Disusun oleh
Oleh :
Kata Pengantar
Puji syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas rahmat dan karuniaNyalah makalah ini dapat terselesaikan. Adapun tujuan penulisan karya ilmiah ini adalah
untik memenuhi tugas mata kuliah Ilmu Hukum pada semester I, di tahun ajaran 2014 dengan
judul Pengertian,Sifat dan Kedudukan UUD 1945 di Indonesia.
Dengan membuat tugas ini saya berharap untuk mampu mengenal tentang hal-hal
yang berkaitan tentang UUD 1945 yang merupakan landasan hokum di Indonesia yang
mungkin hanya segelintir orang yang memahaminya.
Dalam penyelesaian makalah ini, saya banyak mengalami kesulitan, terutama
disebabkan kurangnya ilmu pengetahuan yang penulis miliki. Namun akhirnya makalah ini
dapat terselesaikan. Dan terima kasih penulis ucapkan kepada
Daftar Isi
Judul Makalah ..
Kata Pengantar .
ii
BAB I
Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Sistem demokrasi di Indonesia selalu berkembang seiring berkembangnya
zaman pula. Dari mulai kemerdekaannya hingga zaman pasca reformasi. Setiap rezim
pemerintahan mempunyai karakter kepemimpinan demokrasi tersendiri yang tak
terlepas dari bagaimana keadaan masyarakat pada zamannya. Kebijakan kebijakan
yang berkaitan dengan unsur demokrasi mengenai sudah demokratiskah suatu sistem
politik pemerintahan selalu berubah, terutama dalam hal pemilihan umum.
Akankah
dengan
seperti
ini
demokrasi
di
Indonesia
mengalami
1.4 Metodologi
Adapun metode pembahasan yang penulis gunakan adalah metode komparasi.
Yaitu membandingkan sistem Pilkada pada setiap rezim demokrasi dengan rezim
lainnya. Maka akan kita temukan dinamisasi makna demokrasi dalam Pilkada di
Indonesia. Kemudian apabila kita relevansikan UU mengenai Pilkada sudahkah
memenuhi syarat Demokrasi Konstitusional yang pemerintah dan rakyat gunakan
pada masa ini?
BAB II
Pembahasan
2.1 Perkembangan Demokrasi di Indonesia
Sebelum kita membahas bagaimana demokrasi di Indonesia, perlu dibahas
sekilas esensi dari demokrasi. Demokrasi berasal dari bahasa Yunani (demos) berarti
rakyat, (kratos/kartein) berarti kekuasaan/berkuasa, Demokrasi ialah asal kata
dari govermen by the people yang berarti rakyat berkuasa, secara istilah demokrasi
ialah kekuasaan rakyat dari rakyat untuk rakyat.1
Demokrasi adalah sistem yang pertama kali dipraktekan oleh negara yunani
(abad ke-6 sampai abad ke-3 S.M) yang terdapat di Negara kota (city-state) dengan
tipe, demokrasi langsung (direct demokrasi) yaitu suatu bentuk pemerintahan dimana
hak untuk membuat keputusan-keputusan politik dijalankan secara langsung oleh
seluruh warga negara yang bertindak berdasarkan prosedur mayoritas. sifat langung
dari demokrasi Yunani dapat diselenggaraan secara efektif karna berlangsung dari
kondisi yang sederhana, wilayahnya terbatas (negara terdiri dari kota dan daerah
sekitarnya) serta jumlah penduduk yang sedikit (300.000 penduduk dalam satu
negara-kota), dan ketentuan-ketentuan demokrasi hanya berlaku untuk warga negara
yang resmi yang merupakan bagian kecil saja dari penduduk. Untuk mayoritas yang
terdiri atas budak belian dan pedagang asing demokrasi tidak berlaku. dalam negara
modern demokrasi tidak lagi bersifat langsung, akan tetapi merupakan demokrasi
yang berdasarkan perwakilan (representative democrasi)2
Dalam kacamata islam menurut Yusuf Al-Qordhawi, demokrasi adalah
Wadah Masyarakat untuk memilih sesorang untuk mengurus dan mengatur urusan
mereka. Pimpinanya bukan orang yang mereka benci, peraturannya bukan yang
mereka tidak kehendaki, dan mereka berhak meminta pertanggungjawaban penguasa
jika pemimpin tersebut salah. Merekapun berhak memecatnya jika menyeleweng,
mereka juga tidak boleh dibawa ke sistem ekonomi, sosial, budaya, atau sistem
politik yang tidak mereka kenal dan tidak mereka sukai.3
Meriam boediarjoo, Dasar-dasar ilmu politik, ed. revisi. Jakarta: PT Gramdia Pustaka Utama, 2008,
hlm.,105
2
ibid.,109
3
Yusuf fiqhu daulah fil islam dan fatawa muashiroh
Lihat Amien Rais, Demokrasi dan Proses Politik, dalam Demokrasi dan Proses Politik, Seri Prisma
Jakarta, diterbikan LP3ES, 1986
Oleh karena itu, UUD Sementara tak berlaku lagi dengan segala
konsekuensinya. Maka, sistem pilkada langsung sebagaimana diamanatkan oleh UU
No 1/1957 baru bersifat introduksi dalam pentas politik, mengingat secara empirik
belum dilaksanakan.5
b. Pilkada masa Demokrasi Terpimpin
Setelah Dekrit Presiden 5 Juli 1959, Presiden Sukarno mengeluarkan
Penetapan Presiden Nomor 6 Tahun 1959, mengatur mekanisme dan prosedur
pengangkatan kepala daerah. Dengan demikian, tampak jelas perbedaannya. UU No
1/1957 berlandaskan UUD Sementara dalam sistem negara federal (RIS), sedangkan
Penpres No 6/1959 dikeluarkan berdasarkan UUD 1945 dalam sistem negara
kesatuan (NKRI).
Untuk lebih menguatkan sistem pemilihan kepala daerah agar tidak hanya
berdasarkan Penpres, lahirlah kemudian UU No 18/1965 tentang pokok-pokok
pemerintahan daerah. Dalam undang-undang ini kepala daerah diangkat dan
diberhentikan oleh presiden atau menteri dalam negeri melalui calon-calon yang
diajukan oleh DPRD. Dengan demikian, kedudukan pejabat pusat atas kepala daerah
semakin kuat. Dominasi pemerintah pusat untuk mengendalikan daerah semakin
terlihat ketika kedudukan kepala daerah ditetapkan sebagai pegawai negara yang
pengaturannya berdasarkan peraturan pemerintah.
Konsekuensi dari sistem seperti itu, seorang kepala daerah tidak dapat
diberhentikan oleh suatu keputusan dari DPRD. Pemberhentian kepala daerah
merupakan kewenangan penuh presiden (untuk gubernur) dan menteri dalam negeri
(untuk bupati atau walikota). UU ini kemudian disempurnakan oleh Orde Baru
dengan lahirnya UU No 5 Tahun 1974.
c.
Presiden Soeharto. Kepala daerah diangkat oleh presiden dari calon yang memenuhi syarat
dan diajukan oleh DPRD. Sebenarnya, pada masa itu kepala daerah bukanlah hasil pemilihan
DPRD, mengingat jumlah dukungan suara dalam pencalonan atau urutan pencalonan
tidak menghalangi presiden untuk mengangkat siapa saja di antara para calon yang diajukan
oleh DPRD itu. Sistem ini dimungkinkan sesuai kebutuhan zaman waktu itu, agar pemerintah
pusat mendapatkan gubernur atau bupati yang mampu bekerjasama dengan pemerintah pusat.
Internet : http://tifiacerdikia.wordpress.com/
9
Sri Soemantri, Demokrasi Pancasila dan Implementasi Menurut Undang-undang Dasar 1945,
penerbit Alumni Bandung, 1969. Hal.14
8
Robi Nurhadi, Jurnal POELITIK Vol. 1 No. 1 Tahun 2008, Pilkada Jakarta dan Demokrasi Minimalis,
hal. 3
10
11
seseorang
(calon)
akan
dipecat.
Itu
birokrasi
rusak,
(TribunNews)
12
pengembangan daerah akan lebih lancer karena tidak perlu adanya konflik
antara kepala daerah dengan DPRD. Program pembangunan daerah dan
pengembangannya juga akan lebih berkesinambungan.
5. Meniadakan politikus yang kutu loncat, bahkan memungkinkan memilih
kepala daerah dari kalangan professional murni. Dengan proses pemilihan
melalui DPRD dapat meminimalisir politikus kutu loncat yang pragmatis dan
oportunis yang dalam pemilihan langsung marak dengan pemodal besar
sebagai penyokongnya. Kutu loncat akan mendapat stigma negative sehingga
tidak ada partai yang berminat. Para pemodal juga tidak dapat menjadikan
kepala daerah sebagai boneka.
Kekurangan:
1. Rakyat tidak dapat langsung memilih
Menjadi kekurangan yang terlihat jelas bahwa rakyat tiodak dapat langsung
memilih kepala daerahnya. Apalagi PILKADA langsung ini sudah
berlangsung di masyarakat selama sepuluh tahun. Akan tetapi masyarakat
tetap memilih dalam hal ini wakil wakil mereka. Masyarakat juga akan lebih
jeli
memberikan
suaranya
kepada
calon
wakil
rakyat
dan
partai
pengusungnya. Akan ada penilaian dari masyarakat yang akan membuat partai
berlomba lomba untuk menjadi partai yang bersih dan mengkader sebaik
mungkin
2. Dikhawatirkan DPRD hanya menjadi representasi parpol
Menjadi kekhawatiran kita semaua sebagai rakyat sebuah Negara di tengah
minimnya kepercayaan terhadap partai politik bahwa DPRD yang terpilih
akan mewakili parpolnya bukan menyuarakan kepentingan rakyat sebagai
konstituennya
3. Kepala Daerah hasil kesepakatan partai pendukung
Kepala daerah yang dipilih berdasarkan kesepakatan partai pendukung
dikhawatirkan akan tersandera banyak kepentingan. Apalagi dengan kondisi
bangsa seperti yang ada saat ini dimana masyarakat menilai suaranya hanya
menjadi sampah lima tahunan yang di perebutkan lalu di campakkan
4. Calon yang muncul harus benar benar berkarir dalam birokrasi
Sudah seharusnya pemilihan kepala daerah melalui DPRD memilih calon
berdasarkan kompetensinya dalam birokrasi pemerintahan di daerahnya
13
sehingga jabatan kepala daerah tidak melulu hasil karir politik melainkan bisa
melalui jalur karir profesi.
Sebagai masyarakat sudah seharusnya sikap kita adalah mewujudkan
kedamaian dan menjadikan kehidupan berbangsa dan bernegara aman dan nyaman.
Menurut Prof. Jimly Ashidiqi bahwa proses pemilihan kepala daerah baik langsung
maupun tidak langsung adalah sama sama merupakan proses demokrasi. Bangsa
kita memang terlalu beranekaragam sehingga kita perlu merumuskan demokrasi yang
sesuai dengan karakter bangsa. Di amerika struktur masyarakatnya sudah terbentuk
secara alami menjadi dua kelompok besar, kalangan produsen dan pemerintah di
partai republik sedangkan buruh dan petani di partai demokrat. Hanya ada dua partai
dan sudah dua setengah abad mereka berdemokrasi tanpa ada keributan
berkepanjangan. Begitu petikan pidatonya di selingan acara di gedung manggala
departemen kehutanan.
Prof. BJ. Habibie menggaris bawahi pemilihan langsung dengan masih
banyaknya PR besar agar demokrasi berjalan dengan baik, tidak ada money politic,
pencitraan palsu dan membohongi masyarakat. Bagi habibie Negara yang nyaman
dan sejahtera adalah setiap masyarakat dapat hidup layak dan tidur dengan tenang.
Bagi saya nyaman dan sejahtera bukanlah jalan jalan yang halus, pembangunan
yang baik. Bukan itu, bagi saya nyaman dan sejahtera adalah ketika saya menjadi
kakek saya dapat tidur dengan tenang karena anak saya mendapat pekerjaan dengan
mudah, cucu saya dapat makan dan sekolah dengan layak tukasnya dengan
semangat.
RUU Pilkada yang telah di tetapkan menjadi undang undang harus kita
maknai sebagai usaha mendapatkan solusi penerapan demokrasi yang sesuai dengan
Identitas kita sebagai bangsa, sesuai dengan keragaman kita dan menemukan konsep
demokrasi yang lebih baik. Tidak ada lagi kepala daerah yang terjerat kasus korupsi,
mengurangi pengaruh asing dan kebangkitan kita menjadi Negara maju. Poin
terpenting adalah jangan sampai pro kontra undang undang pilkada menjadi
pemecah bangsa yang merusak kenyamanan di masyarakat terlebih apabila ini hanya
di jadikan bahan pertarungan politik ataupun politik pencitraan.9
14
BAB III
Penutup
3.1 Kesimpulan
Pada dasarnya, demokrasi konstitusional telah diterapkan dalam Pemilu Calon
Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat secara keseluruhan. Adapun dalam Pilkada,
makna demokrasi konstitusional semakin kita temukan dengan melihat kutipan
keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) setelah ada pengaduan tentang hasil sidang
DPR yang memutuskan bahwa Pilkada akan diselenggarakan melalui DPRD.
Berikut bunyi pertimbangan hukum MK poin 3.12.3 dalam salinan putusan MK:
Pemilihan kepala daerah tidak diatur dalam Pasal 22E UUD 1945 akan
tetapi diatur secara khusus dalam Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 yang menyatakan,
"Gubernur, Bupati, dan walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah
provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis." Menurut Mahkamah,
makna frasa "dipilih secara demokratis", baik menurut original intent maupun dalam
berbagai putusan Mahkamah sebelumnya dapat dilakukan baik pemilihan secara
langsung oleh rakyat maupun oleh DPRD.
Lahirnya kata demokratis dalam Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 pada saat
dilakukan perubahan UUD 1945 terdapat adanya 2 (dua) pendapat yang berbeda
mengenai cara pemilihan kepala daerah. Satu pendapat menghendaki pemilihan
kepala daerah dilakukan secara langsung oleh rakyat maupun oleh DPRD sementara
pendapat lain menghendaki tidak dilakukan secara langsung oleh rakyat. Latar
belakang pemikiran lahirnya rumusan Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 saat itu adalah
sistem pemilihan Kepala Daerah yang akan diterapkan disesuaikan dengan
perkembangan masyarakat dan kondisi di setiap daerah yang bersangkutan.
Pembentuk Undang-Undang dapat merumuskan sistem pemilihan yang
dikehendaki oleh masyarakat di dalam pemilihan Kepala Daerah sehingga
masyarakat mempunyai pilihan apakah akan menerapkan sistem perwakilan yang
dilakukan oleh DPRD atau melalui sistem pemilihan secara langsung oleh rakyat.
Tujuannya adalah agar menyesuaikan dengan dinamika perkembangan bangsa untuk
menentukan sistem demokrasi yang dikehendaki oleh rakyat. Hal ini merupakan
opened legal policy dari pembentuk Undang-Undang dan juga terkait erat dengan
penghormatan dan perlindungan konstitusi terhadap keragaman adat istiadat dan
budaya masyarakat di berbagai daerah yang berbeda-beda. Ada daerah yang lebih
cenderung untuk menerapkan sistem pemilihan tidak langsung oleh rakyat dan ada
15
pula daerah yang cenderung dan lebih siap dengan sistem pemilihan langsung oleh
rakyat. Baik sistem pemilihan secara langsung (demokrasi langsung) maupun sistem
pemilihan secara tidak langsung (demokrasi perwakilan) sama-sama masuk kategori
sistem yang demokratis.
Berdasarkan dua pandangan itulah kemudian disepakati menggunakan kata
demokratis dalam Pasal 18 ayat (4) UUD 1945. Oleh karena pemilihan kepala
daerah diatur dalam Pasal 18 UUD 1945 yang masuk pada rezim pemerintahan
daerah adalah tepat Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah (UU 32/2004) mengatur juga mengenai pemilihan kepada daerah dan
penyelesaian perselisihannya diajukan ke Mahkamah Agung. Walaupun Mahkamah
tidak menutup kemungkinan pemilihan kepala daerah diatur dalam Undang-Undang
tersendiri, tetapi pemilihan kepala daerah tidak masuk rezim pemilihan umum
sebagaimana dimaksud Pasal 22E UUD 1945.
Pembentuk Undang-Undang berwenang untuk menentukan apakah pemilihan
kepala daerah dilakukan secara langsung oleh rakyat atau dipilih oleh DPRD atau
model pemilihan lainnya yang demokratis. Jika berdasarkan kewenangannya,
pembentuk Undang-Undang menentukan pemilihan kepala daerah dilakukan oleh
DPRD maka tidak relevan kewenangan Mahkamah Agung atau Mahkamah
Konstitusi untuk mengadili perselisihan hasil pemilihan kepala daerah. Hal itu
membuktikan pula bahwa memang pemilihan kepala daerah itu bukanlah pemilihan
umum sebagaimana dimaksud Pasal 22E UUD 1945. Demikian juga halnya
walaupun pembentuk Undang-Undang menentukan bahwa pemilihan kepala daerah
dilakukan secara langsung oleh rakyat, tidak serta merta penyelesaian perselisihan
hasil pemilihan kepala daerah harus dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi. Logika
demikian semakin memperoleh alasan yang kuat ketika pemilihan kepala desa yang
dilakukan secara langsung oleh rakyat tidak serta merta dimaknai sebagai pemilihan
umum yang penyelesaian atas perselisihan hasilnya dilakukan oleh Mahkamah
Konstitusi.10
16
Pilkada sejak era Orde Lama hingga pasca Reformasi, dan dengan melihat kelebihan
dan kekurangan yang ada dari setiap sistem penyelenggaran Pilkada pada akhirnya
sesuai dengan undang-undang yang tertulis Konstitusi bahwa pelaksanaan Pilkada
secara langsung ataupun melalui DPRD tidaklah menyalahi konstitusi Negara. Justru
kita semakin peduli dengan konstitusi dan benar benar menerapkan demokrasi
konstitusional yang berlaku setelah era reformasi. Itu karena semua perkara
pemerintahan di Negara kita kembalikan kepada konstitusi nasional.
17
Daftar Pustaka
Ahmad Soleh, Kebijakan Publik Kammi Jakarta, CIDES CAMPUS
Al-Qardhawi, Yusuf, Fiqhu Daulah Fil Islam Dan Fatawa Muashiroh, Penerbit : Ariij,
1997
Boediarjo, Meriam, Dasar-dasar ilmu politik, ed. revisi. Jakarta: PT Gramdia Pustaka Utama,
2008
Internet : Oleh Harmoko, http://poskotanews.com/2014/09/29/sejarah-pilkada/ diakses
tanggal 19 Oktober 2014
18