Anda di halaman 1dari 8

LAPORAN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI TERPADU

(FA 4142)
PERCOBAAN XI
SKRINING FARMAKOLOGI
Hari Praktikum
Tanggal Praktikum
Tanggal Pengumpulan
Asisten

: Rabu
: 19 November 2014
: 26 November 2014
:

Disusun oleh Kelompok X :


Irene Surya Soraya

10711027

Ahmad Fauzi Nugraha

10711033

Martha Netta

10711054

Ruchyana Fitri

10711111

Nadila N. Atika

10711117

Rina Fauziah

10711119

LABORATORIUM FARMAKOLOGI DAN TOKSIKOLOGI


PROGRAM STUDI SAINS DAN TEKNOLOGI FARMASI
SEKOLAH FARMASI
INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG
2014
1

PERCOBAAN XI
SKRINING FARMAKOLOGI

I.

Tujuan Percobaan
1. Menentukan nama obat dan golongan senyawa obat yang digunakan dalam percobaan

II.

Prinsip Dasar
Skrining farmakologi terhadap obat atau senyawa baru ditujukan untuk
memperoleh gambaran yang jelas mengenai aktivitas kerja farmakologi dari obat atau
senyawa tersebut. Program skrining meliputi serangkaian pengamatan dan evaluasi hasilhasil pengamatan. Dalam pengembangan obat baru, perlu dilakukan tahapan uji praklinis
dan uji klinis. Tahapan uji praklinis dilakukan pada hewan percobaan, sedangkan untuk
uji klinis dilakukan pada manusia. Pada umumnya program skrining dimulai dengan
percobaan-percobaan terhadap hewan, dan senyawa-senyawa yang diseleksi berdasarkan
hasil percobaan pada hewan kemudiaan dipastikan khasiatnya pada manusia. Berdasarkan
latar belakang dan tujuan yang ingin dicapai, program skrining dapat bersifat blind
screening, programed screening dan skrining sederhana.

III.

Metodologi
Digunakan tiga ekor mencit dalam percobaan yang telah ditimbang bobot
badannya. Setiap mencit diamati keadaan sebelum diberi obat. Secara intraperitoneal obat
disuntikkan pada masing-masing mencit dengan dosis yang sesuai. Diamati keadaan
hewan setelah diberikan obat. Pengamatan dilakukan pada waktu 0. 0.25 jam, 0.5 jam, 1
jam 1.5 jam. Dari hasil pengamatan dianalisis kemungkinan obat yang telah disuntikkan
sehingga menimbulkan efek seperti yang teramati.

IV.

Hasil Percobaan
Data pengamatan percobaan terlampir.

V.

Pembahasan
Skrining obat meliputi proses scanning dan evaluasi. Scanning ini meliputi suatu
uji / serangkain uji yang akan mendeteksi aktivitas fisiologi obat tersebut. Uji-uji yang

dijelaskan pada skrining ini dibuat untuk mendeteksi secara cepat aktivitas obat. Untuk
aktivitas yang lebih spesifik, diperlukan uji yang lebih spesifik untuk aktivitas tertentu.
Ada 3 jenis skrining untuk bahan-bahan farmasi. Perbedaannya terletak pada
perbedaan tujuan dari skrining tersebut.

Skrining Sederhana
Skrining sederhana dilakukan untuk zat yang telah diketahui sifatnya/efeknya.
Tidak perlu dilakukan serangkaian uji yang interpretasinya berhubungan antara
suatu uji dengan uji yang lain. Misalnya pengujian konsentrasi gula dalam darah
digunakan untuk melakukan skrining terhadap senyawa yang memiliki aktivitas
hipoglikemia. Permasalahan yang dihadapi adalah mencari metode yang cocok,
akurat, dan murah untuk pengujian ini.

Blind Screening
Jika terdapat sejumlah senyawa kimia baru, baik itu yang didapatkan dari bahan
alam atau sintesis, kemungkinan belum ada informasi aktivitas farmakologinya.
Blind screening dilakukan untuk memberikan petunjuk terhadap potensi
aktivitasnya, minimal golongan aktivitas senyawa tersebut. Selain itu, blind
screening juga bertujuan untuk menunjukkan apakah kelompok senyawa baru
ini layak untuk dilanjutkan pengujiannya, atau menentukan dari kelompok
senyawa tersebut, senyawa mana yang memiliki efek farmakologi yang paling
menarik.
Blind screening, teknik untuk mendeteksi aktivitas farmakologi golongan
senyawa tanpa sejarah farmakologinya, memerlukan perencanaan yang tepat
agar uji yang dilakukan efektif dan efisien. Meskipun memilih prosedur yang
sederhana, hasil yang diharapkan tetap harus memenuhi standar uji yang
dilakukan.

Programmed Screening
Dalam pencarian obat baru atau penelitian efek farmakologi sekelompok
senyawa (misal yang berefek ke organ hati), diperlukan perencanaan uji yang
memerlukan informasi terhadap uji apa saja yang dapat dilakukan terhadap
senyawa tersebut. Skrining ini memiliki tujuan yang lebih terbatas daripada
3

blind screening dan biasanya memberikan hasil yang lebih presisi. Perencanaan
ini juga menentukan indikasi dari kemungkinan efek samping dan ini membantu
dalam penelitian informasi farmakologi secara detail dari senyawa tersebut.
Percobaan dilakukan dengan mengamati perilaku mencit terlebih dahulu sebelum
diinjeksikan obat yaitu sebagai kontrol negatif. Pada waktu ke-0, mencit 1 menunjukkan
aktivitas motorik yang normal, menunduk ke bawah 5 kali selama 2 menit pada platform,
adanya refleks pineal dan refleks kornea, katalepsi, sikap tubuh normal, dapat
menggelantung,

retablismen,

terjadi

fleksi,

hafner,

grooming,

defekasi,

dan

pernafasannya cepat. Efek yang tidak terjadi yaitu straub, piloereksi, ptosis, lakrimasi,
katalepsi, urinasi, salivasi, vokalisasi, tremor dan writhing. Pada waktu ke-0 belum terlalu
nampak efek obat yang ditimbulkan, belum dapat ditentukan apakah mencit mengalami
gejala dari sistem saraf atau hanya yang sifatnya fisik saja, mencit masih berperilaku
normal. Pada waktu ke-0, mencit 2 juga menunjukkan efek-efek yang sama seperti
mencit 1 kecuali pada mencit 2 sudah mengalami urinasi dan belum mengalami defekasi
sedangkan pada mencit 3 juga menunjukkan efek-efek yang sama seperti mencit 1 dan 2
kecuali mencit 3 belum mengalami defekasi, urinasi, dan grooming.
Pada waktu 15 menit selanjutnya, mencit 1 menunjukkan aktivitas motorik yang
turun, menunduk ke bawah 5 kali selama 2 menit pada platform, dan adanya refleks
kornea, katalepsi, sikap tubuh normal, dapat menggelantung, retablismen, terjadi fleksi,
hafner, urinasi, defekasi, dan pernafasannya normal. Efek yang tidak terjadi yaitu straub,
refleks pineal, piloereksi, grooming, ptosis, lakrimasi, katalepsi, mortalitas. salivasi,
vokalisasi, tremor dan writhing. Pada waktu ke-15 menit, sudah terjadi perubahan
aktivitas mencit 1 seperti urinasi yang cukup banyak. Pada mencit 2 juga menunjukkan
efek-efek yang sama seperti mencit 1, terdapat juga defekasi dan urinasi yang cukup
banyak. Sedangkan pada mencit 3 terjadi urinasi juga tetapi tidak sebanyak pada mencit
2. Efek yang dominan yaitu urinasi.
Pada waktu 30 menit selanjutnya, mencit 1 menunjukkan aktivitas motorik yang
turun, adanya refleks pineal, refleks kornea, katalepsi, sikap tubuh normal, dapat
menggelantung, retablismen, terjadi fleksi, hafner, urinasi dan pernafasannya normal.
Efek yang tidak terjadi yaitu straub, piloereksi, grooming, ptosis, lakrimasi, katalepsi,
4

defekasi, salivasi, vokalisasi, mortalitas, tremor dan writhing. Pada waktu ke-30 menit
terjadi perubahan aktivitas mencit 1 seperti urinasi yang cukup banyak. Sedangkan pada
mencit 2 mengalami defekasi dan urinasi yang cukup banyak. Pada mencit 3 juga
menunjukkan beberapa efek yang sama seperti mencit 1 dan 2, terjadi urinasi yang cukup
banyak. Efek yang dominan yaitu urinasi.
Pada waktu 1 jam selanjutnya, mencit 1 menunjukkan aktivitas motorik yang
normal kembali, adanya refleks pineal, refleks kornea, katalepsi, sikap tubuh normal,
dapat menggelantung, retablismen, terjadi fleksi, hafner, urinasi dan pernafasannya
normal. Efek yang tidak terjadi yaitu straub, piloereksi, grooming, ptosis, lakrimasi,
katalepsi, mortalitas, defekasi, salivasi, vokalisasi, tremor dan writhing. Pada waktu 1
jam terjadi perubahan aktivitas mencit 1 seperti urinasi yang cukup banyak. Pada mencit
2 juga menunjukkan efek-efek yang sama seperti mencit 1, tetapi, pada mencit 2 tidak
mengalami defekasi dan urinasi. Sedangkan pada mencit 3 terjadi defekasi yang cukup
banyak.
Pada waktu 1,5 jam selanjutnya, mencit 1, 2 dan 3 menunjukkan aktivitas motorik
yang turun, adanya menunduk ke bawah 5 kali selama 2 menit pada platform, adanya
refleks pineal, refleks kornea, katalepsi, sikap tubuh normal, dapat menggelantung,
retablismen, terjadi fleksi, hafner, urinasi dan pernafasannya normal. Efek yang tidak
terjadi yaitu straub, piloereksi, grooming, mortalitas, ptosis, lakrimasi, katalepsi,
defekasi, salivasi, vokalisasi, tremor dan writhing. Pada waktu 1,5 jam, mencit 1 tetap
mengalami urinasi tapi jumlahnya lebih sedikit. Pada mencit 2 mengalami defekasi.
Sedangkan mencit 3 terjadi defekasi yang cukup banyak.
Pada pengamatan waktu ke-0 hingga 1,5 jam, efek yang sangat terlihat yaitu
terjadinya urinasi. Frekuensi urinasi yang terjadi di waktu ke-0 hingga 30 menit
kemungkinan cairan dalam tubuh sudah banyak diekskresikan keluar tubuh sehingga
pada waktu berikutnya volume dan frekuensi urinasi menjadi lebih sedikit. Hal ini dapat
terjadi kemungkinan karena tidak dilakukan loading dose pada mencit tersebut, sehingga
pada menuju menit-menit akhir pengamatan mencit tidak lagi mengalami urinasi karena
cairan dalam tubuh sudah banyak yang diekskresi. Terdapat kemungkinan obat
merupakan golongan obat parasimpatomimetik yang memiliki ciri adanya peningkatan
5

salivasi, lakrimasi, urinasi, dan defekasi tetapi pada mencit tersebut hanya menunjukkan
efek urinasi dan ketiga efek lainnya tidak terjadi sehingga obat bukan merupakan
golongan parasimpatomimetik. Pada respon terhadap kontraksi otot maupun saraf mencit
tidak memperlihatkan adanya perubahan, seperti pada retablismen dan menggantung
yang masih lincah, ptosis yang masih baik tidak menunjukkan kelopak mata yang turun
seperti lemas, dan refleks corneal dan pineal juga masih baik pada ketiga mencit tersebut
menunjukkan bukan efek dari obat yang berpengaruh pada sistem saraf. Efek dominan
yang terjadi adalah urinasi. Obat yang memiliki efek urinasi kemungkinan bekerja
sebagai diuretik. Dengan jumlah urinasi yang cukup banyak dan frekuensinya yang cukup
sering kemungkinan obat bekerja diuretik yang bersifat kuat. Diuretik yang sifatnya kuat
bekerja sebagai diuretik loop. Obat yang memungkinkan adalah furosemid.
Diuretik adalah suatu agen obat yang dapat meningkatkan volume urin atau laju aliran urin
dengan cara meningkatkan ekskresi air dan Na+ dengan cara mengurangi absorpsi dari Na
+ dan kadang-kadang Cl- (Natriuresis) dalam filtrat serta digunakan untuk meregulasi volume
atau komposisi cairan tubuh pada beberapa keadaan seperti hipertensi, gagal ginjal, gagal jantung, sirosis
dan sindrom nefrotik.
Berdasarkan aspek mekanisme kerjanya, diuretik dibagi menjadi 2, yaitu:
1.

Aksi langsung pada sel di nefron ginjal

a.

Diuretik loop (Inhibitor symport Na+, K+, 2Cl-)

Diuretik loop adalah diuretik terkuat karena kemampuannya untuk mengekskresikan


Na+ sebanyak 15-25%. Diuretik ini secara selektif menghambat reabsorpsi NaCl dengan cara
menghambat symport Na+, K+, 2Cl- bagian membran luminal pada ansa henle cabang asenden tebal.
Karena efek diuretiknya tidak dibatasi oleh asidosis, seperti pada kasus inhibitor karbonik anhidrase,
diuretik loop adalah salah satu agen diuretik paling efektif yang tersedia. Furosemida, bumetanida,
azosemida, piretanida, dan tripamida termasuk dalam diuretik loop golongan sulfonamida.
b.

Diuretik tiazid adalah diuretik yang bekerja pada tubulus kontortus distal (contohnya,

bendroflumetiazid, hidroklorotiazide) dan diuretik terkait (contohnya, klortaridon,


indapamid, dan metolazon). Golongan tiazid kurang poten terhadap pengobatan pasien hipertensi jika
dibandingkan dengan golongan diuretik loop. Akan tetapi, golongan tiazid lebih dipilih dalam
penanganan kasus hipertensi biasa. Pada penggunaan klinis, golongan tiazid juga dapat

mengurangi resiko stroke dan serangan jantung. Contoh, klortalidon digunakan sebagai obat
antihipertensi baru (ACE inhibitor dan antagonis kalsium).
c.

Antagonis Aldosteron (Diuretik Hemat Kalium)

Diuretik ini mencegah sekresi kalium dengan melawan efek aldosteron pada
tubulus koligen renalis kortikal dan bagian akhir distal. Mekanisme kerja dapat melalui
inhibisi langsung terhadap reseptor mineralokortikoid (contoh obat: spironolakton dan
eplerenon) atau inhibisi terhadap influks Na+ melalui kanal ion di lumen membran
(contoh obat: amilorid dan triamteren).
d.

Inhibitor Karbonik Anhidrase

Asetazolamid merupakan prototipe golngan senyawa diuretik yang kegunaannya


terbatas tetapi berperan penting dalam perkembangan konsep dasar fisiologis dan
farmakologi ginjal
2.

Aksi tidak langsung dengan mengubah komposisi dari filtrat

a.

Diuretik Osmotik

Tubulus kontortus proksimal dan ansa henle cabang desenden sangat permeabel
terhadap air. Agen apapun yang aktif secara osmotik yang difiltrasi glomerulus tapi tidak
direabsorpsi menyebabkan retensi air di segmen ini sehingga menimbulkan diuresis air.
Agen seperti demikian dapat digunakan untuk menurunkan tekanan intrakranial dan
untuk cepat menghilangkan racun ginjal. Manitol adalah prototipe dari diuretik
osmotik.Selain manitol, ada juga gliserin, isosorbid, dan urea.
Furosemida adalah diuretik derivat sulfonamide, yang mempunyai gugus sulfamoil di
posisimeta. Aktivitas diuretik furosemida terutama dengan jalan menghambat absorpsi natrium
danklorida, tidak hanya pada tubulus proksimal dan tubulus distal, tapi juga pada loop of Henle.Tempat
kerja yang spesifik ini menghasilkan efektivitas kerja yang tinggi. Efektivitas kerjafurosemida
ditingkatkan dengan efek vasodilatasi dan penurunan hambatan vaskuler sehinggaakan meningkatkan
aliran darah ke ginjal. Furosemida juga menunjukkan aktivitas menurunkantekanan darah sebagai akibat
penurunan volume plasma.
Bila ditinjau profil farmakokinetiknya, furosemid memiliki kerja pesat, oral dalam
0,5-1 jam dan bertahan 4-6 jam, intravena dalam beberapa menit dan 2,5 jam lamanya
(Tjay, T.H, dan Kirana Rahardja, 2007).

Furosemid merupakan diuretik yang efek utamanya pada pars asendens ansa
henle. Obat-obat yang bekerja di salah satu bagian nefron ini memiliki efektivitas yang
tertinggi dalam memobilisasi Na+ dan Cl- dari tubuh sehingga merupakan diuretik yang
paling efektif dalam meningkatkan volume urin. Hal ini disebabkan karena pars asendens
bertanggung jawab untuk reabsorpsi 25-30% NaCl yang disaring.
VI.

Kesimpulan
1. Obat yang diberikan pada mencit tersebut adalah furosemid yang merupakan golongan
obat diuretik .

VII.

Daftar Pustaka
Guyton AC, Hall JE. Textbook of Medical Physiology: The Body Fluids and Kidneys.
11th Edition. Philadelphia: Elsevier Saunders; 2006. p. 308-10.
Neal, Michael. 2002. Medical Pharmacology at a Glance ed.4th. Oxford: Blackwell
Publishing Company hal. 30-35.
Turner, Robert A. 1965. Screening Methods in Pharmacology. London : Academic Press.
Hal 22-41.

Anda mungkin juga menyukai