Anda di halaman 1dari 37

I.

Penyediaan Air Minum


Penyediaan Air Bersih di Indonesia
Oleh: Layyin Yeprila Ningrum

2 November 2013

Salah satu sumber daya alam yang sangat urgensial dan mutlak dibutuhkan
oleh seluruh makhluk di bumi ini adalah air. Air digunakan sebagai sumber kehidupan dan
berbagai aktivitas hidup, terutama bagi manusia. Oleh manusia, air digunakan untuk
kebutuhan sehari-hari, seperti untuk air minum, memasak, mandi, mencuci, dan aktivitas
lainnya. Namun, kondisi bumi di zaman sekarang ini sudah berubah. Dapat dilihat bahwa
persediaan air bersih di bumi semakin berkurang yang disebabkan karena adanya lonjakan
penduduk yang tak terkendali, semakin maraknya polusi yang mencemari lingkungan, dan
habisnya lahan-lahan hijau yang berfungsi sebagai pengendali kualitas dan kuantitas air.
Dalam artikel diatas disebutkan bahwa: 2,7 miliar penduduk bumi saat ini
kehilangan akses air bersih dan mayoritas dari mereka tinggal di negara-negara
berkembang (termasuk Indonesia) dan negara-negara miskin terbelakang. Akibatnya,
mereka tidak mempunyai akses sanitasi yang baik. Indonesia, dengan 230 juta
penduduknya, sebanyak 72,5 juta dari mereka tidak memiliki akses penunjang air bersih
yang layak. Masyarakat perkotaan tidak menerima pasokan air bersih karena air sudah
tercemari oleh limbah-limbah industri yang berbahaya dan beracun. Sektor industri yang
pembangunannya semakin merajalela, menambah pelik masalah air bersih karena industriindustri tersebut sebagian besar menghasilkan limbah yang saat ini bisa sampai di saluransaluran air milik penduduk. Seharusnya, pemerintah menghimbau para pemilik industri
agar limbah-limbah yang dihasilkan (khususnya limbah cair) dibuang ke sungai dengan
terlebih dulu dianalisis kandungan BOD dan COD nya agar air sungai tetap terjaga
kualitasnya. Berdasarkan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 3 Tahun 1998
Tentang : Baku Mutu Limbah Cair Bagi Kawasan Industri, disini ditulis semua peraturanperaturan tentang pembuangan limbah cair di sungai yang aman. Namun fakta di lapangan
membuktikan bahwa para pemilik nakal industri melalaikan peraturan ini sehingga
berdampak buruk terhadap kualitas dan kuantitas air. Diperlukan kesadaran tinggi dari
pemilik industri dan disertai dengan tindakan tegas dari pemerintah serta koordinasikoordinasi dari pihak-pihak terkait untuk mengelola, melestarikan, dan tetap menjaga
ketersediaan air bersih di kawasan perkotaan.
Lain di kota, lain di daerah pedesaan. Lahan yang selayaknya digunakan sebagai
penjaga kualitas air tanah dialihfungsikan sebagai pemukiman warga, pabrik-pabrik
industri, dan lain sebagainya sehingga menggerus daerah konservasi sumber daya air.
1

Selain itu, adanya penebangan yang legal maupun illegal, kebakaran hutan, dan
pengrusakan semakin memperparah kondisi wilayah hutan di Indonesia. Jika dibiarkan
terus-menerus, tidak akan ada lagi media untuk menjaga dan melestarikan air tanah yang
bersih dan terjaga kualitasnya. Sebagai manusia yang peduli dan masih sangat
membutuhkan air bersih, kita seharusnya lebih concern terhadap fenomena yang terjadi
di sekitar kita. Dimulai dengan tetap melestarikan hutan kita agar tetap hijau dan lestari,
karena hutan adalah aset berharga untuk tetap bisa menjaga pelestarian sumber daya air.
Selain itu, aktivitas untuk tidak membuang sampah sembarangan juga akan mencegah
datangnya gelombang air yang bersifat merusak, yaitu banjir. Dibutuhkan kerjasama yang
intensif antara masyarakat, instansi terkait, dan pemerintah untuk dapat mengelola dan
membuat managemen air untuk kebaikan seluruh umat manusia.
Tantangan Penyediaan Air Minum Yang Sehat, Aman dan Terjamin Bagi Rakyat
Oleh: Yayat S. Soelaeman/TU-Ditpam
Selasa, 03 September 2013 - 17:11:33 WIB
Jakarta Adakah yang lebih penting dari air minum yang sehat dan aman untuk
dikonsumsi dan terjamin ketersediaannya bagi rakyat Indonesia saat ini? Rasanya sulit
dibayangkan jika dalam satu hari orang tidak minum. Tentu bukan meminum air
sembarangan, tetapi minum air yang sehat dan aman untuk dikonsumsi.
Tetapi apa masalahnya dengan penyediaan air minum di Indonesia? Bukankah wilayah
Indonesia dua pertiganya adalah lautan? Bukankah di seluruh wilayah Indonesia ini berdiri
kokoh ratusan gunung-gunung yang menjadi sumber air bagi ribuan sungai yang
membelah daratan, mengaliri tanah menjadi subur, dan menjadi bahan baku air minum
bagi rakyat? Bahkan di negeri ini terdapat ribuan sumber air, dan ratusan waduk atau
danau.
Tentu saja bukan ketersediaan air bakunya, karena air laut pun, dengan perkembangan
teknologi yang semakin maju, bisa disaring dan diolah menjadi air yang layak untuk
dikonsumsi. Apalagi sekedar mengolah air sungai, air waduk atau air yang muncul dari
sumber air, tentu lebih mudah.
Persoalannya ternyata bukan dari ketersediaan air baku atau teknologi pengolahannya,
tetapi terletak pada besarnya biaya yang dibutuhkan dan rumitnya perencanaan,
pembangunan, dan pengelolaan sistem penyediaan air minum (SPAM). Persoalan juga
muncul ketika tidak semua daerah kabupaten/kota memiliki sumber air baku yang layak
untuk diolah menjadi air minum yang sehat, aman dan berkelanjutan.
Daftar kendala untuk penyediaan air minum yang sehat, aman dan berkelanjutan bagi
seluruh rakyat semakin panjang ketika diketahui betapa saat ini ada 17.010 desa kering
2

dan desa rawan air di seluruh Indonesia. Berdasarkan data Biro Pusat Statistik akhir
tahun 2011, di Indonesia terdapat 1.235 desa kering dan 15.775 desa rawan air, kata
Direktur Pengembangan Air Minum (PAM), Ir. Sutjiono. Desa-desa itu menjadi prioritas
utama dalam penanganan pelayanan air minum yang sehat, aman dan berkelanjutan, kata
Direktur PAM itu ketika memaparkan Ekspose Bidang Pengembangan Air Minum TA
2014 di Kantor Kementerian PU di Jakarta, Juni 2013 lalu.
Tentu saja tidak bisa sekaligus seluruh desa kering dan rawan air itu akan mendapatkan
program penyediaan air minum, mengingat terbatasnya anggaran yang tersedia.
Kami harus menentukan prioritas, yang pertama adalah menangani 326 desa kering di
wilayah rawan air berdasarkan kondisi alam dan sosial, kemudian prioritas kedua terhadap
773 desa kering di wilayah yang berpotensi terjadi rawan air berdasarkan kondisi alam dan
sosialnya. Selanjutnya, prioritas ketiga dan keempat adalah menangani 136 desa kering
dan 15.775 desa rawan air, kata Danny.
Dikemukakan, tugas berat pemerintah melalui Ditjen Cipta Karya, Kementerian PU,
harus dituntaskan untuk memenuhi target pembangunan nasional di bidang air bersih dan
air minum, seperti dinyatakan berkali-kali oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Bapak Presiden telah menginstruksikan seluruh jajaran Kementerian PU untuk mengatasi
krisis air di daerah tandus dan sulit air, sehingga pada tahun 2025, tidak ada lagi krisis air
bersih, dan semua rakyat Indonesia dapat mengakses air bersih dan air minum yang sehat
dan aman untuk dikonsumsi, kata Danny Sutjiono.
Bahkan saat berpidato di Forum Panel Sidang Majelis Umum PBB di New York, AS,
akhir Mei 2013 lalu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyatakan komitmen
Pemerintah Indonesia untuk menuntaskan tiga target utama Tujuan Pembangunan
Milenium (MDGs) 2015, yaitu menurunkan tingkat kematian ibu hamil, angka kematian
balita, dan meningkatkan akses rakyat terhadap air bersih dan air minum.
Deklarasi Tujuan Pembangunan Milenium (Millenium Development Goals/MDGs)
disepakati pada tahun 2000 oleh 189 negara anggota PBB saat itu. Batas akhir deklarasi
MDGS adalah akhir tahun 2015.
Komitmen Presiden SBY, menurut Danny Sutjiono, sangat jelas, dalam jangka pendek,
yaitu 1,5 tahun ke depan, harus mampu memenuhi pencapaian tingkat pelayanan bidang
air minum sebesar 68,87 persen sesuai target MDGs tahun 2015, sedangkan program
jangka menengah, pada tahun 2025 tidak ada lagi rakyat Indonesia yang tidak bisa
mengakses air bersih dan air minum yang sehat dan aman.
Kendala Kelembagaan: Hambatan dan kendala lain dalam pembangunan sistem
penyediaan air minum dan pelayanan air minum yang sehat dan aman bagi rakyat adalah
dari sisi kelembagaan. Saat ini, sebanyak 287 kabupaten/kota di Indonesia belum memiliki
3

Rencana Induk Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM), kemudian ada 55
kabupaten/kota yang belum memiliki lembaga pengelola SPAM, baik berupa perusahaan
daerah, badan layanan umum atau unit pelaksana teknis.
Dari sisi kelembagaan memang sangat mengkhawatirkan, karena hingga saat ini
kebanyakan lembaga pengelola layanan air minum di daerah-daerah, yang merupakan
operator utama penyedia layanan air minum, tidak efisien dan memiliki utang yang cukup
besar, kata Direktur PAM Danny Sutjiono.
Dikemukakan, dari sebanyak 497 kabupaten/kota di seluruh Indonesia, baru 375
kabupaten/kota yang memiliki perusahaan daerah air minum (PDAM), sedangkan 122
kabupaten/kota belum memiliki PDAM, meskipun memiliki badan pengelola dalam
bentuk lain.
Berdasarkan audit BPPSPAM terhadap 328 PDAM, katanya, hanya 171 PDAM (52
persen) yang masuk katagori sehat, sedangkan sisanya sebanyak 157 PDAM atau 48
persen, masuk katagori sakit dan kurang sehat akibat utang yang besar, pengelolaan yang
kurang efisien, lemahnya kompetensi para pengelolanya, serta besarnya Non-Revenue
Water (NRW) atau tingkat kebocoran air yang di beberapa PDAM bahkan bisa mencapai
lebih dari 50 persen.
Berdasarkan audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) tahun
2012, menurut Kepala Subdit Pengaturan dan Pembinaan Kelembagaan (Subdit PPK)
Direktorat PAM, Ditjen CIpta Karya, Kementerian PU, Ir Hilwan, MSc, tingkat
kehilangan air (NRW) secara rata-rata nasional adalah 31 persen dari total produksi air
minum nasional sebesar 127.000 liter/detik.
Dengan asumsi harga air adalah Rp 2.000/meter kubik, maka Indonesia sesungguhnya
telah kehilangan penerimaan uang sebesar Rp 2,48 triliun/tahun atau setara dengan biaya
untuk membangun 3,15 juta sambungan baru, kata Hilwan.
Upaya Direktorat Jenderal Cipta Karya untuk meningkatkan kualitas pengelolaan
PDAM terus dilakukan, termasuk membantu melakukan pendampingan dalam
pengembangan dan perencanaan bisnis, peningkatan kinerja, pelatihan manajemen, dan
memberikan dukungan dalam mempercepat proses penyehatan PDAM serta percepatan
penyelesaian restrukturisasi utang PDAM.
Tahun 2013 ini, Direktorat PAM, bekerja sama dengan BPKP, Kementerian Keuangan
dan Bappenas, telah melakukan program penyehatan dan restrukturisasi utang terhadap 86
PDAM. Bagaimanapun, kami harus menyehatkan dulu PDAM-nya, karena PDAM yang
sehat menjadi kunci bagi pelayanan air minum yang sehat dan berkelanjutan terhadap
rakyat, kata Hilwan.
4

Komitmen Pemerintah Daerah: Direktur PAM Danny Sutjiono mengakui tantangan ke


depan dalam penyediaan air minum yang sehat, aman dan berkelanjutan bagi seluruh
rakyat masih sangat berat.
Sesungguhnya dari sisi pembiayaan dan dari sisi komitmen dan tanggung jawab
Kementerian PU, kami telah siap untuk menuntaskan target MDGs 2015, hanya saja
diperlukan kerja sama dan komitmen yang kuat dari pemerintah provinsi, pemerintah
kabupaten/kota, dan PDAM untuk bersama-sama memberikan pelayanan yang terbaik di
bidang air minum bagi seluruh rakyat, katanya. Menurut dia, tahun 2013 ini, dana APBN
untuk pembangunan dan pengembangan bidang air minum bisa mencapai Rp 5,5 triliun,
dan hal itu luar biasa dan merupakan sejarah baru, karena selama ini tidak lebih dari Rp
3,5 triliun/tahun. Bahkan terbuka untuk mendapat tambahan Rp 1,5 triliun melalui APBNP 2013. Tahun 2014 juga diharapkan akan mendapatkan porsi anggaran yang tidak terlalu
berbeda.
Ia mengemukakan, kucuran dana APBN sudah sangat besar dalam membangun
insfrastruktur SPAM dan jaringan distribusi di bagian hulu, namun ia menyayangkan
kurangnya komitmen pemerintah daerah dan perusahaan daerah air minum untuk
memanfaatkan sarana air minum yang sudah terbangun.
Seharusnya pemerintah daerah dan PDAM bisa memanfaatkan sarana air minum yang
sudah terbangun di bagian hulu, yaitu dengan membangun jaringan distribusi tersier atau
sambungan pipa ke rumah-rumah yang memang menjadi tanggung jawab mereka,
katanya.
Kepala daerah dan PDAM, katanya, harus mampu menginvestasikan dana bagi
penambahan jaringan tersier, meningkatkan kualitas kinerja dan pelayanan, serta berani
menerapkan tarif air minum yang setara dengan pengeluaran biaya yang telah dikeluarkan
perusahaan atau full cost recovery.
Meski kondisi saat ini tingkat pelayanan bidang air minum secara nasional baru mencaapi
55 persen lebih, sesungguhnya dari sisi kapasitas di bagian hulu sudah mencapai 62 persen
lebih, karena saat ini ada 44.000 liter/detik air minum yang tidak termanfaatkan, dan itu
setara dengan 7,4 persen tingkat pelayanan air minum, kata Danny Sutjiono.
Dengan demikian, menurut Direktur PAM, sangat realistis jika target MDGs 2015
bidang pelayanan air minum sebesar 68,87 persen akan mampu dicapai dalam 1,5 tahun ke
depan, karena sisanya hanya sekitar 6,8 persen saja.
Menurut Danny Sutjiono, sesuai Direktif Presiden RI, kucuran dana APBN juga
sangat besar untuk menyediakan pelayanan air minum yang layak bagi masyarakat di
kawasan perbatasan, pulau-pulau terluar, pulau-pulau terpencil, kawasan pesisir, desa
nelayan, serta bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) di daerah perkotaan.
5

Untuk kawasan perbatasan dan daerah pemekaran, tahun ini akan dibangun SPAM di 14
lokasi, sedangkan di pulau terluar dan daerah terpencil, akan dibangun SPAM di 21
kawasan. Pembangunan SPAM juga akan dilaksanakan di 118 desa yang masuk kawasan
daerah tertinggal, 44 kawasan pesisir, 157 desa nelayan dan di 260 kawasan perkotaan
yang dihuni masyarakat berpenghasilan rendah.
Sesungguhnya, dengan banyaknya program pembangunan dan pengembangan sarana air
minum di daerah-daerah yang dilakukan melalui dana APBN, kami optimistis target
MDGs 2015 bidang pelayanan air minum sebesar 68.87 persen akan tercapai di akhir
tahun 2015, katanya.
Sekarang, katanya, tinggal komitmen dan keseriusan pemerintah provinsi, pemerintah
kabupaten/kota dan PDAM untuk memanfaatkan sarana penyediaan air minum yang telah
dibangun pemerintah pusat di tingkat hulu dengan membangun jaringan distribusi tersier
berupa sambungan rumah (SR).

II.

Pengelolaan Limbah
Pengelolaan Limbah Medis Rumah Sakit
Oleh: AHMAD JAIS

Senin, 23 Juli 2013

Dalam upaya menigkatkan derajat kesehatan masyarakat, khususnya di kota-kota


besar semakin meningkat pendirian rumah sakit (RS). Sebagai akibat kualitas efluen
limbah rumah sakit tidak memenuhi syarat. Limbah rumah sakit dapat mencemari
lingkungan penduduk di sekitar rumah sakit dan dapat menimbulkan masalah kesehatan.
Hal ini dikarenakan dalam limbah rumah sakit dapat mengandung berbagai jasad renik
penyebab penyakit pada manusia termasuk demam typoid, kholera, disentri dan hepatitis
sehingga limbah harus diolah sebelum dibuang ke lingkungan (BAPEDAL, 1999).
Sampah dan limbah rumah sakit adalah semua sampah dan limbah yang dihasilkan
oleh kegiatan rumah sakit dan kegiatan penunjang lainnya. Secara umum sampah dan
limbah rumah sakit dibagi dalam dua kelompok besar, yaitu sampah atau limbah klinis dan
non klinis baik padat maupun cair.
Dalam profil kesehatan Indonesia, Departement Kesehatan, 1997 diungkapkan
seluruh rumah sakit di Indonesia berjumlah 1090 dengan 121.996 tempat tidur. Hasil
kajian terhadap 100 Rumah Sakit di Jawa dan Bali menunjukkan bahwa rata-rata produksi
sampah sebesar 3,2 kg pertempat tidur perhari. Analisa lebih jauh menunjukkan produksi
sampah (Limbah Padat) berupa limbah domestic sebesar 76,8 persen dan berupa limbah
6

infeksius sebesar 23,2 persen. Diperkirakan secara nasional produksi sampah (Limbah
Padat) Rumah Sakit sebesar 376.089 ton per hari dan produksi air limbah sebesar
48.985,70 ton per hari. Dari gambaran tersebut dapat dibayangkan betapa besar potensi
Rumah Sakit untuk mencemari lingkungan dan kemungkinan menimbulkan kecelakaan
serta penularan penyakit.
Rumah Sakit menghasilkan limbah dalam jumlah yang besar, beberapa diantaranya
membahayakan kesehatan dilingkungannya. Di negara maju, jumlahnya diperkirakan 0,50,6 kg per tempat tidur rumah sakit perhari. Pembuangan limbah yang berjumlah cukup
besar ini paling baik jika dilakukan dengan memilah-milah limbah kedalam kategori untuk
masing-masing jenis kategori diterapkan cara pembuangan limbah yang berbeda. Prinsip
umum pembuangan limbah rumah sakit adalah sejauh mungkin menghindari resiko
kontaminasi antrauma (Injuri)(KLMNH, 1995). Limbah Rumah Sakit mengandung bahan
beracun berbahaya Rumah Sakit tidak hanya menghasilkan limbah organik dan anorganik,
tetapi juga limbah infeksius yang mengandung bahan beracun berbahaya (B3). Dari
keseluruhan limbah rumah sakit, sekitar 10 sampai 15 persen diantaranya merupakan
limbah
infeksius yang mengandung logam berat, antara lain mercuri (Hg). Sebanyak 40 persen
lainnya adalah limbah organik yang berasal dari makanan dan sisa makan, baik dari pasien
dan keluarga pasien maupun dapur gizi. Selanjutnya, sisanya merupakan limbah anorganik
dalam

bentuk

hasil

penelitian

botol

bekas

Bapedalda

infus
Jabar

dan

plastik.

bekerja

Temuan

sama

ini

dengan

merupakan
Departemen

Kesehatan RI, serta Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) selama tahun 1998 sampai tahun
1999. Keterbatasan dan mengakibatkan sampel yang diambil hanya dari dua rumah sakit
di Jawa Barat, satu di rumah sakit pemerintah dan satunya lagi di rumah sakit swasta.
Secara

terpisah,

mantan

Ketua

Wahana

Lingkungan

(Walhi)

Jabar

Ikhwan Fauzi mengatakan, volume limbah infeksius dibeberapa rumah sakit bahkan
melebihi jumlah yang ditemukan Bapedalda. Limbah infeksius ini lebih banyak ditemukan
di beberapa rumah sakit umum, yang pemeliharaan lingkungannya kurang baik
(Pristiyanto. D, 2000).
Biasanya orang mengaitkan limbah B3 dengan industri. Siapa yang menyangka
ternyata dirumah sakitpun menghasilkan limbah berbahaya dari limbah infeksius. Limbah
infeksius berupa alat-alat kedokteran seperti perban, salep, serta suntikan bekas (tidak
termasuk tabung infus), darah, dan sebagainya. Dalam penelitian itu, hampir di setiap
7

tempat sampah ditemukan bekas dan sisa makanan (limbah organik), limbah infeksius, dan
limbah organik berupa botol bekas infus. (Anonimous, 2009)
Limbah rumah sakit, khususnya limbah medis yang infeksius, belum dikelola dengan
baik. Sebagian besar pengelolaan limbah infeksius disamakan dengan limbah medis
noninfeksius. Selain itu, kerap bercampur limbah medis dan nonmedis. Percampuran
tersebut justru memperbesar permasalahan limbah medis.
Kepala Pusat Sumber Daya Manusia dan Lingkungan Universitas Indonesia Dr Setyo
Sarwanto DEA mengutarakan hal itu kepada Pembaruan, Kamis pekan lalu, di Jakarta. Ia
mengatakan, rata-rata pengelolaan limbah medis di rumah sakit belum dilakukan dengan
benar. Limbah medis memerlukan pengelolaan khusus yang berbeda dengan limbah
nonmedis. Yang termasuk limbah medis adalah limbah infeksius, limbah radiologi, limbah
sitotoksis, dan limbah laboratorium.
Limbah infeksius misalnya jaringan tubuh yang terinfeksi kuman. Limbah jenis itu
seharusnya dibakar, bukan dikubur, apalagi dibuang ke septic tank. Pasalnya, tangki
pembuangan seperti itu di Indonesia sebagian besar tidak memenuhi syarat sebagai tempat
pembuangan limbah. Ironisnya, malah sebagian besar limbah rumah sakit dibuang ke
tangki pembuangan seperti itu.
Kenyataannya, banyak tangki pembuangan sebagai tempat pembuangan limbah yang
tidak memenuhi syarat. Hal itu akan menyebabkan pencemaran, khususnya pada air tanah
yang banyak dipergunakan masyarakat untuk kebutuhan sehari-hari. Setyo menyebutkan,
buruknya pengelolaan limbah rumah sakit karena pengelolaan limbah belum menjadi
syarat akreditasi rumah sakit. Sedangkan peraturan proses pembungkusan limbah padat
yang diterbitkan Departemen Kesehatan pada 1992 pun sebagian besar tidak dijalankan
dengan benar.
Pengolahan limbah RS Pengelolaan limbah RS dilakukan dengan berbagai cara. Yang
diutamakan adalah sterilisasi, yakni berupa pengurangan (reduce) dalam volume,
penggunaan kembali (reuse) dengan sterilisasi lebih dulu, daur ulang (recycle), dan
pengolahan (treatment) (Slamet Riyadi, 2000).
Berikut adalah beberapa hal yang perlu dipertimbangkan dalam merumuskan
kebijakan kodifikasi dengan warna yang menyangkut hal-hal berikut :
1. Pemisahan Limbah
- Limbah harus dipisahkan dari sumbernya
- Semua limbah beresiko tinggi hendaknya diberi label jelas
8

- Perlu digunakan kantung plastik dengan warna-warna yang berbeda yang menunjukkan
kemana kantong plastik harus diangkut untuk insinerasi aau dibuang (Koesno Putranto. H,
1995).
2. Penyimpanan Limbah
Dibeberapa Negara kantung plastik cukup mahal sehingga sebagai gantinya dapat
digunkanan kantung kertas yang tahan bocor (dibuat secara lokal sehingga dapat
diperloleh dengan mudah)kantung kertas ini dapat ditempeli dengan strip berwarna,
kemudian ditempatkan ditong dengan kode warna dibangsal dan unit-unit lain.
3. Penanganan Limbah
- Kantung-kantung dengan warna harus dibuang jika telah terisi 2/3 bagian. Kemudian
diikiat bagian atasnya dan diberik label yang jelas
- Kantung harus diangkut dengan memegang lehernya, sehingga jika dibawa mengayun
menjauhi badan, dan diletakkan ditempat-tempat tertentu untuk dikumpulkan
- Petugas pengumpul limbah harus memastikan kantung-kantung dengan warna yang
sama telah dijadikan satu dan dikirimkan ketempat yang sesuai
- Kantung harus disimpan pada kotak-kotak yang kedap terhadap kutu dan hewan perusak
sebelum diangkut ketempat pembuangan.
4. Pengangkutan limbah
Kantung limbah dipisahkan dan sekaligus dipisahkan menurut kode warnanya. Limbah
bagian bukan klinik misalnya dibawa kekompaktor, limbah bagian Klinik dibawa
keinsenerator. Pengangkutan dengan kendaraan khusus (mungkin ada kerjasama dengan
dinas pekerja umum) kendaraan yang digunakan untuk mengangkut limbah tersebut
sebaiknya dikosongkan dan dibersihkan setiap hari, jika perlu (misalnya bila ada
kebocoran kantung limbah) dibersihkan dengan menggunakan larutan klorin.
5. Pembuangan limbah
Setelah dimanfaatkan dengan konpaktor, limbah bukan klinik dapat dibuang ditempat
penimbunan sampah (Land-fill site), limbah klinik harus dibakar (insenerasi), jika tidak
mungkin harus ditimbun dengan kapur dan ditanam limbah dapur sebaiknya dibuang pada
hari yang sama sehingga tidak sampai membusuk.
(Bambang Heruhadi, 2000).
Rumah sakit yang besar mungkin mampu memberli inserator sendiri, insinerator
berukuran kecil atau menengah dapat membakar pada suhu 1300-1500 C atau lebih tinggi
dan mungkin dapat mendaur ulang sampai 60% panas yang dihasilkan untuk kebutuhan
9

energi rumah sakit. Suatu rumah sakit dapat pula mempertoleh penghasilan tambahan
dengan melayani insinerasi limbah rumah sakit yang berasal dari rumah sakit yang lain.
Insinerator modern yang baik tentu saja memiliki beberapa keuntungan antara lain
kemampuannya menampung limbah klinik maupun limbah bukan klinik, termasuk benda
tajam dan produk farmasi yang tidak terpakai lagi.
Jika fasilitas insinerasi tidak tersedia, limbah klinik dapat ditimbun dengan kapur dan
ditanam. Langkah-langkah pengapuran (Liming) tersebut meliputi sebagai berikut :
1.

Menggali lubang, dengan kedalaman sekitar 2,5 meter

2.

Tebarkan limbah klinik didasar lubang samapi setinggi 75 cm

3.

Tambahkan lapisan kapur

4.

Lapisan limbah yang ditimbun lapisan kapur masih bisa ditanamkan sampai

ketinggian 0,5 meter dibawah permukaan tanah


5.

Akhirnya lubang tersebut harus ditutup dengan tanah

Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) di Indonesia


Oleh: Dwi Ika
02 January 2013 | 15:53
Permasalahan limbah B3 dalam konteks lingkungan hidup di Indonesia menjadi focus
Kementrian Negara Lingkungan Hidup saat ini. Berbagai aktivitas industry telah
menimbulkan lahan terkontaminasi oleh limbah B3. Kejadian tersebut antara lain
disebabkan oleh adamya pembuangan limbah B3 ke lingkungan walaupun sesungguhnya
peraturan Perundangan telah mengatur larangan membuang limbah B3 ke lingkungan.
Beban biaya yang tinggi untuk mengolah limbah B3 sering menjadi alas an membuang
limbah B3 ke lingkungan tanpa diolah terkebih dahulu.
Banyak industri yang tidak menyadari, bahwa limbah yang dihasilkan termasuk dalam
kategori limbah B3, sehingga dengan mudah limbah dibuang ke sistem perairan tanpa
adanya pengolahan. Pada hakekatnya, pengolahan limbah adalah upaya untuk memisahkan
zat pencemar dari cairan atau padatan. Walaupun volumenya kecil, konsentrasi zat
pencemar yang telah dipisahkan itu sangat tinggi. Selama ini, zat pencemar yang sudah
dipisahkan (konsentrat) belum tertangani dengan baik, sehingga terjadi akumulasi bahaya
yang setiap saat mengancam kesehatan dan keselamatan lingkungan hidup. Untuk itu
limbah B3 (termasuk yang masih bersifat potensial) perlu dikelola antara lain melalui
pengolahan limbah B3.
Menurut PP No. 18 tahun 1999, yang dimaksud dengan limbah B3 adalah sisa suatu
usaha dan atau kegiatan yang mengandung bahan berbahaya dan atau beracun yang karena
10

sifat dan atau konsentrasinya dan atau jumlahnya, baik secara langsung maupun tidak
langsung, dapat mencemarkan dan atau merusakkan lingkungan hidup manusia serta
makhluk hidup lain.
Pengelolaan B3 adalah untuk mencegah dan menanggulangi pencemaran atau
kerusakan lingkungan hidup yang diakibatkan oleh limbah B3 serta melakukan oemulihan
kualitas lingkungan yang sudah tercemar sehingga sesuai dengan fungsinya kembali.
Dalam UU No. 23 tahun 1997

tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, terminologi

pencemaran lingkungan hidup adalah masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat,
energi, dan/atau komponen lain kedalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia
sehingga kualitasnya turun sampai tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan hidup
tidak dapat berfungsi sesuai peruntukannya.
Berikut adalah beberapa tehnik pengolahan limbah B3 (Setiyono, 2002) antara lain :
1. Netralisasi (pengolahan secara kimia)
Proses netralisasi diperlukan apabila kondisi limbah masih berada di luar baku mutu
limbah (pH 6-8), sebab limbah di luar kondisi tersebut dapat bersifat racun atau korosif.
Netralisasi dilakukan dengan mencampur limbah yang bersifat asam dengan limbah yang
bersifat basa. Pencampuran dilakukan dalam suatu bak equalisasi atau tangki netralisasi.
Netralisasi dengan bahan kimia dilakukan dengan menambahkan bahan yang bersifat asam
kuat atau basa kuat. Air limbah yang bersifat asam umumnya dinetralkan dengan larutan
kapur (Ca(OH)2), soda kostik (NaOH) atau natrium karbonat (Na2CO3). Air limbah yang
bersifat basa dinetralkan dengan asam kuat seperti asam sulfat (H2SO4), HCI atau dengan
memasukkan gas CO2melalui bagian bawah tangki netralisasi.
2. Pengendapan
Apabila konsentrasi logam berat di dalam air limbah cukup tinggi, maka logam dapat
dipisahkan dari limbah dengan jalan pengendapan menjadi bentuk hidroksidanya. Hal ini
dilakukan dengan larutan kapur (Ca(OH)2) atau soda kostik (NaOH) dengan
memperhatikan kondisi pH akhir dari larutan. Pengendapan optimal akan terjadi pada
kondisi pH dimana hidroksida logam tersebut mempunyai nilai kelarutan minimum.
3. Koagulasi dan Flokasi (pengolahan secara kimia)
Digunakan untuk memisahkan padatan tersuspensi dari cairan jika kecepatan pengendapan
secara alami padatan tersebut lambat atau tidak efisien. Koagulasi dilakukan dengan
menambahkan bahan kimia koagulan ke dalam air limbah. Koagulan yang sering
digunakan adalah tawas (Al2(SO4)3).18H20; FeC13; FeSO4.7H20; dan lain-lain.
4. Evaporasi (penyisihan komponen-komponen yang spesifik)
Evaporasi pada umumnya dilakukan untuk menguapkan pelarut yang tercampur dalam
limbah, sehingga pelarut terpisah dan dapat diisolasi kembali. Evaporasi didasarkan pada
sifat pelarut yang memiliki titik didih yang berbeda dengan senyawa lainnya.
11

5. Insinerasi
Insinerator adalah alat untuk membakar sampah padat, terutama untuk mengolah limbah
B3 yang perlu syarat teknis pengolahan dan hasil olahan yang sangat ketat. Pengolahan
secara insinerasi bertujuan untuk menghancurkan senyawa B3 yang terkandung di
dalamnya menjadi senyawa yang tidak mengandung B3. Ukuran, desain dan spesifikasi
insinerator yang digunakan disesuaikan dengan karakteristik dan jumlah limbah yang akan
diolah. Insinerator dilengkapi dengan alat pencegah pencemar udara untuk memenuhi
standar emisi.
Selain itu untuk mengurangi banyaknya jumlah limbah B3 yang ada di lingkungan, dapat
kita lakukan recycle atau pengolahan kembali, meskipun tidak semua limbah B3 dapat
diolah, namun setidaknya kita sudah melakukan upaya untuk melestrarikan lingkungan
kita.

III.

Sanitasi Makanan
Higiene dan Sanitasi Jajanan Anak Perlu Perhatian
Penulis; Unoviana Kartika
Selasa, 22 Januari 2013 | 16:31 WIB
JAKARTA, KOMPAS.com - Higiene dan sanitasi merupakan dua faktor utama
keamanan pangan yang patut menjadi perhatian. Saat ini, sebagian besar jajanan anak
khususnya di sekolah-sekolah dasar belum sepenuhnya memenuhi syarat kedua faktor
tersebut, sehingga perlu terus diawasi dan diperbaiki.
Demikian diungkapkan Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan
Berbahaya Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) Roy Sparingga dalam
roadshow Kampanye Pangan Jajanan Anak Sekolah (PJAS) BPOM bertajuk 'Sehatnya
Duniaku - Menuju Generasi Emas yang Sehat dan Berkualitas', Selasa (22/1/2013) di
Jakarta.
"Masalah utama bagi jajan anak, terutama anak Sekolah Dasar adalah higiene sanitasi
yang

belum

baik,

sehingga

harus

ada

perhatian,"

ujar

Roy.

Dalam roadshow yang kali ini berlangsung di SDN 01 Tebet Timur Jakarta itu, Roy
mengatakan masih ada faktor lainnya yang menjadikan jajanan anak menjadi berbahaya
untuk dikonsumsi, yaitu bahan kimia berbahaya, seperti pewarna tekstil, pengawet, serta
pemanis buatan.
Masalah higiene dan sanitasi, menurut Roy, menjadi paling utama karena efeknya
dapat langsung dirasakan setelah mengonsumsi makanan tidak bersih. Efek dari higiene
sanitasi adalah jangka pendek, sedangkan, bahan kimia berbahaya berefek jangka
panjang.
12

Sakit akibat makanan, disebut Roy sebagai kejadian luar biasa (KLB) pangan di Indonesia.
Sebanyak 35 persennya adalah dari jajanan anak sekolah, dan 80 persen dari angka itu
berasal dari jajanan anak Sekolah Dasar.
Hal inilah yang mendasari BPOM perlu untuk mengadakan roadshow tentang
pentingnya keamanan pangan. SDN 01 Tebet Timur menjadi tempat pertama
dilaksanakannya Road Show 'Sehatnya Duniaku'. Rencananya selanjutnya, BPOM akan
melanjutkan ke 25 Sekolah Dasar masing-masing di dua kota besar yaitu Jakarta dan
Bandung.
"BPOM hanya dapat mengadakan penyuluhan tentang keamanan pangan jajanan anak,
namun pelaku pengawasannya tentu saja komunitas sekolah, yaitu guru, murid, orang tua
murid, pengelola kantin, serta pedagang makanan sekitar sekolah," jelas Roy.
Makanan Tercemar, Sumber Penularan Hepatitis A
Penulis : Lusia Kus Anna
Kamis, 10 November 2011 | 14:34 WIB
Kompas.com- Terus bertambahnya siswa yang terinfeksi virus Hepatitis A di Sekolah
Menengah Kejuruan Negeri 2 Depok merupakan bukti bahwa penyakit ini sangatlah
menular. Hingga Rabu (10/11) kemarin, jumlah penderita mencapai 90 orang. Dalam tiga
hari terakhir, terjadi penambahan 22 orang, yang sebelumnya 68 orang.
Sebagian kalangan menduga kuat, peristiwa ini terjadi karena lingkungan sekolah
telah terkontaminasi oleh penderita sebelumnya. Penyakit hepatitis A terutama ditularkan
melalui makanan atau air yang tercemar virus hepatitis A. Penularan dapat dicegah dengan
cara selalu menjaga kebersihan tangan.
Menurut penjelasan dr.Unggul Budihusodo, Sp.PD, dari Divisi Hepatologi
FKUI/RSCM Jakarta, virus hepatitis A terdapat di dalam tinja pasien.
"Jika pasien masih kecil kemudian si ibu menceboki lalu tidak mencuci tangannya
sebelum mengolah makanan, maka makanan atau minuman yang terkena bisa tercemar,"
ujarnya ketika dihubungi KOMPAS.com. Selain itu, sanitasi yang buruk juga bisa menjadi
sumber penyebaran virus hepatitis A. "Jika pasien buang hajat sembarangan atau air dari
kakus dialirkan ke selokan, bisa juga jadi sumber penularan," imbuh penasihat Pengurus
Besar Perhimpunan Peneliti Hati Indonesia ini.Untuk mendeteksi penyakit ini, biasanya
dilakukan dengan pemeriksaan feses atau darah. Pemeriksaan bahkan dapat dilakukan dua
minggu sebelum gejala penyakit muncul. Menurut Unggul, pencegahan penyakit ini
sebenarnya sederhana. "Selalu mencuci tangan dan memastikan semua yang akan kita
telan harus bersih dari cemaran," ujarnya.Pencegahan kedua adalah melakukan vaksinasi
hepatitis A. "Pada dasarnya jika sudah pernah terkena penyakit ini tubuh akan membuat
13

kekebalan sehingga tidak akan tertular lagi. Namun jika belum pernah kena, segera
lakukan vaksinasi," pungkasnya. Sementara itu pengobatan penyakit ini yang penting
adalah beristirahat total. "Karena disebabkan oleh virus penyakit ini akan sembuh sendiri,"
katanya.

IV.

Sanitasi Pemukiman & Tempat Tempat Umum

50 Juta Penduduk Tak Punya Toilet


Penulis: Lusia Kus Anna

Senin, 19 November 2012 | 16:13 WIB

KOMPAS.com - Krisis sanitasi saat ini belum dianggap sebagai isu dunia yang
mengkhawatirkan. Padahal, menurut data 40 persen penduduk dunia tidak memiliki akses
pada fasilitasi sanitasi dan toilet yang layak. Di Indonesia, sekitar 20 persen penduduk atau
sekitar 50 juta orang belum memiliki toilet.
Tidak adanya toilet yang layak membuat warga memilih untuk buang air besar di
tempat terbuka seperti sawah, sungai, atau tanah kosong. Setiap harinya, dihasilkan 14.000
ton tinja yang dibuang bukan di toilet. Jumlah itu setara dengan 6.700 gajah sumatera.
"Tinja tersebut mencemari sungai dan air tanah. Karenanya tidak ada air sungai yang
melewati kota yang airnya layak sebagai sumber air," kata Nugroho Tri Utomo, Direktur
Pemukiman dan Perumahan Bappenas dalam acara peringatan Hari Toilet Sedunia di
Jakarta, Senin (19/11/12).
Kurang memadainya sanitasi dasar itu bisa menjadi pembunuh berantai tersembunyi.
Hampir 900 juta orang di dunia dipaksa untuk mengonsumsi air kotor. Sementara setiap
detik 20 anak meninggal dunia karena penyakit yang diakibatkan sanitasi buruk. Jumlah
ini lebih besar daripada kematian yang diakibatkan oleh AIDS, malaria, dan campak.
Nugroho menjelaskan, pemerintah baru menganggarkan dana sanitasi sebesar Rp 6.500
per orang per tahun, padahal idealnya adalah Rp 47.000 perorang pertahun.
"Sedikit orang yang memprioritaskan investasi sanitasi, termasuk di rumah sendiri. Ini
karena dulu masalah sanitasi dianggap sebagai masalah pribadi," katanya.
Toilet adalah hal yang krusial bagi kehidupan manusia. Selain mempertahankan
kesehatan, toilet yang layak juga memperbaiki martabat, meningkatkan taraf hidup, dan
memberdayakan masyarakat. Menurut Sjukrul Amien, Direktur PPLP Kementrian
Pekerjaan Umum, yang terpenting sebenarnya bukan hanya dana untuk membangun toilet,
tetapi komitmen dan perubahan perilaku masyarakat.
Sejumlah program telah dilancarkan pemerintah dalam rangka mempercepat
pembangunan sanitasi di Indonesia. Antara lain Sanitasi Total Berbasis Masyarakat,
program yang bertujuan membebaskan 2000 desa di Indonesia dari buang air
sembarangan.
14

World Toilet Day yang diperingati setiap tanggal 19 November bertujuan untuk
mendobrak tabu dalam membicarakan toilet serta meningkatkan kesadaran akan
pentingnya fasilitas dan infrastuktur toilet.
Indonesia, Negara dengan Sanitasi Terburuk Kedua di Dunia!
Kamis, 31 Oktober 2013 | 17:21 WIB
63 juta penduduk Indonesia tidak memiliki toilet dan masih buang air besar (BAB)
sembarangan di sungai, laut, atau tanah. Kini sudah seharusnya para pemangku
kepentingan di Indonesia benar-benar mencermati bahwa pembangunan sanitasi di
Indonesia masih relatif rendah. Hal itu terungkap pada Konferensi Sanitasi dan Air Minum
Nasional (KSAN) 2013 di Jakarta, Rabu (30/10), bertema "Menuju Pelayanan Prima Air
Minum dan Penyehatan Lingkungan Berbasis Masyarakat Melalui Penguatan Institusi
Daerah dan Pelibatan Swasta Lokal".
Pada konferensi yang diselenggarakan oleh World Bank Water Sanitation Program
(WSP) itu terungkap, bahwa Indonesia berada di urutan kedua di dunia sebagai negara
dengan sanitasi buruk. Menurut data yang dipublikasikan Perserikatan Bangsa-Bangsa
(PBB), 63 juta penduduk Indonesia tidak memiliki toilet dan masih buang air besar (BAB)
sembarangan di sungai, laut, atau di permukaan tanah.
Menurut data Tujuan Pembangunan Milenium Indonesia (MDG), pada 2010 cakupan
pelayanan air minum di Indonesia baru mencapai 46 persen. Padahal, target di 2015,
Indonesia harus sudah mencapai 68,87 persen. Sementara itu, target pemenuhan akses
sanitasi layak harus mencapai 62,41 persen.
Memang, meski terdengar sepele bagi penduduk kota yang berkelimpahan pasokan air
bersih, masalah seputar ketersediaan air bersih dan fasilitas sanitasi di daerah-daerah lain
ternyata cukup parah. Karena itulah, perlu kerjasama berbagai pihak untuk segera
memperbaiki hal ini.
"Sanitasi termasuk target MDG (Millenium Development Goal). Mungkin ini target tiga
tahun lalu. Saat ini, akses kita sudah 57 persen. Ada optimisme, targetnya 62 persen.
Informasi dua minggu lalu dari BPS, di kuartal pertama 2013 ternyata sanitasi kita maju
satu persen. Akhir 2013 ini bukan tidak mungkin sampai empat persen. Jadi, saya
optimistis," kata Nugroho Tri Utomo, Direktur Perumahan dan Permukiman Bappernas,
menanggapi kekhawatiran publik.
Menurut Nugroho, jika usaha ini tidak terhenti di tahun depan, maka target tentu akan
terpenuhi. Sementara masalah kedua adalah masalah kesadaran. Nugroho bersikeras akan
mendukung segala kegiatan yang mampu mendorong kesadaran penduduk Indonesia,
lewat jalur pendidikan, agama, maupun ekonomi. Intinya, kesadaran harus didahulukan.
15

sampah,plastik,polusiIlustrasi sampah (Thinkstockphoto)


Menanggapi hal itu, Direktur Pengembangan Air Minum Kementerian Pekerjaan
Umum Danny Sutjiono, dan Direktur Penyehatan Lingkungan Ditjan P2PL Kementerian
Kesehatan Wilfred H. Purba mengaku sependapat dengan Nugroho.
Keduanya menyatakan bahwa bukan tidak ada usaha untuk menyediakan sanitasi
memadai dan akses ke air bersih. Bahkan, masyarakat yang ada di daerah umumnya
justeru mengedepankan konsep gotong royong untuk mengusahakan hal ini. Dengan kata
lain, yang terjadi adalah sebuah proses.
Donny mengakui, sulit menjawab mengapa pendapatan Indonesia yang cukup
ternyata belum mampu menyelesaikan masalah sanitasi. Namun, kesadaran semua pihak
perlu ditumbuhkan lebih banyak lagi untuk menyelesaikan masalah tersebut.
Sementara Wilfred juga mengutarakan, bahwa dalam menumbuhkan kesadaran semua
penduduk Indonesia, ada beberapa tantangan yang harus dihadapi. Pertama, orang
Indonesia cenderung lebih senang "mengobati". Kegiatan promotif dan preventif memakan
waktu lebih lama, maka tidak disukai oleh orang Indonesia.
"Yang kedua, tantangan kita yang lain biayanya meningkat, baik di tingkat pusat maupun
daerah. Yang ketiga, orang sakit bisa karena beberapa alasan. Bisa karena genetis, sulitnya
akses ke kesehatan, dan karena perilaku," ujarnya.

V.

Pencemaran Lingkungan

Pencemaran Udara Kota Bekasi di Ambang Batas


Oleh: Rulam

Januari

2012
BEKASI Tingkat pencemaran udara di Kota Bekasi sudah masuk dalam tahap
mengkhawatirkan. Diperkirakan, pencemaran udara itu akan semakin parah karena jumlah
kendaraan terus bertambah. Menurut hasil pemeriksaan laboratorium Badan Pengendalian
Lingkungan Hidup (BPLH) Kota Bekasi 2010, polusi udara sudah di ambang batas yakni
30.861 gram per m3. Sementara ambang batasnya hanya 30.000 gram per m3. Artinya,
kandungan karbonmonoksida (CO) yang ada di udara Kota Bekasi sudah di ambang batas.
Sedangkan NO2 dan CO2 masih di bawah ambang batas, yakni 400 gram per m3 dan
900 gram per m3. Demikian diungkapkan Kepala BPLH Kota Bekasi, Dadang Hidayat,
dan Kepala Sub Bidang Pengendalian Pencemaran Air dan Udara, Zaenal Abidin, kepada
SH, Senin (17/10). Pencemaran itu, ungkap Zaenal, akibat asap dari bahan bakar
kendaraan, di mana bahan bakar kandungan sulfur yang terlalu tinggi.
16

Menurut Zaenal, saat ini BPLH Kota Bekasi, sedang memeriksa pencemaran udara di
20 titik. Adapun lokasi pemeriksaan beberapa di antaranya berada di jalan raya.
Paling parah pencemaran udaranya pada 2010 terdapat di perempatan Kampung
Rawapanjang, yakni pertemuan antara Jl Raya Ahmad Yani, Jl Cut Mutiah, Jl RA Kartini,
dan Jl Siliwangi Narogong, kata dia.
Menurut Zaenal, pencemaran yang tinggi di lokasi itu, karena adanya penumpukan
kendaraan. Selain di perempatan Rawapanjang, lokasi yang saat ini menjadi titik
pemeriksaan pencemaran udara di Terminal Bus Bekasi, Jl Sudirman seputar Kranji
Bekasi Barat, seputar perempatan Bulak Kapal Kecamatan Bekasi Timur, termasuk di
beberapa jalan raya yang lalu lintasnya sangat padat. Ketika ditanya mengenai upaya
untuk mengatasi pencemaran udara, Dadang dan Zaenal mengaku pihaknya sebagai BPLH
hanya sebatas melakukan penelitian. Upaya untuk menekan pencemaran udara adalah
dengan melakukan uji emisi kendaraan.
Pencemaran udara ini karena kualitas bahan bakar minyak di negara kita kurang baik. Ini
karena hasil uji emisi di lapangan, kendaraan yang menggunakan bahan bakar minyak
bensin atau premium hanya 60-70 persen yang lulus emisi, sedang kendaraan yang bahan
bakarnya menggunakan solar, yang lulus emisi hanya sekitar 30 persen, paparnya.
Tingkat Pencemaran Laut Indonesia
27 Februari 2011
Tingkat pencemaran laut di Indonesia masih sangat tinggi. Pencemaran berat terutama
terjadi di kawasan laut sekitar dekat muara sungai dan kota-kota besar. Tingkat
pencemaran laut ini telah menjadi ancaman serius bagi laut Indonesia dengan segala
potensinya.
Pencemaran laut menurut PP No. 19 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran
dan/atau Perusakan Laut adalah mempunyai pengertian atau definisi sebagai masuknya
atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam
lingkungan laut oleh kegiatan manusia sehingga kualitasnya turun sampai tingkat tertentu
yang menyebabkan lingkungan laut tidak sesuai lagi dengan baku mutu dan/atau
fungsinya.
Komponen-komponen yang menyebabkan pencemaran laut seperti partikel kimia,
limbah industri, limbah pertambangan, limbah pertanian dan perumahan, kebisingan, atau
penyebaran organisme invasif (asing) di dalam laut yang berpotensi memberi efek
berbahaya.
Beberapa contoh pencemaran laut yang terjadi di Indonesia seperti penangkapan ikan
dengan cara pengeboman dan trawl, peluruhan potasium yang dilakukan nelayan asal
17

dalam maupun luar negeri yang selalu meninggalkan kerusakan dan pencemaran di lautan
Indonesia. Belum lagi pencemaran minyak dan pembuangan limbah berbahaya jenis
lainnya.
Pencemaran laut ini terjadi hampir di seluruh pesisir lautan di Indonesia. Teluk Jakarta
salah satu kawasan dengan pencemaran laut terparah. Warna air laut di teluk ini semakin
menghitam dan sampah yang rapat mengambang di permukaan air. Kementerian
Lingkungan Hidup (KLH) menyebutkan pencemaran itu berasal dari limbah domestik dan
industri yang dibawa 13 sungai bermuara di sana. Pencemaran juga terjadi di Taman
Nasional Pulau Seribu. LSM Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) bahkan menyebutkan
telah menemukan gumpalan minyak di 78 pulau sejak 2003.
Pencemaran juga terjadi di pantai utara Jawa Tengah. Perairan Kota Tegal, Pati, dan
Semarang menjadi muara sungai-sungai yang tercemar logam berat. Di Pulau Lombok dan
Sumbawa itu, sedikitnya 110 ribu ton tailing (limbah tambang) dibuang tiap harinya oleh
sebuah perusahaan tambang multinasional.
Di Kalimantan, pencemaran laut juga terjadi yang salah satunya terjadi di Pulau
Sebuku. Di sana beroperasi perusahaan tambang batu bara. Air pencucian batu bara,
tumpahan minyak, serta oli saat pengapalan mencemari sungai dan akhirnya ke laut.
Catatan pencemaran akibat limbah tambang terus berlanjut hingga wilayah timur
Indonesia. Dalam laporan lem-baga itu juga disebutkan sekitar 110 km2 wilayah Papua
tercemar akibat pertambangan emas. Selain wilayah-wilayah ini, masih banyak lagi kasus
pencemaran laut akibat aktivitas di darat.
Akibat Pencemaran Laut. Pencemaran laut telah mengakibatkan degradasi lingkungan
dan kehidupan bawah laut. Apalagi mengingat Indonesia sebagai negara maritim terbesar
di dunia dengan luas perairan mencapai 93 ribu km2, 17.480 pulau, dan garis pantai
sepanjang 95.000 km. Indonesia juga merupakan negara dengan terumbu karang terbaik
dan paling kaya keanekaragaman hayatinya di dunia dengan luas terumbu karang
mencapai 284,300 km2 atau setara dengan 18% total terumbu karang dunia. Kekayaan
alam dan keanekaragaman hayati laut tersebut terancam oleh pencemaran laut yang terus
meningkat di Indonesia.
Selain berakibat pada degradasi lingkungan, pencemaran laut juga memberi akibat
penurunan perekonomian nelayan. Dampak dari pencemaran laut dan limbah telah
mengakibatkan penurunan hasil tangkapan nelayan di sejumlah kawasan di Indonesia.
Sektor pariwisata pesisir dan laut Indonesia juga menerima dampak dari pencemaran laut
ini.
Sayangnya banyak diantara kita yang masih tidak peduli dengan pencemaran yang
mengancam salah satu harta kita, laut Indonesia. Ketika PBB (1992) menetapkan 8 Juni
18

sebagai Hari Kelautan, banyak negara melakukan peringatan masing-masing. Namun


anehnya, di Indonesia dengan rekor wilayah lautan sangat luas gaung itu sima, tidak
semenarik bila dibandingkan dengan gonjang-ganjing politik. Dan jika pencemaran laut
terus berlangsung dan dibiarkan bukan tidak mungkin laut Indonesia yang kaya dan indah
tinggal menjadi sepotong kenangan.

VI.

Pengendalian Vektor & Rodent


Awas, Fogging!
13 April 2012 | 20:03
Gara-gara nyamuk atau akibat ulah sendiri? Itulah yang terpikir kala membaca surat
dari RT yang tergeletak di atas meja. Dua hari kemudian (11/4/2012) asap putih tebal pun
menyelimuti rumah-rumah di tiga RT di Kelurahan Jati Padang Pasar Minggu. Warga pun
bergerombol di luar rumah sembari menutup hidung dengan tangan, atau wajah tertutup
kain alakadarnya demi menghindar dari bau kerosin. Dua petugas diantar Pak RT dengan
sigap masuk ke lorong dan gang sempit, lalu masuk ke setiap rumah. Walau tidak harus
ada dan terlihat di sudut rumah dan perkampungan, nyamuk dewasa menjadi sasarannya.
Nyamuk mungkin serangga paling menjengkelkan di Indonesia. Saya meyakini
hampir 100 persen penduduk Indonesia pernah merasakan gigitannya. Masih syukur jika
mereka cuma berputar-putar, walau suaranya bikin senewen. Saat mereka mendarat di
permukaan kulit, lalu seenaknya saja menghisap sebagian darah, kejengkelan pun
bertambah. Jika cuma gatal saja tidak mengapa. Namun saat badan meriang beberapa hari
bahkan ada yang tanpa deman sama sekali, lalu tiba-tiba dingin dan lemas tak berdaya,
pikiran pun mulai kalut. Ketika hasil tes darah menyebuktan kadar trombosit terjun bebas
hingga di bawah 100 ribu, kalut makin menjadi-jadi. Akhirnya keluar hasil diagnosanya:
Deman Berdarah.
Vonis demam berdarah dari dokter pun dilaporkan ke ketua RT/RW. Jika korbannya
banyak, atau terjadi epidemi di wilayah tertentu, maka salah satu tindakan dari Dinas
Kesehatan atau Puskesmas adalah fogging. Akhirnya semua dipukul rata, satu kompleks
pun kena sasaran fogging, bahkan setiap sudut di dalam rumah pun diasapi. Kita pun
dibuat repot lagi sebelum dan sesudah fogging.
Dulu pengasapan bercampur pestisida biasanya dilakukan di sawah-sawah guna
mengusir hama tikus. Atau saat petani menyemprotkan insektisida di sawah-sawah untuk
mematikan hama wereng. Kini aerosol atau semburan asap putih itu bisa memenuhi
19

rumah-rumah. Memang berabe, namun demi kesehatan lingkungan, rumah pun harus
direlakan dibombardir dengan semburan asap putih berbau minyak tanah. Penghuni harus
menyingkir beberapa saat, bahkan bisa dalam hitungan jam. Berbahayakan bagi manusia?
Namanya juga insektisida, pasti ada risikonya. Bukan terhadap nyamuknya saja, namun
akumulasinya pun bisa mengancam kesehatan manusia. Apalagi jika dosis tinggi atau
terakumulasi dalam tubuh manusia. Lalu, bahan kimia apa sih yang disemprotkan itu?

Jenis insektisida yang digunakan pada fogging melawan nyamuk (sumber: WHO)
Klasifikasi bahaya bahan aktif atau Active Ingredient (Ai) pada standar WHO adalah:
Class II, moderately hazardous; class III, slightly hazardous; class U, unlikely to pose an
acute hazard in normal use. Itulah mengapa dosis insectisida pada fogging termasuk
faktor yang tertuang dalam standar prosedur. Selain bertujuan mematikan nyamuk secara
efektif jangan sampai mereka malah kebal- dosis insektisida perlu dikendalikan agar
tidak berdampak negatif pada kesehatan manusia dan lingkungannya.
Fogging bertujuan untuk mematikan nyamuk dewasa, setidaknya nyamuk yang sudah
bisa mengudara.

Bukan telur atau jentiknya, yang pada saat yang sama mungkin

bersemayam aman di menara air atau genangan air yang tidak bisa ditembus asap.
Fogging menjadi opsi terakhir ketika wabah deman berdarah terjadi di satu wilayah.
Tindakan kuratif terhadap lingkungan yang banyak nyamuk, yang patut diduga sebagai
20

vector atau pembawa virus yang bisa membuat manusia menderita. Kata WHO: Space
spraying of insecticides (fogging) should not be used except in an epidemic situation.
Prosedur standar pun diberlakukan, sebelum dan sesudah tindakan fogging, termasuk
spesifikasi dan kalibrasi alat penyemprot.
Fogging memang harus dilakukan hati-hati dan cermat, sesuai dengan prosedur
standar dari dinas kesehatan yang mengacu ke standar WHO. Manusia, alat, bahan, dan
kondisi lingkungan harus ditelaah sebelumnya. Misalnya, arah angin pun bisa menjadi
faktor yang dipertimbangkan. Pun dosis insectisidanya harus pas. Jika tidak, fogging bisa
membuat nyamuk malah kebal atau resisten terhadap insektisida.
Fogging memang tidak dilakukan sembarangan, dan bukan tindakan yang selalu
direkomendasikan, kecuali memenuhi syarat. Bagaimana pun tindakan preventif untuk
mencegah merajalelanya nyamuk seharusnya menjadi priroritas. Menurut WHO, ada
beberapa tindak pengendalian yang bisa dilakukan, selain Insecticide spraying, yaitu:
Chemical treatment of breeding sites, Biological control, Environmental management and
vector control, dan Community mobilization.

Contohnya, kita tabur abate di

penampungan air agar jentik tidak sempat bermetamorfosa menjadi nyamuk. Kita tanam
ikan agar bisa menelan jentik, atau ada bakteri parasit bagi jentik.
Kita mengenal pula istilah 3M Plus yang sering dikampanyekan, yaitu Menutup,
Menguras, Mengubur, dan Menggunakan anti nyamuk terpercaya. Namun, kasus demam
berdarah tetap sering terjadi berulang-kali. Adakah yang salah dengan tindakan kita, baik
pemerintah maupun warga di Indonesia?
Tindak yang lebih efektif, namun masih sulit implementasinya di Indonesia adalah
pengendalian lingkungan dan mobilisasi warga secara masif, serentak, dan berkelanjutan.
Kesadaran kolektif dan tindakan bersama belum terlihat dalam pencegahan Demam
berdarah. Indonesia seolah pasrah dengan perubahan cuaca. Ketika musim hujan
meninggalkan genangan air maka serangan nyamuk pun mengancam.
Pengendalian rodent di perusahaan
Rodent adalah hewan pengerat yang memiliki gigi depan yang selalu tumbuh dan
biasanya pada manusia bias menyebabkan penyakit dan dapat digunakan sebgai hewan
percobaan. Tikus adalah suatu jenis binatang pengerat yang perkembangbiakannya sangat
cepat dan sering merugikan manusia karena dalam kehidupan sehari - harinya tikus sering
merusak bahan makanan dan peralatan manusia baik di rumah, kantor, gudang, dsb. Tikus
juga merusak kabel sehingga dapat menyebabkan terjadinya hubungan pendek yang bisa
mengakibatkan terjadinya kebakaran. Selain itu tikus juga dapat menjadi penular penyakit
21

seperti pes, leptospirosis bagi manusia. Oleh karena itu pengendalian tikus merupakan
sesuatu hal yang penting dan perlu dilakukan agar tidak menimbulkan penyakit pada
seseorang. Dengan adanya permasalahan yang semakin banyak terjadi yaitu adanya rodent
yang merupakan suatu masalah yang tidak bisa dihindarkan karena rodent pasti ada di
tempat mananpun,sehingga yang perlu kita perhatikan adalah bagaimana meminimalkan
dampak buruk terutama dampak kesehatan akibat dari rodent.Kesehatan sangatlah
dibutuhkan oleh setiap orang karena dengan sehat seseorang dapat melakukan pekerjaan
dengan baik dan hasil yang maksimal.Maka dari itu suatu perusahaan atau industry harus
meminimalkan adanya rodent agar tidak menimbulkan penyakit pada karyawan sehingga
produktivitas kerja dapat berjalan dengan lancar bahkan akan meningkat dan perusahaan
atau industry memperoleh keuntungan.
Dengan adanya pengetahuan maka diharapkan dapat meminimalkan angka penyakit
akibat buruknya sanitasi lingkungan di perusahaan atau industry yaitu adanya rodent yang
dapat menularkan berbagai penyakit pada seseorang.Sehingga selain alat pelindung
diri,keadaan lingkugan di perusahaan juga sangatlah penting bagi karyawan.Dengan
demikian hendaknya setiap perusahaan atau industry lebih memperhatikan keadaan
lingkungan perusahaan apakah sudah dikategorikan keadaan yang sehat atau belum.Jadi
pada dasarnya keberadaan rodent sangatlah merugikan karena bias merusak peralatan dan
dapat menyebarkan penyakit sehingga menurunkan produktivitas.
Banyak metode yang digunakan dalam mengendalikan tikus,pengendalian terpadu
hama tikus dapat dilakukan 4 tahap yaitu :
1.

Inspeksi tikus dan initial survey.

2.

Sanitasi.

3.

Rat proofing.

4.

Rodent killing (trapping program dan rodentisida program).

Kombinasi beberapa metode akan memberikan hasil yang lbih baik dari pada hanya
menggunakan satu macam metode yang digumnakan sesuai dengan sasaran dan kondisi
lingkungan.
1.

Inspeksi tikus dan initial survey.

Inspeksi tikus sangat penting dilakukan sebelum dilaksanakan program pengendalian


tikus, inspeksi yang baik akan memberikan hasil maksimal dalam pengendalian. Initial
Survey, ditujukan untuk menentukan kondisi awal atau tingkat serangan dan kerusakan
yang ditimbulkan oleh tikus sebelum dilakukan program pengendalian tikus.
22

2.

Sanitasi.

Sanitasi sangat diperlukan dalam upaya suksesnya program pengendalian hama tikus.
Untuk mendapatkan hasil sanitasi yang baik, kami akan membuatkan beberapa
rekomendasi mengenai pengelolaan sampah, menjaga kebersihan area, sistem tata letak
barang digudang dengan susunan berjarak dari dinding dan tertata diatas palet, dll.Tikus
menyukai

tempat-tempat yang kotor dan lembab. Melakukan sanitasi berarti

menghilangkan tempat beristirahat, bersembunyi, berteduh dan berkembang biak bagi


tikus, disamping juga menghilangkan makanan tikus.
3.

Rat proofing.

Untuk mengendalikan tikus disuatu lokasi diupayakan agar lokasi tersebut tertutup dari
celah yang memungkinkan tikus masuk dari luar. Tikus dapat leluasa masuk lewat bawah
pintu yang renggang, lewat lubang pembuangan air yang tidak tertutup kawat kasa, lewat
shaft yang tidak bersekat atau lewat jalur kabel telepon dan listrik dari bangunan yang
tersambung disekitarnya.
4.

Rodent killing (trapping program dan rodentisida program).

Pengendalian tikus dilakukan dengan 2 cara yaitu dengan cara non kimia dan cara kimia.
1.

Pengendalian non kimia.

Pada pengendalian non kimia cara yang dilakukan adalah Trapping.Trapping adalah
cara yang paling efektif untuk mengendalikan tikus yaitu dengan membuat kandang yang
diletakkan di tempat yang biasanya dilewati oleh tikus sehingga tikus bisa masuk dan
terperangkap di tempat tersebut.
Kelebihan menggunakan metode trapping :
a.

Sangat aman karena tidak mengandung racun seperti halnya umpan.

b.

Cepat mendatangkan hasil.

c.

Menghindari tersebarnya bangkai tikus yang sangat sulit ditemukan dan menimbulkan

bau yang sangat menyengat.


2.
a.

Pengendalian kimia.

Poisoning.

Poisoning dimaksudkan sebagai peracunan tikus melalui umpan makanan beracun.


Keberhasilan poisoning ini tergantung pada bagaimana usaha agar tikus memilih dan
menyukai umpan makanan yang dipasang dan tidak memilih atau menyukai makanan lain
yang ada disekitarnya. Umpan makanan haruslah yang preference bagi tikus dan
pemasangannya ditempat yang tempatnya mudah didapatkan oleh tikus.
23

b.

Rodentisida.

Rodentisida adalah bahan kimia yang digunakan untuk mengendalikan tikus,rodentisida


yang digunakan adalah rodentisida antikoagulan yang mempunyai sifat sebagai berikut :
- Tidak berbau dan tidak berasa.
- Slow acting yaitu membunuh tikus secara perlahan-lahan,tikus baru m ati setelah
memakan beberapa kali.
- Tidak menyebabkan tikus jera umpan.
- Memetikan tikus dengan merusak mekanisme pembekuan darah
Jenis

bahan

aktif

rodentisida

adalah

boadfakum,

kumatetralil

atau

bromadiolone.Sedangkan untuk area khusus yang sangat sensitive dan memerlukan


perlakuan khusus akan dilakukan pengumpanan dengan lem tikus. Dengan menggunakan
sistem peracunan dengan rodentisida anti coagulant. Berdasarkan cara kerja bahan aktif
rodentisida, termasuk racun kronis. Rodentisida atau anti coagulant beraksi dalam
pembekuan darah merah, setelah tikus memakan racun ini menjadi lemah dan mengalami
pendarahan, tiga hari kemudian sifat rakus tikus akan berkurang dan tikus akan mati.
Untuk memastikan tikus mati diperlukan waktu 4 - 7 hari, dengan dosis 0,005 % dan
dengan pemasangan umpan yang tidak menimbulkan kecurigaan dan pencemaran
lingkungan serta relatif aman terhadap hewan bukan sasaran dan aman bagi manusia.
Teknik kerjanya yaitu pemasangan umpan secara total dilakukan 1 bulan sekali dan
pengecekan atau penambahan setiap saat sesuai kebutuhan.Adapun teknik kerjanya adalah
sebagai berikut:
1.

Pemasangan kotak-kotak umpan pada seluruh ruangan,terutama dinding,bawah

rak,lemari,dan tempat-tempat yang memungkinkan jalannya tikus dan dipandang aman.


2.

Pemasangan kotak -kotak umpan di atas plafon yang dipandang perlu.

3.

Pemasangan kotak umpan di sekeliling luar bangunan.

4.

Pencarian / pengambilan bangkai dan pengamanannya.

Agar memperoleh hasil pengendalian yang baik dianjurkan agar setiap 1 bulan dilakukan
service ulang untuk mencegah terjadinya gangguan tikus yang datang dari luar atau tikus tikus yang pada gebrakan pertama masih bayi dan tidak terperangkap papan lem.

VII.

Keselamatan & Kesehatan Kerja

24

Hukum Keselamatan dan Kesehatan Kerja


Oleh: Mirwandika

Senin, 30 September 2013 - 09:38:46 WIB

Keselamatan dan kesehatan kerja (K3) merupakan instrumen yang memproteksi


pekerja, perusahaan, lingkungan hidup, dan masyarakat sekitar dari bahaya akibat
kecelakaan kerja. Perlindungan tersebut merupakan hak asasi yang wajib dipenuhi oleh
perusahaan. K3 bertujuan mencegah, mengurangi, bahkan menihilkan risiko kecelakaan
kerja (zero accident). Penerapan konsep ini tidak boleh dianggap sebagai upaya
pencegahan kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja yang menghabiskan banyak biaya
(cost) perusahaan, melainkan harus dianggap sebagai bentuk investasi jangka panjang
yang memberi keuntungan yang berlimpah pada masa yang akan datang.
Eksistensi K3 sebenarnya muncul bersamaan dengan revolusi industri di Eropa,
terutama Inggris, Jerman dan Prancis serta revolusi industri di Amerika Serikat. Era ini
ditandai adanya pergeseran besar-besaran dalam penggunaan mesin-mesin produksi
menggantikan tenaga kerja manusia. Pekerja hanya berperan sebagai operator. Penggunaan
mesin-mesin menghasilkan barang-barang dalam jumlah berlipat ganda dibandingkan
dengan yang dikerjakan pekerja sebelumnya. Revolusi IndustriNamun, dampak
penggunaan mesin-mesin adalah pengangguran serta risiko kecelakaan dalam lingkungan
kerja. Ini dapat menyebabkan cacat fisik dan kematian bagi pekerja. Juga dapat
menimbulkan kerugian material yang besar bagi perusahaan. Revolusi industri juga
ditandai oleh semakin banyak ditemukan senyawa-senyawa kimia yang dapat
membahayakan keselamatan dan kesehatan fisik dan jiwa pekerja (occupational accident)
serta masyarakat dan lingkungan hidup.
Pada awal revolusi industri, K3 belum menjadi bagian integral dalam perusahaan.
Pada era in kecelakaan kerja hanya dianggap sebagai kecelakaan atau resiko kerja
(personal risk), bukan tanggung jawab perusahaan. Pandangan ini diperkuat dengan
konsep common law defence (CLD) yang terdiri atas contributing negligence (kontribusi
kelalaian), fellow servant rule (ketentuan kepegawaian), dan risk assumption (asumsi
resiko) (Tono, Muhammad: 2002). Kemudian konsep ini berkembang menjadi employers
liability yaitu K3 menjadi tanggung jawab pengusaha, buruh/pekerja, dan masyarakat
umum yang berada di luar lingkungan kerja.Dalam konteks bangsa Indonesia, kesadaran
K3 sebenarnya sudah ada sejak pemerintahan kolonial Belanda. Misalnya, pada 1908
25

parlemen Belanda mendesak Pemerintah Belanda memberlakukan K3 di Hindia Belanda


yang ditandai dengan penerbitan Veiligheids Reglement, Staatsblad No. 406 Tahun 1910.
Selanjutnya, pemerintah kolonial Belanda menerbitkan beberapa produk hukum yang
memberikan perlindungan bagi keselamatan dan kesehatan kerja yang diatur secara
terpisah berdasarkan masing-masing sektor ekonomi. Beberapa di antaranya yang
menyangkut sektor perhubungan yang mengatur lalu lintas perketaapian seperti tertuang
dalam Algemene Regelen Betreffende de Aanleg en de Exploitate van Spoor en
Tramwegen Bestmend voor Algemene Verkeer in Indonesia (Peraturan umum tentang
pendirian dan perusahaan Kereta Api dan Trem untuk lalu lintas umum Indonesia) dan
Staatblad 1926 No. 334, Schepelingen Ongevallen Regeling 1940 (Ordonansi Kecelakaan
Pelaut), Staatsblad 1930 No. 225, Veiligheids Reglement (Peraturan Keamanan Kerja di
Pabrik dan Tempat Kerja), dan sebagainya. Kepedulian Tinggi Pada awal zaman
kemerdekaan, aspek K3 belum menjadi isu strategis dan menjadi bagian dari masalah
kemanusiaan dan keadilan. Hal ini dapat dipahami karena Pemerintahan Indonesia masih
dalam masa transisi penataan kehidupan politik dan keamanan nasional. Sementara itu,
pergerakan roda ekonomi nasional baru mulai dirintis oleh pemerintah dan swasta
nasional.
K3 baru menjadi perhatian utama pada tahun 70-an searah dengan semakin ramainya
investasi

modal

dan

pengadopsian

teknologi

industri

nasional

(manufaktur).

Perkembangan tersebut mendorong pemerintah melakukan regulasi dalam bidang


ketenagakerjaan, termasuk pengaturan masalah K3. Hal ini tertuang dalam UU No. 1
Tahun 1070 tentang Keselamatan Kerja, sedangkan peraturan perundang-undangan
ketenagakerjaan sebelumnya seperti UU Nomor 12 Tahun 1948 tentang Kerja, UU No. 14
Tahun 1969 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Mengenai Tenaga Kerja tidak
menyatakan secara eksplisit konsep K3 yang dikelompokkan sebagai norma kerja.Setiap
tempat kerja atau perusahaan harus melaksanakan program K3. Tempat kerja dimaksud
berdimensi sangat luas mencakup segala tempat kerja, baik di darat, di dalam tanah, di
permukaan tanah, dalam air, di udara maupun di ruang angkasa.
Pengaturan hukum K3 dalam konteks di atas adalah sesuai dengan sektor/bidang
usaha. Misalnya, UU No. 13 Tahun 1992 tentang Perkerataapian, UU No. 14 Tahun 1992
tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ), UU No. 15 Tahun 1992 tentang
Penerbangan beserta peraturan-peraturan pelaksanaan lainnya. Selain sekor perhubungan
di atas, regulasi yang berkaitan dengan K3 juga dijumpai dalam sektor-sektor lain seperti
26

pertambangan, konstruksi, pertanian, industri manufaktur (pabrik), perikanan, dan lainlain.Di era globalisasi saat ini, pembangunan nasional sangat erat dengan perkembangan
isu-isu global seperti hak-hak asasi manusia (HAM), lingkungan hidup, kemiskinan, dan
buruh. Persaingan global tidak hanya sebatas kualitas barang tetapi juga mencakup
kualitas pelayanan dan jasa. Banyak perusahaan multinasional hanya mau berinvestasi di
suatu negara jika negara bersangkutan memiliki kepedulian yang tinggi terhadap
lingkungan hidup. Juga kepekaan terhadap kaum pekerja dan masyarakat miskin. Karena
itu bukan mustahil jika ada perusahaan yang peduli terhadap K3, menempatkan ini pada
urutan pertama sebagai syarat investasi.
Problematika Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K-3) di Indonesia
Oleh: Paulus Londo
Tak dapat disangkal hingga kini aspek kesehatan dan keselamatan kerja atau
disingkat K-3 belum mendapat perhatian serius di Indonesia. Kalaupun hal tersebut
sering dibicarakan

diberbagai seminar dan

diskusi, umumnya tidak disertai dengan

konsep implementasi yang jelas dan konkrit. Kenyataan

ini tentu tidak

akan

menguntungkan bagi Indonesia di masa mendatang, sebab masalah tersebut sejak dua
dekade silam sudah menjadi isu internasional yang serius, karena berkaitan erat dengan
berbagai masalah lainnya yang kini mendapat sorotan dunia. Dari aspek penggunaan
teknologi, misalnya perkembangan teknologi industri yang maju dengan pesat disatu
sisi telah memberikan manfaat luar biasa bagi kehidupan ummat manusia. Namun disisi
lain teknologi juga menebar beraneka ragam ancaman serius bagi
keselamatan

kesehatan

dan

masyarakat, terutama bagi para pekerja dan lingkungan sekitar lokasi

industri. Potensi ancaman terhadap kesehatan dan keselamatan kerja tersebut ada yang
latent ada pula yang manifest. Begitu pula proses kemunculannya ada yang
berlangsung gradual ada pula yang muncul spontan.
Dari sudut konfigurasi ketenaga-kerjaan tampilnya kelompok pekerja profesional
sebagai elemen vital bagi kelangsungan dan kemajuan perusahaan, mendorong perlunya
perhatian serius terhadap kelompok pekerja, baik demi kelangsungan perusahaan maupun
demi peningkatan produktivitas. Dalam industri modern, posisi pekerja profesional
memang menjadi
pekerja

faktor penentu mati hidupnya perusahaan. Sementara mendidik

menjadi profesional

selain membutuhkan biaya tinggi juga waktu panjang.

Karena itu demi menopang kehidupan danperkembangan perusahaan aspek kesehatan


27

dan keselamatan kerja perlu perhatian serius agar kualitas para pekerja tidak mengalami
degradasi.
Hal lain yang juga ikut mendorong perlunya perhatian serius terhadap kesehatan dan
keselamatan kerja adalah menguatnya desakan akan penegakan hak-hak asasi manusia
(HAM) sebagai suatu fenomena global. Dalam perspektif penegakan HAM, adanya
jaminan

terhadap kesehatan dan keselamatan

kerja

di

lingkungan

perusahaan

dipandang sebagai bagian integral dari penegakan hak-hak asasi manusia.


Dimensi Kesehatan dan Keselamatan Kerja
Di Indonesia, minimnya perhatian terhadap kesehatan dan keselamatan kerja
kemungkinan besar disebabkan oleh ruang lingkup masalah tersebut yang amat luas,
bersifat lintas sektor dan menyangkut berbagai aspek. Oleh karenanya pengelolaannya
pun tentu bersifat lintas sektor dan membutuhkan koordinasi yang intens antar semua
pihak terkait. Sementara yang juga menjadi salah satu kelemahan serius di Indonesia
adalah rendahnya kemampuan berkoordinasi, baik dalam perencanaan program maupun
dalam pelaksanaan suatu kebijakan.
Dalam soal kesehatan dan keselamatan kerja, misalnya, yang dibutuhkan minimal
koordinasi yang intens antara pihak yang terlibat dalam dunia kesehatan dan dunia
ketenaga-kerjaan, baik pada lingkup operasional, penentu kebijakan, maupun dengan
elemen yang

terlibat dalam pengembangan ilmu dan teknologi. Dengan kata lain,

kesehatan dan keselamatan kerja dapat dilihat dari berbagai sisi, antara lain:
Dari ruang lingkupnya K-3 dapat diartikan sebagai suatu masalah yang berkaitan
dengan Dunia Kesehatan dan Dunia Kerja yang

serius

saat

ini dan

menarik

perhatian masyarakat internasional.


Sebagai disiplin ilmu merupakan ilmu kesehatan yang memberikan perhatian besar
terhadap hubungan timbal balik antara aspek kesehatan dan aspek kerja.
Sementara dari aspek politik dan kebijakan publik dapat dicerminkan dengan berbagai
peraturan dan kebijakan baik global maupun
pekerja dan faktor yang

dapat

mengancam

nasional yang bertujuan melindungi


kesehatan dan keselamatannya dalam

pekerjaan.
Ancaman dan Gangguan
Berdasarkan pengamatan, gangguan dan ancaman terhadap kesehatan dan keselamatan
kerja di Indonesia disebabkan oleh berbagai

faktor yang

dalam keseharian

sering

luput dari perhatian. Berbagai faktor penyebab tersebut dapat dibagi atas tiga kelompok,
yakni:
a. Faktor Manusia, sebagai penyebab dominan (sekitar 80%) terganggunya kesehatan
dan keselamatan kerja. Ini disebabkan manajemen
28

sumber daya manusia dibanyak

perusahaan yang tidak cermat memperhatikan kondisi spesifik individual yang berkaitan
dengan kesehatan dan keselamatan kerja, seperti:
1. Usia, misalnya menempatkan pekerja yang terlalu tua atau terlalu muda sehingga
tidak sesuai dengan bidang kerja yang ditangani.
2. Pengalaman, pendidikan, ketrampilan, misalnya menempatkan pekerja yang
kurang terlatih untuk jenis pekerjaan tertentu, atau kompetensi tidak sesuai dengan
bidang pekerjaan.
3. Kepribadian, yakni berkaitan dengan tingkat ketelitian, keseriusan atau perilaku
ceroboh dari pekerja.
4. Kesehatan fisik & psikis, antara lain karena kelelahan dan sebagainya.
5. Jam kerja yang tidak teratur dan berlebihan.
b. Faktor peralatan dan bahan baku, yang tidak memenuhi standar kesehatan dan
keselamatan, seperti:
1. Peralatan tidak teruji dan atau berkualitas rendah.
2. Peralatan tidak egronomik.
3. Adanya kandungan racun, kuman dan radiasi pada bahan baku, alat dan hasil
produksi.
c. Faktor lingkungan yang tidak kondusif bagi keselamatan dan kesehatan kerja seperti:
1. Kualitas pencahayaan, suhu dan kebisingan.
2. Gelombang elektromagnetik, microwave, radiasi, dan sebagainya.
3. Kontaminasi biologi (virus, kuman, jamur, bakteri, dan sebagainya).
4. Pengolahan limbah tidak baik.
Implementasi K-3
Sebagai upaya perlindungan pekerja, masalah Kesehatan dan Keselamatan Kerja
(K-3) kini menjadi persoalan global, dan setiap negara tentu harus menyikapinya dengan
langkah konkrit dan terencana. Pada lingkup internasional, misalnya, PBB melalui ILO
(International Labour Organisation) telah menetapkan ketentuan tentang Accupational
Safety and Health yang patut dilaksanakan oleh semua negara anggota.
Fokus dari ketentuan tersebut adalah pencegahan efek samping dari penggunaan
teknologi dalam industri dari paling sederhana hingga tercanggih yang mengganggu
tata kehidupan dan lingkungan.
Sebagai anggota PBB dan ILO, Indonesia tampak berusaha memenuhi ketentuan
tersebut. Hal ini setidaknya tercermin

pada serangkaian kebijakan

yang ditempuh

pemerintah baik menyangkut institusionalisasi, legislasi maupun operasional.


Dalam aspek institusional, misalnya, pada tahun 1957 peme-rintah membentuk
Lembaga Kesehatan Buruh yang kemudian diu-bah menjadi Lembaga Kesehatan dan
Keselamatan Buruh ditahun 1965. Untuk lebih mengefektifkan fungsi kesehatan dan
kesela-matan kerja, organisasi Departemen Kesehatan kemudian dilengkapi dengan Dinas
Higiene Perusahaan/Sanitasi Umum dan Dinas Kesehatan Tenaga Kerja
29

Departemen

Kesehatan.

Sementara De-partemen Tenaga Kerja membentuk

Lembaga Higiene

Perusahaan dan Kesehatan Kerja (Hiperkes).


Untuk lebih mengintensifkan fungsinya, kedua institusi tersebut kemudian
dikembangkan menjadi

Sub Direktorat Kesehat-an Kerja Departemen

Kesehatan

(kemudian menjadi Badan Pusat Kesehatan Kerja) dan Pusat Hiperkes Departemen
Tenaga Kerja & Transmigrasi. Sedang dalam aspek legislasi, perhatian terhadap kesehatan
dan keselamatan kerja diwujudkan dengan terbitnya sejumlah undang-undang dan
peraturan, antara lain:
a. Undang-undang Kerja dan Undang-undang Kesehatan Kerja tahun 1957.
b. Undang-undang No. 1 tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja.
c. Undang-undang No. 23 tahun 1992 tentang Kesehatan.
d. Undang-undang No. 22 tahun 1993 tentang Penyakit yang timbul karena hubungan
kerja.
e. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No.Per 02/Men/1980 Pemeriksaan
Kesehatan Tenaga Kerja dalam Menyelenggarakan Keselamatan Kerja.
Implikasi dari ketentuan perundang-undangan tersebut, maka aspek kesehatan dan
keselamatan kerja kini ikut dijadikan bahan pertimbangan formal dalam pemberian
usaha, sementara sejumlah perusahaan berskala besar secara khusus telah membentuk
unit kerja tersendiri untuk menangani masalah K-3, baik dengan bentuk departemen,
Divisi atau Bagian sesuai dengan tingkat resiko yang dihadapi dalam pekerjaan.
Kendala
Lambannya penerapan ketentuan kesehatan dan keselamatan kerja di Indonesia
tampak selain disebabkan oleh rendahnya kesadaran para pelaku usaha akan hal ini, juga
oleh beragam faktor lain, dan karena itu perlu selusi yang bersifat menyeluruh.
Hasil satu survai menyebutkan bahwa hampir 37,2 5 perusahaan yang terdapat di
Indonesia tidak menyediakan biaya kesehatan dalam rencana pembiayaan perusahaan
meski hampir 57% pihak manajemen perusahaan menengah mengaku paham akan
pentingnya kesehatan dan keselamatan kerja. Sedang sebagian besar perusahaan skala
kecil umumnya tidak menerapkan bahkan tidak mengenal prinsip kesehatan dan
keselamatan kerja. Lebih menyedihkan lagi pada sektor informal hingga saat ini belum
ada upaya pemantauan terhadap implementasi K-3 dalam kegiatan usahanya.
Kondisi yang menyedihkan diatas memang menjadi kenis-cayaan dari sistem
hubungan kerja yang berlaku selama ini yang tak memungkinkan penerapan ketentuan
K-3 secara intens. Sistem hubungan Kerja borongan, Kerja kontrak sementara, Kerja
Harian Lepas dan sejenisnya memang tidak mendukung terlaksananya K-3.
Sesungguhnya semua itu terjadi karena dukungan politik dari pemerintah dalam
perlindungan pekerja jauh dari memadai. Dalam berbagai kebijakan mengenai ketenaga30

kerjaan dan dunia usaha, misalnya, terlihat dengan jelas belum semua aspek prinsipil
kesehatan dan keselamatan kerja terakomodir secara maksimal. Demikian pula ketentuan
audit kesehatan dan keselamatan kerja sering hanya bersifat formalitas belaka.
Namun diluar sebab-sebab diatas, tersendatnya penerapan K-3 di Indonesia juga
disebabkan oleh

belum berkembangnya disiplin ilmu kedokteran

okupasi sehinga

jumlah dokter okupasi di Indonesia masih sangat minim begitu pula klinik medik
okupasi masih sangat terbatas.

VIII.

Pengelolaan Sampah
Sudah Optimalkah Implementasi Sistem Pengelolaan Sampah di Indonesia?
19 September 2013 | 18:00
Apakah sampah itu? UU No. 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah
mendefinisikan sampah adalah sisa kegiatan sehari-hari manusia dan/atau proses alam
yang berbentuk padat. Sedangkan sampah rumah tangga didefinisikan sebagai sampah
yang berasal dari kegiatan sehari-hari dalam rumah tangga, tidak termasuk tinja dan
sampah spesifik.
UU No. 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah mendefinisikan pengelolaan
sampah sebagai kegiatan yang sistematis, menyeluruh, dan berkesinambungan yang
meliputi pengurangan dan penanganan sampah. Pengertian pengelolaan bukan hanya
menyangkut aspek teknis, tetapi mencakup juga aspek non teknis, seperti bagaimana
mengorganisir, bagaimana membiayai dan bagaimana melibatkan masyarakat penghasil
limbah agar ikut berpartisipasi secara aktif atau pasif dalam aktivitas pengelolaan tersebut
(Damanhuri & Padmi, 2010). UU No.18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah
menyebutkan tujuan pengelolaan sampah adalah untuk meningkatkan kesehatan
masyarakat dan kualitas lingkungan serta menjadikan sampah sebagai sumber daya.
Dalam UU No.18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah, dijelaskan ada 2
kelompok

utama

pengelolaan

sampah,

yaitu:

a. Pengurangan sampah

(waste

minimization), yang terdiri dari pembatasan timbulan (reduce), pendauran ulang (recycle)
dan pemanfaatan kembali (reuse); b. Penanganan sampah (waste handling), yang terdiri
dari: pemilahan, pengumpulan, pengangkutan, pengolahan, dan pemrosesan akhir sampah.
Berdasarkan hal di atas Damanhuri dan Padmi (2010) mengatakan bahwa ada 3 (tiga)
jalur pengelolaan sampah di Indonesia yaitu:

31

a. Pengelolaan formal. Pengeloaan sampah yang dilaksanakan oleh Pemerintah Kota atau
institusi lain termasuk swasta yang ditunjuk oleh Pemerintah Kota. Pembuangan sampah
tahap pertama dilakukan oleh penghasil sampah. Di daerah pemukiman biasanya kegiatan
ini dilaksanakan oleh RT/RW, di mana sampah diangkut dari bak sampah ke TPS. Tahap
berikutnya, sampah dari TPS diangkut ke TPA oleh truk sampah milik pengelola kota atau
institusi yang ditunjuk.
b. Pengelolaan non formal. Pengelolaan sampah oleh masyarakat secara swadaya mulai
dari sumber sampah sampai ke tempat pengumpulan atau ke tempat pemrosesan lainnya.
Di kota-kota, pengelolaan ini biasanya dilaksanakan oleh RT/RW, dengan kegiatan
mengumpulkan sampah dari bak sampah di sumber sampah, misalnya di rumah-rumah,
diangkut dengan sarana yang disiapkan sendiri oleh masyarakat, menuju ke TPS. Bank
sampah yang marak dibentuk masyarakat 5 tahun belakangan ini termasuk dalam
kelompok pengelolaan ini.
c. Pengelolaan informal. Pengelolaan yang dilakukan oleh masyarakat kelas menengah
bawah karena motivasi ekonomi. Sistem pengelolaan informal ini memandang sampah
sebagai sumber daya ekonomi melalui kegiatan pemungutan, pemilahan, dan penjualan
sampah untuk didaur-ulang. Rangkaian kegiatan ini melibatkan pemulung, tukang loak,
lapak, bandar, dan industri daur-ulang dalam rangkaian sistem perdagangan.
Bagaimana implementasi sistem pengelolaan sampah di Indonesia? Marilah kita amati
lingkungan sekitar kita untuk mengetahui apakah tujuan pengelolaan sampah yang
diamanatkan dalam UU No. 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah, yaitu
meningkatkan kesehatan masyarakat dan kualitas lingkungan serta menjadikan sampah
sebagai sumber daya sudah dapat tercapai? Untuk mendukung tercapainya tujuan
tersebut, marilah kita sebagai penghasil sampah ikut berkontribusi dalam pengelolaan
sampah, minimal melalui pengurangan sampah dalam rumah kita masing-masing selalui
metode 3R.
Saatnya Memperbaiki Pengelolaan Sampah di Kota Yogyakarta
Oleh : Henry Kuncoryekti, SH

Kamis, 03 Januari 2013 09:07:54

Permasalahan terkait sampah merupakan masalah yang dihadapi hampir seluruh KotaKota yang ada di Indonesia dan tidak hanya Kota-Kota besar seperti Jakarta, Bandung atau
Surabaya saja yang menghadapi permasalahan sampah, juga Kota-kota kecil ataupun
Kabupaten yang ada di pelosok tanah air sampah selalu menjadi masalah. Rata-rata setiap
32

harinya kota-kota besar di Indonesia menghasilkan puluhan ton sampah. Selama ini
sampah-sampah hanya diangkut oleh truk-truk sampah dan langsung dibuang atau
ditumpuk begitu saja di tempat pembuangan akhiri (TPA) yang sudah disediakan tanpa
diapa-apakan lagi. Akibatnya dari hari ke hari sampah itu terus menumpuk dan terjadilah
bukit sampah seperti yang sering kita lihat.
Demikian pula yang terjadi di Kota Yogyakarta, kondisi sampah yang menumpuk di
tempat pembuangan sampah di sudut-sudut perkampungan, tentu saja membawa dampak
buruk terhadap warga masyarakat yang berada di sekitar lokasi tersebut. Selain
menimbulkan bau yang tidak sedap, sampah juga dapat mendatangkan wabah penyakit
serta dapat merusak citra Kota Yogyakarta sebagai daerah pariwisata dikarenakan Kota
akan terkesan kotor dan kumuh sehingga dapat mengganggu suasana kunjungan para
wisatawan dalam menikmati obyek wisata di Kota Yogyakarta.
Meski begitu, walaupun terbukti sampah itu dapat merugikan, tetapi jika dikelola
dengan sistem yang benar akan dapat memberikan manfaat. Hal ini karena sampah juga
dapat diubah menjadi barang yang bermanfaat. Kemanfaatan sampah ini tidak terlepas dari
kebijakan, penggunaan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam pengelolaanya. Apalagi
saat ini sudah ada peraturan pemerintah yang mengatur tentang pengelolaan sampah dalam
bentuk Undang-undang Nomor 18 tahun 2008 yang secara jelas dan tegas mengatur tugas
dan wewenang pemerintah dalam pasal 5 yang berbunyi pemerintah dan pemerintahan
daerah bertugas menjamin terselenggaranya pengelolaan sampah yang baik dan
berwawasan lingkungan sesuai dengan tujuan sebagaimana dimaksud dalam UndangUndang ini yang termaktub dalam pasal 4, yakni pengelolaan sampah bertujuan untuk
meningkatkan kesehatan masyarakat dan kualitas lingkungan serta menjadikan sampah
sebagai sumber daya.
Secara

umum

pengertian

dari

sistem

pengelolaan

sampah

adalah,

proses pengumpulan , pengangkutan , pemrosesan, pendaur-ulangan , atau pembuangan


dari material sampah. Kalimat ini biasanya mengacu pada material sampah yg dihasilkan
dari kegiatan manusia, dan biasanya dikelola untuk mengurangi dampaknya terhadap
kesehatan, lingkungan atau keindahan. Pengelolaan sampah juga dilakukan untuk
memulihkan sumber daya alam . Pengelolaan sampah bisa melibatkan zat padat , cair , gas
, atau radioaktif dengan metoda dan keahlian khusus untuk masing masing jenis zat.
33

Mengacu pada Undang-undang nomor 18 tahun 2008 yang mengamanatkan agar


semua daerah segera menutup Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sampah dengan sistem
terbuka (open dumping) pada tahun 2013, mau tidak mau harus segera dipikirkan
alternatif-alternatif sistem pengelolaan sampah yang ramah lingkungan.
Beberapa hasil studi menunjukkan bahwa open dumping systemyang selama ini
banyak dilaksanakan di Kota-Kota di Indonesia dinilai sangat merusak lingkungan,
dikarenakan sistem ini sampah hanya dibuang begitu saja dalam tempat pembuangan akhir
tanpa perlakukaan apapun, sehingga sampah akan menumpuk menjadi bukit yang dapat
menimbulkan dampak negatif baik bagi lingkungan maupun masyarakat.
Sejatinya secara prinsip ada dua pendekatan dalam sistem pengelolaan sampah, yang
pertama sistem yang berbasis landfill dan yang kedua sistem yang berbasis pada prinsip 3
R (Reclye, Reuse, Reduce) atau mendaur ulang, menggunakan kembali, dan mengurangi
sampah. Sistem terbuka atau open dumping sejatinya menggunakan pendekatan landfill
system.

Namun

demikian

tidak

semua

sistem

yang

menggunakan

pendekatan landfill berdampak negatif bagi lingkungan. Ada beberapa alternatif pemikiran
yang dapat dikembangkan dengan berbasis pada pendekatan landfill namun dapat menjadi
pilihan dalam membangun sistem pengelolaan sampah. Salah satu alternative
adalah membangun TPA berbasis sanitary landfill. Namun jika pemerintah daerah tidak
mampu membangun TPA sanitary landfill, sistem ini merupakan sarana pengurugan
sampah ke lingkungan yang disiapkan dan dioperasikan secara sistematis. Ada proses
penyebaran dan pemadatan sampah pada area pengurugan dan penutupan sampah setiap
hari. Penutupan sel sampah dengan tanah penutup juga dilakukan setiap hari. Sistem ini
merupakan sistem standar yang dipakai secara internasional. Untuk meminimalkan potensi
gangguan timbul, maka penutupan sampah dilakukan setiap hari. Namun, untuk
menerapkannya diperlukan penyediaan prasarana dan sarana yang cukup mahal.
Di Indonesia, sistem sanitary landfilled dianjurkan untuk diterapkan di kota besar dan
metropolitan. Untuk dapat melaksanakan metode ini diperlukan penyediaan beberapa
fasilitas, seperti, saluran drainase untuk mengendalikan air hujan, saluran pengumpul air
lindi (leachate) dan instalasi pengolahannya, pos pengendalian operasional, fasilitas
pengendaliaan gas metan dan alat-alat berat.

34

Namun berdasarkan hasil kajian, sistem sanitary lanfilled ini membutuhkan biaya
yang sangat besar sehingga hanya cocok diterapkan di Kota-kota besar, sedangkan untuk
kota sedang seperti Kota Yogyakarta ada sistem alternatif lainnya yakni sistem controlled
landfill bisa menjadi pilihan. Hanya saja, sistem ini bersifat sementara sampai sistem
sanitary landfill bisa diwujudkan.
Pada prinsipnya sistem controlled landfill merupakan peningkatan dari open dumping.
Untuk mengurangi potensi gangguan lingkungan yang ditimbulkan, sampah ditimbun
dengan lapisan tanah setiap tujuh hari. Dalam operasionalnya, untuk meningkatkan
efisiensi pemanfaatan lahan dan kestabilan permukan TPA, maka dilakukan juga perataan
dan pemadatan sampah. Untuk menjalankan sistem ini diperlukan beberapa fasilitas yang
hampir sama dengan sistem sanitary landfill namun dengan jumlah yang lebih terbatas
disesuaikan dengan kebutuhan wilayah.
Meskipun demikian, ada beberapa pakar dan praktisi pengelolaan sampah yang
mengkritik

sistem

dengan

pendekatan landfill tersebut.

Hal

ini

dikarenakan

sistem landfill dianggap tidak berkelanjutan dan menimbulkan masalah lingkungan di


kemudian hari. Beberapa alternatif-alternatif tersebut berpijak pada prinsip untuk
meminimalisir sampah dan mendaur-ulang semua limbah yang dibuang kembali ke
ekonomi masyarakat atau ke alam, sehingga dapat mengurangi tekanan terhadap
sumberdaya alam.
Dalam pendekatan ini, sampah yang dibuang harus dipilah, sehingga tiap bagian dapat
dikomposkan atau didaur-ulang secara optimal, daripada dibuang ke sistem pembuangan
limbah yang tercampur seperti yang ada saat ini. Dan industri-industr yang menghasilkan
produk diwajibkan untuk mendesain ulang produk-produk mereka untuk memudahkan
proses daur-ulang produk tersebut. Prinsip ini berlaku untuk semua jenis dan alur sampah.
Sistem ini juga mengedepankan pendekatan kearifan lokal atau adopsi terhadap
budaya lokal yang dengan tidak membakukan suatu sistem standat yang berlaku secara
internasional, seperti dalam konteks lokal sistem ini tetap mengakomodir sektor informal
(tukang sampah atau pemulung) sebagai suatu komponen penting dalam sistem
penanganan sampah yang ada saat ini, dan peningkatan kinerja mereka harus menjadi
komponen utama dalam sistem penanganan sampah di negara berkembang. Salah satu
contoh sukses adalah zabbaleen di Kairo, yang telah berhasil membuat suatu sistem
35

pengumpulan dan daur-ulang sampah yang mampu mengubah/memanfaatkan 85 persen


sampah yang terkumpul dan mempekerjakan 40,000 orang.
Berkaca dari beberapa gagasan dan pemikiran tersebut, sudah saatnya para pemangku
kepentingan di Kota Yogyakarta mendukung raperda insiatif DPRD Kota Yogyakarta
terkait pengelolaan sampah menjadi peraturan daerah sebagaimana telah diamanatkan oleh
Undang-undang nomor 18 tahun 2008 terutama dalam pasal 6 terkait tugas pemerintah
daerah yakni, (1) menumbuhkembangkan dan meningkatkan kesadaran masyarakat dalam
pengelolaan sampah; (2) melakukan penelitian, pengembangan teknologi pengurangan,
dan penanganan sampah; (3) memfasilitasi, mengembangkan, dan melaksanakan upaya
pengurangan, penanganan, dan pemanfaatan sampah; (4) melaksanakan pengelolaan
sampah dan memfasilitasi penyediaan prasarana dan sarana pengelolaan sampah; (5)
mendorong dan memfasilitasi pengembangan manfaat hasil pengolahan sampah; (6)
memfasilitasi penerapan teknologi spesifik lokal yang berkembang pada masyarakat
setempat untuk mengurangi dan menangani sampah; (7) melakukan koordinasi
antarlembaga pemerintah, masyarakat, dan dunia usaha agar terdapat keterpaduan dalam
pengelolaan sampah.
Sekali lagi, penulis tidak bermasud menggurui siapapun, karena penulis bukanlah
seorang pakar atau praktisi pengelolaan sampah, namun penulis yakin siapapun pihak
yang peduli dengan masalah lingkungan hidup Kota Yogyakarta pasti tergerak untuk
memperbaiki kondisi lingkungan hidup Kota Yogyakarta terutama terkait masalah sampah.
Karena lingkungan hidup ini bukanlah miliki kita saat ini tapi merupakan titipan bagi
generasi dan tunas-tunas muda yang akan datang.

REFERENSI
1. http://blog.ub.ac.id/layyiny/2013/11/02/penyediaan-air-bersih-di-indonesia/
2. http://www.ditpam-pu.org/berita-269-tantangan-penyediaan-air-minum-yang-sehat-amandan-terjamin-bagi-rakyat.html
3. http://suaryawanputu.blogspot.com/2012/07/pengelolaan-limbah-medis-rumah-sakit.html
4. http://green.kompasiana.com/polusi/2013/01/02/pengelolaan-limbah-bahan-berbahayadan-beracun-b3-di-indonesia-520869.html
5. http://health.kompas.com/read/2013/01/22/16312414/Higiene.dan.Sanitasi.Jajanan.Anak.P
erlu.Perhatian
36

6. http://health.kompas.com/read/2011/11/10/14340845/Makanan.Tercemar.Sumber.Penulara
n.Hepatitis.A
7. http://health.kompas.com/read/2012/11/19/16132821/50.Juta.Penduduk.Tak.Punya.Toilet
8. http://nationalgeographic.co.id/berita/2013/10/indonesia-negara-dengan-sanitasi-terburukkedua-di-dunia
9. http://alamendah.org/2011/02/27/tingkat-pencemaran-laut-indonesia/
10. http://www.kompasberita.com/2012/01/pencemaran-udara-kota-bekasi-di-ambang-batas/
11. http://kesehatan.kompasiana.com/medis/2012/04/13/awas-fogging-454648.html
12. http://kesmascomunity.blogspot.com/2012/03/pengendalian-rodent-di-perusahaan.html
13. http://disnakertrans.kaltimprov.go.id/artikel-172-hukum-keselamatan-dan-kesehatankerja.html
14. http://birokrasi.kompasiana.com/2012/12/22/problematika-kesehatan-dan-keselamatankerja-k-3-di-indonesia-518105.html
15. http://sosbud.kompasiana.com/2013/09/19/sudah-optimalkah-implementasi-sistempengelolaan-sampah-di-indonesia-593309.html
16. http://dprd-jogjakota.go.id/index.php/berita-dan-artikel/artikel/saatnya-memperbaikipengelolaan-sampah-di-kota-yogyakarta

37

Anda mungkin juga menyukai