perbuatan itu belum
diatur atau belum cukup jelas diatur dalam kodifikasi. Usaha hukum
mengikuti dinamika masyarakat dipastikan akan selalu tertinggal satu
langkah.
Untuk mengantisipasi kesulitan itu, penerapan hukum di dalam
keadaan konkrit tidak semata-mata hanya menerapkan undang-undang,
karena undang-undang tidak dapat memuat kaedah terperinci untuk situasi
yang akan terjadi. Terdapat premis umum yang menjadi sandaran undangundang tentang dasar pemikiran mengenai hal yang seharusnya dan hal yang
senyatanya menurut hukum yang di kembangkan oleh para ahli hukum.
Premis umum tersebut dilingkupi oleh sistem yang ada dalam suatu sistem.
Hukum mempunyai suatu sistem pada asas-asas yang diketemukan dan di
kembangkan dengan perantaraan tulisan ahli hukum, putusan pengadilan,
dan himpunan hukum dalam suatu undang-undang (Poernomo, 1983:15).
Sistem pemidanaan di Indonesia saat ini menggunakan sistem yang
di lihat dari rentang ancaman pidana dalam kodifikasi (KUHP) maupun di
luar kodifikasi adalah Indeterminate Sentence; Definite Sentence; dan
Indefinite Sentence. Sebagai contoh, penerapan rentang pemidanaan yang
sudah diterapkan adalah seperti tabel berikut:

34

ARGUMENTUM, Vol. 12 No. 1, Desember 2012

Tabel 1
Rentang Pemidanaan dalam Hukum Pidana Indonesia
Sistem
Perbuatan pidana
Sanksi pidana pokok
pemidanaan
Pelanggaran HAM Penjara 10-20 tahun, seumur
Indefinite dan
berat
hidup, dan pidana mati
Definite Sentences
Pembunuhan
Penjara maks. 20 tahun, seumur Indefinite dan
berencana
hidup, dan pidana mati
Definite Sentences
Korupsi
Penjara 2-20 tahun, seumur
Indefinite dan
hidup, dan pidana mati
Definite Sentences
Narkotika
Penjara 4-20 tahun, seumur
Indefinite dan
hidup, dan pidana mati
Definite Sentences
Pencurian dengan
Penjara 9-20 tahun, seumur
Indefinite dan
kekerasan
hidup, dan pidana mati
Definite Sentences
Pembunuhan
Maksimum 15 tahun
Indeterminate
Sentence
Penganiayaan
Maksimum 12 tahun
Indeterminate
Sentence
Perkosaan
Maksimum 12 tahun
Indeterminate
Sentence
Pencurian
Maksimum 5 tahun
Indeterminate
Sentence
Table 1 di atas menunjukkan bahwa KUHP dan hukum pidana di
luar kodifikasi tidak secara tegas mengikuti satu metode pemidanaan karena
hukum pidana Indonesia tidak secara jelas menentukan falsafah pemidanaan
sebagai landasan dalam menghasilkan produk-produk hukum pidana.
B. Kontroversi Penjatuhan Pidana dan Rasa Keadilan dalam
Masyarakat
Pembahasan mengenai pemidanaan memunculkan kontroversi yaitu
disparitas pemidanaan di satu sisi dan pemidanaan yang patut di sisi lain.
Penilaian terhadap suatu amar putusan pidana telah sesuai dengan
pemidanaan yang patut atau justru terdapat disparitas, dilakukan dengan
menggunakan dasar penilaian dari falsafah pemidanaan yang berlaku di
masing-masing Negara.
Falsafah pemidanaan yang dianut kemudian diartikulasikan dalam
penetapan sanksi pidana. Parameter yang digunakan dalam menetapkan
sanksi pidana menunjukkan pola pemidanaan yang ada. Pola pemidanaan
yang digunakan menentukan proporsi ancaman pidana terhadap masing-

ARGUMENTUM, Vol. 12 No. 1, Desember 2012

35

masing perbuatan pidana baik dalam hal disparitas, peringkat maupun jarak
kualitatif antara satu perbuatan pidana dengan perbuatan pidana yang lain.
Proporsi ancaman pidana tidak dapat dirumuskan tanpa common
denominator yang secara jelas dan tegas ditetapkan dalam pembagian jenisjenis pidana (Straftsoort), ukuran pemidanaan (Straftmaat), bentuk atau cara
pemidanaan (Straftmodus). Tanpa adanya common denominator
menyebabkan disiplin terhadap parameter standar gravity dalam
pemidanaan tidak dapat berlaku secara konsisten. Contohnya disiplin
pemidanaan yang tidak mempunyai konsistensi penerapan parameter standar
gravity adalah rumusan yang diberlakukan dalam undang-undang yang
berlaku sampai dengan tahun 1999.
Tabel 2
Konsistensi Pemidanaan
Jenis Pidana
Cara Pemidanaan
Bobot Pemidanaan
(Straftsoort)
(Straftmodus).
(Straftmaat),
Pelanggaran HAM Berat Mati
Seumur hidup
Penjara
5 - 20 tahun
Terorisme
Mati
Seumur hidup
Penjara
3 - 20 tahun
Kejahatan di Wilayah
Penjara
3 bulan 15 tahaun
Kehutanan
Denda
1,5 10 milyar rupiah
Kejahatan
terhadap Penjara
5 tahun
Konsumen
2 milyar rupiah
Kejahatan Pers
Penjara
2 tahun
Denda
100 500 juta rupiah
Kejahatan Pajak
1 6 tahun
Penjara
1 tahun
Kurungan
4 10 juta rupiah
Denda
2 4 kali pajak terhutang
Monopoli
Kurungan
Denda
1 100 milyar rupiah
pengganti denda
3 6 bulan
Pencucian Uang
Mati
Penjara
5 15 tahun
Denda
5 15 milyar
Korupsi
Mati
Seumur hidup
Penjara
2 20 tahun
Denda
1 milyar rupiah
KKN
Penjara
2 12 tahun
Denda
200 juta 1 milyar rupiah

36

ARGUMENTUM, Vol. 12 No. 1, Desember 2012

Tabel 2 di atas menunjukkan, sebagai contoh, bagaimana monopoli


menjadi perbuatan yang diancam pidana jauh lebih ringan daripada
pembukaan lading oleh seseorang petani tanpa izin, sedangkan menghalangi
wartawan untuk memperoleh informasi lebih serius daripada konglomerat
yang tidak membayar pajak.
Disparitas pidana adalah perbedaan dalam penjatuhan pidana
terhadap perkara-perkara yang sejenis (Straftsoort) dan perkara-perkara
yang setara bobot pidananya (Straftmaat). Perkara-perkara tersebut baik
yang berbeda, karena didalam hukum pidana Indonesia, putusan hakim yang
terdahulu (presedent) tidak mengikat bagi hakim untuk memutus perkara
yang lain meskipun terhadap perkara yang sejenis.
Situasi yang dikenal sebagai disparitas pemidanaan ini merupakan
masalah yang universal yang dihadapi oleh lembaga pengadilan di Negara
manapun. Dari persepktif sosiologis, sangat dipahami jika fenomena ini
dilihat sebagai suatu ketidak adilan atau legal injustice, yang menggangu
rasa keadilan masyarakat (societal justice). Dari sudut pandang kriminologi,
kondisi ini lekat dengan adagium let the punishment fit the criminal dari
aliran neo klasik, kemudian diperkuat oleh aliran positivistik. Pengakuan
akan adanya karakteristik khusus dari setiap perkara pidana, baik dari segi
pelaku, korban maupun kondisi yang melingkupi suatu kejahatan membuat
tidak mungkin bentuk kejahatan yang serupa dijatuhi hukuman yang sama.
Disparitas pemidanaan semakin membentang ketika falsafah
pemidanaan tidak cukup mantap sebagai pijakan dalam merumuskan
kebijakan pidana (criminal policy) baik kebijakan legislatif maupun
yudikatif. Kebijakan yudikatif yang akomodatif terhadap disparitas pidana
dapat ditunjukkan oleh Tabel 2 tentang konsistensi pemidanaan yang telah
disebutkan di depan. Kebijakan yudikatif mempunyai arti yang sangat
penting dan juga dibutuhkan ketika pengadilan menjatuhkan hukuman
pidana. Hukum memberikan kewengan mengambil keputusan atau judicial
discretionary power yang luar biasa kepada hakim, sesuai dengan prinsip
kebebasan pengadilan (judicial independence).
Sebaiknya untuk check and balance atas kekuasaan hakim yang luar
biasa tersebut diciptakan parameter bagi penetapan sanksi pidana yang dapat
menjadi pedoman bagi hakim tersebut tidak diselewengkan. Parameter
dalam penetapan sanksi pidana secara menyeluruh harus dirumuskan
dengan proporsi dari tiap perbuatan pidana, baik dalam paritas, peringkat
maupun jarak kualitatif antara perbuatan pidana satu dengan yang lainnya.
Proporsi ini sangat penting demi konsistensi, bukan hanya pada
tingkat legislasi tetapi juga pada tingkat implementasi oleh lembaga
yudikatif. Proporsi erat kaitannya dengan parameter pemidanaan dalam
pemutusan sanksi. Masyarakat sudah mengeluhkan akan kondisi ketiadaan

ARGUMENTUM, Vol. 12 No. 1, Desember 2012

37

parameter bukan sekedar masalah teknis, tetapi juga masalah filosofis


sehubungan dengan tidak adanya falsafah pemidanaan.
Kondisi ini diperberat lagi karena proses legislasi sebagai suatu
proses politik yang menghasilkan hukum yang berlaku untuk seluruh rakyat
Indonesia, sampai saat ini memang belum memuaskan. Adanya logrolling
atau vote-trading, cukup banyak memberikan warna pada proses legislasi.
Selain itu, mekanisme penggodokan yang sampai kini masih diperdebatkan.
Rendahnya partisipasi publik dan kemampuan para legislasi sendiri
merupakan faktor yang paling signifikan dalam menentukan kualitas produk
legislatif. Perumusan delik pembunuhan dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP) yang berlaku saat ini (Pasal 338 dan pasal 340)
hanya ditujukan terhadap Perampasan nyawa orang lain. Dengan tidak
membedakan siapa yang menjadi objek atau sasarannya.
Tujuan hukum yuridis formal membenarkan perbedaan pemidanaan
antara perkara satu dengan perkara lain yang sejenis, Karena perkara yang
muncul dalam realitas hukum yang hidup didalam masyarakat semakin
variatif, setiap perkara mempunyai karakteristik yang khusus sehingga tidak
mungkin dipersamakan antara perkara satu dengan perkara yang lain.
Bahwa hukum juga memberikan judul judicial discretionary power kepada
hakim untuk menentukan pemidanaan sepatut-patutnya terhadap suatu
perkara sesuai dengan adagium let the punishment fit the criminal, dari
aliran neo klasik dan positivistik. Pemikiran Beccaria dalam Code Penal di
Prancis, sebagai moyang dari KUHP Indonesia masih memasukkan dasardasar penghapus, pengurang dan pemberat pidana.
Dasar-dasar penghapus, pengurang dan pemberat pidana kemudian
dalam praktek menjadi sangat berpengaruh dalam melakukan pendekatan
pemidanaan menuju pemidanaan yang patut. Dengan alasan peniadaan
pidana (starfuits luitings groden) atau penghapusan pidana ialah
hal/keadaan yang mengakibatkan seseorang yang memenuhi rumusan
peristiwa/perbuatan pidana/tindak pidana/delict tidak dapat dipidana.
Adapun macam alasan penghapusan pidana diantaranya:
Menurut doktrin starfuits luitings groden diperinci :
a. Rechtwardigingsgroden (alasan pembenar) yaitu alasan yang
menghapus sifat wederrechtelijk dari pada peristiwa yang memenuhi
ketentuan pidana, sehingga tidak merupakan peristiwa tindak pidana.
b. Schulduits-luitingsgroden (alasan pemaaf) yaitu alasan yang
menghilangkan kesalahan orang yang seharusnya bertanggungjawab
atas peristiwa pidana sehingga ia tidak dipidana lagi tapi
peristiwa/perbuatannya tetap merupakan wederrechtelijk (melawan
hukum)
Di KUHP tidak menggunakan perincian (pembagian), tetapi menurut
doktrin mengadakan perincian sebagai berikut :

38

ARGUMENTUM, Vol. 12 No. 1, Desember 2012

a. Karena keadaan yang terdapat dalam pribadi penanggungjawab


(inwedige groden van ontoerenkenbaarheid).
b. Karena keadaan diluar pribadi penanggungjawab (vit wendige groden
van ontoerekkenbaarheid).
Tetapi alasan di dalam kitab undang-undang hukum pidana (KUHP)
mengenai penghapusan/peniadaan pidana antara lain :
1. Oentoerkkening vat baar heid (pasal 44 KUHP)
2. Overmacht (pasal 48 KUHP)
3. Nodweer (pasal 49 KUHP)
4. Wettelijk vooscrift (pasal 50 KUHP)
5. Amtelijk bevel (pasal 51 KUHP)
Adapun alasan pengurangan atau peringanan hukuman adalah :
1. Percobaan (pasal 53 KUHP)
2. Membantu atau mendeplichtigheid (pasal 56 KUHP)
3. Belum dewasa atau belum cukup umur (pasal 45 KUHP).
Di dalam KUHP ada penambahan atau pemberat hukuman adalah
sebagai berikut :
1. Memangku suatu jabatan (pasal 52 KUHP)
2. Residive (pasal 486, pasal 489 (2), pasal 492 (2), pasal 501 (2) dsb).
3. Gabungan atau samenlop (pasal 63, pasal 64, pasal 65, dan pasal 66
KUHP).
Hal-hal di atas merupakan suatu hal yang dapat menentukan nilai
bobot pemindahan yang patut diancamkan bagi tindak atau pelaku pidana.
Semua peraturan Perundang-undangan Pidana Indonesia juga
berlaku terhadap orang asing (WNA) yang melakukan tindak pidana, baik
menyerang, membunuh atau merugikan kepentingan nasional (kepentingan
negara dan kepentingan individu warga negara) maupun kepentingan yang
bersifat internasional. Namun ketentuan perundangan masih dibatasi dengan
adanya asas Ne Bis In Idem bahwa seseorang tidak dapat dituntut kedua
kali untuk tindak pidana yang sama apabila sudah ada putusan hakim yang
telah memperoleh kekuatan hukum tetap, termasuk putusan hakim luar
negeri. Jadi semua pelaku tindak pidana harus ditindak sesuai hukum yang
berlaku dengan tindak memandang warga asing yang ada di Negara
Indonesia.
Hukum pidana belanda mengenal satu pedoman pemidanaan yaitu
strafteemetings, dengan mengangkat dasar-dasar penghapusan, pengurangan
dan pemberat pidana, tetapi lagi-lagi diserahkan kepada hakim untuk
menentukan suatu bobot pemidanaan dalam suatu perkara. Telah pula
diadakan kongres pada tahun 1969 di Negeri Belanda dimana tokoh-tokoh
sarjana hukum termashur seperti Langemeijer, van Bemmelen, Hulsman, de
Waard dan van Veen membahas masalah perjuangan pidana ini. Di
Australia pun telah diadakan seminar di Canberra pada tahun 1974

ARGUMENTUM, Vol. 12 No. 1, Desember 2012

39

mengenai modern developments in sentencing. Ditingkat international telah


pula diadakan kongres yang diselenggarakan oleh Association International
deDroit pada tahun 1968 dan 1969. Tulisan-tulisan mengenai masalah ini
telah meningkat pula. Di Indonesia kegiatan-kegiatan baik seminar maupun
kongres begitu pula tulisan-tulisan mengenai masalah tersebut masih sangat
langka.
Padahal masalah penjatuhan pidana sangat penting dibanding dengan
teori-teori yang bersifat abstrak. Lebih-lebih karena tiadanya peraturan
dalam KUHP yang mengatur cara bagaimana hakim menerapkan peraturan
undang-undang dalam batas maksimum dan minimum ancaman pidana yang
tercantum dalam suatu peraturan. Perbedaan yang kadang-kadang sangat
menyolok antara hakim-hakim pidana dalam perkara yang sama sering
menimbulkan rasa tidak adil dikalangan rakyat.
Penjatuhan pidana atau pemidanaan merupakan konkretisasi atau
realisasi peraturan pidana undang-undang yang merupakan sesuatu yang
abstrak. Jika tercantum dalam perumusan undang-undang, misalnya barang
siapa mencuri dipidana dengan maksimum pidana penjara 5 tahun, maka
rumusan itu merupakan hal yang abstrak, apakah ada orang yang mencuri,
apakah jika ada orang yang mencuri benar-benar dipidana tidak dapat
dipastikan. Lebih-lebih tidak pasti atau bahkan tidak dapat diramalkan
berapa lama pidana yang sesungguhnya akan dijatuhkan kepada seorang
pencuri tertentu, karena ancaman pidana tadi bergerak dari maksimum 5
tahun keminimum 1 hari. Betapa jauh jarak jangka waktu itu.
Hakim akan mempunyai keleluasaan yang luar biasa dalam memilih
berapa lama pidana yang akan dijatuhkan kepada terdakwa tertentu dalam
perkara konkreto. Memang bener hakim harus mempertimbangkan tuntutan
penuntut umum, tetapi ia sama sekali tidak terikat dengan tuntutan itu. Ada
hakim yang sering menyetujui tuntutan itu dengan putusan yang konform,
tetapi sering pula ada hakim yang memutuskan jauh dibawah tuntutan
penuntut umum dan kadang-kadang ada pula yang diatasnya.
Didalam menjatuhkan hukuman, hakim perlu mempertimbangkan
bahwa putusan yang akan diambil dalam menjatuhkan vonis harus benarbenar hati-hati. Adapun putusan/jenis vonis disaat hakim mau memvonis,
diantaranya:
1. Putusan hakim yang mengandung pernyataan pemidanaan si terdakwa,
jika pengadilan menimbang apabila perbuatan yang dituduhkan kepada
terdakwa itu terbukti melakukan kejahatan atau pelanggaran.
2. putusan hakim yang mengandung pernyataan si terdakwa dibebaskan
dari segala tuduhan apabila tuduhan yang disebutkan dalam surat
tuduhan seluruh atau sebagian tidak terbukti, tidak terbukti karena :
a) minimum alat bukti yang ditentukan dalam undang-undang tidak
terbukti (pasal 183 KUHP).

40

ARGUMENTUM, Vol. 12 No. 1, Desember 2012

b) Minimum alat bukti yang ditentukan dalam undang-undang terbukti.


Akan tetapi hakim tidak yakin akan kesalahan terdakwa (pasal 183
KUHP).
3. Putusan hakim yang mengandung pernyataan bahwa si terdakwa dilepas
dari tuntutan pidana, apabila :
a. Perbuatan-perbuatan yang disebutkan pada suatu tuduhan adalah
terbukti akan tetapi perbuatan tersebut bukan merupakan kejahatan
atau pelanggaran.
b. Apabila jaksa dalam suatu tuduhan salah menyebutkan tindak pidana
yang dituduhkan si terdakwa.
c. Apabila si terdakwa terbukti melakukan tindak pidana, akan tetapi
baginya berlaku salah satu alasan untuk mengindahkan diri dari
hukuman, misalnya : pasal 48, pasal 49, pasal 50, pasal 51 KUHAP.
Hukum pidana nasional dapat diberlakukan juga terhadap
orang/warga negara asing hanya apabila melakukan tindak pidana tertentu di
luar wilayah Indonesia yang menyerang, membunuh, mencuri, atau
merugikan kepentingan nasional (masyarakat/negara) dan internasioal.
Dengan demikian, hukum pidana nasional hanya bisa diberlakukan terhadap
orang asing yang diluar Indonesia melakukan tindak pidana tertentu.
Tetapi lain halnya hukum pidana nasional yang tidak berlaku
terhadap orang asing di luar negeri melakukan tindak pidana yang
menyerang atau merugikan kepentingan warga negara Indonesia (sebagai
korban). Jadi kepentingan hukum dari Warga Negara Indonesia (WNI) di
luar negeri, tidak dilihat sebagai kepentingan nasional yang harus dilindungi
oleh Hukum Nasional.
Dalam sistem hukum pidana kita tidak ada minimum khusus pada
setiap peraturan pidana, berlainan misalnya dengan Amerika Serikat,
dimana ada KUHP Negara Rayland yang ada minimum khusus pada setiap
perumusan perbuatan pidana. Jelas ada untung ruginya perbuatan demikian.
Kelemahan sistem demikian ialah jika terjadi hal-hal khusus dalam suatu
perbutan pidana, misalnya adanya keadaan khusus yang sangat
memperingan pidana yang seharusnya dijatuhkan. Pernah terjadi di
Pengadilan Negeri Makassar, Hakim A.T. Hamid menjatuhkan pidana satu
hari kepada terdakwa Farmili, seorang Pegawai Kejaksaan Negeri Makassar
yang didakwa menggelapkan barang bukti di kejaksaan tersebut. Penuntut
Umum A. Mochtar menuntut pidana 2 tahun penjara segera masuk.
Pertimbangan hakim sampai memutus demikian, ialah antara lain karena
dari sekian banyak barang bukti yang didakwakan digelapkan oleh Farmili,
hanya terbukti sebuah pulpen ERO, kejadian ini terjadi sekitar tahun 1957.
Hakim di Indonesia harus dapat mengenal, menghayati, meresapi
hukum yang hidup dan nilai-nilai yang ada di daerah mana ia bertugas. Hal

ARGUMENTUM, Vol. 12 No. 1, Desember 2012

41

ini tidaklah mudah, tetapi menjadi syarat untuk dapat diterima oleh
masyarakat mengenai putusan-putusan hakim tersebut.
Dalam menerapkan peraturan pidana dalam situasi konkrit, hakim
mempunyai kebebasan:
1. Memilih beratnya pidana yang bergerak keminimum ke maksimum
dalam perumusan perbuatan pidana yang bersangkutan.
2. Memilih pidana pokok yanga mana yang patut dijatuhkan apakah pidana
mati, pidana penjara atau pidana kurungan (dalam Rancangan KUHP:
pidana tutupan) ataukah pidana denda, sesuai dengan pertimbangan
berat ringannya perbuatan yang dilakukan.
3. Sebenarnya sebelum hakim tiba pada pemilihan seperti tersebut pada
butir 1 dan 2, ia dapat memilih apakah dia menjatuhakn hanya pidana
bersyarat saja, manakala ia memandang lebih bermanfaat bagi
masyarakat dan terpidana jika menjatuhkan pidana bersyarat saja. Hal
ini akan lebih nyata jika Rancangan KUHP Nasional telah menjelma
dengan pidana pengawasan sebagai alternatif pidana penjara
(pemasyarakatan).
Dalam hal perbuatan-perbuatan pidana dalam perundang-undangan
pidana khusus, pengaturannya lebih rumit lagi karena banyak ketentuan
pidananya yang menyimpang dari KUHP disamping adanya beberapa
tindakan tata tertib yang dapat dijatuhkan oleh hakim. Oleh karena itu,
UUTPE misalnya mengatur tentang adanya hakim dan jaksa khusus untuk
perbuatan pidana ekonomi, maksudnya ialah yang mengetahui secara luas
tentang ekonomi dan perekonomian.
Meskipun hakim bebas menentukan berat pidana yang akan
dijatuhkan dan bebas minimum ke batas maksimum dalam situasi konkret,
ia tidak boleh sewenang-wenang menuruti perasaan subyektifnya. Beberapa
keadaan obyektif yang dapat dipertimbangkan, seperti umur terdakwa, jenis
kelamin, akibat yang ditimbulkan oleh perbuatan terdakwa, keseriusan
perbuatan pidana bersangkutan, nilai-nilai khusus daerah setempat dan tentu
juga tingkat dampaknya terhadap filsafat Negara.
Di dalam Rancangan KUHP telah diatur tentang pedoman
pemidanaan, yaitu dalam pasal 3 yang menyatakan bahwa dalam
pemidanaan hakim mempertimbangkan:
1. Kesalahan perbuatan;
2. Motif dan tujuan dilakukannya tindak pidana;
3. Cara melakukan tindak pidana;
4. Sikap batin pelaku;
5. Riwayat hidup dan keadaan sosial ekonomi pelaku;
6. Sikap dan tindakan pelaku sesudah melakukan tindak pidana;
7. Pengaruh pidana terhadap masa depan pelaku;
8. Pandangan masyarakat terhadap tindak pidana yang dilakukan.

42

ARGUMENTUM, Vol. 12 No. 1, Desember 2012

Pertimbangan yang paling sulit ialah yang tersebut nomor 8, karena


sulit mengukur pandangan masyarakat yang heterogen di Indonesia. Apakah
legislatif dapat mempresentasikan pandangan masyarakat? Legislatif harus
mampu menampung aspirasi publik dan dirumuskan dalam suatu parameter
dalam melakukan proporsionalitas pemidanaan atas suatu kategori
perbuatan pidana tertentu. Kejelasan atas proporsi pemidanaan yang ada
dalam legislasi tersebut jelas kemudian diimbangi dengan pedoman
pemidanaan yang konsisten dari pihak ajudikator. Jadi untuk dapat
menentukan pemidanaan yang patut dibutuhkan ada dua hal yaitu, legislasi
yang proporsional dengan membuat common denominator yang konsisten
dalam hal pemidanaan serta adanya pedoman yang jelas dan konsisten
dalam staftemetings.
V. PENUTUP
5.1. Kesimpulan
Berdasarkan permasalahan dan pembahasan yang telah diuraikan
dalam bab-bab terdahulu, maka kesimpulan yang dapat diambil adalah
sebagai berikut:
1. Peraturan perundang-undangan pidana dirumuskan dengan rentang yang
lebar. Formuleering baik dengan sistem indeterminate sentence maupun
indefinite sentence masih menyebabkan rentang pemidanaan menjadi
lebar. Lebar rentang pemidanaan ini dikarenakan kesulitan dalam
penentuan common denominator untuk menentukan jenis peringkat
perbuatan pidana.
2. Judicial discretionary power ditangan hakim yang terlalu kuat. Hal ini
terkait dengan proses penemuan hukum oleh hakim dalam menentukan
putusan yang tidak terikat pada asas force binding precedent tetapi
mengikuti asas stare decisis.
3. Setiap kasus memiliki karakteristik masing-masing yang tidak mungkin
disamakan. Karakteristik setiap perkara dengan ragam unsur pidana baik
hal yang meringankan maupun hal yang memberatkan pidana yang
terkandung dalam setiap perkara sangat bervariatif. Selama ini tidak ada
pedoman yang dapat dijadikan alasan untuk mempertimbangkan berat
ringannya pidana, berkaitan dari sifat-sifat yang baik dan yang jahat dari
tertuduh.
4. Tidak ada konsistensi dalam pendekatan terhadap pemidanaan
(consitency of approach to sentencing) yang merupakan langkah awal
menuju konsistensi dalam pemidanaan ((consitency to sentencing).
5.2. Saran
1. Perlu dilakukan revisi legislasi tentang perumusan pidana dalam setiap
peraturan perundang-undangan pidana. Perlu di tentukan common
denominator bagi setiap jenis perbuatan pidana.

ARGUMENTUM, Vol. 12 No. 1, Desember 2012

43

2. Perlu pembatasan terhadap judicial discretionary power hakim dengan


pemberlakuan pedoman pemidanaan.
3. Karakteristik dari setiap perkara tidak boleh reduksi akan tetapi perlu
kriteria berkaitan dengan sifat-sifat yang baik dan yang jahat dari
tertuduh.
4. Konsistensi dalam pendekatan pemidanaan maupun konsistensi
pemidanaan perlu selalu dijaga.
5. Sosialisasi kepada masyarakat tentang pidana dalam kehidupan
masyarakat untuk memperoleh keadilan.
------DAFTAR PUSTAKA
Arief, Barda Nawawi. (2005) Pembaharuan Hukum Pidana Dalam
Perspektif Kajian Perbandingan, Citara Aditya Bakti.
Bambang, Poernomo. (1983) Asas-asas Hukum Pidana, Ghalia Indonesia,
Jakarta.
Hamzah, Andi. (1994) Asas-asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta.
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), Karya Anda,
Surabaya.
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). 1980.
Moeljatno. (2000) Asas-asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta.
Mulyadi, L. Tindak Pidana Korupsi, C & A, Jakarta.
Semeru. (2007) Hukum Pidana Bersifat General dan Sektoral Dalam
Penerapannya, Surabaya.
Semeru. (2007) Sifat Melawan Hukum Dalam Tindak Pidana Korupsi,
Surabaya.
Sukmawati, Sari. (2005) Kontroversi Antara Pemidanaan Dengan
Pemidanaan yang Patut, Universitas Merdeka Madiun, Madiun.
Sugandhi. KUHP, Usaha Nasional, Surabaya.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Tindakan Pidana Korupsi.
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.

Anda mungkin juga menyukai