Anda di halaman 1dari 15

14

ARGUMENTUM, Vol. 12 No. 1, Desember 2012

PENERAPAN HAK REPRODUKSI PEKERJA


PEREMPUAN BERDASARKAN UNDANGUNDANG NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG
KETENAGAKERJAAN
Anies Marsudiati Purbadiri
- Fakultas Hukum Universitas Lumajang Jl. Musi No. 12 Lumajang
Email: aniesmp@gmail.com
ABSTRAK
Pengaturan perempuan sebagai tenaga kerja terdapat
dalam UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Meski UU ini tidak terdapat klausul yang secara khusus
mengatur tentang hak reproduksi perempuan, namun secara
tersirat dalam Pasal 76 (b) disebutkan bahwa dilarang
mempekerjakan perempuan hamil yang menurut keterangan
dokter dapat membahayakan kesehatan, keselamatan
kandungan maupun dirinya. Dalam Pasal 78 huruf (c)
disebutkan bahwa pengusaha wajib memberikan makanan
dan minuman yang bergizi serta menjaga kesusilaan dan
keamanan kerja di tempat kerja. Implementasi hak normatif
tersebut perlu pengawasan lebih detail mengingat kesediaan
perusahaan yang mempekerjakan kaum perempuan jadi
tidak sedikit sehingga kaum perempuan tetap dapat bekerja
tanpa harus kehilangan hak-hak asasinya.
Kata kunci : Tenaga Kerja Perempuan, Hak Normatif,
Hukum Ketenagakerjaan
A. PENDAHULUAN
Dewasa ini jumlah perempuan yang bekerja terus
bertambah, baik disektor pemerintahan maupun sektor swasta,
dengan alasan bermacam-macam, antara lain : membangun karir,
memanfaatkan potensi diri, membantu mencukupi perekonomian
keluarga, atau beberapa alasan lainnya. Secara umum alasan-alasan
tersebut sangat manusiawi mengingat perempuan juga
membutuhkan tempat tersendiri untuk mengaktualisasikan diri,
sementara disisi lain pembangunan memang memerlukan
keberadaan tenaga kerja, baik laki-laki maupun perempuan.

ARGUMENTUM, Vol. 12 No. 1, Desember 2012

15

Untuk merealisasikan kemajuan pembangunan di sektor


industri pada khususnya, maupun di bidang ekonomi pada
umumnya, keberadaan tenaga kerja perempuan cukup mempunyai
peranan, terlebih guna pencapaian laba atau keuntungan suatu
perusahaan secara maksimal, terkadang tenaga kerja perempuan
dituntut untuk lebih aktif seperti halnya tenaga kerja laki-laki.
Di sisi lain harus disadari bahwa seorang perempuan adalah
sosok yang berbeda dengan laki-laki, mengingat secara kodrati
perempuan mempunyai kecenderungan fisik yang lebih lemah dari
kaum laki-laki. Di samping itu perempuan juga mempunyai saatsaat tertentu yang di dalam dunia ketenagakerjaan menjadi salah
satu faktor penghambat berjalannya proses kerja. Saat-saat tertentu
itu menjadi harus ada ketika perempuan mengalami haid, memasuki
gerbang pernikahan, mengandung atau hamil, melahirkan anak
bahkan sampai masa menyusui.
Bagi tenaga kerja perempuan berlaku hak reproduksi untuk
menjalani kodratnya, antara lain hak untuk menstruasi, hamil,
melahirkan dan menyusui, yang kesemuanya merupakan hak asasi
yang melekat pada diri seorang perempuan, yang secara
internasional dilindungi oleh peraturan perundang-undangan,
diantaranya UU No. 7 Tahun 1984 tentang Ratifikasi Konvensi
Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) mengenai Penghapusan Segala
Bentuk Diskriminasi.
Pasal 11 ayat (2) UU No. 7 Tahun 1984 menetapkan bahwa
untuk mencegah diskriminasi terhadap perempuan atas dasar
perkawinan atau kehamilan, serta untuk menjamin hak efektif
perempuan dalam bekerja, maka negara peserta ratifikasi wajib
membuat peraturan-peraturan yang tepat untuk :
melarang dikenakan sanksi pemecatan atas dasar kehamilan
atau cuti hamil dan diskriminasi dalam pemberhentian atas dasar
status perkawinan.
mengadakan peraturan cuti hamil dengan bayaran atau dengan
tunjangan sosial yang sebanding tanpa kehilangan pekerjaan
semula, senioritas atau lain-lain jaminan sosial.
menganjurkan pelayanan sosial yang perlu guna memungkinkan
para orang tua menggabungkan kewajiban-kewajiban keluarga
dengan tanggung jawab pekerjaan dan partisipasi dalam
kehidupan masyarakat, khususnya dengan meningkatkan

16

ARGUMENTUM, Vol. 12 No. 1, Desember 2012

pembentukan dan pengembangan satu jaringan tempat-tempat


penitipan anak.
memberi perlindungan khusus pada kaum perempuan selama
kehamilan pada jenis pekerjaan yang terbukti berbahaya bagi
mereka.
Sebagai konsekwensi atas keikutsertaan menjadi anggota
Perserikatan
Bangsa Bangsa (PBB), maka Indonesia dalam
menyusun peraturan perundang-undangan tentang ketenagakerjaan
secara konseptual haruslah mengikuti ketentuan tersebut. Untuk itu
di Indonesia telah beberapa kali diadakan perubahan terhadap
landasan yuridis pengelolaan tenaga kerja, disertai maksud agar
tepat penerapannya.
Lahirnya UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan,
yang menggantikan beberapa undang-undang sebelumnya di bidang
ketenagakerjaan, diharapkan dapat mengakumulasi berbagai
persoalan yang muncul mengenai kewajiban serta hak para
pengusaha dan buruh/pekerja, khususnya berkenaan dengan
keberadaan perempuan sebagai pekerja.
B. RUMUSAN MASALAH
Atas dasar realita betapa memang harus ada perlakuan
khusus terhadap pekerja perempuan terkait dengan kodratinya,
maka permasalahan yang dikemukakan adalah :
Bagaimanakah konsepsi hak normatif pekerja menurut Hukum
Ketenagakerjaan?
Bagaimanakah penerapan hak reproduksi pekerja perempuan
berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003?
Bagaimanakah perlindungan hak reproduksi pekerja perempuan
dalam hubungan kerja?
C. METODE PENELITIAN
Untuk penyusunan hasil penelitian ini
dipergunakan
pendekatan masalah secara yuridis normatif, yakni mendasarkan
pada
peraturan
perundang-undangan
yang
ada
dan
memperbandingkannya dengan ketentuan-ketentuan yang mengatur
perihal hak-hak yang semestinya dapat dinikmati oleh tenaga kerja
pada umumnya dan tenaga kerja perempuan pada khususnya guna
mendapatkan bahan hukum yang obyektif yang untuk itu dilakukan
pengumpulan bahan hukum secara sistimatis dan terencana.

ARGUMENTUM, Vol. 12 No. 1, Desember 2012

17

Adapun bahan hukum yang dipergunakan meliputi bahan


hukum primer dan bahan hukum sekunder. Bahan hukum primer,
berupa peraturan perundang-undangan yang pernah berlaku atau
yang sedang berlaku secara efektif di bidang ketenagakerjaan dan
hubungan industrial, serta beberapa referensi lain yang membahas
masalah hubungan kerja dan ketenagakerjaan. Sedangkan bahan
hukum sekunder, berupa keterangan-keterangan yang diperoleh dari
keterangan/penjelasan atau hasil wawancara dengan
pekerja
perempuan selaku obyek penelitian.
Kemudian semua bahan hukum tersebut dikumpulkan dan
dianalisis dengan menggunakan metode deskriptif, yakni dengan
cara memahami dan memaparkan peraturan-peraturan yang
berkenaan dengan ketenagakerjaan. Selanjutnya peraturan-peraturan
tersebut dipelajari secara sistimatis dan terperinci dan dikaji secara
seksama, untuk dapatnya diketemukan konklusinya.
D. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
1. Konsepsi Hak Normatif Pekerja Dalam Hukum
Ketenagakerjaan
Di dalam hubungan industrial yang harmonis, dinamis dan
berkeadilan, besar kemungkinan adanya penghormatan yang cukup
terhadap hak-hak normatif buruh/pekerja. Pendefinisian secara
yuridis formal mengenai hak normatif pekerja, sejauh ini memang
tidak dapat diketemukan dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan. Namun demikian pada substansi
beberapa pasal dari undang-undang tersebut, secara tersirat dapat
didiskripsikan pemaknaannya.
Hak Normatif pekerja adalah hak dasar buruh/pekerja dalam
hubungan kerja yang lahir sebagai hasil perjanjian, baik yang
berasal dari perjanjian kerja, Peraturan Pemerintah atau Perjanjian
Kerja Bersama.1
Hak normatif buruh/pekerja dapat diklasifikasikan atas :
Hak yang bersifat ekonomis (seperti: Upah, THR, dan lain-lain)
Hak yang bersifat politis (antara lain: membentuk serikat buruh,
menjadi atau tidak menjadi anggota serikat buruh, mogok, dan
lain-lain)

Syaufii Syamsuddin, Mohd, Hukum Acara Penyelesaian Perselisihan


Hubungan Industrial, Sarana Bhakti Persada, Jakarta, 2005, hlm. 26.

18

ARGUMENTUM, Vol. 12 No. 1, Desember 2012

Hak yang bersifat medis (meliputi keselamatan dan kesehatan


kerja)
Hak yang bersifat sosial (antara lain: hak reproduksi).
Dari pengklasifikasian tersebut, terlihat jelas bahwa hak
reproduksi merupakan salah satu bagian dari hak normatif buruh/
pekerja. Secara umum hak normatif itu sendiri melekat pada setiap
diri buruh/pekerja, baik pekerja laki-laki maupun perempuan. Akan
tetapi khusus untuk hak reproduksi terhadap pekerja perempuan
dipandang perlu adanya perlakuan khusus mengingat dominasi
perwujudan hak reproduksi tersebut berada pada kaum perempuan,
tidak terkecuali perempuan yang berstatus sebagai pekerja.
Dalam pengungkapan makna yang lain, Hak Normatif dapat
diartikan sebagai segala sesuatu yang diatur dalam peraturan
perundang-undangan, menyangkut hak dan kewajiban kedua belah
pihak, yakni pengusaha dan buruh/pekerja, yang jika tidak
dilaksanakan akan dikenakan dakwaan pelanggaran dengan
diterapkan sanksi terhadap masing-masing pihak.S
Dengan demikian konsepsi Hak Normatif secara umum
hampir dapat dipersamakan dengan konsepsi Hak Asasi Manusia.
Hak asasi manusia itu sendiri merupakan hak-hak dasar yang
melekat pada diri manusia secara kodrati, universal dan abadi
sebagai anugerah TuhanYang Maha Esa, meliputi hak untuk hidup,
hak berkeluarga, hak mengembangkan diri, hak keadilan, hak
kemerdekaan, hak berkomunikasi, hak keamanan dan hak
kesejahteraan , yang oleh karena itu tidak boleh diabaikan atau
dirampas. Pemahaman hak asasi manusia Indonesia ini sejalan
dengan deklarasi universal hak asasi manusia.
2. Penerapan
Hak
Reproduksi
Pekerja
Perempuan
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003

Pengertian Hak Reproduksi dan Kesehatan Reproduksi


Secara harfiah Hak Reproduksi dapat diartikan sebagai hak
yang dimiliki oleh setiap individu, baik laki-laki maupun
perempuan yang berkaitan dengan keadaan dan keberlangsungan
reproduksinya. Hak reproduksi bagi laki-laki maupun perempuan,
sebagaimana yang direkomendasikan dari hasil Konferensi
Internasional Kependudukan dan Pembangunan (ICPD), terdiri atas
dua belas hak, sebagai berikut :

ARGUMENTUM, Vol. 12 No. 1, Desember 2012

19

Hak untuk mendapatkan informasi pendidikan kesehatan


reproduksi
Hak mendapatkan pelayanan dan perlindungan kesehatan
reproduksi
Hak untuk kebebasan berpikir tentang kesehatan reproduksi
Hak untuk menentukan jumlah anak dan kelahiran
Hak untuk hidup (Hak dilindungi dari kematian karena
kehamilan dan proses melahirkan)
Hak atas kebebasan dan keamanan berkaitan dengan kehidupan
reproduksi
Hak untuk bebas dari penganiayaan dan perlakuan buruk,
termasuk perlindungan dari perkosaan, kekerasan, penyiksaan
dan pelecehan seksual
Hak untuk mendapatkan manfaat dari kemajuan ilmu
pengetahuan yang terkait dengan kesehatan reproduksi
Hak atas kerahasiaan pribadi dengan kehidupan reproduksinya
Hak membangun dan merencanakan keluarga
Hak kebebasan berkumpul dan berpartisipasi dalam politik yang
berkaitan dengan kesehatan reproduksi.
Hak untuk bebas dari segala bentuk diskriminasi dalam
kehidupan berkeluarga dan kehidupan reproduksi
Kesehatan kaum perempuan, terutama kesehatan
reproduksinya merupakan sesuatu hal yang sangat penting, karena
hal tersebut tidak hanya sangat mempengaruhi perempuan yang
bersangkutan, akan tetapi juga keluarganya bahkan lingkungannya
.Namun sayang masih banyak perempuan yang belum menyadari
akan hal itu, apa saja yang harus dilakukan untuk merawatnya, serta
pilihan-pilihan apa saja yang dapat diambilnya menyangkut
kesehatan reproduksi ini.2
Definisi tentang arti kesehatan reproduksi yang telah
diterima secara internasional yaitu : keadaan fisik, mental, dan
sosial yang utuh dalam segala hal yang berkaitan dengan sistem,
fungsi-fungsi dan proses reproduksi. Selain itu juga mencakup hak
produksi yang didasarkan pada pengakuan hak asasi manusia bagi
setiap pasangan atau individu untuk menentukan secara bebas dan

August Burns A. et al, Memelihara Kesehatan Reproduksi Perempuan


Sejak Dini, INSISTPress, Yogyakarta, 2009, hlm. V.

20

ARGUMENTUM, Vol. 12 No. 1, Desember 2012

bertanggungjawab mengenai jumlah anak, jarak kelahiran anak, dan


menentukan kelahiran anak mereka.3
Jangkauan kesehatan reproduksi dalam hal ini lebih luas
lagi, yaitu upaya mencapai tingkat keamanan ibu dan anak dalam
proses kehamilan, proses persalinan dan nifas. Termasuk pula
masalah infertilitas dan endokrinologi reproduksi, antara lain tumor
atau keganasan pada perempuan, khususnya yang berkaitan dengan
organ-organ reproduksi, yakni uterus (rahim), ovarium (indung
telur) dan vagina, serta Sexual Transmited Disease (penyakit akibat
hubungan seks).
Berdasarkan Konferensi Wanita se Dunia ke IV di Beijing
pada tahun 1995 serta Konferensi Kependudukan dan Pembangunan
di Kairo tahun 1994, telah disepakati perihal hak-hak reproduksi
tersebut. Dalam hal ini dapat disimpulkan bahwa terdapat empat hal
pokok dalam reproduksi perempuan, yaitu :
Kesehatan reproduksi dan seksual (reproductive and sexual
health)
Penentuan dalam keputusan reproduksi (reproductive decision
making)
Kesetaraan pria dan wanita (equality for men and women)
Keamanan reproduksi dan seksual (sexual and reproductive
security).
Di Indonesia, perhatian terhadap kesehatan perempuan
secara umum, belum tercukupi dengan optimal. Terdapat beberapa
indikator permasalahan yang melatarbelakangi terjadinya keadaan
tersebut, antara lain : Gender, Kemiskinan, Pendidikan yang rendah,
Perkawinan dini, Kekurangan gizi dan kesehatan yang buruk serta
Beban kerja yang berat.
Menurut informasi dari berbagai penelitian yang pernah
dilakukan di dunia, rata-rata perempuan bekerja tiga jam lebih lama
dari laki-laki. Akibatnya perempuan mempunyai sedikit waktu
istirahat yang dapat mengakibatkan terjadinya kelelahan kronis,
stres dan sebagainya. Kesehatan
perempuan tidak hanya
dipengaruhi oleh waktu kerja, tetapi juga jenis pekerjaan yang berat,
kotor dan monoton bahkan membahayakan. Peran gender yang
menganggap status perempuan rendah, berakumulasi dengan
indikator-indikator lain, seperti kemiskinan, pendidikan, kawin
3

Daru Wijayanti, Fakta Penting Seputar Kesehatan Reproduksi Wanita,


BOOKS MARKS, Jogyakarta, 2009, hlm.1

ARGUMENTUM, Vol. 12 No. 1, Desember 2012

21

muda dan beban kerja yang berat mengakibatkan perempuan


kekurangan
waktu,
juga
kekurangan
informasi
untuk
memperhatikan kesehatan reproduksinya.
Eksistensi Hak Reproduksi Pekerja Perempuan
Secara kodrati perempuan memiliki peran dan fungsi sosial
yang berbeda dengan laki-laki. Perempuan mempunyai fungsi
reproduksi sebagai salah satu fungsi sosial dalam konsepsi hak
normatif, yang memberi warna pada kehidupan keluarga,
masyarakat bahkan kelangsungan kehidupan bangsa. Oleh karena
itu di dalam hubungan kerja kodrat perempuan itu dilindungi.
Bentuk-bentuk perlindungan dimaksud berupa pemberian istirahat
haid, menikah, melahirkan dan gugur kandungan serta kesempatan
menyusukan anak.
Menikah, hamil dan mempunyai anak adalah impian dan
keinginan kaum perempuan pada umumnya. Dalam kapasitas
perempuan sebagai pekerja, dirinya akan terkait dengan berbagai
macam aturan di perusahaan tempat dirinya bekerja. Penundaan
untuk menikah ataupun penundaan untuk mempunyai anak
terkadang menjadi salah satu aturan yang harus dipatuhi oleh tenaga
kerja perempuan bila hendak bekerja di suatu perusahaan.
Persyaratan yang demikian tentu akan menghadapkan perempuan
pada dua sisi kepentingan yang saling berkaitan.
Andriana dkk, dalam bukunya yang berjudul Hak-hak
Reproduksi Perempuan Yang Terpasung, menyatakan bahwa
masalah hak-hak perempuan bukan pokok yang mudah untuk
diteliti.
Istilah
yang
sangat
konseptual
itu
harus
dioperasionalisasikan melalui gejala-gejala yang konkrit, spesifik
dan yang dapat diamati. Menurutnya masalah-masalah hak
perempuan lebih khusus lagi hak-hak reproduksi perempuan harus
dipandang dalam kaitannya dengan peran, posisi, status, nilai serta
posisi tawar perempuan dalam hubungan dengan pihak lain. Mereka
mengambil kesimpulan bahwa perempuan Indonesia telah
diposisikan secara tidak menguntungkan dalam masyarakat Social
Entitlement terhadap integritas tubuh mereka, bukan saja sering
diabaikan melainkan boleh jadi tidak terfikirkan oleh Negara,
masyarakat atau oleh perempuan itu sendiri.4

Andriana, et al, Hak-Hak Reproduksi Perempuan Yang Terpasung,


Ghalia Indonesia, Jakarta, 1988. hlm.15

22

ARGUMENTUM, Vol. 12 No. 1, Desember 2012

Dalam UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan


tidak terdapat Bab yang secara khusus mengatur tentang hak
reproduksi bagi perempuan pada umumnya ataupun hak reproduksi
bagi pekerja perempuan pada khususnya. Namun di beberapa pasal
pada UU No. 13 Tahun 2003 tersebut tersirat adanya pengaturan
tentang hak yang dapat dianalogikan sebagai hak reproduksi, antara
lain pada :
Pasal 76 ayat (2): Pengusaha dilarang mempekerjakan
pekerja/buruh perempuan hamil yang menurut keterangan
dokter berbahaya bagi kesehatan dan
keselamatan
kandungannya maupun dirinya apabila bekerja antara pukul
23.00 sampai dengan pukul 07.00.
Pasal 76 ayat (3): Pengusaha yang mempekerjakan
pekerja/buruh perempuan antara pukul 23.00 sampai dengan
pkul 07.00 wajib memberikan makanan dan minuman bergizi
serta menjaga kesusilaan dan keamanan kerja di tempat kerja.
Pasal 81 ayat (1): Pekerja/buruh perempuan yang dalam masa
haid merasakan sakit dan memberitahukan kepada pengusaha,
tidak wajib bekerja pada hari pertama dan kedua pada waktu
haid.
Pasal 82 ayat (1): Pekerja/buruh perempuan berhak memperoleh
istirahat selama 1,5 (satu setengah) bulan sebelum saatnya
melahirkan anak dan 1,5 (satu setengah) bulan setelah
melahirkan menurut perhitungan dokter kandungan atau bidan.
Pasal 82 ayat (2): Pekerja/buruh perempuan yang mengalami
keguguran kandungan berhak memperoleh istirahat 1,5 (satu
setengah) bulan atau sesuai dengan surat keterangan dokter
kandungan atau bidan.
Pasal 83: Pekerja/buruh perempuan yang anaknya masih
menyusu harus diberi kesempatan sepatutnya untuk menyusui
anaknya jika hal itu harus dilakukan selama waktu kerja.
Pasal 153 ayat (1) huruf d: Pengusaha dilarang melakukan
pemutusan hubungan kerja dengan alasan pekerja/buruh
menikah.
Pasal 153 ayat (1) huruf e: Pengusaha dilarang melakukan
pemutusan hubungan kerja dengan alasan pekerja/buruh
perempuan hamil, melahirkan, gugur kandungan, atau menyusui
bayinya.

ARGUMENTUM, Vol. 12 No. 1, Desember 2012

23

Pengaturan berbagai macam hak reproduksi pekerja


perempuan yang tersirat pada beberapa pasal dalam UU Nomor 13
Tahun 2003 tersebut, terkait penerapannya sangat bergantung pada
itikad dan komitmen perusahaan untuk mematuhi, mengingat
hubungan yang terjadi antara perusahaan dengan buruh/pekerja,
dituangkan dalam sebuah perjanjian kerja yang mengikat keduanya.
Di samping itu harus pula diingat bahwa setiap pelanggaran
terhadap isi undang-undang akan dikenakan sanksi. Guna
mengeliminasi terjadinya perselisihan antara pengusaha dengan
buruh/pekerja, diperlukan peran negara untuk melakukan
pengawasan dan penertiban, dalam hal ini kewenangan tersebut
didelegasikan kepada Dinas Tenaga Kerja, yang berkedudukan
hukum di wilayah kerja masing-masing.
Terlepas dari upaya-upaya optimalisasi pengawasan dan
penertiban, sebuah kesadaran yang harus terus menerus
disampaikan kepada buruh/pekerja bahwa dalam memperjuangkan
hak-hak tersebut buruh/pekerja tidak bisa seorang diri
melakukannya, dan harus pula disadarkan bahwa kebutuhan akan
adanya alat perjuangan bernama Serikat Buruh menjadi mutlak
adanya. Tentunya yang dibutuhkan adalah sebuah Serikat Buruh
yang ditopang kekuatan partisipasi seluruh anggotanya.
3. Perlindungan Hukum Hak Reproduksi Pekerja Perempuan
Dalam Hubungan Kerja
Pada Konsideran Menimbang huruf d UU No. 13 Tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan disebutkan bahwa: Perlindungan
terhadap tenaga kerja dimaksudkan untuk menjamin hak-hak dasar
buruh/pekerja dan keluarganya dengan tetap memperhatikan
perkembangan kemajuan dunia usaha.
Tujuan perlindungan terhadap tenaga kerja antara lain
dimaksudkan untuk menjamin hak-hak dasar pekerja dan menjamin
kesamaan kesempatan serta perlakuan tanpa diskriminasi untuk
mewujudkan kesejahteraan pekerja dan keluarganya, dengan tetap
memperhatikan perkembangan kemajuan dunia usaha. Disamping
itu perkembangan dimaksud, ditujukan pula untuk meningkatkan
harkat, martabat dan harga diri tenaga kerja, guna mewujudkan
masyarakat sejahtera lahir dan bathin. Dengan terpenuhinya hakhak dan perlindungan dasar bagi semua tenaga kerja, pada saat yang
bersamaan dapat mewujudkan kondisi yang kondusif bagi
pengembanagn dunia usaha.

24

ARGUMENTUM, Vol. 12 No. 1, Desember 2012

Berkaitan dengan bentuk-bentuk perlindungan terhadap


tenaga kerja, maka sifat peraturan perundang-undangan
ketenagakerjaan yang berkenaan dengan perlindungan terhadap
pekerja perempuan, dapat dikelompokkan menjadi tiga kategori
kebijakan, yaitu diarahkan pada :
perlindungan fungsi reproduksi
perlindungan peran serta perempuan dalam lapangan kerja
perlindungan persamaan perlakuan sosial dalam hubungan
kerja.5
Pengaturan terhadap pekerja perempuan terus berkembang,
khususnya dalam memberikan perlindungan terhadap peran serta
perempuan dalam kehidupan sosial, di dalam hubungan kerja.
Bentuk-bentuk perlindungan yang pernah diberikan berupa larangan
mempekerjakan perempuan pada malam hari, bekerja di dalam
tambang, dan larangan dilakukan PHK dengan alasan pekerja
perempuan menikah, hamil atau bersalin.
Dalam pelaksanaan perlindungan fungsi keibuan atau kodrat
perempuan, banyak pekerja perempuan yang tidak mudah
memperoleh dan menikmatinya, seperti pelaksanaan cuti haid, cuti
hamil dan/atau bersalin dengan tetap mendapatkan upah
sebagaimana mestinya. Oleh karena itu perlindungan terhadap
pekerja perempuan sangat urgen dilakukan, terutama perlindungan
terhadap fungsi reproduksinya.
3.1. Istirahat Haid
Haid adalah mekanisme alam atau siklus biologis kaum
perempuan yang mengakibatkan terjadinya pergantian dan
pembaharuan darah pada perempuan, dan pembaharuan sel-sel
darah ini menentukan kualitas tubuh perempuan. Oleh karena darah
sedang dalam perbaikan maka perempuan membutuhkan energi
yang lebih. Pada fase ini tidak jarang membuat suasana kejiwaan
perempuan labil atau kesehatannya menurun, sehingga sangat
diperlukan istirahat bagi tubuh perempuan dalam masa haid,
khususnya hari pertama dan kedua.
Dalam UU No. 1 Tahun 1951, sebagai salah satu undangundang ketenagakerjaan yang pernah berlaku sebelumnya,
disebutkan bahwa pekerja perempuan tidak boleh diwajibkan
bekerja pada hari pertama dan kedua waktu haid. Pengusaha
5

Syaufii Syamsuddin, Mohd, 0p. cit. hlm. 81

ARGUMENTUM, Vol. 12 No. 1, Desember 2012

25

diwajibkan memberikan waktu istirahat dengan tetap mendapatkan


upah.6 Istirahat haid diberikan untuk menjaga kesehatan pekerja
perempuan, oleh karena itu istirahat tersebut harus diambil secara
fisik agar kesehatan tenaga kerja perempuan benar-benar pulih, dan
penggantian istirahad haid dengan uang tidak diperbolehkan.
Akan tetapi seringkali pekerja perempuan tidak menyadari
pentingnya cuti haid dari sisi biologis dan aturan. Hal ini lebih
dikarenakan kondisi ekonomi dan tuntutan sosial yang membuat
perempuan abai atau kurang peduli pada dirinya sendiri, atau karena
ketidaktahuan terhadap adanya aturan tentang cuti haid. Sementara
disisi lain, negara dan aparaturnya, lalai terhadap kewajibannya
melindungi kaum perempuan dari keterasingan pada tubuh dan
dunia perempuan sendiri..
Kondisi yang juga memperburuk adalah ketika tidak adanya
niat dari pengusaha atas perlindungan terhadap pekerja perempuan
melalui cuti haid. Padahal, secara tegas diatur oleh UU No. 13
Tahun 2003 yang notabene menggantikan undang-undang
sebelumnya, dengan penambahan klausul bahwa apabila karena
haid itu pekerja perempuan merasakan sakit, harus memberitahu
perusahaan sesuai dengan tatacara yang diatur dalam Peraturan
Pemerintah atau dalam Perjanjian Kerja Bersama dan setelah itu
barulah hak istirahat dapat dilaksanakan. Sementara pada
prakteknya masih saja terjadi pengabaian terhadap keadaan seperti
itu, karena dianggapnya haid adalah hal yang biasa terjadi pada diri
perempuan karenanya sangat wajar jika pekerja perempuan tetap
bekerja pada saat itu. Bahkan terkadang terjadi suatu kondisi
perusahaan mengakumulasi ketidakhadiran pekerja perempuan
tersebut dengan besaran upah, yang mengakibatkan berkurangnya
penghasilan tenaga kerja yang bersangkutan.
Pada kondisi yang demikian biasanya pekerja perempuan
pasrah karena memang tidak memiliki posisi tawar yang kuat.
Lebih-lebih dengan maraknya status buruh kontrak, outsourcing dan
borongan menjadi alasan pula bagi pekerja perempuan untuk tidak
berani mengambil cuti haidnya, karena khawatir jika mengambil
cuti tersebut maka kontraknya tidak akan diperpanjang ataupun
tidak diangkat menjadi pekerja tetap dengan indikasi dianggap
terlalu banyak menuntut.

Syaufii Syamsuddin, Mohd, 0p. cit. hlm. 82.

26

ARGUMENTUM, Vol. 12 No. 1, Desember 2012

3.2. Istirahat Melahirkan dan Gugur Kandungan


Dalam UU No. 1 Tahun 1951 tentang Ketenagakerjaan
dinyatakan bahwa pekerja perempuan harus diberi istirahat selama
satu setengah bulan sebelum melahirkan dan satu setengah bulan
setelah melahirkan atau gugur kandungan. Pemberian
waktu
istirahat bagi pekerja perempuan pada waktu sebelum dan sesudah
melahirkan, disertai maksud untuk menjaga kesehatan dan
keselamatan jiwa pekerja perempuan tersebut dan anaknya. Namun
demikian jika menurut dokter dalam waktu yang telah ditentukan
ternyata pekerja perempuan tersebut kondisi kesehatannya tidak
memungkinkan, dapat diperpanjang selama-lamanya tiga bulan,
sebelum saat pekerja perempuan tersebut melahirkan.
Selanjutnya dalam UU No. 13 Tahun 2003 yang
menggantikan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1951, selain
mengatur hal-hal yang sama dalam ketentuan sebelumnya,
ditambahkan pula bahwa waktu istirahat bagi pekerja perempuan
yang hamil, bersalin atau gugur kandungan dapat diperpanjang
berdasarkan surat keterangan dari dokter kandungan atau bidan,
tanpa dibatasi waktunya.
Berbeda halnya dengan penerapan aturan istirahat karena
haid, untuk penerapan aturan istirahat karena melahirkan hampir
semua perusahaan melakukannya, hal ini karena secara kasat mata
rata-rata perempuan yang akan dan baru melahirkan mengalami
penurunan kondisi kesehatannya, termasuk pula kondisi psikisnya,
sehingga perlu adanya waktu istirahat yang cukup, agar terkumpul
kekuatan pada diri perempuan untuk menjalani salah satu hak
kodratinya tersebut.
3.3. Kesempatan Menyusui Anak
Dalam hubungan dengan keberadaan anak, telah dilakukan
perlindungan agar anak mendapatkan air susu ibu, mengingat dari
sisi kesehatan air susu ibu adalah makanan terbaik untuk anak agar
mendapatkan kekebalan tubuh dan gizi yang baik. Untuk itu kepada
pekerja perempuan yang masih menyusui harus diberikan
kesempatan sepatutnya untuk menyusui anaknya, jika hal itu harus
dilakukan selama waktu kerja. Dalam pelaksanaannya, perusahaan
yang mempekerjakan pekerja perempuan, dianjurkan untuk
menyediakan tempat penitipan anak, sehingga pada saat-saat
tertentu pekerja perempuan tersebut dapat menyusukan anaknya.

ARGUMENTUM, Vol. 12 No. 1, Desember 2012

27

Guna menjaga kualitas air susu ibu sebagai makanan bayi


terbaik, maka diminta partisipasi aktif perusahaan untuk membantu
dan melaksanakan penanggulangan anemia gizi bagi pekerja
perempuan. Langkah konkrit yang dilakukan biasanya perusahaan
melalui petugas yang berkompeten melakukan pemeriksaan
kesehatan pekerja secara berkala. Fasilitasi yang sama juga perlu
diberikan kepada pekerja perempuan yang sedang hamil,
melahirkan dan menyusui.
E. PENUTUP
Dunia kerja menuntut kehadiran para pekerja untuk turut
berkiprah di berbagai sektor usaha, baik yang dikelola oleh
pemerintah maupun prusahaan-perusahaan swasta. Potensi tenaga
kerja yang dibutuhkan bukan saja meliputi tenaga kerja laki-laki,
namun mencakup pula tenaga kerja perempuan.
Menurut data statistik di Biro Pusat Statistik, pada tahun
2009 jumlah angkatan kerja perempuan sebanyak 40.186.363 juta
jiwa, dengan tingkat partisipasi angkatan kerja sebesar 49,52 % dan
tingkat pengangguran terbuka sebesar 11,83 %. Dari jumlah total
angkatan kerja Indonesia sebanyak 108.131.058 juta jiwa, terdapat
perempuan yang bekerja di industri pengolahan saja sebanyak
4.881.687 juta jiwa. Data tersebut menunjukkan betapa besarnya
peranan pekerja perempuan dalam turut serta membangun stuktur
ketenagakerjaan di Indonesia, sehingga sudah seharusnya menjadi
keniscayaan bagi pekerja perempuan untuk memiliki ruang kerja,
ruang partisipasi dan penghargaan yang setara dengan pekerja lakilaki.
Di Indonesia pengaturan terhadap berbagai macam hak dan
kewajiban tenaga kerja tersurat dalam Undang-undang Nomor 13
Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, termasuk di dalamnya tersirat
adanya hak reproduksi bagi tenaga kerja perempuan, yakni yang
tertulis dalam Pasal 76 sampai dengan Pasal 83 dan Pasal 153.
Penerapan berbagai macam hak reproduksi pekerja
perempuan yang tersirat pada beberapa pasal dalam UndangUndang Nomor 13 Tahun 2003 tersebut, sangat bergantung pada
itikad dan komitmen perusahaan untuk mematuhinya, mengingat
hubungan yang terjadi antara perusahaan dengan buruh/pekerja,
dituangkan dalam sebuah perjanjian kerja yang mengikat keduanya.
Pada sisi lain harus pula disadari bahwa apa yang telah disepakati
sebagai isi perjanjian kerja mengandung konsekwensi moral dan

28

ARGUMENTUM, Vol. 12 No. 1, Desember 2012

konsekwensi yuridis bagi keduanya sehingga setiap pelanggaran


terhadap isi undang-undang akan dikenakan sanksi.
Penghormatan terhadap hak reproduksi pekerja perempuan,
secara normatif harus lebih tinggi daripada pekerja laki-laki, karena
pekerja perempuan dituntut untuk mampu berlaku arif dalam
memainkan perannya sebagai tenaga kerja yang terikat oleh
undang-undang ketenagakerjaan dan sebagai sosok perempuan yang
terikat dengan kodratinya untuk
menjaga dan meneruskan
kelangsungan hidupnya.
------DAFTAR PUSTAKA
Andriana, dkk, 1988, Hak-Hak Reproduksi Perempuan Yang
Terpasung, Ghalia Indonesia, Jakarta
Arimbi Heroepoetri dan Nur Amalia, 2000, Pengintegrasian HakHak Asasi Perempuan dan Perspektif Gender, Ghalia
Indonesia, Jakarta
A.August Burns et al., 2009, Memelihara Kesehatan Reproduksi
Perempuan Sejak Dini, Perpustakaan Nasional : Katalog
Dalam Terbitan (KDT), Yogyakarta
Daru Wijayanti, 2009, Fakta Penting Seputar Kesehatan
Reproduksi Wanita, Book Marks, Jogyakarta
Hartono, Sunaryati, 1994, Penelitian Hukum di Indonesia Pada
Akhir Abad ke-20, Alumni, Bandung
Mohd. Syaufi Syamsuddin, 2004, Norma Perlindungan Dalam
Hubungan Industrial, Sarana Bhakti Persada, Jakarta
Nasir, Moh, 1999, Metode Penelitian, Ghalia Indonesia, Jakarta
Peter Mahmud Marzuki, 2005, Penelitian Hukum, Prenada Media
Group, Jakarta
-----------------, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang
Hak Asasi Manusia, Direktorat Jenderal HAM Departeman
Hukum dan HAM-RI, Jakarta
-----------------, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang
Ketenagakerjaan, Bening, Jogya

Anda mungkin juga menyukai