Anda di halaman 1dari 18

TUGAS TERSTRUKTUR

FARMASI SOSIAL
GANGGUAN MAKAN PADA REMAJA

DISUSUN OLEH :
KELOMPOK 1
Sartika

(G1F009001)

Harisa Nida

(G1F009011)

Ike Amelia S.

(G1F009021)

Rendi Nurhidayat

(G1F009023)

Galih Priandani

(G1F009029)

Tita Pristi

(G1F009069)

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN
JURUSAN FARMASI
PURWOKERTO
2013

BAB I
PENDAHULUAN

Remaja itu sulit didefinisikan secara mutlak. Oleh karena itu, dicoba untuk
memahami remaja menurut berbagai sudut pandangan, antara lain menurut
hukum, perkembangan fisik, WHO, sosial psikologi, dan pengertian remaja
menurut pandangan masyarakat Indonesia.
1. Remaja menurut hukum
Hubungan dengan hukum, tampaknya hanya undang-undang perkawinan saja
yang mengenal konsep remaja walaupun tidak secara terbuka. Usia minimal
untuk suatu perkawinan menurut undang-undang disebutkan 16 tahun untuk
wanita dan 19 tahun untuk pria (Pasal 7 Undang-Undang No.1/1974 tentang
Perkawinan).
2. Remaja ditinjau dari sudut perkembangan fisik
Ilmu kedokteran dan ilmu-ilmu lain yang terkait, remaja dikenal sebagai suatu
tahap perkembangan fisik dimana alat-alat kelamin manusia mencapai
kematangannya. Masa pematangan fisik ini berjalan kurang lebih 2 tahun dan
biasanya dihitung mulai menstruasi (haid) pertama pada anak wanita atau sejak
anak pria mengalami mimpi basah (mengeluarkan air mani pada waktu tidur)
yang pertama kali. Khusus berkaitan dengan kematangan seksual merangsang
remaja untuk memperoleh kepuasan seksual. Hal ini dapat menimbulkan gejala
onani atau masturbasi. Kartini Kartono (1990) memandang gejala onani ini
sebagai tindakan remaja yang negatif, karena gejala ini merupakan usaha untuk
mendapatkan kepuasan seksual yang semu (penodaan diri).
3. Batasan remaja menurut WHO
Remaja adalah suatu masa pertumbuhan dan perkembangan dimana:
a. Individu berkembang dari saat pertama kali ia menunjukkan tanda-tanda
seksual sekundernya sampai saat ia mencapai kematangan seksual.
b. Individu mengalami perkembangan psikologi dan pola identifikasi dari
kanak-kanak menjadi dewasa.

c. Terjadi peralihan dari ketergantungan sosial-ekonomi yang penuh kepada


keadaan yang relatif lebih mandiri (Muangman, 1991).
WHO menetapkan batas usia 19-20 tahun sebagai batasan usia remaja. WHO
menyatakan walaupun definisi di atas terutama didasarkan pada usia kesuburan
wanita, batasan tersebut berlaku juga untuk remaja pria, dan WHO membagi
kurun usia dalam 2 bagian yaitu remaja awal 10-14 tahun dan remaja akhir 1520 tahun. PBB sendiri menetapkan usia 15-24 tahun sebagai usia pemuda
(youth) dalam rangka keputusan mereka untuk menetapkan tahun 1985 sebagai
Tahun Pemuda Internasional.
4. Remaja Ditinjau dari Faktor Sosial Psikologis
Salah satu ciri remaja di samping tanda-tanda seksualnya adalah:
Perkembangan psikologis dan pada identifikasi dari kanak-kanak menjadi
dewasa. Puncak perkembangan jiwa itu ditandai dengan adanya proses
perubahan dari kondisi entropy ke kondisi negentropy (Sarlito, 1991).
a. Entropy adalah keadaan dimana kesadaran manusia masih belum tersusun
rapi. Walaupun isinya sudah banyak (pengetahuan, perasaan, dan
sebagainya), namun isi-isi tersebut belum saling terkait dengan baik,
sehingga belum bisa berfungsi secara maksimal. Isi kesadaran masih saling
bertentangan, saling tidak berhubungan sehingga mengurangi kerjanya dan
menimbulkan pengalaman yang kurang menyenangkan buat orang yang
bersangkutan.
b. Negentropy adalah keadaan dimana isi kesadaran tersusun dengan baik,
pengetahuan yang satu terkait dengan perasaan atau sikap. Orang dalam
keadaan negentropy ini merasa dirinya sebagai kesatuan yang utuh dan bisa
bertindak dengan tujuan yang jelas, ia tidak perlu dibimbing lagi untuk bisa
mempunyai tanggung jawab dan semangat kerja yang tinggi.
5. Definisi remaja untuk masyarakat Indonesia
Menurut Sarlito (1991), tidak ada profil remaja Indonesia yang seragam dan
berlaku secara nasional. Masalahnya adalah karena Indonesia terdiri dari
berbagai macam suku, adat dan tingkatan sosial-ekonomi, maupun pendidikan.
Sebagai pedoman umum untuk remaja Indonesia dapat digunakan batasan usia

11-24 tahun dan belum menikah. Pertimbangan-pertimbangannya adalah


sebagai berikut:
a. Usia 11 tahun adalah usia dimana pada umumnya tanda-tanda seksual
sekunder mulai tampak (kriteria fisik).
b. Di banyak masyarakat Indonesia, usia 11 tahun sudah dianggap akil balik,
baik menurut adat maupun agama, sehingga masyarakat tidak lagi
mempermalukan mereka sebagai anak-anak (kriteria sosial).
c. Pada usia tersebut mulai ada tanda-tanda penyempurnaan perkembangan
jiwa seperti tercapainya identitas diri, tercapainya fase genital dari
perkembangan kognitif maupun moral.
d. Batas usia 24 tahun merupakan batas maksimal, yaitu untuk memberi
peluang

bagi

mereka

yang

sampai

batas

usia

tersebut

masih

menggantungkan diri pada orang lain, belum mempunyai hak-hak penuh


sebagai orang dewasa (secara tradisi).
e. Status perkawinan sangat menentukan, karena arti perkawinan masih sangat
penting di masyarakat Indonesia secara menyeluruh. Seorang yang sudah
menikah pada usia berapa pun dianggap dan diperlakukan sebagai orang
dewasa penuh, baik secara hukum maupun dalam kehidupan masyarakat
dan keluarga.

BAB II
PEMBAHASAN

A. Pertumbuhan dan Perkembangan Remaja


Tahapan tumbuh kembang remaja merupakan variasi yang besar akan
tetapi setiap remaja akan melalui suatu karakteristik growth spurt yang
merupakan tahapan dari tumbuh kembangnya yang memiliki ciri khas
masing-masing remaja (Zanden, 1995).

Adapun karakteristik remaja yang

sangat menonjol adalah :


1. Pertumbuhan berat dan tinggi badan mengalami akselerasi, sangat cepat
setelah masa bayi
2. Waktu, lama dan intensitas pertumbuhan bervariasi antar individu
3. Wanita mulai lebih awal (10-13, puncak 12-13), pria 12-16, puncak 15-16
4. Intensitas pertumbuhan pada pria lebih cepat dari pada wanita, increment
lebih tinggi.
5. Akhir pertumbuhan usia 19 pada wanita, 21 pada pria, namun massa
tulang terus meningkat hingga usia 25 tahun.
6. Pertambahan berat badan umumnya karena pertambahan otot dan tulang
7. Pada wanita, pertambahan berat badan ini terdistribusi ke seluruh tubuh.
Sistem organ reproduksi merupakan bagian sistem organ tubuh yang
penting bagi fungsi tubuh sebagaimana sistem organ pencernaan, pernafasan,
pembuangan, dan lainnya. Untuk dapat berfungsi optimal memerlukan masa
penyempurnaan pertumbuhan dan perkembangan. Hanya saja puncak
perkembangan organ reproduksi terjadi pada masa remaja dimana manusia
mengalami fase ketidakstabilan emosi. Masa ini merupakan masa transisi dari
masa anak menuju kedewasaan (Florence and Setright, 1994).
Perubahan secara cepat dan mendadak terutama berkaitan dengan
organ reproduksinya menjadikan remaja tidak selalu mampu bersikap secara
tepat terhadap organ reproduksinya. Ditambah lagi keengganan dan
kecanggungan remaja untuk bertanya kepada orang tuanya dan para pendidik
semakin menguatkan alasan kenapa remaja sering tidak bijak terhadap organ

reproduksinya. Remaja harus berani beda dengan fenomena global life style
seperti gaul tidaknya seseorang dilihat dari pengalaman seksualnya, seks
sebagai sesuatu yang menyenangkan dan perlu dicoba. Keadaan ini yang
mesti segera diantisipasi. Lingkungan mal-adaptif akan mendorong remaja
menderita rasa kecemasan, depresi, dan obsesif kompulsif sehingga rentan
dengan tindakan penyimpangan seksual. Remaja memerlukan lingkungan
yang adaptif. Orang tua dan pendidik merupakan pilar utama menciptakan
lingkungan dimana mereka merasa aman untuk bertanya dan mendapatkan
bimbingan (Gibson, 1990).
Secara fisik organ reproduksi remaja perempuan (pubertas) dimulai
dengan awal berfungsinya ovarium (kandung telur) sampai pada saat ovarium
sudah berfungsi dengan mantap dan teratur (memasuki usia reproduksi).
Masa ini berkisar 4 tahunan (kira-kira umur 8-14 tahun). Awal usia pubertas
dipengaruhi bangsa, iklim, gizi dan kebudayaan. Peristiwa penting pada masa
ini adalah pertumbuhan badan yang cepat, timbulnya ciri-ciri kelamin
sekunder, menarche (haidh pertama) dan perubahan psikis. Sedangkan indung
telur (ovarium) mulai aktif mengeluarkan estrogen yang dipengaruhi horman
gonadotropin yang diproduksi kelenjar bawah otak. Pada saat yang sama
kortex kelenjar supra renal mulai membentuk horman androgen yang
memegang peranan penting dalam pertumbuhan badan. Pengaruh hormanhormon inilah yang menyebabkan pertumbuhan genetalia interna, eksterna,
dan ciri kelamin skunder. Genetalia interna dan eksterna akan tumbuh terus
untuk mencapai bentuk dan sifat seperti usia reproduksi (Martianto, 2004).
Secara psikis kedua hormon ini membentuk karakter remaja menuju
kedewasaan dan memunculkan libido (hasrat seksual). Ada kesan pada
remaja, seks itu menyenangkan dan puncak rasa kecintaan yang serba
membahagiakan. Remaja memerlukan suasana lingkungan yang aman dan
terlindung menuju kearah alam berdiri sendiri dan bertanggung jawab serta
dari pikiran yang egosentrik menuju pikiran yang lebih matang. Karakter ini
yang harus dibentuk pada diri remaja untuk menentukan sikap yang tepat
terhadap organ reproduksinya sebagaiman tujuan diciptakan organ ini. Pada

masa reproduksi menjadi masa terpenting dalam silklus hidup manusia


terutama perempuan. Haid pada masa ini paling teratur dan siklus pada alat
genetalia bermakna untuk memungkinkan terjadinya kehamilan (Martianto,
2004).

B. Faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan Remaja


Proses pertumbuhan dan perkembangan remaja, tidak selamanya
berjalan sesuai yang diharapkan. Hal ini disebabkan karena banyak faktor
yang mempengaruhinya, baik faktor yang dapat diubah/dimodifikasi yaitu
faktor lingkungan, maupun faktor yang tidak dapat diubah/dimodifikasi yaitu
faktor keturunan. Apabila ada faktor lingkungan yang menyebabkan
gangguan terhadap proses tumbuh kembang remaja, maka faktor tersebut
perlu diubah (dimodifikasi).
Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi pertumbuhan dan
perkembangan anak tersebut adalah sebagai berikut:
1. Faktor Keturunan (herediter)
a. Seks
Kecepatan pertumbuhan dan perkembangan pada seorang remaja
wanita berbeda dengan remaja laki-laki
b. Ras
Remaja keturunan bangsa Eropa lebih tinggi dan besar dibandingkan
dengan remaja keturunan bangsa Asia.
2. Faktor Lingkungan
a. Lingkungan eksternal
1) Kebudayaan
Kebudayaan suatu daerah akan mempengaruhi kepercayaan adat
kebiasaan dan tingkah laku dalam merawat dan mendidik anak.
2) Status sosial ekonomi keluarga
Keadaan sosial ekonomi keluarga dapat mempengaruhi pola asuhan
terhadap remaja. Misalnya orang tua yang mempunyai pendidikan

cukup mudah menerima dan menerapkan ide-ide untuk pemberian


asuhan terhadap remaja.
3) Nutrisi
Tumbuh kembang remaja memerlukan nutrisi yang adekuat yang
didapat dari makan yang bergizi. Kekurangan nutrisi dapat
diakibatkan karena pemasukan nutrisi yang kurang baik kualitas
maupun kuantitas, aktivitas fisik yang terlalu aktif, penyakitpenyakit fisik yang menyebabkan nafsu makan berkurang, gangguan
absorpsi

usus

serata

keadaan

emosi

yang

menyebabkan

berkurangnya nafsu makan.


4) Penyimpangan dari keadaan normal
Disebabkan karena adanya penyakit atau kecelakaan yang dapat
menggangu proses pertumbuhan dan perkembangan remaja.
5) Olahraga
Olahraga dapat meningkatkan sirkulasi, aktivitas fisiologi, dan
menstimulasi terhadap perkembangan otot-otot.
6) Urutan ramaja dalam keluarganya
Kelahiran anak pertama menjadi pusat perhatian keluarga, sehingga
semua kebutuhan terpenuhi baik fisik, ekonomi, maupun sosial.
b. Lingkungan internal
1) Intelegensi
Umumnya

remaja

yang

mempunyai

intelegensi

tinggi,

perkembangannya akan lebih baik jika dibandingkan dengan yang


mempunyai intelegensi kurang.
2) Hormon
Ada tiga hormon yang mempengaruhi pertumbuhan remaja yaitu:
a) somatotropin, hormon yang mempengaruhi jumlah sel untuk
merangsang sel otak pada masa pertumbuhan, berkuragnya
hormon ini dapat menyebabkan gigantisme;
b) hormon tiroid, mempengaruhi pertumbuhan, kurangnya hormon
ini dapat menyebabkan kreatinisme;

c) hormon gonadotropin, merangsang testosteron dan merangsang


perkembangan seks laki-laki dan memproduksi spermatozoa.
Sedangkan estrogen merangsang perkembangan seks sekunder
wanita dan produksi sel telur, kekurangan hormon gonadotropin
ini dapat menyebabkan terhambatnya perkembangan seks.
3) Emosi
Hubungan yang hangat dengan orang lain seperti ayah, ibu, saudara,
teman

sebaya

serta

guru

akan

memberi

pengaruh

pada

perkembangan emosi, sosial dan intelektual remaja. Pada saat remaja


berinteraksi dengan keluarga maka akan mempengaruhi interaksi
remaja di luar rumah. Apabila kebutuhan emosi rema tidak dapat
terpenuhi (Heinberq, 1995).

C. Gangguan Makan pada Remaja


Masa remaja adalah salah satu fase yang penting dari proses
pertumbuhan dan perkembangan manusia.

Kondisi seseorang pada masa

dewasa banyak ditentukan oleh keadaan gizi dan kesehatan pada masa
remaja. Oleh karena itu status gizi dan kesehatan merupakan faktor penentu
kualitas remaja. Dengan status gizi dan kesehatan yang optimal pertumbuhan
dan perkembangan remaja menjadi lebih sempurna. Masalah gizi pada remaja
muncul dikarenakan perilaku gizi yang salah, yaitu ketidakseimbangan antara
konsumsi gizi dengan kecukupan gizi yang dianjurkan. Masalah gizi yang
dapat terjadi pada remaja adalah gizi kurang (under weight), obesitas (over
weight) dan anemia. Gizi kurang terjadi karena jumlah konsumsi energi dan
zat-zat gizi lain tidak memenuhi kebutuhan tubuh. Akan tetapi pada remaja
putri, gizi kurang umumnya terjadi karena keterbatasan diet atau membatasi
sendiri intake makanan yang dikonsumsinya (Fomon, 2003).
Kebiasaan makan merupakan istilah untuk menggambarkan perilaku
yang berhubungan dengan makan dan makanan, frekuensi makan seseorang,
pola makan yang dimakan, kepercayaan terhadap makanan (suka atau tidak
suka), cara pemilihan bahan makanan yang hendak di makan (Suhardjo,

1989). Kebiasaan makan pada remaja menurut Bourne (1979) menyatakan


remaja mempunyai kecenderungan untuk mengkonsumsi makanan di luar
rumah atau sekolah, memilih makanan yang dianggap populer dan
meningkatkan gengsi, serta mempunyai kebiasaan makan tidak teratur.
Kebiasaan makan yang kurang baik pada remaja dan keinginan untuk terlihat
langsing, khususnya pada remaja putri seringkali menimbulkan gangguan
makan (eating disorder).
Gangguan pola makan yang umum diderita khususnya oleh remaja
putri adalah bulimia dan anorexsia nervosa. Pada masa remaja, khususnya
remaja putri, dengan berat badan normal tidak puas dengan bentuk dan berat
badannya dan ingin menjadi lebih kurus. Pada remaja putri ini pada umumnya
ingin mempunyai bentuk badan yang lebih langsing, ramping dan menarik.
Untuk mencapai hal tersebut mereka tidak segan-segan melakukan hal-hal
yang justru tidak mereka sadari dapat membahayakan diri dan kesehatannya.
Agar tampak langsing dan menarik mereka tidak mau makan pagi,
mengurangi frekuensi makan bahkan melakukan diet yang berlebihan
(Gunawan, 1997).
Hal senada diungkapkan oleh Arisman (2002) hampir 50 % remaja
terutama remaja yang lebih tua, tidak sarapan. Penelitian lain membuktikan
masih banyak remaja sebesar 89% yang meyakini kalau sarapan memang
penting, namun yang sarapan secara teratur hanya 60%. Remaja putri malah
melewatkan dua kali waktu makan, dan lebih memilih menahan rasa lapar.
(Wardlaw et.al., 1992).
Gangguan makan hadir ketika seseorang mengalami gangguan parah
dalam tingkah laku makan, seperti mengurangi kadar makanan dengan
ekstrem atau makan terlalu banyak atau perasaan menderita atau keprihatinan
tentang berat atau bentuk tubuh yang ekstrem. Seseorang dengan gangguan
makan mungkin berawal dari mengkonsumsi makanan yang lebih sedikit atau
lebih banyak daripada biasa, tetapi pada tahap tertentu, keinginan untuk
makan lebih sedikit atau lebih banyak terus menerus di luar keinginan
(American Psychiatric Association, 2005).

Gangguan makan, seperti anorexia nervosa (AN) dan bulimia nervosa


(BN), merupakan penyakit kronis yang didefinisikan sebagai gangguan
perilaku makan atau perilaku dalam mengkontrol berat badan. Diagnostic and
Statistical

Manual

of

Mental

Disorders,

4th

Edition

(DSM-IV)

mengklasifikasikan ada tiga jenis gangguan makan yaitu anorexia nervosa


(AN), bulimia nervosa (BN), dan binge-eating disorder (BED). AN ditandai
dengan keengganan untuk menetapkan berat badan normal, penyimpangan
pandangan terhadap tubuh, ketakutan ekstrim menjadi gemuk, dan perilaku
makan yang sangat terganggu. BN ditandai dengan perilaku makan dalam
jumlah yang besar yang sering dan berulang-ulang, kemudian cuba
memuntahkan kembali, penggunaan obat pencahar, berpuasa atau berolahraga
secara berlebihan (National Institute of Mental Health, 2007).
Diketahui jumlah pasien dengan gangguan makan telah meningkat
secara global sejak 50 tahun yang lalu. Di Amerika Serikat, dilaporkan satu
hingga dua juta wanita memenuhi kriteria diagnostik untuk BN, dan 500,000
wanita memenuhi kriteria diagnostik untuk AN

(Academy for Eating

Disorder, 2006). Peningkatan ini berkaitan dengan kesadaran ekstrim tentang


berat badan dan tampilan fisik, kebanyakan dikalangan generasi muda.
Penelitian internasional tentang gangguan makan menunjukkan 1% dari
remaja wanita di Amerika Serikat menderita AN, sedangkan 4% menderita
BN. Sebanyak 1.2% anak sekolah di Cairo dan 3.2% anak sekolah di Iran
menderita BN (Edquist, 2009). Di Norway, sebanyak 2.6% mahasiswa
perempuan dan 1.3 % mahasiswa Itali menderita AN (Makino et al., 2004).
Di

Indonesia, 12-22% wanita berusia 15-29 tahun menderita

defisiensi energi kronis (IMT <18,5) di beberapa kawasan (Atmarita, 2005).


Apakah defisiensi ini disebabkan oleh gangguan makan atau hal lain tidaklah
dijelaskan secara rinci. Bagaimanapun, masih kurang penelitian dilakukan
tentang gangguan makan di Indonesia sehingga prevalensinya tidak diketahui
secara pasti. Akibat dari gangguan makan yang berkepanjangan, bisa terjadi
hipotensi kronis, bradikardia, hipotermia, pembengkakan kelenjar liur,
anemia, dehidrasi, alkalosis dan hipokloremia dapat dilihat. Ruptur lambung

juga dapat terjadi. Lebih dari 90%

penderita AN mengalami amenorrea

sekunder disebabkan oleh malnutrisi kronis. Pengurangan densitas tulang


merupakan masalah yang serius karena sukar diobati, dan keadaan ini
meningkatkan

resiko

fraktur

tulang.

Gangguan

makan

juga

dapat

menyebabkan gangguan pada jantung. Resiko tertinggi pada panderita dengan


gangguan makan adalah gagal jantung (Tsuboi, 2005).
Terdapat dua tipe utama bagi gangguan makan adalah anoreksia
nervosa dan bulimia nervosa. Kategori ketiga adalah gangguan makan lain
yang tidak ditetapkan (EDNOS-eating disorders not otherwise specified)
yang memasukkan beberapa variasi gangguan makan. Kebanyakannya adalah
mirip dengan anoreksia atau bulimia tetapi dengan karakter yang berbeda
sedikit. Bingeeating disorder, yang menerima peningkatan dalam jumlah
penelitian dan perhatian media dalam beberapa tahun kebelakangan ini adalah
salah satu tipe EDNOS (APA, 2005).
1. Anoreksia Nervosa
Anoreksia adalah aktivitas untuk menguruskan badan dengan
melakukan pembatasan makan secara sengaja dan melalui kontrol yang
ketat karena ketakutan akan kegemukan dan bertambahnya berat badan.
Menurut DSM-IV, anoreksia nervosa (AN) dimaksudkan dengan
keengganan untuk menetapkan berat badan kira-kira 85% dari yang
diprediksi, ketakutan yang berlebihan untuk menaikkan berat badan, dan
tidak mengalami menstruasi selama 3 siklus berturut-turut.AN terbagi
kepada dua jenis. Dalam jenis restrictingtye anorexia, individu tersebut
menurunkan berat badan dengan berdiet sahaja tanpa makan berlebihan
(binge eating) atau muntah kembali (purging). Mereka terlalu membatasi
konsumsi karbohidrat dan makan mengandung lemak. Individu tersebut
makan secara berlebihan kemudian memuntahkannya kembali secara
segaja (APA, 2005).
Anorexia nervosa umum gangguan makan yang biasanya dimulai
pada usia empat belas atau lima belas tahun, dengan puncak insiden pada
usia delapan belas tahun. Hal ini lebih sering terjadi pada remaja

perempuan ( hampir 1% dari remaja perempuan), tetapi juga ditemukan


pada anak laki-laki dan insidennya cenderung meningkat. Anoreksia
menyebabkan rasa takut yang luar biasa terhadap kelebihan berat badan
dan selalu berupaya untuk menjadi kurus, yang mengarah ke pembatasan
kalori yang dapat menyebabkan berat badan menurun. Remaja dengan
anoreksia juga mungkin memiliki bulimia nervosa.
Penderita anoreksia sadar bahwa mereka merasa lapar namun takut
untuk memenuhi kebutuhan makan mereka karena bisa berakibat naiknya
berat badan. Persepsi mereka terhadap rasa kenyang terganggu sehingga
pada saat mereka mengkonsumsi sejumlah makanan dalam porsi kecil
sekalipun, mereka akan segera merasa penuh atau bahkan mual. Mereka
terus menerus melakukan diet mati-matian untuk mencapai tubuh yang
kurus. Pada akhirnya kondisi ini bisa menimbulkan efek yang berbahaya
yaitu kematian. Diperkirakan satu dari seratus remaja putri atau 1 % antara
usia 12 tahun sampai 18 tahun

mengalami anorexia nervosa. Hanya

sedikit remaja pria yang mengalami anorexia nervosa sehubungan dengan


gambaran tubuh laki-laki yang berbeda dengan wanita yaitu yang besar
dan berotot. Remaja laki-laki mengontrol berat badannya dengan aktivitas
olah raga seperti jodo dan hanya sedikit yang mungkin mengembangkan
bulimia. (Wardlaw et.al., 1992)
Penderita anoreksia berusaha untuk menahan rasa lapar dan
berupaya sekeras mungkin untuk tidak mengkonsumsi makanan dalam
jumlah

yang

besar,

maka

penderita

bulimia

cenderung

senang

mengkonsumsi makanan yang mereka sukai. Pada dasarnya, tujuan akhir


dari penderita bulimia dan anoreksia adalah sama, yaitu untuk
mempertahankan bentuk tubuhnya selangsing (sekurus) mungkin dengan
cara yang berbeda. Penderita bulimia cenderung \mengkonsumsi makanan
yang disukai dan makan berlebihan untuk memuaskan keinginanya, namun
kemudian akan memuntahkannya kembali hingga tidak ada makanan yang
tersisa. Dengan demikian terhindar dari kegemukan tetapi tetap menjadi
kurus tanpa perlu menahan keinginan mereka untuk makan.

Tanda-tanda seseorang terkena anoreksia:


a. menjadi sangat kurus dan lemah/lesu karena kurang gizi
b. terobsesi dengan waktu makan, jumlah/porsi makanan, dan kontrol
berat badan
c. menghindari makanan seperti susu, daging, nasi, gandum, dan lainnya
yang dipandang dapat menaikkan berat badan
d. sangat sering mengukur beratnya sendiri
e. merasa kegemukan padahal tidak
f. berolah raga berlebihan
g. menarik diri dari kegiatan sosial, terutama pesta dan pertemuan yang
melibatkan makanan
h. mungkin terlihat depresi
i. pada kondisi yang parah, wanita penderita anoreksia bisa berhenti haid.

2. Bulimia Nervosa
Bulimia nervosa merupakan satu gangguan fungsi makan yang
ditandai oleh episode nafsu makan yang lahap tanpa dapat dikendalikan,
diikuti dengan muntah yang disengaja atau upaya pencahar lain yang
dimaksudkan untuk mencegah meningkatnya berat badan (contoh,
penggunaan laksansia).
Bulimia nervosa (BN) digambarkan dengan episode berulang
makan berlebihan dan kemudian dengan perlakuan kompensatori (muntah,
berpuasa, beriadah, atau kombinasinya). Muntah yang dilakukan secara
sengaja atau beriadah secara berlebihan, serta penyalahgunaan pencahar,
diuretik, amfetamin dan tiroksin juga boleh terjadi (Chavez dan Insel,
2007).
Penderita bulimia nervosa makan dalam jumlah yang sangat
berlebihan

(menurut

riset,

rata-rata

penderita

bulimia

nervosa

mengkonsumsi 3.400 kalori setiap satu seperempat jam, padahal


kebutuhan konsumsi orang normal hanya 2.000 3.000 kalori per hari).
Kemudian berusaha keras mengeluarkan kembali apa yang dimakannya,

dengan cara memuntahkan kembali atau dengan menggunakan obat


pencahar. Diantara kegiatan makan yang berlebihan itu biasanya menekan
berolahraga secara berlebihan.
Insiden dan epidemiologi bulimia nervosa lebih sering ditemukan
pada wanita dibandingkan pada laki-laki, tetapi onsetnya lebih sering pada
masa remaja dibandingkan pada masa dewasa awal. Diperkirakan bulimia
nervosa terentang dari 1-3 persen wanita muda (Anonim. 1995).
Banyak penderita bulimia nervosa memiliki berat badan yang
normal dan kelihatannya tidak ada masalah yang berarti dalam hidupnya.
Biasanya mereka orang-orang yang kelihatannya sehat, sukses di
bidangnya dan cenderung perfeksionis. Namun, dibalik itu, mereka
memiliki rasa percaya diri yang rendah dan sering mengalami depresi.
Mereka juga menunjukkan tingkah laku kompulsif, misalnya, mengutil di
pasar swalayan, atau mengalami ketergantungan pada alkohol atau lainnya
(Anonim. 1995).
Bulimia nervosa sering terjadi pada orang dengan angka gangguan
mood dan gangguan pengendalian impuls yang tinggi. Juga telah
dilaporkan terjadi pada orang yang memiliki resiko gangguan berhubungan
dengan zat dan gangguan kepribadian, memiliki angka gangguan
kecemasan dan gangguan dissosiatif yang meningkat dan riwayat
penyiksaan seksual (Anonim. 1995).
Tanda-tanda seseorang terkena bulimia:
a. takut kegemukan
b. sangat senang dengan ukuran dan bentuk tubuh sendiri
c. membuat alasan untuk pergi ke kamar mandi setelah makan
d. mungkin hanya makan rendah kalori, berpuasa atau diet di luar saat
pesta pora
e. berolah raga berlebihan
f. sering membeli obat pencahar atau diuretik
g. menarik diri dari kegiatan sosial, terutama pesta dan pertemuan yang
melibatkan makanan.

BAB III
PENUTUP

Kesimpulan:
1.

Remaja itu sulit didefinisikan secara mutlak. Oleh karena itu, dicoba untuk
memahami remaja menurut berbagai sudut pandangan, antara lain menurut
hukum, perkembangan fisik, WHO, sosial psikologi, dan pengertian remaja
menurut pandangan masyarakat Indonesia.

2.

Masa remaja adalah salah satu fase yang penting dari proses pertumbuhan dan
perkembangan manusia.

3.

Proses pertumbuhan dan perkembangan remaja, tidak selamanya berjalan


sesuai yang diharapkan. Hal ini disebabkan karena banyak faktor yang
mempengaruhinya, baik faktor lingkungan, maupun faktor keturunan.

4.

Gangguan pola makan yang umum diderita khususnya oleh remaja putri
adalah bulimia dan anorexsia nervosa.

5.

Anoreksia nervosa adalah aktivitas untuk menguruskan badan dengan


melakukan pembatasan makan secara sengaja dan melalui kontrol yang ketat
karena ketakutan akan kegemukan dan bertambahnya berat badan.

6.

Bulimia nervosa merupakan satu gangguan fungsi makan yang ditandai oleh
episode nafsu makan yang lahap tanpa dapat dikendalikan, diikuti dengan
muntah yang disengaja atau upaya pencahar lain yang dimaksudkan untuk
mencegah meningkatnya berat badan.

DAFTAR PUSTAKA

Academy for Eating Disorder, 2006. Prevalence of Eating Disorders. Austria:


Academy
for
Eating
Disorder.
Available
from:
http://www.aedweb.org/eating_disorders/prevalence.cfm
Almatsier, S. 2005. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. PT. Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta.
American Psychiatric Association. 2005. Diagnostic and Statistical Manual of
Mental Disorder, fourth edition Text Revision. Arlington: American
Psychiatric Association.
Anonim. 1995.Eating Disorder in Adolescent: A Position Paper of The Society
For Adolescent Medicine-Journal Of Adolescent Health, Vol:16
Arisman. 2002. Buku Ajar Gizi dalam Daur Kesehatan. Bagian Ilmu Gizi Fak.
Kedokteran Universitas Sriwijaya Pelembang.
Bourne, L., Ekstrand, B. dan Dominowski, R. 1979. The Psychology of Thinking.
New Jersey: Prentice Hall.
Chavez, M., Insel, T.R., 2007. Eating Disorders: National Institute of Mental
Healths Perspective. American Psychology, 62(3)
Edquist, K., 2009. Globalizing Pathologies Eating Disorders and the Global
Deterritorialization of Authority, Oregon. Available from :
http://www.allacademic.com/meta/p_mla_apa_research_citation/0/8/7/7/2/p
87726_index.html
Florence and Setright. 1994. The Handbook of Preventive Medicine: A Complete
Guide to Diet, Dietary Supplements anf Lifestile Factors in the Prevention
of Disease. Kingsclear Books, Australia.
Fomon SJ., 2003. Inevetable Iron Loss by Human Adolescent, with Calculations
of the Requirement for Absorbed Micronutrient. American Society for
Nutrition Science, Vol: 133
Gibson,R.S. 1990. Principles of Nutritional Assessment. Oxford University
Press. New York.
Gunawan. 1997. Masalah Obesitas di Kalangan Remaja Sekolah Umum di Kodya
Jigyakarta. Tesis Master. Tidak Dipublikasikan . IPB.
Heinberq. 1995. Body Image.Adolescent Nutrition, Chapman and Hall. New York.
Kartini kartono, 1990, Pengantar Metodologi Riset Sosial, Bandung,

Makino, M., Tsuboi K., and Dennerstein L., 2004. Prevalence of Eating
Disorders: A Comparison of Western and Non-Western Countries.
MedGenMed. Vol: 6(3).
Martianto,D. 2004. Gizi Pada Usia Remaja. Materi Bahan Kuliah Gizi Remaja
pada Program Studi GMK, Sekolah Pascasarjana IPB, Bogor.Sumber Daya
Keluarga. Fakultas pertanian. Institut Pertanian Bogor.
Muangman, V. 1991. Effects of Folia Orthosiphonis on Uninary Stone Promoters
and inhibitors. J Med Assoc Thai. Vol: 74
National Institute of Mental Health, 2007. Eating Disorders. NIH Publication.
Available from : http://www.nimh.nih.gov/health/publications/eating
disorders/nimheatingdisorders.pdf
Sarlito, Muhammad. 1991. Psikologi Remaja, Jakarta : Erlangga
Suhardjo. 1989. Sosio Budaya Gizi. Pusat Antar Universitas. IPB.
Tsuboi, T., 2005. Epidemiology of Febrile and Afibrile Convulsion in Children in
Japan, Neurology, Vol: 34.
Wardlaw G.M. et al, 1992. Contemporary Nutrition Issues and Insights. Mosby
Year Book
Zanden and James W., 1995. Human Development. New York: McGraw-Hill, Inc.

Anda mungkin juga menyukai