PEREMPUAN BERDASARKAN UNDANGUNDANG NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN Anies Marsudiati Purbadiri - Fakultas Hukum Universitas Lumajang Jl. Musi No. 12 Lumajang Email: aniesmp@gmail.com ABSTRAK Pengaturan perempuan sebagai tenaga kerja terdapat dalam UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Meski UU ini tidak terdapat klausul yang secara khusus mengatur tentang hak reproduksi perempuan, namun secara tersirat dalam Pasal 76 (b) disebutkan bahwa dilarang mempekerjakan perempuan hamil yang menurut keterangan dokter dapat membahayakan kesehatan, keselamatan kandungan maupun dirinya. Dalam Pasal 78 huruf (c) disebutkan bahwa pengusaha wajib memberikan makanan dan minuman yang bergizi serta menjaga kesusilaan dan keamanan kerja di tempat kerja. Implementasi hak normatif tersebut perlu pengawasan lebih detail mengingat kesediaan perusahaan yang mempekerjakan kaum perempuan jadi tidak sedikit sehingga kaum perempuan tetap dapat bekerja tanpa harus kehilangan hak-hak asasinya. Kata kunci : Tenaga Kerja Perempuan, Hak Normatif, Hukum Ketenagakerjaan A. PENDAHULUAN Dewasa ini jumlah perempuan yang bekerja terus bertambah, baik disektor pemerintahan maupun sektor swasta, dengan alasan bermacam-macam, antara lain : membangun karir, memanfaatkan potensi diri, membantu mencukupi perekonomian keluarga, atau beberapa alasan lainnya. Secara umum alasan-alasan tersebut sangat manusiawi mengingat perempuan juga membutuhkan tempat tersendiri untuk mengaktualisasikan diri, sementara disisi lain pembangunan memang memerlukan keberadaan tenaga kerja, baik laki-laki maupun perempuan.
ARGUMENTUM, Vol. 12 No. 1, Desember 2012
15
Untuk merealisasikan kemajuan pembangunan di sektor
industri pada khususnya, maupun di bidang ekonomi pada umumnya, keberadaan tenaga kerja perempuan cukup mempunyai peranan, terlebih guna pencapaian laba atau keuntungan suatu perusahaan secara maksimal, terkadang tenaga kerja perempuan dituntut untuk lebih aktif seperti halnya tenaga kerja laki-laki. Di sisi lain harus disadari bahwa seorang perempuan adalah sosok yang berbeda dengan laki-laki, mengingat secara kodrati perempuan mempunyai kecenderungan fisik yang lebih lemah dari kaum laki-laki. Di samping itu perempuan juga mempunyai saatsaat tertentu yang di dalam dunia ketenagakerjaan menjadi salah satu faktor penghambat berjalannya proses kerja. Saat-saat tertentu itu menjadi harus ada ketika perempuan mengalami haid, memasuki gerbang pernikahan, mengandung atau hamil, melahirkan anak bahkan sampai masa menyusui. Bagi tenaga kerja perempuan berlaku hak reproduksi untuk menjalani kodratnya, antara lain hak untuk menstruasi, hamil, melahirkan dan menyusui, yang kesemuanya merupakan hak asasi yang melekat pada diri seorang perempuan, yang secara internasional dilindungi oleh peraturan perundang-undangan, diantaranya UU No. 7 Tahun 1984 tentang Ratifikasi Konvensi Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi. Pasal 11 ayat (2) UU No. 7 Tahun 1984 menetapkan bahwa untuk mencegah diskriminasi terhadap perempuan atas dasar perkawinan atau kehamilan, serta untuk menjamin hak efektif perempuan dalam bekerja, maka negara peserta ratifikasi wajib membuat peraturan-peraturan yang tepat untuk : melarang dikenakan sanksi pemecatan atas dasar kehamilan atau cuti hamil dan diskriminasi dalam pemberhentian atas dasar status perkawinan. mengadakan peraturan cuti hamil dengan bayaran atau dengan tunjangan sosial yang sebanding tanpa kehilangan pekerjaan semula, senioritas atau lain-lain jaminan sosial. menganjurkan pelayanan sosial yang perlu guna memungkinkan para orang tua menggabungkan kewajiban-kewajiban keluarga dengan tanggung jawab pekerjaan dan partisipasi dalam kehidupan masyarakat, khususnya dengan meningkatkan
16
ARGUMENTUM, Vol. 12 No. 1, Desember 2012
pembentukan dan pengembangan satu jaringan tempat-tempat
penitipan anak. memberi perlindungan khusus pada kaum perempuan selama kehamilan pada jenis pekerjaan yang terbukti berbahaya bagi mereka. Sebagai konsekwensi atas keikutsertaan menjadi anggota Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB), maka Indonesia dalam menyusun peraturan perundang-undangan tentang ketenagakerjaan secara konseptual haruslah mengikuti ketentuan tersebut. Untuk itu di Indonesia telah beberapa kali diadakan perubahan terhadap landasan yuridis pengelolaan tenaga kerja, disertai maksud agar tepat penerapannya. Lahirnya UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, yang menggantikan beberapa undang-undang sebelumnya di bidang ketenagakerjaan, diharapkan dapat mengakumulasi berbagai persoalan yang muncul mengenai kewajiban serta hak para pengusaha dan buruh/pekerja, khususnya berkenaan dengan keberadaan perempuan sebagai pekerja. B. RUMUSAN MASALAH Atas dasar realita betapa memang harus ada perlakuan khusus terhadap pekerja perempuan terkait dengan kodratinya, maka permasalahan yang dikemukakan adalah : Bagaimanakah konsepsi hak normatif pekerja menurut Hukum Ketenagakerjaan? Bagaimanakah penerapan hak reproduksi pekerja perempuan berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003? Bagaimanakah perlindungan hak reproduksi pekerja perempuan dalam hubungan kerja? C. METODE PENELITIAN Untuk penyusunan hasil penelitian ini dipergunakan pendekatan masalah secara yuridis normatif, yakni mendasarkan pada peraturan perundang-undangan yang ada dan memperbandingkannya dengan ketentuan-ketentuan yang mengatur perihal hak-hak yang semestinya dapat dinikmati oleh tenaga kerja pada umumnya dan tenaga kerja perempuan pada khususnya guna mendapatkan bahan hukum yang obyektif yang untuk itu dilakukan pengumpulan bahan hukum secara sistimatis dan terencana.
ARGUMENTUM, Vol. 12 No. 1, Desember 2012
17
Adapun bahan hukum yang dipergunakan meliputi bahan
hukum primer dan bahan hukum sekunder. Bahan hukum primer, berupa peraturan perundang-undangan yang pernah berlaku atau yang sedang berlaku secara efektif di bidang ketenagakerjaan dan hubungan industrial, serta beberapa referensi lain yang membahas masalah hubungan kerja dan ketenagakerjaan. Sedangkan bahan hukum sekunder, berupa keterangan-keterangan yang diperoleh dari keterangan/penjelasan atau hasil wawancara dengan pekerja perempuan selaku obyek penelitian. Kemudian semua bahan hukum tersebut dikumpulkan dan dianalisis dengan menggunakan metode deskriptif, yakni dengan cara memahami dan memaparkan peraturan-peraturan yang berkenaan dengan ketenagakerjaan. Selanjutnya peraturan-peraturan tersebut dipelajari secara sistimatis dan terperinci dan dikaji secara seksama, untuk dapatnya diketemukan konklusinya. D. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 1. Konsepsi Hak Normatif Pekerja Dalam Hukum Ketenagakerjaan Di dalam hubungan industrial yang harmonis, dinamis dan berkeadilan, besar kemungkinan adanya penghormatan yang cukup terhadap hak-hak normatif buruh/pekerja. Pendefinisian secara yuridis formal mengenai hak normatif pekerja, sejauh ini memang tidak dapat diketemukan dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Namun demikian pada substansi beberapa pasal dari undang-undang tersebut, secara tersirat dapat didiskripsikan pemaknaannya. Hak Normatif pekerja adalah hak dasar buruh/pekerja dalam hubungan kerja yang lahir sebagai hasil perjanjian, baik yang berasal dari perjanjian kerja, Peraturan Pemerintah atau Perjanjian Kerja Bersama.1 Hak normatif buruh/pekerja dapat diklasifikasikan atas : Hak yang bersifat ekonomis (seperti: Upah, THR, dan lain-lain) Hak yang bersifat politis (antara lain: membentuk serikat buruh, menjadi atau tidak menjadi anggota serikat buruh, mogok, dan lain-lain)
Syaufii Syamsuddin, Mohd, Hukum Acara Penyelesaian Perselisihan
Hubungan Industrial, Sarana Bhakti Persada, Jakarta, 2005, hlm. 26.
18
ARGUMENTUM, Vol. 12 No. 1, Desember 2012
Hak yang bersifat medis (meliputi keselamatan dan kesehatan
kerja) Hak yang bersifat sosial (antara lain: hak reproduksi). Dari pengklasifikasian tersebut, terlihat jelas bahwa hak reproduksi merupakan salah satu bagian dari hak normatif buruh/ pekerja. Secara umum hak normatif itu sendiri melekat pada setiap diri buruh/pekerja, baik pekerja laki-laki maupun perempuan. Akan tetapi khusus untuk hak reproduksi terhadap pekerja perempuan dipandang perlu adanya perlakuan khusus mengingat dominasi perwujudan hak reproduksi tersebut berada pada kaum perempuan, tidak terkecuali perempuan yang berstatus sebagai pekerja. Dalam pengungkapan makna yang lain, Hak Normatif dapat diartikan sebagai segala sesuatu yang diatur dalam peraturan perundang-undangan, menyangkut hak dan kewajiban kedua belah pihak, yakni pengusaha dan buruh/pekerja, yang jika tidak dilaksanakan akan dikenakan dakwaan pelanggaran dengan diterapkan sanksi terhadap masing-masing pihak.S Dengan demikian konsepsi Hak Normatif secara umum hampir dapat dipersamakan dengan konsepsi Hak Asasi Manusia. Hak asasi manusia itu sendiri merupakan hak-hak dasar yang melekat pada diri manusia secara kodrati, universal dan abadi sebagai anugerah TuhanYang Maha Esa, meliputi hak untuk hidup, hak berkeluarga, hak mengembangkan diri, hak keadilan, hak kemerdekaan, hak berkomunikasi, hak keamanan dan hak kesejahteraan , yang oleh karena itu tidak boleh diabaikan atau dirampas. Pemahaman hak asasi manusia Indonesia ini sejalan dengan deklarasi universal hak asasi manusia. 2. Penerapan Hak Reproduksi Pekerja Perempuan Berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
Pengertian Hak Reproduksi dan Kesehatan Reproduksi
Secara harfiah Hak Reproduksi dapat diartikan sebagai hak yang dimiliki oleh setiap individu, baik laki-laki maupun perempuan yang berkaitan dengan keadaan dan keberlangsungan reproduksinya. Hak reproduksi bagi laki-laki maupun perempuan, sebagaimana yang direkomendasikan dari hasil Konferensi Internasional Kependudukan dan Pembangunan (ICPD), terdiri atas dua belas hak, sebagai berikut :
ARGUMENTUM, Vol. 12 No. 1, Desember 2012
19
Hak untuk mendapatkan informasi pendidikan kesehatan
reproduksi Hak mendapatkan pelayanan dan perlindungan kesehatan reproduksi Hak untuk kebebasan berpikir tentang kesehatan reproduksi Hak untuk menentukan jumlah anak dan kelahiran Hak untuk hidup (Hak dilindungi dari kematian karena kehamilan dan proses melahirkan) Hak atas kebebasan dan keamanan berkaitan dengan kehidupan reproduksi Hak untuk bebas dari penganiayaan dan perlakuan buruk, termasuk perlindungan dari perkosaan, kekerasan, penyiksaan dan pelecehan seksual Hak untuk mendapatkan manfaat dari kemajuan ilmu pengetahuan yang terkait dengan kesehatan reproduksi Hak atas kerahasiaan pribadi dengan kehidupan reproduksinya Hak membangun dan merencanakan keluarga Hak kebebasan berkumpul dan berpartisipasi dalam politik yang berkaitan dengan kesehatan reproduksi. Hak untuk bebas dari segala bentuk diskriminasi dalam kehidupan berkeluarga dan kehidupan reproduksi Kesehatan kaum perempuan, terutama kesehatan reproduksinya merupakan sesuatu hal yang sangat penting, karena hal tersebut tidak hanya sangat mempengaruhi perempuan yang bersangkutan, akan tetapi juga keluarganya bahkan lingkungannya .Namun sayang masih banyak perempuan yang belum menyadari akan hal itu, apa saja yang harus dilakukan untuk merawatnya, serta pilihan-pilihan apa saja yang dapat diambilnya menyangkut kesehatan reproduksi ini.2 Definisi tentang arti kesehatan reproduksi yang telah diterima secara internasional yaitu : keadaan fisik, mental, dan sosial yang utuh dalam segala hal yang berkaitan dengan sistem, fungsi-fungsi dan proses reproduksi. Selain itu juga mencakup hak produksi yang didasarkan pada pengakuan hak asasi manusia bagi setiap pasangan atau individu untuk menentukan secara bebas dan
August Burns A. et al, Memelihara Kesehatan Reproduksi Perempuan
Sejak Dini, INSISTPress, Yogyakarta, 2009, hlm. V.
20
ARGUMENTUM, Vol. 12 No. 1, Desember 2012
bertanggungjawab mengenai jumlah anak, jarak kelahiran anak, dan
menentukan kelahiran anak mereka.3 Jangkauan kesehatan reproduksi dalam hal ini lebih luas lagi, yaitu upaya mencapai tingkat keamanan ibu dan anak dalam proses kehamilan, proses persalinan dan nifas. Termasuk pula masalah infertilitas dan endokrinologi reproduksi, antara lain tumor atau keganasan pada perempuan, khususnya yang berkaitan dengan organ-organ reproduksi, yakni uterus (rahim), ovarium (indung telur) dan vagina, serta Sexual Transmited Disease (penyakit akibat hubungan seks). Berdasarkan Konferensi Wanita se Dunia ke IV di Beijing pada tahun 1995 serta Konferensi Kependudukan dan Pembangunan di Kairo tahun 1994, telah disepakati perihal hak-hak reproduksi tersebut. Dalam hal ini dapat disimpulkan bahwa terdapat empat hal pokok dalam reproduksi perempuan, yaitu : Kesehatan reproduksi dan seksual (reproductive and sexual health) Penentuan dalam keputusan reproduksi (reproductive decision making) Kesetaraan pria dan wanita (equality for men and women) Keamanan reproduksi dan seksual (sexual and reproductive security). Di Indonesia, perhatian terhadap kesehatan perempuan secara umum, belum tercukupi dengan optimal. Terdapat beberapa indikator permasalahan yang melatarbelakangi terjadinya keadaan tersebut, antara lain : Gender, Kemiskinan, Pendidikan yang rendah, Perkawinan dini, Kekurangan gizi dan kesehatan yang buruk serta Beban kerja yang berat. Menurut informasi dari berbagai penelitian yang pernah dilakukan di dunia, rata-rata perempuan bekerja tiga jam lebih lama dari laki-laki. Akibatnya perempuan mempunyai sedikit waktu istirahat yang dapat mengakibatkan terjadinya kelelahan kronis, stres dan sebagainya. Kesehatan perempuan tidak hanya dipengaruhi oleh waktu kerja, tetapi juga jenis pekerjaan yang berat, kotor dan monoton bahkan membahayakan. Peran gender yang menganggap status perempuan rendah, berakumulasi dengan indikator-indikator lain, seperti kemiskinan, pendidikan, kawin 3
Daru Wijayanti, Fakta Penting Seputar Kesehatan Reproduksi Wanita,
BOOKS MARKS, Jogyakarta, 2009, hlm.1
ARGUMENTUM, Vol. 12 No. 1, Desember 2012
21
muda dan beban kerja yang berat mengakibatkan perempuan
kekurangan waktu, juga kekurangan informasi untuk memperhatikan kesehatan reproduksinya. Eksistensi Hak Reproduksi Pekerja Perempuan Secara kodrati perempuan memiliki peran dan fungsi sosial yang berbeda dengan laki-laki. Perempuan mempunyai fungsi reproduksi sebagai salah satu fungsi sosial dalam konsepsi hak normatif, yang memberi warna pada kehidupan keluarga, masyarakat bahkan kelangsungan kehidupan bangsa. Oleh karena itu di dalam hubungan kerja kodrat perempuan itu dilindungi. Bentuk-bentuk perlindungan dimaksud berupa pemberian istirahat haid, menikah, melahirkan dan gugur kandungan serta kesempatan menyusukan anak. Menikah, hamil dan mempunyai anak adalah impian dan keinginan kaum perempuan pada umumnya. Dalam kapasitas perempuan sebagai pekerja, dirinya akan terkait dengan berbagai macam aturan di perusahaan tempat dirinya bekerja. Penundaan untuk menikah ataupun penundaan untuk mempunyai anak terkadang menjadi salah satu aturan yang harus dipatuhi oleh tenaga kerja perempuan bila hendak bekerja di suatu perusahaan. Persyaratan yang demikian tentu akan menghadapkan perempuan pada dua sisi kepentingan yang saling berkaitan. Andriana dkk, dalam bukunya yang berjudul Hak-hak Reproduksi Perempuan Yang Terpasung, menyatakan bahwa masalah hak-hak perempuan bukan pokok yang mudah untuk diteliti. Istilah yang sangat konseptual itu harus dioperasionalisasikan melalui gejala-gejala yang konkrit, spesifik dan yang dapat diamati. Menurutnya masalah-masalah hak perempuan lebih khusus lagi hak-hak reproduksi perempuan harus dipandang dalam kaitannya dengan peran, posisi, status, nilai serta posisi tawar perempuan dalam hubungan dengan pihak lain. Mereka mengambil kesimpulan bahwa perempuan Indonesia telah diposisikan secara tidak menguntungkan dalam masyarakat Social Entitlement terhadap integritas tubuh mereka, bukan saja sering diabaikan melainkan boleh jadi tidak terfikirkan oleh Negara, masyarakat atau oleh perempuan itu sendiri.4
Andriana, et al, Hak-Hak Reproduksi Perempuan Yang Terpasung,
Ghalia Indonesia, Jakarta, 1988. hlm.15
22
ARGUMENTUM, Vol. 12 No. 1, Desember 2012
Dalam UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
tidak terdapat Bab yang secara khusus mengatur tentang hak reproduksi bagi perempuan pada umumnya ataupun hak reproduksi bagi pekerja perempuan pada khususnya. Namun di beberapa pasal pada UU No. 13 Tahun 2003 tersebut tersirat adanya pengaturan tentang hak yang dapat dianalogikan sebagai hak reproduksi, antara lain pada : Pasal 76 ayat (2): Pengusaha dilarang mempekerjakan pekerja/buruh perempuan hamil yang menurut keterangan dokter berbahaya bagi kesehatan dan keselamatan kandungannya maupun dirinya apabila bekerja antara pukul 23.00 sampai dengan pukul 07.00. Pasal 76 ayat (3): Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh perempuan antara pukul 23.00 sampai dengan pkul 07.00 wajib memberikan makanan dan minuman bergizi serta menjaga kesusilaan dan keamanan kerja di tempat kerja. Pasal 81 ayat (1): Pekerja/buruh perempuan yang dalam masa haid merasakan sakit dan memberitahukan kepada pengusaha, tidak wajib bekerja pada hari pertama dan kedua pada waktu haid. Pasal 82 ayat (1): Pekerja/buruh perempuan berhak memperoleh istirahat selama 1,5 (satu setengah) bulan sebelum saatnya melahirkan anak dan 1,5 (satu setengah) bulan setelah melahirkan menurut perhitungan dokter kandungan atau bidan. Pasal 82 ayat (2): Pekerja/buruh perempuan yang mengalami keguguran kandungan berhak memperoleh istirahat 1,5 (satu setengah) bulan atau sesuai dengan surat keterangan dokter kandungan atau bidan. Pasal 83: Pekerja/buruh perempuan yang anaknya masih menyusu harus diberi kesempatan sepatutnya untuk menyusui anaknya jika hal itu harus dilakukan selama waktu kerja. Pasal 153 ayat (1) huruf d: Pengusaha dilarang melakukan pemutusan hubungan kerja dengan alasan pekerja/buruh menikah. Pasal 153 ayat (1) huruf e: Pengusaha dilarang melakukan pemutusan hubungan kerja dengan alasan pekerja/buruh perempuan hamil, melahirkan, gugur kandungan, atau menyusui bayinya.
ARGUMENTUM, Vol. 12 No. 1, Desember 2012
23
Pengaturan berbagai macam hak reproduksi pekerja
perempuan yang tersirat pada beberapa pasal dalam UU Nomor 13 Tahun 2003 tersebut, terkait penerapannya sangat bergantung pada itikad dan komitmen perusahaan untuk mematuhi, mengingat hubungan yang terjadi antara perusahaan dengan buruh/pekerja, dituangkan dalam sebuah perjanjian kerja yang mengikat keduanya. Di samping itu harus pula diingat bahwa setiap pelanggaran terhadap isi undang-undang akan dikenakan sanksi. Guna mengeliminasi terjadinya perselisihan antara pengusaha dengan buruh/pekerja, diperlukan peran negara untuk melakukan pengawasan dan penertiban, dalam hal ini kewenangan tersebut didelegasikan kepada Dinas Tenaga Kerja, yang berkedudukan hukum di wilayah kerja masing-masing. Terlepas dari upaya-upaya optimalisasi pengawasan dan penertiban, sebuah kesadaran yang harus terus menerus disampaikan kepada buruh/pekerja bahwa dalam memperjuangkan hak-hak tersebut buruh/pekerja tidak bisa seorang diri melakukannya, dan harus pula disadarkan bahwa kebutuhan akan adanya alat perjuangan bernama Serikat Buruh menjadi mutlak adanya. Tentunya yang dibutuhkan adalah sebuah Serikat Buruh yang ditopang kekuatan partisipasi seluruh anggotanya. 3. Perlindungan Hukum Hak Reproduksi Pekerja Perempuan Dalam Hubungan Kerja Pada Konsideran Menimbang huruf d UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan disebutkan bahwa: Perlindungan terhadap tenaga kerja dimaksudkan untuk menjamin hak-hak dasar buruh/pekerja dan keluarganya dengan tetap memperhatikan perkembangan kemajuan dunia usaha. Tujuan perlindungan terhadap tenaga kerja antara lain dimaksudkan untuk menjamin hak-hak dasar pekerja dan menjamin kesamaan kesempatan serta perlakuan tanpa diskriminasi untuk mewujudkan kesejahteraan pekerja dan keluarganya, dengan tetap memperhatikan perkembangan kemajuan dunia usaha. Disamping itu perkembangan dimaksud, ditujukan pula untuk meningkatkan harkat, martabat dan harga diri tenaga kerja, guna mewujudkan masyarakat sejahtera lahir dan bathin. Dengan terpenuhinya hakhak dan perlindungan dasar bagi semua tenaga kerja, pada saat yang bersamaan dapat mewujudkan kondisi yang kondusif bagi pengembanagn dunia usaha.
24
ARGUMENTUM, Vol. 12 No. 1, Desember 2012
Berkaitan dengan bentuk-bentuk perlindungan terhadap
tenaga kerja, maka sifat peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan yang berkenaan dengan perlindungan terhadap pekerja perempuan, dapat dikelompokkan menjadi tiga kategori kebijakan, yaitu diarahkan pada : perlindungan fungsi reproduksi perlindungan peran serta perempuan dalam lapangan kerja perlindungan persamaan perlakuan sosial dalam hubungan kerja.5 Pengaturan terhadap pekerja perempuan terus berkembang, khususnya dalam memberikan perlindungan terhadap peran serta perempuan dalam kehidupan sosial, di dalam hubungan kerja. Bentuk-bentuk perlindungan yang pernah diberikan berupa larangan mempekerjakan perempuan pada malam hari, bekerja di dalam tambang, dan larangan dilakukan PHK dengan alasan pekerja perempuan menikah, hamil atau bersalin. Dalam pelaksanaan perlindungan fungsi keibuan atau kodrat perempuan, banyak pekerja perempuan yang tidak mudah memperoleh dan menikmatinya, seperti pelaksanaan cuti haid, cuti hamil dan/atau bersalin dengan tetap mendapatkan upah sebagaimana mestinya. Oleh karena itu perlindungan terhadap pekerja perempuan sangat urgen dilakukan, terutama perlindungan terhadap fungsi reproduksinya. 3.1. Istirahat Haid Haid adalah mekanisme alam atau siklus biologis kaum perempuan yang mengakibatkan terjadinya pergantian dan pembaharuan darah pada perempuan, dan pembaharuan sel-sel darah ini menentukan kualitas tubuh perempuan. Oleh karena darah sedang dalam perbaikan maka perempuan membutuhkan energi yang lebih. Pada fase ini tidak jarang membuat suasana kejiwaan perempuan labil atau kesehatannya menurun, sehingga sangat diperlukan istirahat bagi tubuh perempuan dalam masa haid, khususnya hari pertama dan kedua. Dalam UU No. 1 Tahun 1951, sebagai salah satu undangundang ketenagakerjaan yang pernah berlaku sebelumnya, disebutkan bahwa pekerja perempuan tidak boleh diwajibkan bekerja pada hari pertama dan kedua waktu haid. Pengusaha 5
Syaufii Syamsuddin, Mohd, 0p. cit. hlm. 81
ARGUMENTUM, Vol. 12 No. 1, Desember 2012
25
diwajibkan memberikan waktu istirahat dengan tetap mendapatkan
upah.6 Istirahat haid diberikan untuk menjaga kesehatan pekerja perempuan, oleh karena itu istirahat tersebut harus diambil secara fisik agar kesehatan tenaga kerja perempuan benar-benar pulih, dan penggantian istirahad haid dengan uang tidak diperbolehkan. Akan tetapi seringkali pekerja perempuan tidak menyadari pentingnya cuti haid dari sisi biologis dan aturan. Hal ini lebih dikarenakan kondisi ekonomi dan tuntutan sosial yang membuat perempuan abai atau kurang peduli pada dirinya sendiri, atau karena ketidaktahuan terhadap adanya aturan tentang cuti haid. Sementara disisi lain, negara dan aparaturnya, lalai terhadap kewajibannya melindungi kaum perempuan dari keterasingan pada tubuh dan dunia perempuan sendiri.. Kondisi yang juga memperburuk adalah ketika tidak adanya niat dari pengusaha atas perlindungan terhadap pekerja perempuan melalui cuti haid. Padahal, secara tegas diatur oleh UU No. 13 Tahun 2003 yang notabene menggantikan undang-undang sebelumnya, dengan penambahan klausul bahwa apabila karena haid itu pekerja perempuan merasakan sakit, harus memberitahu perusahaan sesuai dengan tatacara yang diatur dalam Peraturan Pemerintah atau dalam Perjanjian Kerja Bersama dan setelah itu barulah hak istirahat dapat dilaksanakan. Sementara pada prakteknya masih saja terjadi pengabaian terhadap keadaan seperti itu, karena dianggapnya haid adalah hal yang biasa terjadi pada diri perempuan karenanya sangat wajar jika pekerja perempuan tetap bekerja pada saat itu. Bahkan terkadang terjadi suatu kondisi perusahaan mengakumulasi ketidakhadiran pekerja perempuan tersebut dengan besaran upah, yang mengakibatkan berkurangnya penghasilan tenaga kerja yang bersangkutan. Pada kondisi yang demikian biasanya pekerja perempuan pasrah karena memang tidak memiliki posisi tawar yang kuat. Lebih-lebih dengan maraknya status buruh kontrak, outsourcing dan borongan menjadi alasan pula bagi pekerja perempuan untuk tidak berani mengambil cuti haidnya, karena khawatir jika mengambil cuti tersebut maka kontraknya tidak akan diperpanjang ataupun tidak diangkat menjadi pekerja tetap dengan indikasi dianggap terlalu banyak menuntut.
Syaufii Syamsuddin, Mohd, 0p. cit. hlm. 82.
26
ARGUMENTUM, Vol. 12 No. 1, Desember 2012
3.2. Istirahat Melahirkan dan Gugur Kandungan
Dalam UU No. 1 Tahun 1951 tentang Ketenagakerjaan dinyatakan bahwa pekerja perempuan harus diberi istirahat selama satu setengah bulan sebelum melahirkan dan satu setengah bulan setelah melahirkan atau gugur kandungan. Pemberian waktu istirahat bagi pekerja perempuan pada waktu sebelum dan sesudah melahirkan, disertai maksud untuk menjaga kesehatan dan keselamatan jiwa pekerja perempuan tersebut dan anaknya. Namun demikian jika menurut dokter dalam waktu yang telah ditentukan ternyata pekerja perempuan tersebut kondisi kesehatannya tidak memungkinkan, dapat diperpanjang selama-lamanya tiga bulan, sebelum saat pekerja perempuan tersebut melahirkan. Selanjutnya dalam UU No. 13 Tahun 2003 yang menggantikan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1951, selain mengatur hal-hal yang sama dalam ketentuan sebelumnya, ditambahkan pula bahwa waktu istirahat bagi pekerja perempuan yang hamil, bersalin atau gugur kandungan dapat diperpanjang berdasarkan surat keterangan dari dokter kandungan atau bidan, tanpa dibatasi waktunya. Berbeda halnya dengan penerapan aturan istirahat karena haid, untuk penerapan aturan istirahat karena melahirkan hampir semua perusahaan melakukannya, hal ini karena secara kasat mata rata-rata perempuan yang akan dan baru melahirkan mengalami penurunan kondisi kesehatannya, termasuk pula kondisi psikisnya, sehingga perlu adanya waktu istirahat yang cukup, agar terkumpul kekuatan pada diri perempuan untuk menjalani salah satu hak kodratinya tersebut. 3.3. Kesempatan Menyusui Anak Dalam hubungan dengan keberadaan anak, telah dilakukan perlindungan agar anak mendapatkan air susu ibu, mengingat dari sisi kesehatan air susu ibu adalah makanan terbaik untuk anak agar mendapatkan kekebalan tubuh dan gizi yang baik. Untuk itu kepada pekerja perempuan yang masih menyusui harus diberikan kesempatan sepatutnya untuk menyusui anaknya, jika hal itu harus dilakukan selama waktu kerja. Dalam pelaksanaannya, perusahaan yang mempekerjakan pekerja perempuan, dianjurkan untuk menyediakan tempat penitipan anak, sehingga pada saat-saat tertentu pekerja perempuan tersebut dapat menyusukan anaknya.
ARGUMENTUM, Vol. 12 No. 1, Desember 2012
27
Guna menjaga kualitas air susu ibu sebagai makanan bayi
terbaik, maka diminta partisipasi aktif perusahaan untuk membantu dan melaksanakan penanggulangan anemia gizi bagi pekerja perempuan. Langkah konkrit yang dilakukan biasanya perusahaan melalui petugas yang berkompeten melakukan pemeriksaan kesehatan pekerja secara berkala. Fasilitasi yang sama juga perlu diberikan kepada pekerja perempuan yang sedang hamil, melahirkan dan menyusui. E. PENUTUP Dunia kerja menuntut kehadiran para pekerja untuk turut berkiprah di berbagai sektor usaha, baik yang dikelola oleh pemerintah maupun prusahaan-perusahaan swasta. Potensi tenaga kerja yang dibutuhkan bukan saja meliputi tenaga kerja laki-laki, namun mencakup pula tenaga kerja perempuan. Menurut data statistik di Biro Pusat Statistik, pada tahun 2009 jumlah angkatan kerja perempuan sebanyak 40.186.363 juta jiwa, dengan tingkat partisipasi angkatan kerja sebesar 49,52 % dan tingkat pengangguran terbuka sebesar 11,83 %. Dari jumlah total angkatan kerja Indonesia sebanyak 108.131.058 juta jiwa, terdapat perempuan yang bekerja di industri pengolahan saja sebanyak 4.881.687 juta jiwa. Data tersebut menunjukkan betapa besarnya peranan pekerja perempuan dalam turut serta membangun stuktur ketenagakerjaan di Indonesia, sehingga sudah seharusnya menjadi keniscayaan bagi pekerja perempuan untuk memiliki ruang kerja, ruang partisipasi dan penghargaan yang setara dengan pekerja lakilaki. Di Indonesia pengaturan terhadap berbagai macam hak dan kewajiban tenaga kerja tersurat dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, termasuk di dalamnya tersirat adanya hak reproduksi bagi tenaga kerja perempuan, yakni yang tertulis dalam Pasal 76 sampai dengan Pasal 83 dan Pasal 153. Penerapan berbagai macam hak reproduksi pekerja perempuan yang tersirat pada beberapa pasal dalam UndangUndang Nomor 13 Tahun 2003 tersebut, sangat bergantung pada itikad dan komitmen perusahaan untuk mematuhinya, mengingat hubungan yang terjadi antara perusahaan dengan buruh/pekerja, dituangkan dalam sebuah perjanjian kerja yang mengikat keduanya. Pada sisi lain harus pula disadari bahwa apa yang telah disepakati sebagai isi perjanjian kerja mengandung konsekwensi moral dan
28
ARGUMENTUM, Vol. 12 No. 1, Desember 2012
konsekwensi yuridis bagi keduanya sehingga setiap pelanggaran
terhadap isi undang-undang akan dikenakan sanksi. Penghormatan terhadap hak reproduksi pekerja perempuan, secara normatif harus lebih tinggi daripada pekerja laki-laki, karena pekerja perempuan dituntut untuk mampu berlaku arif dalam memainkan perannya sebagai tenaga kerja yang terikat oleh undang-undang ketenagakerjaan dan sebagai sosok perempuan yang terikat dengan kodratinya untuk menjaga dan meneruskan kelangsungan hidupnya. ------DAFTAR PUSTAKA Andriana, dkk, 1988, Hak-Hak Reproduksi Perempuan Yang Terpasung, Ghalia Indonesia, Jakarta Arimbi Heroepoetri dan Nur Amalia, 2000, Pengintegrasian HakHak Asasi Perempuan dan Perspektif Gender, Ghalia Indonesia, Jakarta A.August Burns et al., 2009, Memelihara Kesehatan Reproduksi Perempuan Sejak Dini, Perpustakaan Nasional : Katalog Dalam Terbitan (KDT), Yogyakarta Daru Wijayanti, 2009, Fakta Penting Seputar Kesehatan Reproduksi Wanita, Book Marks, Jogyakarta Hartono, Sunaryati, 1994, Penelitian Hukum di Indonesia Pada Akhir Abad ke-20, Alumni, Bandung Mohd. Syaufi Syamsuddin, 2004, Norma Perlindungan Dalam Hubungan Industrial, Sarana Bhakti Persada, Jakarta Nasir, Moh, 1999, Metode Penelitian, Ghalia Indonesia, Jakarta Peter Mahmud Marzuki, 2005, Penelitian Hukum, Prenada Media Group, Jakarta -----------------, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, Direktorat Jenderal HAM Departeman Hukum dan HAM-RI, Jakarta -----------------, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, Bening, Jogya