Produktivitas suatu klon merupakan ekspresi dari faktor genetik, faktor lingkungan serta
interaksi faktor genetik dan lingkungan. Hubungan ini menggambarkan, bahwa adanya
perbedaan respon klon pada lingkungan (agroekosistem) yang berbeda. Walaupun tanaman
karet Hevea dikenal sebagai tanaman yang dapat beradaptasi luas pada berbagai kondisi
agroekosistem, namun untuk memperoleh produktivitas optimal diperlukan suatu lingkungan
tumbuh yang sesuai.
Berdasarkan hasil penelitian dan pengamatan kinerja klon di pertanaman komersial
memperlihatkan bahwa, beberapa faktor lingkungan utama yang menjadi kendala (pembatas
produktivitas) dalam optimasi potensi klon, dapat diuraikan sebagai:
1. Curah hujan
Curah hujan merupakan salah satu faktor lingkungan yang membatasi produktivitas
karet. Tanaman karet tumbuh ideal pada wilayah yang memilki kisaran curah hujan 20002500 mm/tahun dengan1-2 bulan kering (Aidi Daslin et al. 1997; Sugiyanto et al. 1998).
Oleh karena itu pengusaha karet untuk tujuan komersial, harus memperhatikan kesesuain
klon yang ditanamam dengan iklim sehingga diperoleh produktivitas optimal. Pada daerah
dengan agroklimat basah (curah hujan > 3500 mm/th, tanpa bulan kering) sangat
berpengaruh kepada produktivitas klon kerana besarnya gangguan penyakit gugur daun,
jamur upas dan tidak normalnya pertumbuhan tanaman. Sedangkan pada daerah yang kering
(< 1500 mm/th)juga sangat mengganggu petumbuhan tanaman karet, karena akan terjadi
defisit air yang tidak mencukupi bagi kebutuhan tanaman akibat evapotranspirasi yang
tinggi (Thomas, 1994).
2. Angin
Masalah angin sangat potensial mengganggu tanaman karet. Menurut Santoso dan
Basuki (1990) dan Murdiyarso (1990) kecepatan angin dengan kisaran 30-50 km/jam sudah
mempunyai potensi untuk menyebabkan patah batang dan cabang bagi klon klon karet
yang memiliki kepekaan terhadap angin akibat sifat dari batang yang rapuh da tipe
percabangan yang berat.
3. Tanah
Komponen tanah yang menjadi pertimbangan utama adalah ketinggian tempat
(elevasi) dan bentuk muka lahan. Karet sangat optimal dikembangkan pada daerah dengan
ketinggian 0-300 m dari permukaan laut. Namun sampai ketinggian 600 m masih dapat
ditanami dengan memilih klon klon yang sesuai. Menurut hasil penelitian Darmandono
(1996), bahwa elevasi mempengaruhi produktivitas melalui pengaruhnya terhadap
peningkatan frekuensi hujan. Pada ketinggian 380-700 m dimana jumlah hari hujan > 175
hari, sudah memberikan pengaruh yang kurang baik terhadap produktivitas tanaman karet.
Demikian juga bentiuk muka lahan yang datar sampai bergelombang dengan kemiringan 0
16 % sangat sesuai untuk karet. Tetapi pada daerah bergelombang s.d. sedikit berbukit
dengan kemiringan 17 40 % masih dapat ditanami karet, namun harus memperlihatkan
kesesuaian klon untuk daerah tersebut. Sedangkan untuk daerah berbukit dengan kemiringan
> 40 % sudah tidak sesusai lagi untuk tanaman karet (Sugiyanto et al. 1998)
4. Hama dan penyakit
Masalah gangguan penyakit gugur daun dan cabang merupakan faktor lingkungan
biologi yang sangat mempengaruhi produktivitas tanaman karet. Respon klon terhadap
gangguan penyakit berbeda, tergantung kepada tingkat resistensinya terhadap suatu penyakit
serta kelembaban udara didaerah penanaman. Menurut Soekirman et al. (1992), bahwa
penyakit gugur daun Oidium, Collectrichum, dll merupakan penyakit penting yang dapat
menimbulkan kerugian besar dalam usaha agribisnis karet. Klon klon unggulan anjuran
memiliki ketahanan genetik yang berbeda satu sama lain terhadap gangguan penyakit
tersebut. Klon klon yang agak rentan sampai dengan rentan tidak dikembangkan didaerah
lembab yang dapat menimbulkan resiko kerugian akibat gangguan penyakit secara eksplosif.
Klon klon yang agak rentan tetapi potensi produksinya bagus, dapat dikembangkan
didaerah penanaman dengan agroklimat sedang s.d. kering. Oleh karena itu pemilihan klon
dapat dilakukan dengan menyesuaikan karakteristik resistensi klon dengan kondisi
lingkungan tumbuh di daerah penanamannya.
Penempatan klon pada suatu kebun harus diatur berdasarkan kesesuaian kondisi
agroekosistem. Penempatan klon tanpa memerhatikan agroekosistem dapat mengakibatkan
potensi produksi suatu klon sulit tercapai secara optimal.
Kerusakan tanaman karet dan penurunan produktivitas sering ditemui pada suatu lokasi
pertanaman akibat serangan penyakit gugur daun atau gangguan angin. Intensitas serangan
penyakit daun erat hubungannya dengan agroklimat setempat. Eksplosi penyakit gugur daun
terjadi akibat curah hujan yang tinggi dan merata sepanjang tahun. Pola curah hujan yang
demikian dari tahun ke tahun akan dapat memacu perkembangan penyakit gugur daun, dan
memungkinkan serangan penyakit yang berulang, seperti yang terjadi di Bengkulu dan
Kalimantan Barat (Soepadmo 1990; Suwarto 1990).
Kebijakan penempatan klon pada suatu kebun harus didasarkan pada kondisi
agroekosistem. Hasil penelitian Suhendry et al. (1999) menunjukkan bahwa terjadi variasi
pertumbuhan suatu klon yang ditanam pada kondisi iklim yang berbeda. Perbedaan iklim dari
suatu pertanaman juga berpengaruh terhadap produksi suatu klon (Aidi-Daslin et al. 1997).
Tidak tercapainya potensi produksi bukan hanya disebabkan serangan penyakit gugur daun,
tetapi juga karena terganggunya penyadapan akibat curah hujan tinggi dan merata sepanjang
tahun. Oleh karena itu, sebelum penempatan suatu klon perlu diketahui kondisi agroekosistem
suatu kebun di mana tanaman karet akan dikembangkan. Pada kebunkebun yang kecepatan
anginnya tinggi, seperti di Sumatera Utara, dapat ditanam klon yang tahan terhadap kepatahan,
seperti AVROS2037, BPM1, BPM107, PR255, PR261, PB217, RRIC100, dan IRR5 (Woelan et
al. 1999).
III. Kesimpulan