1, Desember 2012
29
I. PENDAHULUAN
Dunia Hukum Pidana di Indonesia sedang mendapat ujian yang
sangat berat dimana satu demi satu pilar-pilar hukum terlepaskan. Keadilan
kemanfaatan, dan kepastian hukum saling rancu berebut untuk diutamakan.
Eksistensi hukum pidana dipertanyakan dalam kasus Udin, kasus Tommy,
dan kasus Akbar Tanjung. Hal ini berarti bahwa perkara-perkara yang
berada di dalam dark area semakin bertambah dan tidak ada kepastian
hukumnya. Bagaimana supremasi hukum benar-benar dapat ditegakkan?
Aparat penegak hukum semestinya memahami sistem dan hukum
yang berlaku dan tugas aparat itu mengayomi, melayani dan melindungi
serta memberi aman pada masyarakat agar mereka merasa nyaman dalam
melakukan aktivitasnya. Dalam hal ini aparat penegak hukum harus benarbenar memahami ilmu hukum, di luar hukum pidana termasuk ilmu
sosiologi hukum (sociologi recht), karena dengan memahami sosiologi
hukum setidak-tidaknya akan dapat memahami lapisan social dan level
social yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari (Semeru, 2007: 22).
Tercapainya pemidanaan yang patut di mata masyarakat (proper to
sentence) sangat penting dalam penegakan hukum. Hal ini sangat dirasakan
masyarakat dalam beberapa kasus di Indonesia tentang belum ada kepastian
keadilan dalam pemidanaan. Usaha yang diperlukan untuk mencapai
30
31
32
33
34
Tabel 1
Rentang Pemidanaan dalam Hukum Pidana Indonesia
Sistem
Perbuatan pidana
Sanksi pidana pokok
pemidanaan
Pelanggaran HAM Penjara 10-20 tahun, seumur
Indefinite dan
berat
hidup, dan pidana mati
Definite Sentences
Pembunuhan
Penjara maks. 20 tahun, seumur Indefinite dan
berencana
hidup, dan pidana mati
Definite Sentences
Korupsi
Penjara 2-20 tahun, seumur
Indefinite dan
hidup, dan pidana mati
Definite Sentences
Narkotika
Penjara 4-20 tahun, seumur
Indefinite dan
hidup, dan pidana mati
Definite Sentences
Pencurian dengan
Penjara 9-20 tahun, seumur
Indefinite dan
kekerasan
hidup, dan pidana mati
Definite Sentences
Pembunuhan
Maksimum 15 tahun
Indeterminate
Sentence
Penganiayaan
Maksimum 12 tahun
Indeterminate
Sentence
Perkosaan
Maksimum 12 tahun
Indeterminate
Sentence
Pencurian
Maksimum 5 tahun
Indeterminate
Sentence
Table 1 di atas menunjukkan bahwa KUHP dan hukum pidana di
luar kodifikasi tidak secara tegas mengikuti satu metode pemidanaan karena
hukum pidana Indonesia tidak secara jelas menentukan falsafah pemidanaan
sebagai landasan dalam menghasilkan produk-produk hukum pidana.
B. Kontroversi Penjatuhan Pidana dan Rasa Keadilan dalam
Masyarakat
Pembahasan mengenai pemidanaan memunculkan kontroversi yaitu
disparitas pemidanaan di satu sisi dan pemidanaan yang patut di sisi lain.
Penilaian terhadap suatu amar putusan pidana telah sesuai dengan
pemidanaan yang patut atau justru terdapat disparitas, dilakukan dengan
menggunakan dasar penilaian dari falsafah pemidanaan yang berlaku di
masing-masing Negara.
Falsafah pemidanaan yang dianut kemudian diartikulasikan dalam
penetapan sanksi pidana. Parameter yang digunakan dalam menetapkan
sanksi pidana menunjukkan pola pemidanaan yang ada. Pola pemidanaan
yang digunakan menentukan proporsi ancaman pidana terhadap masing-
35
masing perbuatan pidana baik dalam hal disparitas, peringkat maupun jarak
kualitatif antara satu perbuatan pidana dengan perbuatan pidana yang lain.
Proporsi ancaman pidana tidak dapat dirumuskan tanpa common
denominator yang secara jelas dan tegas ditetapkan dalam pembagian jenisjenis pidana (Straftsoort), ukuran pemidanaan (Straftmaat), bentuk atau cara
pemidanaan (Straftmodus). Tanpa adanya common denominator
menyebabkan disiplin terhadap parameter standar gravity dalam
pemidanaan tidak dapat berlaku secara konsisten. Contohnya disiplin
pemidanaan yang tidak mempunyai konsistensi penerapan parameter standar
gravity adalah rumusan yang diberlakukan dalam undang-undang yang
berlaku sampai dengan tahun 1999.
Tabel 2
Konsistensi Pemidanaan
Jenis Pidana
Cara Pemidanaan
Bobot Pemidanaan
(Straftsoort)
(Straftmodus).
(Straftmaat),
Pelanggaran HAM Berat Mati
Seumur hidup
Penjara
5 - 20 tahun
Terorisme
Mati
Seumur hidup
Penjara
3 - 20 tahun
Kejahatan di Wilayah
Penjara
3 bulan 15 tahaun
Kehutanan
Denda
1,5 10 milyar rupiah
Kejahatan
terhadap Penjara
5 tahun
Konsumen
2 milyar rupiah
Kejahatan Pers
Penjara
2 tahun
Denda
100 500 juta rupiah
Kejahatan Pajak
1 6 tahun
Penjara
1 tahun
Kurungan
4 10 juta rupiah
Denda
2 4 kali pajak terhutang
Monopoli
Kurungan
Denda
1 100 milyar rupiah
pengganti denda
3 6 bulan
Pencucian Uang
Mati
Penjara
5 15 tahun
Denda
5 15 milyar
Korupsi
Mati
Seumur hidup
Penjara
2 20 tahun
Denda
1 milyar rupiah
KKN
Penjara
2 12 tahun
Denda
200 juta 1 milyar rupiah
36
37
38
39
40
41
ini tidaklah mudah, tetapi menjadi syarat untuk dapat diterima oleh
masyarakat mengenai putusan-putusan hakim tersebut.
Dalam menerapkan peraturan pidana dalam situasi konkrit, hakim
mempunyai kebebasan:
1. Memilih beratnya pidana yang bergerak keminimum ke maksimum
dalam perumusan perbuatan pidana yang bersangkutan.
2. Memilih pidana pokok yanga mana yang patut dijatuhkan apakah pidana
mati, pidana penjara atau pidana kurungan (dalam Rancangan KUHP:
pidana tutupan) ataukah pidana denda, sesuai dengan pertimbangan
berat ringannya perbuatan yang dilakukan.
3. Sebenarnya sebelum hakim tiba pada pemilihan seperti tersebut pada
butir 1 dan 2, ia dapat memilih apakah dia menjatuhakn hanya pidana
bersyarat saja, manakala ia memandang lebih bermanfaat bagi
masyarakat dan terpidana jika menjatuhkan pidana bersyarat saja. Hal
ini akan lebih nyata jika Rancangan KUHP Nasional telah menjelma
dengan pidana pengawasan sebagai alternatif pidana penjara
(pemasyarakatan).
Dalam hal perbuatan-perbuatan pidana dalam perundang-undangan
pidana khusus, pengaturannya lebih rumit lagi karena banyak ketentuan
pidananya yang menyimpang dari KUHP disamping adanya beberapa
tindakan tata tertib yang dapat dijatuhkan oleh hakim. Oleh karena itu,
UUTPE misalnya mengatur tentang adanya hakim dan jaksa khusus untuk
perbuatan pidana ekonomi, maksudnya ialah yang mengetahui secara luas
tentang ekonomi dan perekonomian.
Meskipun hakim bebas menentukan berat pidana yang akan
dijatuhkan dan bebas minimum ke batas maksimum dalam situasi konkret,
ia tidak boleh sewenang-wenang menuruti perasaan subyektifnya. Beberapa
keadaan obyektif yang dapat dipertimbangkan, seperti umur terdakwa, jenis
kelamin, akibat yang ditimbulkan oleh perbuatan terdakwa, keseriusan
perbuatan pidana bersangkutan, nilai-nilai khusus daerah setempat dan tentu
juga tingkat dampaknya terhadap filsafat Negara.
Di dalam Rancangan KUHP telah diatur tentang pedoman
pemidanaan, yaitu dalam pasal 3 yang menyatakan bahwa dalam
pemidanaan hakim mempertimbangkan:
1. Kesalahan perbuatan;
2. Motif dan tujuan dilakukannya tindak pidana;
3. Cara melakukan tindak pidana;
4. Sikap batin pelaku;
5. Riwayat hidup dan keadaan sosial ekonomi pelaku;
6. Sikap dan tindakan pelaku sesudah melakukan tindak pidana;
7. Pengaruh pidana terhadap masa depan pelaku;
8. Pandangan masyarakat terhadap tindak pidana yang dilakukan.
42
43